Oleh karena itu masalah ini sangat perlu diungkap secara kritis dan mendalam. Untuk mengungkap dan mengantisipasi serta menanamkan pemahaman terhadap
masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender bukanlah pekerjaan mudah apalagi dengan memasukkan konsep kesetaraan dan
keadilan gender. Akan tetapi merupakan tanggung jawab setiap komponen dan masyarakat Bali secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk
secara terus menerus melakukan berbagai upaya dengan cara yang elegan, bukan melalui cara yang konfrontatif. Dengan latar belakang masalah tersebut, peneliti
ingin mengungkap dan mengkajinya secara mendalam dan kritis dengan rumusan permasalahan sebagai berikut:
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut muncul beberapa masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut : 1. Mengapa terjadi Perceraian Perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari
perspektif gender ? 2. Bagaimana penyelesaian perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat
dari perspektif gender ? 3. Apa implikasi dan makna perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat
dari perspektif gender ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka penelitian ini pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap
dan mengantisipasi serta menanamkan pemahaman tentang ketidakadilan budaya dan
struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender khususnya yang dihadapi oleh perempuan Bali berkaitan dengan perceraiannya di Kota Denpasar. Masalah ini
sangat perlu diungkap dan diantisipasi karena selama ini masalah gender dalam perceraian belum banyak mendapatkan perhatian untuk dilakukan penelitian secara
mendalam.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memahami dan menganalisis penyebab perceraian perempuan Bali di
Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender; 2. Memahami dan menganalisis penyelesaian perceraian perempuan Bali di
Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender; 3. Menginterpretasi dan menganalisis implikasi dan makna perceraian
perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua manfaat penting yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi bidang ilmu sosial dan
budaya khususnya bidang ilmu sejarah untuk lebih memfokuskan kajian ilmiahnya terhadap sejarah kontemporer tentang kelompok
masyarakat yang masih termarginalisasi. 2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Program Studi Kajian
Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, yakni menambah khazanah ilmu pengetahuan yang kritis tentang isu gender karena
sesuai dengan salah satu kajian utama Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana yakni fokus terhadap masalah-masalah
kelompok masyarakat yang masih termarginalisasi termasuk isu tentang gender hubungannya dengan kekuasaan ideologi budaya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak terkait, seperti:
1 Pihak yang proaktif, masyarakat, pemerintah, Majelis Utama Desa Pakraman MUDP Bali, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat,
lembaga bantuan hukum, pusat pelayanan terpadu dan pemberdayaan perempuan khususnya di Kota Denpasar dapat memanfaatkan hasil
penelitian ini sebagai salah satu acuan dalam
mengantisipasi, menyosialisasikan, memberikan pelayanan dan melakukan pemberdayaan,
terutama yang berkaitan dengan masalah ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender khususnya berkaitan dengan perceraian.
2 Masyarakat Bali, baik laki-laki maupun perempuan, dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai pedoman dalam menanamkan pemahaman
tentang masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender khususnya berkaitan dengan perceraian.
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tentang masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender, yang dihadapi terutama oleh perempuan Bali
berkaitan dengan perceraiannya di Kota Denpasar, didahului dengan melakukan penelusuran terhadap hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini,
baik berupa hasil penelitian, jurnal, buku, majalah, maupun bahan referensi lainnya. Penelusuran berbagai kajian yang sudah ada dimaksudkan untuk menunjukkan
perbedaan yang substansial guna menghindari pengulangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini sehingga orisinalitas dari penelitian ini dapat
dibuktikan. Pertama, hasil penelitian Mekaa D. Gobay, dalam sebuah buku yang
berjudul Perempuan Papua Barat Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi, dan Kesehatan 2007 dalam salah satu bagiannya, mengungkap tentang kekerasan
budaya yang dialami perempuan Papua Barat. Seperti diakui oleh masyarakat dunia bahwa setiap budaya selalu mempunyai aturan sendiri dalam memandang nilai
seseorang atau kelompok dalam komunitas tertentu. Termasuk dalam memandang nilai terhadap jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan dan pembagian
peran sesuai dengan sistem dan stuktur yang berlaku, nilai laki-laki dipandang lebih tinggi daripada kedudukan dan posisi perempuan. Perbedaan berdasarkan gender
tersebut tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender, namun kenyataannya, sistem dan struktur yang diciptakan secara sosial budaya
tersebut telah menimbulkan perbedaan dan pembagian secara gender yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan, menyebabkan kedudukan dan posisi
perempuan menjadi termarginalisasi dan tersubordinasi Fakih, 1999 : 72 Perempuan sangat dihormati dan disegani karena perempuan pada saat itu
memiliki peranan yang penting. Perempuan berperan menentukan apakah sukunya bisa melakukan perang atau tidak, perempuan Papua Barat juga berperan sebagai
pemimpin perang, menjadi pemimpin suku, perempuan juga dimaknai sebagai air susu yang memberi kekuatan hidup Gobay, 2007 : 11.
Menurut Mekaa 2007:12, perubahan menyeluruh, baik dalam bidang sosial ekonomi, budaya maupun politik, menyebabkan terjadinya pergeseran nilai.
Nilai perempuan yang dahulu dihormati dan disegani berubah ke bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Nilai laki-laki kemudian dipandang lebih tinggi
daripada posisi dan kedudukan perempuan. Papua Barat juga menganut sistem patrilineal yang dikekalkan dan disosialisasikan secara turun-temurun. Nilai
perempuan dipandang secara stereotip, bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, karena itu perlu dilindungi, perempuan dituntut tahu adat dan sopan santun,
dan membawa rezeki bagi keluarga laki-laki, karena itu perempuan harus tunduk pada laki-laki, terutama pada suami. Aturan ini telah melahirkan praktik poligami
semakin marak terjadi, beban kerja perempuan dan kekerasan. Berdasarkan pengamatan Mekaa, Perempuan Papua Barat tidak hanya
terjerat oleh kekerasan budaya, namun juga kekerasan militer, ekonomi, dan
kesehatan. Dari hasil penelitian Budie Santi, yang ditulis dalam sebuah Jurnal Perempuan berjudul Perempuan Papua : Derita Tak Kunjung Usai 2004,
menunjukkan bahwa angka kematian perempuan Papua yang cukup tinggi karena beban kerja yang berat, kekurangan gizi yang sangat mengkhawatirkan terutama
bagi kesehatan perempuan yang sedang hamil dan melahirkan. Kondisi geografis yang rentan terhadap penyakit malaria yang sering juga menyerang perempuan,
Ironisnya, HIVAIDS lebih banyak terjadi pada perempuan Santi, 2002 : 67-69. Hasil penelitian Budie Santi 2002:68 menunjukkan pula adanya kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga, biasanya kekerasan dipicu karena suami mabok. Tampaknya posisi perempuan baik dalam mengambil keputusan adat,
maupun keputusan keluarga masih sangat termarginalisasi karena itu kekerasan terhadap istri pun sering terjadi dalam rumah tangga. Ketika perempuan sudah
dinikahi laki-laki, perempuan itu menjadi hak penuh laki-laki. Selain itu perempuan kadang-kadang harus menerima perlakuan kasar dan kekerasan militer
Kondisi yang dialami perempuan Papua sudah pula membangkitkan keprihatinan berbagai pihak, misalnya oleh sejumlah aktivis perempuan. Untuk
mengatasi masalah ini, Budi Santi berpendapat, tidaklah dapat diselesaikan oleh para aktivis perempuan saja, namun juga harus dilakukan oleh berbagai pihak
melalui upaya yang tepat, secara bersinergi, semestinya melibatkan perempuan yang mengalami kekerasan untuk mendapatkan perhatian dan penanganan, juga
melibatkan pihak laki-lakisuami, aparat setempat, seperti pihak pemangku adat. Santi, 2001 : 78-80.
Hasil penelitian Mekaa D. Gobay dan Budie Santi terkait dengan penelitian yang dilakukan ini memberikan inspirasi yang sangat berguna, terutama tentang
praktik-praktik ketidakadilan budaya dan struktur terhadap perempuan Papua Barat, khususnya, dan perempuan Papua pada umumnya, yang hingga abad ke-21
ini masih sangat termarginalisasi dan tersubordinasi dalam hampir berbagai aspek kehidupannya. Masyarakat Papua selain terjerat dalam tradisi adat Papua yang
masih sangat kuat mencengkeramnya, perempuan Papua tidak luput pula dari kekejaman dan kekerasan militer. Hasil penelitian tersebut menginspirasikan
bahwa upaya untuk mengentaskan persoalan perempuan yang hidup dalam tradisi adat yang tidak adil gender, sudah sering pula dilakukan oleh gerakan feminis dan
pihak lainnya yang sangat peduli terhadap masalah perempuan di Papua, atau mungkin masyarakat lain. Mengingat sulitnya untuk mengubah tradisi adat yang
sudah mengakar tersebut, maka cara dan pendekatan yang tepat sangat perlu mendapat perhatian, dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
Dibandingkan dengan penelitan yang dilakukan ini, ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender yang dihadapi perempuan Bali khususnya di
Kota Denpasar umumnya tidak separah perempuan di Papua yang sudah lebih banyak mengalami perubahan pola berpikir. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan modernisasi, teknologi, komunikasi, dan upaya untuk menanamkan pemahaman mengenai ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender
terhadap masyarakat Bali di Kota Denpasar cukup berhasil, walaupun belum optimal, karena itu masih diperlukan berbagai upaya lain untuk mewujudkannya,
karena kenyataannya masih cukup banyak masyarakat Bali yang terikat dan
terobsesi oleh tradisi dan keyakinan yang tidak adil gender yang dikekalkan ke dalam budaya patrilineal..
Hasil penelitian lain, dari Maria Ulfah Anshor, ditulis dalam Jurnal Perempuan 2001 edisi ke- 20, dengan judul Perempuan dalam Islam. Bertolak
dari hasil pengamatannya di lapangan bahwa, baik marginalisasi, subordinasi terhadap perempuan, baik secara struktural maupun fungsional, telah pula menjadi
kekhawatiran berbagai pihak.
Perjuangan dan terobosan baru untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dalam Islam, sudah pula
dilakukan, Namun hingga kini, pada abad ke-21 ini, diskriminasi terhadap
perempuan masih tetap terjadi. Menurut sejarahnya, kebudayaan masyarakat di Timur Tengah pernah
menghormati “Dewi Ibu”, sebagai simbup perempuan, tetapi seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan yang pesat, runtuhlah kepercayaan itu,
bangkitlah para Dewa simbul laki-laki. Kondisi ini turut memperkuat terciptanya marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan. Proses ini berlangsung secara
turun-temurun dan dikekalkan hingga melahirkan hukumaturan yang dilegalkan untuk memarjinalkan perempuan Anshor, 2001 : 25.
Menurut pandangan Maria Ulfah Anshor, hukum dan aturan yang diberlakukan saat itu sangatlah tidak manusiawi. Tentang kekejaman yang
dilimpahkan terhadap perempuan, Maria merangkumnya sebagai berikut : 1 Kaum laki-laki bisa dengan mudah menceraikan istri mereka, khususnya
bila mereka tidak bisa melahirkan anak; 2 Undang-undang Assyria membolehkan suami memutuskan istrinya
tanpa syarat;
3 Seorang istri yang menentang suaminya boleh dirontokkan giginya dengan batu bata;
4 Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan mempersembahkan kepada para dewa. Ia juga berhak menggadaikan
atau menjual istri atau anaknya untuk membayar utang; dan 5 Praktik pembunuhan terhadap bayi perempuan berlaku juga di kalangan
orang-orang Arab Jahiliah, karena perempuan dianggap cacat dan bisa dikorbankan.”
Menurut pengamatan Maria Ulfah Anshor, Islam melarang tradisi tidak beradab apa
pun alasannya karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Islam melarang bentuk pernikahan yang dilakukan masyarakat pra-
Islam. Islam hanya memperbolehkan bentuk pernikahan yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Jo Priastana, mengungkap melalui tulisannya dalam Jurnal Perempuan 2001 edisi ke-20 dengan judul Gerakan Perempuan Bhiksumi Dalam Sejarah
Agama Buddha, bahwa terdapat praktik ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender Melalui tulisan
Jo Priastana mengajak perempuan Buddhis khususnya untuk mengikis kekuatan naskah-naskah suci sebagai sumber otoritas, dan untuk
menemukan kekuatan hakikat Dharma ke dalam praktik di masyarakat sesuai dengan tujuan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender Priastana, 2001 : 67.
Hasil tulisan, baik dari Maria Ulfah Anshor maupun pandangan Jo Priastana, memberikan inspirasi yang sangat berguna, sebagai perbandingan
dengan kajian yang dilakukan ini terutama terkait dengan budaya dan struktur yang masih mengikat dan mengatur terutama terhadap kaum hawa. Walaupun kajiannya
sangat berbeda, berbeda lokasi penelitian, berbeda kurun waktu penelitian, berbeda
pokok masalahnya, berbeda pendekatan, metode dan teori yang digunakan, pengetahuan ini tetap berguna dalam memahami konsep budaya dan struktur
hubungannya dengan ketidakadilan gender. Tulisan Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan 2001:90, dalam buku yang
berjudul Perempuan dan Sexualitas dalam Tradisi Jawa, mengungkap, antara lain, mengenai pandangan masyarakat Jawa pada abad ke-19, terutama pandangan para
raja dan pujangga keraton Jawa yang dituangkan dalam bentuk karya sastra. Menurut cara pandang budaya Jawa, perempuan secara kodrati adalah makhluk
yang lemah. Para istri dalam perkawinan juga tergantung pula pada suami.
Ungkapan Jawa mengatakan, swarga nunut, neraka katut, yang artinya, swarga adalah lambang kehidupan dunia dan akhirat yang menunjukkan kebahagiaan,
ketenangan, ketenteraman, dan kesejahteraan. Dalam kalangan masyarakat Bali yang masih kuat memegang teguh budaya patrilineal, maka sering kali mempunyai
pandangan bahwa perempuanistri dalam rumah tangga sangat pantang melakukan perlawanan terhadap suami, khawatir menjadi tulah atau kualat. Karena memang
ada tradisi yang melarang laki-lakiberpartisipasi dengan peran gender perempuan. Diperbolehkannya berpoligami digunakan sebagai acuan untuk membuat
konsep tentang sifat perempuan ideal, di antaranya perempuan bersedia dimadu seperti yang digambarkan oleh Sri dan Ridin 2001. untuk mengantisipasi agar
tetap harmonis dan menghindari konflik di antara perempuan yang dimadu, maka disusunlah konsep mengenai sifat, kedudukan, dan peran istri yang ideal untuk
kemudian disosialisasikan. Sri dan Ridin, 2001 : 92
Pada intinya pandangan masyarakat Jawa seperti yang digambarkan oleh pujangga dan raja di Jawa pada abad ke-18 dan ke- 19 tidak jauh berbeda dengan
pandangan masyarakat Bali umumnya. Seorang raja dapat saja memperistri perempuan lebih dari satu. Bahkan, dari keterangan salah seorang tokoh muda Puri
Karangasem, Raja Karangasem dahulu memiliki sampai 60 orang istri. Mertamupu, 2011.
Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan ini, antara lain: berbeda fokus dan lokasi penelitiannya, konsep dan teori yang gunakan, penelitian ini
Penelitian ini juga mengkaji masalah budaya dan struktur patrilineal yang masih kuat dianut masyarakat Bali hingga kini yang dihadapi terutama oleh perempuan
Bali terkait percerainnya di Kota Denpasar. Fokus penelitian Sukri dan Ridin Sofwan mengenai budaya Jawa yang dibuat oleh para pujangga pada masa kerajaan.
Masyarakat Jawa juga mempunyai pandangan, bahwa pemahaman terhadap agama khususnya agama Islam agama dapat terjadi antara lain karena adanya
kekeliruan dalam menginterpretasikan menafsirkan teks suci, faktor lain karena pikiran-pikiran agama dipengaruhi oleh latar belakang budaya patriarki yang
kemudian dianggap sebagai agama Anshor, 2001 : 34. Hasil penelitian yang lain dalam Jurnal Perempuan 2001 edisi ke-20
adalah tulisan dari M Beny Mite dengan judul Menyiasati Teks Suci : Pandangan Kristiani tentang Ketidakadilan terhadap Perempuan. M. Beny Mite melihat
bahwa dalam agama pun ada politik menomorduakan perempuan. Menurutnya, sangatlah perlu untuk mengetahui atau mencermati, apakah umat beragama telah
salah dalam menafsirkan agamanya, atau salah menafsirkan dan mempraktikkan teks suci.
Mite berpendapat bahwa agar teks suci dapat menjadi inspirasi bagi perjuangan kesetaraan dan keadilan gender, maka perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut : 1 usaha gerakan feminis harus dimulai dari dalam lingkungan agama, 2 teks suci yang mengkekalkan dominasi patriarkat harus dikoreksi secara
kritis untuk menghindari penyalahgunaan tafsir teks suci yang salah dan merugikan pihak lain, 3 teks suci yang mengandung inspirasi pembebasan kaum perempuan
perlu mendapat perhatian dan disosialisasikan. Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan ini, fokus penelitian M
Beni, bersumber dari tafsir agama Kristen, khususnya adanya tafsir agama yang
dikekalkan ke dalam budaya dan struktur yang tidak adil, yang merugikan kedudukan dan posisi perempuan. Fokus penelitian ini adalah pada budaya dan
struktur patrilineal yang dihadapi terutama oleh perempuan Bali terkait dengan percerainnya di Kota Denpasar. Hasil penelitian M. Beny Mite memberi peringatan
dalam mengantisipasi adanya tafsir agama Hindu dalam budaya dan struktur patrilineal yang melahirkan ketidakadilan gender.
2.2 Konsep