Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi Serasahnya.

POTENSI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn) SEBAGAI
JALUR HIJAU DITINJAU DARI LAJU DEKOMPOSISI
SERASAHNYA

KHAIRIA NAFIA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

POTENSI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn) SEBAGAI
JALUR HIJAU DITINJAU DARI LAJU DEKOMPOSISI
SERASAHNYA

KHAIRIA NAFIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

ABSTRAK
Khairia Nafia. Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn)
sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi
Serasahnya.

Salah satu tindakan pencegahan kebakaran hutan adalah dengan pembuatan
jalur hijau. Jarak pagar merupakan vegetasi yang direkomendasikan sebagai
tanaman jalur hijau. Salah satu syarat vegetasi yang sesuai dijadikan jalur hijau
adalah serasahnya cepat terdekomposisi. Untuk mengetahui potensi Jarak pagar
sebagai sekat bakar diperlukan penelitian mengenai persyaratan lain vegetasi yang
sesuai dijadikan jalur hijau, dalam hal ini laju dekomposisi serasahnya. Sebagai
pembanding digunakan tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King). Metode
pendugaan laju dekomposisi dalam penelitian ini adalah dengan menghitung
penurunan bobot keringnya. Kedua jenis tanaman ini mengalami laju dekomposisi

tertinggi pada waktu awal pegamatan. Semakin lama laju dekomposisi semakin
menurun. Rata-rata laju dekomposisi Jarak pagar adalah 14.38 % per minggu
sedangkan rata-rata laju dekomposisi Mahoni adalah 9.70 % per minggu. Waktu
dan jenis mempengaruhi laju dekomposisi. Berdasarkan laju dekomposisi
serasahnya Jarak pagar merupakan vegetasi yang sesuai dijadikan tanaman jalur
hijau.
Kata kunci : jalur hijau, Jarak pagar, Mahoni, laju dekomposisi serasah

PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya mohon didaftar sebagai alumni :
1. Nama Instansi

: Institut Pertanian Bogor

2. Fakultas / Departemen

: Kehutanan / Silvikultur

3. Nama Lengkap


: Khairia Nafia

4. No. Pokok

: E44050210

5. Nama Orang Tua

: Asmar dan Zahelli Mizen

6. Terakhir (Alamat Rumah)

: Dusun Pasar No.21 Pasar Baru Pengean.
Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuantan
Singingi, Riau

7. Nomor Telp / Hp

: 085219307632


8. Tempat Tanggal lahir

: Riau, 12 Juni 1987

9. Agama

: Islam

10. Tanggal Masuk IPB

: 15 Agustus 2005

11. Tanggal Lulus Komprehensif

: 29 Desember 2009

12. Dosen Pembimbing

: Dr.Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.


13. Judul Skripsi

: Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn)
sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju
Dekomposisi Serasahnya

Bogor, 11 Januari 2009

Khairia Nafia

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Potensi Jarak
Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju
Dekomposisi Serasahnya adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.


Bogor, Desember 2009

Khairia Nafia
E44050210

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1987 di Pengean, Kabupaten Kuantan
Singingi, Riau. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan
Asmar dan Zahelli mizen.
Pendidikan formal yang dijalani oleh Penulis :
1. SDN 042 Pangean, lulus tahun 1999
2. SLTPN 1 Pangean, lulus tahun 2002
3. SMUN 1 Kuantan Hilir, lulus tahun 2005
4. Tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Beasiswa Utusan Daerah (BUD)
Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di
linggar Jati - Indramayu, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan
Gunung Walat, dan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. RAPP Riau tahun 2009.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis
menyusun skripsi yang berjudul “Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai

Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi Serasahnya”, di bawah bimbingan Dr.Ir.
Lailan Syaufina, M.Sc.

i

KATA PANGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB.
Dalam panelitian yang berjudul “Potensi Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai
jalur hijau ditinjau dari laju dekomposisi serasahnya” ini, penulis mengkaji potensi Jarak
pagar sebagai jalur hijau yang ditinjau dari pendugaan laju dekomposisi serasahnya.
Walaupun objek penelitian ini hanya pada satu sifat jalur hijau saja, namun diharapkan
penelitian ini dapat memberi informasi dan rekomendasi tentang Jarak pagar sebagai jalur
hijau sehingga dapat mengurangi luasan kebakaran yang terjadi.
Penelitian ini dilakukan di Gunung Hambalang, Kampung Sukamantri, Desa Karang
Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor antara bulan Mei dan Juni 2009
yang difasilitasi oleh penelitian program Hibah Bersaing DIKTI 2009 yang berjudul

Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) dalam Sistem Agroforestry di Areal
Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan Banten.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab
itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna perbaikan
skripsi ini maupun untuk pengembangan penelitian lebih lanjut. Penulis berharap semoga
karya kecil ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2009

Penulis

UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa telah
melimpahkan nikmat, rahmat, dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
banyak pihak baik secara materi maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Papa dan Mama tercinta, abang Champion, adek Hanif, adek Rahman, adek
Pira, dan adek Ima atas cinta, doa dan kasih sayang yang penulis peroleh
sehingga mampu berdiri dan menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr.Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku pembimbing yang telah meluangkan
waktu, pemikiran, dan tenaga sehingga penulis mampu menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr.Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.F.Trop, Bapak Effendi Tri Bahtiar,
S.Hut, M.Si dan Ibu Dr.Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc selaku dosen penguji dan
mengajarkan penulis arti S.Hut.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Bapak Ir. Iwan Hilwan, MS atas
ilmu, waktu, dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
5. Abang Champion selaku pembimbing bayangan dan motivator sehingga
penulis percaya diri dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Opu Andi Sumange Alam selaku motivator dan obat penenang yang telah
bersedia memberi banyak waktu, semangat, dukungan, dan kasih sayang
sehingga penulis mampu melalui banyak rintangan dalam penulisan skripsi
ini.
7. Irwani Gustina Teguh selaku sahabat yang bersedia bersabar, membantu
penulisan skripsi, dukungan semangat dan ikhlas berbagi kamar dengan
penulis selama tiga tahun.
8.


Nyai Risna Trisnawati selaku manusia super dan bersedia menjadi sahabat
penulis, berbagi dalam banyak hal dan dukungan semangatnya.

9. Jadda Muthiah selaku sahabat yang telah memberi banyak pelajaran tentang
hidup, dukungan semangat dan keceriaan.
10. Bapak Wardana dan Yuli Sunarti atas bantuannya selama penelitian ke
Gunung Hambalang.
11. Teman-teman Silvikultur 42 selaku keluarga dan sumber keceriaan bagi
penulis.
12. Ghina, Retha, Hilda, Tatik, Rifa, Fifi, Fidry, Rima, Farah, Ajeng, Muzi,
Sambang, Doddy, Chandra, Tomi, Yogi, Asep dan Kemal atas semua
dukungannya.
13. Andhika House’s Crew atas kehangatan dan keceriaannya, serta untuk Siti
Fatimah dan Siti Nurlaela atas dukungan memperindah wajah penulis. Anis,
Cici Lee Min Ho, Eka, Jubul, Dedes, Rinda, Ojel, Tsani, Uti, Lusi, Heny dan
semua penghuni AH 18.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hutan merupakan sumber penghasil kayu, plasma nutfah, ekosistem, habitat
flora dan fauna serta pengatur tata air dan keawetan tanah. Hutan merupakan
tempat berlangsungnya proses-proses ekologis seperti suksesi alamiah, produksi
bahan organik dan proses dekomposisi, siklus hara, siklus hidrologi, dan
pembentukan tanah, serta tata iklim dan fungsi perosotan karbon.
Gangguan dari luar dapat menyebabkan terganggunya fungsi hutan. Salah
satu bentuk gangguan atau ancaman bagi kelestarian hutan adalah kebakaran
hutan. Kejadian kebakaran hutan dapat merusak keseimbangan ekosistem dan
merusak lima proses ekologi di dalamnya. Selain itu kebakaran hutan bersifat
eksplosif artinya terjadi dalam waktu relatif cepat dan areal yang luas.
Mengingat betapa berbahayanya dampak kebakaran hutan dan lahan maka,
perlu disadari bersama cara pencegahannya. Menurut Husaeni (2003) dalam
Suratmo et al (2003), pengisolasian bahan bakar merupakan salah satu cara dalam
mencegah terjadinya kebakaran hutan atau mengurangi luasan area yang terbakar.
Metode isolasi adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan hamparan bahan bakar
dengan kawasan hamparan bahan bakar lainnya oleh suatu penyekat yang disebut
jalur isolasi. Jalur isolasi bisa berupa jalur terbuka atau suatu jalur yang
bervegetasi.
Husaeni (2003) dalam Suratmo et al (2003), jalur isolasi terdiri dari jalur
isolasi alami dan jalur isolasi buatan. Jalur isolasi yang alami misalnya sungai,
sempadan sungai, kawasan lindung selain sempadan sungai, dan punggung bukit.
Jalur isolasi buatan terdiri dari jalur yang sudah ada, yang dirancang dengan
tujuan bukan sebagai jalur isolasi tetapi dapat didayagunakan sebagai jalur isolasi
(jalan hutan, alur batas petak, jalan umum yang melintasi kawasan hutan) dan
jalur khusus yang sengaja dibuat. Ada tiga macam jalur isolasi khusus yang
sengaja dibuat, yaitu sekat bakar (fire break), sekat bahan bakar (fuel break), dan
jalur hijau (green belt).
Jalur hijau merupakan sebuah jalur vegetasi yang berfungsi memisahkan
dua atau lebih kawasan hamparan bahan bakar. Jenis vegetasi yang dapat

2

dijadikan sebagai jalur hijau adalah vegetasi yang tahan terhadap api, memiliki
tajuk yang rimbun, tidak menggugurkan daun yang berlebihan, cepat tumbuh,
memiliki kegunaan lain, dan serasah yang cepat terdekomposisi.
Tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) merupakan jenis yang
direkomendasikan sebagai jalur hijau berdasarkan kandungan fisika dan kimianya
menurut

penelitian

Suryahadi

(2006).

Selain

itu,

Jarak

pagar

juga

direkomendasikan sebagai jalur hijau karena memiliki kemampuan bertahan hidup
yang cukup tinggi setelah terbakar, pertumbuhan yang relatif cepat, memiliki
tajuk yang cukup rimbun, serta memiliki manfaat lain yaitu bijinya menghasilkan
biodiesel yang sedang marak dikembangkan.
Untuk menindaklanjuti penelitian mengenai Jarak pagar sebagai jalur hijau,
maka perlu diteliti syarat lain vegetasi yang sesuai dijadikan jalur hijau. Dalam hal
ini meneliti mengenai laju dekomposisi serasahnya.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :
1.

Membandingkan laju dekomposisi serasah Jarak pagar (Jatropha curcas
Linn) dengan laju dekomposisi serasah Mahoni.

2.

Mengkaji potensi tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai jalur
hijau melalui pengukuran pendugaan laju dekomposisi serasahnya.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan

pengembangan Jarak pagar sebagai jalur hijau.

rekomendasi

potensi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan
1. Pengertian umum kebakaran hutan

Menurut Saharjo (2003) dalam Suratmo et al (2003), kebakaran hutan
adalah pembakaran yang menjalar bebas, mengkonsumsi bahan bakar alam dari
hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, snags/pohon mati yang
tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon.
Purbowaseso (2004) mengatakan kebakaran hutan berbeda dengan
kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan
hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan
hutan.
Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana bahan bakar bervegetasi
dilahap api, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan
tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di
kawasan non hutan (Syaufina, 2008).
Menurut Syaufina (2008) bahan bakar dalam peristiwa kebakaran hutan dan
lahan merupakan hasil dari proses kimia dimana karbondioksida, air, dan energi
matahari bersatu menghasilkan selulosa, lignin, dan komponen kimia lainnya.
Proses pembakaran dan dekomposisi merupakan proses yang berkebalikan dengan
proses fotosintesis. Dekomposisi merupakan proses yang berjalan lambat dan
melepaskan panas yang sulit terlihat dalam periode waktu yang lama. Sedangkan
proses kebakaran melepaskan energi panas dengan cepat. Secara sederhana
hubungan antara proses fotosintesis dengan pembakaran dapat digambarkan
sebagai berikut.
Proses fotosintesis :
6CO2 + 5H2O + Energi matahari

(C6H12O6) n + O2

Proses pembakaran :
(C6H12O6) n + O2 + Kindling temperature

CO2 + H2O + Energi Panas

4

Menurut Pyne et al. (1996) dalam Syaufina (2008) tiga unsur yang
memungkinkan terjadinya proses pembakaran yaitu bahan bakar, sumber panas
dan oksigen. Proses pembakaran tidak akan terjadi jika salah satu unsur tidak ada.
Prinsip-prinsip tersebut dikenal dengan segitiga api.

Oksigen (O2)

Sumber panas

Bahan Bakar
Gambar 1. Segitiga api

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Api

Syaufina (2008) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya api, sebagai berikut :

a. Bahan bakar

Berdasarkan kaitannya dengan perilaku api, Syaufina (2008) membagi
bahan bakar ke dalam dua garis besar yaitu :
1)Sifat bahan bakar
Sifat bahan bakar terdiri dari sifat dasar (intrinsic) bahan bakar yang
meliputi sifat kimia bahan bakar, kerapatan, kapasitas panas, kandungan ether
ekstraktif dan abu bebas silika; dan sifat luaran (extrinsic) bahan bakar yang
meliputi muatan bahan bakar, distribusi ukuran bahan bakar, perbandingan bahan
bakar hidup dan mati, susunan bahan bakar, kesinambungan bahan bakar, dan
kekompakan bahan bakar.

2)Kadar air bahan bakar
Kadar air bahan bakar yang menunjukkan jumlah air yang dikandung oleh
partikel bahan bakar merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku

5

api, terutama dalam kecepatan pembakaran dan kemampuan terbakar dari bahan
bakar.

b. Iklim/Cuaca

Iklim atau cuaca mempengaruhi kebakaran hutan secara berbeda tetapi
saling berhubungan, yaitu menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia,
kerasnya musim kebakaran yang panjang, mengatur kadar air dan flamabilitas dari
bahan bakar mati, mempengaruhi proses penyalaan api dan penjalaran kebakaran
hutan.
Faktor iklim atau cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan adalah:
radiasi matahari, suhu udara, kelembaban relatif, curah hujan, angin, dan petir.

c. Topografi

Faktor-faktor topografi yang penting meliputi aspek elevasi, tebing, daerah
curam, dan jeram. Kelerengan memengaruhi sifat-sifat dari nyala api, penjalaran
api, dan perilaku api lainnya.
Hasil penelitian Weise dan Biging (1996) dalam Syaufina (2008)
menunjukkan rata-rata sudut nyala api untuk kelerengan 30% ke arah bawah
berkisar antara -39.5o dan hingga 13.5o ke arah bawah tanpa adanya pengaruh
angin. Pengaruh topografi terhadap perilaku tidak lepas dari kecepatan dan arah
angin yang turut mendorong penjalaran api.

3. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

Menurut Husaeni (2003) dalam Suratmo et al (2003) metode pencegahan
kebakaran hutan menggunakan metode 3E, yaitu Education (pendidikan),
Enforcement (penegakan hukum) dan Engineering (keteknikan).

6

a. Education

1) Pendidikan dan penyuluhan perorangan
Pendidikan dan penyuluhan ini merupakan cara yang paling efektif untuk
pencegahan kebakaran, namun akan memerlukan banyak biaya dan tenaga.
Penyuluhan ini dapat dilakukan di tempat potensial terjadi kebakaran.
2) Perkumpulan dan kelompok masyarakat
Pencegahan kebakaran memerlukan kerjasama dengan asosiasi dan
kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok ini dapat berupa kelompok pecinta
alam, organisasi pramuka, perkumpulan LSM dan perkemahan, dan lain-lain.
3) Media massa
Penggunaan media massa (radio, televisi, surat kabar) merupakan salah satu
cara penyuluhan yang paling murah dalam pencegahan kebakaran liar.
Selain itu metode pencegahan yang dapat dilakukan adalah pendidikan di
sekolah, pemasangan papan peringatan, dan pembuatan poster.

b. Penegakkan Undang-Undang dan Peraturan

Penegakan hukum merupakan cara yang paling potensial untuk pencegahan
kebakaran hutan, dimulai dengan lembaga hukum yang memadai, dikenal secara
baik dan dikelola dengan jujur. Hal utama dalam penyelidikan adalah membawa
bukti dan tersangka ke pengadilan. Fakta yang diperoleh dan bukti yang
ditemukan merupakan alat pembantu penegak hukum dalam keberhasilannya
dalam menyimpulkan suatu kasus.
Sumber atau dasar hukum pencegahan kebakaran hutan adalah undangundang, surat keputusan, dan peraturan daerah setempat tentang kebakaran hutan.
Undang-undang, peraturan pemerintah pusat serta daerah tentang penggunaan api
sangat penting untuk pencegahan kebakaran hutan.

c. Teknik
Pencegahan kebakaran melalui pendekatan secara teknik ini ada 3 macam,
yaitu modifikasi bahan bakar, pengurangan bahan bakar, dan isolasi bahan bakar.

7

1) Modifikasi bahan bakar

Modifikasi bahan bakar merupakan usaha untuk merubah satu atau beberapa
macam karakteristik bahan bakar. Bahan bakar dapat dimodifikasi dengan
berbagai cara. Sebagai contoh cara modifikasi bahan bakar, diantaranya :
a) Memotong-motong dahan dan ranting pohon limbah penebangan menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil atau pendek. Tujuan dilakukan
pemotongan adalah agar dahan dan ranting yang telah dipotong-potong dapat
cepat terdekomposisi. Selain itu, dapat dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan
atau kayu bakar.
b) Merubah kayu limbah penebangan menjadi serpih (chip). Serpihan kayu dapat
cepat terdekomposisi dan dapat juga dijadikan sebagai bahan baku bubur
kertas.
c) Merubah kayu-kayu limbah penebangan menjadi tepung kayu atau serbuk kayu.
Serbuk kayu dapat dimanfaatkan untuk pengolahan lanjutan pada industri
kehutanan. Jika tidak dimanfaatkan, serbuk kayu dapat cepat terdekomposisi.

2) Pengurangan bahan bakar

Pengurangan bahan bakar hutan bertujuan agar jumlah bahan bakar hutan
berkurang, sehingga bila terjadi kebakaran hutan, besarnya nyala api, kecepatan
penjalaran dan lamanya kebakaran dapat dikurangi. Bahan bakar yang umumnya
dikurangi jumlahnya adalah bahan bakar permukaan.

3) Isolasi bahan bakar

Isolasi adalah kegiatan untuk memisahkan suatu kawasan hutan (sebagai
suatu hamparan bahan bakar) dengan kawasan di luarnya (sebagai hamparan
bahan bakar lain) dan atau membagi kawasan hutan tersebut menjadi bagian–
bagian kawasan hutan (sebagai hamparan bahan bakar) yang lebih kecil, oleh
suatu penyekat yang disebut jalur isolasi. Jalur isolasi bisa berupa jalur terbuka

8

(gundul) maupun bervegetasi, yang memisahkan bagian hutan tertentu dengan
bagian hutan lainnya, atau dengan areal di luar kawasan hutan.
Tujuan utama isolasi bahan bakar adalah untuk menghambat penjalaran api
kebakaran dari luar kawasan hutan ke dalam kawasan hutan dan sebaliknya, dan
dari bagian kawasan hutan (blok/petak) tertentu ke bagian kawasan hutan
(blok/petak) lainnya. Jalur isolasi ini berfungsi pula sebagai tempat awal operasi
pemadaman bila terjadi kebakaran hutan, terutama bila jalur isolasi ini
dikombinasikan dengan jalan hutan atau jalur bersih lainnya.
Jalur isolasi terdiri dari jalur isolasi alami dan jalur isolasi buatan. Jalur
isolasi yang alami misalnya sungai, sempadan sungai (lebar 100 m di kiri-kanan
sepanjang sungai besar atau 50 m sepanjang kiri-kanan sungai kecil), kawasan
lindung selain sempadan sungai, dan punggung bukit. Jalur isolasi buatan terdiri
dari jalur yang sudah ada, yang dirancang dengan tujuan bukan sebagai jalur
isolasi tetapi dapat didayagunakan sebagai jalur isolasi (jalan hutan, alur batas
petak, jalan umum yang melintasi kawasan hutan) dan jalur khusus yang sengaja
dibuat.
Ada tiga macam jalur isolasi khusus yang sengaja dibuat, yaitu sekat bakar
(fire break), sekat bahan bakar (fuel break), dan jalur hijau (green belt), yang
dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Sekat bakar
Sekat bakar adalah suatu jalur bersih (tanpa tumbuhan sama sekali) yang
digunakan untuk menghambat penjalaran api dan digunakan juga sebagai tempat
awal untuk operasi pemadaman kebakaran. Sekat bakar dapat berupa jalur bersih
yang sudah ada, misalnya sungai, jalan hutan, alur batas blok/petak, atau jalur
yang dibuat khusus dengan lebar tertentu, yang dibersihkan dari semua tumbuhan
sehingga berupa jalur terbuka. Sekat bakar ini sering disebut jalur kuning,
mungkin sekat bakar ini banyak pada tanah-tanah yang berwarna merah
kekuningan, yang dari kejauhan atau dari udara berupa jalur yang berwarna
”kuning”.
Lebar sekat bakar ini bervariasi tergantung pada tipe hutan dan tipe
kebakaran yang akan dihambatnya, topografi dan kondisi cuaca. Sebagai patokan,
lebar sekat bakar di hutan lahan kering adalah setinggi pohon tertinggi (peninggi)

9

ditambah satu kali panjang tajuknya. Di hutan gambut, yang dipentingkan
bukanlah

lebarnya

tetapi

kedalamannya,

karena

yang

akan

dihambat

penjalarannya adalah berupa kebakaran bawah (ground fire). Sekat bakar di hutan
ini adalah berupa parit dengan lebar tertentu (0.5-1 m) dan dalamnya sampai
sedalam gambut yang ada.
Kebaikan sekat bekar adalah cukup efektif dalam menghambat penjalaran
api. Kelemahannya adalah biaya pemeliharaannya mahal dan hanya efektif untuk
menghambat api yang penjalarannya lambat. Selain itu, sekat bakar ini mudah
terjadi erosi.
b) Sekat bahan bakar
Sekat bahan bakar adalah suatu jalur lahan yang cukup lebar, yang
vegetasinya telah diubah sehingga bila ada kebakaran hutan, api akan menjalar
lebih lambat sehingga mudah untuk dipadamkan. Sekat bahan bakar ini biasanya
tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah atau sulit terbakar.
Vegetasi yang banyak digunakan adalah rumput pendek atau tumbuhan pendek
lainnya. Bila ditanami rumput makanan ternak, sekat bahan bakar ini bisa
digunakan sebagai salah satu sumber makanan ternak. Di Pulau Jawa pernah
digunakan kungkungan (Ipomea sp.) sebagai tanaman sekat bahan bakar.
Tanaman lain yang dapat digunakan antara lain ketela pohon, ubi jalar, pisang dan
nanas. Sekat bahan bakar dibuat lebih lebar dari sekat bakar (sekitar 20-100 m),
dibuat sepanjang punggung bukit dan kawasan hutan, dan dapat dikombinasikan
dengan jalan hutan atau sekat bakar.
c) Jalur hijau
Jalur hijau merupakan modifikasi dari suatu sekat bahan bakar yang
vegetasinya dipertahankan tetap hidup dan hijau, dengan cara irigasi. Biaya irigasi
ini cukup mahal sehingga di Indonesia, jalur hijau ini berupa vegetasi pohon atau
perdu. Bila jalur hijau ini dibuat dengan cara penanaman, pohon atau perdu yang
dipilih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Tahan kebakaran, artinya pohon/perdu itu bisa tetap hidup bila terbakar.
2) Selalu hijau (evergreen), artinya pohon/perdu itu tidak gugur daun pada musim
kemarau.
3) Tajuknya rimbun, agar mampu menekan gulma yang tumbuh di bawahnya.

10

4) Cepat tumbuh dan mudah bertrubus (coppicing) bila dipangkas.
5) Serasah mudah terdekomposisi, agar tidak terjadi penumpukan serasah.
6) Mempunyai manfaat/kegunaan lain selain untuk menghambat penjalaran api
kebakaran hutan.

B. Dekomposisi Serasah
1. Pengertian dekomposisi

Dekomposisi adalah proses penguraian bahan organik yang berasal dari
binatang dan tumbuhan secara fisik dan kimia, menjadi senyawa-senyawa
anorganik sederhana yang dilakukan oleh berbagai mikroorganisme tanah
(bakteri, fungi, actinomycetes,dan lain-lain), yang memberikan hasil berupa hara
mineral yang dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan sebagai sumber
nutrisi. (Sutejo, Kartasapoetra dan Sastroajmodjo, 1985 dalam Dita, 2007).
Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami
dekomposisi. Menurut Kussow (1971) dalam Tim Penelitian Tanah (1991), proses
dekomposisi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu : 1) proses dekomposisi
secara fisik, yaitu penghancuran bahan organik sehingga ukurannya menjadi lebih
kecil, 2) proses dekomposisi secara kimia, dan 3) proses dekomposisi secara
biologi yang merupakan proses penghancuran bahan organik yang sangat penting
karena melibatkan mikroorganisme.
Flaig et al (1977 ) dalam Tim Penelitian Tanah (1991), menyatakan
penyusun utama bahan organik adalah selulosa, lignin dan protein. Melalui proses
dekomposisi, unsur hara seperti C dan N akan dibebaskan terutama dari selulosa
dan protein. Sedangkan dari hasil penghasilan lignin akan dibentuk campurancampuran fenol.
Menurut Indriani (2000) dalam Dita (2007), dekomposisi bahan organik
atau pengomposan merupakan penguraian dan pemanfaatan bahan-bahan organik
secara biologi dalam temperatur termofilik (450 – 600 C) dengan hasil akhir bahan
yang cukup bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan lingkungan.

11

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi

Dekomposisi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor suhu tanah dan faktor
kadar air tanah (Notohadiprawiro, 1999 dalam Dita, 2007).
Suhu tanah merupakan sifat tanah yang penting karena mempengaruhi
langsung pertumbuhan tumbuhan bersama dengan air, udara, dan hara. Suhu tanah
mempengaruhi lengas tanah, aerasi, struktur, kegiatan mikroba, dan enzim,
perombakan sisa jaringan tumbuhan dan hewan serta ketersediaan hara tumbuhan
(Notohadiprawiro, 1999 dalam Dita, 2007).
Faktor iklim menentukan laju dekomposisi bahan organik sehingga
mempengaruhi kelimpahan bahan organik di permukaan tanah. Kelembaban dan
temperatur adalah variabel iklim yang terpenting sebab keduanya mempengaruhi
perkembangan tumbuhan dan mikroorganisme tanah (Thaiutsa et al., 1979 dalam
Hilwan, 1993).
Pada tingkat suhu tanah sedang (300 C) dan kelembaban tanah antara 6080%, laju dekomposisi bahan organik mencapai tingkat tertinggi. Peningkatan
suhu dan kelembaban secara serentak, akan memperlambat laju dekomposisi
bahan organik (Thaiutsa et al., 1979 dalam Hilwan, 1993).

3. Proses Dekomposisi Serasah

Dekomposisi terbentuk melalui suatu proses fisika dan kimia yang
mereduksi secara kimia bahan organik yang telah mati pada vegetasi dan
binatang. Dekomposisi bahan organik hutan mempunyai dua tahap proses. Yang
pertama, ukuran partikel dari bagian bunga ke batang dari pohon yang besar,
dipecah ke dalam spesies yang lebih kecil yang dapat direduksi secara kimia.
Yang kedua, biasanya sampai aktivitas organisme spesies kecil ini dari bahan
organik direduksi dan demineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein,
karbohidrat, lipid, dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme
atau dihanyutkan dari sistem (Adeson and Swift,1983 dalam Hilwan, 1993).
Proses dekomposisi (D) sangat ditentukan oleh tiga variabel yaitu : (1)
organisme pengurai (O, terdiri dari hewan dan mikroorganisme), (2) kualitas

12

serasah (Q, karakter bahan organik yang menentukan kemampuan untuk
pelapukan), dan (3) lingkungan fisik-kimia (P, terdiri dari ikim makro dan tanah).
Jadi laju proses dekomposisi merupakan fungsi dari organisme pengurai, kualitas
serasah, lingkungan fisik-kimia. Fungsi tersebut dapat dituliskan, D = f (O, Q, P).
di sebagian besar tanah peranan makrofauna sebagai organisme pengurai atau
perombak sangat penting. Hewan-hewan ini memecah serasah menjadi partikelpartikel yang sangat kecil, sehingga memperbesar luas permukaan dan
mempermudah bakteri dan jamur untuk menguraikannya (Anderson dan Swift,
1985 dalam Hilwan, 1993).
Faktor dominan yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam
perombakan dan penguraian serasah adalah jenis tanaman dan iklim efek terhadap
jenis tanaman terhadap mikroflora ditentukan oleh sifat fisik dan kimia daun yang
tercermin dalam C/N ratio (Thaiutsa et al., 1979 dalam Hilwan, 1993).
Sifat fisik dan kimia daun serta kualitas serasah yang beragam,
mengakibatkan adanya variasi kemampuan serasah untuk didekomposisi
(decomposibility), yang sangat dipengaruhi oleh faktor interistik atau sifat-sifat
fisik dan kimia daun, seperti tingkat kerusakan daun, kandungan lignin, unsur
hara, senyawa-senyawa sekunder serta ukuran masa dan partikel (Anderson and
Swift,1983 dalam Hilwan, 1993).
Dekomposisi terjadi akibat dari kegiatan jasad renik memperoleh energi
untuk keperluan hidupnya. Proses ini disebut oksidasi enzimatik karena jasad
renik menghasilkan berbagai enzim yang diperlukan untuk kelangsungan proses
kimia yang spesifik (Soepardi,1983 dalam Hilwan,1993).
Dari keterangan ini jelaslah bahwa yang berperan sangat besar dalam
dekomposisi serasah adalah mikroorganisme tanah atau jasad renik, seperti
bakteri, aktinomisetes, cendawan tanah, ganggang dan protozoa. Dengan
demikian curah hujan sebenarnya berperan dalam penciptaan lingkungan yang
mendukung kehidupan mikroorganisme tanah.
Proses dekomposisi bahan organik merupakan reaksi enzimatik yang
menghasilkan tiga macam keluaran, yaitu : (1) energi yang dibebaskan oleh jasad
mikro, (2) hasil akhir yang sederhana, dan (3) humus (Soepardi, 1983 dalam
Hilwan, 1993).

13

Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran atau fragmentasi atau
pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai
(scavenger) terhadap hewan-hewan mati atau oleh hewan-hewan herbivora
terhadap tumbuhan dan menyisakannya sebagai bahan organik mati yang
selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil.
Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi dengan bekerjanya bakteri
yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik
hasil proses fragmentasi. Proses dekomposisi oleh bakteri dimulai dengan
kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang mampu mengautolisis jaringan
mati melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim yang
menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan
karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Beberapa dari senyawa
sederhana yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer (Sunarto, 2004 dalam
Dita, 2007).
Serasah yang kaya nutrisi cenderung lebih cepat terdekomposisi dari pada
serasah yang miskin nutrisi pada lantai hutan yang sama. Nisbah C/N sering
digunakan sebagai petunjuk laju dekomposisi yang baik. Percobaan perombakan
N dan P dapat meningkatkan laju dekomposisi serasah. Residu tanaman yang
mempunyai kandungan bahan organik maupun nutrisi tanaman yang mempunyai
dinding sel yang tinggi umumnya memiliki konsentrasi nutrisi yang rendah.
Pengetahuan mengenai kandungan bahan organik maupun nutrisi tanaman baik
untuk menduga laju dekomposisi (Waring and Schlesingan, 1985 dalam Dita,
2007).
Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktorfaktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi
itu sendiri. Perlu diingat pula bahwa faktor lingkungan yang mendukung proses
dekomposisi dalam kondisi yang terbatas dan bukan hanya dimanfaatkan oleh
bakteri tetapi juga oleh organisme lainnya. Persaingan atas carrying capacity baik
berupa oksigen maupun bahan organik, menjadi faktor kendali dalam kondisi
dekomposisi. Ketersediaan bahan organik yang melimpah mungkin tidak berarti
banyak dalam mendukung dekomposisi bila faktor lain seperti oksigen tersedia

14

dalam kondisi terbatas. Kedua faktor ini merupakan faktor kritis bagi dekomposisi
aerobik (Sunarto, 2004 dalam Dita, 2007).

C. Jenis Tanaman
1. Jarak pagar (Jatropha curcas Linn)

Menurut Hambali (2006) tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Euphobiales

Family

: Euporbiaceae

Genus

: Jatropha

Species

: Jatropha curcas Linn

Menurut Hambali (2006) tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn)
berasal dari Amerika Tengah dan didistribusikan oleh pelaut portugis melalui
Pulau Cape Verde ke berbagai negara di Afrika dan di Asia. Jarak pagar telah
lama dikenal masyarakat di berbagai daerah Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan
oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an, yang mana masyarakat diperintahkan
untuk melakukan penanaman Jarak pagar sebagai pagar pekarangan.
Pohon Jarak pagar berupa perdu dengan tinggi tanaman 1-7 m, bercabang
tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, bila terluka mengeluarkan getah. Daun
tanaman Jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk, bersudut 3 atau 5, yang
tersebar di sepanjang batangnya. Permukaan bagian atas dan bawah daun
berwarna hijau dimana bagian bawah lebih pucat dibandingkan dengan
permukaan atas. Daunnya lebar, berbentuk jantung atau bulat telur melebar
dengan panjang 5-15 cm, helai daunnya bertoreh, berlekuk dan ujungnya
meruncing. Tulang daunnya menjari dengan jumlah 5-7 tulang daun utama.
Daunnya dihubungkan dengan tangkai daun sepanjang 4-15 cm ke batang.
Panjang tangkai daun antara 4-15 cm. Bunga berwarna kuning kehijauan,
berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah satu. Bunga jantan dan bunga

15

betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul di ujung batang atau
ketiak daun. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat, diameter 2-4 cm, berwarna
hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi menjadi 3
ruang yang masing-masing ruang diisi 3 biji. Bji berbentuk bulat lonjong, warna
coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen
sekitar 30-50%.
Jarak pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 mdpl.
Curah hujan yang sesuai untuk tanaman Jarak pagar adalah 625 mm/tahun.
Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300-2380
mm/tahun kisaran suhu yang sesuai untuk bertanam jarak adalah 20-26o C. Pada
daerah dengan suhu terlalu tinggi (di atas 35o C) atau terlalu rendah (di bawah 15o
C) akan menghambat pertumbuhannya dan mengurangi kadar minyak dalam biji
jarak serta mungkin pula dapat mengubah komposisi asam lemaknya.
Tanaman Jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang tahan kekeringan.
Tanaman ini juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan yang beriklim
panas, tandus dan berbatu. Wilayah yang cocok sebagai tempat tumbuhnya yaitu
di dataran rendah hingga ketinggian 300 mdpl. Namun sebaran tumbuhan dapat
mencapai ketinggian 1000 mdpl, dengan temperatur tahunan sekitar 18-28.5o C.
Tanaman Jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu menahan
air dan tanah, sehingga merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan
ragam tekstur dan jenis tanah, baik pada tanah berbatu, tanah berpasir maupun
tanah berlempung atau tanah liat. Disamping itu, Jarak pagar juga dapat
beradaptasi pada tanah-tanah yang kurang subur atau tanah beragam, memiliki
drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0-6.5.

2. Mahoni (Swietenia macrophylla King)

Swietenia macrophylla King di Indonesia biasa dikenal dengan nama
Mahoni. Mahoni di negara lain dikenal dengan nama henduras, tobasco,
Nicaragua (Venezuela), aquano (Peru), cruca (Bolivia), American mahagony,
baywood (Inggris), amerikaans mahonie (Belanda), mahagony (Amerika serikat)
(Thahjono, 1972) dalam Nugraha (2008).

16

Menurut Thahjono, 1972 dalam Nugraha (2008), dalam sistem klasifikasi
Mahoni mempunyai penggolongan sebagai berikut :
Kerajaan

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Angiospermae

Sub Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Sapindales

Family

: Meliaceae

Genus

: Swietenia

Species

: Swietenia macrophylla

Mahoni merupakan pohon yang menggugurkan daun, ketinggiannya dapat
mencapai tinggi 35 m, memiliki tajuk yang cukup rapat, lebat dan berwarna hijau
tua. Batang kurang lebih berakar papan, kulit kelabu gelap, beralur dengan jarak
yang lebar, agak mengelupas. Cabang atau ranting memiliki warna coklat
kekelabuan, bunga berupa kuncup besar, tertutup oleh sisik tebal berwarna coklat,
dan tidak berbulu.
Manfaat Mahoni menurut Pandit dan Ramdan (2002), kayu ini biasa dipakai
untuk pembuatan perabot rumah tangga, vinir indah dan kayu lapis, barang
kerajinan dan perpatungan, barang bubutan, pintu panel, dan komponen alat
musik.
Habitat asli Mahoni berasal dari wilayah Neotropics, dari selatan Florida,
Caribbean, Mexico, dan selatan Amerika pusat ke Bolivia. Penyebaran mahoni di
Indonesia meliputi seluruh Pulau Jawa diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Gunung Hambalang, Kampung Sukamantri,
Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor antara
bulan Mei dan Juni 2009, dengan objek penelitian Jatropha curcas Linn dan
Swietenia macrophylla King.

B. Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah daun
tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) dan Mahoni (Swietenia macrophylla
King) sebagai pembanding.

Peralatan penunjang yang digunakan litter bag

(kantong serasah) yang yang terbuat dari kain kasa atau nylon memiliki mata jala
1 mm berukuran 15 cm x 30 cm, kamera, tali plastik, patok bambu, oven,
timbangan dan kantung plastik.

C. Metode Penelitian
1. Penentuan plot

Penelitian dilakukan pada dua jenis tanaman yaitu tanaman Jarak pagar dan
Mahoni. Menggunakan rancangan acak lengkap sebagai rancangan percobaan,
sehingga pada setiap tegakan diletakkan sebanyak 24 kantung serasah secara
sistematik (4 baris dan 6 kolom). Gambar 2 menampilkan sistematika peletakan
kantung serasah di lapangan.

18

Gambar 2. Sistematika peletakan kantung serasah daun Jarak pagar dan Mahoni

2. Pengukuran parameter

Dalam penelitian ini variabel yang diamati dan diukur antara lain: berat
kering awal serasah (gram), berat akhir serasah (gram), penurunan bobot (%), laju
dekomposisi (%) per minggu.
Langkah-langkah pengukuran pendugaan laju dekomposisi serasah adalah
sebagai berikut :
a.

Kantung serasah diisi dengan serasah sebanyak 20 gram berat kering.
Sebelum dimasukkan ke dalam kantung serasah, serasah dioven terlebih
dahulu selama 24 jam dengan suhu 105o C .

b.

Kantung serasah yang telah berisi serasah diletakkan di lantai hutan, sehingga
kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah. Untuk menjaga agar
kantung serasah tidak berpindah maka diikatkan pada patok bambu. Serasah
disusun secara sistematik yaitu 4 baris dan 6 kolom.

c.

Setiap satu minggu sekali diambil 6 kantung serasah dalam satu baris tiap
jenis tegakan.

d.

Serasah yang telah diambil lalu dioven selama 24 jam dengan suhu 105o C.

e.

Serasah yang telah dioven kemudian ditimbang untuk diukur berat keringnya.

Penurunan bobot didapat dengan rumus:
W = Wo – Wt x 100%
Wo
Dimana :

Wo

= berat kering awal serasah

Wt

= berat kering akhir serasah (gram) per periode waktu t

W

= penurunan bobot

19

Laju dekomposisi diduga dengan rumus :
D = Penurunan bobot
Minggu
Dimana :

D = pendugaan laju dekomposisi

3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 1 perlakuan yaitu waktu yang
diulang sebanyak 6 kali. Dengan demikian terdapat 6 unit contoh.
Untuk mengetahui pengaruh waktu yang diberikan terhadap laju
dekomposisi serasah yang diamati, dilakukan analisis keragaman yang diperoleh
dari pengolahan data dengan menggunakan program Minitab.

Yij =

+ τi + ε ij

Dimana :
Yij

: Nilai pengamatan minggu ke-i pada ulangan ke-j.
: Nilai rataan umum.

τi

: Pengaruh minggu ke-i.

ε ij

: Pengaruh acak dari minggu ke-i pada ulangan ke-j.

Hipotesis
Bentuk hipotesis yang akan digunakan/diuji adalah sebagai berikut:
a. Menguji hubungan antara waktu (minggu) dengan laju dekomposisi serasah
Jarak pagar.
Ho : Minggu tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah
Jarak pagar.
H1 : Minggu memiliki pengaruh laju dekomposisi serasah Jarak pagar.
b. Menguji hubungan antara waktu (minggu) dengan laju dekomposisi serasah
Mahoni
Ho: Minggu tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah
Mahoni.

20

H1 : Minggu memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah Mahoni.
c. Menguji hubungan antara Jenis dengan laju dekomposisi
Ho : Jenis tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi.
H1 : Jenis memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi.

BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI

A. Sejarah kawasan

Taman hutan Hambalang terletak di petak 1 Kelompok Hutan Hambalang
Barat, Bagian Hutan Mega Mendung, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH
Bogor. Kawasan ini secara administratif termasuk dalam Desa Karang Tengah,
Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.
Kelompok Hutan Gunung Hambalang (Hambalang Barat) dikukuhkan tahun
1976 dengan pembuatan BATB tangga 01 Maret 1976 dan disyahkan tanggal 30
Maret 1976. Luas kawasan Hutan Gunung Hambalang hasil pengukuhan tersebut
adalah 6.695,32 Ha.
Setelah pengukuhan, dalam rangka penyusunan bagan kerja KPH Bogor
jangka 1 April 1976 sampai 31 Maret 1981 dilakukan penataan hutan untuk
seluruh kawasan hutan KPH Bogor dengan kegiatan risalah hutan.
Tahun 1996 dilakukan kegiatan penataan pertama Kelas Perusahaan Pinus
untuk jangka 1997 – 2006 dengan kegiatan meliputi : penataan batas (tata batas),
pembagian hutan, inventarisasi hutan (risalah hutan, pembagian batas anak petak
dan penandaan batas anak petak) sampai penyusunan RPKH, termasuk di
dalamnya Kelompok Hutan Gunung Hambalang.
Tahun 2003 perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(SK. Menhut N0. 174/2003) dan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (SK. Menhut No. 175/2003) berdampak terhadap berkurangnya luas
kawasan Kelas Perusahaan Pinus KPH Bogor dari 23.280,10 Ha menjadi 9.438,80
Ha dan adanya Rescoring Fungsi Kawasan (SK. Menhut No. 195/2003)
mengharuskan dilakukan revisi RPKH tahun berjalan. Revisi dilakukan untuk sisa
jangka RPKH 2004 – 2006 dengan kegiatan penyusunan RPKH menggunakan
data hasil penjelajahan lapangan dari petugas KPH Bogor.
Tahun 2006 dilakukan penataan ulang oleh Seksi Perencanaan Hutan I
Bogor untuk jangka RPKH 2007 – 2016 dengan kegiatan meliputi: penataan
batas, pembagian hutan, inventarisasi hutan (risalah hutan, pembagian batas anak
petak dan penandaan batas anak petak) hingga penyusunan buku RPKH.

22

Kawasan Taman Hutan Gunung Hambalang saat ini meliputi areal seluas
186,70 Ha (sesuai MoU) merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Adapun batas-batas lokasi Taman Hutan Gunung Hambalang adalah :
a. Sebelah Utara

: Ex Perkebunan PT. Hambalang

b. Sebelah Timur

: Petak 2 kawasan hutan RPH Babakan Madang BKPH
Bogor, KPH Bogor

c. Sebelah Selatan

: Kampung Leuwi Goong dan Sukamantri, Desa Karang
Tengah

d. Sebelah Barat

: Kampung Karang Tengah, Desa Karang Tengah dan Ex
Perkebunan PT. Hambalang

B. Vegetasi

Jenis tanaman yang terdapat di petak 1 antara lain Pinus, Mahoni, Khaya
anthotheca, Picung, Nangka. Sebagian areal ditanami palawija oleh masyarakat
sekitar yang umumnya berupa tanaman Singkong, Pandan wangi, dan Pisang.

C. Iklim

Iklim di wilayah ini termasuk tipe A (Schmidt and Fergusson) dengan curah
hujan rata-rata mencapai 3.000 – 3.500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi
umumnya terjadi pada bulan Februari dan curah hujan terendah pada bulan
Agustus. Menurut catatan BP DAS ciliwung – Cisadane kawasan Taman Hutan
Gunung Hambalang termasuk daerah tangkapan air yang kondisinya masuk dalam
kategori kritis.

D. Topografi

Lokasi Taman Hutan Hambalang terletak pada ketinggian sekitar 320 – 390
mdpl. Topografi lahan bervariasi mulai dari datar hingga agak curam dengan
fungsi Hutan Produksi Terbatas (HPT).

23

E. Tanah

Jenis tanah di kawasan Taman Hutan Gunung Hambalang adalah asosiasi
latosol coklat dengan batuan induk berupa batuan endapan dan vulkan. Struktur
tanah sarang, sedikit berbatu dan kedalaman humus agak dalam dengan fisiografi
tanah vulkan dan batu lipatan.

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Serasah daun Jarak pagar setelah terdekomposisi selama 4 minggu
mengalami kehilangan bobot sebesar 35.16 % dari bobot awal sebesar 20 gram
dengan rata-rata laju dekomposisi 14.38 % per minggunya dan laju dekomposisi
tertinggi terjadi pada minggu pertama yaitu 24.03 %. Serasah daun Mahoni
setelah terdekomposisi selama 4 minggu mengalami kehilangan bobot 21.68 %
dari bobot awal sebesar 20 gram dengan rata-rata laju dekomposisi sebesar 9.70 %
per minggunya dan laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu pertama yaitu
sebesar 16.86 %. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan penurunan bobot dan laju dekomposisi pada
serasah daun Jatropha curcas Linn dan Swietenia macrophylla King
Waktu
(Minggu )

No

Serasah daun Jatropha curcas Linn
Bobot
(gram)

I

II

III

1
15.03
2
15.04
3
15.15
4
15.86
5
15.03
6
15.06
Rata-rata/minggu
1
14.70
2
14.59
3
14.32
4
14.71
5
14.54
6
14.37
Rata-rata/minggu
1
13.55
2
13.41
3
13.36
4
13.24
5
13.51
6
13.21

Penurunan
bobot (%)

Laju
Dekomposisi
(%perminggu)

24.85
24.80
24.25
20.70
24.85
24.70
24.03
26.50
27.05
28.40
26.45
27.30
28.15
27.31
32.25
32.95
33.20
33.80
32.45
33.95

24.85
24.80
24.25
20.70
24.85
24.70
24.03
13.25
13.53
14.20
13.23
13.65
14.08
13.66
10.75
10.98
11.07
11.27
10.82
11.32

Serasah daun Swietenia macrophylla
King
Bobot
Penurunan
Laju
(gram)
bobot (%) Dekomposisi
(%
perminggu)
16.62
16.90
16.90
16.56
17.20
17.20
16.95
15.25
15.25
16.54
17.30
17.30
16.90
15.50
15.50
16.20
19.00
19.00
16.86
16.01
19.95
9.98
16.04
19.80
9.90
16.45
17.75
8.88
16.22
18.90
9.45
16.50
17.50
8.75
16.02
19.90
9.95
9.49
15.50
22.50
7.50
15.42
22.90
7.63
16.12
19.40
6.47
16.02
19.90
6.63
16.01
19.95
6.65
15.52
22.40
7.47

25

Waktu
(Minggu )

No

Serasah daun Jatropha curcas Linn
Bobot
(gram)

Rata-rata/minggu
1
13.50
2
13.01
3
12.46
4
12.52
5
13.21
6
13.11
Rata-rata/minggu
Rata-rata

IV

Penurunan
bobot (%)

33.10
32.50
34.95
37.70
37.40
33.95
34.45
35.16

Laju
Dekomposisi
(%perminggu)
11.04
8.13
8.74
9.43
9.35
8.49
8.61
8.79
14.38

Serasah daun Swietenia macrophylla
King
Bobot
Penurunan
Laju
(gram)
bobot (%) Dekomposisi
(%
perminggu)
7.06
15.41
22.95
5.74
15.37
23.15
5.79
16.01
19.95
4.99
15.87
20.65
5.00
15.98
20.10
5.03
15.34
23.30
5.83
5.40
Rata-rata
9.70

Adapun analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Jatropha
terhadap minggu disajikan pada Tabel 2, didapatkan P value adalah 0.000. Nilai
ini lebih kecil dari 0.05, yang artinya waktu (minggu) berpengaruh nyata terhadap
laju dekomposisi.

Tabel 2. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Jatropha
terhadap minggu
Sumber

DB

JK

KT

F hit

P value

Jenis

3

815.806

271.935

341.77

0.000

Galat

20

159.14

0.796

Total

23

831.720

keragaman

r-sq = 98.09 %

Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Swietenia terhadap
minggu disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui P value adalah 0.000 yang
berarti lebih kecil dari 0.05. Hal ini berarti waktu (minggu) berpengaruh nyata
terhadap laju dekomposisi.

26

Tabel 3. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Swietenia
terhadap minggu
Sumber

DB

JK

KT

F hit

P value

Jenis

3

460.710

153.570

233.07

0.000

Galat

20

13.178

0.659

Total

23

475.888

keragaman

r-sq = 97.22 %

Hubungan antara laju dekomposisi Jatropha curcas Linn dan Swietenia
macrophylla King dengan periode waktu (minggu) masing-masing Y = 26.5 4.83X dan Y = 18.9 - 3.68X. Gambar 3 dan 4 menggambarkan laju dekomposisi
Jatropha dan Swietenia terhadap waktu (minggu).

Gambar 3. Analisis regresi antara laju dekomposisi daun Jatropha curcas Linn
terhadap waktu, Y = 26.5 – 4.83x

27

Gambar 4. Analisis regresi antara laju dekomposisi daun Swietenia macrophylla
King terhadap waktu, Y = 18.9 - 3.68X
Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi disajikan
pada Tabel 4 dan Gambar 5 menggambarkan perbedaan laju dekomposisi antara
Jarak pagar dan Mahoni. Dari Tabel 4 dapat diketahui P value adalah 0.004 yang
berarti lebih kecil dari 0.05. Hal ini berarti faktor jenis berpengaruh nyata
terhadap laju dekomposisi.

Tabel 4. Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi
Sumber

DB

JK

KT

F hit

P value

Jenis

1

262.55

262.55

9.25

0.004

Galat

46

1305.61

28.38

Total

47

1568.16

keragaman

28

Gambar 5. Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi

B. Pembahasan
Salah satu tindakan pencegahan terjadi atau meluasnya kebakaran hutan dan
lahan adalah dengan metode pembuatan jalur hijau. Jalur hijau biasanya tertutup
vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah atau sulit terbakar.
Menurut Husaeni (2003) dalam Suratmo (2003), jalur hijau merupakan modifikasi
sekat bahan bakar. Jalur hijau merupakan sekat bahan bakar yang vegetasinya
dipertahankan tetap hidup dan hijau, dengan cara irigasi. Biaya irigasi ini cukup
mahal sehingga di Indonesia, jalur hijau ini berupa vegetasi pohon atau perdu.
Bila jalur hijau ini dibuat dengan cara penanaman, pohon atau perdu yang dipilih
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Tahan kebakaran, artinya pohon/perdu itu bisa tetap hidup bila terbakar.
2. Selalu hijau (evergreen), artinya pohon/perdu itu tidak gugur daun pada musim
kemarau.
3. Tajuknya rimbun, agar mampu menekan gulma yang tumbuh di bawahnya.
4. Cepat tumbuh dan mudah bertrubus bila dipangkas.
5. Serasah mudah terdekomposisi, agar tidak terjadi penumpukan serasah.
6. Mempunyai manfaat/kegunaan lain selain untuk menghambat penjalaran api
kebakaran hutan.
Menurut penelitian Suryahadi (2006) didapatkan bahwa tanaman Jarak
pagar memenuhi persyaratan sebagai tanaman jalur hijau berdasarkan kandungan

29

fisika dan kimianya. Hal ini dikarenakan tanaman Jarak pagar merupakan tanaman
yang relatif tahan pembakaran. Dari hasil uji pembakaran Jarak pagar didapatkan
persen tumbuh Jarak pagar setelah pembakaran sebesar 80%.
Jarak pagar juga merupakan tanaman yang selalu hijau (ever green) dimana
perdu Jarak pagar selalu hijau sepanjang musim dan tidak mengalami gugur daun
pada saat musim kemarau. Hal ini dapat meminimalisir penumpukan bahan bakar.
Selain itu Jarak pagar juga memiliki tajuk yang cukup rimbun, dimana l