Peran Elit Lokal Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014(Studi Deskriptif Elit Partai Golkar Di Kabupaten Langkat)

(1)

PERAN ELIT LOKAL DALAM PEMENANGAN

PEMILU LEGISLATIF 2014

(Studi Deskriptif Elit Partai Golkar di Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

Amoy Sri Irmayani Surbakti

100906005

Dosen Pembimbing : Dra. T. Irmayani, M. Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

AMOY SRI IRMAYANI SURBAKTI (100906005)

Peran Elit Lokal dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014 (Studi Deksriptif Elit Partai Golkar di Kabupaten Langkat)

Rincian isi skripsi 100 Halaman, 25 Buku, 5 Artikel, 6 Situs Internet, 4 Wawancara (Kisaran buku dari tahun 1980-2013)

ABSTRAK

Penelitian ini menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang Bagaimana Peran Elit Lokal Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014, Studi Deskriptif Elit Partai Golkar Di Kabupaten Langkat. Peranan kaum elit di negara berkembang seperti Indonesia ialah, sebagai pemegang sumber-sumber kekuasaan seperti sumber ekonomi, sosial budaya dan lain-lain, sehingga secara otomatis mereka dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu orang yang memiliki pengaruh di dalam masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.. Penelitian ini menggunakan teori elit, teori perilaku pemilih dan teori partai politik sebagai dasar untuk menganalisis permasalahan permasalahan yang terjadi. Metode Penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data dari wawancara, buku-buku, jurnal dan sumber internet dan teknik analisis data deskriptif kualitatif.

Dalam penelitian ini data-data mengenai Letak Geografis dan Sejarah Kabupaten Langkat, Sejarah Partai Golkar secara nasional dan sejarah partai golkar di kabupaten langkat, Struktur kepengurusan partai golkar kabupaten langkat pasca reformasi dan profil elit golkar kabupaten langkat. Hasil dari analisis dalam penelitian ini menemukan 5 hal utama tentang apa-apa saja yang menjadi peran elit politik di partai golkar dalam pemenangan pemilu legislatif di kabupaten langkat yaitu Elit Lokal dalam Memenangkan Partai Golkar di Kabupaten Langkat , Efektifitas Peran Elit Lokal , Peningkatan Suara di


(3)

Pemilihan Legislatif Langkat dan Menggiring Opini Publik tentang Elit yang lebih berpengalaman di Kabupaten Langkat.

Dalam kesimpulan penelitian ini disimpulkan bahwa elit lokal partai golkar sangat berperan dalam pemenangan partai golkar kabupaten langkat. Peranannya sangat signifikan karena terkait pengaruh atas budaya, organisasi, struktur dan dinamika politik itu sendiri.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE

DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

AMOY SRI IRMAYANI SURBAKTI (100906005).

The Role of Local Elite in Legislative Winning Election in 2014 (Descrivtive Study of Elite Party Golkar in Langkat)

Content : xv, 100 pages, 25 book, 5 articeles, 6 journal of researches, 4 interview (publication from 1980-2013)

ABSTRACT

This study to describe and analyze facts about What is the Role of Local Elites in Campaign 2014 legislative elections, the Golkar Party Elites Descriptive Study In Langkat. The role of elites in developing countries such as Indonesia is, as a holder of the sources of power such as a source of economic, social, cultural and others, so that they are automatically recognized by the community as one of the people who have influence in the community either directly or indirectly .. This study uses the elite theory, the theory of voting behavior and political party theory as a basis for analyzing the problems of the problems occurred. The research method used is qualitative data collection techniques of interviews, books, journals and internet sources and descriptive qualitative data analysis techniques.

In this study the data on the Geography and History Langkat, Golkar Party national history and the history of the district Langkat Golkar party, Golkar party management structure Langkat district after the reform and Golkar elite profile Langkat district. The results of the analysis in this study found the 5 main things about what-what are the role of the political elite in the Golkar party winning legislative elections in districts Langkat namely Local Elites in the Golkar Party Wins in Langkat, Effectiveness Role of Local Elites, Enhanced Voice in Elections Langkat Legislative and Public Opinion about Elite Dribbling more experienced in Langkat.


(5)

In conclusion of this study concluded that local elites Golkar party was instrumental in winning the Golkar party Langkat district. Role is very significant because the associated influence on the culture, organization, structure and dynamics of politics it self.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Elit Lokal dalam Pemilu Legislatif 2014 (Studi Deskriftif Elit Partai Golkar di Kab Langkat)”. Penelitian ini dilakukan demi memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Proses penyelesaian skripsi ini berlangsung ketika penulis berada pada semester sembilan di Departemen Ilmu Politik, FISIP, USU. Hal ini terlaksana karena banyak pihak yang turut mendukung penyelesaian skripsi ini. Oleh karenanya peneliti ingin berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si, sebagai Dekan FISIP USU. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si sebagai Ketua Jurusan Departemen Ilmu Politik dan sebagai Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan waktu dan banyak bimbingan berupa masukan dan kritik yang sangat membangun dalam penyelesaian skripsi ini, kepada Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si, sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

Selanjutnya, peneliti ingin berterimakasih kepada seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Politik yang telah membimbing, menambah wawasan dan pengetahuan peneliti selama perkuliahan. Terimakasih kepada pegawai Departemen Ilmu Politik dan FISIP USU yang membantu penulis dalam urusan administratif kampus, peneliti berterimakasih untuk semuanya.


(7)

Dalam penulisan skripsi ini, secara khusus peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada orangtua tercinta, Ayahanda Suhardi Surbakti dan Ibunda Nurpaini yang telah membesarkan, mendidik, menyayangi, mendukung dan mendoakan peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada Rudiansyah, Spd untuk setiap dukungan, semangat dan doa kepada penulis selama ini. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat terkasih, Kiki Susanti Hakim, Spd, Isna Danila, Amd. Keb, Yona Selly Yolanda, Rozaana Raziin, S.I.P, Angellia Pratiwi Sianipar, S.I.P, Weny Deviana, S.I.P, Putri Wulandari, Anisha Muthmainnah, Hany Hafizah, In In SR Situmorang, S.I.P, dan teman-teman Ilmu Politik stambuk 2010 yang tidak dapat di sebutkan satu persatu namanya, sukses buat kita semua.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya peneliti mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan studi Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Medan, 25 Maret 2015 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul………i

Abstrak ………..ii

Abstract...iv

Halaman Persetujuan ………..vi

Lembar Persembahan……….vii

Kata Pengantar………...viii

Daftar Isi...x

Daftar Tabel ………xii

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...1

I.2. Perumusan Masalah...9

I.3. Pembatasan Masalah...9

I.4. Tujuan Penelitian...9

I.5. Mamfaat Penelitian...10

I.6. Kerangka Teori...10

I. 6.1. Teori Elit ...10

I. 6.2. TeoriPerilaku Pemilih...20

I. 6.3. Teori Partai Politik...27

I.7. Metodologi Penelitian...36

I. 7.1. Jenis Penelitian...36

I. 7.2. Lokasi Penelitian...37

I.7.3. Data dan Teknik pengumpulan Data...37


(9)

I.8. Sistematika Penulisan...39

BAB II DESKRIPSI LOKASI DAN ELIT KAB. LANGKAT II.1. Sejarah Kab. Langkat...41

II.2. Letak Geografis dan Penduduk...47

II.3. Partai Golkar...50

II.4. Sejarah Partai Golkar Langkat...60

II.5. Profil Elit Partai Golkar...65

BAB III PERAN ELIT LOKAL TERHADAP KEMENANGAN PARTAI GOLKAR PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014 DI KABUPATEN LANGKAT III.1Peranan Elit Lokal dalam Penengan Golkar di Langkat...69

III.2. Efektifitas Peran Elit Lokal...77

III.3. Peningkatan Suara di Pemilihan legislatif Langkat…...82

III.4.Menggiring Opini Publik...86

BAB IV PENUTUP[ IV.I. Kesimpulan...94

IV.2. Saran...95


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Susunan Kepengurusan DPD Partai Golkar kab. Langkat tahun 1999 – 2004 ... 61 Tabel 2.2 Susunan Kepengurusan DPD Partai Golkar kab. Langkat tahun

2004 - 2009 ... 61 Tabel 2.3 Susunan Kepengurusan DPD Partai Golkar Kab. Langkat tahun

2010 -2015 ……… 62


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

AMOY SRI IRMAYANI SURBAKTI (100906005)

Peran Elit Lokal dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014 (Studi Deksriptif Elit Partai Golkar di Kabupaten Langkat)

Rincian isi skripsi 100 Halaman, 25 Buku, 5 Artikel, 6 Situs Internet, 4 Wawancara (Kisaran buku dari tahun 1980-2013)

ABSTRAK

Penelitian ini menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang Bagaimana Peran Elit Lokal Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2014, Studi Deskriptif Elit Partai Golkar Di Kabupaten Langkat. Peranan kaum elit di negara berkembang seperti Indonesia ialah, sebagai pemegang sumber-sumber kekuasaan seperti sumber ekonomi, sosial budaya dan lain-lain, sehingga secara otomatis mereka dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu orang yang memiliki pengaruh di dalam masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.. Penelitian ini menggunakan teori elit, teori perilaku pemilih dan teori partai politik sebagai dasar untuk menganalisis permasalahan permasalahan yang terjadi. Metode Penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data dari wawancara, buku-buku, jurnal dan sumber internet dan teknik analisis data deskriptif kualitatif.

Dalam penelitian ini data-data mengenai Letak Geografis dan Sejarah Kabupaten Langkat, Sejarah Partai Golkar secara nasional dan sejarah partai golkar di kabupaten langkat, Struktur kepengurusan partai golkar kabupaten langkat pasca reformasi dan profil elit golkar kabupaten langkat. Hasil dari analisis dalam penelitian ini menemukan 5 hal utama tentang apa-apa saja yang menjadi peran elit politik di partai golkar dalam pemenangan pemilu legislatif di kabupaten langkat yaitu Elit Lokal dalam Memenangkan Partai Golkar di Kabupaten Langkat , Efektifitas Peran Elit Lokal , Peningkatan Suara di


(12)

Pemilihan Legislatif Langkat dan Menggiring Opini Publik tentang Elit yang lebih berpengalaman di Kabupaten Langkat.

Dalam kesimpulan penelitian ini disimpulkan bahwa elit lokal partai golkar sangat berperan dalam pemenangan partai golkar kabupaten langkat. Peranannya sangat signifikan karena terkait pengaruh atas budaya, organisasi, struktur dan dinamika politik itu sendiri.


(13)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE

DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

AMOY SRI IRMAYANI SURBAKTI (100906005).

The Role of Local Elite in Legislative Winning Election in 2014 (Descrivtive Study of Elite Party Golkar in Langkat)

Content : xv, 100 pages, 25 book, 5 articeles, 6 journal of researches, 4 interview (publication from 1980-2013)

ABSTRACT

This study to describe and analyze facts about What is the Role of Local Elites in Campaign 2014 legislative elections, the Golkar Party Elites Descriptive Study In Langkat. The role of elites in developing countries such as Indonesia is, as a holder of the sources of power such as a source of economic, social, cultural and others, so that they are automatically recognized by the community as one of the people who have influence in the community either directly or indirectly .. This study uses the elite theory, the theory of voting behavior and political party theory as a basis for analyzing the problems of the problems occurred. The research method used is qualitative data collection techniques of interviews, books, journals and internet sources and descriptive qualitative data analysis techniques.

In this study the data on the Geography and History Langkat, Golkar Party national history and the history of the district Langkat Golkar party, Golkar party management structure Langkat district after the reform and Golkar elite profile Langkat district. The results of the analysis in this study found the 5 main things about what-what are the role of the political elite in the Golkar party winning legislative elections in districts Langkat namely Local Elites in the Golkar Party Wins in Langkat, Effectiveness Role of Local Elites, Enhanced Voice in Elections Langkat Legislative and Public Opinion about Elite Dribbling more experienced in Langkat.


(14)

In conclusion of this study concluded that local elites Golkar party was instrumental in winning the Golkar party Langkat district. Role is very significant because the associated influence on the culture, organization, structure and dynamics of politics it self.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kaum elit merupakan suatu istilah yang sering kita dengar, tidak hanya dalam aktivitas politik namun juga dalam aktivitas sosial. Awal kemunculannya ialah karena kritik keras terhadap politik sosialisme (sosialisme marxis). Teori ini juga di arahkan untuk mementang gagasan demokratis dan sebagai bentuk sinisme terhadap aristrokrat. Menurut pandangan Vilfredo Pareto1, elit ialah kelompok orang yang mempunyai indeks kemampuan yang tinggi dalam aktivitas mereka, apapun bentuknya akan tetapi dia kemudian mengkonsentrasikan diri pada apa yang disebut sebagai “elit penguasa” yang dipertentangkan dengan massa yang tidak berkuasa, dan Gaetano Mosca2 yang meringkaskan konsep umumnya dengan mengatakan bahwa di semua masyarakat, ada satu hal yang menonjol, yakni “dua kelas manusia – kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Elit merupakan orang-orang yang dan yang mampu menduduki jabatan yang tinggi dalam masyarakat. Seperti yang kita ketahui kaum elit di mana pun berada pasti mempunyai suatu power (kekuasaan) untuk melakukan suatu kegiatan ataupun tindakan.

Dalam menganalisa kedudukan elit dalam masyarakat, elemen yang perlu di perhatikan adalah konsep kekuasaan.Hal ini disadari bahwa elit dan kekuasaan

1 S.P.Varma. 1999. Teori Politik Modern. Penyunting Tohir Efendi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal

200


(16)

merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan, karena elit adalah merupakan sekelompok orang yang memiliki sumber-sumber kekuasaan dan sebaliknya. Kekuasaan merupakan salah satu unsur terbentuknya elit. Elit politik adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik.

Peranan kaum elit di negara berkembang seperti Indonesia ialah, sebagai pemegang sumber-sumber kekuasaan seperti sumber ekonomi, sosial budaya dan lain-lain, sehingga secara otomatis mereka dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu orang yang memiliki pengaruh di dalam masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Isu kepemimpinan nasional menjadi penting guna mengukur posisi elit partai yang akan maju atau elit di luar partai politik yang dijagokan oleh partai. Walau demikian, elit di luar partai juga termasuk elit dalam tingkatan kelas sosial dalam strata masyarakat. Elit dalam pengaruhnya dapat memotori suatu partai ataupun perilaku masyarakat untuk menetapkan pilihannya, untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam suatu pemilihan umum.

Adapun yang mendorong elite politik atau kelompok-kelompok elite untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik ada dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik, menurut mereka merupakan permainan kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai-nilai guna menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut. Keinginan berebut kuasa dan berusaha memperbesar


(17)

kekuasaan itulah yang menyebabkan terjadinya pergumulan politik antar elite di dunia politik.

Seperti yang ditulis oleh Jaap Timmer dalam Politik lokal di Indonesia mengenai pemustan atau pergerakan massa yang dilakukan oleh pemusatan kekuatan oleh elit-elit politik yang mempunyai kepentingan terhadap daerah tersebut. Dalam kasus ini elit mencoba untuk memberikan strategi yang sangat menguntungkan dari otonomi daerah dan menjaga kepercayaan masyarakat yang sudah terlanjur tidak percaya pada negara, bagi mereka yang terbukti gagal dalam banyak hal.3

Pemilihan umum ialah salah satu syarat dalam era demokrasi, dimana pemilihan umum merupakan ajang partai politik bertarung serta memberi kesempatan atau peluang untuk menduduki Eksekutif dan Legislatif. Bagi suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi maupun yang membangun proses demokrasi, partai politik menjadi sarana demokrasi yang bisa berperan sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pemilahan demokrasi lokal bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya. Demokrasi lokal ditujukan sebagai bagian utuh dari demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaan rekrutmen elit politik di pemerintahan daerah.4 Pembentukan partai politik berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas melalui pemilihan umum.Untuk menciptakan pemerintahan yang mayoritas, diperlukan

3

Henk Schulte nordholt dan Gerry van klinken. 2014. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal 595


(18)

partai-partai yang dapat digunakan sebagai kendaraan politik untuk ikut dalam pemilihan umum. Bagi J Kristiadi, pemilu demokratis adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elit atau pergantian kekuasaan dapat dilakukan secara damai dan beradab.5

Pemilihan umum untuk memilih calon anggota legislatif di Kab.Langkat yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 dapat dikatakan berjalan tanpa mengalami hambatan yang terlalu berarti. Semua proses dari awal dibukanya tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari lima dapil yang ada hingga pencatatan hasil akhir pilihan masyarakat terhadap calon anggota legislatif tidak didapati penyelewangan seperti yang terjadi di beberapa daerah lain. Adapun yang menarik perhatian adalah kemenangan partai Golkar yang memperoleh suara yang signifikan di banyak daerah di Kab.Langkat dan yang tidak luput dari perhatian adalah yang menjadi pemenang adalah elit partai Golkar yang notabene juga merupakan tokoh masyarakat di daerah tempat pemilihannya.

Pada tahun 2009 pemilu di Kab.Langkat dimenangkan oleh partai Demokrat dengan jumlah perolehan suara yang cukup signifikan. Seperti yang kita ketahui pada tahun 2009 hampir di setiap tempat maupun daerah di Indonesia ini dimenangkan oleh partai Demokrat sebgai partai yang mencalonkan SBY sebagai presiden yang incumbent. Sementara pada tahun 2009 perolehan suara partai Golkar dapat dikatakan hanya memperoleh sebagian dari masyarakat untuk menempatkan wakilnya untuk duduk di parlemen. Hasil ini berbanding terbalik


(19)

dengan apa yang terjadi tahun 2014 ini, dimana perolehan suara partai Golkar lah yang dominan dan menempatkan banyak wakilnya untuk duduk di parlemen.di daerah Kab. Langkat.

Alasan penelitian ini berkonsentrasi terhadap partai Golkar ialah dikarenakan banyak yang bertanya mengapa Golkar dapat terus bertahan dalam perpolitikan di Indonesia, padahal Golkar sangatlah identik sekali dengan rezim orde baru. Partai Golkar dapat membuktikan bahwa dirinya adalah suatu partai yang dapat berdiri tegak dan mampu menjaga eksistensinya sebagai partai besar yang patut diperhitungkan oleh lawan-lawan politiknya karena partai ini melakukan, yang pertama, revitalisasi kader tingkat desa yakni asset partai Golkar dari tingkat paling bawah hingga atas, kedua ialah Golkar menyadari bahwa banyak sekali kader partai yang reformis atau dengan kata lain sebenarnya menolak sistem yang dibangun oleh Soeharto, dan yang ketiga ialah kepemimpinan dan kepengurusan yang solid, artinya Golkar tidak tergantung kepada profil seorang kader saja untuk membawa benderanya, namun tergantung kepada sistem yang ada di dalam tubuh Golkar sendiri.

Alasan penelitian ini juga berkosentrasi terhadap elit dari partai Golkar itu sendiri ialah, karena peneliti memiliki alasan yang sangat objektif, yakni yang pertama ialah dari hasil perolehan suara yang di dapat oleh partai Golkar, dimana partai Golkar mendapat perolehan suara yang cukup signifikan di daerah pemilihan Kab. Langkat.Alasan kedua ialah elit partai Golkar yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut, sehingga membuat daya tarik terhadap


(20)

masyarakat untuk memilih partai Golkar.Berikutnya alasan yang juga menyertai mengapa berkonsentrasi terhadap para elit partai Golkar ialah di mana beberapa posisi penting di duduki oleh kader partai Golkar, sebagai contoh H. Ngogesa Sitepu. SH yang sekarang meduduki jabatan sebagai Bupati Langkat.

Partai Golkar berhasil memperoleh suara terbanyak pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 tingkat Kabupaten Langkat, dengan perolehan suara 101.936 dari total 498.361 suara sah. Rincian perolehan Partai Golkar, yakni pada tahun 2014 Dapil Langkat I yang terdiri dari Stabat, Wampu, Secanggang dan batang Serangan, Golkar memperoleh suara sebanyak 29.213 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 7.970 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 14.466 suara. Dapil Langkat II yang terdiri dari Babalan, Sei Lepan, Berandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang dan Pematang Jaya, Golkar memperoleh suara sebanyak 9.547 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 10.409 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 17.220 suara. Dapil Langkat III yang terdiri dari Hinai, Padang Tualang, Sawit Seberang, Tanjung Pura dan Gebang, Golkar memperoleh suara sebanyak 16.559 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 16.170 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 16.324 suara. Dapil Langkat IV yang terdiri dari Binjai, Selesai dan Serapit, Golkar memperoleh suara sebanyak 19.147 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 7.039 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 10.364 suara. Dapil Langkat V yang terdiri dari Bahorok, Kutambaru, Salapian, Kuala dan Sei Bingai, Golkar memperoleh suara sebanyak 27.470 suara, PDI P


(21)

memperoleh suara sebanyak 12.702 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 17.663 suara. Sedangkan pada tahun 2009 Dapil Langkat I yang terdiri dari Stabat, Wampu, Secanggang dan batang Serangan, Golkar memperoleh suara sebanyak 12.371 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 18.499 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 29.584 suara. Dapil Langkat II yang terdiri dari Babalan, Sei Lepan, Berandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang dan Pematang Jaya, Golkar memperoleh suara sebanyak 5.738 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 6.704 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 24.245 suara. Dapil Langkat III yang terdiri dari Hinai, Padang Tualang, Sawit Seberang, Tanjung Pura dan Gebang, Golkar memperoleh suara sebanyak6.318 suara , PDI P memperoleh suara sebanyak 11.871 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 23.650 suara. Dapil Langkat IV yang terdiri dari Binjai, Selesai dan Serapit, Golkar memperoleh suara sebanyak 19.017 suara, PDI P memperoleh suara sebanyak 13.329 suara, dan Demokrat memperoleh suara sebanyak 26.159 suara. Dapil Langkat V yang terdiri dari Bahorok, Kutambaru, Salapian, Kuala dan Sei Bingai pada saat itu belum terbentuk.6

Ini berdasarkan hasil rapat pleno rekapitulasi dan penetapan perolehan suara Pemilu 2014 Tingkat Kabupaten Langkat yang diselenggarakan KPUD Langkat selama dua hari sejak tanggal 20 hingga 21 April di Gedung Pegnasos, Stabat, Langkat. Kemudian, posisi kedua yakni Partai Demokrat meraih 76.037

6

Diolah dari Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik dalam Pemilu Anggota DPRD Kab Langkat tahun 2014. KPUD Kab. Langkat


(22)

suara, PDIP memperoleh 54.290 suara, Gerindra 52.932 suara, Hanura 39.061 suara, NasDem 38.891 suara, PAN 29.563 suara, PBB 26.144 suara, PPP 24.934 suara, PKB 23.613 suara, PKS 23.030 suara, dan posisi juru kunci adalah PKPI dengan perolehan sebanyak 7.930 suara. Hasil ini tidak hanya menempatkan Partai Golkar sebagai peraih suara terbanyak di Kabupaten Langkat, namun dipredikdi akan memproleh sebanyak sebelas kursi legislatif di DPRD Kabupaten Langkat, dari total 50 kursi legislatif yang diperebutkan.

Adapun Elit lokal yang akan diulas lebih lanjut didalam penelitian ini yaitu Bapak Ngogesa Sitepu sebagai salah satu elit partai Golkar dan sedang meduduki jabatan sebagai Kepala daerah di Kab. Langkat dan Suri Alam SE sebagai Wakil ketua II DPRD Kab. Langkat yang masih menduduki jabatannya sampai saat ini dan sebagai Ketua Pujakesuma ( Putra Jawa Kelahiran Sumatera).

Pengaruh status seorang kandidat dari suatu partai yang ingin memenangkan perolehan suara dalam kancah pemilihan umum di daerah terhadap perilaku pemilih di suatu daerah sangatlah berkaitan.Beranjak dari yang dikemukakan sebelumnya maka dalam penelitian ini, peneliti ingin mengkaji bagaimana pengaruh yang diberikan elit terhadap kemenangan suatu partai, yakni partai Golkar yang berada di sekitarnya.


(23)

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian saya ini adalah: “Bagaimana peran elit lokal terhadap kemenangan partai Golkar pada pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Langkat?

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam upaya memfokuskan permasalahan dalam penelitian ini, akan lebih baik jika dibuat pembatasan masalah :

1. Penelitian ini hanya mengkaji peranan elit dalam pemenangan Pemilihan legislatif pada tahun 2014.

2. Penelitian ini hanya mengkaji tentang pengaruh elit dalam pemenangan Calon Legislatif dari Partai Golkar.

3. Penelitian ini hanya mengkaji tentang peranan elit Partai Golkar dalam pemenagan pemilihan legislatif kabupaten Langkat tahun 2014.

1.4.Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memahami bagaimana peranan elit dalam pemenangan Pemilihan legislatif pada tahun 2014.

2. Memahami dan menganalisa pengaruh elit dalam pemenangan Calon Legislatif dari Partai Golkar.

3. Menganalisa peranan elit Partai Golkar dalam pemenagan pemilihan legislatif kabupaten Langkat tahun 2014.


(24)

I.5. Mamfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat yang secara garis besar, yakni :

1. Secara teoritis maupun metodologis studi ini diharapkan dapat memebrikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalama studi pengaruh elit lokal dalam suatu partai politik, khususnya di Indonesia.

2. Secara lembaga hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam Ilmu Politik, dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fisip USU.

3. Secara kemasyarakatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi kehidupan bermasyarakat, khususnya mampu menjadi salah satu literatur dalam menganalisis bagaimana elit lokal dan pemilu di Indonesia

I.6. Kerangka Teori I.6.1 Teori Elit

Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional7.

Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para


(25)

intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis.8 Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller9 mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat,

8

Ibid.


(26)

suatu minoritas membuat keputusan-keputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.10

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governing elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai adri yang paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.11

10

Ibid. Hal. 34 11 Ibid.


(27)

Pengertian Elite Politik adalah sekelompok kecil orang berkualitas yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat yang diperlukan pada kekuasan sosial politik untuk memerintah, yang menurut Pareto, masyarakat terbagi dalam dua kategori yaitu: lapisan elite yang jumlahnya kecil dan mempunyai kemampuan memerintah (governing elit), yang lapisan non elite yang jumlahnya besar yang ditakdirkan untuk diperintah (non elit).12

Dalam tulisan Eugene J. Meehan sebagaimana dikutip oleh S.P.Varma bahwamulanya “teori elit politik”, lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun1950-an, antara Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuwan politik) dan sosiolog C.Wright Mills, yang melacak tulisan-tulisan dari para pemikir Eropa masa awalmunculnya Fasisme, khususnya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), RobertMichels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol), Pareto percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orangyang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan orang yang terbaik.Merekalah yang dikenal sebagai elit.

Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat.Mereka terdiri dari pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas


(28)

yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai, yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagike dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non- governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan yang dilihatnya sebagai hal yang penting.

Kajian ini membagi dua katagori elit13 :

A. Elit Politik Lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit politiknya seperti: Gubenur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan partai politik. Dalam konteks lokal yaitu elit politik lokal dan elit non politik lokal.

B. Elit Non Politik Lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya. Perbedaan tipe elit lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang lingkup mereka, juga dapat

13 Lihat S. P. Varma, Teori Politik Modren, (1987. Jakarta: Rajawali Pers), Maurice Duverger, Sosiologi Politik, (1982. Jakarta: Rajawali Pers). hal.179. Penjelasan lain mengenai teori-teori elit ini dapat dilihat pada Mark. N. Hagopian. Regimes,Movement, and Ideology. (1978.New York and London: Logman) hal. 223-249.


(29)

memberikan penjelasan mengenai hubungan antar-elit politik maupun elit mesyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah di tingkat lokal.

Teori elit mengandung bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang mencakup (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Elit sering di artikan sebagai sekumpulan orang sebagi individu-individu yang superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan kekuasaan atau kelompok yang berbeda dilingkaran kekuasaan maupun yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto membagi strtifikasi dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elit), elit yang tidak memerintah (non-governing elite)dan mkassa umum ( non-elite)

Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri, dan Kedua, pergantian terjadi di antara elit dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a). Individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada, dan atau (b). Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.14


(30)

Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuanya dan orang luar di kelas tersebut menunjukan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru15.Dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh Mosca, terutama karena terjadinya penjatuhan rejim, konflik pasti tidak terhindarkan, karena masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam cara. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti organisasi dan jumlah, uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya.16

Tata cara mekanisme sirkulasi elit ini akan sangat menentukan sejauh mana sistem politik memberikan karangka bagi terujutnya pergantian kekuasaan di suatu Negara. Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya perosesnya tidak selalu mulus, apalagi dalam konteks politik Internasional yang menunjukan sifat-sifat ketidaknormalan. Meskipun ada tata cara umum sebagaimana di atur dalam UU No.22/1999, tetapi masing-masing DPRD mempunyai tata cara dan mekanisme masing-masing dalam pergantian elit. Dalam memahami konstelasi dan rivalitas politik elit, perlu juga di pahami tentang fenomena dan perilaku massa.

Sementara itu, Baswedan (2006) membedakan 3 macam tipe elit yakni: Pertama, elit intelektual merupakan elit yang didasarkan atas ukuran tingkat

15S.P Varma, Ibid, hal. 203 16

S.P Varma, Ibid, hal. 275. Amitai Etzioni. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organization. New York: Free Press.


(31)

pendidikan. Kedua, elit aktivis merupakan sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang mengkaitkan diri dengan dunia politik, dan ketiga, elit militer merupakan aktor-aktor yang menginstitusikan dirinya dalam dunia militer.17

Secara umum, elit merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan-kedudukan tinggi.Dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjukkan oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung lebih menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian elit penguasa dan elit yang tidak berkuasa yang mengarah kepada adanya kepentingan yang berbeda.

Elit politik merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan, dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan selain itu, elit politik juga merupakan individu yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Sehingga dengan kedudukan yang istimewa inilah kemudian elit menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.

Gelombang demokratisasi yang menggulingkan penguasa otoriter di beberapa negara, ternyata belum diimbangi oleh kelembagaan politik yang


(32)

mampu menopang proses politik di tingkat lanjutan agar mampu bergerak secara solid ke arah konsolidasi. Larry Diamond menyatakan: “sampai derajat yang besar, perbedaan antara bentuk dan substansi demokrasi di dunia adalah kesenjangan kelembagaan. Tidak ada sistem politik di dunia yang beroperasi secara tepat sesuai dengan ketentuan-ketentuan kelembagaan formalnya, tetapi apa yang membedakan kebanyakan negara demokrasi di Amerika Latin, Afrika, dan bekas negara-negara komunis adalah institusi-institusi politiknya terlalu lemah untuk menjamin perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang beragam, supremasi konstitusional, rule of law, dan pembatasan eksekutif”.18

Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller (1995:87) mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni:

(1) pertumbuhan penduduk

(2) pertumbuhan spesialisasi jabatan

(3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi (4) perkembangan keagamaan moral

Konsekuensinya, kaum elit pun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih bersifat otonom.19

Untuk melancarkan mekanisme sistem politik liberal maka para elit politik atau elit penguasa harus mampu mengakomodasi berbagai berbagai tuntutan

18

Larry Diamond. 1999. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta : IRE Press. hal. 43 19Larry Dimaond, Ibid hal. 44


(33)

masyaraka atau warga Negara. Kemudian tuntutan itu diolah menurut mekanisme sistem politik liberal yang pada akhirnya menghasilkan berbagai kebijakan atau keputusan yang dapat menjawab berbagai tuntutan masyarakat. Keputusan atau kebijakan ini juga memberi kesejahteraan pada anggota masyarakat. Elit politik liberal bertindak secara demokratis untuk menghargai hak-hak warganegara dan terbuka terhadap berbagai golongan. Kolaborasi diantara diantara para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan tidak dibenarkan.

Partisipasi politik elit politik masyarakat di Indonesia berdasarkan intensitasnya terbagi dalam tiga bentuk yakni sebagai pengamat, partisipan, dan aktivis. Masyarakat sebagai pengamat ditunjukkan dalam bentuk pemberian suara.Sedangkan elit politik masyarakat sebagai partisipan ditunjukkan dalam bentuk menjadi peserta kampanye, juru kampanye, saksi dalam pemilu, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan terlibat dalam diskusi-diskusi informal. Dan elit politik masyarakat sebagai aktivis yaitu menjadi panitia penyelenggara pemilu dan menjadi pengurus partai politik. Adapun seberapa besar seseorang (aktor) berpengaruh pada pembuatan kebijakan dipengaruhi beberapa faktor di antaranya: minat pada politik, pengetahuan dan pengalaman politik, kecakapan dan sumber daya politik, partisipasi politik, kedudukan politik serta kekuasaan politik

Motif partisipasi politik elit politik masyarakat dalam pemilu legislatif adalah motif rasional bernilai dan keikutsertaan mereka dengan berpartisipasi politik atas dasar pertimbangan rasional. Sebagian elit politik perempuan telah


(34)

menilai secara objektif pilihannya dan sebagian lainnya mengandung motif yang afektual emosional yaitu akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih merupakan suatu bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam lingkungan politiknya.

I.6.2. Teori Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek yang sangat penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilihan umum. Perilaku pemilih dapat didefinisikan sebagai salah satu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu.20

Sebenarnya Teori Pilihan Rasional diadopsi oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena didalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang kerugiannya paling minim. Dalam konteks teori semacam itu, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan.Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat

20


(35)

yang hendak mencalonkan kembali, diantaranya kualitas, kompetensi, dan integrasi kandidat.

Sementara itu Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh21 menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan rugi.Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif-alternatif berupa pilihan yang ada.Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup.Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis.Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self interest) maupun untuk kepentingan umum.

Sehingga pada kenyataannnya, terdapat sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya.Fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yaitu faktor situasional yang juga turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan politiknya pada pemilu. Hal ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya pasif, terbelenggu oleh

21

Dennis Kavanagh. 1992. Political Science and Political Behavior. dalam FS Swartono, dan Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana. hal.146


(36)

karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi merupakan individu yang aktif dan bebas bertindak. Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa memperdulikan label partai yang mengusung kandidat tersebut.

Pengaruh isu yang ditawarkan bersifat situasional (tidak permanent/berubah-ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis. Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat apabila ia kelak menang dalam pemilu. Variabel kedua adalah kualitas simbolis yaitu kualitas kepribadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan dan sebagainya.


(37)

Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dan Nimmo22 dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek yang mengatakan bahwa:

Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warganegara. Orang yang rasional :

1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif 2. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih

disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain

3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C

4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi dan

5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif tersebut yang peringkat

22


(38)

preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama. Penerapan teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap tokoh atau partai tertentu dalam konteks pemilu.Teori pilihan rasional sangat cocok untuk menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya.Sedangkan dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan.Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik tersebut.dengan kata lain pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.

Individu sebagai penyokong legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui konsekwensi dari pilihannya. Kehendak rakyat merupakan perwujudan dari seluruh pilihan rasional individu yang dikumpulkan (public choice). Dalam


(39)

konteks pemilu di Australia, istilah public digunakan untuk mewakili masyarakat Australia yang terdiri dari individu-individu dengan keanekaragaman karakteristiknya. Mereka bertindak sebagai responden dalam pemilu yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk melakukan pilihan politik.

Public choice dalam konteks pemilu sangat penting artinya bagi kelangsungan roda pemerintahan di suatu negara. Bagaimana agenda politik dalam suatu negara itu disusun, tergantung dari pilihan masyarakat terhadap agenda yang ditawarkan melalui pemilihan umum.

Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari pilihan kolektif semacam ini adalah bagaimana mengkombinasikan berbagai macam prefensi individu-individu kedalam sebuah kebijakan yang akan diterima secara luas oleh masyarakat.23 Terkait dengan hal tersebut, pemilu digunakan sebagai sarana untuk menentukan suara terbesar dari masyarakat, karena hanya pilihan mayoritaslah yang akan mendominasi arah politik suatu negara. Disamping itu, dalam perannya sebagai individu yang independen, manusia akan selalu mengejar seluruh kepentingannya dengan maksimal dan membuat pilihan-pilihan yang sulit untuk diwujudkan oleh pemerintah di negaranya, akan tetapi dalam peran manusia sebagai anggota sebuah komunitas atau masyarakat, hal itu tidak berlaku.

Buchanan dan Tullock mengajarkan bahwa dalam menentukan suatu public choice, terdapat aspek-aspek yang lebih daripada sekedar memenuhi

23

James Q. Wilson, New Politics, New Ellites, Old Publics, dalam Marc K. Landy dan Martin A. Levin. 1995. The New Politics of Public Policy. London : The Johns Hopkins University Press. hal 263, dalam skripsi Dani Tri Anggoro. 2005. Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris. Unej 2006. hal 11- 14


(40)

peraturan politik pemerintah dalam pemilu. Aspek-aspek tersebut meliputi pilihan-pilihan untuk membuat suatu keputusan sosial dengan mempertimbangkan lembaga-lembaga perekonomian yang bebas dari campur tangan pemerintah, disamping mekanisme pemerintahan lain yang terpusat dalam suatu negara dan lembaga-lembaga yang menggabungkan antara sektor publik dan sektor privat. Lebih lanjut Buchanan dan Tullock menyatakan bahwa untuk menghasilkan keputusan sosial tersebut dibutuhkan adanya integrasi antara politik dan ekonomi. Integrasi tersebut akan sangat berguna untuk memahami hal-hal seperti mengapa pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem pasar, redistribusi terhadap kekayaan, serta bagaimana kekuatan pasar dapat mempengaruhi tujuan-tujuan politik. Semua segi-segi ekonomi dan politik tersebut hanya dapat dipahami jika kita memandangnya dari perspektif teori yang sama.24

Tidak semua pilihan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas didalam menentukan pilihannya.Pemilih yang berprinsip rasional lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang bermukim didaerah urban. Tingkat pendidikan yang membawa serta pemahaman akan politik mempunyai korelasi positif terhadap perilaku pemilih yang semakin rasional. Penduduk yang bermukim di negara-negara maju berat, seperti Australia terkenal memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, hal itu dapat dilihat dari tingkat buta huruf yang sangat minim.

24

Peter C. Ordeshook, The Emerging Discipline of Political Economy, dalam James E. Alf dan Kenneth A. Shelpse. 1990. Perspective on Positive Political Economy. Melbourne: Cambridge University Press. hal.15. dalam skripsi Dani Tri Anggoro. 2006. Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris2005. Unej. hal 14


(41)

Oleh karena itu menurut Saiful Mujani25, seorang pemilih akan cenderung memilih parpol atau kandidat yang berkuasa di pemerintahan dalam pemilu apabila merasa keadaan ekonomi rumah tangga pemilih tersebut atau ekonomi nasional pada saat itu lebih baik dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebaliknya pemilih akan menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi rumah tangga dan nasional tidak lebih baik atau menjadi lebih buruk. Pertimbangan ini tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, melainkan juga kehidupan politik, sosial, hukum dan keamanan. Menurutnya dalam mengevaluasi kinerja pemerintah, media massa terutama yang massif seperti televisi memiliki peranan yang sangat menentukan. Melalui informasi yang berasal dari media massa, seorang pemilih dapat menilai apakah kinerja pemerintah sudah maksimal atau malah jalan ditempat.

1.6.3 Teori Partai Politik

Partai politik adalah organisasi yang beroperasi dalam sistem politik. Dan partai politik juga dianggap sebagai perwujudan atau lambang dari negara modern. Maka tak heran bila hampir semua negara demokrasi maupun negara komunis, negara maju maupun negara berkembang memiliki partai politik.

Partai Politik dilihat sebagai sebuah “autonomous Groups that make nominations and contest elections in the hope of eventually gaining and exercise control the personnel and policies of goverment” (Kelompok Otonom yang membuat nominasi dan pemilihan umum dengan harapan mendapatkan dan

25

Saiful Mujani, Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial sudah tidak memadai, dalam http://islamlib.com?page.php?page=article&id=703


(42)

menjalankan kontrol individu dan kebijakan pemerintah) dalam konteks ini, mereka melihat bahwa tujuan utama dibentuknya partai politik adalah mendapatkan kekuasaan dan melakukan kontrol terhadap orang-orang yang duduk dalam pemerintahan sekaligus kebijakannya, partai politik sangat terkait dengan kekuasaannya untuk membentuk dan mengontrol kebijakan publik. Selain itu, partai politik juga diharapkan untuk independen dari pengaruh pemerintah . hal in i tentunya menyiratkan tujuan agar partai politik bisa mengkritisi setiap kebijakan dan tidak tergantung pada pemerintah yang dikritisi.26

La Palombara dan Weiner (1966) mengidentifikasi empat karakteristik dasar yang menjadi ciri khas organisasi yang dikategorikan sebagai partai politik. Kriteria mereka sangat populer dewasa ini untuk melakukan studi komparatis politis keempat karakteristik dasar partai politik adalah sebagai berikut :

1. Organisasi jangka panjang. Organisasi partai poltik harus bersifat jangka panjang, diharapkan terus hadir meskipun pendirinya sudah tidak ada lagi. Partai politik bukan sekedar gabungan dari para pendukung yang setia mendukung dengan kharismatik. Partai politik hanya akan berfungsi dengan baik sebagai organisasi ketika ada sistem dan prosedur yang mengatur aktivitas organisasi dan ada mekanisme suksesi yang menjamin keberlangsungan partai politik untuk waktu yang lama.

2. Struktur Organisasi . Partai politik hanya akan dapat menjalankan funsi politiknya apabila didukung oleh struktur organiasasi , mulai dari tingkat

26 Ibid.,


(43)

lokal sampai nasional dan ada pola interaksi yang teratur diantara keduanya. Partai politik kemudian dilihat sebagai sebuah organisasi yang meliputi suatu wilayah teritorial serta dikelola secara prosedural dan sistematis. Struktur organisasi partai politik yangs sistematis dapat menjamin aliran informasi dari bawah keatas maupun dari atas kebawah, sehingga nantinya akan meningkatkan efisensi serta efektifitas fungsi kontrol dan koordinasi.

3. Tujuan Berkuasa, Partai politik didirikan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan , baik dilevel lokal maupun nasional. Siapa yang memimpin negara, profinsi atau kabupaten. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang melatar belakangi lahirnya partai politik. Ini pula yang membedakan antara partai politik dengan bentuk kelompok kepentingan dan grup yang terdapat dalam masyarakat seperti perserikatan,asosiasi dan ikatan.

4. Dukungan publik luas adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan. Partai politik perlu mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Dukungan inilah yang menjadi sumber legitimasi untuk b erkuasa. Karakteristik ini menunjukan bahwa partai politik harus mampu diterima oleh mayoritas masyarakat dan sanggup memobilisasi sebanyak mungkin elemen masyarakat. Semakin besar dukungan publik yang didapatkan partai politik, semakin besar juga legitimasi yang diperolehnya.27


(44)

Sebuah definisi klasik mengenai partai politik diajukan Edmund Burke pada tahun 1839 dalam tulisannya:

Thuoughts on the Cause of the Present Disconents. Burke menyatakan bahwa, party is a body of men united, for promoting by their joint endeavors the national interest, upon some particular principle upon which they are all agreed. (partai politik adalah lembaga yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional bersama-sama, berdasar pada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui)28

Selain Burke, Carl Friedrich mengajukan pengertiannya tentang partai politik, yakni partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materil dan ide kepada anggotanya. Sementara itu Soltau menjelaskan partai politik sebagai yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik, dan memanfaatkan kekuasaannya untuk kebijakan umum yang mereka buat. 29

Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Berikut ini dikemukakan sejumlah fungsi partai politik:

a. Sosialisasi Politik

28

Seta Basri, 2010, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta : Pustaka Indonesia,Hal.117


(45)

Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialiasasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup yang diperoleh baik secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga dan tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat.

b. Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau manakala partai ini merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.


(46)

Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud antara lain mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum, dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini, partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong, dan mengajak para anggota dan anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. Jadi, partai politik merupakan wadah partisipasi politik.

d. Agregasi Kepentingan

Dalam masyarakat, terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan acapkali bertentangan, seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tetapi mutu; antara kehendak untuk mencapai efisiensi dan penerapan teknologi yang canggih, tetapi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, dengan kehendak untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan.Untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan, maka partai politik dibentuk.


(47)

Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai komunikator politik yang tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai politik dinegara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai-partai politik dalam sistem politik demokrasi.

Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik tidak langsung menyampaikan informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat keperintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima informasi dapat dengan mudah memahami dan kemudian memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

f. Pengendalian Konflik

Konflik yang dimaksud disini adalah dalam arti luas, mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar dielakkan.

Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari


(48)

pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.

g. Kontrol Politik

Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam melakukan suatu kontrol politik atau pengawasan, harus ada tolok ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat objektif.

Tolok ukur suatu kontrol politik berupa nilai-nilai politik yang dianggap ideal dan baik yang dijabarkan kedalam berbagai kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Tujuan kontrol politik adalah meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksanaannya sejalan dengan tolok ukur tersebut. Fungsi kontrol ini merupakan salah satu mekanisme politik dalam sistem politik demokrasi untuk memperbaiki dan memperbaharui dirinya secara terus menerus.30

Setiap partai politik memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Richard S.Katz ada beberapa tipologi partai politik:


(49)

1.Partai Elit

Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client

(anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk didalam parlemen.

2.Partai Massa

Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tersingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai daripada ideologi atau kebijakan.

3.Partai Catch-All

Partai jenis ini dipermukaan hampir sama dengan partai massa. Namun perbedaannya dengan partai massa yang mendasar adalah kalau partai massa mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu


(50)

setiap kali kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai

Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient. 4.Partai Kartel

Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka ditingkat parlemen. Untuk mengatasinya, para pemimpin partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.

5.Partai Integratif

Partai jenis ini berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih dan membuat mereka menjadi anggota partai. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.31

I.7. Metodologi Penelitian I.7.1 Jenis Penelitian

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitaif ini adalah konsekuensi metodologi dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodologi kualitatif”


(51)

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.32

Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

I.7.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kabupaten Langkat. Adapun alasan peneliti mengapa mengambil lokasi penelitian di daerah ini adalah disebabkan daerah ini adalah daerah pemenangan partai Golkar.

I.7.3 Data dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (observation), dan dokumentasi (documentation). Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka penulis dalam penelitian ni menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Data Primer, yaitu penelitian lapangan (field research), dimana pengumpulan data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan informan yang mengetahui benar masalah


(52)

yang diteliti, atau yang terlibat langsung dengan masalah yang diteliti, atau yang terlibat langsung dengan masalah yang diteliti.

2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaaan (library research), dimana dengan mempelajari buku-buku, jurnal, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

Adapun teknik sampling yang dilakukan penulis ialah purposive sampling yaknipengambilan sampel berdasarkan “penilaian” (judgment) mengenai siapa-siapa saja yang pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan sampel.Oleh karenanya agar tidak sangat subjektif, peneliti harus punya latar belakang pengetahuan tertentu mengenai sampel dimaksud (tentu juga populasinya) agar benar-benar bisa mendapatkan sampel yang sesuai dengan persyaratan atau tujuan penelitian (memperoleh data yang akurat).

I.7.4 Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa data yang digunaka dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis data kualitatif. Dalam analisis data kualitatif datanya tidak dapat dihitung dan berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka-angka.33 Disamping itu, penelitian ini bersifat deskripsi yang bertujuan memberikan gambaran mengenai situasi atau kejadian yang terjadi. Data-data yang terkmpul melalui wawancara dan dokumentasi kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi


(53)

dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti.

I.8. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan yang dibahas, pembatasan masalah yang akan diteliti, tujuan mengapa diadakan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian serta kerangka teori yang menjadi landasan pembahasan masalah.

BAB II : DESKRIPSI MENGENAI LOKASI DAN PROFIL ELIT LOKAL YANG BERPENGARUH DI KAB. LANGKAT

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum tentang deskripsi profil Elit yang yang berpengaruh di kab. Langkat

BAB III: PENGARUH ELIT LOKAL TERHADAP

KEMENANGANPARTAI GOLKAR PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014 DI KAB. LANGKAT.

Bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan.


(54)

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data pada bab-bab sebelumnya serta berisi kemungkinan adanya saran-saran yang peneliti peroleh setelah melakukan penelitian


(55)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI DAN ELIT KAB. LANGKAT

II.1. Sejarah Kab. Langkat

II.1.1. Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Pada masa Pemerintahan Belanda, Kabupaten Langkat masih berstatus keresidenan dan kesultanan (kerajaan) dengan pimpinan pemerintahan yang disebut Residen dan berkedudukan di Binjai dengan Residennya Morry Agesten. Residen mempunyai wewenang mendampingi Sultan Langkat di bidang orang-orang asing saja sedangkan bagi orang-orang-orang-orang asli (pribumi) berada di tangan pemerintahan kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat berturut-turut dijabat oleh :

1. Sultan Haji Musa Almahadamsyah 1865-1892

2. Sultan Tengku Abdul Aziz Abdul Jalik Rakhmatsyah 1893-1927 3. Sultan Mahmud 1927-1945/46

Dibawah pemerintahan Kesultanan dan Assisten Residen struktur pemerintahan disebut LUHAK dan dibawah luhak disebut Kejuruan (Raja kecil) dan Distrik, secara berjenjang disebut Penghulu Balai (Raja kecil Karo) yang berada didesa. Pemerintahan luhak dipimpin seorang Pangeran, Pemerintahan Kejuruan dipimpin seorang Datuk, Pemerintahan Distrik dipimpin seorang kepala


(56)

Distrik, dan untuk jabatan kepala kejuruan/Datuk harus dipegang oleh penduduk asli yang pernah menjadi raja di daerahnya.34

Pemerintahan Kesultanan di Langkat dibagi atas 3 (tiga) kepala Luhak :35 1. Luhak Langkat Hulu, yang berkedudukan di Binjai dipimpin oleh

T.Pangeran Adil. Wilayah ini terdiri dari 3 Kejuruan dan 2 Distrik yaitu: a. Kejuruan Selesai

b. Kejuruan Bahorok c. Kejuruan Sei Bingai d. Distrik Kwala e. Distrik Salapian

2. Luhak Langkat Hilir, yang berkedudukan di Tanjung Pura dipimpin oleh Pangeran Tengku Jambak/T.Pangeran Ahmad. Wilayah ini mempunyai 2 kejuruan dan 4 distrik yaitu :

a. Kejuruan Stabat b. Kejuruan Bingei c. Distrik Secanggang

34

Zainal Arifin, Langkat Dalam Sejarah Dan Perjuangan Kemerdekaan, 2013, Medan: Mitra Medan, Hal.6.

3535 Ibid.,


(57)

d. Distrik Padang Tualang e. Distrik Cempa

f. Distrik Pantai Cermin

3. Luhak Teluk Haru, berkedudukan di Pangkalan Berandan dipimpin oleh Pangeran Tumenggung (Tengku Djakfar). Wilayah ini terdiri dari satu kejuruan dan dua distrik.

a. Kejuruan Besitang meliputi Langkat Tamiang dan Salahaji. b. Distrik Pulau Kampai

c. Distrik Sei Lepan

Awal 1942, kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda beralih ke Pemerintahan jepang, namun sistem pemerintahan tidak mengalami perubahan, hanya sebutan Keresidenan berubah menjadi SYU, yang dipimpin oleh Syucokan. Afdeling diganti dengan Bunsyu dipimpin oleh Bunsyuco Kekuasaan Jepang ini berakhir pada saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17-08-1945.36

II.1.2. Masa Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, Sumatera dipimpin oleh seorang Gubernur yaitu Mr.T.M.Hasan, sedangkan Kabupaten Langkat tetap

36


(58)

dengan status keresidenan dengan asisten residennya atau kepala pemerintahannya dijabat oleh Tengku Amir Hamzah, yang kemudian diganti oleh Adnan Nur Lubis dengan sebutan Bupati.37

Pada tahun 1947-1949, terjadi agresi militer Belanda I, dan II, dan Kabupaten Langkat terbagi dua, yaitu Pemerintahan Negara Sumatera Timur (NST) yang berkedudukan di Binjai dengan kepala Pemerintahannya Wan Umaruddin dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedudukan di Pangkalan Berandan, dipimpin oleh Tengku Ubaidulah.

Berdasarkan PP No.7 Tahun 1956 secara administratif Kabupaten Langkat menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dengan kepala daerahnya (Bupati) Netap Bukit.

Mengingat luas Kabupaten Langkat, maka Kabupaten Langkat dibagi menjadi 3 (tiga) kewedanan yaitu :

1. Kewedanan Langkat Hulu berkedudukan di Binjai

2. Kewedanan Langkat Hilir berkedudukan di Tanjung Pura 3. Kewedanan Teluk Haru berkedudukan di Pangkalan Berandan.

37

Ichwan Syafri,Jejak Sejarah Dan Kebudayaan Melayu Di Sumatera Utara, 2009, Medan : CV Cipta Mandiri, Hal.34.


(59)

Pada tahun 1963 wilayah kewedanan dihapus sedangkan tugas-tugas administrasi pemerintahan langsung dibawah Bupati serta Assiten Wedana (Camat) sebagai perangkat akhir.

Pada tahun 1965-1966 jabatan Bupati Kdh. Tingkat II Langkat dipegang oleh seorang Care Taher (Pak Wongso) dan selanjutnya oleh Sutikno yang pada waktu itu sebagai Dan Dim 0202 Langkat. Dan secara berturut-turut jabatan Bupati Kdh. Tingkat II Langkat dijabat oleh:

1. T. Ismail Aswhin 1967 – 1974 2. HM. Iscad Idris 1974 – 1979 3. R. Mulyadi 1979 – 1984

4. H. Marzuki Erman 1984 – 1989 5. H. Zulfirman Siregar 1989 – 1994 6. Drs. H. Zulkifli Harahap 1994 – 1998

7. H. Abdul Wahab Dalimunthe, SH 3-9-1998 s/d 20-2-1999 8. H. Syamsul Arifin, SE 1999-2009

9. Ngogesa Sitepu : 2009 s/d sekarang

Untuk melaksanakan pembangunan yang merata, Kabupaten Langkat dibagi atas 3 wilayah pembangunan.

1. Wilayah Pembangunan I (Langkat Hulu) meliputi - Kecamatan Bahorok dengan 19 desa

- Kecamatan Salapian dengan 22 desa - Kecamatan Kuala dengan 16 desa


(1)

Partisipasi politik elit politik masyarakat di kabupaten Langkat berdasarkan intensitasnya ditunjukkan dalam bentuk pemberian suara. Sedangkan elit politik masyarakat sebagai partisipan ditunjukkan dalam bentuk menjadi peserta kampanye, juru kampanye, saksi dalam pemilu, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan terlibat dalam diskusi-diskusi informal.Dan elit politik masyarakat sebagai aktivis yaitu menjadi panitia penyelenggara pemilu dan menjadi pengurus partai politik tidak hanya itu pengaruh latar belakang organisasi kepemudaan dan organisasi masyarakat sangat menentukan kemenangan Caleg di kabupaten langkat.

Disamping itu elit lokal yang notabene ialah sebagai warga masyarakat yang sudah tinggal di daerah itu, dapat pula menjadikan alasan kepada masyarakat untuk mendukung partai yang diemban yakni partai Golkar, karena masyarakat menganggap telah ada kedekatan emosional dengan elit lokal yang menjadi caleg dari partai Golkar yang terbangun selama elit lokal tersebut tinggal di daerah tersebut. Dengan diketahuinya sosok elit lokal yang menjadi caleg partai Golkar, tentu saja hal ini memudahkan langkah partai Golkar untuk mendapatkan perolehan suara yang signifikan dari masyarakat di sekitar daerah Kab. Langkat pada saat diadakannya pemilu legislatif tahun 2014.


(2)

1. Pertama, Elit lokal yang menjadi kader dan sekaligus menjadi caleg partai Golkar agar tetap konsisten melakukan perubahan kearah yang lebih baik dan pembangunan yang signifikan serta mengaplikasikan janji mereka kepada agar masyarakat ada di Kab. Langkat tetap mempercayai mereka. Masyarakat mampu memberikan pilihan kepada mereka, oleh karena itu masyarakat juga mampu untuk menilai mereka apabila mereka tidak bekerja sesuai dengan harapan masyarakat atau tidak sesuai dengan apa yang dikatakan pada saat proses mengkampanyekan diri mereka. 2. Kedua, Elit lokal harus dapat mengetahui program atau kebijakan

apa yang sangat penting ditengah-tengah masyarakat yang heterogen sifatnya di daerah Kab. Langkat agar tidak dinilai tebang pilih dalam memberikan kebijakan kepada setiap masyarakatnya. 3. Ketiga, Elit lokal harus dapat berkomunikasi dengan setiap elemen

masyarakat sehingga kedekatan yang selama ini sudah terbangun tetap terjalin, walaupun hasil untuk partai Golkar menjadikan partai Golkar sebagai partai pemenang untuk daerah Kab. Langkat, bukan berarti semua tugas yang diemban oleh mereka sudah selesai, namun banyak kebijakan ataupun regulasi yang harus mereka rumuskan demi kepentingan masyarakat, khususnya yang


(3)

menjadikan diri mereka sebagai caleg dari partai Golkar yang ada di Kab. Langkat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abbas, Rusdi. J, 2010. Demokrasi di Aras Lokal: Praktek Politik Elite Lokal, Yogyakarta: Cerah Media.

Andrain, Charles F. 2002. Kehidupan Politik Dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Arifin, Anwar. 2006. Pencitraan dalam politik (Strategi pemenangan pemilu

dalampresfektif Komunikasi Politik). Jakarta: Pustaka Indonesia.

Arifin, Zainal. Langkat Dalam Sejarah Dan Perjuangan Kemerdekaan. 2013. Medan: Mitra Medan.

Basri, Seta. 2010. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Pustaka Indonesia. Cangara, Hafied. 2006. Komunikasi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Dahl, Robert. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Dan Nimmo. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: CV. Remaja Karya.

Dennis Kavanagh. 1992. Political Science and Political Behavior. dalam FS Swartono dan Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Widiasarana, Jakarta.

Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press.

Elizabeth Graves. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning ideologi

politik di era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor.


(5)

Pembangunan (LSPP). Diolah dari Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik dalam Pemilu Anggota DPRD Kab Langkat tahun 2014. KPUD Kab. Langkat

Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit. Yogyakarta: Polgov UGM.

Ichwan Syafri. Jejak Sejarah Dan Kebudayaan Melayu Di Sumatera Utara. 2009. Medan: CV Cipta Mandiri

Kavanagh, Dennis.2008. Political Science and Political Behavior. Jakarta : KPG Kusnaidi. 2009. Memenangkan pemilu dengan pemasaran Efektif. Jakarta: Duta

Media Tama.

Natsir, Mohammad. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Bandung: Remaja Rosdakarya

Peter C. Ordeshook. 1990. The Emerging Discipline of Political Economy, dalam James E. Alf dan Kenneth A. Shelpse. Perspective on Positive Political

Economy. Melbourne: RPS.

Revith, Diane dan Abigail Thernstrom. 2008. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yaysan Obor Indonesia.

Rudini, H. 2004. Atas Nama Demokrasi Indonesia. Jakarta: KPG.

S.P.Varma. 1999. Teori Politik Modern. Penyunting Tohir Efendi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Schulte, Henk nordholt dan Gerry van klinken. 2014. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana. Van, Robert Niel. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka


(6)

Wawancara :

Hasil Wawancara dengan Hasanuddin Nano yang bertempat dikantor DPR-D Langkat pada tanggal 03 Maret 2015

Hasil wawancara dengan Pak Munhasar yang bertempat di kantor DPR-D Kab Langkat pada tanggal 05 Maret 2015

Hasil wawancara dengan Pak Kencana yang bertempat di kantor DPR-D Kab Langkat pada tanggal 10 Maret 2015

Hasil wawancara dengan Pak Surialam di Langkat pada tanggal 16 Maret 2015

Internet :

http://www.scribd.com/doc/78494242/10/B-Teori-Elit-Oleh-Ahli,diakses

14/05/2014diunduh pada tanggal 20 Maret 2015

Saiful Mujani, Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial sudah tidak memadai, dalam http://islamlib.com?page.php?page=article&id=703

http://partaigolkar.or.id/ diunduh pada tanggal 8 Maret 2015, pukul 21.09. Wib.

http://luwesagustina.blogspot.com/2010/11/materi-struktur-sosial-dan-mobilitas.html diunduh pada tanggal 10 Maret 2015, Pukul 18.09 Wib.

Data lainnya : BPS Kab. Langkat