1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Muncul isu tentang kekerasan dalam rumah tangga hingga berujung dengan perceraian. Isu ini menjadi salah satu latar belakang munculnya masalah dalam
penelitian ini. Banyak faktor dalam keluarga Bali masa kini yang berpotensi sebagai sumber penyebab perceraian, di antaranya adalah kekerasan dalam rumah
tangga. Kekerasan violence merupakan salah satu manifestasi dari ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender. Kekerasan yang
dimaksud mulai dari kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan fisik. Perbedaan dan sosialisasi gender yang amat lama mengakibatkan kaum
perempuan secara fisik lemah dan kaum laki-laki umumnya lebih kuat. Hal ini tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut tidak
mendorong dan memperbolehkan laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan bukan karena
perempuan lemah atau kurang setia, melainkan karena kekuasaan dan stereotipe gender yang dilabelkan pada perempuan Fakih, 1996 : 15.
Cukup banyak terjadi kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan, perempuan terhadap perempuan, bahkan perempuan terhadap laki-laki, tetapi
kekerasan yang dimaksud, dalam hal ini, khususnya kekerasan yang berkaitan dengan menifestasi ketidakadilan gender dalam rumah tangga penyebab perceraian
perempuan Bali, dan mayoritas menjadi korbannya adalah perempuanistri.
Kekerasan yang paling menyedihkan apabila terjadi di dalam lembaga perkawinan. Lembaga yang menurut pandangan bangsa Indonesia maupun menurut ajaran
agama Hindu adalah lembaga yang sakral, telah melahirkan ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender yang hingga kini dianut masyarakat Bali yang
masih cukup kuat mengikat masyarakat pendukungnya. Sejak berlakunya UU No.23 Tahun 2004, jenis kekerasan fisik yang
berkadar berat hingga menyebabkan kerban dirawat di rumah sakit, tampaknya sudah semakin berkurang dilakukan dibandingkan sebelum tahun 2004. Namun apa
pun jenis kekerasan yang dilakukan terhadap perempuanistri dalam rumah tangga merupakan salah satu manifestasi dari ketiakadilan gender yang tetap perlu dikritik
atau diantisipasi. Disamping karena bertentangan dengan tujuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, juga bertentangan dengan tujuan perkawinan
menurut ajaran Hindu. Isu kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian didukung oleh data
jumlah angka perkara perceraian tahun 2004 hungga 2015 menunjukkan
peningkatan yang sangat signifikan misalnya tahun 2004 jumlah perkara perceraian yang diputus di Pengadilan Negeri Denpasar berkisar 181, tahun 2005 hingga 2008
berjumlah 301 kasus, dan akhir tahun 2009 berjumlah 346 kasus, akhir tahun 2010, ada 360 kasus, akhir tahun 2011 naik sebanyak 496, hingga akhir Desember 2012
kasus gugatan perceraian yang diputus naik menjadi 567 Data diolah dari data statistik Perkara Perdata Perceraian tahun 2008-2012. Dari Tribun Bali
menunjukkan bahwa perceraian di Bali tahun 2014 hingga akhir Oktober 2015
angka cerai tertinggi adalah Denpasar 1. 415 kasus Tribun Bali, 6 Desember 2015 : 1.
Jumlah perkara perceraian di atas sudah termasuk jumlah perkara perceraian perempuan Bali. Secara khusus Jumlah data perkara perceraian perempuan Bali
yang berhasil diketahui dari Buku Register Induk Perkara Perceraian yang berhasil ditemukan berkisar 30 hingga 50 kasus perceraian perempuan Bali di Kota
Denpasar. Hasil penelitian menunjukkan informan yang bercerai antara tahun 2004- 2015 lebih banyak perceraiannya melalui penyelesaian di pengadilan 0,27
dibandingkan sebelum tahun 2004, ada 0,05. Munculnya gerakan global tahun 1963 bertujuan untuk meningkatkan
martabat perempuan yang masih termarginalisasi karena perbedaan gender. Pemerintah Indonesia ikut berpartisipasi dalam beberapa kali konvensi yang
dilaksanakan di berbagai negara. Misalnya Konvensi Perempuan sedunia IV yang diselenggarakan di Beijing September 1995, antara lain, menghasilkan
kesepakatan bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk melihat mengapa terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek
kehidupan Hubeis, 2010 : 6 Sudah hampir 20 tahun terakhir sejak lahirnya hasil kesepakatan Konvensi
Perempuan sedunia IV, masalah gender telah menjadi wacana di setiap berbincangan, baik di media massa maupun media elektronik. Masalah gender
adalah masalah masyarakat dunia. Demikian halnya di Indonesia, tidak terkecuali Bali. Hampir semua uraian tentang program mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender di kalangan organisasi pemerintah dan nonpemerintah di Bali
memperbincangkan masalah gender. Berbagai upaya pun dilakukan dari melakukan penyuluhan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat guna menanamkan
pemahaman tentang masalah ketidakadilan gender, karena baik laki-laki terutama perempuan, dapat menjadi korbannya.
Apa sesungguhnya masalah gender itu ? Hingga kini masalah gender masih menimbulkan
ketidakjelasan, kesalahpahaman dalam masyarakat karena
mengungkap mengenai masalah gender berarti mengungkap masalah perempuan, dan mengungkap masalah perempuan sama dengan membongkar budaya dan
struktur. Hal ini dapat diartikan menggoncang struktur dan budaya patrilineal yang sudah tertanam kuat dan oleh sebagian masyarakat pendukungnya dianggap bersifat
sangat pribadi karena sama halnya dengan menggugat privilege yang mereka miliki dan sedang dinikmati. Oleh karena itu, pemahaman atas konsep gender sebagai
ideologi dijadikan isu mendasar dalam rangka menjelaskan hubungan antara kaum perempuan dan laki-laki, atau masalah hubungan kemanusiaan kita Fakih, 1999 :
6 Munculnya masalah gender sesungguhnya sudah melalui proses sejarah yang
sangat panjang. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan telah melahirkan berbagai masalah gender, antara lain adalah ketidakadilan gender. Ketidakadilan
gender merupakan sistem, budaya dan struktur, sebab, baik laki-laki terutama perempuan, menjadi korban dari budaya dan struktur tersebut. Faktor-faktor
ideologi, struktur, dan kultural, ketiganya saling berkait secara dialektika
mengukuhkan sebuah situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan Tjandraningsih, 1996 : 4.
Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender PUG di segala pembangunan beserta
pedoman pelaksanaannya yang menginstruksikan kepada semua pejabat, termasuk gubernur, bupati, wali kota untuk melaksanakan PUG guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengevaluasian atas kebijakan dan program yang responsif gender Hubeis, 2010 : 5. Gerakan feminis
untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender pun mendapat respons positif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemerintah di Bali.
Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui proses belajar manusia membedakan jenis laki-laki dan perempuan tidak hanya
memandang aspek biologisnya tetapi juga dikaitkan dengan sifat dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Proses pembelajaran ini kemudian dijadikan landasan
berpikir dan falsafah hidup karena dianggap benar sehingga menjelma menjadi ideologi Murniati, 1993 : 4. Pola asuh ini telah menggiring anak laki-laki memiliki
sifat maskulin yang dominan, sebaliknya perempuan mempunyai sifat yang feminin yang dominan Tim Rifka Annisa, 2003 : 34 ; Susilastuti, 1993 : 31.
Perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya itu sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan atau digugat sepanjang tidak
menimbulkan ketidakadian gender. Namun, karena kenyataannya perbedaan dan pembagian peran, sifat, ataupun status antara laki-laki dan perempuan melahirkan
berbagai manifestasi ketidakadilan gender, hal itulah yang menjadi masalah gender. Menurut Derrida, sumber dari ketidakadilan gender itu perlu dibongkar dan dikritik
karena dapat melahirkan ketimpangan dalam masyarakat modern, bahkan postmodern seperti saat ini.
Pengertian gender, baik dalam sebagai konsep maupun ideologi identik dengan ideologi patrilineal yang hingga kini masih dianut masyarakat Bali. Ideologi
budaya patrilineal yang dikonstruksi secara sosial dan budaya dan tertanam sangat lama itu tumbuh menjadi tradisi, keyakinan, peraturan adat, stereotip pelabelan
negatif terhadap perempuan, dan mitos, kemudian disosialisasikan secara turun- temurun, akhirnya dijadikan sebagai landasan hidup atau landasan berpikir, baik
laki-laki maupun perempuan, ideologi budaya tersebut dianggap sebagai hal yang wajar, bahkan dianggap sebagai kondrat yang tidak dapat atau sangat sulit untuk
diubah. Mengacu pada teori hegemoni Gramsci Barker, 1999 : 467, ideologi
patrilineal tidak hanya dapat melahirkan kelas penguasa dan kelas subordinat, namun juga memiliki kemampuan untuk mengikat dan memengaruhi kelas
subordinat. Agar kelas yang dikuasai tunduk terhadap kelas penguasa, maka kelas subordinat tidak hanya menerima dan mengakui ideologi kekuasaan tersebut, tetapi
juga harus melakukan persetujuan atas subordinasi mereka. Berbeda pada masa lalu, di kalangan masyarakat Bali kekerasan dalam rumah
tangga hampir tidak terdengar. Praktik kekerasan dalam rumah tangga zaman kerajaan duhulu diyakini jarang yang terungkap. Menurut informasi yang diperoleh
dari A.A.Gde Putra Agung, hal itu disebabkan masih tebalnya rasa malu jika terjadi cekcok dalam keluarga dan juga karena perkawinan bagi umat Hindu dilakukan
melalui upacara agama sehingga dinilai sakral oleh karena itu, perceraian pun tabu
untuk dipraktikkan. Pada masa sekarang perceraian sudah tidak lagi menjadi hal yang sulit meskipun harus ditempuh dengan proses pergulatan batin yang tidak
mudah pula. Jika direnungkan kembali, bukankah ajaran Hindu banyak menanamkan
pemahaman, bagaimana menghargai perempuan dalam rumah tangga, menyenangkan perempuan, sehingga menjadi sosok ibu yang membanggakan
keluarga, karena sesuai dengan ungkapan, kebahagian keluarga ada di telapak kaki perempuanibu. Di dalam Weda Smrti III.61 disebutkan, antara lain:
-Wanita harus dihormati dan disanjung oleh ayah mereka, kakak-kakak mereka, suami dan ipar yang menghendaki kesejahteraan mereka.
-Di mana wanita dihormati, di sana para Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada karya yang berpahala.
-Di mana keluarga wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi keluarga di mana wanita tidak menderita ia akan selalu sejahtera.
-Pada keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan istri dengan suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal Pudja, 1983 : 73.
Perkawinan merupakan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diakui oleh undang-undang, dan menyangkut mengenai hak dan
kewajiban tertentu yang mengikat kedua belah pihak yang bersatu menjadi satu kesatuan dan dalam hubungannya dengan anak-anak yang terlahirkan dari akibat
perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Hindu merupakan perintah agama dan juga kewajiban umat manusia untuk mendapatkan keturunan. Dengan adanya
perkawinan ini akan timbul suatu kehidupan keluarga lengkap dengan anak-anak, yang dalam agama Hindu disebutkan sebagai jalan dalam melepaskan derita para
leluhur atau orang tuanya yang sudah meninggal Swastika, 2009 : 42.
Perceraian bagi umat Hindu sedapat mungkin dihindari karena perceraian bagi umat Hindu di Bali tabu dan pantang untuk dipraktikkan. Pengertian
perkawinan secara keseluruhan adalah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
grehasta asrama yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Sudarsana, 2002 : 3.
Dengan demikian, keluarga adalah suatu jalinan ikatan pengabdian antara suami-istri, dan anak. Oleh karena itu seharusnya hal tersebut disadari agar orang
tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, yaitu tidak menyakiti dan menyengsarakan diri sendiri ataupun orang lain sebagaimana yang dituangkan
dalam kitab Sarasamuscaya sloka 90 Jaman, 2008 :11, sebagai berikut : Niyacchayaccha samyaccha cendriyani manastatha, pratisedhyesvavadyesu
durlabhesvahitesu ca. Artinya :
Karena itu kehendaknya dikekang, diikat kuat-kuat pancaindra dan pikiran itu, jangan dibiarkan akan melakukan tindakan melanggar, melakukan
sesuatu tercela, sesuatu yang sukar untuk dicapai, atau melakukan sesuatu yang pada akhirnya tidak menyenangkan.
Dalam zaman Weda, kedudukan perempuan sangat tinggi dan sangat terhormat. Weda Smrti sebagai dasar ajaran agama Hindu mengajarkan suatu
perkawinan harus didasari atas kesetiaan antarpasangan suami-istri, singkatnya “ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”. Suami istri yang
terikat dalam ikatan perkawinan mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya
supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dan yang lain” Pudja, 1983, 345.
Ajaran agama Hindu telah mendidik ke pada kaum laki-laki untuk menghargai atau menghormati perempuan. Apabila ajaran ini dapat dilakukan,
maka Weda menjamin dalam keluarganya akan menemukan kebahagiaan. Dewasa ini terjadi pengingkaran terhadap janji suci, dimulai dari hal yang kecil,
kesalahpahaman, cekcok, meluas hingga menjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pasangan terhadap pasangan lainnya dalam rumah
tangganya. Dalam ajaran agama Hindu tidak dikenal adanya diskriminasi. Tradisi
Hindu mengenal yang Maha Suci, mengandung, baik atribut feminin maupun maskulin, karena tanpa memberi penghargaan yang layak pada kualitas feminin,
sebuah agama tidaklah lengkap dan akan menghasilkan konsekuensi negatif Takwin, 2001 :75. Agama Hindu juga melukiskan Dewa yang selalu
berdampingan dengan Dewi yang berkedudukan sebagai sakti-Nya yang merupakan prabawa wibawa. Kedua unsur laki-laki dan perempuan tersebut
dalam agama Hindu dikenal dengan konsepsi Ardhanareswari, Ardha berarti setengah belahan yang sama Bandem, 2000 : 19. Ini adalah contoh, bagaimana
ajaran agama Hindu sangat menjunjung tinggi akan arti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam ajaran Hindu juga tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya
dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki Sukarma, 2007 : 65. Dalam ajaran Hindu tidak
dikenal bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki. Ini artinya laki-laki
dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki kesetaraan. Kedua makhluk Tuhan yang berbeda jenis memang tidak sama. Namun, makhluk itu diciptakan
untuk saling melengkapi, bukan saling menyakiti satu dengan yang lainnya Wiana, 2011 : 1.
Di sisi lain, agama Hindu sangat melindungi dan menghormati kedudukan perempuan dalam keluargarumah tangga atau dengan kata lain, sangat tidak
dibenarkan oleh agama Hindu untuk melakukan segala jenis kekerasan terhadap perempuan. Tiap zaman menurut Hindu, perempuan dalam kehidupannya
mendapatkan kehormatan sesuai sesuai dengan posisi dan perannya masing- masing, misalnya pada zaman Weda perempuan disejajarkan dengan Dewa-Dewi,
zaman Upanisad sebagai yang terpelajar, zaman Ramayana dan Mahabharata sebagai pelindung keluarga, zaman Smrti sebagai ibu pemelihara keluarga,
semuanya mempunyai keistimewaan. Demikian
halnya dengan
pemerintah Indonesia
yang sangat
memperhatikan dan sangat peduli terhadap kelangsungan masyarakat sosialnya, khususnya dalam masalah perkawinan secara tegas membuat undang-undang
perkawinan sebagai bentuk perhatian dan dapat memberikan rasa aman terhadap setiap pasangan yang ingin membangun rumah tangga melalui suatu ikatan
perkawinan. Perkawinan menurut pandangan Hindu dapat dikatakan selaras
dengan tujuan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah:
“ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Artinya : Perkawinan itu adalah ikatan lahir dan batin, seharusnya dilakukan atas
dasar saling menyayangi dan mencintai, mendapat restu orang tua kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, dilakukan secara tulus, tanpa unsur
paksaan. Perkawinan berdasarkan Hindu dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau UU No.1 tahun 1974 tersebut seharusnya dapat dijadikan benteng untuk
mempererat mahligai perkawinan umatnya agar tidak mudah retak, namun sebaliknya, belakangan ini semakin marak terdengar dan menjadi wacana publik
isu tentang adanya kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuanistri yang berujung perceraian.
Berbeda dengan perempuan yang hidup dalam masyarakat dengan sistem parental, seperti di daerah Jawa dan Sunda, atau masyarakat dengan sistem
matrilineal seperti masyarakat Minangkabau, ketika terjadi perceraian, perempuan tidak akan menghadapi banyak keruwetan adat seperti masyarakat Bali dengan
budaya patrilinealnya. Jadi, kalau perempuan tidak bahagia dalam perkawinannya, dia dapat bercerai tanpa beban berat, tanpa menghadapi banyak masalah budaya
dan struktur karena perbedaan gender. Kenyataan ini menimbulkan keyakinan bahwa terutama perempuan yang hidup dalam masyarakat yang menganut budaya
patrilineal seperti di Bali, sudah tentu akan menghadapi berbagai manifestasi ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender
berkaitan dengan perceraiannya. Masalah ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender
khususnya dalam perceraian belum banyak mendapat perhatian dari pihak lain.
Oleh karena itu masalah ini sangat perlu diungkap secara kritis dan mendalam. Untuk mengungkap dan mengantisipasi serta menanamkan pemahaman terhadap
masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender bukanlah pekerjaan mudah apalagi dengan memasukkan konsep kesetaraan dan
keadilan gender. Akan tetapi merupakan tanggung jawab setiap komponen dan masyarakat Bali secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk
secara terus menerus melakukan berbagai upaya dengan cara yang elegan, bukan melalui cara yang konfrontatif. Dengan latar belakang masalah tersebut, peneliti
ingin mengungkap dan mengkajinya secara mendalam dan kritis dengan rumusan permasalahan sebagai berikut:
1.2 Rumusan Masalah