Pengertian Korban Pelanggaran HAM yang Berat

14 Pengertian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, merujuk pada ketentuan Pasal 1 PP No. 32002, yakni: 1 Kompensasi: ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. 2 Restitusi: ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. 3 Rehabilitasi: pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain. Perumusan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut memunculkan konsekuensi para korban sulit untuk mendapatkan hak-haknya. Pertama, kompensasi yang merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, mempunyai konsekuensi yuridis yakni kompensasi selalu dikaitkan dengan adanya kesalahan dan tanggungjawab pelaku. Kompensasi yang merupakan ganti kerugian yang diberikan negara mensyaratkan adanya pelaku yang dinyatakan bersalah dan oleh karenanya pelaku tersebut dibebani kewajiban untuk membayar restitusi. 33 Negara hanya akan memberikan kompensasi jika pelaku tidak mampu membayar ganti kerugian atau restitusi, atau berdasarkan pada adanya keputusan pengadilan tentang pelanggaran HAM yang berat dan pelaku dinyatakan bersalah. Ketentuan tersebut menunjukkan, kompensasi tidak serta merta menjadi hak korban pelanggaran HAM yang berat jika terdakwa tidak dinyatakan bersalah oleh pengadilan, meski peristiwanya diakui sebagai pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM adhoc menunjukkan, suatu peristiwa diakui oleh pengadilan, namun karena terdakwa dibebaskan, menyebabkan tidak ada putusan mengenai kompensasi. Pengadilan HAM adhoc dalam perkara Timor-Timur, peristiwanya diakui sebagai pelanggaran HAM yang berat, namun pelaku dibebaskan dan tidak ada amar putusan terkait dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban. Kedua, putusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dicantumkan dalam amar putusan. Hak atas kompensasi restitusi dan rehabilitasi tidak akan diberikan jika pengadilan dalam putusannya tidak menyebutkan tentang adanya kompensasi restitusi dan rehabilitasi. Dalam perkara Kasus Tanjung Priok, putusan mengenai kompensasi kepada korban tidak ditegaskan kembali atau tidak menjadi keputusan yang mengikat karena pelaku pada tingkat banding atau kasasi dibebebaskan dan dinyatakan tidak bersalah, dimana sebelumnya mereka dinyatakan bersalah, padahal sebelumnya di tingkat pertama pengadilan memberikan putusan adanya kompensasi kepada para korban. Pemberian kompensasi seharusnya tidak menggantungkan pada kemampuan pelaku untuk membayar ganti kerugian kepada korban, karena juga akan berkonsekuensi pada jangka waktu diberikannya kompensasi setelah adanya putusan yang berkekuatan tetap, dan melihat apakah pelaku tetap dinyatakan bersalah di pengadilan yang lebih tinggi. Pengaturan yang demikian ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 1 PP No. 32002, bahwa syarat pelaksanaan pemberian kompensasi oleh instansi pemerintah berdasarkan atas keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Artinya, setelah ada putusan kasasi baru pelaksanaan kompensasi 33 Bandingkan dengan keputusan mengenai pengetian kompensasi dalam UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara terhadap korban pelanggaran HAM yang berat. Ketentuan dalam UU ini tidak mendasarkan pada kemampuan pelaku untuk membayar ganti kerugian atau tidak.