Status Keberlanjutan Dan Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Industri Di Pesisir Kabupaten Lampung Selatan

STATUS KEBERLANJUTAN DAN ARAHAN
PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS INDUSTRI DI
PESISIR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

PRETTY WULANDARI

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Keberlanjutan dan
Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Industri di Pesisir Kabupaten Lampung
Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Pretty Wulandari
NIM. A156140204

RINGKASAN
PRETTY WULANDARI. Status Keberlanjutan dan Arahan Pengembangan
Wilayah Berbasis Industri di Pesisir Kabupaten Lampung Selatan. Dibimbing oleh
KUKUH MURTILAKSONO dan AKHMAD FAUZI.
Terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sektor industri di wilayah
pesisir Kabupaten Lampung Selatan, kemudian ditambah dengan laju
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya dan
keterbatasan lahan di wilayah pesisir merupakan beberapa tekanan terhadap
pengembangan wilayah berbasis industri di pesisir Kabupaten Lampung Selatan.
Akibat dari perkembangan sektor industri, saat ini terjadi penurunan kualitas
lingkungan yang disebabkan oleh polusi udara dan air di sebagian perairan pantai
pesisir Kabupaten Lampung Selatan yang berasal dari limbah cair hasil kegiatan
industri. Oleh karena itu, diperlukan upaya preventif yang bertujuan untuk

meminimalisir degradasi dan pencemaran lingkungan pesisir dimasa yang akan
datang agar terwujud pengembangan wilayah berbasis industri dipesisir
Kabupaten Lampung Selatan yang berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menentukan status keberlanjutan wilayah
berbasis industri di pesisir Kabupaten Lampung Selatan, (2) merumuskan arahan
kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kecamatan Katibung, Kalianda dan
Rajabasa. Penelitian ini menggunakan metode Rap-Wilindustri, merupakan
modifikasi metode Rapfish untuk menentukan status keberlanjutan wilayah.
Selanjutnya skenario pengembangan wilayah dimasa depan dilakukan dengan
mengadopsi analisis AHP-Prospektif.
Berkembangnya sektor industri menyebabkan penurunan kualitas
lingkungan di pesisir Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini ditunjukkan dari hasil
analisis Rap-Wilindustri bahwa status keberlanjutan wilayah pesisir Kabupaten
Lampung Selatan saat ini adalah cukup berkelanjutan untuk dimensi ekonomi dan
sosial namun kurang berkelanjutan untuk dimensi ekologi dan kelembagaan.
Skenario-skenario pengembangan wilayah memberikan gambaran tentang prospek
keberlanjutan pengembangan wilayah di pesisir Kabupaten Lampung Selatan
yang diimplementasikan dalam beberapa tahapan pembangunan dengan
mempertimbangkan jangka waktu dan anggaran yang dibutuhkan. Berdasarkan
karakteristik wilayah, potensi, regulasi dan dengan mempertimbangakan skenarioskenario pengembangan wilayah maka rumusan arahan pengembangan wilayah

berbasis industri di pesisir Kabupaten Lampung Selatan, adalah : (1)
Pengembangan kawasan industri pesisir di Kecamatan Katibung, (2)
Pengembangan industri berbasis perikanan sebagai leading sektor dan didukung
dengan pengembangan industri pengolahan sabut kelapa di Kecamatan Kalianda,
dan (3) Pengembangan kluster industri berbasis perikanan domestik di Kecamatan
Rajabasa.
Kata kunci:

keberlanjutan wilayah, pengembangan wilayah, rapfish,
wilayah pesisir.

SUMMARY
PRETTY WULANDARI. Sustainability Status and Blueprint of Industrial-Based
Development in Coastal Areas of South Lampung Regency. Supervised by
KUKUH MURTILAKSONO and AKHMAD FAUZI.
The industrial growth and development in coastal area of South Lampung
Regency, aside from the increasing of population growth rate lead to pressure on
industrial-based coastal area development. Due to its industrial development in
the coastal area, environmental quality tends to be worse that is indicated by air
and water pollution. This condition currently occures in most onshore of coastal

area in South Lampung Regency, derived from liquid waste industrial activity.
Therefore, preventive actions and policies are needed to minimize degradation and
pollution in coastal area in order to accomplish sustainable industrial-based
development in coastal area.
The purpose of this study are : (1) to determine the sustainability status of
industrial-based coastal area of South Lampung Regency, (2) to formulate
industrial-based development directions in Katibung, Kalianda dan Rajabasa
Districts. Rap-Wilindustri (Rapfish modification) approach is used to determine
the sustainability status of the coastal area development and AHP-Prospective
approach to determine the best scenarios of future sustainable regional
development.
The development of industrial sectors leads to the environmental
degradation in coastal area of South Lampung Regency. The results of RapWilindustri analysis indicates that sustainability status of coastal areas of South
Lampung Regency is sufficiently sustainable for economic and social dimensions,
but less sustainable for ecological and institutional dimensions. The scenarios of
regional development provide information about the prospects for sustainable
development in coastal area of South Lampung Regency. It is implemented in
several stages of development by considering the need of time and budget. Based
on its characteristics, potencies, regulation, as well as by considering the scenarios
of regional development, therefore the recommendation for the industrial based

development in the coastal area of South Lampung Regency are: (1) industrial
area development is implemented in Katibung District, (2) fishery based industry
development as a leading sector and supported by the coconut coir processing
industry development is implemented in Kalianda District, and (3) fishery based
industrial clustering development is implemented in Rajabasa District.

Keywords:

coastal area, Rapfish, regional development, regional sustainability.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

STATUS KEBERLANJUTAN DAN ARAHAN

PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS INDUSTRI DI
PESISIR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

PRETTY WULANDARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gerlar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Setia Hadi, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah pengembangan wilayah secara multidimensi
dengan judul Status Keberlanjutan dan Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis
Industri di Pesisir Kabupaten Lampung Selatan.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS dan Prof. Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala arahan, bimbingan
serta saran yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitan hingga
penyelesaian tesis.
2. Dr Ir Setia Hadi, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran
dan masukan dalam penyempurnaan penyusunan tesis.
3. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah IPB.
4. Kepada Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan
kepada penulis.
5. Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk mengikuti program tugas belajar pada program studi Ilmu
Perencanaan Wilayah TA 2014/2015.

6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun Reguler angkatan 2014 dan
semua pihak yang telah membantu, memberikan saran dan masukan dalam
penyelesaikan tesis.
7. Terima kasih yang tak terhingga disampaikan untuk suami tercinta Sigit
Hario Y. atas segala dukungan, kesabaran dan pengorbanannya. Anak-anaku
Fukayna Sity Latisha dan Khalif Arjuna Yudha, atas segala pengertiannya.
Teristimewa untuk mama dan papa atas segala do’a dan dukungan yang telah
diberikan selama ini.
Semoga Tesis ini dapat bermanfaat. Terimakasih.

Bogor, Januari 2016

Pretty Wulandari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Pesisir
Teori Lokasi Industri
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pengelolaan Daerah Pantai
Kebijakan Berkaitan dengan Penataan Kawasan Tepi Air
Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Penelitian Terdahulu
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Letak Geografis dan Administrasi

Kondisi Fisik Wilayah
Demografi
Sosial Ekonomi
Sarana dan Prasarana
Sektor-Sektor Ekonomi di Wilayah Pesisir
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Keberlanjutan
Skenario Pengembangan Wilayah Berbasis Industri
Arahan Kebijakan Pengembangan Wilayah Berbasis Industri
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
x
1

1
4
8
8
8
11
11
12
13
14
16
17
20
23
23
23
26
27
33
33
34
34
35
36
37
40
40
58
87
92
92
92
93
99
116

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Realisasi PAD di Kabupaten Lampung Selatan
PDRB atas dasar harga konstan di Kabupaten Lampung Selatan
Jenis data, sumber data, teknik analisis dan hasil
Jumlah responden unsur pemerintah
Jumlah responden pelaku industri dan masyarakat
Kategori indeks dan status keberlanjutan
Deskripsi masing-masing skenario pengembangan wilayah
Luas Kabupaten Lampung Selatan
Perbandingan jumlah, kepadatan laju penduduk dan sex ratio
Penduduk umur 15 tahun keatas yanga bekerja
Laju pertumbuhan PDRB atas harga konstan
Banyaknya sekolah menurut tingkatan sekolah
Banyaknya sarana kesehatan
Banyaknya tempat ibadah
Banyaknya industri di Kec. Katibung, Kalianda dan Rajabasa
Persentase dan jumlah penduduk miskin
Faktor-faktor kunci pengembangan wilayah
Skenario strategi pengembangan wilayah
Keadaan masing-masing atribut sensitif
Nilai indeks tertinggi tiap kecamatan pada setiap skenario

6
6
25
26
27
28
32
33
35
35
36
36
37
37
39
45
58
59
60
89

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Grafik jumlah pengunjung objek wisata di Kec. Katibung
Kerangka PSIR permasalahan pengembangan wilayah pesisir
Kerangka pemikiran penelitian
Tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan
Batasan daratan pantai dan wilayah pantai
Peta lokasi penelitian
Bagan proses Rap-Wilindustri
Ordinasi indeks keberlanjutan dimensi ekonomi
Hasil analisis leverage dimensi ekonomi
Ordinasi indeks keberlanjutan dimensi sosial
Hasil analisis leverage dimensi sosial
Ordinasi indeks keberlanjutan dimensi ekologi
Hasil analisis leverage dimensi ekologi
Ordinasi indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan
Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan
Diagram layang analasis keberlanjutan
Diagram radar hasil analisis keberlanjutan
Ordinasi dimensi ekonomi keadaan eksisting
Ordinasi dimensi ekonomi skenario konservatif-pesimistik
Ordinasi dimensi sosial keadaan eksisting
Ordinasi dimensi sosial skenario konservatif-pesimistik
Ordinasi dimensi ekologi keadaan eksisting

7
7
10
13
15
24
29
41
41
44
44
48
49
51
52
55
57
63
64
65
65
67

23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

Ordinasi dimensi ekologi skenario konservatif-pesimistik
Ordinasi dimensi kelembagaan keadaan eksisting
Ordinasi dimensi kelembagaan skenario konservatif-pesimistik
Ordinasi dimensi ekonomi keadaan eksisting
Ordinasi dimensi ekonomi skenario moderat-optimistik
Ordinasi dimensi sosial keadaan eksisting
Ordinasi dimensi sosial skenario moderat-optimistik
Ordinasi dimensi ekologi keadaan eksisting
Ordinasi dimensi ekologi skenario moderat-optimistik
Ordinasi dimensi kelembagaan keadaan eksisting
Ordinasi dimensi kelembagaan skenario moderat-optimistik
Ordinasi dimensi ekonomi keadaan eksisting
Ordinasi dimensi ekonomi skenario progresif-optimistik
Ordinasi dimensi sosial keadaan eksisting
Ordinasi dimensi sosial skenario progresif-optimistik
Ordinasi dimensi ekologi keadaan eksisting
Ordinasi dimensi ekologi skenario progresif-optimistik
Ordinasi dimensi kelembagaan keadaan eksisting
Ordinasi dimensi kelembagaan skenario progresif-optimistik
Diagram radar ketiga skenario pengembangan wilayah

67
69
69
71
71
72
72
74
74
76
76
78
78
80
80
81
81
84
84
86

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Kondisi pantai di Kecamatan Katibung
Dimensi dan atribut analisis keberlanjutan
Nilai indeks keberlanjutan hasil analisis Rap-Wilindustri
Hasil analisis monte carlo
Hatchery dengan teknologi sederha dan modern
RTH Pada hatchery di Kecamatan Kalianda
Nilai stress, koefisien determinasi (R2) dan iterasi
Hasil analisis AHP penentuan prioritas
Nilai indeks keberlanjutan skenario konservatif-pesimistik
Nilai stress, koefisien determinasi (R2) dan iterasi
skenario konservatif-pesimistik
Hasil analisis monte carlo skenario konservatif-pesimistik
Nilai indeks keberlanjutan skenario moderat-optimistik
Nilai stress, koefisien determinasi (R2) dan iterasi
skenario moderat-optimistik
Hasil analisis monte carlo skenario moderat-optimistik
Nilai indeks keberlanjutan skenario progresif-optimistik
Nilai stress, koefisien determinasi (R2) dan iterasi
skenario progresif-optimistik
Hasil analisis monte carlo skenario progresif-optimistik

99
99
105
106
107
107
108
108
110
110
111
112
112
113
114
114
115

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Arah kebijakan pemerintah yang saat ini berorientasi pada bidang
kemaritiman, berdampak pada meningkatnya pembangunan khususnya di wilayah
pesisir. Pengesahan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sebagian besar berlokasi di wilayah
pesisir. Selain itu, adanya tol laut, pembangunan pelabuhan, pendirian dan
ekspansi industri yang berlokasi di pesisir, kemudian seiring dengan penambahan
jumlah penduduk, menyebabkan peningkatan kebutuhan ruang di wilayah pesisir.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir erat kaitannya dengan pemanfaatan lahan.
Pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan tentunya tidak akan
menjadi masalah. Perubahan tata guna lahan dengan pemanfaatan lahan yang
tidak sesuai dengan daya dukung lahan dan kemampuan ruang, serta adanya
eksploitasi lahan yang kurang terkendali sebagai peningkatan jumlah dan aktivitas
tersebut menyebabkan konflik penggunaan lahan (Taufiqurrohman 2009).
Khasanah (2008) menyebutkan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia
hidup dan menggantungkan hidupnya di wilayah pesisir. Hal ini menegaskan
bahwa kebutuhan akan lahan di wilayah pesisir sangat tinggi, kawasan pesisir
banyak menjadi pusat kegiatan masyarakat di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh
Lubis (2011) yang menyatakan bahwa dari 94 kota otonom di Indonesia, 47
diantaranya memiliki karakteristik geografis berupa kawasan pesisir. Dominasi
jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat wajar
mengingat morfologi NKRI berupa kepulauan dengan sekitar 17.480 pulau dan
dengan 99.181 km bentang garis pantai dari seluruh pulau tersebut. Informasi
terbaru dari Badan Informasi Geospasial (BIG) menyebutkan bahwa saat ini
panjang garis pantai Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 99.093 km (tidak
termasuk garis pulau dan danau) merupakan garis pantai terpanjang nomor dua di
dunia setelah Kanada (Lestari 2015).
Salah satu keunggulan wilayah pesisir di bandingkan dengan wilayah nonpesisir, yaitu karena faktor kemudahan aksesibilitas sehingga menyebabkan
banyak industri tumbuh di wilayah ini. Loures (2015) menyatakan bahwa
pemilihan lokasi industri umumnya berada dilokasi yang menguntungkan yaitu
dekat pusat kota atau di sepanjang tepi air, dan hal ini juga selaras dengan
pernyataan Davidson (2013), bahwa adanya proses globalisasi dan industrialisasi
mendorong pertumbuhan industri yang berada di tepi pantai, sehingga
mengakibatkan banyak kota kehilangan daerah tepi air yang berfungsi sebagai
ruang publik dan daerah tepi laut hanya menjadi domain industri berat.
Pada prisipnya penggunaan lahan mencerminkan dan menentukan di mana
kegiatan ekonomi berlangsung serta di mana dan bagaimana masyarakat
berkembang. Penggunaan lahan mempengaruhi lingkungan hidup manusia di
mana individu hidup, bekerja dan diciptakan, juga mempengaruhi kualitas
lingkungan hidup, yang berdampak pada kualitas udara, kualitas air, pasokan air,
biaya bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, kemungkinan terjadinya
perubahan fungsi ekosistem darat dan perairan (Goetz et al. 2005). Wilayah

2

pesisir memainkan peran yang cukup penting bagi kesejahteraan masyarakat.
Disamping itu ekosistem pesisir selain berfungsi secara hidrobiologis, juga
menyediakan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Millenium Ecosystem
Assessment (MEA), mengidentifikasi empat fungsi penyediaan utama dari
ekosistem pesisir: (1) fungsi penyediaan barang dan jasa, (2) fungsi pengaturan,
(3) fungsi budaya dan (4) fungsi pendukung (Fauzi 2009).
Perkembangan kegiatan pada kota-kota pesisir di masa kini telah mengalami
pergeseran dominasi kegiatan usaha yang terkait dengan kelautan menjadi sektor
perdagangan dan jasa yang tidak berorientasi kelautan. Efek samping dari
terjadinya pelepasan kegiatan masyarakat kota pesisir dengan laut ini adalah
terjadinya pergeseran nilai dari pandangan kawasan pesisir sebagai “beranda”
menjadi kawasan pesisir sebagai “kawasan belakang”. Pergeseran pandangan
tersebut mengakibatkan penataan ruang kawasan pesisir menjadi terbengkalai
dan luput dari perhatian (Lubis 2011).
Kompleksitas wilayah pesisir relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
wilayah non-pesisir seperti wilayah hinterland dan wilayah perkotaan.
Kompleksitas yang terjadi di wilayah pesisir disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, wilayah pesisir merupakan daerah dimana faktor alam (ekologi), sosial
dan ekonomi saling berkaitan secara sangat intensif. Perpaduan lahan dan pantai
yang sangat unik dan juga ketersediaan lahan fisiografis di wilayah pesisir yang
terbatas. Kedua, ketertarikan stakeholder yang relatif tinggi dalam pemanfaatan
wilayah pesisir di bandingkan dengan wilayah non-pesisir menimbulkan konflik
yang lebih intens. Ketiga, mengingat sifat dari wilayah pesisir, sehingga alternatif
untuk melakukan ekspansi dan juga subtitusi di wilayah ini sangat terbatas.
Pilihan untuk melakukan reklamasi memerlukan alokasi biaya yang tinggi
(Felsenstein dan Lichter 2014). Konflik pemanfaatan ruang diwilayah pesisir
harus diminimalisir dan juga diatasi karena hal ini berkaitan dengan pertumbuhan
ekonomi, keadaan sosial, dan kelestarian ekositem di wilayah pesisir.
Rudyanto (2004) menyatakan bahwa sejalan dengan era otonomi, sejak
tahun 2001 pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang jelas dalam
mengelola sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara bertanggungjawab
sesuai Pasal 10 UU No. 22/99. Namun kapasitas pemerintah daerah untuk
mengelola potensi sumberdaya tersebut masih relatif terbatas, khususnya
pembangunan kelautan non-perikanan. Terlebih lagi saat ini setelah disyahkannya
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintah
kabupaten hanya sebatas pada daerah dataran pesisir namun ruang laut dan pulaupulau kecil berada dibawah kewenangan pemerintah provinsi. Pemanfaatan
sumberdaya kelautan banyak yang dilakukan secara tidak bertanggung jawab oleh
berbagai pihak, seperti destructive fishing, pencurian ikan di laut, serta reklamasi
pantai yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Undang-undang yang
ada dan peraturan daerah lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir
tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya dan regulasi lain sehingga
menimbulkan kerusakan fisik. Sementara kesadaran nilai strategis dari
pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis
masyarakat relatif kurang.
Pembangunan atau pengusahaan sumberdaya alam yang tidak
memperhatikan prinsip-prinsip ekologi akan sangat mudah merusak proses atau
fungsi ekosistem pantai (Djunaedi dan Basuki 2002). Beberapa studi

3

menunjukkan adanya ancaman ketidakberlanjutan di wilayah pesisir. Pertambahan
penduduk, perluasan permukiman, perkembangan kegiatan perikanan,
perkembangan wisata bahari dan semakin meningkatnya transportasi laut,
eksploitasi sumberdaya alam terus-menerus menyebabkan terjadinya konflik
kepentingan (conflict of interest) dalam penggunaan ruang dan sumberdaya di
kawasan Taman Nasional Karimun Jawa (Yusuf 2007). Disamping itu Tahir et al.
(2009), menyatakan bahwa perubahan iklim global akan mempengaruhi wilayah
pesisir dengan terjadinya akleselerasi kenaikan permukaan air laut. Pernyataan
tersebut diperjelas oleh Miladan (2009), bahwa kerentanan wilayah pesisir Kota
Semarang terjadi akibat perubahan iklim, sehingga menyebabkan bencana banjir
tahunan dan penurunan muka tanah maupun masuknya air laut ke daratan (rob).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Hastuti (2012), bahwa fenomena
pemanasan global berdampak pada kenaikan permukaan air laut dan
menyebabkan kerentanan di pesisir sepanjang pantai selatan Yogyakarta.
Fakta lain mengenai kondisi ketidakberlanjutan wilayah pesisir Indonesia
ditandai dengan terdegradasinya sumberdaya pesisir akibat pemanfaatan yang
tidak berkelanjutan adalah mengenai kondisi terumbu karang di Indonesia yang
semakin memburuk (Nurdin 2010), ditambah dengan meningkatnya ancaman
terhadap ekosistem laut yang dapat menyebakan kerusakan dan penurunan
diversitas organisme. Pengembangan industri merupakan salah satu ancaman
terhadap ketidakberlanjutan wilayah pesisir bila dalam pengembangannya tidak
mengedepankan konsep kelestarian lingkungan. Polusi benda padat, cair dan gas
secara tidak langsung dapat menyebabkan perubahan kesetimbangan ekosistem
laut (Sihasale 2013).
Ancaman ketidakberlanjutan juga terjadi di wilayah pesisir Kabupaten
Lampung Selatan, seiring dengan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan
dan pertambahan jumlah penduduk yang bermukim di wilayah pesisir, maka
semakin meningkat pula tekanan terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir.
Selain itu pertumbuhan industri di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan
dapat menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan lahan. Pertumbuhan
industri pesisir berdampak pada perubahan fungsi pantai, bukan lagi merupakan
wilayah publik melainkan sudah menjadi wilayah privat yang tidak bisa diakses
oleh masyarakat. Degradasi lingkungan akibat pencemaran limbah, dan pendirian
bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukan wilayah, juga dapat menyebabkan
ketidakberlanjutan wilayah pesisir. Naryanto (2003), menyebutkan bahwa teluk
lampung memiliki potensi terhadap bencana tsunami yang bersumber dari
perairan kawasan Selat Sunda, baik itu berasal dari gempa, longsor bawah laut
maupun letusan Gunung Anak Krakatau. Berdasarkan hasil kajian yang membagi
lima zonasi kerawanan, Bandar Lampung berada pada Zona III dan Kalianda
berada pada Zona IV. Berdasarkan data BPS Kabupaten Lampung Selatan
diketahui bahwa Kecamatan Katibung. Kalianda dan Rajabasa merupakan daerah
yang berpotensi rawan bencana letusan gunung berapi, banjir, tsunami dan tanah
longsor, hal tersebut tentunya juga akan berdampak terhadap ketidakberlanjutan
wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan.
Oleh karena itu, menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
(2003) untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya laut dan pesisir bagi
pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum
secara luas (public interest), diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan

4

khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Agar
pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir dapat terselenggara secara optimal,
diperlukan upaya penataan ruang sebagai salah satu bentuk intervensi kebijakan
dan penanganan khusus dari pemerintah dengan memperhatikan kepentingan
stakeholders lainnya. Selain itu, implementasi penataan ruang perlu didukung
oleh program-program sektoral baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Kabupaten dan masyarakat, termasuk dunia usaha.
Upaya pengembangan wilayah pesisir yang bekerlanjutan selain
berpedoman pada rencana tata ruang wilayah yang tertuang dalam Perda No 15
Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Selatan
Tahun 2011-2031, juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan regulasiregulasi yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Istrumen hukum dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya wilayah
pesisir adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, selanjutnya mengalami perubahan yang
tercantum pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah memuat pembagian urusan pemerintahan berdasarkan
wewenang pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota serta Perpres No. 28
Tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional. Dengan mengimplementasikan
regulasi yang ada, diharapkan penataan ruang dan pemanfaatan sumber daya alam
di pesisir Kabupaten Lampung Selatan dapat memajukan perekonomian wilayah,
berkelanjutan dan tentunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Perumusan Masalah

Wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan memiliki potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan sebagai kawasan industri. Posisi Kabupaten Lampung
Selatan yang berdekatan dengan Pulau Jawa merupakan salah satu keuntungan
dan daya tarik bagi investor untuk mendirikan industri di wilayah ini, tidak
menutup kemungkinan beberapa tahun yang akan datang beberapa lokasi di
wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan akan berkembang menjadi kawasan
industri sebagaimana yang saat ini terjadi di Kota Cilegon, Provinsi Banten.
Pengembangan industri diberbagai daerah yang ditandai dengan kemajuan
pembangunan daerah tidak jarang diikuti oleh kemunduran atau degradasi
sumberdaya alam sebagai akibat dari produk atau hasil samping yang tidak
diinginkan misalnya sampah, limbah dan buangan lainnya yang menjadi masalah
bagi lingkungan (Sulistiawati et al. 2012). Pertumbuhan dan perkembangan sektor
industri di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan, kemudian ditambah
dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya dan
keterbatasan lahan di wilayah pesisir merupakan beberapa tekanan terhadap
pengembangan wilayah berbasis industri di pesisir Kabupaten Lampung Selatan.
Perkembangan sektor industri di wilayah pesisir Kabupaten Lampung
Selatan terjadi dibeberapa kecamatan antara lain di Kecamatan Katibung,
Kalianda dan Rajabasa. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan sektor

5

industri di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan
khususnya di Kecamatan Katibung, lokasi yang strategis karena berdekatan
dengan Kota Bandar Lampung dan didukung dengan sarana Pelabuhan Petikemas
Panjang, menjadi alasan banyak industri yang tumbuh dan berkembang di wilayah
tersebut. Selain itu, di Kecamatan Rajabasa saat ini berkembang industri hatchery
(pembenihan udang), meskipun sebagian besar masih berskala rumah tangga.
Sedangkan, di daerah pesisir Kecamatan Kalianda berkembang industri tambak
udang dan pengolahan hasil perikanan. Pada tahun 2008 diketahui bahwa jumlah
industri besar-menengah di Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 65 perusahaan
dan meningkat menjadi 73 perusahaan pada tahun 2012.
Laju pertumbuhan dan kepadatan peduduk pada tiga kecamatan tersebut
juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat bahwa pada tahun
2011 kepadatan penduduk di Kecamatan Katibung sebesar 353 jiwa/km2
meningkat menjadi 366 jiwa/km2 pada tahun 2013. Sedangkan, kepadatan di
Kecamatan Kalianda dan Rajabasa pada tahun 2011 adalah sebesar 508 jiwa/km2
dan 209 jiwa/km2, dan pada tahun 2013 naik menjadi 525 jiwa/km2 dan 215
jiwa/km2.
Akibat dari perkembangan sektor industri dipesisir Kabupaten Lampung
Selatan, saat ini terjadi penurunan kualitas lingkungan karena terjadinya polusi
udara serta polusi air di sebagian perairan pantai pesisir Kabupaten Lampung
Selatan yang berasal dari limbah cair hasil kegiatan industri. Meskipun tingkat
pencemaran masih dibawah ambang batas yang ditentukan namun sedikit banyak
hal tersebut berdampak negatif terhadap penduduk sekitar lokasi industri. Selain
itu, perkembangan industri di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan
menyebabkan keterbatasan akses masyarakat terhadap pantai akibat perubahan
fungsi wilayah yang menjadi ruang privat. Pada dasarnya perkembangan sektor
industri memberikan dampak positif yaitu peluang terciptanya lapangan kerja,
namun saat ini penyerapan tenaga kerja lokal masih belum optimal. Berdasarkan
data BPS Kabupaten Lampung Selatan, sektor industri hanya mampu menyerap
sebesar 12% dari total jumlah penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja.
Penyerapan tenaga kerja terbesar yaitu pada sektor jasa sebesar 43% dan sektor
pertanian sebesar 38%.
Pertumbuhan dan perkembangan sektor industri dipesisir Kabupaten
Lampung Selatan memberikan pengaruh positif maupun negatif bagi wilayah
pesisir itu sendiri. Sebagai daerah otonomi Kabupaten Lampung Selatan dituntut
untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam daerah sendiri secara mandiri salah
satunya dengan cara memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki dengan baik
dan bertanggung jawab bertujuan untuk memajukan perekonomian wilayah dan
kesejahteraan masyarakat. Majunya perekonomian wilayah di Kabupaten
Lampung Selatan sebagai pengaruh positif dari pengembangan sektor industri di
wilayah pesisir ditandai dengan peningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan
peningkatkan kontribusi sektor industri terhadap PDRB daerah Kabupaten
Lampung Selatan, serta menciptakan multiplier effect terhadap sektor lain yang
terkait yaitu pertanian, perikanan, perdagangan dan jasa. Realisasi pendapatan
asli daerah Kabupaten Lampung Selatan dari tahun 2010-2013 disajikan pada
Tabel 1, distribusi PDRB atas dasar harga konstan di Kabupaten Lampung
Selatan, secara rinci disajikan pada Tabel 2.

6

Tabel 1 Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Lampung Selatan
(milyar rupiah)
Jenis Penerimaan
Pendapatan Asli Daerah
a. Pajak daerah
b. Retribusi daerah
c. Hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan
d. Penerimaan lain-lain

2010
40,75
10,98
19,84
3,18

2011
68,65
19,64
25,96
4,82

2012
80,46
29,41
33,04
5,25

2013
100,05
40,88
20,09
6,25

6,76

18,23

12,75

32,82

Sumber : BPS Kabupaten Lampung Selatan (2014)
Tabel 2 PDRB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha di
Kabupaten Lampung Selatan (juta rupiah), 2010-2013.
Lapangan Usaha
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan
Penggalian
Industri Pengolahan Non Migas
Listrik & Air Bersih
Kontruksi
Perdagangan, Hotel & Restoran
Transportasi & Komunikasi
Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan
Jasa-jasa
Jumlah

2010
2.030.933,2

2011
2.104.215,8

2012
2.173.107,0

2013
2.260.598,7

51.300,3
383.646,7
18.200,7
205.301,6
519.951,4
476.569,8
265.041,0

54.182,2
423.864,3
20.508,6
227.808,2
555.054,6
539.874,6
277.640,2

57.624,1
482.438,8
23.265,3
254.197,0
593.565,6
593.847,6
295.879,9

59.085,0
537.227,8
26.475,0
280.310,8
626.641,6
636.995,1
318.542,1

399.098,9
4.350.043,8

412.494,3
4.615.642,8

432.461,5
4.906.386,7

455.292,7
5.201.168,9

Sumber : BPS Kabupaten Lampung Selatan (2014)
Pengaruh negatif dari perkembangan sektor industri di pesisir Kabupaten
Lampung Selatan adalah terjadinya penurunan biodiversitas pada ekosistem
pesisir, akibatnya nelayan harus memasang bagan ikan dan menempuh jarak yang
lebih jauh untuk menghasilkan hasil tangkapan yang maksimal. Ditambah dengan
semakin banyaknya pemukiman di wilayah pesisir menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan akibat limbah rumah tangga, sebagai contoh kondisi
pantai di Kecamatan Katibung yang sudah mulai tercemar yang berada disekitar
pemukiman penduduk dapat dilihat pada Lampiran 1. Kemudian, terjadinya
kecemburuan sosial pada masyarakat disekitar lokasi industri karena masih sedikit
masyarakat lokal yang terserap sebagai tenaga kerja pada sektor industri yang
berada di wilayah pesisir. Disamping itu, tumbuhnya sektor industri menyebabkan
terdesaknya sektor pariwisata dibeberapa wilayah. Peningkatan pertumbuhan
industri di Kecamatan Katibung pada beberapa tahun terakhir berdampak pada
penurunan pengunjung obyek wisata pantai yang sangat nyata pada tahun 2013.
Jumlah pengunjung obyek wisata pantai di Kecamatan Katibung dari tahun 2010
sampai 2013 disajikan pada Gambar 1.
Oleh karena itu, diperlukan upaya preventif yang bertujuan untuk
meminimalisir degradasi dan pencemaran lingkungan pesisir dimasa yang akan
datang agar terwujud pengembangan wilayah berbasis industri dipesisir
Kabupaten Lampung Selatan yang berkelanjutan. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan suatu pengecekan awal secara cepat yang bersifat multidimensi dimana
akan diperoleh gambaran menyeluruh mengenai status keberlanjutan sumber daya
pada setiap dimensi keberlanjutan. Dengan demikian, maka dengan mudah dapat

7

Jumlah Pengunjung

ditentukan kebijakan pengembangan wilayah pesisir berbasis industri yang harus
dilakukan tanpa harus melakukan analisis kuantitatif yang rumit dan detil. Secara
ringkas kerangka permasalah pengembangan wilayah berbasis industri di pesisir
Kabupaten Lampung Selatan dapat dilihat pada Gambar 2.
1500000
1075792
1000000
500000
0

163542
416554

416554

2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 1 Grafik jumlah pengunjung obyek wisata di Kecamatan
Katibung (BPS Kab. Lampung Selatan 2014)



Tekanan (Pressure)



Penambahan jumlah
peduduk, pertumbuhan
industri, keterbatasan
lahan.

Polusi udara, polusi perairan laut
disekitar pesisir, keterbatsan akses,
peluang terciptanya kesempatan kerja,
penyerapan tenaga kerja lokal belum
maksimal.



Tanggapan (Response)
Kebijakan pengembangan
wilayah pesisir berbasis
industri yang
berkelanjutan



Keadaan (State)

Pengaruh (Impact)
- positif
Memajukan perekonomian wilayah,
multiplier effect.

- negatif
Penurunan biodiversitas, jarak tempuh
nelayan yang semakin jauh,
terdesaknya sektor pariwisata,
kecemburuan sosial.

Gambar 2 Kerangka PSIR permasalahan pengembangan wilayah pesisir
Kabupaten Lampung Selatan
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana status keberlanjutan wilayah berbasis industri di Pesisir
Kabupaten Lampung Selatan ?
2. Bagaimana kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kecamatan Katibung,
Kalianda dan Rajabasa ?

8

Tujuan Penelitian

1.
2.

Tujuan penelitian ini adalah:
Menentukan status keberlanjutan wilayah berbasis industri di pesisir
Kabupaten Lampung Selatan.
Merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kecamatan
Katibung, Kalianda dan Rajabasa.

Manfaat Penelitian

1.

2.
3.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
Informasi status keberlanjutan wilayah berbasis industri di Pesisir Kabupaten
Lampung Selatan khususnya di Kecamatan Katibung, Kecamatan Kalianda
dan Kecamatan Rajabasa.
Informasi mengenai dampak dari investasi perindustrian di wilayah pesisir
Kabupaten Lampung Selatan.
Masukan bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam
pengembangan wilayah berbasis industri.

Kerangka Pemikiran

Ancaman terhadap ketidakberlanjutan wilayah pesisir Kabupaten Lampung
Selatan merupakan permasalahan yang harus diantisipasi sejak dini, mengingat
banyaknya kegiatan yang berlangsung di wilayah pesisir yang dilakukan oleh
berbagai pihak. Pihak swasta dengan kegiatan industri skala besar-sedang,
pariwisata dan perikanan tambak, sedangkan masyarakat dengan kegiatan
perkebunan, industri mikro dan perikanan tangkap. Ketidakberlanjutan wilayah di
pesisir Kabupaten Lampung Selatan dapat terjadi akibat adanya penambahan
jumlah penduduk yang bermukim di wilayah pesisir, terjadinya konflik
kepentingan, perubahan iklim yang dapat menimbulkan bencana banjir akibat
naiknya permukaan air laut dan degradasi lingkungan akibat pencemaran limbah
industri yang tidak mengedepankan konsep kelestarian lingkungan.
Keberlanjutan dipengaruhi oleh tiga poin utama pilar keberlanjutan, yaitu
ekonomi, sosial dan ekologi. Selain itu keberlanjutan wilayah juga dipengaruhi
oleh unsur kelembagaan yang memegang peranan penting dalam penataan
wilayah berdasarkan aturan-aturan yang ada. Lembaga juga berperan dalam
menjaga keseimbangan tiga dimensi utama keberlanjutan agar tercapai
keharmonisan sehingga tidak terjadi eksploitasi berlebihan yang dapat merugikan
masyarakat dan lingkungan. Pada setiap dimensi terdapat beberapa atribut yang
berpengaruh dalam keberlanjutan wilayah berbasis industri di pesisir Kabupaten
Lampung Selatan.

9

Oleh karena itu, untuk mengetahui status keberlanjutan wilayah berbasis
industri di pesisir Kabupaten Lampung Selatan, dilakukan kajian
multidimensional. Dengan demikian, akan diperoleh gambaran menyeluruh dari
status keberlanjutan dari setiap dimensi keberlanjutan sebagai akibat dari
pemanfaatan sumberdaya alam yang telah dilakukan. Pembangunan dikatakan
berkelanjutan secara ekonomi, apabila pembangunan tersebut memberikan
keuntungan dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut,
pembangunan berkelanjutan secara sosial ditunjukkan dengan pemerataan
pembangunan, dengan memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan serta tetap menjaga kultur budaya, kemudian pembangunan
berkelanjutan secara ekologi adalah pembangunan yang ramah lingkungan,
meminimalisir terjadinya polusi dan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam
untuk generasi pada masa yang akan datang.
Analisis status keberlanjutan wilayah berbasis industri dipesisir Kabupaten
Lampung Selatan dilakukan dengan metode Rap-Wilindustri yang merupakan
modifikasi metode Rapfish (Rapid Appraisal Techniques for Fisheries). Dalam
metode Rapfish, keberlanjutan dijelaskan secara kuantitatif dan kualitatif oleh
seperangkat kriteria yang ditetapkan diwakili dalam analisis numerik dengan satu set
atribut (Pitcher dan Preikshot 2001).
Rap-Wilindustri akan menentukan indeks keberlanjutan tiap dimensi
(ekonomi, sosial, ekologi dan kelembagaan) berdasarkan atribut-atribut yang
berpengaruh pada tiap dimensi, tahap selanjutnya adalah penentuan status
keberlanjutan multidimensi menggunakan diagram layang (kite diagram). Setelah
status keberlanjutan wilayah ditentukan, maka dapat diketahui kebijakankebijakan yang harus di lakukan dalam upaya pengembangan wilayah pesisir
Kabupaten Lampung Selatan. Tahap awal penentuan kebijakan pengembangan
wilayah di pesisir Kabupaten Lampung Selatan adalah menentukan prioritas
perbaikan atribut sensitif atribut dengan analytical hierarchy process (AHP)
berdasarkan pendapat para pakar dari dinas/instansi yang terkait dalam
pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Lampung Selatan. Prioritas
perbaikan atribut bertujuan untuk mengetahui strategi perencanaan pembangunan
wilayah, selanjutnya diaplikasikan kedalam tiga skenario pengembangan wilayah
dengan melihat kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Penentuan skenario dilakukan dengan mengadopsi analisis prospektif berdasarkan
prioritas perbaikan atribut sensitif, dan mempertimbangkan jangka waktu
perencanaan yaitu jangka pendek, menengah dan jangka panjang dan besarnya
anggaran yang dibutuhkan.
Selanjutnya kebijakan arahan pengembangan wilayah ditentukan atas dasar
instrumen-instrumen hukum yang berlaku dengan mempertimbangakan potensi
dan karakteristik setiap wilayah serta daya dukung dan daya tampung wilayah
tersebut. Dengan demikian, diharapkan ancaman ketidakberlanjutan wilayah
berbasis industri di pesisir Kabupaten Lampung Selatan dapat diminimalisir sedini
mungkin, dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang mengancam
ketidakberlanjutan wilayah, sehingga terwujud suatu pengembangan wilayah
berbasis industri di pesisir Kabupaten Lampung Selatan yang berkelanjutan.
Kerangka pemikiran penelitian secara terinci dapat dilihat pada Gambar 3.

10

Ancaman Ketidakberlanjutan Wilayah Pesisir Kabupaten Lampung
Selatan
Degradasi
Lingkungan

Perubahan
Iklim/bencana
alam

Konflik
Kepentingan

Pertambahan jumlah
penduduk

Kajian Multidimensional

Dimensi
Ekonomi

Dimensi
Sosial

Dimensi
Ekologi

Dimensi
Kelembagaan

Analisis Keberlanjutan
Rap-Wilindustri

Pengembangan wilayah
berbasis industri yang
berkelanjutan di pesisir
Kabupaten Lampung Selatan

Status
Keberlanjutan
n
Kebijakan
pengembangan wilayah
AHP-Prospektif

Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian

11

TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Pesisir
Menurut Djunaedi dan Basuki (2002) dalam perencanaan pengembangan
wilayah sering terlebih dahulu dilakukan delineasi wilayah yang didalamnya
terdapat kegiatan untuk menentukan batas-batas wilayah. Penentuan batas wilayah
dengan memperhatikan terhadap konsep wilayah. Konsep wilayah yang telah
digunakan sebagai suatu metode klasifikasi melalui dua fase. Fase pertama,
memperlihatkan wilayah formal merupakan suatu area geografis yang uniform
atau homogen dalam kriteria-kriteria tertentu. Fase kedua menunjukkan
perkembangannya sebagai wilayah fungsional merupakan area geografis yang
menampilkan suatu keterkaitan fungsional tertentu, suatu interpenden bagianbagian, dan didefinisikan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut. Karakteristik wilayah pesisir menurut Edyanto (2001),
merupakan wilayah percampuran pengaruh antara laut, darat dan udara, bentuk
wilayah ini merupakan hasil keseimbangan dinamis dari suatu proses
penghancuran dan pembangunan dari ketiga unsur alam tersebut.
Beberapa komponen dari ekosistem pantai berfungsi sebagai unit yang
menyimpan “ energy supply”. Cadangan energi berfungsi sebagai menstabilkan
ekosistem dan sebagai “buffer” terhadap kebutuhan energi yang besar yang terjadi
pada musim atau periode waktu tertentu. Perubahan yang menonjol pada
komponen dan rantai interaksi utama ekosistem pantai, terutama diakibatkan oleh
proses pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam pantai, dapat
mengakibatkan terganggunya proses dan integritas ekosistem yang selanjutnya
menimbulkan degradasi lingkungan yang mengakibatkan kerugian-kerugian pada
masyarakat pantai (Djunaedi dan Basuki 2002).
Lasabuda (2013) menyebutkan beberapa potensi dan keunggulan
sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia antara lain: potensi wilayah, potensi
sumberdaya hayati, potensi sumberdaya mineral dan energi, potensi industri dan
jasa maritim, potensi transportasi laut dan jasa lingkungan, dan potensi kultural.
Dari potensi-potensi tersebut setidaknya terkait dengan 11 sektor ekonomi
kelautan yang dapat dikembangkan yaitu : 1) perikanan tangkap, 2) perikanan
budidaya, 3) industri pengolahan hasil perikanan, 4) industri bioteknologi
kelautan, 5) pertambangan dan energi, 6) pariwisata bahari, 7) perhubungan laut,
8) industri dan jasa maritim, 9) sumberdaya pulau-pulau kecil, 10) coastal forestry
(mangrove), dan 11) sumber daya alam non-konvensional.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah, dan pemerintah daerah,
antara ekosistem darat, laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

12

Kecil terdiri dari : (1) Rencana Strategis Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
yang selanjutnya disebut RSWP3K, (2) Rencana Zonasi Wilayah Pesisirdan
Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP3K, (3) Rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP3K, dan (4)
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RAPWP3K.

Teori Lokasi Industri
Teori lokasi, khususnya untuk industri pengolahan (manufacturing) pertama
kali dikemukakan oleh Alfred Weber. Teori ini muncul pada masa revolusi
industri di Jerman untuk membantu pemerintah dalam menentukan lokasi terbaik
dan ekonomis bagi pembangunan industri pengolahan baja. Analisis Weber
berdasarkan lokasi bahan baku yang berasal dari tempat yang berbeda (localized
material). Analisis Weber memberikan pemilihan lokasi industri yang paling
ekonomis (optimal) dengan ongkos angkut yang minimum (Sjafrizal 2008).
Biaya transportasi ditentukan oleh dua faktor yaitu :
1) Bobot bahan baku dan bobot produk akhir yang diangkut ke pasar
2) Jarak tempuh dari bahan baku dan produk yang harus dipindahkan.
Hal tersebut selaras dengan Rustiadi et al. (2011), yang menyebutkan bahwa
penentuan lokasi industri dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: 1) biaya angkutan, 2)
konsentrasi tenaga kerja, dan 3) gejala Aglomerasi, dimana biaya angkutan
dianggap sebagai penentu utama lokasi industri.
Selanjutnya, Teori Lokasi Market Area, diperkenalkan oleh August Losch.
Teori ini berdasarkan pada pemilihan lokasi optimal pada luas pasar yang dapat
dikuasai dan kompetisi antar tempat. Teori lokasi market area dilandasi oleh tiga
asumsi dasar. Pertama, konsumen tersebar secara relatif merata antar tempat,
artinya teori ini sesuai diberlakukan di daerah perkotaan dimana konsentrasi
penduduk dan industri relatif merata dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Kedua, produk homogen sehingga persaingan akan sangat ditentukan oleh harga
dan ongkos angkut. Ketiga, ongos angkut perkesatuan jarak (ton/km) adalah sama
(Sjafrizal 2008).
Teori Lokasi Weber dan Teori Lokasi Market Area, memiliki kelemahan
bahwa teknologi diasumsikan tidak berubah. Hal ini tentunya kurang logis karena
teknologi produksi selalu mengalami perubahan dalam rangka meningkatkan
mutu dan produk dan efisiensi produksi. Oleh karena itu, dilakukan
pengembangan terhadap Teori Weber oleh Leon Moses, dengan memasukkan dua
unsur penting yaitu subtitusi input dan skala produksi. Subtitusi input akan
menyebabkan terjadi Capital Embodied Technical Change, bila perubahan
teknologi terjadi karena semakin banyaknya penggunaan benda modal, atau
Labour Embodied Technical Change, jika perubahan teknologi terjadi sebagai
akibat semakin banyaknya penggunaan tenaga kerja.
Kajian teori lokasi industri dengan perubahan teknologi juga dilakukan oleh
Sjafrizal (1981) dalam Sjafrizal (2008). Perubahan teknologi industri secara
spesifik melalui siklus hidup produk (Product Life Cycle). Terdapat tiga fase
produksi yang masing-masing menggunakan teknologi yang berbeda. (1) Phase I
(New Product) yaitu pada tahap awal kehidupan produk baru dimana teknologi

13

yang digunakan juga masih baru dan belum banyak dikenal masyarakat. Lokasi
terbaik pada tahap ini adalah pada negara maju dimana jumlah tenaga ahli yang
digunakan cukup tinggi; (2) Phase II (Growing Product) dimana pada tahap ini
jumlah produksi mulai meningkat pesat karena permintaan terhadap produksi
bersangkutan sudah mulai banyak sedangkan penggunaan teknologi sudah tidak
baru lagi dan mulai dikenal oleh masyarakat umum; (3) Phase III (Mature
Product) dimana teknologi produksi yang digunakan umumnya sudah diketahui
secara umum oleh masyarakat sehingga negara berkembang juga sudah bisa
melaksanakannya.
Temuan dari analisis ini adalah bahwa analisa teori lokasi industri saat ini
tidak hanya menyangkut hal pemilihan lokasi optimal saja tetapi juga dapat
menjelaskan mengapa terjadi perpindahan lokasi industri dari negara maju
menuju negara berkembang (Sjafrizal 2008).

Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Munasinghe (1993) pembangunan berkelanjutan merupakan
pembangunan yang didasari tiga sudut pandang utama yaitu ekonomi, sosial dan
lingkungan. Hal ini juga di ungkapkan oleh Salim (2010) bahwa pembangunan
berkelanjutan bersifat multidimensional, dimana pembangunan berkelanjutan
secara simultan mencakup terutama tiga dimensi pokok : (1) berkelanjutan
ekonomi, (2) berkelanjutan sosial-budaya dan politik, serta (3) berkelanjutan
lingkungan dalam suatu ruang lingkup global. Selain itu, konsep eksternalitas
sangat penting dalam upaya mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Di lain
pihak, ada eksternalitas positif dari beberapa alternatif pengelolaan sumber daya.
Peran pemerintah sebagai regulator mewakili kepentingan umum dalam hal ini
sangat penting. Faktor kelembagaan bukan hanya institusi pemerintah namun
termasuk institusi terkait lainnya dalam pengelolaan sumber daya, terlebih yang
berupa barang publik ( public goods). Bagan konsep pembangunan berkelanjutan
menurut Munasinghe diuraikan pada Gambar 4.
EKONOMI

Distribusi Pendapatan
Tenaga Kerja

SOSIAL

Partisipasi,
Keadilan lintas generasi

Valuasi
Internalisasi

LINGKUNGAN

Gambar 4 Tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993)
Konsep pembangunan berkelanjutan yang disampaikan bertolak dari
gagasan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (1987) yang

14

mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Salim (2010)
menyebutkan bahwa pembangunan berk