Prosedur Pengajuan Analisa Kerangka Hukum Nasional terkait Hak
17 diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia
melalui LPSK”. Merujuk bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diberikan berdasarkan amar putusan
pengadilan HAM, maka sebelumnya sudah harus ada permohonan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, baik dalam surat dakwaan maupun tuntutan pidana. Berdasarkan
KUHAP, pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengajukan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi seharusnya Jaksa Agung sebagai penuntut umum dalam kasus pelanggaran HAM
yang berat. Jaksa Agung dapat mewakili kepentingan korban, dimana korban adalah pihak ketiga dalam proses pengadilan yang mempunyai hak melakukan tuntutan ganti kerugian atas
kejahatan yang dialaminya. Prosedur pengajuan ini menggunakan mekanisme penggabungan tuntutan ganti kerugian dengan perkara pidananya. Prosedur ini juga memungkinkan adanya
permintaan ganti kerugian oleh korban, yang dapat diajukan sebelum penuntut umum melakukan tuntutan pidana atau selambat-lambatnya sebelum putusan pengadilan
dibacakan.
38
Dalam pengalaman Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc, penuntut umum tidak pernah semenjak awal melakukan proses pengajuan ganti kerugian korban ke pengadilan.
Kelompok korban atau pendampingnya yang mempersiapkan permohonan ini dan kemudian diajukan kepada penuntut umum. Penuntut umum selanjutnya melampirkan permohonan
korban ini dalam lampiran surat tuntutan. Para korban sendiri atau melalui kuasa hukumnya, mengajukan sendiri atau langsung ke pengadilan.
Kerumitan dan kelemahan tersebut, diperbaiki melalui UU No. 132006 dan PP No. 44 2008. PP tersebut mengatur proses pengajuan kompensasi dan restitusi korban pelanggaran HAM
yang berat, diantaranya memberikan mandat kepada LPSK, sebagai lembaga yang memfasilitasi permohonan Kompensasi dari korban baik melalui Jaksa Agung maupun
langsung ke Pengadilan HAM. Bahkan Pengaturan terbaru dalam UU No 31 tahun 2014 di Pasal 7 dinyatakan bahwa
“..Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat …juga berhak atas kompensasi. Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan oleh korban,
keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK”. Dan dalam
Pasal 7 ayat 3 juga menyatakan bahwa Pelaksanaan pembayaran Kompensasi diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
PP No. 442008 memberikan kejelasan tentang prosedur permohonan kompensasi dan pelaksanaannya, termasuk syarat-syarat pengajuan kompensasi yang dilakukan melalui
LPSK. Pengajuan kompensasi dapat dilakukan pada saat penyelidikan pelanggaran HAM yang berat atau sebelum dibacakan tuntutan oleh penuntut umum. Setelah disetujui oleh
LPSK berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat tertentu, LPSK kemudian menyampaikan permohonan kompensasi beserta keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan HAM.
Dalam hal LPSK berpendapat bahwa pemeriksaan permohonan Kompensasi perlu dilakukan bersama-sama dengan pokok perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, permohonan
disampaikan kepada Jaksa Agung. Kemudian penuntut umum pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Kompensasi beserta
keputusan dan pertimbangan LPSK. Permohonan kompensasi yang dilakukan setelah putusan pengadilan HAM telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dilakukan berdasarkan prosedur yang sama, dengan adanya hasil
38
Lihat Pasal 98 KUHAP.
18 penetapan pengadilan. Pengadilan HAM akan memeriksa dan menetapkan permohonan
kompensasi dalam jangka waktu paling lambat 30 tiga puluh hari. Pengadilan dalam melakukan pemeriksaan permohonan kompensasi dapat meminta keterangan kepada korban,
keluarga, atau kuasanya, LPSK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan pihak lain yang terkait.
Untuk melengkapi regulasi terkait kompensasi tersebut, pada tahun 2010 LPSK telah menyusun peraturan LPSK No. 2 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur SOP
permohonan dan Pelaksanakaan Kompensasi,
39
dan Peraturan LPSK No 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur SOP permohonan Pelaksanan Restitusi.
Meski ada perbaikan dalam prosedur, masih ada permasalah terkait dengan subtansi, karena rumusan tentang kompensasi dalam PP No. 442008 masih sama dengan perumusan dalam
PP No. 32002 bahkan di perkuat dalam pasal 1 UU No 31 tahun 2014 Kompensasi masih diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Pengertian tersebut telah mengebiri hak kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat, karena
semata-mata menggantungkannya pada adanya kesalahan pelaku. Pengalaman pengadilan HAM menunjukkan, kesemua terdakwa pada akhirnya dibebaskan, dan tak ada satupun
korban yang secara menerima kompensasi maupun restitusi melalui mekanisme ini. Sampai dengan 2016, dengan tidak adanya satu pengadilan HAM yang dibentuk lagi,
sehingga belum dapat diketahui efektifitas ketentuan tentang prosedur pengajuan kompensasi berdasarkan UU No. 132006 dan PP No. 442008, termasuk UU No 31 Tahun 2014.