KEBIJAKAN FORMULASI KEWENANGAN PENUNTUT

(1)

DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

THE FORMULATION POLICY FOR PROSECUTOR’S AUTHORITY

WITHIN MONEY LAUNDERING

Indah Paramita

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Mataram Email : indahparamita77@gmail.com

Naskah diterima : 07/ 09/ 2015; direvisi : 08/ 15/ 2015; disetujui :10/ 09/ 2015

Abstract

he authority of money laundering case’s prosecutors mentioned in article 68 Law Nr. 8 Year 2010 concerning the prevention and eradication of money laundering. he formulation remains unclear and needs further juridical interpretation. Based on the result of research, it can be concluded that the prosecutor’s authority formulated in article 68 Law Nr. 8 Year 2010 concerning the prevention and eradication of money laundering contains of weaknesses as follow : (1)in indictment making process, (2) in case’s handing over process and (3) in transaction blockaging. he juridical implication that appear is the technical regulation should be dismissed since they are in contrary with higher regulation (Law Nr. 8 Year 2010 concerning the prevention and eradication of money laundering). With regards to this condition, the best future formulation for prosecutor’s authority is appliying Indonesian Criminal Procedure Codiication (KUHAP), since it can decrease the authority overlap between District Attorney and Corruption Eradication Commission.

Keywords : Formulation, authority, prosecutor.

Abstrak

Kewenangan penuntut umum tindak pidana pencucian uang telah diatur dalam Pasal 68 Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Namun formulasi yang ada tidak jelas dan masih memerlukan penafsiran lebih lanjut. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formulasi Pasal 68 UU PPTPPU mengandung kelemahan antara lain pada tahap pelimpahan berkas perkara, penggabungan dakwaan, pemblokiran harta kekayaan dan permintaan keterangan tertulis tentang harta kekayaan. Implikasi yuridis yang muncul dari formulasi tersebut adalah peraturan teknis yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung dan PPATK tidak berlaku karena bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi (UU PPTPPU). Berdasarkan kondisi tersebut, alternatif formulasi kewenangan penuntut umum dalam tindak pidana pencucian uang di masa mendatang akan lebih tepat bila merujuk pada rancangan KUHAP karena dapat meminimalisasi tumpang tindih kewenangan antar dua lembaga.

Kata Kunci : Formulasi, kewenangan, penuntut umum PENDAHULUAN

ketentuan mengenai tindak pidana pen-cucian uang kini kerap diterapkan secara kumulatif dengan berbagai tindak pidana asalnya. Salah satunya dalam upaya pengu-sutan tindak pidana korupsi. Hal ini dituju-kan untuk mengoptimaldituju-kan pengembalian kerugian negara dan memastikan proses

hukum juga menyentuh hingga ke pihak-pihak yang terlibat dan turut menikmati hasil tindak pidana korupsi tersebut. Pada saat yang bersamaan, penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang juga dapat memudahkan proses penuntutan terhadap tindak pidana asalnya (korupsi), karena penelusuran terhadap aliran uang hasil


(2)

tindak pidana dapat sekaligus menyingkap sumbernya/tindak pidana asalnya1.

Dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, khususnya tahapan penuntutan, ke-tentuan yang dijadikan pedoman adalah Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberan-tasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) yang berbunyi :

“Penyidikan, penuntutan, dan pemerik-saan di sidang pengadilan serta pelak-sanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.

Formulasi Pasal 68 UU PPTPPU mem-buka ruang penafsiran lebih lanjut karena harus dikaitkan dengan peraturan perun-dang-undangan lainnya. Ketentuan Pasal 68 UU PPTPPU tidak menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai lembaga yang diamanatkan kewenangan sebagai penun-tut umum dalam tindak pidana pencucian uang.

Selain kewenangan penuntut umum se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), Pasal 71 ayat (1), Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 76 ayat (1) UU PPTPPU, terdapat ke-wenangan penuntut umum dalam tindak pidana pencucian uang yaitu menyusun surat dakwaan yang berpotensi menimbul-kan hambatan selama proses persidangan. Hal ini dikarenakan proses penegakan hu-kum terhadap tindak pidana pencucian uang berkaitan erat dengan tindak pidana asalnya, namun tidak didukung oleh

sink-1 Hal ini didukung dengan dimuatnya ketentuan Pasal 69 Undang Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan ter-hadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dida-hului dengan terbuktinya tindak pidana asal.

ronisasi kewenangan penuntut umum tin-dak pidana asal dan penuntut umum tintin-dak pidana pencucian uang.

Apabila tindak pidana asal dari pencucian uang adalah korupsi dan tindak pidana pencucian uang digabungkan penuntutannya, maka kewenangan pe-nuntut umum memungkinkan

dilak-sana kan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Republik Indonesia. Di satu sisi, KPK hanya me-miliki kewenangan secara limitatif yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sesuai Pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Di sisi lain, tidak adanya pengaturan dalam UU PPTPPU mengenai penuntut umum yang berwenang melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang, berimplikasi pada penentuan penuntut umum yang berwenang adalah penuntut umum dari lembaga penuntutan negara yaitu Kejaksaan Republik Indonesia.

Salah satu kewenangan penuntut umum yaitu penyusunan dakwaan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi secara ideal dirumuskan dalam bentuk kumulatif. Proses penuntutan, khususnya penyusunan surat dakwaan untuk dua tindak pidana berbeda hanya dapat terlaksana dengan kondusif apabila lembaga yang berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang adalah lembaga yang sama. Demikian halnya dengan kewenangan penuntut umum lainnya, yaitu pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, pemblokiran harta kekayaan dan permintaan keterangan tertulis tentang harta kekayaan.

Jika lembaga yang berwenang melaku-kan penuntutan terhadap tindak pidana asal dan lembaga yang berwenang melaku-kan penuntutan tindak pidana pencucian


(3)

uang adalah lembaga yang berbeda, maka berpotensi terjadi tumpang tindih kewenan-gan serta ketidakpastian yang menghambat proses penuntutan. Kondisi ini tidak ses-uai dengan harapan tercapainya peradilan pidana yang efektif yang diindikasikan me-lalui 3 (tiga) faktor yang saling berkaitan, yaitu adanya undang-undang yang baik (good legislation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and uniform sentencing)2.

Oleh karena penafsiran sistematis terha-dap penuntutan tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 68 UU PPTPPU berpo-tensi mengandung kelemahan-kelemahan, maka diperlukan adanya alternatif formula-si yang mengatur penuntutan tindak pidana pencucian uang secara lebih jelas, tegas dan menjamin kepastian hukum di masa men-datang.

Penuntutan terhadap tindak pidana pen-cucian uang merupakan salah satu tinda-kan pemerintah. Sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum yang dianut Indone-sia, maka sudah seharusnya setiap tindakan pemerintah memiliki landasan hukum yang jelas dan tegas. Sebagaimana dijelaskan oleh Ridwan HR bahwa setiap penyelengg-araan kenegpenyelengg-araan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang3.

Berdasarkan latar belakang permasala-han, maka dapat disimpulkan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Apa kelemahan dari formulasi kewenan-gan penuntut umum menurut Pasal 68 Un-dang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? (2) Bagaimana implikasi yuridis kewenangan penuntut umum menurut Pasal 68 Undang-undang

2 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan

Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.57

3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cetakan VII, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 98.

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencu-cian Uang? (3) Bagaimana alternatif for-mulasi kewenangan penuntut umum dalam tindak pidana pencucian uang di masa men-datang?

PEMBAHASAN

Guna menjelaskan permasalahan diatas maka terdapat beberapa teori terkait tema penelitian yang digunakan untuk mengu-raikan permasalahan-permasalahan yang diangkat.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan bagian dari kebijakan penang-gulangan kejahatan. Seperti yang dijelaskan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu4:

a. Criminal law application; b. Prevention without punishment;

c. Influencing views of society on crime and punishment;

Kebijakan ini lebih lanjut dapat dikelom-pokan lagi menjadi dua, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tin-dak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non penal policy). Sarana hukum pidana yang dimaksud me-liputi sarana berupa peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana berikut penegakan hukum pidana.

Marc Ancel berpendapat, kebijakan hu-kum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang

4 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah,

Poli-tik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Cetakan III, Pustaka Pelajar, Yogyakar-ta, 2012, hlm.17.


(4)

menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan5.

Kebi-jakan hukum pidana pada pokoknya men-empatkan perumusan peraturan perun-dang-undangan sebagai instrumen sekal-igus pedoman bagi penegak hukum untuk melakukan penanggulangan kejahatan.

Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat difungsional-isasikan dan dioperasionaldifungsional-isasikan melalui beberapa tahap, yaitu :

a. tahap formulasi atau kebijakan legis-latif : tahap perencanaan dan perumu-san peraturan perundang-undangan pidana. Tahap ini merupakan tahap awal yang paling strategis karena men-jadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap selanjutnya.

b. tahap aplikasi atau kebijakan yudi-katif : tahap penerapan dari keten-tuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar.

c. tahap eksekusi atau kebijakan adminis-tratif : tahap pelaksanaan dari putu-san pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hu-kum tetap6.

Formulasi suatu norma dalam undang-undang harus disusun secara tepat dan memperhatikan segala implikasinya, sebab kelemahan undang-undang (law in books) akan menimbulkan konsekuensi terham-batnya proses penegakan hukum. Kelema-han undang-undang tersebut dapat terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu7:

a. Tidak diikutinya azas-azas berlakunya undang-undang.

b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk mener-apkan undang-undang.

c. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam

5 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah,

Op.Cit, hlm.16. 6 Ibid., hlm.21-22

7 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm.17-18.

undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.

Pencucian uang sebagai salah satu ben-tuk tindak pidana juga memiliki pengertian tersendiri. Pamela H. Bucy sebagaimana dikutip oleh Adrian Sutedi memberikan pengertian money laundering atau pencu-cian uang sebagai berikut : money launder-ing is the concealment of the existence, na-ture of illegal source of illicit fund in such manner that the funds will appear legitimate if discovered8. Pengertian diatas bermakna

money laundering/pencucian uang adalah upaya menyembunyikan keberadaan mau-pun sifat illegal dari sumber uang “haram” melalui tindakan-tindakan sehingga uang tersebut tampak legal jika ditemukan. Aziz Syamsuddin berpendapat bahwa pencucian uang menunjuk pada upaya pelaku untuk mengurangi ataupun menghilangkan risiko ditangkap ataupun uang yang dimilikinya disita sehingga tujuan akhir dari kegiatan illegal itu yakni memperoleh keuntungan, mengeluarkan serta mengkonsumsi uang tersebut dapat terlaksana, tanpa terjerat oleh aturan hukum yang berlaku9.

Pengertian diatas menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencucian uang ter-dapat rangkaian tindak pidana, yang per-tama adalah tindak pidana asal atau tin-dak pidana yang menghasilkan uang/harta kekayaan illegal dan yang kedua yaitu tin-dak pidana pencucian uang itu sendiri. Dijelaskan juga menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Ivan Yus-tiavandana, Arman Nefi, dan Adiwarman, predicate crime atau predicate offence adalah delik-delik yang menghasilkan criminal pro-ceeds atau hasil kejahatan yang kemudian dicuci10. Sebagai konsekuensi dari adanya

tindak pidana asal dan tindak pidana

pencu-8 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Ce-takan I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 14

9 Azis Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cetakan IV, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.19.

10 Ivan Yustiavandana Et.All., Tindak Pidana

Pencu-cian Uang di Pasar Modal, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 54.


(5)

cian uang, maka pemrosesan terhadap ked-ua tindak pidana itu dilaksanakan secara bersamaan/digabung. Hal ini dalam istilah hukumnya disebut dengan istilah concursus realis pada saat mana penghukuman terjadi apabila seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan11.

A. Prinsip-prinsip Sistem Peradilan

Pidana Indonesia

Pelaksanaan penanggulangan kejahatan sangat dipengaruhi oleh sistem peradilan pidana yang menggerakannya. Sistem Pera-dilan Pidana atau Criminal Justice System secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menang-gulangi kejahatan agar hal tersebut berada dalam batas-batas toleransi masyarakat12.

Sistem Peradilan Pidana merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari legis-lator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau diluarnya13.

Lebih lanjut, kegiatan sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan “empat fungsi utama” yaitu :

a. Fungsi pembuatan undang-undang (law making function);

b. Fungsi penegakan hukum (law en-forcement function);

c. Fungsi pemeriksaan persidangan pen-gadilan (function of adjudication); d. Fungsi memperbaiki terpidana (the

function of correction).

Uraian diatas menunjukan bahwa ses-ungguhnya seluruh komponen penyeleng-gara Sistem Peradilan Pidana memiliki peran saling melengkapi satu sama lain. Sudah seyogyanya setiap sub sistem mem-bangun sinergitas karena memiliki tujuan yang sama yaitu menanggulangi kejahatan dan mencapai keadilan. Menurut Marwan

11 Ibid., hlm. 4. 12 Ibid., hlm. 116.

13 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm.90.

Effendy, Sistem Peradilan Pidana Indonesia secara khusus antara lain menganut14:

a. Prinsip spesialisasi, diferensiasi dan kompartemenisasi;

b. Prinsip peradilan yang cepat, sederha-na dan biaya ringan;

c. Prinsip praduga tidak bersalah (pre-sumption of innocent);

d. Prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law);

e. Prinsip oportunitas;

f. Pemeriksaan terbuka untuk umum; g. Tersangka/terdakwa berhak

mendapat-kan bantuan hukum;

h. Prinsip akusator (acquisatoir) dan inkusator (inquisitoir);

i. Pemeriksaan oleh hakim secara lang-sung dan lisan.

Marwan Effendy menjelaskan lebih lan-jut bahwa KUHAP menganut azas spesial-isasi, diferensiasi dan kompertemenspesial-isasi, yaitu menerapkan pembagian kewenangan masing-masing lembaga.

Spesialisasi berarti pengkhususan yang artinya KUHAP hanya dapat diterapkan kepada orang-orang yang tunduk pada peradilan umum, sedangkan diferensiasi artinya membedakan tugas dan wewenang tingkatan pemeriksaan sejak dari penyi-dikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, dan lebih lanjut komparte-menisasi artinya memberi sekat terhadap tugas dan wewenang penyidik dan penun-tut umum, tetapi tidak boleh mengganggu usaha adanya penyidikan dan penuntu-tan yang merupakan pedoman kerja ber-sama dalam proses peradilan pidana15. Sasaran yang ingin dicapai dalam sistem (sistem peradilan pidana) ini agar tahap-tahap proses dari suatu peradilan pidana ini dapat menjadi lancar. Hakekat sistem

pera-14 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana :

Tin-jauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Cetakan I, Referensi, Jakarta, 2012, hlm. 5-6.


(6)

dilan pidana terpadu, tidak lain adalah un-tuk mewujudkan suatu peradilan yang mu-rah, cepat dan sederhana sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang itu sendi-ri, sehingga dapat dikesampingkan ego sek-toral yang selama ini dipandang membuat tersendat-sendatnya proses suatu perkara pidana16. Lebih lanjut, eksistensi sistem

peradilan pidana terpadu akan mendukung tercapainya efektivitas proses penegakan hukum melalui sinkronisasi unsur-unsur penegakan hukum. Muladi sebagaimana dikutip oleh Aziz Syamsuddin menjelaskan sinkronisasi dimaksud terdiri atas tiga hal yaitu, sinkronisasi struktural (structural synchronization) yaitu keselarasan dalam hubungan antarlembaga penegak hukum, sinkronisasi substansial (substantial syn-chronization) yaitu keselarasan yang bersi-fat vertikal dan horizontal dalam kaitan-nya dengan hukum positif dan sinkronisasi cultural (cultural synchronization) yaitu keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana17.

Untuk menjamin tercapainya efektivitas peradilan pidana, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Wolf Middendorf sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa keseluruhan efektivitas peradilan pidana bergantung pada 3 (tiga) faktor yang saling berkaitan, yaitu adanya undang-undang yang baik (good legislation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and uniform sentencing)18.

Proses peradilan pidana yang cepat dan berkepastian hukum menjadi hakekat sekaligus indikator sistem peradilan pidana terpadu. Sejalan dengan Wolf Middendorf,

16 http://www.aai.or.id/v3/index.php?option=com _ c o n t e n t & v i ew = a r t i c l e & i d = 2 3 7 : p e n g a t u ra n - integrated-criminal-justice-system-di-dalam-ruu-kuhap&catid=89&Itemid=547, diakses tanggal 20 Ok-tober 2014

17 Azis Syamsuddin, Op.Cit, hlm.191 18 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.57

Hiroshi Ishikawa sebagaimana dikutip oleh Moh. Hatta menyebutkan bahwa indikator dari keberhasilan integrated model/sistem terpadu adalah penyelesaian perkara cepat (speedy disposition)19.

1. Kelemahan Formulasi Kewenan-gan Penuntut Umum Dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Ta-hun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pen-cucian Uang

Dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, khususnya tahapan penuntutan, ketentuan yang dijadikan pedoman adalah Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) yang berbunyi :

“Penyidikan, penuntutan, dan pe-meriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ke-cuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.

Ketentuan Pasal 68 UU PPTPPU

menegaskan berlakunya azas “lex specialis derogate legi generali”, yang mana UU PPTPPU menjadi ketentuan yang bersifat khusus sedangkan Undang-undang No-mor 8 Tahun 1981 (KUHAP) sebagai ketentuan yang bersifat umum.

Dalam hal penuntut umum tindak pidana pencucian uang yang bersumber dari tindak pidana korupsi maka perlu dicermati Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

19 Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum

Pidana Umum dan Pidana Khusus, Cet. I, Penerbit Lib-erty, Yogyakarta, 2009, hlm.52


(7)

(UU KPK), Pasal 6 menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai beberapa tugas yaitu :

1. koordinasi dengan instansi yang ber-wenang melakukan pemberantasan tin-dak pidana korupsi;

2. supervisi terhadap instansi yang ber-wenang melakukan pemberantasan tin-dak pidana korupsi;

3. melakukan penyelidikan, penyidi-kan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

4. melakukan tindakan-tindakan pence-gahan tindak pidana korupsi; dan 5. melakukan monitor terhadap

peny-elenggaraan pemerintahan negara.

Uraian diatas menunjukan bahwa

KPK hanya memiliki kewenangan secara limitatif, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus korupsi yang memenuhi kriteria yang ditetap-kan dalam Pasal 9 dan Pasal 11 UU KPK. Meskipun KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap ka-sus korupsi yang menjadi tindak pidana asal dari suatu tindak pidana pencucian uang, namun tidak secara otomatis memi-liki kewenangan melakukan penuntutan terhadap tindak pidana lanjutannya (tin-dak pidana pencucian uang).

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejak-saan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Lebih lanjut, dijelaskan dalam Pasal 30 pada un-dang-undang yang sama bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk :

1. melakukan penuntutan;

2. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mem-peroleh kekuatan hukum tetap;

3. melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan putusan pidana ber-syarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4. melakukan penyidikan terhadap tin-dak pidana tertentu berdasarkan un-dang-undang;

5. melengkapi berkas perkara terten-tu dan unterten-tuk iterten-tu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dil-impahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan den-gan penyidik.

Kejaksaan Republik Indonesia jelas memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan yang lebih luas dan umum. Oleh karenanya, apabila tidak ditentukan secara eksplisit mengenai lembaga yang berwenang untuk melakukan penun-tutan terhadap tindak pidana tertentu, maka Kejaksaan Republik Indonesia lah yang berwenang melakukannya. Sejalan dengan ketentuan mengenai penuntutan tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 68 UU PPTPPU, maka yang berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang adalah Kejaksaan Republik Indonesia.

Dari seluruh kewenangan penuntut umum dalam tindak pidana pencucian uang, terdapat beberapa kewenangan yang terindikasi sebagai kelemahan dan berpo-tensi menimbulkan hambatan dalam proses penegakan tindak pidana pencucian uang sebagai berikut :

1.1.Kewenangan Pembuatan Surat Da-kwaan

Dalam konsep penanganan tindak pidana pencucian uang, tindak pidana asal seyogyanya dituntut bersamaan dengan tin-dak pidana pencucian uangnya. Demikian halnya dengan pembuatan surat dakwaan yang disusun secara kumulatif antara tin-dak pidana asal dengan tintin-dak pidana pencucian uang. Sebagaimana dijelaskan


(8)

dalam Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Surat Edaran Jampidum Nomor B-689/E/EJP/12/2004 Tanggal 31 Desem-ber 2004 tentang Pola Penanganan dan Pe-nyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai berikut20 :

“definisi Pencucian Uang yaitu perbuatan menempatkan, mentransfer, membayar-kan, membelanjamembayar-kan, menghibahmembayar-kan, me-nyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang dik-etahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud un-tuk menyembunyikan atau menyamar-kan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah”, dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa perbuatan pencucian uang merupakan perbuatan yang ter-pisah, berdiri sendiri dan tidak sejenis dengan tindak pidana pokoknya misalnya tindak pidana penipuan. Oleh karena itu, dakwaan dibuat dalam bentuk kumulatif (Cumulative Ten Laste Legging) dengan konsekuensi bahwa masing-masing dak-waan harus dibuktikan, sedang yang tidak terbukti secara tegas harus dituntut bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Dan se-baliknya, apabila semua dakwaan, oleh Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti, maka tuntutan pidananya sejalan dengan ketentuan Pasal 65 dan 66 KUHP”

Dakwaan yang berbentuk kumulatif mengindikasikan bahwa tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal (ko-rupsi) dituntut secara bersamaan dan dilak-sanakan oleh penuntut umum yang sama. Namun kewenangan penuntut umum dalam pembuatan surat dakwaan tindak pidana pencucian uang yang disusun

se-20 Muhammad Yusuf Et.All, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencu-cian Uang, The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP), Jakarta, 2011, hlm.661-662.

cara kumulatif dengan tindak pidana asal korupsi harus mengacu pada pokok-pokok ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Pembuatan surat dakwaan tindak pidana asal (tindak pidana korupsi) dapat men-jadi kewenangan kejaksaan maupun KPK, karena masing-masing memiliki kewenan-gan namun terdapat pembedaan kriteria/ karakter tindak pidana korupsi apa yang dapat ditangani.

2. Pembuatan surat dakwaan tindak pidana pencucian uang menjadi kewenangan Kejaksaan, sedangkan KPK tidak dapat melakukan pembuatan surat dakwaan tin-dak pidana pencucian uang karena hanya memiliki kewenangan secara limitatif yai-tu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Adanya perbedaan lembaga yang ber-wenang melakukan pembuatan surat dak-waan untuk tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang membatasi kemung-kinan dilakukannya pembuatan dakwaan berbentuk kumulasi yang disidangkan se-cara bersama-sama. Dengan kata lain, surat dakwaan untuk tindak pidana asal (korup-si) disusun oleh KPK secara terpisah dan surat dakwaan tindak pidana pencucian uang disusun oleh Kejaksaan. Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip sistem peradilan pidana terpadu yang mengharap-kan adanya sinkronisasi struktural antar lembaga penegak hukum, asas peradilan serta tujuan pembentukan UU PPTPPU. Azas pelaksanaan peradilan dimuat dalam KUHAP, penjelasan umum butir 3 huruf e menyatakan bahwa “peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan bi-aya ringan serta bebas, jujur dan tidak me-mihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”.

Azas tersebut juga sejalan dengan salah satu tujuan pembentukan UU PPTPPU yang menyatakan bahwa pencegahan dan


(9)

pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta pen-elusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana21.

1.2.Kewenangan Pelimpahan Perkara Pasal 76 ayat (1) UU PPTPPU menjelas-kan bahwa “penuntut umum wajib meny-erahkan berkas perkara tindak pidana Pen-cucian Uang kepada pengadilan negeri pal-ing lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap”. Sejalan dengan pembuatan surat dakwaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, perbe-daan lembaga yang berwenang melakukan pembuatan surat dakwaan untuk tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang juga akan berpengaruh pada proses pelimpahan perkara. Surat dakwaan tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK dilimpahkan bersama perkara oleh KPK ke pengadilan tindak pidana korupsi.

Sementara surat dakwaan tindak pidana pencucian uang dibuat oleh Kejaksaan dan dilimpahkan bersama perkara oleh Kejak-saan. Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi diperiksa, diadili dan diputus di pengadilan tindak pidana korupsi22. Meskipun tindak pidana

korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya korupsi di-periksa, diadili dan diputus di pengadilan tindak pidana korupsi, namun karena su-rat dakwaannya tidak digabungkan maka perkaranya juga tidak diperiksa, diadili dan

21 Konsiderans Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, huruf b.

22 Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 6 menjelaskan bahwa pen-gadilan tindak pidana korupsi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara

diputus bersama-sama. Sebagai konsekuen-sinya, proses peradilan yang berjalan men-jadi rumit dan tidak efektif. Rumit dan tidak efektif karena proses pembuktian terhadap dua tindak pidana yang saling berkaitan justru dilaksanakan dalam sidang yang ter-pisah. Konsep yang demikian juga tidak ses-uai dengan semangat yang dibangun dalam UU PPTPPU yang menginginkan agar pros-es peradilan berjalan lebih efektif melalui penggabungan tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang.

1.3.Kewenangan Pemblokiran Harta Kekayaan

Pasal 71 ayat (1) UU PPTPPU mengatur mengenai wewenang Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk memerintah-kan Pihak Pelapor untuk melakumemerintah-kan pem-blokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Penjelasan Pasal 71 ayat (2) UU PPTPPU menjelaskan bahwa surat permin-taan pemblokiran yang dikirimkan kepada penyedia jasa keuangan tersebut harus di-tandatangani oleh :

a. koordinator penyidik/ketua tim peny-idik untuk tingkat penypeny-idikan;

b. kepala kejaksaan negeri untuk

tingkat penuntutan;

c. hakim ketua majelis untuk tingkat pemeriksaan pengadilan;

Penjelasan Pasal 71 ayat (2) UU PPTPPU menyatakan bahwa surat permintaan pem-blokiran kepada penyedia jasa keuangan un-tuk tingkat penuntutan harus ditandatan-gani oleh kepala Kejaksaan Negeri. Dengan ditentukannya kepala Kejaksaan Negeri se-bagai pihak yang berwenang menandatan-gani surat permintaan pemblokiran pada tahap penuntutan, maka dapat diasumsikan bahwa bawahannya/kesatuannyalah yang memiliki kewenangan sebagai penuntut umum dalam UU PPTPPU yaitu jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia.


(10)

Kewenangan penuntut umum menurut Pasal 71 UU PPTPPU berikut penjelasan Pasalnya di satu sisi memberikan petunjuk mengenai penuntut umum yang dimaksud dalam UU PPTPPU, namun di sisi lain menunjukan inkonsistensi dalam formulasi Pasal-Pasal yang mengatur mengenai ke-wenangan penuntut umum lainnya dalam UU PPTPPU yang tidak menyebutkan se-cara implisit maupun eksplisit mengenai lembaga yang dimaksudkan sebagai penun-tut umum.

Lebih lanjut, formulasi penjelasan suatu Pasal seharusnya hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma23. Maka agar dapat dijadikan

sebagai dasar penentuan penuntut umum yang berwenang dalam UU PPTPPU, penjelasan Pasal 71 ayat (2) UU PPTPPU yang berisi norma seyogyanya dirumuskan menjadi Pasal tersendiri dalam UU PPTP-PU.

1.4. Kewenangan Permintaan Keteran-gan Tertulis mengenai Harta Kekay-aan

Pasal 72 ayat (1) UU PPTPPU menjelas-kan bahwa untuk kepentingan pemerik-saan dalam perkara tindak pidana Pencu-cian Uang, penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertu-lis mengenai Harta Kekayaan. Sebagaimana makna implisit/tersirat dari Pasal 71 ayat (2), Pasal 72 ayat (5) juga mengindikasi-kan hal yang sama. Surat permintaan untuk memperoleh keterangan tertulis dari pihak pelapor mengenai harta kekayaan yang di-lakukan oleh penuntut umum/jaksa penyi-dik harus ditandatangani oleh Jaksa Agung atau Kepala Kejaksaan Tinggi. Sejalan

den-23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan penjela-san butir 176 dan 177.

gan makna Pasal 72 ayat (5) UU PPTPPU, maka ketentuan ini mengindikasikan bah-wa penuntut umum dalam UU PPTPPU adalah dari Kejaksaan Republik Indonesia.

Kewenangan penuntut umum menurut Pasal 72 ayat (5) UU PPTPPU memberikan petunjuk mengenai penuntut umum yang dimaksud dalam UU PPTPPU, namun juga menunjukan inkonsistensi antar Pasal yang mengatur mengenai kewenangan penuntut umum lainnya (pembuatan surat dakwaan dan pelimpahan perkara) dalam UU PPTP-PU yang tidak menyebutkan secara implisit maupun eksplisit mengenai lembaga yang dimaksudkan sebagai penuntut umum.

B. Implikasi Yuridis Kewenangan Penun-tut Umum Dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Ten-tang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Implikasi Yuridis berdasarkan Sinkro-nisasi Horizontal

Sinkronisasi yang bersifat horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif adalah sinkronisasi/keselarasan UU PPTP-PU dengan undang-undang yang secara hi-rarki berada sejajar dengannya, antara lain KUHAP, UU KPK, dan UU Kejaksaan. Pasal 68 UU PPTPPU selain mengatur mengenai kewenangan penuntut umum dalam tindak pidana pencucian uang secara umum juga mengandung tujuan pemberlakuan azas “lex specialis derogat legi generali” yaitu se-lain hukum acara yang ditentukan dalam UU PPTPPU (ketentuan yang bersifat khu-sus), hukum acara dalam KUHAP (ketentu-an y(ketentu-ang bersifat umum) juga tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU PPTPPU.

Ketentuan Pasal 68 UU PPTPPU di-hubungkan dengan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga yang memiliki kewenan-gan untuk melakukan penuntutan berdasar-kan UU KPK dan UU Kejaksaan, menun-jukan bahwa penuntut umum pada KPK


(11)

tidak memiliki kewenangan untuk melaku-kan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian melainkan hanya untuk tindak pidana korupsi. Pasal 68 UU PPTPPU tidak menyebutkan lembaga yang berwenang se-bagai penuntut umum dalam tindak pidana pencucian uang dan tidak menentukan lain selain daripada apa yang telah ditentukan dalam KUHAP, maka berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, ketentuan dalam KUHAP tetap berlaku dan lemba-ga yang berwenang melakukan penuntu-tan tindak pidana pencucian uang adalah penuntut umum pada Kejaksaan Republik Indonesia.

b. Implikasi Yuridis berdasarkan Sinkro-nisasi Vertikal

Peraturan perundang-undangan ha-rus dipandang sebagai satu kesatuan, oleh karenanya antar peraturan perundang-undangan harus sinkron secara vertikal maupun horizontal. Konsep penuntutan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi harus selaras dengan per-aturan yang secara hirarki berada di bawah UU PPTPPU atau peraturan yang menjadi pedoman teknis pelaksanaan kewenangan penuntut umum dalam UU PPTPPU. Seb-agai pendukung penerapan UU PPTPPU, beberapa lembaga khususnya Kejaksaan menerbitkan pedoman dalam penegakan hukum tindak pidana pencucian uang an-tara lain :

1. Surat Edaran Jampidum Nomor B-689/E/EJP/12/2004 Tanggal 31 De-sember 2004 tentang Pola Penanganan dan Penyelesaian Tindak Pidana Pencu-cian Uang.

2. Surat Jampidsus Nomor : B-2107/F/ Fd.1/10/2011 tanggal 11 Oktober 2011 tentang Penyidikan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Asal Tindak Pidana Korupsi Kedua surat edaran tersebut menegaskan bahwa penuntutan tindak pidana

pencu-cian uang dengan tindak pidana korupsi di-laksanakan secara kumulatif. Muatan surat edaran dari pihak Kejaksaan dapat mendu-kung proses persidangan cepat, sederhana dan biaya ringan karena memproses tindak pidana pencucian uang bersamaan dengan tindak pidana asalnya. Akan tetapi muatan surat edaran ini jelas tidak sinkron/selaras dengan peraturan perundang-undangan diatasnya yaitu UU PPTPPU, UU KPK dan KUHAP yang tidak memungkinkan sebagian tindak pidana korupsi diproses/ dituntut bersamaan dengan tindak pidana asalnya. Penuntutan terhadap sebagian tin-dak pidana korupsi merupakan kewenan-gan KPK sedangkan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang merupakan kewenangan Kejaksaan, sehingga kemung-kinan penuntutan tindak pidana pencucian dengan tindak pidana asal digabungkan se-cara kumulatif menjadi tertutup. Eksistensi UU PPTPPU yang lebih tinggi dalam hi-rarki peraturan perundang-undangan juga mengesampingkan keberlakuan surat edar-an Kejaksaedar-an berdasarkedar-an asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori.

Selain Kejaksaan Republik Indonesia, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang berperan sebagai pelapor dan pelaksana penyelidikan tindak pidana pencucian uang juga menerbitkan pedoman penegakan hukum terhadap tin-dak pidana pencucian uang yang dipub-likasikan melalui Modul E-Learning 3 Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Penda-naan Terorisme. Dalam modul tersebut disebutkan bahwa penuntut umum adalah termasuk penuntut umum pada KPK ber-dasarkan Pasal 51 ayat (1) UU KPK24. Pasal

51 ayat (1) UU KPK yang dimaksud dalam modul ini berbunyi

“Penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang di-angkat dan diberhentikan oleh Komisi

24 Modul E-Learning 3 Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Bagian 9 : Penuntu-tan, Penegakan Hukum, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta, hlm.1.


(12)

Pemberantasan Korupsi”.

Pasal 51 ayat (1) sama sekali tidak menunjukan adanya kewenangan penuntut umum KPK untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang. Dalam Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 6 UU KPK justru menegaskan bahwa KPK me-miliki kewenangan secara limitatif untuk melakukan penuntutan hanya terhadap tin-dak pidana korupsi. Maka berdasarkan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, modul penegakan hukum yang diterbitkan oleh PPATK tidak berlaku dan tidak dapat dija-dikan pedoman penegakan hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU KPK dan KUHAP.

Implikasi yuridis ini akan dirasakan oleh aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan hakim pemeriksa perkara. Penyidik sejak awal harus menyerahkan hasil penyidikan kepada lembaga yang ber-wenang melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang. Apabila kasus tin-dak pidana pencucian uang bersumber dari tindak pidana asal korupsi, maka penyidik dari kepolisian harus berkoordinasi den-gan penyidik KPK untuk menelusuri sum-ber uang, sementara penyidik KPK pada saat itu juga harus menyelesaikan hasil pe-nyidikan untuk penuntutan tindak pidana korupsinya. Apabila koordinasi yang baik antara penyidik KPK dengan penyidik Ke-polisian dapat terlaksana, maka akan dapat memudahkan proses penyidikan kedua tin-dak pidana tersebut. Hasil penyidikan yang telah lengkap masih harus dilimpahkan ke-pada penuntut umum masing-masing tin-dak pidana yaitu penuntut umum KPK dan penuntut umum Kejaksaan untuk disidang-kan secara terpisah.

C. Alternatif Formulasi

Kewenan-gan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Di Masa Men-datang

Kelemahan formulasi Pasal 68 UU PPTP-PU dan implikasi yuridis yang muncul kare-nanya dapat diatasi dengan perumusan al-ternatif formulasi kewenangan penuntut umum yang mengakomodir perkembangan hukum acara pidana di masa mendatang. Alternatif formulasi perlu disusun dalam kerangka pembangunan sistem hukum nasional agar selaras dengan output yang hendak dicapai pemerintah sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia. Arah Pembangunan Jangka Panjang Indonesia Tahun 2005-2025 di bidang hukum adalah mewujudkan Indonesia yang demokratis berlandaskan hukum pada pokoknya me-lalui beberapa langkah antara lain (1) pem-bangunan hukum yang meliputi pemban-gunan materi hukum, struktur hukum dan sarana serta prasarana hukum, kemudian (2) pembangunan materi hukum meliputi perencanaan hukum, pembentukan hukum penelitian dan pengembangan hukum.25

Demikian halnya dengan hukum acara pidana Indonesia yang memerlukan pem-baruan. Hukum acara pidana yang telah ada sebagaimana diatur dalam KUHAP masih terus mengalami perkembangan me-lalui pengaturan hukum acara pidana khu-sus untuk tindak pidana tertentu. Namun upaya melengkapi KUHAP melalui undang-undang tersendiri justru kadang menimbul-kan tumpang tindih sehingga ketentuan tersebut mengalami hambatan dalam pener-apannya, sebagaimana juga terjadi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang. Hambatan tersebut dapat diatasi melalui penerapan sistem peradilan pidana terpadu yang diupayakan pember-lakuannya melalui Rancangan KUHAP. Reformulasi KUHAP sendiri telah dicanan-gkan dalam Program Legislasi Nasional Ta-hun 2015 – 2019 dengan target penyelesa-ian pada tahun 2016.

25 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Ta-hun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Pan-jang Nasional Tahun 2005 – 2025, penjelasan hlm.40


(13)

Dalam sistem peradilan pidana Indo-nesia, penuntutan dilakukan oleh seorang jaksa penuntut umum. Pada awal diber-lakukannya hukum acara pidana nasional, kewenangan penuntut umum hanya dimil-iki oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Na-mun dalam perkembangannya, ada lembaga lain yang diberikan kewenangan penuntut umum selain Kejaksaan Republik Indone-sia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus-kasus korupsi tertentu.

Alternatif yang pertama adalah dengan merumuskan formulasi kewenan-gan penuntut umum menjadi kewenankewenan-gan KPK. Alternatif tersebut muncul karena konsep penyidikan tindak pidana pencu-cian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 74 dan 75 UU PPTPPU menjadi kewenan-gan penyidik tindak pidana asal. Maka dengan mengadaptasi konsep yang sama, kewenangan penuntut umum juga dapat ditegaskan menjadi milik penuntut umum yang berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana asal. Penuntutan tindak pidana asal dan tindak pidana pen-cucian uang digabung serta dilaksanakan oleh penuntut umum tindak pidana asal (dalam hal ini adalah KPK). Selain menjadi penuntut umum tindak pidana asal, KPK juga sebelumnya telah berperan sebagai pe-nyelidik dan penyidik tindak pidana asal se-hingga telah memahami kronologis perkara dan memiliki alat-alat bukti pendukung perkara tersebut.

Kendala yang mengganjal penanganan gabungan tindak pidana korupsi sesuai Pas-al 11 UU KPK dan tindak pidana pencucian uang oleh KPK adalah belum adanya keten-tuan dalam UU PPTPPU yang menentukan bahwa penuntut umum yang dimaksud un-tuk penggabungan kasus demikian adalah KPK. Terlebih lagi dalam ketentuan Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 72 ayat (5) UU PPTP-PU justru mengindikasikan/menyatakan secara implisit bahwa penuntut umum yang dimaksud dalam UU PPTPPU adalah penuntut umum dari Kejaksaan Republik

Indonesia. Sesuai ketentuan Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 72 ayat (5), KPK nantinya harus mengajukan Surat Permintaan Ket-erangan dan Permintaan Pemblokiran ke-pada Jaksa Agung/Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Tinggi. Untuk dapat menetapkan KPK sebagai pihak yang ber-wenang melakukan penuntutan terhadap gabungan tindak pidana korupsi sesuai Pas-al 11 UU KPK dan tindak pidana pencucian uang maka harus diadakan perubahan for-mulasi kewenangan penuntut umum dalam dua undang-undang sekaligus, yaitu UU PPTPPU dan UU KPK agar dapat mengako-modir kemungkinan penentuan KPK men-jadi penuntut umum untuk tindak pidana pencucian uang atau gabungan antara tin-dak pidana pencucian uang dengan tintin-dak pidana asal korupsi.

Alternatif yang kedua adalah dengan memfokuskan pada pemusatan kewenan-gan penuntut umum pada sebagaimana dimuat dalam rancangan KUHAP. Rancan-gan KUHAP berupaya mengakomodir ke-tentuan hukum acara pidana yang bersifat khusus dan tersebar dalam undang-undang tersendiri menjadi satu kodifikasi yang lengkap dan menyeluruh. Sehubungan dengan permasalahan kewenangan penun-tut umum dalam tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal yang dimiliki oleh dua lembaga terpisah sehingga tidak memungkinkan penggabungan penuntu-tan, penyelesaiannya dapat terlihat dalam rancangan KUHAP, Pasal 49 ayat (2) yang berbunyi :

“beberapa tindak pidana dapat dituntut dalam satu surat dakwaan tanpa mem-perhatikan apakah merupakan suatu gabungan dari pidana umum atau khusus atau ditetapkan oleh undang-undang khu-sus sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1), kecuali dalam kompetensi pengadilan khusus.”

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Pasal 49 sebagai berikut :


(14)

“apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima beberapa perkara, penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu su-rat dakwaan, dalam hal :

a. beberapa tindak pidana dilakukan oleh seseorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tindak menjadikan ha-langan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana bersangkut

paut satu dengan yang lain; atau c. beberapa tindak pidana ada

hubungan-nya satu dengan yang lain dan peng-gabungan tersebut diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.”

Ketentuan Pasal 49 Rancangan KUHAP mengindikasikan bahwa penuntutan di-laksanakan secara terpusat dan terpadu untuk seluruh tindak pidana baik yang bersifat umum maupun khusus. Ketentuan ini menunjukan tidak adanya pembedaan penuntut umum yang tersebar pada lemba-ga berbeda seperti saat ini, yaitu KPK khu-sus untuk tindak pidana korupsi tertentu dan Kejaksaan untuk tindak pidana umum serta tindak pidana korupsi lainnya. Kon-sep demikian berkaitan erat dengan sistem peradilan pidana terpadu yang diharapkan dapat tercapai melalui pemberlakuan ran-cangan KUHAP.

Pemusatan penuntutan untuk seluruh tindak pidana pada kejaksaan juga dapat mendukung tercapainya prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan karena penggabungan penuntutan tin-dak pidana pencucian uang dengan tintin-dak pidana asal, dan pelaksanaan kewenangan penuntut umum lainnya tidak lagi ter-hambat oleh perbedaan lembaga penuntut umum.

Apabila kedua alternatif diatas di band-ingkan, maka akan tampak bahwa untuk mewujudkan alternatif formulasi kewenan-gan penuntut umum tindak pidana

pen-cucian menjadi milik KPK memerlukan tahapan perubahan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu perluasan ke-wenangan penuntut umum KPK dalam UU KPK ditambah ruang lingkupnya menjadi kewenangan untuk melakukan penuntu-tan terhadap tindak pidana pencucian uang yang bersumber dari tindak pidana korupsi. Selain itu diperlukan adanya perubahan terhadap pasal 71 dan 72 UU PPTPPU yang mengindikasikan bahwa penuntut umum dalam UU PPTPPU adalah penuntut umum Kejaksaan.

Hal ini ditujukan agar terjadi sinkronisa-si struktural/antar lembaga maupun sinkronisa- sinkro-nisasi substansial yang mengatur mengenai kewenangan penuntut umum tindak pidana pencucian uang. Sementara alternatif ked-ua, yaitu alternatif formulasi kewenangan penuntut umum secara terpusat sesuai ran-cangan KUHAP maka tahapan sinkronisa-si struktural dan sinkronisa-sinkronisasinkronisa-si substansinkronisa-sial yang diperlukan telah terangkum didalam-nya, tanpa perlu melakukan perubahan ter-hadap UU PPTPPU.

Tahapan yang diperlukan adalah den-gan melengkapi rancanden-gan KUHAP dan mengesahkannya serta mencabut kewenan-gan penuntut umum tindak pidana korup-si yang saat ini dimiliki KPK berdasarkan UU KPK. Formulasi kewenangan penuntut umum dalam KUHAP akan mendukung terwujudnya sistem peradilan pidana ter-padu dan terwujudnya kodifikasi hukum acara pidana nasional yang lengkap dan bersifat menyeluruh. Sehingga tumpang tindih maupun perebutan kewenangan an-tar lembaga penegak hukum yang timbul akibat pengaturan khusus hukum acara pidana dalam undang-undang tersendiri dapat diminimalisasi. Maka dapat disim-pulkan bahwa alternatif formulasi yang pal-ing tepat untuk mengatasi permasalahan sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini adalah alternatif formulasi kewenangan penuntut umum secara terpusat sebagaima-na diatur dalam rancangan KUHAP.


(15)

Peradilan yang cepat dan sederhana serta efektif menjadi titik tekan KUHAP dan UU PPTPPU. Pemusatan pelimpahan kewenan-gan penuntut umum untuk seluruh tindak pidana pada Kejaksaan dapat menjawab kelemahan Pasal 68 UU PPTPPU. Ke-wenangan pembuatan surat dakwaan dan pelimpahan perkara untuk tindak pidana asal korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang saat ini dimiliki oleh dua lemba-ga berbeda yaitu KPK dan Kejaksaan dapat dieliminir dengan pemusataan kewenangan untuk melaksanakan penuntutan kepada Kejaksaan. Begitu juga dengan inkonsisten-si yang dikandung dalam Pasal 71 dan Pasal 72 dengan Pasal 68 UU PPTPPU. Dengan sendirinya potensi terjadinya tumpang tin-dih kewenangan penuntut umum yang saat ini dimiliki oleh dua lembaga yaitu KPK dan Kejaksaan Republik Indonesia akan dapat diminimalisasi.

SIMPULAN

Kelemahan dari formulasi kewenangan penuntut umum dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan terkait dapat terjadi pada tahapan pembuatan surat dakwaan kumulatif antara tindak pidana asal korupsi dengan tindak pidana pencucian uang, tahapan pelimpahan perkara, tahapan pemblokiran harta kekayaan serta tahapan kewenangan permintaan keterangan tertulis tentang harta kekayaan.

Implikasi yuridis kewenangan penuntut umum menurut Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan sinkronisasi horizontal peraturan perundang-undangan lainnya dikaitkan dengan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, menjadi jelas bahwa penuntut umum untuk tindak pidana pencucian uang adalah Kejaksaan dan

penuntut umum untuk tindak pidana asal korupsi tertentu adalah KPK berdasarkan UU KPK. Implikasi yuridis berdasarkan sinkronisasi vertikal peraturan perundang-undangan lainnya dikaitkan dengan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, maka surat edaran Jaksa Agung dan aturan teknis/modul yang diterbitkan PPATK tidak berlaku karena bertentangan dengan Pasal 68 UU PPTPPU.

Alternatif formulasi kewenangan penuntut umum dalam tindak pidana pencucian uang di masa mendatang harus sejalan dengan arah Pembangunan Jangka Panjang Indonesia dan program legislasi nasional yang menghendaki adanya reformulasi KUHAP termasuk kewenangan penuntut umum yang dilaksanakan secara terpusat oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan penuntut umum dalam rancangan KUHAP dapat menjawab kelemahan Pasal 68 UU PPTPPU dan menghilangkan potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan penuntut umum yang saat ini dimiliki oleh dua lembaga yaitu KPK dan Kejaksaan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengem-bangan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bakti

Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Cetakan VII, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,

Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatul-lah, 2012, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Cetakan III, Yog-yakarta, Pustaka Pelajar

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persana Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan

Hu-kum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Yogyakarta,Genta Publishing


(16)

Basuki Minarno, 2010, Penyalahgunaan We-wenang dalam Pengelolaan Keuan-gan Daerah yang berimplikasi Tin-dak Pidana Korupsi, Cetakan III, Surabaya, Laksbang Mediatama Marwan Effendy, 2012, Sistem Peradilan

Pidana : Tinjauan Terhadap Beber-apa Perkembangan Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta, Referensi

Moh. Hatta, 2009, Beberapa Masalah Pen-egakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, Cet. I, Yogyakarta, Penerbit Liberty

Muhammad Yusuf Et.All, 2011, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pember-antasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, The Indonesia Neth-erlands National Legal Reform Pro-gram (NLRP)

Modul E-Learning 3 Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Ter-orisme, Bagian 9 : Penuntutan, Penegakan Hukum, Jakarta, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK)

Hesti Armiwulan Sochmawardiah, 2013, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM : Studi tentang Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa, Cetakan ke I, Yogyakarta, Genta Publishing Soedikno Mertokusumo, 2012, Teori

Hu-kum, Cetakan II, Yogyakarta, Ca-haya Atma Pustaka,

Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Cetakan I, Bandung, Alfabeta

M. Yahya Harahap, 2014, Pembahasan Per-masalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Ce-takan XV, Jakarta, Sinar Grafika, Adrian Sutedi, , 2008, Tindak Pidana

Pencu-cian Uang, Cetakan I, Bandung Ci-tra Aditya Bakti

Azis Syamsuddin, 2014, Tindak Pidana Khusus, Cetakan IV, Jakarta, Sinar Grafika

Ivan Yustiavandana Et.All., 2010, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Cetakan I, Bogor Ghalia In-donesia


(1)

tidak memiliki kewenangan untuk

melaku-kan penuntutan terhadap tindak pidana

pencucian melainkan hanya untuk tindak

pidana korupsi. Pasal 68 UU PPTPPU tidak

menyebutkan lembaga yang berwenang

se-bagai penuntut umum dalam tindak pidana

pencucian uang dan tidak menentukan lain

selain daripada apa yang telah ditentukan

dalam KUHAP, maka berdasarkan asas Lex

Specialis Derogat Legi Generali, ketentuan

dalam KUHAP tetap berlaku dan

lemba-ga yang berwenang melakukan

penuntu-tan tindak pidana pencucian uang adalah

penuntut umum pada Kejaksaan Republik

Indonesia.

b. Implikasi Yuridis berdasarkan

Sinkro-nisasi Vertikal

Peraturan perundang-undangan

ha-rus dipandang sebagai satu kesatuan, oleh

karenanya antar peraturan

perundang-undangan harus sinkron secara vertikal

maupun horizontal. Konsep penuntutan

tindak pidana pencucian uang dan tindak

pidana korupsi harus selaras dengan

per-aturan yang secara hirarki berada di bawah

UU PPTPPU atau peraturan yang menjadi

pedoman teknis pelaksanaan kewenangan

penuntut umum dalam UU PPTPPU.

Seb-agai pendukung penerapan UU PPTPPU,

beberapa lembaga khususnya Kejaksaan

menerbitkan pedoman dalam penegakan

hukum tindak pidana pencucian uang

an-tara lain :

1. Surat Edaran Jampidum Nomor

B-689/E/EJP/12/2004 Tanggal 31

De-sember 2004 tentang Pola Penanganan

dan Penyelesaian Tindak Pidana

Pencu-cian Uang.

2. Surat Jampidsus Nomor : B-2107/F/

Fd.1/10/2011 tanggal 11 Oktober 2011

tentang Penyidikan Perkara Tindak

Pidana Pencucian Uang dengan Tindak

Pidana Asal Tindak Pidana Korupsi

Kedua surat edaran tersebut menegaskan

bahwa penuntutan tindak pidana

pencu-cian uang dengan tindak pidana korupsi

di-laksanakan secara kumulatif. Muatan surat

edaran dari pihak Kejaksaan dapat

mendu-kung proses persidangan cepat, sederhana

dan biaya ringan karena memproses tindak

pidana pencucian uang bersamaan dengan

tindak pidana asalnya. Akan tetapi muatan

surat edaran ini jelas tidak sinkron/selaras

dengan peraturan perundang-undangan

diatasnya yaitu UU PPTPPU, UU KPK

dan KUHAP yang tidak memungkinkan

sebagian tindak pidana korupsi diproses/

dituntut bersamaan dengan tindak pidana

asalnya. Penuntutan terhadap sebagian

tin-dak pidana korupsi merupakan

kewenan-gan KPK sedangkan penuntutan terhadap

tindak pidana pencucian uang merupakan

kewenangan Kejaksaan, sehingga

kemung-kinan penuntutan tindak pidana pencucian

dengan tindak pidana asal digabungkan

se-cara kumulatif menjadi tertutup. Eksistensi

UU PPTPPU yang lebih tinggi dalam

hi-rarki peraturan perundang-undangan juga

mengesampingkan keberlakuan surat

edar-an Kejaksaedar-an berdasarkedar-an asas Lex Superior

Derogat Legi Inferiori.

Selain Kejaksaan Republik Indonesia,

Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi

Keuangan (PPATK) yang berperan sebagai

pelapor dan pelaksana penyelidikan tindak

pidana pencucian uang juga menerbitkan

pedoman penegakan hukum terhadap

tin-dak pidana pencucian uang yang

dipub-likasikan melalui Modul E-Learning 3 Anti

Pencucian Uang dan Pencegahan

Penda-naan Terorisme. Dalam modul tersebut

disebutkan bahwa penuntut umum adalah

termasuk penuntut umum pada KPK

ber-dasarkan Pasal 51 ayat (1) UU KPK

24

. Pasal

51 ayat (1) UU KPK yang dimaksud dalam

modul ini berbunyi

“Penuntut adalah penuntut umum pada

Komisi Pemberantasan Korupsi yang

di-angkat dan diberhentikan oleh Komisi

24 Modul E-Learning 3 Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Bagian 9 : Penuntu-tan, Penegakan Hukum, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta, hlm.1.


(2)

Pemberantasan Korupsi”.

Pasal 51 ayat (1) sama sekali tidak

menunjukan adanya kewenangan penuntut

umum KPK untuk melakukan penuntutan

terhadap tindak pidana pencucian uang.

Dalam Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 6 UU

KPK justru menegaskan bahwa KPK

me-miliki kewenangan secara limitatif untuk

melakukan penuntutan hanya terhadap

tin-dak pidana korupsi. Maka berdasarkan asas

Lex Superior Derogat Legi Inferiori, modul

penegakan hukum yang diterbitkan oleh

PPATK tidak berlaku dan tidak dapat

dija-dikan pedoman penegakan hukum karena

bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU KPK

dan KUHAP.

Implikasi yuridis ini akan dirasakan

oleh aparat penegak hukum, khususnya

penyidik dan hakim pemeriksa perkara.

Penyidik sejak awal harus menyerahkan

hasil penyidikan kepada lembaga yang

ber-wenang melakukan penuntutan tindak

pidana pencucian uang. Apabila kasus

tin-dak pidana pencucian uang bersumber dari

tindak pidana asal korupsi, maka penyidik

dari kepolisian harus berkoordinasi

den-gan penyidik KPK untuk menelusuri

sum-ber uang, sementara penyidik KPK pada

saat itu juga harus menyelesaikan hasil

pe-nyidikan untuk penuntutan tindak pidana

korupsinya. Apabila koordinasi yang baik

antara penyidik KPK dengan penyidik

Ke-polisian dapat terlaksana, maka akan dapat

memudahkan proses penyidikan kedua

tin-dak pidana tersebut. Hasil penyidikan yang

telah lengkap masih harus dilimpahkan

ke-pada penuntut umum masing-masing

tin-dak pidana yaitu penuntut umum KPK dan

penuntut umum Kejaksaan untuk

disidang-kan secara terpisah.

C. Alternatif Formulasi Kewenan-gan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Di Masa Men-datang

Kelemahan formulasi Pasal 68 UU

PPTP-PU dan implikasi yuridis yang muncul

kare-nanya dapat diatasi dengan perumusan

al-ternatif formulasi kewenangan penuntut

umum yang mengakomodir perkembangan

hukum acara pidana di masa mendatang.

Alternatif formulasi perlu disusun dalam

kerangka pembangunan sistem hukum

nasional agar selaras dengan output yang

hendak dicapai pemerintah sebagaimana

tercantum dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional Indonesia. Arah

Pembangunan Jangka Panjang Indonesia

Tahun 2005-2025 di bidang hukum adalah

mewujudkan Indonesia yang demokratis

berlandaskan hukum pada pokoknya

me-lalui beberapa langkah antara lain (1)

pem-bangunan hukum yang meliputi

pemban-gunan materi hukum, struktur hukum dan

sarana serta prasarana hukum, kemudian

(2) pembangunan materi hukum meliputi

perencanaan hukum, pembentukan hukum

penelitian dan pengembangan hukum.

25

Demikian halnya dengan hukum acara

pidana Indonesia yang memerlukan

pem-baruan. Hukum acara pidana yang telah

ada sebagaimana diatur dalam KUHAP

masih terus mengalami perkembangan

me-lalui pengaturan hukum acara pidana

khu-sus untuk tindak pidana tertentu. Namun

upaya melengkapi KUHAP melalui

undang-undang tersendiri justru kadang

menimbul-kan tumpang tindih sehingga ketentuan

tersebut mengalami hambatan dalam

pener-apannya, sebagaimana juga terjadi dalam

penegakan hukum terhadap tindak pidana

pencucian uang. Hambatan tersebut dapat

diatasi melalui penerapan sistem peradilan

pidana terpadu yang diupayakan

pember-lakuannya melalui Rancangan KUHAP.

Reformulasi KUHAP sendiri telah

dicanan-gkan dalam Program Legislasi Nasional

Ta-hun 2015 – 2019 dengan target

penyelesa-ian pada tahun 2016.

25 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Ta-hun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Pan-jang Nasional Tahun 2005 – 2025, penjelasan hlm.40


(3)

Dalam sistem peradilan pidana

Indo-nesia, penuntutan dilakukan oleh seorang

jaksa penuntut umum. Pada awal

diber-lakukannya hukum acara pidana nasional,

kewenangan penuntut umum hanya

dimil-iki oleh Kejaksaan Republik Indonesia.

Na-mun dalam perkembangannya, ada lembaga

lain yang diberikan kewenangan penuntut

umum selain Kejaksaan Republik

Indone-sia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dalam kasus-kasus korupsi tertentu.

Alternatif yang pertama adalah

dengan merumuskan formulasi

kewenan-gan penuntut umum menjadi kewenankewenan-gan

KPK. Alternatif tersebut muncul karena

konsep penyidikan tindak pidana

pencu-cian uang sebagaimana diatur dalam Pasal

74 dan 75 UU PPTPPU menjadi

kewenan-gan penyidik tindak pidana asal. Maka

dengan mengadaptasi konsep yang sama,

kewenangan penuntut umum juga dapat

ditegaskan menjadi milik penuntut umum

yang berwenang melakukan penuntutan

terhadap tindak pidana asal. Penuntutan

tindak pidana asal dan tindak pidana

pen-cucian uang digabung serta dilaksanakan

oleh penuntut umum tindak pidana asal

(dalam hal ini adalah KPK). Selain menjadi

penuntut umum tindak pidana asal, KPK

juga sebelumnya telah berperan sebagai

pe-nyelidik dan penyidik tindak pidana asal

se-hingga telah memahami kronologis perkara

dan memiliki alat-alat bukti pendukung

perkara tersebut.

Kendala yang mengganjal penanganan

gabungan tindak pidana korupsi sesuai

Pas-al 11 UU KPK dan tindak pidana pencucian

uang oleh KPK adalah belum adanya

keten-tuan dalam UU PPTPPU yang menentukan

bahwa penuntut umum yang dimaksud

un-tuk penggabungan kasus demikian adalah

KPK. Terlebih lagi dalam ketentuan Pasal

71 ayat (2) dan Pasal 72 ayat (5) UU

PPTP-PU justru mengindikasikan/menyatakan

secara implisit bahwa penuntut umum

yang dimaksud dalam UU PPTPPU adalah

penuntut umum dari Kejaksaan Republik

Indonesia. Sesuai ketentuan Pasal 71 ayat

(2) dan Pasal 72 ayat (5), KPK nantinya

harus mengajukan Surat Permintaan

Ket-erangan dan Permintaan Pemblokiran

ke-pada Jaksa Agung/Kepala Kejaksaan Negeri

atau Kepala Kejaksaan Tinggi. Untuk dapat

menetapkan KPK sebagai pihak yang

ber-wenang melakukan penuntutan terhadap

gabungan tindak pidana korupsi sesuai

Pas-al 11 UU KPK dan tindak pidana pencucian

uang maka harus diadakan perubahan

for-mulasi kewenangan penuntut umum dalam

dua undang-undang sekaligus, yaitu UU

PPTPPU dan UU KPK agar dapat

mengako-modir kemungkinan penentuan KPK

men-jadi penuntut umum untuk tindak pidana

pencucian uang atau gabungan antara

tin-dak pidana pencucian uang dengan tintin-dak

pidana asal korupsi.

Alternatif yang kedua adalah dengan

memfokuskan pada pemusatan

kewenan-gan penuntut umum pada sebagaimana

dimuat dalam rancangan KUHAP.

Rancan-gan KUHAP berupaya mengakomodir

ke-tentuan hukum acara pidana yang bersifat

khusus dan tersebar dalam undang-undang

tersendiri menjadi satu kodifikasi yang

lengkap dan menyeluruh. Sehubungan

dengan permasalahan kewenangan

penun-tut umum dalam tindak pidana pencucian

uang dan tindak pidana asal yang dimiliki

oleh dua lembaga terpisah sehingga tidak

memungkinkan penggabungan

penuntu-tan, penyelesaiannya dapat terlihat dalam

rancangan KUHAP, Pasal 49 ayat (2) yang

berbunyi :

“beberapa tindak pidana dapat dituntut

dalam satu surat dakwaan tanpa

mem-perhatikan apakah merupakan suatu

gabungan dari pidana umum atau khusus

atau ditetapkan oleh undang-undang

khu-sus sepanjang memenuhi ketentuan ayat

(1), kecuali dalam kompetensi pengadilan

khusus.”

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dalam Pasal 49 sebagai berikut :


(4)

“apabila pada waktu yang sama atau

hampir bersamaan penuntut umum

menerima beberapa perkara, penuntut

umum dapat melakukan penggabungan

perkara dan membuatnya dalam satu

su-rat dakwaan, dalam hal :

a. beberapa tindak pidana dilakukan oleh

seseorang yang sama dan kepentingan

pemeriksaan tindak menjadikan

ha-langan terhadap penggabungannya;

b. beberapa tindak pidana bersangkut

paut satu dengan yang lain; atau

c. beberapa tindak pidana ada

hubungan-nya satu dengan yang lain dan

peng-gabungan tersebut diperlukan untuk

kepentingan pemeriksaan.”

Ketentuan Pasal 49 Rancangan KUHAP

mengindikasikan bahwa penuntutan

di-laksanakan secara terpusat dan terpadu

untuk seluruh tindak pidana baik yang

bersifat umum maupun khusus. Ketentuan

ini menunjukan tidak adanya pembedaan

penuntut umum yang tersebar pada

lemba-ga berbeda seperti saat ini, yaitu KPK

khu-sus untuk tindak pidana korupsi tertentu

dan Kejaksaan untuk tindak pidana umum

serta tindak pidana korupsi lainnya.

Kon-sep demikian berkaitan erat dengan sistem

peradilan pidana terpadu yang diharapkan

dapat tercapai melalui pemberlakuan

ran-cangan KUHAP.

Pemusatan penuntutan untuk seluruh

tindak pidana pada kejaksaan juga dapat

mendukung tercapainya prinsip peradilan

yang cepat, sederhana dan biaya ringan

karena penggabungan penuntutan

tin-dak pidana pencucian uang dengan tintin-dak

pidana asal, dan pelaksanaan kewenangan

penuntut umum lainnya tidak lagi

ter-hambat oleh perbedaan lembaga penuntut

umum.

Apabila kedua alternatif diatas di

band-ingkan, maka akan tampak bahwa untuk

mewujudkan alternatif formulasi

kewenan-gan penuntut umum tindak pidana

pen-cucian menjadi milik KPK memerlukan

tahapan perubahan beberapa peraturan

perundang-undangan, yaitu perluasan

ke-wenangan penuntut umum KPK dalam UU

KPK ditambah ruang lingkupnya menjadi

kewenangan untuk melakukan

penuntu-tan terhadap tindak pidana pencucian uang

yang bersumber dari tindak pidana korupsi.

Selain itu diperlukan adanya perubahan

terhadap pasal 71 dan 72 UU PPTPPU yang

mengindikasikan bahwa penuntut umum

dalam UU PPTPPU adalah penuntut umum

Kejaksaan.

Hal ini ditujukan agar terjadi

sinkronisa-si struktural/antar lembaga maupun sinkronisa-

sinkro-nisasi substansial yang mengatur mengenai

kewenangan penuntut umum tindak pidana

pencucian uang. Sementara alternatif

ked-ua, yaitu alternatif formulasi kewenangan

penuntut umum secara terpusat sesuai

ran-cangan KUHAP maka tahapan

sinkronisa-si struktural dan sinkronisa-sinkronisasinkronisa-si substansinkronisa-sial

yang diperlukan telah terangkum

didalam-nya, tanpa perlu melakukan perubahan

ter-hadap UU PPTPPU.

Tahapan yang diperlukan adalah

den-gan melengkapi rancanden-gan KUHAP dan

mengesahkannya serta mencabut

kewenan-gan penuntut umum tindak pidana

korup-si yang saat ini dimiliki KPK berdasarkan

UU KPK. Formulasi kewenangan penuntut

umum dalam KUHAP akan mendukung

terwujudnya sistem peradilan pidana

ter-padu dan terwujudnya kodifikasi hukum

acara pidana nasional yang lengkap dan

bersifat menyeluruh. Sehingga tumpang

tindih maupun perebutan kewenangan

an-tar lembaga penegak hukum yang timbul

akibat pengaturan khusus hukum acara

pidana dalam undang-undang tersendiri

dapat diminimalisasi. Maka dapat

disim-pulkan bahwa alternatif formulasi yang

pal-ing tepat untuk mengatasi permasalahan

sebagaimana dimaksud dalam penelitian

ini adalah alternatif formulasi kewenangan

penuntut umum secara terpusat

sebagaima-na diatur dalam rancangan KUHAP.


(5)

Peradilan yang cepat dan sederhana serta

efektif menjadi titik tekan KUHAP dan UU

PPTPPU. Pemusatan pelimpahan

kewenan-gan penuntut umum untuk seluruh tindak

pidana pada Kejaksaan dapat menjawab

kelemahan Pasal 68 UU PPTPPU.

Ke-wenangan pembuatan surat dakwaan dan

pelimpahan perkara untuk tindak pidana

asal korupsi dan tindak pidana pencucian

uang yang saat ini dimiliki oleh dua

lemba-ga berbeda yaitu KPK dan Kejaksaan dapat

dieliminir dengan pemusataan kewenangan

untuk melaksanakan penuntutan kepada

Kejaksaan. Begitu juga dengan

inkonsisten-si yang dikandung dalam Pasal 71 dan Pasal

72 dengan Pasal 68 UU PPTPPU. Dengan

sendirinya potensi terjadinya tumpang

tin-dih kewenangan penuntut umum yang saat

ini dimiliki oleh dua lembaga yaitu KPK

dan Kejaksaan Republik Indonesia akan

dapat diminimalisasi.

SIMPULAN

Kelemahan dari formulasi kewenangan

penuntut umum dalam Pasal 68

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) jika

dikaitkan dengan peraturan

perundang-undangan terkait dapat terjadi pada tahapan

pembuatan surat dakwaan kumulatif

antara tindak pidana asal korupsi dengan

tindak pidana pencucian uang, tahapan

pelimpahan perkara, tahapan pemblokiran

harta kekayaan serta tahapan kewenangan

permintaan keterangan tertulis tentang

harta kekayaan.

Implikasi yuridis kewenangan penuntut

umum menurut Pasal 68 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang berdasarkan sinkronisasi

horizontal peraturan perundang-undangan

lainnya dikaitkan dengan asas Lex Specialis

Derogat Legi Generali, menjadi jelas bahwa

penuntut umum untuk tindak pidana

pencucian uang adalah Kejaksaan dan

penuntut umum untuk tindak pidana asal

korupsi tertentu adalah KPK berdasarkan

UU KPK. Implikasi yuridis berdasarkan

sinkronisasi vertikal peraturan

perundang-undangan lainnya dikaitkan dengan asas

Lex Superior Derogat Legi Inferiori, maka

surat edaran Jaksa Agung dan aturan

teknis/modul yang diterbitkan PPATK

tidak berlaku karena bertentangan dengan

Pasal 68 UU PPTPPU.

Alternatif formulasi kewenangan

penuntut umum dalam tindak pidana

pencucian uang di masa mendatang harus

sejalan dengan arah Pembangunan Jangka

Panjang Indonesia dan program legislasi

nasional yang menghendaki adanya

reformulasi KUHAP termasuk kewenangan

penuntut umum yang dilaksanakan

secara terpusat oleh Kejaksaan Republik

Indonesia. Kewenangan penuntut umum

dalam rancangan KUHAP dapat menjawab

kelemahan Pasal 68 UU PPTPPU dan

menghilangkan potensi terjadinya tumpang

tindih kewenangan penuntut umum yang

saat ini dimiliki oleh dua lembaga yaitu

KPK dan Kejaksaan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek

Kebijakan Penegakan dan

Pengem-bangan Hukum Pidana, Bandung,

PT Citra Aditya Bakti

Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi

Negara,

Cetakan VII, Jakarta, PT

RajaGrafindo Persada,

Teguh Prasetyo & Abdul Halim

Barkatul-lah, 2012,

P

olitik Hukum Pidana :

Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan

Dekriminalisasi, Cetakan III,

Yog-yakarta, Pustaka Pelajar

Soerjono Soekanto, 2004,

F

aktor-faktor yang

Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Jakarta, PT RajaGrafindo Persana

Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan

Hu-kum (Suatu Tinjauan Sosiologis),

Yogyakarta,Genta Publishing


(6)

Basuki Minarno, 2010, Penyalahgunaan

We-wenang dalam Pengelolaan

Keuan-gan Daerah yang berimplikasi

Tin-dak Pidana Korupsi,

Cetakan III,

Surabaya, Laksbang Mediatama

Marwan Effendy, 2012,

Sistem Peradilan

Pidana : Tinjauan Terhadap

Beber-apa Perkembangan Hukum Pidana,

Cetakan I, Jakarta, Referensi

Moh. Hatta, 2009,

B

eberapa Masalah

Pen-egakan Hukum Pidana Umum dan

Pidana Khusus, Cet. I, Yogyakarta,

Penerbit Liberty

Muhammad Yusuf Et.All, 2011, Ikhtisar

Ketentuan Pencegahan dan

Pember-antasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, Jakarta, The Indonesia

Neth-erlands National Legal Reform

Pro-gram (NLRP)

Modul E-Learning 3 Anti Pencucian Uang

dan Pencegahan Pendanaan

Ter-orisme, Bagian 9 : Penuntutan,

Penegakan Hukum, Jakarta, Pusat

Pelaporan Analisis dan Transaksi

Keuangan (PPATK)

Hesti Armiwulan Sochmawardiah, 2013,

Diskriminasi Rasial Dalam Hukum

HAM : Studi tentang Diskriminasi

terhadap Etnis Tionghoa, Cetakan

ke I, Yogyakarta, Genta Publishing

Soedikno Mertokusumo, 2012, Teori

Hu-kum,

Cetakan II, Yogyakarta,

Ca-haya Atma Pustaka,

Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum

Penitensier Indonesia, Cetakan I,

Bandung, Alfabeta

M. Yahya Harahap, 2014, Pembahasan

Per-masalahan dan Penerapan KUHAP

(Penyidikan dan Penuntutan),

Ce-takan XV, Jakarta, Sinar Grafika,

Adrian Sutedi, , 2008, Tindak Pidana

Pencu-cian Uang, Cetakan I, Bandung

Ci-tra Aditya Bakti

Azis Syamsuddin, 2014, Tindak Pidana

Khusus

,

Cetakan IV, Jakarta, Sinar

Grafika

Ivan Yustiavandana Et.All., 2010,

T

indak

Pidana Pencucian Uang di Pasar

Modal, Cetakan I, Bogor Ghalia

In-donesia