DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF DI TINGKAT LOKAL (Studi Di Kota Bandar Lampung Tahun 2004-2009)

  

ABSTRACT

DYNAMICS OF EXECUTIVE-LEGISLATIVE RELATIONSHIP

AT LOCAL LEVEL

(Study In Bandar Lampung on 2004-2009)

  

By

Zaldi Afriyanto

  The 32/2004 law is a law that talking about local government. This law states that the executive and legislative side are the actor of local government. That regulation indicates that the position of executive and legislative are the same and does not control each other. The purpose of this law is to creates check and balance between both of them in managing local government. But in reality, the position of executive and legislative as a doers of government makes the duties and function of each institution becomes refraction. So in the practice, the process of governance still dominated by the executive.

  The aims of this research are: (a) to explain the manifestation of the executive dominance; (b) to analyze the causes of the executive dominance; and (c) to reveal the political transactions between political elites and political parties in the practice of local governance in Bandar Lampung. This research applies qualitative approach and descriptive type as a method. The technique of collecting data in this research are interviews and documentation.

  The results showed that the executive is more dominant than the legislative in the practice of governance in Bandar Lampung. This is proven by the lack of council members run the right of initiative to make regulations, and just like a rubber stamp for executive in terms of budget setting. This is occurs because of the imbalance of political power resource between the two institutions. Beside that, political cartelisation also occurred in Bandar Lampung, that makes the executives side become more dominant in government. Furthermore, the causes of executive domination is patrimonialism among the political elite. And last, political transactions between these two institutions, the main cause of executive dominance over the legislature in the practice of governance in Bandar Lampung.

  This research recommends several ways, there are: (1) the legislative should maximize the facility of human resources improvement which is provided by government; (2) political parties must be brave to be the opposition in government; (3) the legislative should perform well recess; and (4) executive should not have double position as chairman of a particular political parties.

  

Keywords: Dynamics of Local Politics, Executive-Legislative, and Executive-

Legislative Relations in Bandar Lampung.

ABSTRAK DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF DI TINGKAT LOKAL ( Studi Di Kota Bandar Lampung Tahun 2004-2009) Oleh Zaldi Afriyanto

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah sebuah undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam undang-undang ini menyebutkan bahwa pihak eksekutif dan legislatif adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Peraturan tersebut mengindikasikan bahwa kedudukan eksekutif dan legislatif bersifat sejajar dan tidak saling menguasai. Tujuan dari undang-undang ini adalah menciptakan check and balance antar kedua lembaga dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun dalam realita, kedudukan DPRD dan eksekutif sebagai unsur penyelenggara pemerintahan membuat tugas dan fungsi masing-masing lembaga menjadi bias. Sehingga dalam prakteknya, proses penyelenggaraan pemerintahan masih di dominasi oleh eksekutif.

  Penelitian ini bertujuan untuk: (a) menjelaskan manifestasi dominasi eksekutif; (b) menganalisis penyebab terjadinya dominasi eksekutif; serta (c) mengungkap transaksi politik antar elit politik dan partai politik dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung. Metode yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini dengan cara wawancara mendalam dan dokumentasi.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pihak eksekutif memang lebih dominan daripada pihak legislatif dalam praktek pemerintahan di Kota Bandar Lampung. Hal ini dibuktikan dengan minimnya anggota dewan menjalankan hak inisiatif membuat peraturan daerah, serta hanya menjadi stempel pemerintah dalam penetapan anggaran. Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan penguasaan sumber kekuasaan politik antar kedua lembaga ini. Selain itu, kartelisasi politik juga terjadi di Kota Bandar Lampung, sehingga membuat pihak eksekutif semakin dominan dalam pemerintahan. Selanjutnya, penyebab terjadinya dominasi eksekutif adalah patrimonialisme di kalangan elit politik. Dan yang terakhir, transaksi politik antar kedua lembaga ini, menjadi penyebab utama terjadinya dominasi eksekutif atas legislatif dalam praktek pemerintahan di Kota Bandar Lampung. Penelitian ini merekomendasikan beberapa hal, diantaranya adalah: (1) pihak legislatif sebaiknya memaksimalkan fasilitas peningkatan kualitas SDM yang diberikan oleh pemerintah; (2) partai politik harus berani bersikap sebagai oposisi dalam pemerintahan; (3) anggota dewan sebaiknya menjalankan reses dengan baik; (4) sebaiknya eksekutif tidak merangkap jabatan sebagai ketua partai politik tertentu.

  

Kata Kunci: Dinamika Politik Lokal, Eksekutif-Legislatif, Hubungan Eksekutif-

Legislatif di Bandar Lampung.

  BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya oleh parlemen. Selain itu, dalam proses penyelenggaraan pemerintahannya, Indonesia menggunakan asas desentralisasi. Menurut Mahfud MD (Tangkilisan, 2005:1), desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus daerah, mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai pada implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya diatur dengan undang-undang.

  Salah satu isi di dalam Pasal 18 menyebutkan bahwa, “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang- undang ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat“. Yang dimaksud dengan pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Gubernur, Bupati/Walikota dan DPRD adalah pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan di daerah.

  Sepanjang sejarah pembentukan pemerintah daerah di Indonesia, telah banyak produk undang-undang yang dilahirkan. Semua undang-undang tersebut mengatur tentang pemerintahan daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

  Secara substansial undang-undang di atas mengatur tentang bentuk susunan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut telah mampu mengikuti perkembangan perubahan kepemerintahan daerah sesuai zamannya. Namun secara empiris, undang-undang tersebut banyak menimbulkan gejolak politik antar lembaga pemegang kekuasaan, terutama antara lembaga eksekutif dan legislatif di daerah. Keadaan tersebut membuat ketimpangan dan menimbulkan sikap saling menguasai antar lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan undang-undang sebelumnya memberikan implikasi terhadap kedudukan dan peran formal kekuasaan eksekutif. Dalam undang-undang ini, kedudukan kepala daerah lebih dominan karena memiliki kewenangan yang lebih besar daripada kekuasaan DPRD. Eksekutif adalah agen utama dalam pembangunan, sehingga semua elemen di pusat maupun daerah diabdikan untuk mendorong tugas pokok pemerintah (executive). Akibatnya lembaga lain, termasuk DPRD diposisikan sebagai tukang stempel (rubber stamp) dalam menjalankan roda pemerintahan (Tangkilisan, 2005:29). Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kepala daerah tidak dapat diberhentikan langsung oleh DPRD. Kepala daerah tidak bertanggung jawab sepenuhnya kepada DPRD, dan dalam pelaksanaan tugasnya hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban saja kepada DPRD. Runtuhnya rezim Orde Baru menandakan munculnya era Reformasi di dalam pemerintahan Indonesia. Di dalam era ini diharapkan demokrasi lebih diterapkan, dan hubungan antara pemegang kekuasaan di Indonesia dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini adalah hasil revisi dari undang-undang sebelumnya yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebuah undang-undang yang secara jelas memisahkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Hal tersebut jelas disebutkan pada Pasal 1 point b dan c, serta pada Pasal 14 (1) dan 16 (2), yang intinya menyebutkan bahwa Pemerintah

  Badan legislatif Daerah. Keadaan tersebut secara legal formal, tegas menyatakan tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Sehingga tidak terjadi disfungsi kekuasaan antar lembaga daerah. Di sisi lain, kehadiran undang-undang ini adalah menjawab kebutuhan tuntutan reformasi yang memberikan implikasi terhadap kedudukan DPRD berbalik menjadi lebih kuat dibanding dengan kekuasaan eksekutif. Kewenangan yang dimiliki DPRD, antara lain kewenangan memilih kepala daerah (Pasal 34 ayat 1) dan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 44 ayat 2). Selain itu DPRD juga mempunyai beberapa hak, antara lain hak meminta keterangan, hak penyelidikan, hak menyatakan pendapat dan hak menentukan anggaran DPRD. Secara teoritis lembaga ini memegang kekuasaan rakyat pada tingkat kabupaten/kota. Keadaan tersebut ternyata membuat lembaga legislatif mempunyai kewenangan lebih terhadap eksekutif, bahkan dapat menjatuhkan gubernur maupun bupati/walikota di daerah, sama seperti yang telah dilakukan oleh MPR/DPR-RI terhadap almarhum mantan Presiden Gusdur pada 23 Juli 2001 (Mahfud MD, 2010). Keadaan di atas menyebabkan suatu perubahan yang radikal dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Paling substansial adalah hubungan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang tidak memiliki pola hubungan kewenangan yang menganut kesetaraan/kemitraan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

  Suatu teori atau asumsi-asumsi yang dapat diungkapkan berdasarkan pengalaman di atas yaitu, dibutuhkan sebuah undang-undang yang mengatur pola hubungan kewenangan yang setara, seimbang, dan sinergis antar pemegang kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tujuannya yaitu terciptanya sistem check and balances dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih demokratis. Oleh karena itu, lahirlah Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini dikenal dengan istilah Equilibrium Decentralizatio. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa isinya yaitu memberikan peranan yang berimbang antara susunan pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) sebagai keseimbangan secara vertikal, maupun keseimbangan antara kepala daerah dan DPRD sebagai keseimbangan secara horizontal.

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan sebuah perubahan yang mendasar dalam sistem pemerintahan daerah. Perubahan yang dimaksud, antara lain dalam hal pemilihan kepala daerah secara langsung, serta peningkatan tugas dan fungsi DPRD. Melalui undang- undang ini, pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati/walikota tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Dalam undang- undang ini juga dinyatakan bahwa DPRD ditempatkan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dan unsur penyelenggara pemerintah daerah dengan 3 fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan kata lain, fungsi dan peran kepala daerah dan DPRD dalam undang-undang ini kedudukannya tidak saling membawahi, melainkan terikat dalam sistem kemitraan. Sekilas, di tinjau dari aspek legal formal, keberadaan peraturan perundang- undangan tersebut mengindikasikan adanya kemajuan berarti dalam hubungan antara kedua lembaga tersebut. Dari perspektif kelembagaan, pelaksanaan dari tiga fungsi DPRD tersebut merupakan bagian dari penguatan mekanisme check

  

and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak ada peraturan

  daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah tanpa persetujuan bersama dengan DPRD, demikian pula dalam pelaksanaan penetapan APBD maupun pengawasan.

  Namun dalam realita, kedudukan DPRD dan eksekutif sebagai unsur penyelenggara pemerintahan membuat tugas dan fungsi masing-masing lembaga menjadi bias. Sehingga dalam prakteknya proses penyelenggaraan pemerintahan masih di dominasi oleh eksekutif.

  Salah satu bentuk hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif adalah pembuatan kebijakan daerah (legislasi) dan penetapan anggaran. Dalam membuat peraturan/kebijakan dan anggaran daerah, eksekutif dan legislatif bekerja sama, bermitra, dan saling membantu. Namun sangat disayangkan bahwa eksekutif masih mendominasi dalam hubungan kerja ini. Selain itu, sebagian besar DPRD mandul dalam hak inisiatif, terutama dalam pembuatan peraturan daerah (Wasistiono&Wiyoso, 2009:47). Hal ini mengakibatkan kurang optimalnya

  Perkembangan politik di tingkat lokal pada era reformasi tidak lepas dari pengaruh politik di tingkat nasional. Menurut Ambardhi (2009), salah satu fenomena politik pasca berlakunya reformasi di Indonesia adalah pembentukan sistem kepartaian yang mirip kartel. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yaitu: (a) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (b) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (c) tiadanya oposisi; (d) hasil-hasil pemilu hampir- hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (e) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Keadaan tersebut turut mempengaruhi hubungan eksekutif dan legislatif di tingkat lokal (daerah). Salah satu daerah kabupaten/kota yang mendapatkan amanah untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sejak reformasi berjalan adalah Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota Provinsi Lampung.

  Oleh karena itu, Kota Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, serta merupakan pusat kegiatan perekonomian dari Provinsi Lampung. Sejak berdirinya Kota Bandar Lampung, upaya peningkatan potensi-potensi yang ada terus dilakukan melalui peningkatan pembangunan daerah yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang lebih terpadu dan terarah agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

  Pasca diberlakukannya otonomi daerah, Kota Bandar Lampung mulai mandiri dan berusaha mencapai kemajuan di segala bidang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Semua upaya dan tujuan tersebut dilakukan oleh lembaga- lembaga yang berwenang sebagai wakil pemerintah pusat maupun wakil rakyat di daerah, yaitu Pemerintah Kota dan DPRD Kota Bandar Lampung. Kedua lembaga tersebut bekerja sekaligus sebagai mitra dalam penyelenggaraan pemerintahan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kerjasama yang dimaksud antara lain: (a) dalam hal pembuatan kebijakan daerah; (b) penetapan anggaran (APBD) dan; (c) pengawasan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kerjasama tersebut tidak berjalan efektif. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya sebuah kekuatan suatu lembaga yang lebih dominan daripada lembaga lain, sehingga menyebabkan lembaga yang didominasi mengalami kelemahan dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dalam konteks ini, Pemerintah Kota lebih dominan daripada DPRD dalam menjalankan hubungan kerjanya (Pussbik dan LPW).

  Salah satu contoh hubungan antara eksekutif dan legislatif di Kota Bandar Lampung yang membuktikan bahwa adanya sebuah dominasi salah satu lembaga adalah dalam penetapan anggaran/APBD. Dalam menjalankan hubungan kerja ini, pihak legislatif tampak lemah dan selalu cair saat berhadapan dengan eksekutif, t idak kritis, serta selalu berakhir dengan kata ”deal” untuk menyetujui inisiatif dari eksekutif. Terlebih lagi saat eksekutif merencanakan pagu anggaran untuk keperluan urusan rumah tangganya, pihak legislatif tampak seperti

  ”ayam sayur” saat menghadapinya. Dari hasil yang didapatkan selama penelitian berlangsung, ditemukan fakta bahwa dari 100% pendapatan daerah yang dimiliki oleh Pemerintahan Kota Bandar Lampung setiap tahunnya, sekitar 58%-64% anggaran yang ada selalu digunakan untuk kebutuhan maupun belanja pegawai. Dapat dilihat pada tabel di bawah.

  Tabel 1. Rasio Belanja Pegawai Atas Total APBD.

  Prosentase No Tahun APBD Belanja Pegawai

  (%) 1 2007 646.946.574.345,98 377.141.071.681,42 58,30% 2 2008 725.597.468.445,85 427.074.379.239,39 58,85% 3 2009 808.693.410.458,18 524.888.238.210,63 64,90%

  

Sumber: Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Bandar Lampung.

  Dari tabel di atas jelas membuktikan bahwa setengah lebih anggaran yang ada, sudah habis digunakan untuk kebutuhan eksekutif. Selama penelitian berlangsung, ditemukan data bahwa pihak legislatif tidak bisa menolak kebijakan eksekutif ini. Mereka (legislatif) terkesan langsung menyetujui tanpa ada sikap yang kritis terhadap penggunaannya. Hal ini dikarenakan, selain secara administratif anggaran tersebut memang digunakan untuk keperluan eksekutif, secara politis (lobi-lobi politik antara kedua lembaga), pihak legislatif sendiri mendapatkan bagian dari anggaran yang ada, di mana sangat menguntungkan anggota dewan maupun fraksi (partai politik) yang ada, seperti: perjalanan dinas, dana bimtek, beberapa tunjangan bagi pimpinan dan ketua komisi serta anggota, dan sebagainya. Keadaan tersebut tentu membuat suasana arena paripurna menjadi aman dan terkendali, sama seperti suasana dalam sebuah keluarga, di mana sikap cair dan tenggang rasa tercipta di dalamnya.

  Fakta lain yaitu dalam kasus pembuatan kebijakan antara eksekutif dan legislatif sering terjadi intervensi kepentingan politik. Nana Mulyana (2008) dalam penelitiannya di Kota Bandar Lampung menyatakan bahwa kepentingan politik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tarik menarik antara kelompok politik di dalam lembaga legislatif ataupun tarik menarik antara eksekutif dengan lembaga legislatif. Tarik menarik kepentingan tersebut sebenarnya memang menunjukkan adanya kehidupan politik yang dinamis. Namun fenomena tersebut seringkali dimenangkan oleh eksekutif yang memiliki pengaruh dan kekuatan lebih besar daripada legislatif, sehingga wacana check and balances antara kedua lembaga tersebut hanya sekedar impian yang tidak terwujud dalam aplikasinya.

  Dalam realita, check and balances tersebut memang hanya sebatas wacana. Penelitian Alamsyah (2004) menyebutkan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan publik di Kota Bandar Lampung, pihak eksekutif lebih powerful dibandingkan pihak legislatif. Jika pihak legislatif hanya selalu mengedepankan faktor dinamika aspirasi masyarakat, maka pihak eksekutif selalu berpedoman pada aturan-aturan normatif yang ditetapkan institusi pemerintah yang lebih tinggi. Selain itu, lembaga legislatif sangat minim berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga lembaga tersebut lemah dalam posisi tawar menawar terhadap eksekutif. Fakta tersebut sejalan dengan temuan LSM

  Kota Bandar Lampung sangat minim dalam menjalankan hak inisiatifnya membuat peraturan daerah. Sejauh pengamatan yang dilakukan oleh kedua LSM tersebut, kebanyakan rancangan peraturan daerah berasal dari eksekutif, sedangkan pihak legislatif hanya bersifat menyetujui saja.

  Kenyataan di atas memperlihatkan betapa selama ini peran dan fungsi DPRD dalam menjalankan pemerintahan di daerah terbukti masih lemah. Praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah ternyata masih didominasi oleh pemerintah daerah (eksekutif), meskipun secara yuridis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya prinsip kesetaraan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Oleh karena itu, fenomena tersebut menarik untuk dikaji secara komprehensif dalam sebuah penelitian mengenai sebab-sebab atau alasan-alasan ekesekutif lebih powerfull/dominan daripada legislatif.

  B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang akan diteliti dalam penelitian ni yaitu: ”Mengapa pasca diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004, pihak eksekutif masih lebih dominan daripada legislatif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung?”

  C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

  1. Menjelaskan manifestasi berlangsungnya dominasi eksekutif atas legislatif dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.

  2. Menganalisis akar masalah yang menjadi sumber timbulnya dominasi eksekutif atas legislatif.

  3. Mengungkap transaksi politik antar elit politik dan partai politik dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.

  D. Kegunaan Penelitian 1.

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya membangun hubungan eksekutif dan legislatif yang lebih baik ke depannya.

  Di mana hubungan baik yang dimaksud adalah hubungan baik yang tidak mementingkan diri maupun kelompok, melainkan lebih memperhatikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utamanya.

  2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi/kebenaran bagi masyarakat, serta membuka wawasan bagi seluruh pihak (LSM, media massa, aktivis, mahasiswa) akan dampak dari hubungan eksekutif dan legislatif yang tersembunyi dan tak tampak ke permukaan.

  3. Sebagai salah satu bahan acuan atau referensi penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ide para peneliti dalam melakukan penelitian dengan tema atau masalah serupa.

  BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelenggaraan Pemerintahan Pemerintah (government) secara etimologis berasal dari kata Yunani, yaitu Kubernan atau nakhoda kapal, yang artinya adalah menatap ke depan. Dalam perjalanannya, pemerintah dianalogikan seperti seorang nakhoda kapal, yang bersikap “memerintah” para anak buahnya untuk mencapai suatu tujuan. Dalam hal ini, pemerintah (dianalogikan melihat ke depan) menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang, dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, kegiatan pemerintah lebih menyangkut pada pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik dalam rangka mencapai tujuan masyarakat-negara (Surbakti, 1999:168). Istilah pemerintah dan pemerintahan berbeda artinya. Pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan pemerintah merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan pemerintahan (Surbakti, 1999:168). Yang dimaksud dengan tugas adalah segala kegiatan yang dilakukan untuk hendak dicapai. Tujuan bersifat statis, sedangkan tugas bersifat dinamis. Seseorang dalam melaksanakan tugas harus mempunyai kewenangan, yaitu hak untuk melaksanakan tugas.

  Pengertian pemerintahan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu dari segi kegiatan (dinamika), struktural fungsional, dan dari segi tugas dan kewenangan (fungsi).

  Apabila ditinjau dari segi dinamika, pemerintahan berarti segala kegiatan yang terorganisasikan, bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan pada dasar negara, mengenai rakyat dan wilayah negara demi tercapainya tujuan negara. Ditinjau dari segi struktural fungsional, pemerintahan berarti seperangkat fungsi negara, yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional, dan melaksanakan fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi tercapainya tujuan negara. Kemudian, ditinjau dari segi tugas dan kewenangan negara, maka pemerintahan berarti seluruh tugas dan kewenangan negara (Surbakti, 1999:168).

  Sehubungan dengan pengertian pemerintahan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan fungsi negara, maka perlu dikemukakan pengertian pemerintahan dalam arti luas dan sempit. Pemerintahan dalam arti luas berarti seluruh fungsi negara, seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi fungsi eksekutif saja. Demikian pula dengan pengertian pemerintah dalam arti luas yang berarti seluruh aparat yang melaksanakan fungsi- fungsi negara, sedangkan pemerintah dalam arti sempit menyangkut aparat eksekutif, yaitu kepala pemerintahan dan kabinetnya (Surbakti, 1999:169).

  Penyelenggaraan urusan pemerintahan terdiri dari sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan kolonial, maupun di zaman kemerdekaan.

  Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam kaitannya dengan kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik. Sedangkan desentralisasi adalah kebalikan dari sentralisasi. Desentralisasi menjadi begitu populer dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pasca reformasi. Menurut Litvack & Seddon (Wasistiono dan Wiyoso, 2009:7), desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab berkaitan dengan fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada organisasi pemerintah yang ada di bawahnya, atau organisasi semi bebas, ataupun sektor privat. Menurut Rasyid (Yudoyono, 2003:20) desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi kepada tingkat bawahnya secara hirarkis. Sedangkan Mahfud MD (Tangkilisan, 2005:1) menyatakan bahwa desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah, mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai pada implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi.

  Desentralisasi terbagi dalam beberapa bentuk kegiatan utama yaitu desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administrasi (dekonsentrasi). Devolusi fungsi-fungsi kepada sub nasional dari Pemerintah yang mempunyai tingkat otonomi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi tersebut.

  Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintah diluar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu kepada unit-unit untuk dilaksanakan secara mandiri. Sedangkan dekonsentrasi menurut Rondinelli (Yudoyono, 2003:3) adalah penyerahan tugas-tugas dan fungsi-fungsi dalam administrasi pemerintah pusat kepada unit-unit di daerah. Konsekuensi dari dekonsentrasi adalah Pemerintah Pusat membentuk instansi- instansi vertikal di daerah seperti TNI/Polri, Kehakiman, BPK, dan sebagainya.

  Indonesia adalah sebuah negara di mana urusan pemerintahan diselenggarakan secara desentralisasi. Penyerahan kewenangan tersebut telah terakomodasikan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang intinya membagi daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil. Corak daerah besar dan kecil tersebut diatur dalam suatu undang- undang. Penerapan desentralisasi di negara-negara bersistem federal berbeda dengan penerapan desentralisasi di negara kesatuan. Sumbernya yaitu kepentingan regim pemerintahan selaku pemegang kekuasaan negara yang tercermin pada political will mengenai besaran penyerahan kewenangan kepada daerah otonom melalui pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi Daerah merupakan tema lama yang selalu menemukan aktualitas dan relevensinya. Menurut Mahfud (Tangkilisan, 2005:1), otonomi daerah adalah wewenang yang dimiliki oleh daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  B. Pembagian Kekuasaan dalam Pemerintahan.

  Pemberian Otonomi daerah menimbulkan konsekuensi berupa kebutuhan akan adanya lembaga-lembaga pemerintah untuk menjalankan kepentingan rakyat di daerah. Lembaga-lembaga tersebut terbagi menjadi beberapa bagian antara lain eksekutif daerah sebagai pelaksana undang-undang, legislatif daerah sebagai pembuat undang-undang, dan yudikatif daerah sebagai pengadil undang-undang. Secara kelembagaan, masing-masing dari lembaga mempunyai kekuasaan tersendiri untuk menjalankan peran dan fungsi yang dimilikinya. Hal ini mencerminkan adanya pembagian kekuasaan dalam pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan dalam pemerintahan didasari pengalaman bahwa dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang sering terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan. Keadaan ini menyebabkan pengelolaan sistem pemerintahan dilakukan secara absolut atau otoriter. Sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki, kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka, untuk menghindari hal kontrol dan keseimbangan (check and balances) diantara lembaga pemegang kekuasaan.

  Menurut KBBI (1997:48&321), pembagian memiliki pengertian proses, cara, perbuatan membagi/menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah kekuatan, kemampuan, wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian yang diberikan kepada beberapa lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.

  Istilah kekuasaan pertama kali dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu. Pada saat itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep ini sebagai kritikan atas kekuasaaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris. Kemudian pada tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke. Hal tersebut dilakukan karena Montesquieu melihat sifat despostis (pemerintahan yang lalim) dari raja-raja Bourbon. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya merasa lebih terjamin

  Pada zaman Montesquieu, yang memegang ketiga kekuasaan dalam negara adalah seorang raja. Kekuasaan membuat undang-undang, menjalankan, serta menghukum segala pelanggaran atas undang-undang dibuat dan dijalankan oleh raja. Zaman tersebut dikenal sebagai zaman feodalisme yang terjadi pada abad pertengahan. Monopoli atas ketiga kekuasaan tersebut dapat dibuktikan dalam semboyan raja Louis XIV “L’Estat Cest Moa” (Negara adalah Saya) hingga abad ke-17. Setelah Revolusi Perancis pecah pada tahun 1789, maka paham tentang kekuasaan absolut menjadi lenyap. Dan pada saat itulah muncul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh John Locke dan Montesquieu.

  John Lock (Budiardjo, 2000:151) mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda.

  Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu: (1) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang); (2) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang); (3) Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain). Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

  Gagasan John Locke ini senada dengan pemikiran Montesquieu mengenai konsep tiga pembagian kekuasaan (Trias Politica). Montesquieu berpendapat bahwa jika gunakan. Untuk mencegah penyalahgunaan ataupun penggunaan kekuasaan yang berlebih-lebihan, maka kekuasaan itu harus dipisah-pisahkan ke dalam beberapa elemen, yaitu kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif atau menjalankan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili. Kusnardi dan Ibrahim 2009) memaknai bahwa dalam pembagian kekuasaan, kekuasaan itu dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Konsekuensinya, bahwa di antara bagian-

  bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. Berbeda dengan pendapat dari Asshiddiqie (Oktaviani, 2009) yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang- cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan.

  Almond (Budiardjo, 2000:158) membagi kekuasaan dengan istilah Rule-making (pembuat kebijakan atau legislatif), Rule-application (pelaksana kebijakan atau eksekutif), dan Rule-adjudication (pengadil kebijakan atau yudikatif). Tindakan ini. Oleh karena itu, Almond berusaha untuk mencari peristilahan yang lebih mendekati kenyataan. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pembagian kekuasaan negara terdiri dari kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Adapun lembaga-lembaga kekuasaan yang sengaja dipilih dalam penelitian ini yaitu eksekutif dan legislatif.

  Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh lembaga eksekutif. Lembaga eksekutif adalah suatu lembaga eksekutor atau melaksanakan undang-undang.

  Dalam kehidupan sehari-hari, lembaga eksekutif adalah lembaga yang menjalankan roda pemerintahan. Di negara-negara demokratis, lembaga eksekutif biasanya terdiri dari kepala negara seperti raja/presiden, beserta menteri-menterinya. Salah satu negara dengan Presiden sebagai kepala eksekutifnya adalah Indonesia. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, Indonesia menerapkan asas desentralisasi dan otonomi daerah. Tujuannya adalah agar kekuasaan eksekutif tidak menumpuk di pusat, sehingga demokrasi dapat lebih dirasakan pada level masyarakat daerah yang paling bawah.

  Menurut tafsiran tradisional azas Trias Politica, tugas lembaga eksekutif adalah melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Namun dalam pelaksanaannya, lembaga eksekutif sangat wewenang lembaga eksekutif dewasa ini jauh lebih luas daripada hanya melaksanakan undang-undang saja. Ramsey (Budiardjo, 2000:209) menyatakan bahwa dalam negara modern, lembaga eksekutif sudah menggantikan posisi lembaga legislatif sebagai pembuat kebijaksanaan yang utama. Perkembangan ini terdorong oleh beberapa faktor, seperti perkembangan tekhnologi, krisis ekonomi dan revolusi sosial.

  Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang kepala daerah selaku kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil kepala daerah. Kepala Daerah Propinsi disebut Gubernur. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi. Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala Daerah kabupaten disebut Bupati. Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/Kota. Pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: (a) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama daerah; (b) Mengajukan rancangan Perda; (c) Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; (d) Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang

  (e) Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; (f) Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (g) Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat. Oleh karena itu, lembaga ini sering dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat, atau yang dikenal sebagai Parlemen. Parlemen/DPR dianggap merumuskan kemauan rakyat/umum yang mengikat seluruh masyarakat. Namun lembaga ini tidak mempunyai kewenangan untuk mengeksekusi sebuah undang-undang. Hal ini berbeda dengan lembaga eksekutif yang tidak hanya mampu bertindak sebagai “eksekutor” namun juga bisa bertindak sebagai “legislator”. Di Indonesia, lembaga legislatif terbagi menjadi dua bagian, yaitu lembaga legislatif pusat (DPR) dan lembaga legislatif daerah (DPRD). Lembaga legislatif mempunyai tugas yang sangat penting dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Tugas (fungsi) tersebut terdiri dari: (a) Fungsi Legislatif, yaitu fungsi untuk membuat dan mengesahkan undang-undang bersama eksekutif; (b) Fungsi Anggaran, yaitu fungsi untuk membuat dan membahas anggaran bersama pihak eksekutif, yang kemudian bila disahkan semua tindakan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan.

  Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, lembaga legislatif (DPR) juga mempunyai beberapa hak. Hak-hak tersebut antara lain: (a) hak amandemen, yaitu hak anggota legislatif untuk mengajukan usul (menerima, menolak sebagian, dan menolak seluruhnya) Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan eksekutif; (b) hak inisiatif, yaitu hak anggota legislatif untuk berinisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang; (c) hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaannya di suatu bidang; (d) hak budgeting, yaitu hak untuk membuat dan menetapkan anggaran bersama eksekutif; (e) hak angket, yaitu hak untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu; dan (f) hak menyatakan pendapat, yaitu hak untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya.

  Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, kekuasaan legislatif dilakukan tersendiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

  Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam undang-undang, berlaku ketentuan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pamudji (Tangkilisan, 2005:45) mengatakan bahwa kedudukan fungsi dan hak-hak yang melekat pada DPRD secara formal telah menempatkan DPRD sebagai instansi penting dalam mekanisme mengatakan bahwa sebagai unsur pemerintah daerah, DPRD menjalankan tugas-tugas di bidang legislatif. Sebagai badan perwakilan, DPRD berkewajiban manampung aspirasi rakyat dan memajukan kesejahteraan rakyat. Sedangkan Kaho (Tangkilisan, 2005: 45) mengatakan bahwa DPRD mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai partner kepala daerah dalam merumuskan kebijaksanaan daerah, dan sebagai pengawas atas pelaksanaan kebijaksanaan daerah yang dijalankan oleh kepala daerah. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi DPRD adalah sebagai: (a) perwakilan; (b) pembuatan kebijakan; (c) pengawasan. Dalam Pasal 62 dan 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: (a) membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama; (b) menetapkan APBD bersama dengan kepala daerah; (c) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda, peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah; (d) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Mendagri bagi Gubernur dan melalui Gubernur bagi Bupati/Walikota; (e) memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintahan daerah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan

daerah; (f) meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.

  Selanjutnya menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tugas dan wewenang DPRD ditambah dengan: (a) memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah; (b) memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; (c) membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah; (d) melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah; (e) memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

  C. Hubungan Eksekutif-Legislatif dalam Pemerintahan.

  Hubungan eksekutif-legislatif dapat dilihat dari dua alternatif utama, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil. Sistem pemerintahan diartikan sebagai cara hubungan kerja dan sekaligus hubungan fungsi antara lembaga-lembaga negara. Sistem parlementer biasanya dide

  finisikan sebagai suatu bentuk demokrasi konstitusional dimana kewenangan eksekutif berasal dari dan bertanggungjawab pada kewenangan yang dimiliki lembaga legislatif. Dengan demikian, eksekutif dapat diberhentikan melalui mosi tidak percaya. Sebaliknya sistem presidensiil, biasanya kepala eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan presiden. Karena dipilih secara langsung oleh rakyat, presiden sebagai kepala eksekutif tidak dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya oleh parlemen.

  Menurut Kaloh (Wasistiono&Wiyoso, 2009:40), setidak-tidaknya ada tiga bentuk hubungan antara Pemerintah Daerah dengan DPRD yaitu pertama, bentuk komunikasi dan tukar menukar informasi; kedua, bentuk kerjasama atas beberapa subjek, program, masalah dan pengembangan regulasi; ketiga, klarifikasi atas beberapa permasalahan. Masih menurut Kaloh, tiga pola hubungan lain yang umumnya terjadi antara pemerintah daerah dengan DPRD dapat disarikan dalam: a.

Bentuk hubungan searah positif

  Bentuk hubungan ini terjadi bila eksekutif daerah dan DPRD memiliki visi yang sama dalam menjalankan pemerintahan dan bertujuan untuk kemaslahatan daerah itu sendiri (good governance), dengan ciri-ciri: transparan, demokratis, baik, berkeadilan, bertanggung jawab, dan objektif.

  Eksekutif dan legislatif mengembangkan potensinya dan meningkatkan kapasitasnya secara bersama-sama sehingga memiliki pemahaman yang sama baiknya dalam menyikapi setiap isu dan agenda perumusan kebijakan publik dan implementasinya.

  b.

Bentuk hubungan konflik

  Bentuk hubungan konflik terjadi bila kedua lembaga tersebut saling bertentangan dalam visi menyangkut tujuan kelembagaan serta tujuan daerah.

  Hal ini berwujud pada pertentangan yang mengakibatkan munculnya daerah dan pencapaian tujuan-tujuan daerah itu secara keseluruhan. Pada kondisi yang demikian, keduanya dihadapkan pada kontrol masyarakat yang akan menilai siapa diantara keduanya yang visi dan perilakunya berdekatan (sama) dengan kepentingan masyarakat. Kondisi terburuk terjadi, jika ternyata pertentangan yang terjadi diantara eksekutif dan legislatif justru kepentingan keduanya tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Disinilah sensiti