KEBIJAKAN FORMULASI PENEGAKAN HUKUM PIDA

KEBIJAKAN FORMULASI PENEGAKAN HUKUM PIDANA SERTA HAK
ASASI MANUSIA PADA PEMANFAATAN LINGKUNGAN DAN SUMBER
DAYA ALAM OLEH PERUSAHAAN MULTINASIONAL
Oleh : Benny Sumardiana, S.H., M.H.
(Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang)
ABSTRAK
Modernisasi dan Pembangunan telah membawa banyak bencana bagi lingkungan hidup
dan kemanusiaan, dalam hal ini, lingkungan hidup ditafsirkan secara konvensional.
Lingkungan hidup dianggap sebagai obyek. Perspektif ini memandang dan menempatkan
lingkungan hidup sebagai obyek yang berkonotasi komoditi dan dapat dieksploitasi untuk
semata menunjang pembangunan. Lingkungan Hidup sebagai sebuah sistem tentu tunduk
pada sebuah sistem hukum alam yang ditakdirkannya. Sistem tersebut dapat berlangsung
dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil. Sebagai
sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang
terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini, dan kehidupan masa yang akan
datang.
Esensi lingkungan hidup merupakan kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai
kehidupan yang ada di dalamnnya. Tata dan nilai yang menjaga keberlanjutan
lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan manusia
atas Hak Atas Lingkungan serta Sumber Daya Alam saat ini dan generasi yang akan
datang. Demikian pula yang perlu dipertegas adalah Lingkungan hidup harus dipandang

dan diperlakukan sebagai subyek, dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan sematamata untuk pertumbuhan pembangunan.
Ata s nama ’pembangunan’ dan ’perdagangan bebas’, pemerintah dan perusahaanperusahan transnasional, secara terus-menerus menyerobot tanah, air, hutan, dan
mineral. Semua ini mendorong pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan, seperti
penyabotan atas tanah, penggusuran, polusi juga pengrusakan sumberdaya alam, dan
hal-hal buruk lainnya. Ketidakteraturan yang dilahirkan tersebut menyebabkan
pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam menjadi tidak ramah pada lapisan
masyarakat tertentu yang juga melahirkan pelanggaran terhadap hak atas sumber daya
alam yang juga dimiliki oleh tiap individu di Indonesia. Diperlukan sebuah formulasi
khusus yang dapat mengatur secara tegas sehingga nantinya eksploitasi pada lingkungan
dan sumber daya alam dapat ramah pada semua lapisan khususnya generasi di masa
mendatang.

Kata kunci : Sumber Daya Alam, kebijakan formulasi, Eksploitasi, lingkungan,
Perusahaan Multinasional


Artikel ini telah di publish dan disajikan dalam Seminar Nasional Bertema “Kesiapan Sistem Hukum
Sumber Daya Alam Indonesia Dalam Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”, yang
diselenggarakan oleh Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada tanggal 26 November 2014 di Hotel
GrasiaSemarang.


Pendahuluan
Negara Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Kekayaan yang
terkandung didalamnya dapat mencukupi semua kebutuhan masyarakat. Indonesia yang
berada di garis katulistiwa wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke, ada
belasan ribu pulau yang dihubungkan dengan lautan luas, membentang pula pegunungan,
perbukitan dengan tingkat kesuburan tanahnya yang tinggi. Dalam sejarahnya masyarakat
Indonesia memang menggantungkan hidupnya kepada alam, pada kehidupan masyarakat
tradisionalnya mereka membagi pekerjaan sebagai petani dan nelayan menyesuaikan
tempat mereka tinggal, terlihat betapa pentingnya Sumber Daya Alam (SDA) bagi
masyarakat Indonesia.
Pada umumnya, sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi SDA
yang dapat diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui
adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya tidak dieksploitasi
berlebihan. Tumbuhan, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air adalah
beberapa contoh SDA terbaharukan. Walaupun jumlahnya sangat berlimpah di alam,
penggunannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus berkelanjutan. SDA tak
dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya terbatas karena penggunaanya lebih
cepat daripada proses pembentukannya dan apabila digunakan secara terus-menerus akan
habis.

Berjalannya perekonomian modern yang mulai dianut masyarakat Indonesia menuntut
masyarakat untuk meninggalkan pola pikir perekonomian tradisional yang hanya
mengambil dari alam apa yang dibutuhkan saja. Kini dengan dianutnya pola
perekonomian modern maka pola pikir tersebut bergeser, saat ini masyarakat selain
mengambil apa yang dibutuhkan dari alam, masyarakat juga dituntut untuk menyimpan
juga menjual apa yang dibutuhkan pasar dari alam, hal tersebut menuntut eksploitasi dan
eksplorasi berlebih pada alam Indonesia.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah eksplorasi untuk kebutuhan pasar tidak
dapat dilaksanakan dengan cara tradisional karenanya pemegang modal memegang peran
besar dalam pelaksanaan eksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan pasar ini. Kebutuhan
pasar akan produk yang dihasilkan oleh alam memang tidak pernah berkurang bahkan

kecenderungannya selalu meningkat, hal ini menyebabkan seringnya terjadi eksploitasi
tanpa mempertimbangan kelestarian alam khusus yang dilakukan oleh perusahaan besar
pemilik modal.
Efek yang ditimbulkan dalam eksploitasi tanpa mempertimbangkan kelestarian
lingkungan ini adalah tentunya kerusakan alam yang berdampak besar bagi masa depan,
kemudian kerusakan yang dimunculkan akan menyebabkan kesulitan bagi masyarakat
yang masih menggunakan cara tradisional dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi
sumberdaya alam yang ada di Indonesia, dan hal tersebut merugikan hak asasi manusia

yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang pada dasarnya paling berhak atas kekayaan
yang ada di alam Indonesia.

Hak Asasi Manusia Dalam Eksploitas Dan Ekspolrasi Sumber Daya Alam Juga
Lingkungan Indonesia
Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh manusia bersama makhluk hidup
lainnya. Manusia dan makhluk hidup lainnya tentu tidak berdiri sendiri dalam proses
kehidupan, saling berinteraksi, dan membutuhkan satu sama lainnya. Kehidupan yang
ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara teratur merupakan tatanan
ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting lingkungan hidup sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara parsial. Lingkungan hidup harus dipandang
secara holistik dan mempunyai sistem yang teratur serta diletakkannya semua unsur di
dalamnya secara setara.
Eksplorasi dan eksploitasi alam secara besar-besaran telah membawa banyak bencana
bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, dalam hal ini, lingkungan hidup ditafsirkan
secara konvensional. Lingkungan hidup dianggap sebagai obyek. Perspektif ini
memandang dan menempatkan lingkungan hidup sebagai obyek yang berkonotasi
komoditi dan dapat dieksploitasi untuk semata menunjang pembangunan. Skala
pragmatisme serta pendekatan dan tujuan yang didominasi oleh metodologi positivisme
atas esensi lingkungan hidup telah menjadi racun bagi skala kerusakan dan dampak

bawaan lingkungan hidup. Sementara, pemanfaatan lingkungan serta sumber daya alam
yang terdapat didalamnya juga merupakan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat di

Indonesia.
Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal
28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak

hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu,
hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk dijamin agar
terpenuhinya hak hidup manusia.
African Charter on Human and Peoples Rights dalam Pasal 21, ayat (1) menyatakan:

“Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka.
Hak ini dilaksanakan atas kepentingan eksklusif bangsa. Tidak dibenarkan suatu bangsa
merampas upaya penghidupannya sendiri.”

Jika mengacu pada rumusan “semua rakyat” yang disebutkan dalam piagam tersebut,
maka Hak masayarakat atas pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam dapat

dikatakan pula sebagai hak kolektif bangsa. Kata yang ditegaskan oleh piagam tersebut
mengandung dua hal penting dalam pemahaman hukum lingkungan hidup dan ekologi
iternasional, yaitu lingkungan hidup sebagai bagian wilayah suatu negara (under national
juridiction) serta lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan bangsa ( Nation global
environmental).

Sedangkan, dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, justifikasi internasional
menyangkut interaksi hak atas lingkungan dapat ditafsirkan menjadi HAM antara lain
dapat dilihat dalam: Pasal 1 ayat (2), Kovenan Internasional Hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya:
“Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka
sendiri, tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama
ekonomi

internasional

atas

dasar


prinsip

keuntungan

bersama

serta

hukum

internasional. Tidak dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupan rakyatnya
sendiri.”

Eksploitasi lingkungan hidup dan kesenjangan kebutuhan akan sumberdaya alam antar

negara, inter, dan antar-generasi, kaya dan miskin, penguasa dan yang dikuasai, pemilik
modal dan buruh, tuan tanah dan buruh tanah, akan menjadi masalah bagi keamanan
manusia (human security) di masa-masa yang akan datang tentunya juga melanggar hak
asasi manusia generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan yang bersumber dari
alam.

Eksploitasi dan eksplorasi oleh Perusahaan-perusahaan global yang didukung oleh
negara-negara maju dan kaya, seperti WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Kartel
utang, terutama IMF dan Bank Dunia. Atau perusahaan-perusahaan global raksasa,
seperti TNCs dan MNCs, selama ini adalah merupakan mesin utama pengeksploitasi
kekayaan yang dihisap dari tempat-tempat strategis di Indonesia. Kini, kekuasaan
perusahaan Global tersebut telah menyingkirkan masyarakat asli Indonesia sendiri yg
masih menggunakan cara tradisional.
Proses ekspoitasi dan eksplorasi kekayaan alam di Indonesia ini satu sisi merupakan
bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat indonesia secara tradisional dan penghisapan
serta pemiskinan di sisi lainnya, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu
rancangan kebijakan politik-ekonomi yang kini kita kenal sebagai Neo-liberalisme dan
Globalisasi Kapitalis, yang berkembang secara massif dan mengakar berdasarkan
rekayasa modal.
Karena itu, bukan menjadi hal yang luar biasa bila kita berkunjung ke pelosok-pelosok
penjuru Tanah Air, dengan gampang kita akan bertemu dengan sejumlah masyarakat
Petani, masyarakat adat, nelayan yang mengakui, bahwa mereka telah hidup di bawah
garis kemiskinan karena mereka memang dimiskinkan. Atas nama pembangunan dan
kebutuhan ekonomi global, tanah dan sumber kehidupan mereka harus dirampas untuk
kepentingan perkebunan besar, pertambangan, industri kehutanan dan perkayuan,
bendungan besar, bahkan kawasan Konservasi alam.

Sistem

Sosial

Masyarakat

Sebagai

Faktor

Pendukung

Ketidakteraturan

Pengelolaan SDA
Pada dasarnya masyarakat Indonesia secara tradisional menggunakan proses pengelolaan
sumber daya alam yang baik. Sebut saja dalam bidang perkebunan khusus untuk pohon
jati, biasanya sebelum memanen satu pohon jati masyarakat terbiasa menanam dua

sampai tiga bibit pohon jati sebagai pengganti yang dipanen. Tidak hanya itu nelayan di

Indonesia juga melakukan hal yang sama dalam pengelolaan lingkungan alam, banyak
diantara mereka melakukan pembatasan eksploitasi terhadap ikan-ikan dilaut dengan
tidak menggunakan cara-cara yang salah seperti pukat harimau, bom ikan, bahkan
nelayan tradisional juga membatasi pengambilan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Pergeseran pengelolaan

Sumberdaya

Alam

secara tradisional

bergeser ketika

perekonomian modern mulai masuk dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat mulai
mengeksploitasi sumberdaya Alam untuk kebutuhan pasar tidak lagi untuk kebutuhan
kesehariannya. Ditambah dengan kebutuhan pasar global menyebabkan eksploitasi yang
dilakukan masyarakan terhadap alam pun belum bisa mencukupi, hal inilah yang
kemudian menyebabkan perusahaan besar yang didukung modal besar dan peralatan

modern akhirnya ikut masuk dan mengeksploitasi kekayaan alam. Eksploitasi yang
terjadi pada akhirnya tidak lagi memperhatikan alam dan lingkungan sekitarnya karena
yang menjadi pertimbangan utama adalah kekayaan keuntungan secara materiil.
Seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia sebut saja Masyarakat adat Amugme
dan Komoro Papua: Operasi pertambangan emas dan tembaga di wilayah ini berlangsung
lama dengan skala eksploitasi besar. Menyebabkan musnahnya ekologi wilayah setempat
di antaranya pencemaran sungai dan danau, hilangnya hutan dan keragaman hayati di
dalamnya, hujan asam, pengaruh terhadap kesuburan tanah. Hal lain juga menyebabkan
hilangnya keragaman budaya masyarakat setempat karena musnahnya ekosistem
masyarakat adat dan konflik horizontal di samping mengikutsertakan pelanggaran HAM
yang melibatkan militerisme.
Masyarakat adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah: Proyek lahan gambut 1.400.000
ha, menyebabkan musnahnya ekosistem di wilayah tersebut, seperti hutan dan kualitas air
serta spesies endemik lainnya. Proyek ini telah menyebabkan masyarakat kehilangan
sumber penghidupan di samping juga menyebabkan hancurnya relasi dan sistem sosial
budaya masyarakat adat. Proyek ini juga ditemukan dan dilakukan dengan sejumlah polapola intimidasi serta tindakan pelanggaran HAM.
Masyarakat Adat Kotopanjang: Proyek pembangunan DAM besar yang telah

memindahkan ribuan kepala keluarga (KK) dan menenggelamkan puluhan ribu hektare
(ha) areal perkampungan dan wilayah-wilayah produksi masyarakat. Proyek DAM ini
telah menyebabkan musnahnya ekosistem wilayah setempat karena perkampungan atau
kampung-kampung tradisional tersebut beserta sumberdaya alamnya, seperti hutan,
perkebunan, dan spesies di dalamnya, telah berubah menjadi waduk. Di samping itu,
menurut pengakuan masyarakat, proyek ini dilakukan dengan berbagai pola kekerasan
yang melibatkan aparat keamanan yang menyebabkan terjadinya sejumlah pelanggaran
HAM. Bahkan, proyek ini telah merubah habitat alami menjadi habitat buatan.
Masyarakat Dayak Kalimantan Barat: Proyek perkebunan sawit yang telah merubah
sistem pola-pola pertanian heterogen menjadi pola pertanian yang monokultur.
Perkebunan Kelapa sawit ini, juga menyebabkan hancurnya sistem sosial budaya serta
musnahnya sumber kehidupan, seperti hutan, kebun, sungai yang tercemar serta spesias
lokal yang menjadi penunjang ekonomi. Bahkan, karena perkebunan kelapa sawit ini,
setiap musim kemarau sering terjadi hama belalang yang menyerang kebun-kebun rakyat
juga tanah-tanah masyarakat yang dulunya subur saat ini mengalami vertilitas.
Masyarakat Adat Dayak Punan Kalimantan Timur: Tim Operasi HPH mencapai 20.000
ha, proyek ini menyebabkan terjadinya kerusakan ekologis, seperti hutan, tanah, dan
spesies endemik. Dampak lain, seperti banjir, krisis air bahkan pemukiman dan
perkebunan masyarakat digusur. Lebih parah lagi, operasi HPH ini menyebabkan
terjadinya tindak pelanggaran HAM, di antaranya intimidasi dan penangkapan
masyarakat secara sewenang-wenang.
Masyarakat Adat Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan: Proyek perkebunan coklat di
wilayah ini dimulai sejak zaman kolonial hingga saat ini. Pembangunan proyek
perkebunan tersebut, telah menyebabkan terjadinya perampasan tanah rakyat serta
pembabatan hutan masyarakat adat.

Proyek ini juga menyebabkan terjadinya

pelanggaran HAM, seperti pembunuhan, penangkapan, penembakan, dan sejumlah
intimidasi massal oleh aparat keamanan.
Masyarakat Adat Talang Mamak dan Pelalawan Industri dan Pabrik Pengelolaan Pulp
and Paper, melakukan Konversi hutan alam menjadi perkebunan kayu yang
menyebabkan rusaknya hutan dan hilangnya spesies ekologi lainnya, degradasi tanah,

banjir di wilayah hilir. Dampak lain adalah limbah, pemiskinan masyarakat karena
konversi dan perampasan lahan yang menyebabkan masyarakat tidak dapat lagi
memanfaatkan lahannya secara normal, juga terjadi sejumlah praktek pelanggaran HAM
atas masyarakat lokal (Diolah dari Data WALHI).
Padahal, esensi lingkungan hidup merupakan kehidupan yang melingkupi tata dan nilainilai kehidupan yang ada di dalamnnya. Tata dan nilai yang menjaga keberlanjutan
lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan manusia atas
Hak Atas Lingkungan saat ini dan generasi yang akan datang. Demikian pula yang perlu
dipertegas adalah Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek,
dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan semata-mata untuk pertumbuhan
pembangunan.
Lingkungan Hidup sebagai sebuah system yang tentunya tunduk pula pada sebuah sistem
hukum alam yang ditakdirkannya. Sistem tersebut dapat berlangsung dengan seimbang
jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil. Sebagai sebuah sistem
kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari
kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini, dan kehidupan masa yang akan datang. Itulah
esensi dari sumber-sumber kehidupan.
Dokumen draft prinsip deklarasi HAM dan Lingkungan Hidup pernah diajukan oleh
Zohra Ksentini ke Sidang Umum PBB pada tahun 1994, dengan jelas menunjukkan
bahwa potensi kerusakan lingkungan yang permanen telah memberikan dampak pada
menurunnya kualitas hidup manusia yang paling mendasar, karena itu pengrusakan
lingkungan hidup sangat berhubungan erat dengan pelanggaran HAM.
Dalam draft tersebut, ditegaskan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk merasa
aman dan sehat secara ekologis, di mana lingkungannya dapat menunjang kebutuhan
generasi saat ini tanpa mengorbankan hak atas generasi yang akan datang. Hak-hak yang
dimaksud dalam draft prinsip Deklarasi tersebut antara lain:
1. Bebas dari polusi, degradasi lingkungan, dan aktivitas yang dapat mempengaruhi
lingkungan atau mengancam jiwa, kesehatan atau pembangunan

yang

berkelanjutan.
2. Perlindungan dan preservasi udara, tanah, air, flora dan fauna, dan proses esensial

untuk dapat menjaga keutuhan keanekaragaman hayati dan ekosistem.
3. Memperoleh standard kesehatan yang tinggi.
4. Memperoleh makanan, minuman, dan lingkungan yang sehat dan aman.
5. Perumahan yang memadai, dan kondisi hidup yang aman, sehat dan tertata baik,
secara ekologis.
6. Akses ekologi terhadap alam dan konservasi dan penggunaan yang berkelanjutan
dari alam dan sumber dayanya.
7. Hak untuk menikmati kehidupan tradisional dan subsistensi terhadap indigenous
peoples. Tanpa sebuah lingkungan hidup yang layak dan bersih, hak-hak manusia

lainnya menjadi tak dapat dicapai atau tak ada artinya. Dukungan ini didasarkan
atas kesaling-tergantungan mendasar antara hak asasi manusia dan perlindungan
lingkungan hidup.
Masyarakat harus bisa melepaskan diri dari jeratan perekonomian global yang
mendorong terjadinya eksploitasi yang tidak mempertimbangkan kondisi alam untuk
diwariskan pada generasi masa depan. Pola pemikiran yang terjebak pada perekonomian
modern menjadi begitu sederhana, masyarakat akan berpikiran bahwa apa yang sudah
terlanjur terjadi maka harus diteruskan walaupun justru akan menambah dampak yang
buruk dalam kondisi alam. Masyarakat justru harus berpikir kearah sebaliknya dengan
menentang dan kembali kepada konsep tradisional dalam memanfaatkan alam yang justru
sesuai dengan filosofi hidup masyarakat Indonesia. Dengan begitu Hak Asasi Manusia
generasi masa depan bangsa Indonesia atas pemanfaatan Sumber Daya Alam tetap
terjamin.

Kebijakan Formulasi pada penegakan Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia
dalam Pengelolaan Lingkungan Dan Sumber Daya Alam Oleh Perusahaan
Multinasional
Permasalahan Perusahaan Multinasional sebagai subjek hukum pidana tidak lepas dari
aspek hukum perdata. Dalam hukum perdata orang perseorangan bukanlah satu-satunya
subjek hukum. Hal ini disebabkan masih ada subjek hukum lain yang memiliki hak dan
dapat melakukan perbuatan hukum sama seperti orang perseorangan. Pandangan seperti

ini berbeda dengan KUHP yang hanya mengenal orang perseorangan sebagai subjek
hukum.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan manusia, korporasi juga
berkembang menjadi lebih kompleks. Korporasi tidak lagi seperti dulu yang masih
menggunakan sistem yang sederhana. Berbagai sistem dan metode dalam menjalankan
korporasi terus dikembangkan dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Dewasa ini korporasi yang masuk dalam kategori perusahaan raksasa atau perusahaan
multinasional sudah banyak berkembang di berbagai negara. Mereka tidak hanya
membangun imperium di negara asal, tetapi juga di negara-negara lain terutama negara
berkembang seperti Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pada tahun 1978, dua perusahaan terbesar di Amerika Serikat yaitu General Motor dan
Exxon masing-masing sudah memiliki nilai penjualan melebihi 60 miliar dollar, suatu
jumlah yang jauh melebihi total pendapatan dari negara bagian Amerika Serikat yang
manapun dan kebanyakan negara di dunia.(Sutan Remi Sjahdeini, 2006:2) Data tersebut
menunjukkan betapa besar kekuatan modal korporasi yang bertaraf multinasional pada
saat itu.
KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana
perusahaan dalam arti belum mengenal perushaan sebagai subjek tindak pidana, namun
beberapa undang-undang khusus di luar KUHP telah mengenal perusahaan sebagai
subjek tindak pidana selain orang. Beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang
telah mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana antara lain, Undang-Undang
Darurat No. 17 tahun 1951 Tentang Penimbunan Barang yang merupakan undangundang positif pertama yang menggunakan prinsip bahwa korporasi dapat menjadi pelaku
tindak pidana.
Pada saat ini, peran perusahaan multinasional sudah sedemikian luasnya. Hampir seluruh
aspek kehidupan masyarakat melibatkan perusahaan multinasional di dalamnya. Dapat
dilihat bahwa perusahaan multinasional bergerak di berbagai bidang seperti industri
pertanian, perbankan, hiburan dan sebagainya yang melibatkan perputaran uang yang
tidak sedikit. Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peran perusahaan

multinasional saat ini menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tujuan
perusahaan multinasional untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya
mengakibatkan sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum, bahkan memunculkan
korban yang menderita kerugian. Walaupun demikian, banyak perusahaan multinasional
yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan perusahaan multinasional yang
bertentangan dengan hukum tersebut semakin meluas dan sulit dikontrol, termasuk dalam
mengksploitasi kekayaan alam Indonesia.
Pemanfaatan Sumber Daya Alam oleh perusahaan multinasional telah menyebabkan
kerusakan Lingkungan hidup di Indonesia, semakin hari semakin memprihatinkan.
Bahkan, telah membahayakan hidup dan kehidupan setiap makhluk hidup di dalam dan
sekitarnya. Termasuk kehidupan generasi di masa datang. Tulisan ini dikemukakan
untuk menambah pandangan dan pengamatan terhadap situasi kerusakan lingkungan
hidup, pada dua dasawarsa terakhir, di mana telah menimbulkan pencemaran, kerusakan
ekosistem, kelangkaan sumberdaya alam, dan bencana alam dan penulis menilai ini
sebagai bentuk atas pelanggaran HAM terutama bagi generasi masa mendatang yang juga
berhak menikmati apa yang saat ini ada di alam.
Kerusakan lingkungan hidup telah memberi efek yang menyengsarakan bagi kehidupan.
34% dari angka kemiskinan, 85% dari korban bencana alam, 3,5 juta hektar hutan yang
musnah serta sejumlah kekerasan dan konflik horisontal yang juga diakibatkan oleh
sengketa lingkungan hidup, telah menyebabkan 60% dari mereka menjadi pengungsi
pembangunan. Bahkan, dalam pengungsian tersebut, tidak jarang dari mereka berhadapan
dengan masalah baru menyebabkan menurunnya kualitas hidup mereka.
Krisis lingkungan sudah merambah pada krisis kedaulatan dan keadilan, dalam hal ini,
terhadap rakyat kecil telah terjadi proses penghilangan identitas hidup (etnocide).
Demikian pula, telah terjadi defisit narasi ketimpangan distribusi manfaat dari sumbersumber penghidupan bagi rakyat.
Selain disebabkan oleh perusahaan multinasioanal penyebab banyaknya persoalan dan
kerusakan lingkungan hidup di Indonesia juga didukung pada peraturan yang justru
dilahirkan oleh pemerintah sendiri yang seperti membuka keran eksploitasi oleh
perusahaan multi nasional, seperti:



Lahirnnya Kebijakan-kebijakan, seperti UU Perkebunan, UU SDA, UU
Perikanan, Perpu 1/2004, kelahirannya karena kepentingan politik serta
didominasi oleh semangat liberalisasi dan privatisasi;



Kebijakan yang dijalankan masih tumpang tindih dan bersifat egosentrisme,
karena tidak adanya prinsip pengelolaan yang berkesinambungan serta sikap yang
mengingkari TAP MPR No.IX/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam;



Kriminalisasi atas kebebasan berekspresi bagi masyarakat korban yang menuntut
hak-hak keadilan sosial dan ekologi.



Keterlibatan

aparat

militer

dalam

bisnis

Sumberdaya

Alam.

Banyak orang berpandangan pesimistik melihat sejumlah kebijakan yang telah
disahkan oleh parlemen periode 1999-2004. Paling tidak, ada tiga peraturan dan
perundang-undangan yang akan menambah parahnya kerusakan lingkungan hidup
di Indonesia, yaitu Perpu No 1/ 2004 pengganti undang-undang tentang
pertambangan di hutan lindung, UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
serta UU perkebunan.
Walaupun telah diakomodir di sejumlah undang-undang, jaminan atas pengelolaan
Sumber Daya Alam yang ramah akan Lingkungan, sepertinya hingga hari ini masih
belum maksimal. Karena, nyatanya konflik-konflik berbasis pengelolaan sumber daya
alam kerap kali terjadi. Penerapan berbagai kebijakan di bidang lingkungan hidup,
banyak yang ditemukan menyimpang atau tumpang tindih di antara ketentuan yang
berlaku. Karenanya memang diperlukan formulasi yang tepat dalam menegakkan hukum
atas perusahaan multinasional yang mengelola tanpa memperhatikan keberlangsungan
alam di masa depan.
Selanjutnya dalam Barda Nawawi Arief (2008:25) tataran sistem kebijakan hukum
pidana, tahap merumuskan atau memformulasikan suatu perundang-undangan hukum
pidana adalah tahap yang paling strategis, karena tahap formulasi adalah penegakan
hukum secara abstrak, karena kesalahan pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap
penegakan hukum selanjutnya yaitu penegakan hukum secara nyata (in concreto).
Penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih sulit dilakukan oleh
karena sulitnya pembuktian dan menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan

(Sutrisno, 2011:444-464). Upaya penegakan hukum lingkungan hidup melalui hukum
pidana adalah bagaimana tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan
dalam undang-undang yang sedikit banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa
sosial (social ngeneering) (Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005:253), yaitu yang meliputi
perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana, dan sanksi
(sanction) baik pidana maupun tata-tertib. Sesuai dengan tujuan yang tidak hanya sebagai
alat ketertiban, hukum lingkungan mengandung pula tujuan pembaharuan masyarakat
(social engineering). Hukum sebagai alat rekayasa sosial sangat penting dalam hukum
lingkungan.( Helmi, 2011:93-103)
Kita harus menyadari bahwa eksploitasi sumber daya alam secara berlebih-lebihan tanpa
memperhatikan aspek peran dan fungsi alam ini terhadap lingkungan dapat
mendatangkan berbagai macam bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kabut asap,
pemanasan global yang sangat merugikan masyarakat itulah mengapa begitu penting
adanya formulasi kebijakan hukum pidana dalam mencegah kerusakan yang lebih besar
dimasa depan.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan saran penal merupakan penal policy
atau penal-law enforcement policy, menurut Barda Nawawi Arief (2001:75)
fungsionalisasi/ operasionalisasinya dilakukan melalui beberapa tahap:
1. tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2. tahap aplikasi (kebijakan yudikatif);
3. tahap eksekusi (kebijakan administratif).
Tahap pertama yaitu tahap formulasi merupakan tahap paling strategis dari upaya
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal. Strategis dikarenakan
pada tahap inilah ditetapkan pedoman-pedoman bagi pelaksanaan tahap-tahap
selanjutnya, yaitu tahap aplikasi dan eksekusi. Dengan kata lain, kesalahan dalam
membuat suatu formulasi peraturan perundang-undangan maka akan berdampak negatif
bagi operasionalisasi dari aplikasi dan eksekusi peraturan tersebut. Tahap formulasi juga
disebut penegakan hukum in abstracto oleh badan legislatif sebagai lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan formulasi.
Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu dalam suatu bentuk
perundang-undangan. Kebijakan formulasi menurut Barda Nawawi Arief (1994:63)

adalah : “suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa
yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara bagaimana
melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu”.
Formulasi pertanggungjawaban pidana pada perusahaan tentu saja tidak cukup hanya
dengan menyebutkan perusahaan sebagai subjek tindak pidana saja, melainkan juga harus
menentukan aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan
sebuah upaya reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban
kejahatan perusahaan multinasional di masa yang akan datang.
Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan
perusahaan/korporasi antara lain meliputi ketentuan mengenai :
1. ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi;
2. siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan
korporasi;
3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi yang
berorientasi pada pemberian ganti kerugian kepada korban.
Formulasi mengenai ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir
kemungkinan korporasi melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang
dilakukannya. Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian yang diderita oleh
korban oleh korporasi, apabila korporasi yang dimaksud tidak dapat dijerat, dituntut, dan
dijatuhi pidana berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada.
Tahap kedua yaitu tahap aplikasi, dalam pelaksanaannya antara masyarakat serta aparatur
hukum harus memiliki komitmen bersama dalam melawan kejahatan oleh perusahaan
multinasional yang melakukan pengelolaan Sumber Daya Alam secara tidak
bertanggungjawab. Masyarakat tidak lagi dapat terbawa arus pada pengelolaan yang
dapat merusak alam, meskipun perusakan itu telah dilakukan atau diawali oleh
perusahaan besar. Masyarakat justru harus menjadi tembok terakhir pelindung Alam
Indonesia, karena bagaimanapun nantinya mereka pula lah yang akan menikmati alam
sebagai Hak-nya.
Diluar itu semua aparaturpun menjadi perhatian secara khusus, tindak pidana yang
mungkin muncul dalam sektor ini bisa menjadi bermacam-macam seperti korupsi,

gratifikasi, penyelewengan kekuasaan yang berujung pada pemberian izin eksploitasi dan
eksplorasi secara mudah kepada perusaan multinasional. Kekhawatiran itu dimunculkan
karena memang kita tahu bahwa perusahaan multinasional tersebut memiliki modal yang
sangat besar sehingga dapat melakukan apapun dengan modal tersebut.
Tahap ketiga atau tahap eksekusi, dalam tahap ini pemerintah dituntut untuk tegas dala
melaksanakan peraturan yang telah diformulasikan. Karena bagaimanapun sebagai
Negara hukum kita harus memiliki keberanian dalam menegakkan peraturan. Beberapa
waktu ini keputusan yang dibuat pemerintah dengan menenggelamkan kapal-kapal
perusahaan asing yang melakukan eksploitasi tanpa izin dan tentunya tanpa
memperhatikan kelestarian alam mendapatkan dukungan yang positif dari masyarakat.
Sikap ini diharapkan dapat terus dipertahankan oleh pemerintah, karena keberanian itu
lah yang akan mempertahankan kekayaan alam untuk generasi masa depan bangsa
Indonesia.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penulisan makalah ini didasari karena pentingnya memperjuangkan Hak Asasi Manusia
atas kekayaan Alam Indonesia. Begitu pun rekomendasi yang disampaikan dalam
makalah ini, merupakan masukan untuk ditindaklanjuti dalam bentuk yang lebih
kongkret.
Beberapa tahun terakhir, kelemahan dalam mengembangkan wacana pelestarian
kekayaan alam danlingkungan hidup disekitarnya, menyebabkan terjadinya dominasi
wacana yang terstruktur melalui institusi negara maupun supra state structures, misalnya,
institusi keuangan intenasional, yang secara signifikan telah menyuarakan kepentingan
perusahaan-perusahaan multinasional.
Pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk kehidupan
kenyataannya lebih didominasi oleh kepentingan mendapatkan keuntungan dan
meletakkan kepentingan publik dan generasi mendatang dalam urutan terakhir. Wacana
dan praktek pertumbuhan dan pembangunan, sekalipun telah dibungkus dengan berbagai
konsep yang partisipatif dan karitatif dari perusahaan telah memicu sejumlah kasus
lingkungan di level masyarakat dalam dua dekade belakangan ini, karena tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat atas hak menikmati kekayaan alam Indonesia

dan lingkungan rakyat. Untuk itu:
1. Hak Asasi Manusia dalam menikmati kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia
penting dimasukan sebagai prisip di dalam semua kebijakan dan perundangundang di tingkat internasional, regional, dan nasional, yang terkait dengan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaimana pula dapat
terimplementasikan sampai pada tahap pelaksanaan.
2. Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru pengelolaan kekayaan
alam dan lingkungan hidup sebagai pijakan praksis dalam pengimplementasian
pembangunan lingkungan hidup yang dapat diakses oleh rakyat.
3. Perlunya formulasi kebijakan hukum pidana pada mekanisme yang tersedia dalam
hukum nasional agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka
penegakan hak atas kekayaan alam di negara ini. Pada saat yang bersamaan, perlu
terus-menerus diupayakan terobosan hukum yang menjamin terciptanya keadilan
ekologi dan keberlanjutan kehidupan.
4. Gagasan dan gerakan yang mendesakkan agar para penjahat lingkungan
dikategorikan sebagai pelaku kejahatan HAM, baik di tingkat nasional, regional
maupun internasional perlu diperkuat.
5. Perlu diperjuangkan dan diupayakan pengesahan deklarasi HAM dan Lingkungan
hidup, seperti yang pernah diajukan pada tahun 1994 di PBB, agar menjadi norma
baru dalam penegakan HAL sebagai hak asasi rakyat.

DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara (Disertasi), UNDIP, Semarang, 1994, hal. 63

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 75

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm 25

Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 90

Helmi, “Hukum Lingkungan dalam Negara Hukum Kesejahteraan Untuk Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan”, Inovatif; Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4. No. 5 Tahun 2011,
hlm. 93-103
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana , Semarang: Badan
Penerbit UNDIP, hlm. 253,
Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta,
2006, hal. 2
Sutrisno, “Politik Hukum Perlindungan dan Pe-ngelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal
Hukum, No. 3 Vol. 18 Juli 2011, FH UII, hlm. 444-464.