Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar

(

Jatropha Curcas

L.) Pada Tikus Putih Jantan (

Rattus

novergicus

) Galur

Sprague Dawley

Secara

In Vivo

SKRIPSI

Widya Larasaty

NIM. 109102000016

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA OKTOBER 2013


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar

(

Jatropha Curcas

L.) Pada Tikus Putih Jantan (

Rattus

novergicus

) Galur

Sprague Dawley

Secara

In Vivo

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

Widya Larasaty

NIM. 109102000016

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA OKTOBER 2013


(3)

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Widya Larasaty

NIM : 109102000016

Tanda Tangan :


(4)

(5)

(6)

Nama : Widya Larasaty Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

Penelitian ini dilakukan untuk menguji efek antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus putih jantan. Ekstrak diberikan secara oral sekali sehari selama 48 hari yang terdiri dari 20 ekor tikus jantan galur Sprague Dawley dan dibagi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol (Na CMC 1%), kelompok perlakuan dosis rendah (5 mg/kg BB), dosis sedang (25 mg/kg BB), dan dosis tinggi (50 mg/kg BB). Parameter yang dilakukan meliputi bobot testis, konsentrasi spermatozoa, diameter tubulus seminiferus, dan spermatosit pakiten, dan sel sertoli. Hasil yang didapat kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ANOVA satu arah dan dilanjutkan dengan uji Multiple Comparisons. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etil asetat biji jarak pagar dengan dosis I (5 mg/kg BB), II (25 mg/kg BB), dan III (50 mg/kg BB) memberikan penurunan yang bermakna terhadap konsentrasi spermatozoa, bobot testis, dan diameter tubulus seminiferus dibandingkan dengan kontrol (p ≤ 0,05). Jumlah spermatosit pakiten dan jumlah sel Sertoli dihitung pada seluruh tahapan dan jumlah spermatosit pakiten per jumlah sel Sertoli masing-masing dihitung dalam tahap II, VII, dan XII dari siklus epitel seminiferus. Hasil menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dosis 25 mg/kg BB dan 50 mg/kg BB, yaitu terjadi penurunan jumlah spermatosit

pakiten pada kelompok perlakuan (p ≤ 0,05). Terjadi penurunan jumlah sel Sertoli

secara bermakna pada dosis 5 mg/kg BB dan 25 mg/kg BB. Dari beberapa hasil pengamatan tersebut, disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat biji jarak pagar dapat mempengaruhi spermatogenesis tikus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai bahan kontrasepsi pria.

Kata kunci : Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.), bobot testis, konsentrasi spermatozoa, diameter tubulus seminiferus, spermatosit pakiten, sel sertoli.


(7)

ABSTRACT

Name : Widya Larasaty

Program Study : Farmasi

Title : Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

This study was aimed to find out anti-fertility effects of etil asetic extract of Jatropha curcas seeds of male rats. The extract was given orally once a day for 48 days. The sample consisted of 20 Sprague Dawley male rats that were divided four groups: control group (CMC Na 1%), treatment I (5 mg/kg BW), II (25mg/kg BW), and III (50 mg/kg BW). The result of experiment was analyzed by using One Way ANOVA and by Multiple Comparisons test. The results showed that etil asetic extract of Jatropha curcas seed in dosage 5 mg/kg BW, 25 mg/kg BW, and 50 mg/kg BW resulted significant decrease to sperm concentration, testis weight,

and diameter of seminiferous tubules compared with control (p ≤ 0,05). The

number of pachytene spermatocytes and Sertoli cells were counted in all stages and number of pachytene spermatocytes per Sertoli cells were counted stage II, VII, and XII of cycles of the seminiferous epithelium. The results showed significant difference between the control and the treatment dosage 25 mg/kg BW and treatment 50 mg/kg BW groups. There were decrease in the number of pachyten spermatocytes in treatment groups (p ≤ 0,05). A decline in the number of Sertoli cells was significantly in dosage 5 mg/kg BW and 25 mg/kg BW. This showed that the etil asetic extract of Jatropha curcas seed influenced the spermatogenesis of rat. It ids hoped that results of this study can be used to develop a male contraceptive method.

Keyword : Jatropha curcas seed, testis weight, sperm concentration, diameter of seminiferous tubules, sperm concentration, pachytene spermatocytes, cell certoly.


(8)

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Skripsi yang berjudul “Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis menyadari ada beberapa pihak yang sangat memberikan kontribusi kepada penulis. Maka, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai pembimbing, terima kasih atas arahan, bimbingan dan kesabaran dalam meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk membimbing penulis selama ini.

2. Drs. Umar Mansur M.Sc, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Azrifitria, M.Si, Apt sebagai pembimbing, terima kasih telah banyak memberikan ilmu, pengarahan, waktu, dan bimbingan kepada penulis selama menyusun skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

5. Kedua orang tua, yang telah memberikan dorongan, semangat, dan pengertiannya bagi penulis baik secara moril dan materil.

6. Seluruh kakak-kakak laboran yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian di kampus.

7. Teman seperjuangan sepenelitian Indah Fadlul Maula, terima kasih atas bantuan, motivasi, dan kebersamaannya selama penelitian.


(9)

doa, semangat, serta masukan kepada penulis untuk kelancaran penyusunan skripsi.

9. Teman-teman satu Lab. Hewan (Indah, Liza, Nida, Emma, Migy), terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya selama penelitian.

10. Teman-teman seperjuangan Farmasi 2009 A dan B yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih telah memberkan doa, dukungan, kebersamaan, dan persaudaraan selama ini untuk penulis.

11. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun guna memperbaiki kemampuan penulis.

Jakarta, 23 Oktober 2013


(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Widya Larasaty

NIM : 109102000016

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

UJI ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus)

GALUR Sprague Dawley SECARA IN VIVO.

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : 23 Oktober 2013

Yang menyatakan,


(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Jarak Pagar (Jatropha curcas L) ... 6

2.1.1 Sejarah dan Sinonim ... 6

2.1.2 Morfologi ... 6

2.1.3 Taksonomi Tumbuhan ... 7

2.1.4 Kandungan Bahan Aktif... 7

2.1.5 Kegunaan ... 8

2.2 Simplisia dan Ekstrak ... 8

2.2.1 Simplisia ... 8

2.2.2 Ekstrak ... 9

2.3 Ekstraksi ... 9

2.3.1 Cara Dingin ... 10

2.3.2 Cara Panas ... 10

2.3.3 Destilasi ... 11

2.3.4 Cara Ekstraksi Lainnya ... 11

2.4 Tinjauan Hewan Percobaan... 13

2.4.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 14

2.4.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 14

2.5 Sistem Reproduksi Tikus Jantan ... 15

2.5.1 Produksi Sperma ... 16

2.5.2 Spermatogenesis Pada Tikus ... 17


(12)

3.2 Alat dan Bahan ... 20

3.2.1 Hewan Uji ... 20

3.2.2 Bahan Uji ... 20

3.2.3 Bahan Kimia ... 20

3.2.4 Alat ... 21

3.3 Rancangan Penelitian ... 21

3.4 Kegiatan Penelitian ... 22

3.4.1 Pemeriksaan Simplisia ... 22

3.4.2 Penyiapan Simplisia ... 22

3.4.3 Pembuatan Ekstrak ... 22

3.4.4 Penapisan Fitokimia ... 23

3.4.5 Parameter Spesifik dan Non Spesifik ... 25

3.4.6 Persiapan Hewan Uji ... 26

3.4.7 Pemberian Perlakuan ... 27

3.4.8 Pembuaan Preparat ... 27

3.4.9 Pengukuran Parameter Uji ... 28

3.4.9.1 Pengukuran Bobot Testis ... 28

3.4.9.2 Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa ... 28

3.4.4 Pengamatan Jumlah Sel Germinal dan Diameter Tubulus Seminiferus ... 29

3.5 Analisa Data ... 30

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Hasil Penelitian ... 31

4.1.1 Ekstraksi ... 31

4.1.2 Penapisan Fitokimia ... 31

4.1.3 Parameter Standar ... 32

4.1.4 Pengukuran Berat Badan Tikus ... 32

4.1.5 Hasil Pengukuran Bobot Testis ... 33

4.1.6 Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa ... 34

4.1.7 Pengukuran Diameter Tubulus Seminiferus ... 34

4.1.8 Perhitungan Perbandingan Jumlah Spermatosit Pakiten Sel Sertoli ... 35

4.2 Pembahasan ... 36

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(13)

Halaman

Tabel 2.1 Data Biologis Tikus ... 12

Tabel 3.1 Pengenceran yang Dilakukan dan Kotak yang Dihitung ... 28

Tabel 3.2 Cara Pengenceran ... 28

Tabel 3.3 Rumus Konsentrasi Spermatozoa ... 29

Tabel 4.1 Hasil Penapisan Fitokimia ... 31

Tabel 4.2 Parameter Standar ... 32

Tabel 4.3 Rerata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok ... 33

Tabel 4.4 Rata-rata Bobot Testis Tikus ... 33

Tabel 4.5 Rata-rata Konsentrasi Spermatozoa ... 34

Tabel 4.6 Rata-rata Diameter Tubulus Seminiferus ... 34

Tabel 4.7 Rata-rata Jumlah Spermatosit Pakiten per Jumlah Sel Sertoli 35

Tabel 4.8 Rata-rata Jumlah Spermatosit Pakiten ... 35


(14)

Halaman

1. Bunga, buah, dan biji ... 7

2. Anatomi sistem reproduksi tikus jantan ... 14

3. Spermatozoa tikus ... 16

4. Tahapan dari siklus sel spermatogenesis pada tikus ... 17

5. Blender (Phillips) ... 58

6. Timbangan analitik ... 58

7. Oven (Memmert) ... 58

8. Tanur (Thermo Scientific) ... 58

9. Freezedryer ... 58

10. Vacuum rotary evaporator (Eyela) ... 58

11. Timbangan hewan (Ohauss) ... 58

12. Sonde oral ... 58

13. Alat bedah minor ... 58

14. Kandang tikus ... 58

15. Wadah Pembiusan ... 58

16. Hemositometer Improved Neubauer ... 59

17. Mikropipet (Eppendorf Research Plus) ... 59

18. Vortex (Wiggen Hauser) ... 59

19. Mikroskop Cahaya ... 59

20. Biji jarak pagar ... 59

21. Serbuk biji jarak pagar ... 59

22. Proses maserasi biji jarak pagar ... 59

23. Penyaringan maserat ... 59

24. Pemekatan ekstrak dengan vacuum rotary evaporator ... 59

25. Ekstrak etil asetat biji jarak pagar ... 59

26. Ekstrak yang telah disuspensikan dalam Na CMC ... 59

27. Larutan Na CMC 1% ... 59

28. Penimbangan ekstrak etil asetat biji jarak pagar ... 59

29. Tikus putih jantan Sprague Dawley ... 60

30. Penimbangan berat badan tikus ... 60

31. Penyondean ekstrak ... 60

32. Tikus dinekrosis dengan eter ... 60

33. Testis dan kauda epididimis tikus ... 60


(15)

Halaman

1. Hasil Determinasi Tanaman ... 56

2. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar ... 57

3. Gambar Bahan dan Alat Penapisan ... 58

4. Gambar Kegiatan Penelitan ... 59

5. Pemeriksaan Parameter Ekstrak ... 61

6. Alur Penelitian ... 62

7. Perhitungan Dosis Uji Ekstrak Biji Jarak Pagar ... 64

8. Berat Badan Tikus Jantan ... 65

9. Hasil Pengukuran Bobot Testis ... 67

10. Hasil Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa ... 68

11. Hasil Pengukuran Diameter Tubulus Seminiferus ... 69

12. Hasil Perhitungan Jumlah Spermatozoa Pakiten per Jumlah Sel Sertoli ... 70

13. Hasil Perhitungan Jumlah Spermatosit Pakiten ... 71

14. Hasil Perhitungan Jumlah Sel Sertoli ... 72

15. Analisis Data Bobot Testis ... 73

16. Analisis Data Konsentrasi Spermatozoa ... 76

17. Analisis Data Jumlah Spermatosit Pakiten per Jumlah Sel Sertoli ... 79

18. Analisis Data Diameter Tubulus Seminiferus ... 84

19. Analisis Data Jumlah Spermatosit Pakiten ... 88

20. Analisis Data Jumlah Sel Sertoli ... 91

21. Pengamatan Histologi Sediaan Testis ... 94


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kependudukan masih tetap menjadi masalah yang penting, karena erat kaitannya dengan aspek pengendalian kuantitas penduduk, peningkatan kualitas penduduk dan pengarahan mobilitas penduduk, jika dikaitkan dengan potensi ancaman ledakan penduduk ke depan. Upaya pengendalian kuantitas penduduk dilakukan melalui Keluarga Berencana (KB). Melalui program KB maka setiap keluarga dapat merencanakan kehidupannya menjadi lebih berkualitas dan sejahtera, yaitu dengan membentuk keluarga kecil yang berkualitas (Bappenas, 2012).

Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga, untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Program Keluarga Berencana bertujuan untuk memenuhi permintaan pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi yang berkualitas serta mengendalikan angka kelahiran yang pada akhirnya meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan keluarga-keluarga kecil berkualitas (Oktaviani, 2008).

Di Indonesia, keterlibatan laki-laki dalam keluarga berencana khususnya dalam pengaturan jumlah anak selama ini masih dirasakan kurang. Program keluarga berencana, selama ini masih memfokuskan kepada alat KB untuk perempuan, sedangkan terhadap konteks pengendalian fertilitas laki-laki masih sangat kurang. Selama ini alat kontrasepsi untuk laki-laki yang tersedia hanya kondom atau dengan cara operasi (vasektomi). Terdapat petunjuk bahwa vasektomi bersifat irreversibel, sedangkan kelemahan utama dalam penggunaan kondom adalah efek psikis karena daya sensitivitas berkurang (Adimunca, 1996).

Kontrasepsi yang ideal harus memenuhi beberapa syarat-syarat sebagai berikut: 1) dapat dipercaya; 2) tidak menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan; 3) daya kerjanya dapat diatur menurut kebutuhan (reversibel); 4) tidak dapat


(17)

menerus; 6) mudah penggunaannya; 7) murah harganya sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan alat kontrasepsi yang ideal untuk pria harus dapat mencegah terjadinya fertilisasi, aman, mempunyai kinerja cepat, tanpa efek samping, dan tidak mempengaruhi potensi seks dan libido. Para peneliti terus melakukan riset agar dapat menemukan metode kontrasepsi ideal tersebut. Salah satu hal yang sedang dikembangkan saat ini adalah penggunaan tanaman obat alami Indonesia sebagai alternatif antifertilitas pria (Depkes, 2006).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis tanaman obat yang berpotensi sebagai antifertilitas pria. Beberapa tanaman tersebut seperti misalnya bunga kembang sepatu (Hibiscus Rosa-sinensis L), pare (Momordica charantia), biji papaya (Carica papaya), kunyit (Curcuma domestica), biji oyong (Luffa acutangula Roxb), daun manggis (Garcinia mengostana), tapak dara (Catharantus roseus), biji kapas (Gossypium hirtusum), cantel (Andropogon sorghum), sitawar (Costus speciosus), dan gandarusa (Justicia gandarussa). Tanaman tersebut dapat menghambat pertumbuhan spermatozoa (spermatogenesis), menggagalkan pematangan sperma, menghambat transportasi sperma melalui degenerasi saluran sperma, dan menghalangi penyimpanan spermatozoa. Ekstrak tanaman pare mengandung senyawa sitotoksik seperti saponin triterpen dan cucurbitacin, yang dapat menurunkan kualitas dan jumlah sel sperma pada tikus jantan. Berdasarkan penelitian I Gusti Nyoman dan Ida Ayu (2009) diketahui bahwa pemberian ekstrak biji klabet pada kelinci jantan dengan dosis 10% (1cc), 20% (1cc), dan 30% (1cc) satu kali sehari selama 50 hari dapat menurunkan sel-sel spermatozoa secara bermakna pada semua dosis perlakuan, semakin besar dosis ekstrak klabet yang diberikan semakin luas kerusakan pada tubulus siminiferi. Selain itu, ekstrak buah pare (Momordica charantia) berpengaruh dalam menurunkan jumlah sel-sel spermatogenik yang meliputi spermatogonium, spermatosit dan spermatid. Dosis yang efektif untuk menurunkan jumlah spermatogonium dan spermatosit adalah 0,03 mg/kg/BB dan 0,05 mg/kg/BB untuk menurunkan jumlah spermatid, namun pada dosis tersebut dapat menimbulkan infiltrasi sel radang limfa dan degerasi sel hepatosit (Jannah, 2009).


(18)

Salah satu tanaman tradisional yang diharapkan dapat menjadi antifertilitas adalah tanaman jarak (Jatropha curcas L.). Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman yang termasuk famili Euphorbiaceae. Tanaman ini memiliki nilai ekonomis tinggi karena biji yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk bahan baku obat dan penghasil minyak. Secara empiris, beberapa negara seperti, Kamboja, Vietnam dan India telah menggunakan biji jarak sebagai agen infertilitas. Di negara Sudan Selatan, biji jarak juga digunakan sebagai agen kontrasepsi oral (Cambie and Brewis, 1999). Adanya senyawa antifertilitas yang disebut jatrophone yang terkandung dalam biji jarak pagar dilaporkan berperan dalam mempengaruhi fertilitas dengan mengganggu kehamilan pada proses mitosis janin (Cambie and Brewis, 1999). Berdasarkan hasil survey berbagai tanaman di India, buah dan biji Jatropha curcas L. menunjukkan aktivitas antifertilitas (Pokharkar et al., 2010). Secara ilmiah, dilaporkan bahwa dengan pemberian ekstrak etanol biji jarak pagar diberikan secara oral mempunyai aktivitas antifertilitas pada tikus betina (Ahirwar et al., 2010). Di samping itu, buah dari tanaman jarak pagar juga mampu menurunkan motilitas dan jumlah sperma serta memiliki aktivitas sebagai abortivum (Shweta et al., 2011).

Penelitian tentang tanaman jarak pagar berpotensi sebagai antifertilitas secara tradisional belum banyak diteliti di Indonesia. Selain itu, penggunaan biji jarak pagar pada sistem reproduksi pria belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antifertilitas dari ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L. ) pada fungsi reproduksi tikus jantan ditinjau dari karakteristik sperma, konsentrasi sperma, serta ukuran diameter tubulus seminiferus testis yang mengacu pada penelitian terdahulu yaitu pada penelitian Widya Dwi Arini (2012) yang menggunakan ekstrak etanol 70% dari biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Pada penelitian sebelumnya yang menggunakan ekstrak etanol 70% biji jarak pagar didapatkan bahwa pada dosis 5 mg/kgBB, 25 mg/kgBB, dan 50 mg/kgBB selama 48 hari pada tikus jantan dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa, bobot testis, dan diameter tubulus seminiferus secara bermakna jika dibandingkan dengan kontrol. Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan dosis dan parameter yang sama


(19)

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Belum banyak tumbuhan di Indonesia yang di teliti sebagai obat antifertilitas pada pria.

2. Sampai saat ini belum banyak penelitian yang meneliti efek biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus putih jantan sampai ke tingkat ekstrak etil asetat.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian uji antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus jantan galur Sprague Dawley secara in vivo yaitu sebagai berikut :

1. Untuk menguji efek antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap konsentrasi spermatozoa tikus putih jantan galur Sprague Dawley secara in vivo.

2. Untuk menguji efek antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap bobot testis tikus putih jantan galur Sprague Dawley secara in vivo.

3. Untuk menguji efek antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap tahapan spermatogenesis tikus putih jantan galur Sprague Dawley secara in vivo.

4. Untuk menguji efek antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap diameter tubulus seminiferus pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley secara in vivo.


(20)

1.4 HIPOTESIS

Hipotesis dari penelitian uji antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus jantan jalur Sprague Dawley secara in vivo sebagai berikut :

1. Ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa tikus putih jantan galur Sprague Dawley secara in vivo.

2. Ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat menurunkan bobot testis tikus putih jantan galur Sprague Dawley secara in vivo.

3. Ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat mengganggu tahapan spermatogenesis tikus putih jantan galur Sprague Dawley secara in vivo.

4. Ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat memberikan efek terhadap berkurangnya diameter tubulus seminiferus pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley secara in vivo.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang manfaat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) sebagai obat antispermatogenik dan memberikan informasi yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu reproduksi yang kemudian dapat digunakan sebagai obat kontrasepsi alami.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) 2.1.1. Sejarah dan Sinonim

Tumbuhan jarak pagar ini dikenal dengan berbagai nama di Indonesia, yaitu (Sunda) Jarak kusta, (Jawa tengah) Jarak Cina, (Madura) Kalele, (Bali) Jarak Pager, (Alor) Kuman Nema, (Gorontalo) Bintalo, (Ternate dan Tidore) Balacai Hisa, (Makasar) Tanggang-Tanggang Kali. Adapun nama asing dari tumbuhan jarak pagar adalah (Bahasa inggris) purging nuts (Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000).

2.1.2. Morfologi Tanaman

Ciri-ciri tumbuhan jarak pagar yaitu :

1. Habitus : Semak, menahun, tinggi 1½-5 m

2. Batang : Berkayu, bulat, bercabang, bergetah, putih kotor 3. Daun : Tunggal, tersebar, berkas daun tampak jelas, bulat telur,

bertoreh, pertulangan menjari, panjang 5-15 cm, lebar 6-16 cm, hijau

4. Bunga : Majemuk, bentuk malai, di ujung batang dan di ketiak

daun, kelopak terdiri dari lima daun kelopak, bulat telur, panjang ± 4 mm, benang sari mengelompok pada pangkal, kuning, tangkai putik tiga, pendek, hijau, kepala putih melengkung keluar, kuning daun mahkota lima, ungu.

5. Buah : Kotak, panjang 2-3 cm, hijau 6. Biji : Bulat telur, coklat kehitaman

7. Akar : Tunggang, putih kotor (Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000).


(22)

Gambar 2.1 Buah dan biji Jatropha curcas L. ( IEEJ, 2009 )

2.1.3. Taksonomi Tumbuhan

Adapun sistematika dari tumbuhan jarak pagar adalah : 1. Kingdom : Plantae

2. Divisi : Spermatophyta 3. Sub Divisi : Angiospermae 4. Kelas : Dicotyledonae 5. Ordo : Euphorbiales 6. Famili : Euphorbiaceae 7. Genus : Jatropha

8. Spesies : Jatropha curcas L. (Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000)


(23)

2.1.4. Kandungan Bahan Aktif

Kandungan kimia dalam biji jarak pagar adalah senyawa seperti flavonoid, viteksin, isoviteksin (Aregheore et al., 2003), beta-sitosterol, Jatropha factor C-1, Jatropha factor C-2, dan curcin (Mastiholimath, 2008). Terdapat juga beberapa senyawa yang terkandung dalam biji jarak seperti saponin, tripsin inhibitor, amylase inhibitor (Punsuvona et al., 2012).

Setiap 100 g biji mengandung 6,6 g H2O, 18,2 g protein, 3,8 g lemak, 33,5 g

total karbohidrat, 15,15 g serat dan 4,5 g abu. Biji dilaporkan juga mengandung glukosa, fruktosa, galaktosa, asam linoleat, asam miristat, asam palmitat, asam stearat, protein, minyak, dan curcin (Mahmud, 2007). Senyawa toksik dalam biji jarak pagar adalah lektin dan phorbolester. Senyawa lektin maupun phorbolester dapat terdegradasi sehingga toksisitasnya berkurang bahkan hilang, yaitu dengan pemanasan dan dengan reaksi kimia. Selain itu, juga terdapat agensia antifertilitas yang disebut jatrophone, yang dilaporkan berperan dalam mempengaruhi fertilitas (Muliani, 2011).

2.1.5. Kegunaan

Olahan dari semua bagian tanaman termasuk biji, daun, dan kulit kayu, segar atau sebagai rebusan digunakan dalam pengobatan tradisional. Lateks dari biji jarak memiliki sifat antibiotik terhadap beberapa bakteri, diterapkan langsung pada luka dan dapat digunakan sebagai antiseptic seperti pada ruam, luka bakar, dan infeksi kulit (Bartoli, 2008).

Dengan menggunakan ekstrak biji jarak pagar dapat mengobati penyakit seperti hernia dan kanker. Di Mesir, biji digunakan untuk pengobatan arthritis, gout, dan jaundice. Biji tanaman ini juga telah digunakan secara tradisionl untuk pengobatan banyak penyakit termasuk luka bakar, kejang, demam, dan peradangan (Prasad et al., 2012). Beberapa Negara seperti, Kamboja, Vietnam, dan India telah menggunakan biji jarak sebagai agensia antifertilitas, sedangkan di Sudan telah menggunakan biji jarak pagar sebagai agensia kontrasepsi (Cambie and Brewis,


(24)

1999). Tunas dari tanaman biji jarak pagar juga menunjukkan adanya aktivitas antioksidan (Shivani et al., 2012).

2.2. Simplisia dan Ekstrak 2.2.1 Simplisia

Simplisia merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk. Pengertian simplisia menurut Departemen Kesehatan RI adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan (mineral).

Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman tertentu atau dengan sengaja dikeluarkan dari selnya (Depkes RI, 2000).

2.2.2. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes,RI, 2000).

Ada beberapa jenis ekstrak yakni : ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi tiap mL ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 g simplisia yanq memenuhi syarat. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang biasanya kadar air lebih 30%. Ekstrak kental jika memilki kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering jika


(25)

2.3. Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus (Depkes, 2000).

2.3.1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan perendaman menggunakan pelarut dengan pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan dengan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian terhadap maserat pertama dan selanjutnya adalah remaserasi (Depkes RI, 2000).

2.3. Tinjauan Hewan Percobaan 2.4.1. Klasifikasi Tikus Putih

Menurut Krinke (2000) klasifikasi Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Order : Rodentia Family : Muridae Genus : Rattus Species : norvegicus


(26)

2.4.2. Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun.

Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat antara tahun 1877 dan 1893. Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Galur Sprague Dawley merupakan galur yang paling besar diantara galur yang lain.

Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans, dan Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus ini pertama kali diproduksi oleh peternakan Sprague Dawley. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. Adapun data biologis tikus sebagai berikut :


(27)

Tabel 2.1. Data biologis tikus yang sejenis dengan penelitian ini (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun

Lama produksi ekonomis I tahun

Lama bunting 20-22 hari

Umur dewasa 40-60 hari

Umur dikawinkan 8-10 minggu (jantan dan betina)

Siklus kelamin Poliestrus

Siklus estrus 4-5 hari

Lama estrus 9-20 jam

Perkawinan Pada waktu estrus

Ovulasi 8- 11 jam sesudah timbul estrus, spontan

Fertilisasi 7-10 jam sesudah kawin

Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi

Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina

Suhu (rektal) 36-39oC (rata-rata 37,5oC)

Pernapasan 65-115/menit, turun menjadi 50 dengan anestesi, naik sampai 150 dalam stress

Denyut jantung 250 bit/menit, turun menjadi 250 dengan anestesi, naik sampai 550 dalam stress

Tekanan Darah 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi 80 sistol, 55 diastol dengan anestesi


(28)

2.5. Sistem Reproduksi Tikus Jantan

Sistem reproduksi tikus jantan terdiri atas testis dan skrotum, epididimis, duktus deferens, kelenjar aksesori (kelenjar vesikulosa, prostat dan bulbouretralis), uretra dan penis. Selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan. Duktus yang menjadi testis, duktuli eferentes bersama duktus epididimis, suatu duktus konvolusi bergelung untuk membuat epididymis, suatu organ yang terletak pada permukaan posterior testis.

Dari epididimis, duktus deferen yang lurus panjang naik dari skrotum dan melalui aknalis inguinalis masuk ke dalam pelvis, tempat duktus ini berlanjut dengan duktus ejakulatorius, suatu segmen terminal dari sistem duktus yang membuka ke arah uretra prostat. Berhubungan dengan sistem duktus adalah tiga kelenjar asesorius, vesikula seminalis, prostat, dan kelenjar bulboureta. Spermatozoa dari epididimis, bersama dengan hasil sekretorius kelenjar ini, merupakan semen yang dikeluarkan melalui uretra penis (Fawcett & Bloom, 2002).

Konsumsi oksigen 1,29-2,68 ml/g/jam

Sel darah merah 7,2-9,6 x 106/mm3

Sel darah putih 5,0-13 0 x 103/mm3

SGPT 17,5-30,2 lU/liter

SGOT 45,7-80,8 IU/liter

Kromosom 2n=42

Aktivitas nokturnal (malam)

Konsumsi makanan 15-30 g/hari (dewasa)


(29)

Gambar 2.2. Anatomi sistem reproduksi tikus jantan (Suckow, 2006)

Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ reproduksinya dilengkapi dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu organ yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan hewan jantan dalam hal reproduksi terutama adalah memproduksi spermatozoa dan sejumlah kecil cairan untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim (William, 2005).

Ketiga kelenjar asesorius mensekresi zat-zat makanan bagi spermatozoa. Vesikula seminalis merupakan kelenjar berlekuk-lekuk yang terletak di belakang kantung kemih. Dinding vesikula seminalis menghasilkan zat makanan yang merupakan sumber makanan bagi sperma. Kelenjar Cowper (kelenjar bulbouretra) merupakan kelenjar yang salurannya langsung menuju urethra. Kelenjar Cowper menghasilkan getah yang bersifat alkali (basa). Prostat terletak di pelvis, tepatnya di posterior dan inferior vesika urinaria dekat dengan rektum. Fungsi dari kelenjar prostat adalah memproduksi cairan prostat yang mengandung kolesterol, garam dan fosfolipid yang merupakan komponen utama dari semen yang bersifat basa (William, 2005).


(30)

Testis memiliki dua fungsi, yaitu sebagai tempat spermatogenesis dan produksi andogen. Oleh sebab itu, maka testis dapat juga dikatakan sebagai kelenjar ganda, karena secara fungsional bersifat endokrin dan juga eksokrin. Fungsi endokrin terletak pada sel Leydig yang menghasilkan androgen, terutama testosteron. Fungsi eksokrin terletak pada epitelium semiferus yang menghasilkan spermatozoa (Fawcett & Bloom, 2002).

Spermatogenesis terjadi di dalam suatu struktur yang disebut tubulus seminiferous. Tubulus ini berlekuk-lekuk dalam lobules yang semua duktusnya kemudian meninggalkan testis dan masuk ke dalam epididymis. Produksi andogen terjadi di dalam kantung dari sel khusus yang terdapat di daerah interstitial antara tubulus. Tubulus seminferus dilapisi oleh epitelium bertingkat yang sangat kompleks yang mengandung sel spermatogenik dan sel-sel yang menunjang. Sel-sel penunjang berjenis tunggal disebut dengan sel Sertoli (Heffner & Schust, 2005).

Tubulus seminiferus di kelilingi oleh membran basal. Di dekat membran basal ini terdapat sel progenitor untuk produksi spermatozoa. Epitel yang mengandung spermatozoa yang sedang berkembang di sepanjang tubulus disebut epitel seminiferus atau epitel germinal. Pada potongan melintang testis, spermatosit dalam tubulus berada dalam berbagai tahap pematangan. Di antara spermatosit terdapat sel Sertoli. Sel ini berperan secara metabolik dan struktural untuk menjaga spermatozoa yang sedang berkembang. Sel Sertoli memfagosit sitoplasma spermatid yang telah dikeluarkan. Sel ini merupakan satu-satunya sel nongerminal dalam epitel seminiferous. Semua sel Sertoli berhubungan dengan membrane basal pada satu kutubnya dan mengelilingi spermatozoa yang sedang berkembang pada kutub yang lain. Sel Sertoli memiliki jari-jari sitoplasma yang besar dan kompleks yang dapat mengelilingi banyak spermatozoa dalam satu waktu. Sel ini juga berfungsi pada proses aromatisasi prekursor androgen menjadi estrogen, suatu produk yang menghasilkan pengaturan umpan balik lokal pada sel Leydig yang memproduksi androgen. Selain itu sel Sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen. Produksi androgen sendiri terjadi di dalam kantong dari sel khusus (sel Leydig) yang


(31)

terdapat di daerah interstitial antara tubulus-tubulus seminiferus (Heffner & Schust, 2005).

2.5.1. Produksi Sperma

Produksi sperma tiap hari per testis pada tikus adalah 35,4 x 106/mL, tidak berbeda signifikan dengan manusia yakni sebesar 45,5 x 106/mL. Tubulus seminiferus tikus lebih tebal dari manusia yakni 347+5 µm vs 262+9 µm , tetapi pembatas tubulus pada tikus lebih jauh tipis dibanding manusia ( 1,4+1 µm vs 15,9+3,4 µm ). Epitel seminiferus tikus mengandung 40% lebih sel spermatogenik dari volumenya, dua kali lebih banyak dari epitel seminiferus manusia (Ilyas, 2007).

Spermatozoa pada tikus lebih panjang dibandingkan dengan spesies mamalia lainnya, termasuk manusia dan hewan lainnya dan biasanya panjangnya sekitar 150 – 200 mm. Kepala sperma pada tikus berbentuk kail hal ini sama seperti pada hewan pengerat lainnya (Krinke, 2000).


(32)

2.5.2. Spermatogenesis Pada Tikus

Dasar pengetahuan yang cukup telah dibangun tentang spermatogenesis pada tikus. Sel primodial germinal yang telah berhenti bermigrasi diliputi oleh sel Sertoli dan membran basal yang menonjol dalam tubulus seminiferus pada alat kelamin tikus jantan. Sel kelamin jantan tetap tidak aktif sampai sebelum masa pubertas, yaitu dimana sekitar 50 hari setelah kelahiran. Pada tahap itu mereka mulai membelah dan menjadi spermatogonium, dan kemudian terus membelah sampai hewan kehilangan kemampuan untuk memproduksi spermatozoa.

Gambar 2.4. Tahapan dari siklus sel spermatogenesis pada tikus, dimulai dari kiri bawah searah jarum jam. A, tipe spermatogonium A; In , spermatogonium tipe intermediet; B, tipe spermatogonium B; R, spermatosit primer resting; L, spermatosit leptotene; Z, spermatosit zygotene; P(I), P(VII), P (XII), awal, pertengahan dan akhir spermatosit pachytene. Angka romawi menunjukkan tahap siklus di mana mereka ditemukan; Di, diplotene; II, spermatosit sekunder; 1-19, tahap spermiogenesis. Tabel di tengah memberikan komposisi sellular dari tahapan siklus pada epitel seminiferus (l-XIV). Penulisan m menunjukkan terjadinya mitosis (Krinke, 2000).


(33)

Dari gambar di atas terlihat pada stage II spermatid yang telah berekor yaitu spermatid yang telah mengalami maturasi. Sedangkan spermatozoa hanya ditemukan pada stage VII dan pada stage XII tidak ditemukannya lagi spermatid yang matur (tidak berekor). Pada tikus, 14 tahapan siklus spermatogenesis terjadi di dalam tubulus seminiferus. Tubulus memiliki susunan ruas, dan setiap potongan melintang tubula menunjukkan tahapan yang seragam yang melibatkan empat atau lima generasi di sel germinal dengan sesuai. Tubulus seminiferus di tikus dikarakterisasi oleh struktur ruas, sedangkan pada manusia dan hewan domestik lainnya biasanya menunjukkan pola mosaik di beberapa tahap. Pada tikus, dibutuhkan 12 hari untuk menyelesaikan satu siklus yang terdiri dari 14 tahap. Spermatogonium tikus membutuhkan empat siklus sampai akhirnya membentuk spermatozoa, sehingga diperlukan 48 hari untuk menyelesaikan seluruh tahap spermatogenesis (Krinke, 2000).

2.5.3. Peran Hormon Pada Spermatogenesis

Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh organ hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Testis memproduksi sejumlah hormon jantan yang kesemuanya disebut androgen. Yang paling poten dari androgen adalah testosteron. Fungsi testosteron adalah merangsang pendewasaan spermatozoa yang terbentuk dalam tubulus seminiferus, merangsang pertumbuhan kelenjar-kelenjar asesori dan merangsang pertumbuhan sifat jantan (Partodihardjo, 1980).

Spermatogenesis dan pematangan sperma sewaktu bergerak di sepanjang epididimis dan vas deferens memerlukan androgen. Androgen juga mengontrol pertumbuhan dan fungsi vesikula seminalis serta kelenjar prostat. Spermatogenesis hampir seluruhnya terjadi dibawah pengaruh hormon-hormon yang berasal dari hipofisa, terutama FSH. Spermiogenesis adalah lanjutan spermatogenesis yang berlangsung di bawah peranan LH dan testosteron. Tanpa testosteron spermatozoa tidak dapat mencapai pendewasaan yang baik (Partodihardjo, 1980).

Spermatogenesis dimulai pada saat pubertas karena adanya peningkatan sekresi gonadotropin (FSH dan LH) dari hipofisis anterior. FSH dianggap hormon


(34)

penting untuk induksi spermatogenesis dan merangsang secara langsung pada tubulus seminiferus, karena spermatogenesis lengkap pada tikus dipulihkan oleh perlakuan FSH dalam kombinasi dengan LH dan testosteron. Di sisi lain, efek spermatogenesis dari LH, kadang-kadang disebut hormon sel interstisial yang merangsang (ICSH) pada pria karena tindakan androgenik pada sel-sel Leydig diinterstitium, dianggap dimediasi oleh androgen, setidaknya pada tikus. Dalam konteks ini, sekresi LH juga merangsang sintesis testosteron di sel Leydig pada testis (Krinke, 2000).

Aksi FSH pada spermatogenesis mungkin dimediasi oleh sel Sertoli, karena hormon peptida tidak dapat secara langsung mencapai spermatosit dan spermatid melintasi sawar darah testis, yang terbentuk selama 16 - 19 hari setelah kelahiran. Sebaliknya, testosteron dapat dengan mudah melewati sawar darah testis dengan difusi (dan mungkin juga oleh beberapa sistem transportasi). Telah dilaporkan bahwa tingkat testosteron di dalam cairan interstisial (lebih dari 50 µg/mL) pada tikus dewasa jauh lebih tinggi dibanding pada testis (sekitar 30 µg/mL) atau cairan vena perifera (kurang dari 10 µg/mL), menunjukkan aksi parakrin atau autokrin dari testosteron pada spermatogenesis di testis (Krinke, 2000).

Salah satu peran untuk sel Sertoli adalah produksi androgen yang mengikat protein, dimana dirangsang oleh FSH dan testosteron. Ini juga telah menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang tidak diketahui yang dikeluarkan dari sel Sertoli, sebagai respon untuk merangsang FSH dan testosteron, mungkin berkaitan dengan spermatogenesis (Krinke, 2000).


(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian I dan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilakukan terhitung mulai dari bulan April sampai September 2013.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Hewan Uji

Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang sehat berumur 9 minggu dengan berat 200-350 g dan fertil yang diperoleh dari Laboratorium Hewan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

3.2.2. Bahan Uji

Bahan uji yang akan digunakan adalah biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Malang. Sebelum dilakukan penelitian, tanaman di determinasi terlebih dahulu di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor.

3.2.3. Bahan Kimia

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pakan tikus berupa pellet, aquades steril, larutan NaCl fisiologi, alkohol 70%, 80%, dan 96% , etanol 70% dan 95%, ammoniak 1 % dan 25 %, larutan HCl, kloroform, pereaksi Dragendroff, pereaksi Mayer, serbuk Mg, amil alkohol, larutan NaOH, FeCl3, eter,

petroleum eter, larutan Hematoksilin, larutan Bouin (asam pikrat, formaldehid 4%, asam asetat), larutan xilol, larutan Eosin, larutan George, paraffin.


(36)

3.2.4. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : labu erlenmeyer, gelas ukur, ayakan mesh 40, timbangan analitik, mortir, tabung reaksi, cawan penguap, hot plate, corong, kertas Whatman, batang pengaduk, perangkat rotary evaporator vacuum (Eyela), oven (Memmert), botol sampel, kandang hewan, tempat makan dan minum tikus, timbangan hewan (Ohauss), alat pencekok oral (sonde), beaker glass, kaca glass, obyek glass, kertas saring, Hemositometer Improved Neubeur, pipet tetes, mikro pipet (Eppendorf Research plus), seperangkat alat bedah, dan mikroskop optik (Motic BA310).

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimen murni dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan beberapa kondisi perlakuan.

Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus putih jantan strain Sprague Dawley (WHO, 2000). Perlakuan yang digunakan adalah kontrol (tanpa perlakuan) dan tikus yang diberi ekstrak biji jarak pagar ( Jatropha curcas L.) dengan 3 dosis yang berbeda.). Acuan dosis yang digunakan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahirwar et al.(2010) dan Widya Dwi Arini (2012). Perlakuan yang digunakan terdiri dari:

1. Kelompok I : Kelompok kontrol tanpa perlakuan sebanyak 5 ekor tikus diberi pembawa (Na CMC 1%)sebanyak 1 ml serta makan dan minum.

2. Kelompok II : Kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor tikus yang diberi suspensi ekstrak biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan dosis rendah yaitu 5 mg/kg BB, serta makan dan minum.

3. Kelompok III : Kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor tikus yang diberi suspensi ekstrak biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan dosis sedang yaitu 25 mg/kg BB, serta makan dan minum.


(37)

4. Kelompok IV : Kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor tikus yang diberi suspensi ekstrak biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan dosis tinggi yaitu 50 mg/kg BB, serta makan dan minum.

3.4. Kegiatan Penelitian

3.4.1. Pemeriksaan Simplisia (Determinasi)

Sebelum dilakukan penelitian, biji jarak pagar terlebih dahulu di determinasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor untuk memastikan kebenaran simplisia.

3.4.2. Penyiapan Simplisia

Biji jarak pagar yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 7-9 % diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Malang. Sebanyak 4 kg biji jarak pagar yang telah dikeringkan kemudian dirajang dan diblender. Kemudian dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan mesh 40 sehingga dihasilkan serbuk simplisia sebanyak 1.100 gram. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah yang kering, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.

3.4.3. Pembuatan Ekstrak

Pada pembuatan ekstrak biji jarak pagar digunakan metode ekstraksi cara dingin dengan maserasi dan menggunakan etil asetat sebagai pelarut.

Serbuk simplisia sebanyak 1.100 gram ditimbang kemudian dimaserasi dengan pelarut etil asetat hingga sampel terendam. Jumlah pelarut etil asetat yang digunakan sebanyak 11.500 mL. Sebelum dimaserasi dengan pelarut etil asetat, serbuk simplia biji jarak pagar dimaserasi terlebih dahulu dengan n-heksana. Hasil maserasi disaring sehingga diperoleh filtrat. Proses maserasi ini diulang setiap harinya hingga dihasilkan maserat yang berwarna pucat (lebih bening daripada maserat awal). Total maserat yang diperoleh yaitu sebanyak 9.500 mL, kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak


(38)

sebanyak 60,6284 gram. Ekstrak yang dihasilkan selanjutnya disimpan dan digunakan untuk perlakuan.

3.4.4. Penapisan Fitokimia

Pada penapisan fitokimia dilakukan pemeriksaan terhadap kandungan golongan senyawa kimia dari simplisia dan fraksi etil asetat biji jarak pagar seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan polifenol, dan steroid/terpenoid.

3.4.4.1. Identifikasi Golongan Alkaloid Metoda Culvernor-Fitzgerald

2-4 g yang serbuk simplisia dimasukan kedalam mortar dan ditambahkan kloroform secukupnya dan pasir bersih, kemudian digerus. Tambahkan 10 mL kloroform amoniakal diaduk rata. Campuran disaring kedalam tabung reaksi dengan cara memerasnya pakai kain kasa untuk memindahkan ekstrak. Kemudian tambahkan 0.5 mL 1M asam sulfat dan kocok baik-baik, biarkan beberapa saat. Pipet lapisan atas yang jemih kedalam 2 tabung reaksi kecil. Salah satunya diberikan pereaksi Dragendorff dan tabung lainnya pereaksi Mayer (2-3 tetes). Reaksi positif apabila menunjukkan endapan kuning jingga (orange) dengan pereaksi Drogendorff dan endapan putih dengan pereaksi Mayer. Catatan hail sebagai berikut:

(+) sedikit keruh (++) sangat keruh

(+++) terjadi endapan (Chairul, 2003).

3.4.4.2Identifikasi Golongan Flavonoid

Ekstrak lebih kurang 10 g ditambahkan dengan etanol 80 %, saring dan keringkan diatas penangas air. Kemudian lemaknya dihilangkan dengan pencucian heksana beberapa kali sehingga warna pigmen hilang atau larutan heksana tidak berwarna lagi. Panaskan residu yang bebas lemak diatas penangas air untuk memindah sisa heksana.Tambahkan residu dengan 20 mL etanol dan pindahkan masing-masing 10 mL kedalam 2 tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi


(39)

ditambahkan 0,5 mL asam klorida pekat dan dilakukan uji dengan pereaksi Wilstatter (Chairul, 2003).

Salah satu tabung reaksi yang telah berisikan asam klorida pekat ditambahkan 3-4 butir logam magnesium (Mg). Amati perubahan warna yang terjadi dalam 10 menit. Apabila terbentuk warna, diencerkan dengan air secukupnya dan tambahkan 1 mL oktil alkohol. Kocok kuat-kuat dan biarkan dan amati perubahan wama pada masing-masing lapisan pelarut. Apabila terjadi pembentukan atau perubahan warna menunjukkan reaksi positif terhadap flavonoida (Chairul, 2003).

3.4.4.3Identifikasi Golongan Saponin

Buat 10 mL ekstrak etanol 80 % dari ekstrak atau simplisia (lebih kurang 2 g) dan masukkan kedalam tabung reaksi yang mempunyai ukuran. Masing-masing tabung tambahkan 10 mL air, tutup dan kocok kuat-kuat selama 30 detik dan biarkan selama 30 menit. Apabila busa/ buih yang terjadi lebih besar 3 cm dari permukaan larutan setelah 30 menit, berarti ekstrak atau simplisia mengandung positif saponin. Untuk ekstrak atau simplisia yang menghasilkan sedikit busa/buih, tambahkan sedikit larutan Na2CO3. Kondisi busa/buih tetap stabil dan keras menunjukkan adanya

asam-asam lemak bebas (Chairul, 2003).

3.4.4.4. Identifikasi Golongan Tanin dan Polifenol

Ekstrak lebih kurang 10 g material tumbuhan dengan etanol 80 %, saring dan keringkan diatas penangas air. Residu ekstrak larutkan dengan 20 mL air panas, tambahkan ekstrak 5 tetes larutan NaCl. Bagi ekstrak kedalam 2 tabung reaksi, satu tabung digunakan sebagai kontrol dan lainnya untuk uji ferri klorida (FeC13)

(Chairul, 2003).

Tabung reaksi lainnya ditambahkan 3 tetes pereaksi ferri klorida (FeC13),

dimana tanin terhidrolisa memberikan wama biru atau biru-hitam, sedangkan kondensasi tanin menberikan warna biru-hijau dan bandingkan dengan kontrol (Chairul, 2003).


(40)

3.4.4.5Identifikasi Golongan Steroid dan Triterpenoid

Sampel diekstrak dengan etanol dan ditambah 2 mL asam sulfat pekat dan 2 mL asam asetat anhidrat (Liebermann-Buchard). Perubahan warna dari ungu ke biru atau hijau memunjukkan adanya steroid (Nurliani, 2007).

3.4.5 Parameter Spesifik dan Non Spesifik ( Depkes RI, 2000) 3.4.5.1Identitas Ekstrak

Deskripsi tata nama : 1. Nama ekstrak

2. Nama latin tumbuhan ( sistematika botani ) 3. Bagian tumbuhan yang digunakan

4. Nama Indonesia tumbuhan

3.4.5.2Organoleptik

Penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa sebagai berikut :

1. Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair 2. Warna : kuning, coklat, dll.

3. Bau : aromatik, tidak berbau, dll. 4. Rasa : pahit, manis, kelat, dll.

3.4.5.3Susut Pengeringan

Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 g sampai 2 g dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105°C selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm. Jika ekstrak yang diuji berupa esktrak kental, ratakan dengan batang pengaduk. Kemudian dimasukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Sebelum setiap


(41)

suhu kamar. Jika ekstrak sulit kering dan mencair pada pemanasan, ditambahkan 1 g silica pengering yang telah ditimbang secara seksama setelah dikeringkan dan disimpan dalam eksikator pada suhu kamar. Campurkan silica tersebut secara rata dengan esktrak pada saat panas, kemudian keringkan kembali pada suhu penetapan hingga bobot tetap (Depkes RI, 2000).

3.4.5.4 Kadar Abu

Lebih kurang 2 g sampai 3 g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang secara seksama dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 2000).

3.4.6. Persiapan Hewan Uji

Sebelum percobaan, dilakukan uji fertilitas pada tikus putih jantan dengan cara mengawinkan seluruh tikus putih jantan umur 9 minggu (umur siap dikawinkan) yang akan digunakan dalam penelitian ini secara alami dengan tikus betina. Kemudian di amati apakah terjadi kehamilan pada tikus betina. Jika terjadi kehamilan maka menunjukkan bahwa tikus jantan yang akan digunakan sebagai hewan uji adalah tikus yang fertil.

Disiapkan tempat pemeliharaan hewan coba yang meliputi kandang, sekam, tempat makan dan minum tikus. Tikus diaklimatisasi selama 7 hari pada kondisi laboratorium, agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Selama proses adaptasi, diberi makan dan minum standar ad libitum, dilakukan pengamatan kondisi umum serta ditimbang berat badannya. Tikus yang digunakan adalah tikus yang sehat yakni berat badan selama aklimatisasi tidak mengalami perubahan lebih dari 10% dan secara visual menunjukkan perilaku yang normal.


(42)

3.4.7. Pemberian Perlakuan

Pemberian perlakuan pada tikus dilakukan sebagai berikut. Penelitian ini menggunakan 20 ekor tikus putih jantan strain Sprague-Dawley yang diberikan 4 perlakuan yang berbeda. Masing-masing perlakuan terdiri atas 5 ekor tikus putih jantan. Ekstrak etil asetat biji jarak pagar yang diperoleh disuspensikan dalam pembawa (NaCMC 1%) dengan dosis yang telah ditentukan, diberikan secara oral dengan menggunakan alat pencekok oral (Ahirwar et al., 2010). Pemberian ekstrak diberikan peroral satu hari sekali setiap pagi hari dan dilakukan selama 48 hari sesuai dengan siklus spermatogenesis (Krinke, 2000).

3.4.8. Pembuatan preparat

Setelah 48 hari, masing-masing hewan coba dikorbankan untuk diambil organ testisnya. Tikus dibius dengan eter, kemudian dibedah. Diambil bagian kauda epididimis dan dihitung jumlah spermatozoa kemudian bagian testis diambil untuk ditimbang dan dibuat preparat.

Pembuatan sediaan mikroanatomi testis di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pembuatan preparat dilakukan dengan cara : testis yang telah diambil, difiksasi dalam larutan Bouin, kemudian didehidrasi dengan etanol seri bertingkat, dan pada akhirnya ditanamkan dalam paraffin wax. Blok paraffin dipotong dengan ketebalan 5µm dan dilakukan pewarnaan dengan hematosiklin – eosin (Yotarlai et al., 2011).

3.4.9. Pengukuran Parameter Uji 3.4.9.1Pengukuran Bobot Testis

Dilakukan dengan cara menimbang organ testis dengan menggunakan timbangan analitik. Kemudian hasil bobot testis tikus yang diberi perlakuan dibandingkan dengan bobot testis tikus kontrol.

3.4.9.2Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa


(43)

arloji yang berisi cairan NaCl fisiologis 0,9% sebanyak 500 μL. Spermatozoa dimasukkan kedalam bilik hitung Neubauer (Hemasitometer) sampai kamar Neubauer terisi rata. Kemudian dihitung jumlah spermatozoa pada salah satu kamar hitung Neubauer dan selanjutnya ditentukan pengenceran yang akan dilakukan dan jumlah kotak yang akan dihitung (Tabel 3.1).

Tabel 3.1. Pengenceran yang dilakukan dan kotak yang dihitung

No. Jumlah spermatozoa dalam 1 kotak Pengenceran Kotak yg dihitung

1 > 40 50 kali 5

2 15 – 40 20 kali 10

3 < 15 10 kali 25

Dari jumlah spermatozoa yang diketahui, maka dilakukan pengenceran spermatozoa berdasarkan jumlah spermatozoa yang terhitung (Ilyas, 2007).

Tabel 3.2. Cara pengenceran

No Pengenceran Pembuatan pengenceran

1 50 kali a. 980 μL larutan George + 20 μL spermatozoa b. 2.450 μL larutan George + 50 μL spermatozoa

2 20 kali 950 μL larutan George + 50 μL spermatozoa

3 10 kali a. 900 μL larutan George + 100 μL spermatozoa b. 450 μL larutan George + 50 μL spermatozoa Poin a dan b menunjukan opsi perlakuan (hanya salah satu yang dipilih).

Setelah dilakukan pengenceran, dilakukan perhitungan spermatozoa dengan jumlah kotak yang dihitung sesuai dengan jumlah spermatozoa dan cara pengenceran pada tabel diatas. Kemudian dilakukan pengukuran spermatozoa sesuai rumus di bawah ini (Ilyas, 2007).

Rumus konsentrasi spermatozoa = n x 10.000 x 25 x vNaCl k


(44)

Keterangan: n adalah jumlah spermatozoa yang terhitung. Angka 10.000 merupakan volume kamar hitung Neubauer. Fp merupakan faktor pengenceran yang dilakukan. Angka 25 menunjukan total kotak kecil yang terdapat dalam kamar hitung Neubauer sedangkan k merupakan jumlah kotak kecil yang dihitung pada saat pengamatan. vNaCl merupakan volume NaCl (mL) fisiologis yang digunakan untuk membantu mengeluarkan spermatozoa dari vas deferens. Perhitungan konsentrasi spermatozoa (Juta/mL) dapat terlihat dari tabel 3.3 berikut :

Tabel 3.3. Rumus Konsentrasi Spermatozoa

No Jumlah kotak yang dihitung Rumus konsentrasi spermatozoa

1 5 n x 10.000 x 50 x 5 x 0,25

2 10 n x 10.000 x 20 x 2,5 x 0,25

3 25 n x 10.000 x 10 x 1 x 0,25

3.4.9.3Pengukuran Diameter Tubulus Seminiferus

Preparat histologi testis tikus diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali (10x10), kemudian difoto. Pengukuran diameter dilakukan pada 100 tubulus seminiferus yang dipotong bundar dan dipilih secara acak.

3.4.9.4Perhitungan Perbandingan Jumlah Spermatosit Pakiten Terhadap Jumlah Sel Sertoli

Preparat histologi testis tikus diamati mikroskop dengan perbesaran 400 kali (10x40). Perhitungan dilakukan pada 20 tubulus seminiferus secara acak (Yotarlai et al., 2011). Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah spermatosit pakiten, jumlah sel Sertoli dan jumlah spermatosit pakiten per jumlah sel Sertoli per tubulus. Perhitungan dilakukan hanya pada tubulus seminiferus yang mengalami spermatogenesis tahap II, VII, dan XII (Vachrajani, 2005). Menurut Azrifitria (2012), ciri-ciri khas masing-masing dari tiap tahapan spermatogenesis sebagai berikut :


(45)

- Tahapan I-VI : membran menuju lumen terdapat spermatogonium, fase transisi, pakiten dan spermatid fase golgi (1-3) dan cap (4-7) serta spermatid fase maturasi (15 dan 19).

- Tahapan VII_VIII : spermatogonium, pakiten, spermatid (round spermatid, cap 2/3dari inti sel) dan spermatozoa dilepaskan ke lumen dengan ekor mengarah ke lumen.

- Tahapan IX-XI : terdapat spermatogonium, pakiten, dan spermatid fase 9, 10, 11 dengan head cap dan nucleus mulai memanjang.

- Tahapan XII-XIV : spermatogonium, pakiten dan diakinesis, spermatid fase akrosom (12-14) terlihat nucleus memanjang dan akrosom 2/3 dari sitoplasma.

3.5 Analisis Data

Hasil percobaan yang diperoleh diolah secara statistik dengan menggunakan program pengolah data statistik SPSS 16 yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, uji parametrik (one-way ANOVA), atau uji non parametrik (Krukas Wallis). Jika hasil ANOVA maupun Krukas Wallis menunjukkan perbedaan yang

signifikan (p ≤ 0,005) maka analisis data dilanjutkan dengan menggunakan Uji Multiple Comparisons tipe LSD (Least Significant Diffeent).


(46)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Ekstraksi

Sebanyak 1.100 gram serbuk biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dimaserasi dengan pelarut etil asetat sebanyak 11.500 mL sampai larutan memdekati tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh sebanyak 9.500 mL kemudian dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator dan didapatkan ekstrak sejumlah 60,6284 gram. Rendemen yang didapatkan ialah 5,51%.

4.1.2. Penapisan Fitokimia

Berdasarkan hasil penapisan fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak terdapat bebrapa golongan senyawa. Hasil dapat dilihat pada Tabel 4.1. :

Tabel 4.1. Hasil penapisan fitokimia ektrak etil asetat biji jarak pagar

Golongan Senyawa

Hasil Penapisan

Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar

Alkaloid +

Flavonoid -

Saponin +

Tanin -


(47)

4.1.3. Parameter Standar

Parameter standar yang dilakukan terhadap ekstrak dapat dilihat pada Tabel 4.2. :

Tabel 4.2. Parameter standar ekstrak etil asetat biji jarak pagar

Parameter Hasil Pada Ekstrak

Identitas Ekstrak Nama latin tumbuhan : Jatropha curcas L. Bagian tumbuhan yang digunakan : Biji Nama Indonesia tumbuhan : Jarak Pagar

Organoleptik Bentuk : kental

Warna : cokelat Bau : khas

Kadar Abu 5%

Susut Pengeringan 2,497%

Rendemen 5,51%

Uji parameter non spesifik yang dilakukan pada penelitian ini yaitu uji kadar abu dan uji susut pengeringan. Tujuan dari uji susut pengeringan, yaitu untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan (DEPKES, 2000). Persentase susut pengeringan tidak boleh lebih dari 10 %. Uji kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal. Persentase kadar abu total tidak boleh lebih dari 16.6 % (Depkes, 2000). Berdasarkan hasil uji parameter non spesifik pada ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.), didapatkan persentase susut pengeringan sebesar 2,497% sesuai dengan persyaratan, yaitu tidak lebih dari 10 % dan persentase kadar abu yang didapatkan adalah 5% sesuai dengan persyaratan, yaitu tidak lebih dari 16.6 %.

4.1.4. Pengukuran Berat Badan Tikus

Hasil pengukuran berat badan rata-rata tikus pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat dilihat pada Tabel 4.3. :


(48)

Tabel 4.3. Rerata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok

No. Tanggal Rerata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok

(Gram)

I II III IV

1. 5 Juli 2013 249,8 229,2 229,6 195,6

2. 9 Juli 2013 247,2 223,2 234,8 201

3. 12 Juli 2013 261 246 237,6 207,4

4. 25 Juli 2013 272,6 277 277 231

5. 19 Agustus 2013 283,6 263,6 283,6 245

6. 23 Agustus 2013 297,8 264 264 238,6

4.1.5 Hasil Pengukuran Bobot Testis

Hasil rata-rata pengukuran bobot testis tikus pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat dilihat pada Tabel 4.4. :

Tabel 4.4. Rata-rata Bobot Testis Tikus

Keterangan : Angka yang diikuti tanda (*) menunjukkan berbeda bermakna

terhadap kelompok kontrol (p ≤ 0,05) pada taraf kepercayaan 95%.

Data rata-rata bobot testis yang diperoleh dengan menggunakan uji statistika yaitu menunjukkan adanya perbedaan secara bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok yang mendapat perlakuan.

No Kelompok Rata-Rata Bobot Testis (Gram)

Tiap Kelompok ± SD

1 Kontrol 1,5918 ± 0,05

2 Dosis Rendah (5 mg/kg BB) 1,4876 ± 0,09*

3 Dosis Sedang (25 mg/kg BB) 1,3255 ± 0,07*


(49)

4.1.6 Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa

Hasil perhitungan pengukuran konsentrasi spermatozoa pada tiap kelompok dapat dilihat paada Tabel 4.5. :

Tabel 4.5. Rata-rata Konsentrasi Spermatozoa Tikus

No. Kelompok Rata-rata Konsentrasi Spermatozoa

Tiap Kelompok (Juta/mL) ± SD

1. Kontrol 102,12 ± 12,55

2. Dosis rendah (5 mg/kg BB) 86,87 ± 11,89* 3. Dosis sedang (25 mg/kg BB) 38,37 ± 4,79* 4. Dosis tinggi (50 mg/kg BB) 49,75 ± 2,60*

Keterangan : Angka yang diikuti tanda (*) menunjukkan berbeda bermakna

terhadap kelompok kontrol (P ≤ 0,05) pada taraf kepercayaan 95%.

Data konsentrasi spermatozoa yang diperoleh dengan menggunakan uji statistika menunjukkan adanya perbedaan secara bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok yang mendapat perlakuan.

4.1.7. Pengukuran Diameter Tubulus Seminiferus

Hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus tikus baik dapat dilihat pada Tabel 4.6. :

Tabel 4.6. Rata-rata Diameter Tubulus Seminiferus

No. Kelompok Rata-rata Diameter Tubulus Seminiferus

Tiap Kelompok (µm) ± SD

1. Kontrol 178,98 ± 2,70

2. Dosis rendah (5 mg/kg BB) 164,64 ± 7,37*

3. Dosis sedang (25 mg/kg BB) 168,69 ± 6,94*

4. Dosis tinggi (50 mg/kg BB) 161,08 ± 9,60*

Keterangan : Angka yang diikuti tanda (*) menunjukkan berbeda bermakna


(50)

Data diameter tubulus seminiferus yang diperoleh dengan menggunakan uji statistika menunjukkan adanya perbedaan secara bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok yang mendapat perlakuan.

4.1.8. Perhitungan Perbandingan Jumlah Spermatosit Pakiten Terhadap Jumlah Sel Sertoli

Hasil perhitungan perbandingan jumlah spermatosit pakiten dapat dilihat pada Tabel 4.7. :

Tabel 4.7. Rata-rata jumlah spermatosit pakiten per jumlah sel Sertoli Kelompok Tahapan Spermatogenesis Dalam Tubulus Seminiferus

Tahap II Tahap VII Tahap XII

Kontrol 4,65 ± 097 4,65 ± 097 6,16 ± 1,89

Dosis rendah 8,54 ± 1,15* 8,54 ± 1,15 7,43 ± 0,18*

Dosis sedang 5,47 ± 0,97 5,47 ± 0,97 6,32 ± 1,58

Dosis tinggi 4,47 ± 0,84 4,47 ± 0,84 5,03 ± 1,41

Keterangan : Angka yang diikuti (*) menunjukkan berbeda bermakna terhadap

kelompok kontrol (p ≤ 0,05) pada taraf kepercayaan 95%.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah spermatosit pakiten per jumlah sel Sertoli di tahap II dan tahap dan stage VII kelompok dosis rendah berbeda bermakna terhadap kelompok kontrol (p ≤ 0,05), sedangkan pada stage XII tidak adanya perbedaan bermakna antara dosis rendah, sedang, maupun tinggi terhadap

dosis kontrol (p ≥ 0,05).

Tabel 4.8. Rata-rata jumlah spermatosit pakiten

No. Kelompok Rata-rata Jumlah Spermatosit

Pakiten Tiap Kelompok ± SD

1. Kontrol 55,40 ± 4,38

2. Dosis rendah (5 mg/kg BB) 54,50 ± 3,41


(51)

Keterangan : Angka yang diikutin tanda (*) menunjukkan berbeda bermakna terhadap kelompok kintrol (p ≤ 0,05) pada taraf kepercayaan 95%. Data yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan bermakna jumlah

spermatosit pakiten pada kelompok dosis sedang dan dosis tinggi dengan kontrol (p ≤

0,05), sedangkan dosis rendah tidak adanya perbedaan bermakna antara dosis tersebut

dengan kontrol (p ≥ 0,05).

Tabel 4.9. Rata-rata jumlah sel Sertoli

No. Kelompok Rata-rata Jumlah Sel Sertoli

Tiap Kelompok ± SD

1. Kontrol 11,18 ± 1,74

2. Dosis rendah (5 mg/kg BB) 7,25 ± 0,49*

3. Dosis sedang (25 mg/kg BB) 7,80 ± 1,09*

4. Dosis tinggi (50 mg/kg BB) 11,15 ± 0,73

Keterangan : Angka yang diikuti tanda (*) menunjukkan berbeda bermakna

terhadap kelompok kontrol (p ≤ 0,05) pada taraf kepercayaan 95%.

Data yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan bermakna jumlah sel Sertoli pada kelompok dosis rendah dan dosis sedang dengan kelompok kontrol (p ≤ 0,05), sedangkan pada dosis tinggi tidak adanya perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol (p ≥ 0,05).

4.2. Pembahasan

Pada penelitian ini, aktivitas anti fertilitas dievaluasi didasarkan pada pengaruh ekstrak terhadap konsentrasi spermatozoa, bobot organ testis, dan pemeriksaan histologi. Suatu bahan antifertilitas dapat bersifat sitotoksik atau bersifat hormonal dalam memberikan pengaruhnya. Bila bersifat sitotoksik maka pengaruhnya langsung terhadap sel kelamin, dan bila bersifat hormonal maka bekerja pada organ yang responsif terhadap hormon yang berkaitan (Rusmiati, 2007).


(52)

Jarak pagar merupakan tanaman yang tumbuh di Indonesia dan sudah dikenal sebagai tanaman obat. Bagian tanaman jarak pagar antara lain : buah, biji, daun, akar, dan batang. Olahan dari semua bagian tanaman termasuk biji, daun, dan kulit kayu, segar atau rebusan biasanya digunakan dalam pengobatan tradisional. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak pagar yag diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Malang. Sebelum dilakukan penelitian, bahan uji dilakukan determinasi untuk memastikan kebenaran jenis tanaman bahwa tanaman yang digunakan adalah benar Jatropha curcas L. dari famili Euphorbiaceae.

Ekstrak etil asetat biji jarak diperoleh dengan metode maserasi menggunakan pelarut etil asetat. Maserasi dilakukan dengan cara merendam biji jarak pagar dengan pelarut etil asetat selama beberapa hari pada temperatur kamar. Maserasi dipilih karena baik untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan terhadap panas dan memiliki beberapa keuntungan seperti : peralatan yang digunakan termasuk sederhana dan proses pengerjaannya terbilang mudah. Penggunaan etil asetat sebagai pelarut didasarkan pada sifatnya yang semi polar sehingga diharapkan dapat menarik kandungan senyawa yang bersifat polar maupun non polar. Setelah dilakukan maserasi, filtrat yang didapatkan kemudian diuapkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut sehingga didapatkan ekstrak kental.

Dari 1.100 gram serbuk biji jarak pagar diperoleh 60,6284 gram ekstrak kental etil asetat biji jarak pagar. Rendemen yang diperoleh sebesar 5,51%. pemeriksaan parameter non spesifik lainnya seperti susut pengeringan dan kadar abu juga dilakukan. Tujuan dari pemeriksaan susut pengeringan adalah untuk mengetahui jumlah senyawa yang hilang selama proses pengeringan. Kemudian tujuan dari kadar abu adalah untuk mengetahui kandungan mineral yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak (Depkes RI, 2000). Hasil yang diperoleh untuk susut pengeringan dan kadar abu ekstrak etil asetat biji jarak pagar masing-masing adalah 2,497% dan 5%. Kemudian terhadap ekstrak etil asetat biji jarak pagar dilakukan


(53)

penapisan fitokimia. Hasilnya diketahui bahwa pada ekstrak etil asetat biji jarak pagar terkandung alkaloid, steroid, dan saponin.

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor tikus jantan galur Sprague Dawley berusia 9 minggu. Tikus yang digunakan merupakan tikus yang sehat dan fertil dengan bobot tikus yaitu memiliki bobot sekitar 200-350 gram. Pemilihan galur Sprague Dawley dikarenakan mayoritas penelitian mengenai reproduksi pada tikus menggunakan galur ini. Galur ini juga memiliki tingkat kesuburan yang tinggi ditandai dengan jumlah sperma dalam epididimis lebih banyak dibandingkan galur lain (Wilkinson et al., 2000).

Tikus dibagi menjadi 4 kelompok diantaranya kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan dengan dosis masing-masing 5 mg/kg BB, 25 m/kg BB, dan 50 mg/kg BB. Setiap kelompok tikus jantan ditempatkan pada kandang yang berbeda dengan kepadatan kandang masing-masing 5 ekor. Jumlah tikus yang digunakan pada tiap kelompok penelitian adalah lima ekor hal ini sesuai dengan Research Guidelines for Evaluating The Safety and Efficacy of Herbal Medicines (WHO, 2000) yaitu untuk hewan pengerat masing-masing kelompok perlakuan harus terdiri dari setidaknya lima ekor. Hewan uji kemudian diaklimatisasi selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan diri dalam kondisi lingkungan yang baru. Selama aklimatisasi dilakukan pengamatan kondisi umum serta ditimbang berat badannya. Adanya peningkatan berat badan menunjukkan bahwa tikus telah mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan.

Setelah diaklimatisasi, masing-masing tikus diberikan perlakuan dengan ekstrak etil asetat biji jarak pagar secara oral dengan menggunakan alat penyekok oral (sonde). Periode ini dilakukan selama 48 hari. Sebelum perlakuan, tikus ditimbang terlebih dahulu untuk menyesuaikan dengan dosis ekstrak etil asetat biji jarak pagar yang akan diberikan. Sediaan bahan uji dibuat dengan mensuspensikan ekstrak dengan Na CMC konsentrasi 1%. Na CMC digunakan sebagai pembawa karena ekstrak etil asetat biji jarak pagar memiliki kelarutan yang baik dalam Na CMC.


(54)

Pada hari ke-49 tikus dikorbankan dengan cara dibius dengan eter. Dari hasil penelitian ini diperoleh data dari beberapa parameter, yaitu : berat testis, konsentrasi spermatozoa, diameter tubulus seminiferus serta analisis kuantitatif tubulus seminiferus. Data dari beberapa parameter tersebut yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan uji normalitas, uji homogenitas dan selanjutnya dilakukan uji one way ANOVA atau uji Kruskal Wallis BNT (LSD). Sebagai data tambahan, data berat badan tikus diambil tanpa dilakukan uji normalitas dan homogenitas maupun uji ANOVA.

Spermatogenesis dipengaruhi oleh tiga hormon, yaitu FSH, LH dan testosteron. FSH berfungsi menstimulasi sel sertoli untuk menghasilkan ABP (androgen binding protein) sedangkan LH berfungsi untuk menstimulasi sel Leydig untuk mensekresi testosteron. ABP berfungsi untuk mengikat testosteron yang merupakan golongan androgen untuk menstimulasi spermatogonium yang terdapat didalam testis untuk melakukan spermatositogenesis yaitu pembentukan spermatogonium menjadi spermatid. Jika terjadi gangguan pada ketiga hormon tersebut (FSH, LH dan testosteron) maka proses spermatogenesis akan terganggu.

Produksi spermatozoa tidak akan terjadi jika alat kelamin jantan tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan alat kelamin jantan baik alat kelamin primer maupun alat kelamin sekunder berupa saluran-saluran reproduksi (Partodihardjo, 1980). Testis berukuran normal memiliki hubungan positif dengan potensi substansi fungsional (tubulus seminiferus) yang terkandung di dalam testis. Fungsi reproduksi testis adalah berupa produksi spermatozoa yang dihasilkan oleh bagian tubulus seminiferus dari testis. Berat dan ukuran testis dapat digunakan sebagai indikator kuantitatif produksi spermatozoa.

Pemberian ekstrak etil asetat biji jarak pagar dengan dosis 5 mg/kg BB, 25 mg/kg BB, dan 50 mg/kg BB selama 48 hari menyebabkan terjadinya penurunan berat testis. Penurunan berat testis tersebut mengindikasikan konsentrasi spermatozoa dalam testis berkurang. Penurunan rata-rata berat testis kelompok perlakuan


(1)

UIN Syarif Hidayullah Jakarta

Lampiran 20. Analisis Data Jumlah Sel Sertoli

1. Uji Normalitas dan Homogenitas Terhadap Jumlah Sel Sertoli a. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov

Tujuan : Ho : Data jumlah sel sertoli terdistribusi normal. Ha : Data jumlah sel sertoli tidak terdistribusi normal. Pengambilan keputusan :

- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Pakiten

N 20

Normal Parametersa Mean 9.3160

Std. Deviation 2.11909

Most Extreme Differences Absolute .151

Positive .151

Negative -.113

Kolmogorov-Smirnov Z .676

Asymp. Sig. (2-tailed) .751

a. Test distribution is Normal.

Keputusan : Uji normalitas jumlah spermatosit pakiten seluruh kelompok terdistribusi normal (p ≥ 0,05).

b. Uji Homogenitas Levene

Tujuan : Untuk melihat data jumlah spermatosit pakiten tikus homogen atau tidak. Hipotesis : Ho : Data jumlah spermatosit pakiten homogen.

Ha : Data jumlah spermatosit tidak homogen. Pengambilan keputusan :

- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak.


(2)

UIN Syarif Hidayullah Jakarta

Test of Homogeneity of Variances Pakiten

Levene Statistic df1 df2 Sig.

5.747 3 16 .07

Keputusan : Uji normalitas jumlah sel Sertoli seluruh kelompok homogen (p ≥ 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji ANOVA.

2. Uji Analisis Varians (ANOVA) Satu Arah Terhadap Jumlah Sel Sertoli Kelompok Hewan Uji

Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data jumlah sel Sertoli. Hipotesis : Ho : Data jumlah sel Sertoli tidak berbeda secara bermakna.

Ha : Data jumlah sel Sertoli berbeda secara bermakna. Pengambilan keputusan :

- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak.

ANOVA

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 64.899 3 21.633 16.949 .000

Within Groups 20.422 16 1.276

Total 85.320 19

Keputusan : Data jumlah sel Sertoli berbeda secara bermakna (p ≤ 0,05).

3. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Terhadap Jumlah Sel Sertoli Kelompok Hewan Uji Tujuan : Untuk menentukan data jumlah sel sertoli kelompok mana yang

memberikan nilai yang berbeda secara bermakna dengan data jumlah sel sertoli kelompok lainnya.

Hipotesis : Ho : Data jumlah sel Sertoli tidak berbeda secara bermakna. Ha : Data jumlah sel Sertoli berbeda secara bermakna.


(3)

UIN Syarif Hidayullah Jakarta Pengambilan keputusan :

- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak.

Multiple Comparisons LSD

(I) kelompok J) kelompok

Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol Dosis rendah 3.93000* .71452 .000 2.4153 5.4447

Dosis sedang 3.37800* .71452 .000 1.8633 4.8927

Dosis tinggi .14800 .71452 .839 -1.3667 1.6627

Dosis rendah Kontrol -3.93000* .71452 .000 -5.4447 -2.4153

Dosis sedang -.55200 .71452 .451 -2.0667 .9627

Dosis tinggi -3.78200* .71452 .000 -5.2967 -2.2673

Dosis sedang Kontrol -3.37800* .71452 .000 -4.8927 -1.8633

Dosis rendah .55200 .71452 .451 -.9627 2.0667

Dosis tinggi -3.23000* .71452 .000 -4.7447 -1.7153

Dosis tinggi Kontrol -.14800 .71452 .839 -1.6627 1.3667

Dosis rendah 3.78200* .71452 .000 2.2673 5.2967

Dosis sedang 3.23000* .71452 .000 1.7153 4.7447

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keputusan : Jumlah sel sertoli pada kelompok dosis rendah dan dosis sedang bermakna terhadap kelompok kontrol (p ≤ 0,05), sedangkan dosis tinggi tidak adanya perbedaan bermakna antara dosis tersebut dengan kontrol (p ≥ 0,05).


(4)

UIN Syarif Hidayullah Jakarta

Lampiran 21. Pengamatan Histologi Sediaan Testis

Stage II Keterangan

Gambaran histologis kelompok kontrol. Terlihat adanya

spermatogonium fase transisi dan pakiten serta spermatid fase golgi, cap dan fase maturasi yang tersusun berlapis sesuai dengan tingkat perkembangannya menuju ke arah lumen.

Gambaran histologi kelompok dosis rendah

Gambaran histologi kelompok dosis sedang

Gambaran histologi kelompok dosis tinggi


(5)

UIN Syarif Hidayullah Jakarta

Stage VII Keterangan

Gambaran histologis kelompok kontrol. Terlihat adanya spermatogonium, pakiten, spermatid fase round spermatid dan cap serta spermatozoa dengan ekor mengarah ke lumen yang tersusun berlapis sesuai dengan tingkat perkembangannya menuju ke arah lumen.

Gambaran histologi kelompok dosis rendah

Gambaran histologi kelompok dosis sedang


(6)

UIN Syarif Hidayullah Jakarta

Stage XII Keterangan

Gambaran histologi kelompok kontrol. Terlihat adanya spermatogonium, spermatosit fase pakiten dan diakinesis serta spermatid fase akrosom yang tersusun berlapis sesuai dengan tingkat perkembangannya menuju ke arah lumen.

Gambaran histologi kelompok dosis rendah

Gambaran histologi kelompok dosis sedang

Gambaran histologi kelompok dosis tinggi


Dokumen yang terkait

Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

4 46 157

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Uji Antifertilitas ekstrak N-Heksana biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara IN VIVO

2 15 116

Uji Antifertilitas Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 4 121

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116

Uji Antifertilitas Ekstrak n-heksana Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 15 116