ANT DIVERSITY AND ABUNDANCE IN THREE TYPES OF COCOA PLANTATION DIVERSITAS DAN KELIMPAHAN SEMUT PADA TIGA TIPE PERKEBUNAN KAKAO

(1)

ANT DIVERSITY AND ABUNDANCE IN THREE TYPES OF COCOA PLANTATION

By

PUJI LESTARI

ABSTRACT

The objectives of this research were (1) to observe ant diversity and

abundance in three types cocoa plantation and (2) to correlate ant abundance and environmental factors in the cocoa plantation. Observations were done on cocoa plantations type 1 (cocoa plantation with less shade trees, 6.9% ), type 2 (cocoa plantation with medium shade trees, 13.6%), and type 3 (cocoa plantation with more shade trees, 52.3%). The plantations were located at Cipadang Village, Gedongtataan Subdistrict, Pesawaran District-Lampung. Ant sampling was done at 15 sample points on each cocoa plantation type using three methods, i.e. manually (for tree-dwelling ants), using pitfall traps (for soil-surface active ants), and using winkler (for litter dwelling ants).

Results showed that ant diversity and abundance vary between cocoa plantation types. Highest ant diversity index was shown by cocoa plantation type 2 (Shannon’s index = 1.92 for litter ants, 1.54 for surface-active ants, and 1.77 for tree ants). Ant diversity index decreased in plantation type 3 (Shannon’s index = 1.13 for litter ants and 0.74 for tree ants) and in plantation type 1 (Shannon’s index = 0.75 for surface-active ants).

Ant morphospecies assemblage in cocoa plantation type 2 was more similar to that in plantation type 3 (Sorensens’s index = 76,7%) than that in plantation type 1 (Sorensen’s index = 56.7%). Ant morphospecies assemblage in plantation type 1 and that in plantation type 3 were less similar (Sorensen’s index = 53.6%). The highest abundance of litter and tree ants was found in cocoa plantation type 3. More shade trees in cocoa plantation increased abundance of those ants. Abundance of soil surface-active ants did not differ between cocoa plantation types.

The most dominant ant morphospecies in cocoa plantation types were as follow. Plantation type 1: Monomorium sp. 2 (in litter and cocoa trees) and Pheidologeton sp. 1 (on soil surface). Plantation tyipe 2: Pheidologeton sp. 1 (on


(2)

soil surface and litter) and Dolichoderus sp. 1 (in cocoa trees). Plantation type 3: Hypoponera sp. 1 (on soil surface), Pheidologeton sp. 1 (in litter), and

Dolichoderus sp. 1 (in cocoa trees).

Environmental factors in cocoa plantation that positively correlated with litter ant abundance were litter thickness (r = 0.77** in plantation type 1, r = 0.65** in plantation type 2, r = 0.64** in plantation type 3), soil pH (r = 0.63* in plantation type 1, r = 0.71** in plantation type 2, r = 0.67** in plantation type 3), and soil moisture content (r = 0.53* in plantation type 1, r = 0.52* in plantation type 2, r = 0.61* in plantation type 3). Soil temperature and litter C/N did not correlate with litter ant abundance.


(3)

DIVERSITAS DAN KELIMPAHAN SEMUT PADA TIGA TIPE PERKEBUNAN KAKAO

Oleh

PUJI LESTARI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui keragaman dan kelimpahan semut pada tiga tipe kebun kakao dan (2) mengetahui korelasi antara kelimpahan semut dan beberapa faktor lingkungan di kebun kakao. Tipe-tipe kebun kakao yang diamati adalah tipe 1 (kebun kakao dengan sedikit pohon penaung; 6,9% ), tipe 2 (kebun kakao dengan jumlah pohon penaung sedang; 13,6%), dan tipe 3 (kebun kakao dengan banyak pohon penaung; 52,3%). Ketiga kebun kakao tersebut berlokasi di Desa Cipadang, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran-Lampung. Pengambilan sampel semut dilakukan pada 15 titik sampel pada masing-masing tipe kebun kakao secara manual (di tajuk tanaman kakao),

menggunakan perangkap pitfall (di permukaan tanah), dan menggunakan metode winkler (di serasah).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman dan kelimpahan semut bervariasi antartipe kebun kakao.Keragaman semut tertinggi terdapat pada kebun kakao tipe 2 (indeks Shannon = 1,92 untuk semut serasah; 1,54 untuk semut permukaan tanah; dan 1, 77 untuk semut tajuk tanaman). Keragaman semut menurun pada kebun kakao tipe 3 (indeks Shannon = 1,13 untuk semut serasah dan 0,74 untuk semut tajuk tanaman). Pada kebun kakao tipe 1 keragaman semut juga menurun (indeks Shannon = 0,75 untuk semut permukaan tanah).

Komposisi morfospesies semut pada kebun kakao tipe 2 lebih mirip dengan komposisi morfospesies semut pada kebun kakao tipe 3 (indeks Sorensen = 76, 7%) daripada dengan komposisi morfospesies semut pada kebun kakao tipe 1 (indeks Sorensen = 56,7%). Komposisi morfospesies semut pada kebun kakao tipe 1 dan tipe 3 kurang mirip (indeks Sorensen = 53,6%).

Pola kelimpahan semut berbeda dengan pola keragamannya. Kelimpahan semut tertinggi (semut serasah dan semut tajuk tanaman) terdapat pada kebun kakao Tipe 3. Meningkatnya jumlah pohon naungan pada kebun kakao

nampaknya menaikkan kelimpahan semut-semut tersebut. Namun, kelimpahan semut permukaan tanah tidak berbeda antartipe kebun kakao.


(4)

Morfospesies-morfospesies semut yang paling dominan pada masing-masing tipe kebun kakao adalah sebagai berikut. Kebun kakao tipe 1:

Monomorium sp. 2 (di serasah dan tajuk tanaman) dan Pheidologeton sp. 1 (di permukaan tanah). Kebun kakao tipe 2: Pheidologeton sp. 1 (di permukaan tanah dan serasah) dan Dolichoderus sp. 1 (di tajuk tanaman). Kebun kakao tipe 3: Hypoponera sp. 1 (di permukaan tanah), Pheidologeton sp. 1 (di serasah), dan Dolichoderus sp. 1 (di tajuk tanaman).

Faktor-faktor lingkungan pada kebun kakao yang berkorelasi positif dengan kelimpahan semut seresah adalah tebal seresah (r = 0,77** pada tipe 1; r = 0,65** pada tipe 2; dan r = 0,64** pada tipe 3), pH tanah (r = 0,63* pada tipe 1; r = 0,71** pada tipe 2; dan r = 0,67** pada tipe 3), dan kelembaban tanah (r = 0,53* pada tipe 1; r = 0,52* pada tipe 2; dan r = 0,61* pada tipe 3). Suhu tanah dan C/N rasio seresah tidak berkorelasi dengan kelimpahan semut serasah.


(5)

DIVERSITAS DAN KELIMPAHAN SEMUT PADA TIGA TIPE PERKEBUNAN KAKAO

Oleh PUJI LESTARI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Pascasarjana Magister Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AGRONOMI UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciberes, Gedung Tataan pada tanggal 4 Juli 1987. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Ahmad Husni dan Ibu Khamsyah Sidik.

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Dharma Wanita PTP N VII Unit Usaha Waylima pada tahun 1993, Sekolah Dasar (SD) Negeri 3 Cipadang pada tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 2 Gading Rejo pada tahun 2002, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Gading Rejo pada tahun 2005.

Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian, Jurusan Proteksi Tanaman, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB) dan diselesaikan pada tahun 2009. Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Magister Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas anugerah, rahmat, ridha, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Dengan diselesaikannya tesis ini, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. F.X. Susilo, M.Sc. selaku pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, saran, nasihat, motivasi, arahan, koreksi, dan perhatian kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan.

2. Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. selaku pembimbing kedua atas bimbingan, saran, nasihat, pemikiran, dan arahan yang telah diberikan kepada penulis selama penulisan tesis ini.

3. Dr. Ir. I Gede Swibawa, M.S. selaku pembahas dan penguji atas segala saran, koreksi, dan kritikan yang membangun dalam penulisan tesis ini.

4. Dr. Ir. Dwi Hapsoro, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Magister Agronomi. 5. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

6. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Lampung.


(11)

7. Kedua orang tua dan suami penulis yang telah memberikan kasih sayang, waktu, motivasi, nasihat, dan perhatiannya kepada penulis.

8. Seluruh teman-teman Magister Agronomi, Onny Chrisna P. Pradana, M.Si., Rianida Taisa, S.P., Septiana, M.Si., Ivayani, M.Si. Ekawati Danial, M.Si., Hayane A. Warganegara, M.Si., Lismaini, M.Si, Purba Sanjaya, S.P, Titik Inayah, M.Si. atas kebersamaan, persahabatan, saran, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca, serta bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Mei 2014 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTR GAMBAR... xii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 6

1.3 Kerangka Pemikiran ... 6

1.4 Hipotesis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tanaman Kakao ... 10

2.2 Semut ... 12

2.2.1 Morfologi Semut... 13

2.2.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Semut ... 15

2.2.3 Golongan dan Fungsi Semut... 17

2.2.4 Metode Pengambilan Sampel Semut... 19

a. Metode Winkler... 19

b. Metode Pitfall... 21

c. Metode Pengambilan Manual... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN... 23

3.1 Tempat dan Waaktu Penelitian ... 23

3.2 Alat dan Bahan ... 24

3.3 Pengambilan Sampel Semut... 24

3.3.1 Pengambilan Sampel Semut Secara Manual ... 27


(13)

3.3.3 Metode Winkler ... 28

3.3.4 Identifikasi Semut... 30

3.3.5 Pengamatan Faktor Lingkungan ... 30

3.4 Analisis Data ... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

4.1 Hasil Penelitian... 33

4.1.1 Genus dan Morfospesies Semut... 33

4.1.2 Indeks Keragaman dan Jumlah Morfospesies Efektif Semut... 44

4.1.3 Indeks Kemiripan Komunitas Semut... 45

4.1.4 Kelimpahan Semut... 48

4.1.5 Pola Kelimpahan Relatif Morfospesies Semut... 53

4.1.6 Korelasi antara Kelimpahan Semut dan Faktor Lingkungan... 57

4.2 Pembahasan... 59

V. KESIMPULAN... 72

DAFTAR PUSTAKA... 74


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Morfospesies semut, golongan fungsi dan jumlah tangkapannya menggunakan metode winkler, pitfall

dan manual pada ketiga tipe kebun kakao... 34 2. Rata-rata jumlah genus dan morfospesies yang ditemukan

di tiga tipe kebun kakao pada tiga metode pengambilan sampel... 41 3. Indeks keragaman morfospesies dan jumlah morfospesies

efektif semut yang ditemukan pada tiga tipe kebun kakao... 45 4. Rata-rata kelimpahan semut di tiga tipe kebun kakao

hasil tangkapan menggunakan metode winkler... 48 5. Rata-rata kelimpahan semut di

tiga tipe kebun kakao pada metode pitfall... 51 6. Rata-rata kelimpahan semut ketiga tipe kebun kakao

pada metode pengambilan manual... 52 7. Lima besar morfospesies semut yang tertangkap

menggunakan metode pitfall pada ketiga tipe kebun kakao... 55 8. Lima besar morfospesies semut yang tertangkap

menggunakan metode winkler pada ketiga tipe kebun kakao... 56 9. Lima besar morfospesies semut yang tertangkap

menggunakan metode manual pada ketiga tipe kebun kakao... 57 10. Koefisien korelasi (r) antara kelimpahan semut

dan faktor lingkungan pada tiga tipe kebun kakao... 58 11. Rata-rata hasil pengukuran

terhadap faktor lingkungan pada tiga tipe kebun kakao... 59 12. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 1 dengan metode pitfall... 79 13. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 1 dengan metode manual.... 82 14. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 1 dengan metode winkler... 85 15. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 2 dengan metode pitfall... 88 16. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 2 dengan metode manual.... 91 17. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 2 dengan metode winkler... 94


(15)

18. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 3 dengan metode pitfall... 97

19. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 3 dengan metode manual.... 100

20. Data kelimpahan semut pada kebun Tipe 3 dengan metode winkler... 103

21. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 1 dengan metode winkler... 106

22. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 1 dengan metode pitfall... 107

23. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 1 dengan metode manual... 108

24. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 2 dengan metode winkler... 109

25. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 2 dengan metode pitfall... 110

26. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 2 dengan metode manual... 111

27. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 3 dengan metode winkler... 112

28. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 3 dengan metode pitfall... 113

29. Indeks keragaman Shannon-Wienner semut pada kebun Tipe 3 dengan metode manual... 114

30 Indeks kesamaan komunitas semut pada tiga tipe kebun kakao... 115

31. Pengamatan faktor lingkungan pada kebun kakao Tipe 1... 115

32. Pengamatan faktor lingkungan pada kebun kakao Tipe 2... 115

33. Pengamatan faktor lingkungan pada kebun kakao Tipe 3... 116


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktrur Tubuh Semut... 15

2. Denah kebun kakao Tipe 1... 25

3. Denah kebun kakao Tipe 2... 26

4. Denah kebun kakao Tipe 3... 26

5. Perangkat Winkler... 29

6. Gambar semut Dolichoderus sp. 1... 35

7. Semut Dolichoderus sp.2... 34

8. Semut Tapinoma sp... 35

9. Semut Technomyrmex sp... 35

10. Semut Loweriella sp... 36

11. Semut Plagiolepis sp... 36

12. Semut Paratrechina sp.1... 36

13. Semut Paratrechina sp.2... 36

14. Semut Paratrechina sp.3... 36

15. Semut Paratrechina sp.4... 36

16. Semut Paratrechina sp.5... 36

17. Semut Oecophylla sp... 36

18. Semut Polyrachis sp... 37

19. Semut Piramica sp. ... 37

20. Semut Strumigenis sp. ... 37

21. Semut Monomorium sp. 1... 37

22. Semut Monomorium sp. 2... 37

23. Semut Monomorium sp. 3... 37


(17)

25. Semut Oligomyrmex sp... 37

26. Semut Cardiocondyla sp. 1... 38

27. Semut Cardiocondyla sp. 2... 38

28. Semut Pheidologeton sp. 1... 38

29. Semut Pheidologeton sp. 2... 38

30. Semut Pheidologeton sp. 4... 38

31. Semut Pheidologeton sp. 5... 38

32. Semut Pheidologeton sp. 6... 38

33. Semut Pheidologeton sp. 7... 38

34. Semut Paratopula sp. ... 39

35. Semut Pheidole sp... 39

36. Semut Rhoptromyrmex sp. ... 39

37. Semut Rotastruma sp. ... 39

38. Semut Tetramorium sp. ... 39

39. Semut Discothyrea sp. ... 39

40. Semut Procetarium sp. ... 39

41. Semut Probolomyrmex sp. ... 39

42. Semut Odontomachus sp. ... 40

43. Semut Hypoponera sp.1... 40

44. Semut Hypoponera sp.2... 40

45. Semut Hypoponera sp.3... 40

46. Semut Hypoponera sp.4... 40

47. Semut Hypoponera sp.5... 40

48. Semut Diacamma sp. ... 40

49. Semut Lordomyrma sp... 40

50. Semut Odontoponera sp. ... 41

51. Semut Leptogenys sp. ... 41

52. Kurva akumulasi morfospesies semut pada tiga tipe kebun kakao dengan ekstrapolasi... 43

53. Dendogram kemiripan komunitas semut berdasarkan nilai sorensen... 45

54. Dendogram kemiripan komunitas semut berdasarkan nilai sorensen pada metode winkler... 46

55. Dendogram kemiripan komunitas semut berdasarkan nilai sorensen pada metode manual... 47

56. Dendogram kemiripan komunitas semut berdasarkan nilai sorensen pada metode pitfall... 47


(18)

57. Pola kelimpahan relatif morfospesies semut yang tertangkap

menggunakan metode pitfall di tiga tipe kebun kakao ... 54 58. Pola kelimpahan relatif morfospesies semut yang tertangkap

menggunakan metode winkler di tiga tipe kebun kakao ... 55 59. Pola kelimpahan relatif morfospesies semut yang tertangkap


(19)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional, yaitu sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara (Setyamidjaja, 1993). Beberapa komoditas perkebunan yang memegang peranan penting dalam perekonomian adalah karet, kelapa sawit, dan kakao.

Indonesia berpotensi untuk menjadi produsen kakao utama dunia apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi dapat diatasi dan agribisnis kakao

dikembangkan dan dikelola dengan baik. Indonesia memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao, yaitu lebih dari 6,2 juta ha. Dengan kondisi harga kakao dunia yang cukup tinggi dan relatif stabil, maka perluasan lahan perkebunan kakao di Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2005).


(20)

2

Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sebagai penghasil kakao. Luas lahan perkebunan kakao rakyat di Provinsi Lampung tahun 2009 mencapai 39.576 ha sedangkan milik swasta luas lahan perkebunan kakao 3.198 ha. Tahun 2009 volume ekspor kakao mencapai 96.979,65 ton atau 2,08 % dari total ekspor komoditas perkebunan nasional (Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2010).

Dengan dicanangkannya program gerakan nasional peningkatan produksi, mutu dan produktivitas untuk tanaman kakao, diperkirakan luas lahan perkebunan kakao akan terus meningkat. Peningkatan luas lahan diharapkan mampu

mempercepat peningkatan produksi kakao (Direktorat Jendral Perkebunan, 2012). Tidak jarang juga petani melakukan intensifikasi terhadap lahan perkebunannya untuk mencapai target peningkatan produksi. Kondisi demikian dikhawatirkan akan mempengaruhi atau mengganggu kehidupan hewan tanah termasuk semut, bahkan dapat menyebabkan menurunnya kelimpahan dan keragaman spesies semut.

Menurut Tilman et al. (2002) aktivitas manusia dan kegiatan pertanian dapat menyebabkan kepunahan atau menurunnya keragaman hayati. Intensifikasi yang dilakukan pada perkebunan kopi dan kakao dapat mengakibatkan menurunnya keanekaragaman hayati. Pada sistem pertanian tradisonal, kopi dan kakao dibudidayakan dengan pohon penaung yang rapat, tetapi pada saat ini sistem pertanian ditandai dengan sistem intensifikasi dengan mengurangi kerapatan dan keragaman pohon penaung, serta penggunaan pestisida (Moguel & Toledo, 1999


(21)

3

dalam Philpott & Ambrecht, 2006). Kondisi yang demikian dapat menurunkan keragaman dan kelimpahan semut.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab perubahan keragaman dan komposisi spesies semut pada perkebunan kakao, diantaranya adalah adanya (i) perubahan arsitektur tanaman, (ii) perubahan kondisi habitat (berkurang atau hilangnya tanaman naungan), (iii) penggunaan insektisida yang semakin intensif, dan (iv) adanya perubahan iklim. Dari keseluruhan faktor tersebut, perubahan arsitektur tanaman, perubahan kondisi habitat, dan aplikasi insektisida diduga merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan keragaman dan komposisi semut pada konteks mikro di perkebunan kakao. Sedangkan perubahan iklim yang terjadi diduga kuat merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan pada konteks makro yaitu perubahan kestabilan ekosistem pada perkebunan kakao, termasuk semut dan serangga lainnya yang ada di dalamnya (Buchori, 2010).

Semut adalah salah satu serangga yang memiliki peranan penting dalam suatu ekosistem. Pada habitat pertanian semut merupakan serangga yang memiliki kelimpahan dan komunitas yang tinggi serta memiliki fungsi yang berbeda-beda, diantaranya sebagai herbivor, predator, dan pengurai (Holldobler and Wilson, 1990).

Keragaman semut di dunia mencakup 14 ribu lebih spesies dari 300 genera dan 22 subfamili (Bolton, 2002-2011 dalam Susilo, 2011). Sebanyak 64 genera dari delapan subfamili dan beberapa kelompok fungsi diantaranya ditemukan


(22)

4

di Sumatera (Susilo, 2011). Belum banyak informasi mengenai keragaman semut di Indonesia, karena penelitian yang berkaitan dengan taksonomi semut masih sedikit. Diharapkan hasil penelitian ini akan dapat menambah informasi mengenai keragaman semut. Sampai saat ini masih banyak spesies semut yang belum diketahui dan teridentifikasi.

Inventarisasi dan identifikasi semut penting dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis semut yang hidup pada ekosistem tertentu. Pengetahuan mengenai

keragaman semut pada suatu ekosistem dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi perencanaan konservasi. Dengan inventarisasi akan diperoleh data yang berhubungan dengan distribusi spesies, sehingga akan diketahui apakah spesies tersebut jarang, terganggu, atau adanya spesies yang penting secara ekologi misalnya adanya spesies baru atau adanya spesies yang hanya dapat ditemukan pada suatu habitat. Selain itu, dengan diketahuinya identitas semut, maka peran dan fungsi semut pada suatu ekosistem tertentu juga dapat diketahui. Jumlah dan komposisi semut pada suatu ekosistem mengindikasikan kesehatan suatu ekosistem dan memberikan gambaran pada kehadiran organisme lain, karena banyaknya interaksi semut dengan berbagai tumbuhan maupun hewan lain (Alonso, 2000).

Daerah tropis memiliki keragaman spesies semut yang tinggi, dan keragaman tersebut dapat menurun secara drastis pada peningkatan garis lintang (Alonso & Agosti, 2000). Keragaman semut juga dipengaruhi oleh keadaan ekosistem dan vegetasinya. Kebanyakan penelitian semut di negara-negara Asia Tenggara


(23)

5

(termasuk India dan tropikal Australia) dilakukan di daerah hutan (Bruhl et al., 1998) dan hanya sedikit sekali penelitian pada daerah yang telah dijamah manusia (Andersen et al., 2002) misalnya pada perkebunan.

Hingga saat ini informasi mengenai keragaman semut pada perkebunan ini masih belum tereksplorasi. Keragaman semut pada perkebunan kakao menurun dengan meningkatnya intensifikasi dan sistem penanaman kakao yang monokultur. Beberapa tahun belakangan ini tanaman kakao menjadi salah satu pilihan petani untuk dikembangkan. Namun cara budidaya yang mereka lakukan bervariasi. Di Provinsi Lampung misalnya, ditemukan berbagai tipe perkebunan kakao,

misalnya perkebunan kakao yang ditanam secara monokultur dengan sedikit pohon penaung, perkebunan kakao yang di dalamnya ditemukan banyak pohon penaung, dan ada pula kebun kakao yang ditumpangsarikan dengan tanaman perkebunan lain, misalnya tanaman karet. Kehadiran semut di suatu ekosistem erat kaitannya dengan faktor manajemen, variasi tanah, dan praktek penanaman (Peck et al., 1998).

Semut adalah predator yang penting, dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa semut dapat melindungi tanaman dari hama (Philpott & Armbrecht, 2006). Di Indonesia, belum banyak ditemukan informasi mengenai keragaman semut pada ekosistem perkebunan kakao. Dengan demikian perlu dilakukan inventarisasi keragaman semut pada perkebunan kakao.


(24)

6

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui keragaman taksa semut pada berbagai tipe perkebunan kakao. 2. Mengetahui kelimpahan semut pada berbagai tipe perkebunan kakao. 3. Mengetahui korelasi antara kelimpahan semut dan beberapa faktor

lingkungan di kebun kakao.

1.3 Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman hayati tinggi, hal ini dibuktikan dengan ditemukan banyaknya spesies organisme baik flora maupun fauna dengan karakter yang khas. Serangga merupakan salah satu kekayaan hayati Indonesia yang sampai saat ini belum terungkap atau tereksplorasi secara

menyeluruh.

Semut merupakan salah satu serangga yang ideal untuk mengukur dan memonitor keragaman hayati karena beberapa alasan, yaitu jumlahnya banyak dan dominan di dalam ekositem yang berperan sebagai predator maupun bersimbiosis dengan tumbuhan dan organisme lain. Selain itu, semut mudah dikoleksi dan cukup menyebar pada suatu lokasi serta memungkinkan untuk diidentifikasi (Holldobler & Wilson, 1990).


(25)

7

Semut merupakan salah satu kelompok serangga yang dapat dijadikan indikator keragaman hayati, sebagai alat monitoring perubahan kualitas lingkungan, penentuan kawasan konservasi dan pengelolaan kawasan. Hal tersebut karena didukung oleh sifat semut yang dapat hidup di berbagai habitat (Andersen et al., 2002; Alonso & Agosti, 2000). Komposisi jenis semut pada suatu habitat dapat dimanfaatkan menjadi salah satu indikator keragaman hayati dan memonitor perubahan yang ada lingkungan sekitarnya (Kaspari et al., 2000 dalam Philpott & Armbrecht, 2006). Semut juga memiliki interaksi yang dekat dengan organisme lain dalam peranan sebagai invertebrata predator yang menonjol peranannya dalam suatu ekosistem.

Semut memiliki peran penting dalam ekosistem dalam tanah. Semut merupakan soil ecosystem engineers utama di tanah bersama rayap dan cacing tanah (Decaëns et al., 2002), semut juga merupakan penyusun biomassa paling dominan pada habitat tanah. Semut membantu merombak bahan organik tanah. Perombakan bahan organik dilakukan dengan pemotongan dan pencernaan bahan organik serta menyebarluaskan jasad renik perombak.

Semut adalah kelompok serangga yang keberadaannya sangat umum dan menyebar luas. Semut merupakan serangga paling sukses dari semua kelompok serangga, keberadaannya sangat universal dan mudah ditemukan (Borror et al., 1996). Semut memiliki toleransi yang sempit terhadap perubahan lingkungan, biomassa semut melimpah dan mempunyai arti penting dalam ekosistem, mudah dikoleksi dan taksonomi relatif maju (Andersen et al., 2002; Alonso & Agosti, 2000).


(26)

8

Kehadiran spesies semut di suatu ekosistem erat kaitannya dengan faktor

manajemen, variasi tanah dan praktek penanaman (Peck et al., 1998). Oleh karena itu, sangat dimungkinkan pada perkebunan kakao yang berbeda manajemen dan praktek penanaman terdapat perbedaan keragaman jenis semutnya. Untuk menggali informasi mengenai keragaman dan kelimpahan semut pada

perkebunanan kakao dilakukan penelitian pada tiga kebun kakao yang berbeda cara penanaman yaitu (1) pada perkebunan kakao dengan jumlah pohon penaung sedikit (6,9% pohon penaung), (2) pada perkebunan kakao dengan jumlah pohon penaung sedang (13,6% pohon penaung), dan (3) pada perkebunan kakao dengan pohon penaung banyak (52,3% pohon penaung).

Menurut Philpott dan Ambrecht (2006) semut adalah serangga yang

keberadaannya sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan ekologis yang dapat mempengaruhi perubahan ekositem. Selain itu keberadaan semut juga dipengaruhi oleh ukuran dan komposisi pohon rindang yang diperlukan untuk bersarang dan mencari sumber makanan. Perbedaan kerapatan pohon penaung pada kebun kakao dapat mempengaruhi kondisi lingkungan abiotik di dalamnya, seperti intensitas cahaya, suhu, kelembaban tanah, pH tanah, tebal seresah, dan C/N rasio seresah.

Kebun kakao dengan pohon penaung banyak, intesitas cahaya yang masuk ke dalam kebun akan semakin rendah bila dibandingkan dengan kebun kakao dengan pohon penaung yang sedikit. Kondisi inilah yang mempengaruhi suhu,

kelembaban tanah, dan pH tanah. Semakin rendah intensitas cahaya yang masuk ke dalam kebun, maka suhu dalam kebun juga akan semakin rendah sehingga


(27)

9

kelembaban akan semakin tinggi. Kerapatan pohon penaung juga akan

berpengaruh terhadap jumlah seresah yang dihasilkan. Pelapukan seresah atau bahan organik juga dipengaruhi suhu dan kelembaban.

Perubahan kondisi lingkungan abiotik sebagai dampak dari cara bercocok tanam yaitu perbedaan kerapatan pohon penaung diduga akan berpengaruh terhadap keragaman dan kelimpahan semut. Dengan demikian, kebun kakao dengan pohon penaung yang lebih banyak akan memiliki keragaman semut dan kelimpahan yang lebih tinggi.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Keragaman dan kelimpahan semut bervariasi menurut tipe kebun kakao. 2. Kelimpahan semut berkorelasi dengan faktor lingkungan di kebun kakao.


(28)

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kakao (Theobroma cacao)

Kakao merupakan tanaman perkebunan yang berasal dari Amerika Selatan. Kakao termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Kelas Dicotyledon, Ordo Malvales, Family Sterculiaceae, Genus Theobroma dan Spesies Theobroma cacao. Kakao merupakan tanaman tahunan yang tinggi tanaman dapat mencapai 10 meter, namun dalam kegiatan budidaya, tinggi tanaman dibuat tidak lebih dari 5 meter, dengan tajuk menyamping dan meluas untuk memperbanyak cabang produktif (Siregar dkk., 2006).

Tanaman kakao berakar tunggang (radix primaria) dengan pertumbuhan akar dapat mencapai 8 meter ke samping dan 15 meter ke bawah. Perkembangan akar sangat dipengaruhi oleh struktur tanah, air tanah, dan aerasi dalam tanah. Akar kecambah yang berumur 1-2 minggu menumbuhkan akar cabang (radix lateralis), dari akar cabang ini tumbuh akar-akar rambut (fibrillia) dengan jumlah yang sangat banyak. Pada bagian ujung akar terdapat bulu akar yang dilindungi tudung akar (calyptra) yang berfungsi menyerap unsur hara dari tanah (Siregar dkk., 2006).


(29)

11

Daun tanaman kakao terdiri atas tangkai daun dan helai daun. Daun tanaman kakao mempunyai dua persendian atau articullation yang terletak pada pangkal dan ujung tangkai daun, sehingga pergerakan daun dapat menyesuaikan dengan arah datangnya sinar matahari (Susanto, 1993). Panjang daun berkisar 25-30 cm dengan stomata terletak di bagian bawah permukaan daun (Siregar dkk., 2006).

Bunga tanaman kakao bersifat caulifloris yaitu tumbuh langsung dari batang dan cabang tanaman. Bunga berukuran kecil, tunggal, namun tampak terangkai, karena sering sejumlah bunga muncul dalam satu tunas. Jumlah bunga kakao mencapai 5.000-12.000 bunga per pohon per tahun. Tetapi jumlah buah matang yang dihasilkan hanya sekitar 1 persen. Buah kakao berupa buah buni yang daging bijinya sangat lunak. Ketebalan kulit buah mencapai 1-2 cm (Siregar dkk., 2006).

Penyebaran tanaman kakao secara umum berada pada daerah antara 7o LU sampai dengan 18o LS. Wilayah penaman kakao yang ideal adalah pada daerah dengan curah hujan 1.100-3.000 mm per tahun, dengan temperatur minimum berkisar 18o-21o C dan temperatur maksimum 30o-32o C. Tanaman kakao tumbuh baik pada tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 3% (Siregar dkk., 2006). Daerah utama penghasil kakao adalah Sulawesi, namun Sumatera juga berpotensi sebagai penghasil kakao.


(30)

12

2.2 Semut

Semut merupakan serangga dari ordo Hymenoptera, Famili Formicidae. Semut merupakan serangga yang besifat kosmopolit, berlimpah dan beragam. Di ekosistem tropis, semut mencapai 80% dari biomassa hewan (Holldobler & Wilson, 1990). Semut merupakan serangga eusosial yang yang hidup berkoloni, terdiri dari tiga kasta yaitu semut ratu, semut jantan, dan semut pekerja (Borror et al., 1996). Semut termasuk ke dalam Kingdom Animalia, Filum Artropoda, Kelas Insekta, Ordo Hymenoptera, Famili Formicidae (Kalshoven, 1981). Semut ratu memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan kasta lainnya dan biasanya bersayap, namun sayap akan terlepas setelah penerbangan perkawinan. Semut jantan biasanya bersayap dan berukuran lebih kecil dari semut ratu, berumur pendek dan akan mati setelah kawin, sedangkan semut pekerja tidak bersayap (Borror et al., 1996).

Semut merupakan serangga yang jenis dan populasinya sangat berlimpah. Ada dua faktor yang mempengaruhi kelimpahan dan kehilangan diversitas semut pada ekosistem, yaitu faktor fisik dan faktor ekologis. Faktor fisik meliputi iklim mikro yang mempengaruhi perubahan ekosistem, dan faktor ekologi yaitu ukuran dan komposisi pohon rindang yang diperlukan untuk bersarang, serta ketersediaan makanan. Interaksi ekologi, predasi oleh jenis semut lain, dan predasi oleh

predator misalnya burung memiliki potensi terhadap perubahan diversitas semut (Philpott & Ambrecht, 2006).


(31)

13

Intensifikasi pertanian dapat menurunkan diversitas semut, karena pengurangan pohon naungan dapat membatasi sarang semut pada pohon-pohon rindang. Proporsi seresah dan sarang semut menurun pada tanaman monokultur

dibandingkan dengan hutan atau perkebunan polikultur (Philpott & Ambrecht, 2006). Semut biasanya membuat sarang dalam tanah, pada serasah-serasah, kayu yang telah lapuk, dan pada tanaman atau pohon-pohon. Semut memotong daun dan batang kemudian bergerak mengangkut potongan-potongan tersebut ke sarangnya, sehingga memicu mikroorganisme dan jamur untuk mendekomposisi bahan tersebut dan menghasilkan unsur hara di dalam sarang. Penyebaran semut ditentukan oleh faktor makanan. Umumnya semut adalah omnivora walaupun memilih preferensi terhadap makanan tertentu (Borror et al., 1996).

2.2.1 Morfologi Semut

Tubuh semut terdiri atas tiga bagian yaitu kepala, mesosoma dan metasoma. Mesosoma terdiri atas tiga ruas toraks sebenarnya, yaitu protorak, mesotoraks dan metatoraks. Berbeda dengan serangga lain, ruas pertama abdomen semut

bergabung dengan torak yang disebut propodeum. Satu bagian antara torak dan ruas pertama abdomen disebut dengan alitrunk (AL). Pronotum (PN) semut adalah sklereit dorsal protoraks. Propleuron (PR) berada pada bagian lateral dari protoraks yang sangat tersembunyi di sebelah ventral. Mesonotum (MS) adalah sklereit atas mesotorak, mesonotum dan metanotum dipisahkan oleh promosenotal sutura (PS). Mesopleuron (MSP) adalah sklereit bagian latero ventral mesonotum. Skereit dorsal metatorak (Metanotum MTN) kemungkinan tereduksi menjadi


(32)

14

propodeum (PPD) atau ruas pertama dari abdomen. Mesonotum dan propodeum biasanya dipisahkan oleh metanotal groove (MTG) atau ceruk (Gambar 1). Metapleuron (MTP) adalah bagian latero ventral metanotum yang terletak di bawah propodeum (Hashimoto, 2003).

Secara umum abdomen semut terdiri dari tujuh ruas (A1-7) dengan ruas pertama adalah propodeum yang bersatu dengan toraks. Ruas kedua adalah petiol (PT, A2), dan ruas ketiga merupakan ruas pertama dari gaster (A3), bentuknya lebar dan bersatu dengan ruas berukutnya (A4-7). Pada ujung gaster terdapat pygidium dan hypopigidium (Gambar 1)

Satu dari sifat-sifat struktural yang jelas dari semut adalah bentuk antena yang menyiku (geniculate), dan ruas pertama (scapus) sangat panjang (Borror et al., 1996). Antena adalah sepasang embelan sensoris pada kepala yang terletak

diantara dua mata majemuk. Antena terdiri atas tiga ruas yaitu scapus, pedisel dan funiculus. Antena semut terdiri atas 4-12 ruas. Ruas funiculus biasanya berbentuk filiform atau membesar membentuk bulatan di ujung (Hashimoto, 2003).

Pada kepala juga terdapat antenal scrub yang terletak di atas mata atau di bawah mata. Antenal scrobe adalah tempat melekatnya antena saat dalam keadaan istirahat. Pada pangkal antena terdapat antenal socket yang dapat terlihat apabila tidak terdapat frontal lobe pada pangkal antena. Pada kepala terdapat klipeus, bagian depan dari klipeus disebut median klipeus dan bagian samping kanan dan kiri disebut lateral klipeus. Pada beberapa takson klipeus menyempit dari depan ke belakang (Hashimoto, 2003).


(33)

15

Pada toraks semut terdapat embelan tungkai yang beruas, terdapat pada basal koksa yang menyatu dengan alitrunk. Tungkai terdiri dari lima ruas yaitu koksa, trokanter, femur, tibia dan tarsus. Pada ujung tarsus terdapat kuku atau cakar yang disebut claw. Pada ujung tibia terdapat sepasang taji yang disebut tibial spur. Tungkai depan semut bertaji satu berbentuk pektinat yang termodifikas seperti bentuk antena. Sedangkan tungkai tengah dan belakang memiliki taji masing-masing dua (Hashimoto, 2003).

Gambar 1. a. Struktur tubuh semut (Sumber : http://belaijo.blogspot.com/2012/04/ semut.html); b. Struktur Alitrunk semut; c. Struktur abdomen semut (Sumber : Hashimoto, 2003)

2.2.2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Semut

Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik. Kedua faktor lingkungan tersebut berpengaruh terhadap keberadaan mahluk hidup, salah

satunya adalah makro fauna tanah. Tanah merupakan sumber energi dan hara bagi makro fauna tanah yang berasal dari mineral tanah, bahan organik tanah, udara, dan air dalam tanah. Semut adalah salah satu makro fauna tanah.


(34)

16

Faktor lingkungan berpengaruh terhadap aktivitas makrofauna tanah antara lain ketersediaan hara, air tanah, atmosfer tanah, reaksi tanah, suhu tanah, dan cahaya dalam tanah. Besarnya faktor lingkungan menentukan keberadaan kelimpahan fauna tanah yang terdapat dalan suatu habitat, sehingga pengukuran faktor lingkungan penting dilakukan (Suwondo, 2007).

Suhu tanah merupakan salah satu faktor lingkungan yang menentukan keberadaan dan kelimpahan fauna tanah. Suhu tanah menentukan tingkat dekomposisi bahan organik. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara. Suhu tanah sangat tergantung pada suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dari satu hari satu malam dan bergantung pada musim.

Cahaya mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan, perkembangan, dan daya tahan kehidupan makro fauna tanah baik secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya mempengaruhi aktivitas makro fauna tanah, membantu untuk mendapatkan makanan dan tempat yang lebih sesuai. Cahaya juga mempengaruhi kelembaban tanah bersama dengan suhu tanah. Kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan bertelur atau berkembang biak makro fauna tanah.

Curah hujan merupakan pemicu perkembangan eksternal dan berguna untuk merangsang keluarnya kasta reproduksi dari sarang. Serangga tidak keluar jika curah hujan rendah. Curah hujan yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan aktivitas serangga. Curah hujan umumnya memberikan pengaruh fisik secara langsung pada kehidupan koloni serangga (Suwondo, 2007).


(35)

17

Bahan organik merupakan sumber energi bagi kehidupan fauna tanah, termasuk semut. Bahan organik diperoleh dari vegetasi, tumbuhan bawah, organisme hidup dan lainnya. Komposisi dan jenis serasah daun menentukan ketersediaan makanan bagi semut. Pengurangan diversitas tanaman dapat mengurangi diversitas sumber makanan sehingga dapat mengurangi diversitas fauna tanah, termasuk semut. Vegetasi berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro yang disebabkan oleh adanya tingkat penutupan oleh kanopi pohon. Areal dengan penutupan vegetasi yang rapat memiliki populasi fauna tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasinya yang rendah (Aini, 2005).

2.2.3 Golongan Fungsi Semut

Sedikitnya terdapat empat golongan semut yang sering ditemukan yaitu predator, simbion, pesaba, dan pemanen biji. Cukup banyak semut yang berperan sebagai simbion di ekosistem pertanian, namun banyak juga semut yang berperan sebagai predator. Selain itu ada juga semut yang berperan sebagai pemanen biji (Susilo, 2011). Perbedaan prilaku antarkelompok fungsi sebetulnya cukup jelas, yaitu bahwa semut predator memangsa berbagai hewan lain yang masih hidup, serangga lain, atau spesies semut lain; namun mereka ini pada umumnya tidak memangsa dan tidak pula bekerja sama dengan kutu tanaman, sedangkan semut simbion juga tidak memangsa tetapi bekerja sama dengan kutu tanaman. Adapun kegiatan semut pesaba adalah secara berkelompok melakukan pesabaan di tajuk-tajuk tumbuhan dalam rangka mencari pakan berupa nektarin atau cairan lainnya


(36)

18

dari dalam tumbuhan dan menu-menu pakan lainnya, termasuk bangkai-bangkai hewan (Susilo, 2011).

Semut juga merupakan salah satu makro fauna tanah yang memiliki banyak peran dalam ekosistem pertanian, diantaranya adalah dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran.

Keberadaan makrofauna tanah sangat berperan dalam proses yang terjadi dalam tanah diantaranya proses dekomposisi, aliran karbon, bioturbasi, siklus unsur hara dan agregasi tanah. Diversitas makrofauna dapat digunakan sebagai bioindikator ketersediaan unsur hara dalam tanah. Hal ini karena makrofauna mempunyai peran penting dalam memperbaiki proses-proses dalam tanah.

Semut merupakan makrofauna yang mempunyai peran sebagai pendekomposer bahan organik, predator, dan hama tanaman. Semut juga dapat berperan sebagai ecosystem engineers yang berperan dalam memperbaiki struktur tanah dan aerasi tanah. Kelimpahan semut yang tertinggi biasanya terdapat pada lapisan seresah. Hal ini dikarenakan semut lebih menyukai tanah dengan bahan organik yang tinggi dibandingkan dengan bahan organik yang rendah.


(37)

19

Koloni semut dapat menurunkan bobot isi tanah sampai 21-30 % dan kelembaban tanah 2-17 %, serta meningkatkan mikroflora dan aktivitas enzim tanah (Philpott & Ambrecht, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada sarang semut

mempunyai kandungan bahan organik dengan kandungan N total lebih tinggi dibandingkan tanah di sekitarnya. Akumulasi bahan organik dari sisa makanan dan metabolisme akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme dan enzim tanah sehingga pergerakannya akan mempengaruhi struktur dan aerasi tanah.

Selain itu, peran semut sebagai predator telah banyak diketahui, sehingga semut dapat dijadikan predator untuk menanggulangi hama di perkebunan. Rossi dan Fowler (2002) melaporkan bahwa Solenopsis sp di Brazil dapat dimanfaatkan sebagai agen pengontrol kepadatan larva Diatraea saccharalis, penggerek tanaman tebu. Menurut Depparaba dan Mamesah (2005) bahwa populasi dan serangan pengorok daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dapat dikurangi dengan musuh alami semut hitam (Dolichoderus sp). Dalam hal ini semut juga berperan dalam mengendalikan populasi hama.

2.2.4. Metode Pengambilan Sampel Semut

a. Metode Winkler

Metode Winkler digunakan terutama untuk sampel tanah dan semut pada seresah (Agosti et al., 2000 dalam Susilo & Karyanto, 2005). Metode ini terdiri dari lima komponen yaitu, wadah winkler dengan bingkai kawat di dalamnya, wadah


(38)

20

dengan jaring-jaring dengan jala 2 mm, ayakan dengan jala 1 cm2, kantung seresah dan botol koleksi.

Pada metode ini ditentukan titik sampel secara acak sebanyak 15 titik. Pada setiap titik sampel diletakkan kuadran berukuran 1m2, kemudian seresah yang ada pada kuadran diambil pada pagi hari, dengan tujuan terdapat lapisan air pada

permukaan seresah, sehingga diharapkan terdapat semut yang terperangkap di dalamnya. Seresah pada permukaan tanah dikorek dengan kedalam 1-5 cm, garukan dilakukan dengan cepat sebelum semut melarikan diri. Kemudian seresah dimasukkan ke dalam ayakan untuk memisahkan seresah yang berukuran besar. Serasah kemudian dimasukkan ke dalam kantung kemudian di ekstraksi.

Sampel seresah seberat 2-3 kg dari kantong seresah dipindahkan ke wadah kasa dan diinkubasi dalam kantong winkler. Saat memindahkan sampel dari kantong kasa, dilakukan di atas nampan untuk menangkap setiap sample yang jatuh. Kantong winkler kemudian diinkubasi dalam suhu ruangan selama 72 jam. Selama waktu tersebut seresah akan mengering, sehingga semut yang melarikan diri dari seresah tersebut akan jatuh pada wadah koleksi yang diletakkan di bawah berisi alkohol 75%. Semut yang diperoleh kemudian dipindahkan ke dalam botol vial dan diberi label, kemudian diidentifikasi (Susilo & Karyanto, 2005).


(39)

21

b. Metode Pitfall

Perangkap ini digunakan untuk mengoleksi semut, kumbang dan invertebrata lain yang berada di permukaan tanah, termasuk juga kolembola. Perangkap pitfall dibuat dengan menggunakan wadah pelastik berdiameter 13 cm yang dipasang pada tanah yang terbuka (lubang). Pada masing-masing wadah yang talah terpasang dapat diisi dengan larutan sabun 1% sebanyak 200 ml (Susilo & Karyanto, 2005) atau dapat juga dengan menggunakan alkohol 70%. Perangkap pitfall dipasang selama 24 jam. Air sabun yang digunakan dapat mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang terperangkap ke dalamnya tidak mudah untuk melompat keluar dari wadah (Susilo & Karyanto, 2005). Sedangkan jika menggunakan alkohol 70% serangga yang terjebak ke dalam wadah akan segera mati. Karena sifat alkohol yang mudah menguap, maka diperlukan jumlah yang lebih dibandingkan dengan larutan sabun alkohol yang ada pada wadah tidak habis menguap.

Serangga yang terperangkap dipindahkan ke dalam kantung pelastik dan diberi label. Apabila pitfall menggunakan air sabun, maka serangga perlu dicuci dengan menggunakan air mengalir dengan tujuan untuk menghilangkan sisa detergen yang melekat pada sampel dan dikoleksi dalam botol berisi alkohol 75% yang telah diberi label (Susilo & Karyanto, 2005).


(40)

22

c. Metode Pengambilan Manual

Menurut Holldober & Wilson (1994 dalam Yahya & Moham, 2003) koleksi semut secara manual membutuhkan botol vial yang berisi alkohol 70% dan alat untuk mengumpulkan semut secara manual. Aktivitas semut dilakukan di permukaan tanah dan seresah juga pada batang pohon (kanopi). Kolektor dapat menentukan titik sampel dengan menggunakan tali atau pita yang diletakkan pada permukaan tanah hutan sebagai batasan pengambilan sampel. Pada titik sampel tersebut dapat pula diletakkan umpan utuk menarik kehadiran semut (Yahya & Moham, 2003).

Sampel disimpan dalam botol vial yang berisi alkohol 70% dan diberi label sesuai dengan titik sampel dan tanggal pengambilan sampel. Pengambilan sampel semut secara manual dapat dilakukan pada pagi dan sore hari, dengan tujuan untuk mengurangi efek dari preferensi waktu antara semut yang aktif pada waktu tertentu (Yahya & Moham, 2003).


(41)

23

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survai, yaitu pengambilan sampel semut pada tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang berada di Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran-Provinsi Lampung. Secara geografis, desa ini terletak pada 5° 23' 0" LS dan 105° 5' 0" BT.

Ketinggian tempat Desa Cipadang antara 100-200 meter dpl. Desa Cipadang dan desa-desa lainnya di kecamatan Gedong Tataan memiliki iklim hujan tropis sebagaimana iklim Propinsi Lampung pada umumnya, dengan curah hujan per tahun berkisar antara 2.264 mm sampai dengan 2.868 mm dan hari hujan per tahun antara 90 sampai dengan 176 hari. Angin di Kecamatan Gedong Tataan bertiup dari Samudra Indonesia dengan kecepatan rata-rata 70 km/hari atau 5,83 km/jam. Suhu udara berkisar antara 26°C sampai dengan 29°C rata-rata 28°C (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesawaran, 2011). Kebun-kebun kakao yang diamati adalah milik petani setempat.


(42)

24

Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu pengambilan sampel semut di lapangan, identifikasi spesimen semut di laboratorium dan penulisan laporan. Pengambilan sampel semut dilakukan pada bulan Maret tahun 2013. Sampel semut yang diperoleh diidentifikasi di Laboratorium Artropoda Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Juli 2013. Penulisan laporan dan perbaikan laporan dilaksanakan dari bulan Oktober 2013 sampai dengan bulan Februari 2014.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat pitfall (digunakan untuk memerangkap semut-semut penjelajah), perangkat winkler (digunakan untuk mengoleksi semut yang berasosiasi dengan seresah), kuadran berukuran 1 m2, kantung pelastik bening, botol koleksi, mikroskop, dan semut pada kebun kakao.

3.3 Pengambilan Sampel Semut

Pengambilan sampel semut dilaksanakan pada tiga kebun kakao yang berumur antara 4-6 tahun, sehingga diharapkan tidak ada perbedaan kemapanan atau kemantapan ekosistem. Kebun pertama (Tipe 1) adalah kebun kakao dengan sedikit pohon penaung (6,9%). Luas kebun ± 5.950 m2 (Gambar 2), dengan jumlah pohon kakao sebanyak 594 batang. Di antara tanaman-tanaman kakao tersebut terdapat 44 tanaman lain (pohon penaung) yang terdiri dari pohon kelapa


(43)

25

2 m 2 m

2 m

2 m 85 m

70 m Jarak tanam kakao 3 m × 3

m

27 tan

22tan

(Cocos nucifera) sebanyak 23 batang, pohon dadap (Erythrina sp.) sebanyak tiga batang, pohon kemiri (Aleurites moluccana) sebanyak empat batang, pohon durian (Durio zibethinus) tiga batang, pohon bayur (Pterospermum javanicum) enam batang, dan pohon mangga (Mangifera indica) lima batang.

Gambar 2. Denah kebun kakao Tipe 1

Kebun kedua (Tipe 2) adalah kebun kakao dengan pohon penaung sedang (13,6%). Kebun ini memiliki luas ± 6.825 m2 (Gambar 3). Pada kebun tersebut terdapat 670 batang tanaman kakao dan 106 pohon penaung yang terdiri dari pohon kelapa (Cocos nucifera) 37 batang batang, pohon nangka (Artocarpus heterophyllus) tiga batang, pohon bayur (Pterospermum javanicum) lima batang, pohon jati (Tectona grandis) dua batang, pohon alpukat (Persea americana) satu batang, pohon petai (Parkia speciosa) tujuh batang, pohon durian (Durio

zibethinus) satu batang, pohon kopi (Coffee Cannephora) 38 batang dan pisang (Musa paradisiaca) 12 rumpun kecil.


(44)

26

60 m

75 m 5 m

90 m

24 tan 12 tan

29tan Jarak tanam kakao 3×3 m

Gambar 3. Denah kebun kakao Tipe 2.

Kebun ketiga (Tipe 3) adalah kebun dengan banyak pohon penaung (52,3% pohon penaung). Luas kebun ± 12.000 m2 (Gambar 4). Pada kebun ini terdapat 494 pohon kakao dan 546 pohon karet (Havea brasiliensis). Jarak tanam tanaman karet adalah 7 × 3 m, kemudian di sela-sela tanaman karet ditanami kakao. Permukaan tanah pada kebun ini berbeda dengan kebun karet pada umumnya. Pada kebun ini tidak terdapat tanaman penutup tanah, sehingga permukaan tanah ditutupi oleh serasah daun karet dan daun kakao.

Keterangan : Tanaman kakao ditanam diantara tanaman karet

Gambar 4. Denah kebun kakao Tipe 3.

1,5 m 1,5 m

1 m

1 m 120 m

100 m Jarak tanam karet 7 × 3 m

39 karet

14 karet


(45)

27

Pada setiap tipe kebun ditentukan 15 titik sampel yang diambil secara acak. Setiap pohon kakao yang ditemukan diberi nomor berdasarkan baris. Pengacakan

dilakukan dengan menggunakan angka acak pada microsoft excel.

Pengambilan sampel semut pada masing-masing tipe kebun dilakukan dengan tiga metode, yaitu secara manual, dengan perangkap pitfall dan dengan metode

winkler. Metode manual ditujukan untuk mengoleksi semut yang aktif di tajuk pohon kakao. Pitfall dipasang untuk mengoleksi semut yang aktif di permukaan tanah. Ada pun penggunaan metode winkler ditujukan untuk mengoleksi semut pada serasah.

3.3.1. Pengambilan Sampel Semut Secara Manual

Pengambilan sampel semut secara manual dilakukan pada pohon yang terpilih sebagai titik sampel. Seluruh semut yang terdapat pada pohon (dari permukaan tanah sampai dahan yang dapat dijangkau) diambil dan dikolesi dalam botol vial yang berisi alkohol 70%. Waktu pengambilan sampel secara manual ini adalah 10 menit pada setiap pohon sampel.

3.3.2. Pengambilan Sampel Semut Menggunakan Metode Perangkap Pitfall

Titik sampel pada metode perangkap pitfall ditentukan berdasarkan pohon yang dijadikan titik sampel pada pengambilan sampel secara manual. Titik sampel pitfall ditentukan sejajar dengan batang pohon kakao dan berjarak satu meter ke


(46)

28

arah utara. Pada titik tersebut dibuat lubang yang berukuran sesuai dengan wadah yang digunakan untuk perangkap pitfall. Wadah kemudian dibenamkan dalam lubang dengan bagian bibir wadah sejajar dengan permukaan tanah, kemudian wadah diisi 150 ml cairan alkohol 70%. Dengan demikan, semut yang aktif di permukaan tanah pada titik itu dan jatuh ke dalam wadah akan terperangkap. Bagian atas perangkap diberi pelindung plastik mika untuk menghindari air masuk ke dalam wadah apabila terjadi hujan. Setelah 24 jam, pitfall diambil dan seluruh semut yang terperangkap dikoleksi ke dalam botol-botol vial.

3.3.3. Pengambilan Sampel Semut Menggunakan Metode Winkler

Titik sampel winkler ditetapkan sejajar dengan dan berjarak 1 m dari pohon kakao (yang menjadi titik sampel metode manual) ke arah timur. Pada titik tersebut diletakkan kuadran berukuran 1 m2, kemudian seluruh seresah yang terdapat pada kuadran di ambil dan dimasukkan ke dalam kantung kain winkler.

Sebelum dilakukan inkubasi serasah terlebih dahulu disiapkan perangkat winkler yang telah digantungkan pada tiang-tiang bambu (Gambar 5). Pada bagian bawah winkler dipasang gelas plastik yang berisi alkohol 70% sebanyak ± 250 ml. Seresah yang sudah dikumpulkan pada kantung winkler diayak dengan

menggunakan ayakan winkler. Seresah hasil ayakan kemudian dimasukkan dalam kantung kasa berukuran 25 × 20 cm. Pemindahan seresah ke dalam kasa

dilakukan di atas nampan yang berisi alkohol 70%, sehingga apabila terdapat semut yang jatuh dapat langsung dikoleksi pada botol koleksi yang telah diberi


(47)

29

label. Kasa yang berisi seresah kemudian dimasukkan ke dalam winkler dan digantungkan pada kait kawat yang tersedia di dalam winkler. Bagian atas winkler diikat agar tidak ada serangga lain yang masuk ke dalam aparatus winkler.

Seresah tersebut diinkubasi selama 72 jam, tujuannya adalah agar seresah yang ada dalam winkler kering secara perlahan dan seluruh semut yang ada dalam seresah dapat jatuh ke dalam gelas plastik yang berisi alkohol 70%. Seluruh semut yang terdapat pada gelas plastik kemudian dimasukkan dalam vial yang juga berisi alkohol 70%.


(48)

30

3.3.4 . Identifikasi Semut

Spesimen semut diidentifikasi di Laboratorium Artropoda Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Identifikasi dilakukan sampai tingkat genus dengan menggunakan buku Inventory & Collection: Total protocol for understanding of biodiversity (Hashimoto, 2003). Genus-genus yang telah terindentifikasi

selanjutnya direklasisfikasi berdasar fungsi ekologisnya, yaitu sebagai predator, pesaba, simbion dan pemanen biji. Variasi morfologi pada spesimen-spesimen pada genus yang sama selanjutnya dipilahkan ke dalam morfospesies.

3.3.5. Pengamatan Faktor Lingkungan Kebun Kakao

Variabel lingkungan yang diamati adalah suhu tanah, keasaman (pH) tanah, kelembaban tanah, ketebalan serasah, dan C organik serta N total serasah (C/N serasah). Seluruh variabel lingkungan itu diamati pada setiap titik sampel winkler. Suhu tanah diukur dengan menggunakan termometer. Keasaman tanah (pH) tanah diukur dengan pH meter dan kelembaban tanah diukur menggunakan moisture meter. Ketebalan seresah diukur menggunakan mistar 30 cm sebelum seresah tersebut diambil untuk proses ekstraksi semut pada metode winkler.

Penentuan kadar C organik pada seresah dilakukan di Laboratorium menggunakan metode Walkley and Black, sedangkan untuk menentukan N total digunakan metode Kjeldahl (Balai Penelitian Tanah, 2005).


(49)

31

3.4 Analisis Data

1. Melakukan uji F

Data jumlah morfospesies, jumlah genus, dan kelimpahan semut antartipe kebun kakao dianalisis menggunakan uji F (ANOVA) pada taraf 1% atau 5% dan uji BNT pada taraf 5%.

2. Membuat spesies accumulation curve (kurva akumulasi morfospesies) Species accumulation curve atau kurva akumulasi spesies digunakan untuk menaksir (menduga) jumlah genus semut kawasan pengambilan contoh. Pendugaan dilakukan dengan menggunakan software EstimateSWin910 (Colwell, 2013).

3. Menentukan indeks diversitas Shannon

Untuk menghitung indeks diversitas digunakan rumus dalam Waite (2000) sebagai berikut.

dengan catatan S = jumlah morfospesies dan pi = Proporsi (kepadatan relatif) morfospesies ke-i

4. Menentukan indeks kesamaan/kemiripan komunitas (indeks Sorensen)

Untuk memembandingkan komunitas semut antartipe kebun kakao digunakan indeks kesamaan komunitas (Qs) menurut Suin (2002) sebagai berikut.


(50)

32

dengan Qs = indeks kesamaan komunitas; A = jumlah morfospesies dalam habitat a; B = jumlah morfospesies dalam habitat b; dan C = Jumlah morfospesies yang sama pada kedua habitat

5. Membuat pola kelimpahan relatif morfospesies

Pola kelimpahan morfospesies dibuat untuk mengetahui morfospesies-morfospesies penting pada ketiga tipe kebun kakao. Data kelimpahan

morfospesies merupakan dasar untuk membuat kurva kelimpahan relatif, yaitu dengan mencari nilai kelimpahan relatif (pi) morfospesies dari data kelimpahan morfospesies. Nilai kelimpahan relatif morfospesies diperoleh dengan

membagi nilai kelimpahan morfospesies dengan kelimpahan total morfospesies. Tahap tersebut dilakukan pada setiap tipe kebun. Nilai kelimpahan relatif pada setiap tipe kebun kemudian diurutkan (tertinggi-terendah), kemudian membuat kurva kelimpahan relatif berdasarkan nilai tersebut.

6. Melakukan analisis korelasi

Variabel-variabel lingkungan kebun kakao ( suhu tanah, pH tanah, kelembaban tanah, ketebalan seresah, C organik dan N total) dikorelasikan dengan variabel kelimpahan semut. Korelasi tersebut diuji menggunakan uji t pada taraf 5%.


(51)

72

V. KESIMPULAN

1. Pada penelitian ini diperoleh 47 morfospesies semut dari 28 genus, tiga relung (serasah, permukaan tanah, tajuk tanaman kakao), empat subfamili

(Dolichoderinae, Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae), dan empat golongan fungsional (predator, pesaba, simbion, pemanen biji).

2. Keragaman semut tertinggi terdapat pada kebun kakao Tipe 2 (indeks Shannon = 1,92 untuk semut serasah; 1,54 untuk semut permukaan tanah; dan 1, 77 untuk semut tajuk tanaman). Keragaman semut menurun pada kebun kakao Tipe 3 (indeks Shannon = 1,13 untuk semut serasah dan 0,74 untuk semut tajuk tanaman). Pada kebun kakao Tipe 1 keragaman semut juga menurun (indeks Shannon = 0,75 untuk semut permukaan tanah).

3. Kelimpahan semut seresah dan semut tajuk tanaman tertinggi terdapat pada kebun kakao Tipe 3. Meningkatnya jumlah pohon penaung pada kebun kakao nampaknya menaikkan kelimpahan semut-semut tersebut. Namun, kelimpahan semut permukaan tanah tidak berbeda antartipe kebun kakao.

4. Komposisi morfospesies semut pada kebun kakao Tipe 2 lebih mirip dengan komposisi morfospesies semut pada kebun kakao Tipe 3 (indeks Sorensen = 76, 7%) daripada dengan komposisi morfospesies semut pada kebun kakao Tipe 1 (indeks Sorensen = 56,7%). Komposisi morfospesies semut pada kebun kakao Tipe 1 dan Tipe 3 kurang mirip (indeks Sorensen = 53,6%).

5. Morfospesies-morfospesies semut yang paling dominan pada masing-masing tipe kebun kakao adalah sebagai berikut. Kebun kakao Tipe 1: Monomorium sp. 2 (di serasah dan tajuk tanaman) dan Pheidologeton sp. 1 (di permukaan tanah). Kebun kakao Tipe 2: Pheidologeton sp. 1 (di permukaan tanah dan


(52)

73

serasah) dan Dolichoderus sp. 1 (di tajuk tanaman). Kebun kakao Tipe 3: Hypoponera sp. 1 (di permukaan tanah), Pheidologeton sp. 1 (di serasah), dan Dolichoderus sp. 1 (di tajuk tanaman).

6. Faktor-faktor lingkungan pada kebun kakao berkorelasi positif dengan kelimpahan semut seresah adalah (1) tebal seresah (r = 0,77** pada Tipe 1; r = 0,65** pada Tipe 2; dan r = 0,64** pada Tipe 3), (2) pH tanah (r = 0,63* pada Tipe 1; r = 0,71** pada Tipe 2; dan r = 0,67** pada Tipe 3), dan (3) kelembaban tanah (r = 0,53* pada Tipe 1; r = 0,52* pada Tipe 2; dan r = 0,61* pada Tipe 3). Suhu tanah dan C/N rasio seresah tidak berkorelasi dengan kelimpahan semut.


(53)

74

DAFTAR PUSTAKA

Aini F.K. 2005. Kajian Diversitas Rayap Pasca Alih Guna Hutan Menjadi Lahan Pertanian. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang. 102 hlm.

Alonso L.E. & Agosti D. 2000. Biodiversity Studies, Monitoring and Ants: An Overview . Pp 1-8. In: Agosti D., Majer J. D., Alonso L. E. & Schultz T. R. (Eds.) Ants : Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Instituton Press. Washington.

Alonso L.E. 2000. Ants as Indicators of Biodiversity. Pp 81-88. In: Agosti D., Majer J. D., Alonso L. E. & Schultz T. R. (Eds.) Ants : Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Instituton Press. Washington.

Andersen N. A., Hoffman B. D., Muller W. J., & Griffiths A. 2002. Using Ants as Bioindicators in Land Management: Simplifying Assessment of Ant Community Responses. Journal of Applied Ecology 39 (1): 8-17 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2005.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. 33 hlm.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesawaran. 2011. Kecamatan Gedong Tataan dalam Angka Tahun 2011. BPS Pesawaran. Pesawaran.

Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor

Borror D.J., Triplehorn C.A., & Johnson N.F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi keenam. Diterjemahkan dan disunting oleh

Partosoedjono S. & Brotowidjoyo M.D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1083 hlm.

Bruhl C.A., Gunsalam G., & Linsemair K. E. 1998. Stratification of Ants (Hymenoptera, Formicidae) in Primary Rain Forest in Sabah, Borneo. Journal of Tropical Ecology 14: 285-297.


(54)

75

Buchori D. 2010. Efek Iklim terhadap Komunitas Semut pada Pertanaman Kakao: Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Keberadaan Hama dan Penyakit. IPB Repository.

http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=penelitian/hasilcari&statu s=buka&id_haslit=PSI/019.10/BUC/e. Diakses tanggal 10 Nopember 2013.

Colwell R.K. 2013. EstimateS 9.1.0 User’s Guide. Departement of Ecology & Evolutionary Biology. University of Connecticut, USA.

Decaëns T., Asakawa N., Galvis J.H., Thomas R.J., & Amezquita E. 2002. Surface Activity of Soil Ecosystem Engineers and Soil Structure in Contrasted Land Use Systems of Colombia. European Journal of Soil Biology 38: 267−271

Depparaba F. & Mamesah D. 2005. Populasi dan Serangan Penggerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada Tanaman Jeruk dan Alternatif Pengendalianya. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8 (1) : 88-93.

Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. 2010. Komoditi Perkebunan Unggulan (Komoditi Kakao). Bandar Lampung. 13 hlm.

http://disbun.lampungprov.go.id%2Fkakao.doc&ei=qRVuUL7bNYS0rA epvoAQ&usg=AFQjCNELS5lI3AlWk8QLCGVPyxBjc3atUg&sig2=Kq 1ZFr-S56WxkYfzDAty9w. Diakses tanggal 25 September 2012.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Pedoman Umum Gernas Kakao Tahun 2012. Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian. Jakarta. 78 hlm.

Hakim N., Nyakpa M.Y., Lubis A.M., Nugroho S.G., Saul R., Diha M.A., Hong G.B., & Bailey H.H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 488 hlm.

Hashimoto Y. 2003. Identification Guide to the Ant Genera of Borneo. In: Hashimoto Y. & Rahman H. (Eds.). Inventory and Collection Total Protocol for Understanding of Biodiversity.Pp89-162. Mewamas Sdn. Bhd. Sabah. Malaysia

Holldobler B. & Wilson E.O. 1990. The Ants. United States of America. 733 pp. Google Book.

http://books.google.co.id/books?id=ljxV4h61vhUC&printsec=frontcover &hl=id&source=gbs_ge_summary_r#v=onepage&q&f=false

Diakses tanggal 14 September 2013.

Kalshoven L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. 701 pp.


(55)

76

Kaspari M. 2000. A Primer on Ant Ecology. In: Agosti D. Majer J.D., Alonso L.E., and Schultz T.R.(Eds.). Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Pp 9-24. Smithsonian Instituton Press. Washington and London.

Peck S. L., McQuaid B., & Campbell C. L. 1998. Using Ant Species

(Hymenoptera: Formicidae) as Biological Indicator of Agroecosystem Condition. Environmental Entomology 27: 1102-1110.

Philpott S.M. & Armbrecht I. 2006. Biodiversity in Tropical Agroforests and the Ecological Role of Ants and Ant Diversity in Predatory Function. Ecological Entomology 31: 369-377.

Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10(2): 241-253.

Rossi M.N. & Fowler H.G. 2002. Manifulation of Fire Ant Density, Solenopsis spp., for Short-Term Reduction of Diatraea saccharalis Larva densities in Brazil. Scienta Agricola 59 (2) : 389-392.

Setyamidjaja D. 1993. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta. 270 hlm.

Siregar T.H.S., Riyadi S., & Nuraeni L. 2006. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Cokelat. Penebar Swadaya. Tanjung Morawa. 170 hlm. Suin N.M. 2002. Metoda Ekologi. Andalas University Press. Padang.

Susanto F.X. 1993. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Ambarawa. 183 hlm.

Susilo F.X. & Karyanto A. 2005. Methods for Assessment of Below-Ground Biodiversity in Indonesia CSM-BGBD.Lampung University. Bandar Lampung. 59 pp.

Susilo F.X. 2011. Keberadaan Serangga di Ekosistem Pertanian:

Keanekaragaman, Interelasi, dan Prospek Pengelolaannya Secara Bio-rasional. Orasi Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 62 hlm. Suwondo. 2007. Dinamika Kepadatan dan Distribusi Vertikal Arthropoda Tanah

pada Kawasan Hutan Tanaman Industri. Jurnal Pilar Sains 6 (2) : 41-50. Tilman D., Cassman K.G., Matson P.A., Naylor R., & Polasky S. 2002.

Agricultural Sustainablility and Intensive Production Practices. Nature 418: 671-677.


(56)

77

Waite S. 2000. Statistical Ecology in Practice : A Guide to Analysing

Environmental and Ecological Field Data. Pearson Education Limited. England.

Yahya B. E. B. & Moham M. 2003. Ant : Field Techniques. In : Hashimoto Y. & Rahman H. (Eds.) Inventory and Collection Total Protocol for

Understanding of Biodiversity.Pp89-162. Mewamas Sdn. Bhd. Sabah. Malaysia.


(1)

V. KESIMPULAN

1. Pada penelitian ini diperoleh 47 morfospesies semut dari 28 genus, tiga relung (serasah, permukaan tanah, tajuk tanaman kakao), empat subfamili

(Dolichoderinae, Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae), dan empat golongan fungsional (predator, pesaba, simbion, pemanen biji).

2. Keragaman semut tertinggi terdapat pada kebun kakao Tipe 2 (indeks Shannon = 1,92 untuk semut serasah; 1,54 untuk semut permukaan tanah; dan 1, 77 untuk semut tajuk tanaman). Keragaman semut menurun pada kebun kakao Tipe 3 (indeks Shannon = 1,13 untuk semut serasah dan 0,74 untuk semut tajuk tanaman). Pada kebun kakao Tipe 1 keragaman semut juga menurun (indeks Shannon = 0,75 untuk semut permukaan tanah).

3. Kelimpahan semut seresah dan semut tajuk tanaman tertinggi terdapat pada kebun kakao Tipe 3. Meningkatnya jumlah pohon penaung pada kebun kakao nampaknya menaikkan kelimpahan semut-semut tersebut. Namun, kelimpahan semut permukaan tanah tidak berbeda antartipe kebun kakao.

4. Komposisi morfospesies semut pada kebun kakao Tipe 2 lebih mirip dengan komposisi morfospesies semut pada kebun kakao Tipe 3 (indeks Sorensen = 76, 7%) daripada dengan komposisi morfospesies semut pada kebun kakao Tipe 1 (indeks Sorensen = 56,7%). Komposisi morfospesies semut pada kebun kakao Tipe 1 dan Tipe 3 kurang mirip (indeks Sorensen = 53,6%).

5. Morfospesies-morfospesies semut yang paling dominan pada masing-masing tipe kebun kakao adalah sebagai berikut. Kebun kakao Tipe 1: Monomorium sp. 2 (di serasah dan tajuk tanaman) dan Pheidologeton sp. 1 (di permukaan tanah). Kebun kakao Tipe 2: Pheidologeton sp. 1 (di permukaan tanah dan


(2)

serasah) dan Dolichoderus sp. 1 (di tajuk tanaman). Kebun kakao Tipe 3: Hypoponera sp. 1 (di permukaan tanah), Pheidologeton sp. 1 (di serasah), dan Dolichoderus sp. 1 (di tajuk tanaman).

6. Faktor-faktor lingkungan pada kebun kakao berkorelasi positif dengan kelimpahan semut seresah adalah (1) tebal seresah (r = 0,77** pada Tipe 1; r = 0,65** pada Tipe 2; dan r = 0,64** pada Tipe 3), (2) pH tanah (r = 0,63* pada Tipe 1; r = 0,71** pada Tipe 2; dan r = 0,67** pada Tipe 3), dan (3) kelembaban tanah (r = 0,53* pada Tipe 1; r = 0,52* pada Tipe 2; dan r = 0,61* pada Tipe 3). Suhu tanah dan C/N rasio seresah tidak berkorelasi dengan kelimpahan semut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Aini F.K. 2005. Kajian Diversitas Rayap Pasca Alih Guna Hutan Menjadi Lahan Pertanian. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang. 102 hlm.

Alonso L.E. & Agosti D. 2000. Biodiversity Studies, Monitoring and Ants: An Overview . Pp 1-8. In: Agosti D., Majer J. D., Alonso L. E. & Schultz T. R. (Eds.) Ants : Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Instituton Press. Washington.

Alonso L.E. 2000. Ants as Indicators of Biodiversity. Pp 81-88. In: Agosti D., Majer J. D., Alonso L. E. & Schultz T. R. (Eds.) Ants : Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Instituton Press. Washington.

Andersen N. A., Hoffman B. D., Muller W. J., & Griffiths A. 2002. Using Ants as Bioindicators in Land Management: Simplifying Assessment of Ant Community Responses. Journal of Applied Ecology 39 (1): 8-17 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2005.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. 33 hlm.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesawaran. 2011. Kecamatan Gedong Tataan dalam Angka Tahun 2011. BPS Pesawaran. Pesawaran.

Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor

Borror D.J., Triplehorn C.A., & Johnson N.F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi keenam. Diterjemahkan dan disunting oleh

Partosoedjono S. & Brotowidjoyo M.D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1083 hlm.

Bruhl C.A., Gunsalam G., & Linsemair K. E. 1998. Stratification of Ants (Hymenoptera, Formicidae) in Primary Rain Forest in Sabah, Borneo. Journal of Tropical Ecology 14: 285-297.


(4)

Buchori D. 2010. Efek Iklim terhadap Komunitas Semut pada Pertanaman Kakao: Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Keberadaan Hama dan Penyakit. IPB Repository.

http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=penelitian/hasilcari&statu s=buka&id_haslit=PSI/019.10/BUC/e. Diakses tanggal 10 Nopember 2013.

Colwell R.K. 2013. EstimateS 9.1.0 User’s Guide. Departement of Ecology &

Evolutionary Biology. University of Connecticut, USA.

Decaëns T., Asakawa N., Galvis J.H., Thomas R.J., & Amezquita E. 2002. Surface Activity of Soil Ecosystem Engineers and Soil Structure in Contrasted Land Use Systems of Colombia. European Journal of Soil Biology 38: 267−271

Depparaba F. & Mamesah D. 2005. Populasi dan Serangan Penggerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada Tanaman Jeruk dan Alternatif Pengendalianya. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8 (1) : 88-93.

Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. 2010. Komoditi Perkebunan Unggulan (Komoditi Kakao). Bandar Lampung. 13 hlm.

http://disbun.lampungprov.go.id%2Fkakao.doc&ei=qRVuUL7bNYS0rA epvoAQ&usg=AFQjCNELS5lI3AlWk8QLCGVPyxBjc3atUg&sig2=Kq 1ZFr-S56WxkYfzDAty9w. Diakses tanggal 25 September 2012.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Pedoman Umum Gernas Kakao Tahun 2012. Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian. Jakarta. 78 hlm.

Hakim N., Nyakpa M.Y., Lubis A.M., Nugroho S.G., Saul R., Diha M.A., Hong G.B., & Bailey H.H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 488 hlm.

Hashimoto Y. 2003. Identification Guide to the Ant Genera of Borneo. In: Hashimoto Y. & Rahman H. (Eds.). Inventory and Collection Total Protocol for Understanding of Biodiversity.Pp89-162. Mewamas Sdn. Bhd. Sabah. Malaysia

Holldobler B. & Wilson E.O. 1990. The Ants. United States of America. 733 pp. Google Book.

http://books.google.co.id/books?id=ljxV4h61vhUC&printsec=frontcover &hl=id&source=gbs_ge_summary_r#v=onepage&q&f=false

Diakses tanggal 14 September 2013.

Kalshoven L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. 701 pp.


(5)

Kaspari M. 2000. A Primer on Ant Ecology. In: Agosti D. Majer J.D., Alonso L.E., and Schultz T.R.(Eds.). Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Pp 9-24. Smithsonian Instituton Press. Washington and London.

Peck S. L., McQuaid B., & Campbell C. L. 1998. Using Ant Species

(Hymenoptera: Formicidae) as Biological Indicator of Agroecosystem Condition. Environmental Entomology 27: 1102-1110.

Philpott S.M. & Armbrecht I. 2006. Biodiversity in Tropical Agroforests and the Ecological Role of Ants and Ant Diversity in Predatory Function. Ecological Entomology 31: 369-377.

Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10(2): 241-253.

Rossi M.N. & Fowler H.G. 2002. Manifulation of Fire Ant Density, Solenopsis spp., for Short-Term Reduction of Diatraea saccharalis Larva densities in Brazil.

Scienta Agricola 59 (2) : 389-392.

Setyamidjaja D. 1993. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta. 270 hlm.

Siregar T.H.S., Riyadi S., & Nuraeni L. 2006. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Cokelat. Penebar Swadaya. Tanjung Morawa. 170 hlm. Suin N.M. 2002. Metoda Ekologi. Andalas University Press. Padang.

Susanto F.X. 1993. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Ambarawa. 183 hlm.

Susilo F.X. & Karyanto A. 2005. Methods for Assessment of Below-Ground Biodiversity in Indonesia CSM-BGBD.Lampung University. Bandar Lampung. 59 pp.

Susilo F.X. 2011. Keberadaan Serangga di Ekosistem Pertanian:

Keanekaragaman, Interelasi, dan Prospek Pengelolaannya Secara Bio-rasional. Orasi Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 62 hlm. Suwondo. 2007. Dinamika Kepadatan dan Distribusi Vertikal Arthropoda Tanah

pada Kawasan Hutan Tanaman Industri. Jurnal Pilar Sains 6 (2) : 41-50. Tilman D., Cassman K.G., Matson P.A., Naylor R., & Polasky S. 2002.

Agricultural Sustainablility and Intensive Production Practices. Nature 418: 671-677.


(6)

Waite S. 2000. Statistical Ecology in Practice : A Guide to Analysing

Environmental and Ecological Field Data. Pearson Education Limited. England.

Yahya B. E. B. & Moham M. 2003. Ant : Field Techniques. In : Hashimoto Y. & Rahman H. (Eds.) Inventory and Collection Total Protocol for

Understanding of Biodiversity.Pp89-162. Mewamas Sdn. Bhd. Sabah. Malaysia.