1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia sebagai insan ciptaan Tuhan yang hidup di dunia ini selalu mendambakan keadaan yang damai, bukan saja bagi diri atau kelompoknya tetapi seluruh
penduduk atau lingkungannya. Dalam rangka mewujudkan perdamaian sebagai bagian dari cita-cita hidupnya diperlukan adanya sumber nilai dan pedoman norma dalam
tindakan sosial. Konsep damai membawa konotasi yang positif, hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian. Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai
dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, ketiadaan perang atau ke sebuah periode dimana sebuah
angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau
meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.
Dalam bahasa Indonesia dan Inggris menampilkan definisi kata Damai yang walaupun memiliki banyak persamaan namun juga beda pemahaman. Bahasa Indonesia,
memaknai damai sebagai keadaan tanpa permusuhan yang antara lain adalah keadaan tanpa perang arti pertama dan kedua, hubungan antara pihak-pihak yang pernah
bermusuhan menjadi baik kembali arti ketiga dan suasana tenteram dan aman dalam suatu masyarakat arti keempat.
1
Definisi leksikal Bahasa Indonesia dengan demikian menekankan makna damai dalam hubungannya dengan kehidupan komunal
1
Kamus Umum Bahasa Indonesia, KUBI Jakarta: Balai Pustaka, 2006, 259-260.
2
kemasyarakatan baik dari segi internal pada dirinya sendiri maupun relasi antara komunitas-komunitas ke masyarakat. Salah satu kamus Bahasa Inggris yang dipakai
secara luas terutama di Australia, yakni
The Macquarie Dictionary
, mendefinisikan kata Damai
Peace
dengan menitik beratkan pada pengertian “fredom” bebas dari perang,
permusuhan, ketidaktertiban, dan ganguan mental, dan “state” keadaan nyaman, tenang
dan sentosa.
2
Pengertian kata damai dalam Bahasa Inggris, dengan demikian, tidak hanya menyangkut kehidupan komunal kemasyarakatan, melainkan juga menghubungkan
pengertian damai dengan keadaan personal secara psikologis.
3
Perdamaian adalah milik semua umat manusia dari segala penjuru dunia. Harapan untuk menciptakan perdamaian dunia adalah cita-cita mulia dari hampir semua negara
dunia. Perdamaian memiliki definisi yang cukup bervariasi dari berbagai macam orang dan kelompok sosial. Perdamaian adalah tidak adanya atau berkurangnya segala jenis
kekerasan.
4
Perdamaian bisa dikatakan sebagai kondisi absennya konflik dalam kehidupan dengan ditandai harmonisasi segala ruang sosial. Perdamaian kadang kala
dirasakan sebagai kualitas manusia dalam kehidupan sosial dalam mengelola konflik dengan jalan tanpa menghadirkan kekerasan. Karena pada prinsipnya setiap orang
memiliki kemampuan untuk menjadi pembawa strategi perdamaian.
5
Perdamaian bisa dilakukan dengan menjalankan komunikasi intersubjektif antar kebudayaan,
menghadirkan pula toleransi antar identitas. Perdamaian dapat dijelaskan dengan berbagai cara, namun yang harus dipahami adalah perdamaian tetaplah sama-sama berangkat dari
sebuah niat untuk menciptakan kondisi dan situasi dunia yang tanpa kekerasan. Untuk mencapai Perdamaian, Johan Galtung dalam salah satu karyanya
Three Approaches To Peace: Peacekeeping, Peacemaking, And Peacebuilding
menulis :
2
The Macquarie Dictionary Dee Why: Macquarie, 1985, 1254.
3
Tony Tampake, dkk., Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian Salatiga: Griya Media, 2011, 29.
4
Johan Galtung, Studi Perdamaian Surabaya: Pustaka Eureka, 2003, 21.
5
Ibid., 15.
3 Peace has a structure different from, perhaps over and above, peacekeeping
and ad hoc peacemaking... The mechanisms that peace is based on should be built into the structure and be present as a reservoir for the system itself to
draw up... More specifically, structures must be found that remove causes of wars and offer alternatives to war in situations where wars might occur .
6
Pada dasarnya salah satu harapan bangsa Indonesia adalah menciptakan perdamaian bagi seluruh penduduknya namun, dalam tataran praktis kerinduan bangsa
Indonesia agar semua masyarakatnya bisa hidup damai dan harmonis tidak berjalan dengan mulus. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa besar secara geografis dan
kependudukan. Secara geografis Indonesia terbentang dari ujung barat ke ujung timur dari Sabang hingga ke Merauke dengan masing-masing wilayah memiliki variasi suku, agama,
etnis, bahasa serta budaya. Masing-masing varian tersebut membentuk kelompok- kelompok, misalnya kelompok suku, kelompok etnis yang kesemuanya itu merupakan
detail-detail dari kelompok sosial. Adanya kelompok sosial tersebut merupakan suatu hal yang lumrah yang berangkat dari atau yang dihasilkan oleh pola interaksi sosial sehingga
Indonesia yang sangat heterogen dan plural itu menjadi sangat rentan terhadap munculnya konflik baik itu konflik vertikal maupun horisontal.
Faktor munculnya konflik pun beragam dari waktu ke waktu dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Konflik merupakan bagian dari kehidupan sebagai komunitas maupun
bernegara sehingga diperlukan kemampuan dalam mengelolahnya sebagai sebuah realitas sosial dalam masyarakat. Menurut
Lewis. A. Coser, konflik dapat bersifat fungsional
secara positif maupun negatif. Fungsional secara positif apabila konflik tersebut mempertahankan atau membentuk kembali sistem integrasi dan kemampuan
menyerasikan diri pada kondisi-kondisi yang berubah sedangkan bersifat negatif apabila
6
http:www.peacebuildinginitiative.orgindex34ac.html?pageId= 1764one . Lihat juga, Johan
Galtung, Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, andPeacebuilding, in Peace, War and Defense: Essays in Peace Research
,Vol II Copenhagen: Christian Ejlers, 1976, 297-298.
4
konflik mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem sosial.
7
Konflik menimbulkan ancaman
terhadap perdamaian
dan terganggunya
perdamaian menimbulkan
ketidaknyamanan dan kerentanan sosial. Salah satu wilayah di Indonesia yang telah mengalami konflik adalah daerah Poso.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk selain terdapat suku
asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso seperti dari daerah Sulawesi Utara, Gorontalo, Bugis, Makassar, Toraja, Jawa, Bali, dan lain-lain.
Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai konflik yang terjadi di Poso baik itu konflik yang berlatar belakang sosial
–budaya ataupun konflik yang berlatar belakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun
1998, tahun 2000 dan kerusuhan tahun 2001 yang kemudian melunturkan nilai kearifan lokal yang telah lama menjadi pedoman hidup dalam kebersamaan di tanah Poso.
Pada hakekatnya, konflik merupakan sebuah peristiwa wajar dalam kehidupan masyarakat majemuk karena perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di
antara berbagai kelompok masyarakat adalah faktor pemicunya. Sebuah konflik dapat menjadi semakin parah bila perbedaan horisontal nilai, ideologi, kebiasaan, dan
sebagainya dipertajam oleh perbedaan vertikal kesenjangan ekonomi dan kekuasaan. Konflik komunal di Poso dibagi dalam tahapan-tahapan yang diistilahkan dengan
“Jilid” sesuai dengan tahun terjadinya konflik. Jilid I terjadi 24 – 30 Desember 1998, dipicu oleh penyerangan terhadap Ahmad Ridwan Islam yang sedang tidur-tiduran di
Masjid oleh beberapa pemuda Kristen yang sedang mabuk. Warga Muslim yang mendengar berita tersebut marah. Peristiwa itu menimbulkan sentimen agama yang kental
7
Soekarto dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi
Jakarta : Sinar Grafika. 1988, 91-92.
5
karena terjadi saat umat Muslim sedang menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, yang kemudian mengarah pada perusakan dan pembakaran rumah, kios, serta bangunan
sekolah milik warga Kristen dan mengakibatkan pengungsian kalangan Kristen. Peristiwa tersebut kemudian disusul dengan penyerangan oleh massa Herman Parimo Kristen ke
sejumlah rumah milik warga Muslim dan peristiwa tersebut diakhiri dengan ditangkapnya Herman Primo dan diadili pada awal Januari 1999.
8
Jilid II terjadi 15-21 April 2000. Konflik ini dipicu dari pertikaian pemuda Kristen dan Islam yang saling mengancam menggunakan senjata tajam yang kemudian disusul
dengan penyerangan massa Islam ke penduduk Kristen, sehingga membuat massa Kristen terpancing untuk melakukan pembalasan. Pada kerusuhan ini tercatat 37 orang meninggal
dunia, 34 luka-luka, sekitar 267 rumah milik warga Kristen dibakar, perusakan dan pembakaran gereja serta bangunan-bangunan yang berbau Kristen. Ribuan jiwa
kehilangan tempat tinggal dan mengungsi ke daerah-daerah sekitar yang masih aman.
9
Jilid III 16 Mei 2000 - 20 Desember 2001. Peristiwa ini di awali dengan terbunuhnya warga Muslim di desa Taripa, sekitar 100 Km dari kota Poso dan
penyerangan kelompok Kristen yang terdiri dari 12 orang dan mengatas namakan “Pasukan Kelelawar” yang kemudian disusul dengan pembalasan oleh massa Islam. Pada
Jilid ke III ini adalah konflik terbesar dalam sejarah Poso di mana adanya pembakaran dan perusakan rumah warga, saling serang antar komunitas, pengeboman, penembakan,
dan pembunuhan. Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah
mempergunakan senjata api, serta beberapa kekerasan sporadis Pasca Konflik. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang
8
M. Tito karnavian. Dkk, Indonesia top secret : Membongkar Konflik Poso Jakarta: PT Gramedia utama Anggota IKAPI, 52-56.
9
Ibid., 57-60.
6
lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan harus dicermati dalam konteks jilid satu sampai ketiga. Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari
realitas pembunuhan terhadap siapa pun termasuk perempuan dan anak-anak yang dianggap sebagai bagian lawan.
10
Suatu analisa untuk menjelaskan konflik Poso dikemukakan oleh Dr. Thamrin Amal Tamogola. Ia melihat faktor-faktor penyebab konflik Poso sebagai sebuah piramida
bertingkat tiga. Pada tingkat dasar terdapat dua transformasi utama yang telah mengubah wilayah Poso secara fundamental. Pada lapisan tengah, beroperasi sejumlah faktor
kesukuan dan keagamaan yang berkaitan dengan faktor-faktor politik. Kemudian pada puncak piramida ditemukan faktor-faktor penyulut konflik atau provokator secara
stereotip-stereotip labelling psikolog sosial dan dendam yang semakin menguat seiring dengan berkepanjangannya kekerasan. Di lapisan puncak piramida terdapat faktor-faktor
pemicu. Perkelahian antar pemuda dari kedua belah pihak merupakan pemicu yang meletup ketegangan dan potensi konflik yang sudah mengendap. Apalagi ditambah
dengan kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru membuat lempengan-lempengan
gunung api mulai bergoyang mengancam keharmonisan hidup di Poso. Ketika korban mulai berjatuhan, roda gila spiral kekerasan pun menjadi lepas kendali. Dendam semakin
menumpuk. Hal-hal ini kemudian berulang kali di sulut oleh para provokator akibatnya, kekerasan menjadi bengis dan tak berkesudahan sampai berjilid-jilid.
11
Konflik Poso secara umum telah selesai. Persoalannya kemudian, masyarakat Poso dihadapkan kepada situasi baru pasca konflik yang meninggalkan sejumlah
10
Ibid., 60-69.
11
Thamrin Amal Tomagola, Anatomi Konflik Komunal Di Indonesia Kasus Poso Dan Kalimantan 1998-2002, Dalam Suara Dari Poso, Kerusuhan, Konflik, Dan Resolusi
Jakarta : YAPIKKA, 2003, 23-27.
7
pengalaman trauma psikologis yang sulit diukur. Tidak sedikit di antara penduduk di daerah konflik yang mendapat pengalaman traumatik ketika terpaksa menyaksikan
pembunuhan, pembantaian, penyiksaan dan penghacuran secara langsung. Konflik yang disebabkan oleh permusuhan antar agama telah merusak persepsi persaudaraan dan
melahirkan kecurigaan, prasangka yang buruk terhadap orang yang berbeda agama. Konflik sosial dan kerusuhan yang terjadi di Poso merupakan peristiwa kehidupan yang
berpengaruh terhadap perkembangan mental dan psikososial bagi individu yang mengalaminya.
Dalam jangka panjang masalah trauma dengan peristiwa masa lalu yang dihadapi akan mempersulit penyesuaian diri dan mengganggu perkembangan sosialnya.
Sehubungan dengan hal itu, kesulitan dan penderitaan yang dihadapi membutuhkan penanganan langsung untuk pemulihan ke arah kehidupan yang normal, serta perlu
dilakukan upaya-upaya pencegahan untuk terjadinya hambatan psikologis karena faktor psikososial. Permasalahan ini telah membuat kehidupan mereka berada pada situasi
“kehilangan” dan “keterasingan manusia” baik individu secara khusus maupun masyarakat secara umum. Situasi seperti ini disebut sebagai “krisis” yang terfokus pada
tiga aspek, yakni: ego, benda, dan orang. Krisis mempengaruhi perasaan, pikiran maupun tingkah laku seseorang. Berbagai hal yang mereka hidupi pasca konflik hingga saat ini
telah menjadi sebuah sumber “kekecewaan” akan “pengalaman pahit” yang pernah mereka rasakan. Sebuah kepahitan dimasa lalu dapat mempengaruhi realitas kehidupan
dimasa kini dan membangkitkan kekuatiran untuk menatap hari esok, sehingga akan merusak perdamaian yang mulai tercipta di Poso.
Melihat bahwa Trauma yang berkepajangan ini dapat memicu kembali terjadinya konflik yang baru, maka untuk kembali mendamaikan individu
–individu yang mengalami
8
dampak konflik tersebut, penulis teringat akan kearifan lokal yang berada di Poso yaitu
Sintuwu maroso
.
Sintuwu maroso
berasal dari dua suku kata yaitu
Sintuwu
dan
Maroso
. Istilah
Sintuwu
berasal dari kata dasar
Tuwu
yang berarti hidup. Kata
Sintuwu
berarti hidup bersama atas dasar kesamaan hidup. Hal ini disadari oleh suatu pola kehidupan
bersama yang menyebabkan orang berjalan bersama-sama, mengambil jalan yang sama, memperlihatkan diri dengan seperasaan dan sepenanggungan. Sifat
Sintuwu
ini menampakan wujudnya dalam bentuk kesepakatan untuk mengerjakan sesuatu. Istilah ini
kemudian dipakai sebagai Motto daerah kabupaten Poso, yaitu
Sintuwu Maroso
yang berarti di dalam kebersamaan terletak kekuatan.
12
Nilai – nilai yang lahir dari
sintuwu maroso
telah menjadi jaminan hidup sebagai komunitas dan menjadi warisan turun- temurun yang mengandung makna optimistik untuk menjadi perekat terbangunnya hidup
bersama dalam perdamaian. Makna filosofi yang terkandung dalam
sintuwu maroso
dalam bahasa Pamona
sintuwu maroso
secara sederhana berarti : kehidupan yang kuat mencerminkan adanya keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa
solidaritas dan kekeluargaan, rasa simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu juga terkandung makna kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu -
membahu. Dalam wujud organisasi kemasyarakatan di Poso,
sintuwu maroso
adalah mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama.
Sintuwu maroso
tidak hanya menjadi semboyan daerah, akan tetapi budaya
sintuwu maroso
ini merupakan salah satu ciri masyarakat Poso secara umum terutama dalam hal pandangan individu-
individu dalam kelompok terhadap orang lain dan interaksi sosial.
12
Penjelasan ini dapat dilihat dalam tulisan Pdt. P. Manyonyo, S.Th. Sekelumit Tentang Kekayaan Budaya di Wilayah Pelayanan GKST, Dalam Wajah GKST: Buku Kenangan 100 Tahun Injil Masuk Tanah
Poso Panitia Perayaan 100 Tahun Injil Masuk Ke Tanah Poso: Tentena,1992, 105; lihat juga dalam J.
Kruyt, Kabar Keselamatan Di Poso Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, 71.
9
Kearifan lokal memiliki akar budaya dalam membangun integrasi sosial melalui penghayatan dan pemahaman yang tinggi akan nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan.
Nilai-nilai itu sangat inklusif karena mengajarkan dan memberi tauladan mengenai bagaimana cara mengatasi konflik, emosi, dan nafsu kepentingan dengan jalan mengubur
kekerasan dan api dendam. Atas dasar latar belakang inilah penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik Di Poso dalam menciptakan perdamaian
”
B. Perumusan Masalah