Analisis Perbandingan Manajemen Sumberdaya Dan Kesejahteraan Keluarga Pada Keluarga Miskin Dan Tidak Miskin

(1)

ABSTRACT

LINA NAJWATUR RUSYDI. Comparation Analysis of Family Resource Management and Family Well-Being on Poor and Prosperous Family. Under direction of EUIS SUNARTI and MEGAWATI SIMANJUNTAK.

Poverty is one of the problems in Indonesia. To overcome poverty, Indonesian government creates many programs, such as Program Keluarga Harapan (PKH), Program Pemberdayaan Peran Keluarga, Kelompok Usaha Bersama (KUBE), etc. But any support from the government wouldn’t give good impact to family’s living if it isn’t well-managed. The research was conducted to analyze the comparation rate of family resource management and family well-being in poor family and prosperous family in Laladon Village, Bogor. The society in this village has various social demography characteristic. Family resource management is important to increase the well-being of the poor family or to increase value and productivity for the prosperous family. The results show that there was a difference between poor family characteristics and prosperous family. Based on types of problem that had been around, poor family claimed that housing aspect was the major problem whereas prosperous family claimed that self developing aspect was major problem. Prosperous family’s life goal was fulfilled by the spiritual necessity whereas poor family’s life goal was fulfilled by housing necessity. Human resource management of prosperous family was better than poor family, whereas time management and financial management in two groups were distinct. Physical well-being of prosperous family was better than poor family, whereas social well-being and psychological well-being in two groups were’nt distinct. Family resource management was related to physical well-being. So that, the government was expected to include family resource management as substance in family effort and resistance program.

Keywords: family resource management, family well-being, poor family, prosperous family


(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebanyak 189 negara mendeklarasikan Millenium Development Goals (MDGs) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada September 2000. MDGs merupakan komitmen bersama negara-negara maju dan negara-negara berkembang dalam menangani permasalahan utama pembangunan termasuk di dalamnya kemiskinan dan hak asasi manusia (HAM). Dalam KTT tersebut seluruh perwakilan negara yang hadir sepakat untuk menurunkan proporsi penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 1 per hari menjadi setengahnya antara periode 1990-2015. Dengan kata lain, salah satu nota kesepakatan MDGs adalah menanggulangi kemiskinan.

Berdasarkan data pada tahun 2008, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 15.4 persen dari jumlah penduduk nasional Indonesia. Sebagian besar penduduk miskin (63.5%) berada di daerah pedesaan. Provinsi Jawa Barat berada pada urutan ketiga dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebanyak 15.2 persen penduduk miskin Indonesia berada di Jawa Barat dengan proporsi terbesar (50.8%) di wilayah pedesaan (Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat 2009).

Dalam pengertian umum dan sederhana, miskin diartikan sebagai kondisi yang tidak berkecukupan secara ekonomi, khususnya berkenaan dengan kebutuhan konsumsi dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Dalam cakupan yang lebih luas, pengertian kemiskinan juga meliputi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar lainnya seperti gizi, kesehatan, pendidikan, air bersih, dan transportasi (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial 2006). Secara umum, ada dua kategori kemiskinan, yaitu kemiskinan relatif dan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan disteribusi pendapatan. Adapun kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Menurut Badan Pusat Statistik, yang dimaksud penduduk


(3)

miskin adalah penduduk yang memiliki rataan pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan (BPS 2008).

Sebagai salah satu negara yang menandatangani nota kesepakatan MDGs, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi angka kemiskinan. Upaya pengentasan kemiskinan diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan peluncuran program-program pengentasan kemiskinan. Pada hakikatnya program-program pengentasan kemiskinan merupakan program peningkatan kesejahteraan keluarga seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra), Kredit Usaha Keluarga Pra Sejahtera (Kukesra), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), dan lain-lain (Sunarti 2010).

Menurut Suharto (2005) orang miskin bukanlah orang yang pasif melainkan manajer seperangkat aset yang ada di seputar diri dan lingkungannya. Sebesar apa pun bantuan pemerintah atau sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga, jika tidak diatur secara baik dalam manajemen sumberdaya keluarga, maka tidak akan efektif. Hasil penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan keluarga. Semakin baik manajemen keuangan, maka semakin baik pula kesejahteraan keluarga. Dengan demikian, manajemen sumberdaya keluarga menjadi hal penting dalam kehidupan keluarga, baik pada keluarga miskin maupun tidak miskin. Bagi keluarga miskin, manajemen sumberdaya perlu dilakukan agar keluarga tersebut dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Adapun bagi keluarga tidak miskin, manajemen perlu dilakukan agar sumberdaya yang sudah ada ditingkatkan nilai atau produktivitasnya. Manajemen sumberdaya keluarga dikatakan berhasil jika keluarga dapat mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang ada. Secara umum, tujuan dari keluarga adalah terciptanya kesejahteraan keluarga. Sebagai suatu output, Sunarti (2001) mengelompokkan kesejahteraan keluarga ke dalam tiga jenis, yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis.

Saat ini penelitian mengenai manajemen sumberdaya keluarga pada keluarga tidak miskin masih sangat sedikit. Selain itu, belum ada penelitian yang menganalisis hubungan manajemen sumberdaya keluarga dengan kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti manajemen sumberdaya keluarga pada keluarga tidak miskin untuk kemudian dibandingkan dengan manajemen


(4)

sumberdaya keluarga pada keluarga miskin. Selanjutnya, menganalisis hubungan manajemen sumberdaya keluarga dengan kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum manajemen sumberdaya keluarga yang dilakukan oleh keluarga miskin dan tidak miskin dan hubungannya dengan kesejahteraan untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan program pemberdayaan dan ketahanan keluarga yang tepat, baik bagi keluarga miskin ataupun tidak miskin.

Rumusan Masalah

Keluarga merupakan institusi terkecil dari sebuah masyarakat (basic unit of society) yang memiliki delapan fungsi, yaitu: 1) fungsi agama; 2) fungsi sosial budaya; 3) fungsi cinta kasih; 4) fungsi perlindungan; 5) fungsi reproduksi; 6) fungsi sosialisasi dan pendidikan; 7) ekonomi; dan 8) fungsi pemeliharaan lingkungan. Kondisi suatu keluarga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan di luar keluarga yaitu mesosistem, eksosistem, dan makrosistem. Dengan demikian, keberfungsian keluarga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh ketiga sistem tersebut. Keluarga berkualitas akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan yang berkualitas, begitu pula sebaliknya. Agar fungsi keluarga dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pengelolaan keluarga yang baik, termasuk pengelolaan sumberdaya keluarga.

Manajemen sumberdaya keluarga adalah penggunaan sumberdaya keluarga dalam usaha atau proses mencapai sesuatu yang dianggap penting oleh keluarga. Ada tiga komponen dalam proses manajemen, yaitu input, proses, dan output. Input merupakan segala sesuatu yang dimiliki atau dapat diakses oleh keluarga dan ditransformasi dalam sebuah proses untuk mencapai tujuan. Proses terdiri atas perencanaan dan implementasi. Adapun output adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari sistem manajemen (Deacon dan Firebaugh 1988).

Bagi keluarga miskin, keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh sebuah keluarga menyebabkan perlunya suatu pengelolaan yang baik agar tujuan hidup yang diinginkan dapat tercapai (Iskandar 2003). Bagi keluarga tidak miskin pengelolaan sumberdaya diperlukan agar sumberdaya yang ada dioptimalkan fungsi produksinya agar kesejahteraan keluarga kian meningkat.

Sebagai proses yang dinamis, salah satu dari karakteristik manajemen adalah tidak kaku, artinya, proses manajemen yang dilakukan dapat disesuaikan dengan situasi yang sedang dihadapi dan ketersediaan sumberdaya. Oleh


(5)

karena itu, setiap keluarga memiliki pola manajemen yang berbeda-beda. Begitu pula yang terjadi pada keluarga miskin dan tidak miskin.

Keluarga tidak miskin diduga memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pendapatan dan jumlah aset yang lebih besar, tingkat masalah yang lebih rendah serta tujuan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga miskin. Oleh karena itu, keluarga tidak miskin diduga menerapkan manajemen sumberdaya keluarga yang lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Penerapan manajemen yang lebih baik diduga menciptakan kesejahteraan keluarga yang lebih baik pula. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat perbedaan karakteristik keluarga, masalah yang dirasakan, dan tujuan keluarga yang hendak dicapai antara keluarga miskin dan tidak miskin?

2. Apakah terdapat perbedaan manajemen sumberdaya manusia, manajemen waktu, dan manajemen keuangan antara keluarga miskin dan tidak miskin?

3. Apakah terdapat perbedaan kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis pada keluarga miskin dan tidak miskin?

4. Apakah terdapat hubungan antara manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan dengan karakteristik contoh serta masalah keluarga?

5. Apakah terdapat hubungan antara kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis dengan karakteristik contoh, masalah keluarga, manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan?

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan manajemen sumberdaya keluarga dan kesejahteraan keluarga pada keluarga miskin dan tidak miskin. Adapun tujuan khususnya, adalah:

1. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, masalah yang dirasakan, dan tujuan keluarga yang hendak dicapai antara keluarga miskin dan tidak miskin

2. Menganalisis manajemen sumberdaya manusia, manajemen waktu, dan manajemen keuangan antara keluarga miskin dan tidak miskin

3. Menganalisis kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis pada keluarga miskin dan tidak miskin


(6)

4. Menganalisis hubungan antara manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan dengan karakteristik keluarga serta masalah keluarga 5. Menganalisis hubungan antara kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis

dengan karakteristik keluarga, masalah keluarga, manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi bagi institusi pendidikan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menerapkan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu mengabdi pada masyarakat. Selanjutnya, bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan wawasan baru bagaimana sebaiknya mengelola sumberdaya keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Akhirnya, bagi pemerintah, penelitian ini memberikan gambaran bagaimana pengelolaan sumberdaya keluarga pada masyarakat miskin dan tidak miskin dan bagaimana hubungan antara manajemen dengan kesejahteraan sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pemberdayaan dan ketahanan keluarga.


(7)

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Keluarga

Menurut Soekanto (1990), keluarga kecil (nuclear family) merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, isteri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Sedangkan menurut Saleha (2003) keluarga merupakan satuan dasar dari sumberdaya manusia yang berperan dalam masyarakat pada berbagai bentuk kegiatan. Sebagai satuan dasar, maka keluarga merupakan instansi pertama yang memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri dan pembentukan pribadi manusia (Soedarsono 1997). Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Sunarto (2006) bahwa keluarga sebagai wahana utama dan pertama untuk 1) mengembangkan potensi keluarga; 2) mengembangkan aspek sosial dan ekonomi keluarga; dan 3) penyemaian cinta kasih sayang. Rice dan Tucker mengelompokkan fungsi keluarga dalam dua bagian, yaitu fungsi ekspresif dan fungsi instrumental. Fungsi ekspresif berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak, sedangkan fungsi instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui a) prokreasi dan sosialisasi anak serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Adapun fungsi keluarga menurut Roberta Berns yaitu fungsi reproduksi, sosialisasi/pendidikan, penetapan peran sosial, dukungan ekonomi, dan dukungan emosi (Sunarti 2001). Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk membahas keluarga,diantaranya adalah teori struktural fungsional dan sosial konflik.

Teori Struktural Fungsional

Teori ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang menjadi sumber adanya struktur masyarakat. Struktur masyarakat tersebut menciptakan fungsi dan peran yang berbeda-beda dalam masyarakat. Dengan kata lain, teori ini memandang bahwa keseimbangan dalam masyarakat akan terwujud jika masyarakat mampu menjalankan kehidupan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Teori ini muncul sebagai kritikan terhadap sosial konflik yang menginginkan kehidupan egaliter (tanpa struktur).

Perspektif fungsionalisme dicetuskan oleh August Comte (Megawangi 2001) yang menginginkan terciptanya kesepakatan/konsensus dalam masyarakat. Selanjutnya, pemikiran ini dikembangkan oleh Emile Durkheim yang


(8)

melahirkan teori pembagian kerja (division of labor). Menurutnya, masyarakat bersatu jika memiliki kesadaran akan kebersamaan. Kesadaran kebersamaan didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan yang diterima oleh rata-rata individu (common beliefs) yang dapat menyatukan seluruh sistem kemasyarakatan. Asas rasionalitas dan self-interest justru dapat menciptakan persaingan, penipuan dan kekacauan sosial. Maka, Emile Durkheim menganggap penting diciptakan suatu mekanisme untuk menginstitusionalisasi peraturan moral dan nilai sehingga menjadi common values atau nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang atau disakralkan oleh masyarakat.

Tokoh lain yang berperan dalam mengembangkan teori struktural fungsional yaitu Talcott Parsons. Parsons mencetuskan “teori aksi sukarela” (voluntaristic theory of action). Menurutnya, tidak ada seseorang yang ‘dipaksa’ untuk melakukan sesuatu karena seseorang bertindak sesuatu berdasarkan keputusannya sendiri. Keputusan ini dipengaruhi oleh kondisi situasional di sekitarnya dan kondisi normatif yang berlaku di masyarakat. Setiap tindakan disebut “unit aksi” (unit act) yang dilakukan oleh satu aktor atau lebih. Dalam konteks sosial, beberapa unit aksi dapat bergabung menjadi satu “sistem aksi” dimana setiap aktor mempunyai peran sesuai dengan kondisi situasional dan norma-norma yang diyakininya.

Konsep kesatuan aksi tersebut dapat terlaksana jika memenuhi dua syarat berikut: 1) sebuah sistem sosial harus mempunyai komponen aktor dalam jumlah yang memadai, dimana tingkah lakunya dimotivasi oleh tuntutan-tuntutan peran yang diatur oleh sistem sosialnya; dan 2) sistem sosial harus dapat menolak pengaruh budaya yang dapat mempengaruhi ketertiban sistem sosialnya, atau yang dapat menimbulkan deviasi dan konflik. Untuk memenuhi syarat tersebut, maka diperlukan proses institusionalisasi agar pola relasi yang stabil antar aktor yang mempunyai status dan peran berbeda, dapat terwujud. Melalui proses institusionalisasi ini, maka proses internalisasi norma, kebiasaan, dan peran dapat dilakukan sehingga dapat menghasilkan kepribadian aktor yang dapat menghasilkan pola relasi sosial yang stabil yang akan menciptakan ketertiban sosial. Proses internalisasi norma inilah yang membuat seseorang merasa “sukarela” dalam melakukan sesuatu.

Perspektif struktural fungsional menyebutkan bahwa keseimbangan dalam keluarga dapat tercapai bila terdapat struktur keluarga. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yaitu status sosial, peran sosial, dan norma


(9)

sosial dimana ketiganya saling berkaitan. Kehidupan seseorang dalam sebuah sistem sosial (dalam hal ini keluarga) tidak terlepas dari perannya yang diharapkan karena satus sosialnya. Peran ini berfungsi sebagai menjamin kelangsungan hidup sebuah sistem. Inilah yang dimaksud dengan keterkaitan antara aspek struktural dan fungsional dalam keluarga.

Keluarga dapat dipandang sebagai sebuah sistem dimana memiliki pola interaksi yang hampir sama dengan sistem sosial. Teori struktural fungsional memandang bahwa keberfungsian keluarga dapat terlaksana jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Adanya diferensiasi peran; 2) Adanya alokasi solidaritas; 3) Adanya alokasi ekonomi; 4) Adanya alokasi politik; dan 5) Adanya alokasi integrasi dan ekspresi. Pembagian peran dalam keluarga bisa dilakukan dengan mempertimbangkan umur, gender, status ekonomi dan politik dari setiap anggota keluarga. Alokasi solidaritas merupakan disteribusi relasi antar anggota menurut cinta, kekuatan, dan intensitas. Alokasi ekonomi menunjukkan adanya disteribusi barang dan jasa untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berkaitan dengan pembagian peran anggota keluarga dalam fungsi produksi, distribusi, dan konsumsi dalam keluarga. Alokasi politik menunjukkan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan penanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Adapun alokasi integrasi dan ekspresi merupakan distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Teori Sosial Konflik

Landasan teori sosial konflik adalah prinsip materialisme yang menyebutkan bahwa asal segala sesuatu adalah substansi materi, termasuk manusia. Kesadaran dan ruh manusia berasal dari adanya gerakan-gerakan partikel dalam otak. Prinsip materialisme menyatakan bahwa pada dasarnya manusia bersifat egois. Apapun yang dilakukan manusia semata-mata demi memenuhi kepentingan pribadinya saja. Oleh karena itu kehidupan masyarakat diwarnai dengan pola relasi dominasi dan penindasan.

Salah satu tokoh yang berperan dalam pengembangan teori ini adalah Karl Marx. Menurut Marx pola relasi antar manusia didorong oleh motivasi material dan ekonomi. Teori Marx meluas dengan semakin gencarnya kritikan terhadap Kapitalisme yang selalu mempertahankan status quo. Adanya masyarakat yang terstruktur semakin melanggengkan keberadaan status quo ini. Kelompok yang


(10)

berkuasa dipandang akan selalu menindas kelompok yang dikuasai agar kepentingannya dapat terpenuhi.

Menurut teori sosial konflik, keluarga terdiri atas suami sebagai kaum borjuis yang selalu menindas kaum proletar yaitu isteri. Pembagian ini didasarkan pada adanya fakta bahwa suami seringkali berkuasa dan menindas isteri dalam aspek ekonomi, seksual, dan pembagian properti dalam keluarga. Keluarga yang ideal dalam perspektif sosial konflik adalah keluarga yang berlandaskan companionship atau persahabatan yang hubungannya horizontal (Megawangi 2001). Keluarga yang berstruktur justru menimbulkan konflik keluarga yang berkepanjangan.

Kemunculan kaum feminis yang mengharapkan adanya “kebebasan bagi wanita” didasarkan pada teori ini. Mereka menuntut adanya penghapusan sistem patriarkat dalam keluarga. Bahkan mereka berupaya menghilangkan institusi keluarga atau paling tidak defungsionalisasi keluarga. Salah satu contoh defungsionalisasi keluarga adalah mengurangi peran keluarga dalam pengasuhan anak.

Kesejahteraan Keluarga

Menurut UU No. 52 tahun 2009 ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin (www.hsph.harvard.edu). Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan objektif diturunkan dari data kuantitatif yang diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang telah ditelaah. Pendekatan subjektif diperoleh dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan (Iskandar 2007).

Menurut Syarief dan Hartoyo dalam Fahmi (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain faktor ekonomi, budaya, teknologi, keamanan, kehidupan beragama, dan kepastian hukum. Hasil penelitian Fahmi (2008) menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, usia isteri, tingkat pendidikan suami, pengeluaran total keluarga, frekuensi perencanaan kegiatan keluarga dan pembagian peran gender dalam keluarga.


(11)

BKKBN membagi keluarga dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus). Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I) termasuk dalam kategori miskin. Ada lima indikator yang harus dipenuhi agar suatu keluarga dikategorikan sebagai Keluarga Sejahtera I, yaitu: 1) Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing; 2) Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih; 3) Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah, bekerja dan bepergian; 4) Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah; dan 5) Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern. Adapun suatu keluarga termasuk Keluarga Pra-Sejahtera jika tidak memenuhi salah satu dari lima indikator tersebut (BPS 2008).

BPS mengukur kesejahteraan keluarga dengan menghitung pola konsumsi keluarga. Keluarga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan keluarga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan keluarga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran keluarga, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa keluarga akan semakin sejahtera jika persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan.

Sunarti (2001) melakukan penelitian ketahanan keluarga dengan menggunakan pendekatan sistem (input-proses-output). Hasilnya ditemukan faktor laten ketahanan keluarga, yaitu ketahanan fisik, sosial, dan psikologis. Ketahanan fisik mencakup kesejahteraan fisik, ketahanan sosial mencakup kesejahteraan sosial, dan ketahanan psikologis mencakup kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan fisik menggambarkan kondisi tingkat pemenuhan kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Adapun kesejahteraan sosial dicerminkan dari persepsi dan harapan terhadap lingkungan yang merupakan hasil dari suatu rangkaian proses interaksi sosial. Sedangkan, kesejahteraan psikologi terukur dari frekuensi emosi tertentu, harapan terhadap masa datang, tingkat kepuasan, konsep diri, dan kepedulian suami terhadap isteri.


(12)

Masalah Keluarga

Suami isteri akan membuat harapan-harapan saat memulai kehidupan berumah tangga. Jika dalam perjalanan kehidupan keluarga mereka mengalami kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, maka pada saat itulah muncul masalah. Menurut Burgess dan Locke (1980) perbedaan latar belakang keluarga, gaya pengasuhan yang didapatkan, dan perbedaan pandangan tentang peran masing-masing anggota keluarga dapat menimbulkan konflik.

Blood (1972) menyebutkan bahwa krisis dalam keluarga bisa disebabkan oleh gangguan eksternal atau pergesekan internal keluarga. Gangguan eksternal dapat muncul dari adanya orang asing di rumah, misalnya seorang anak akan menganggap ayah atau ibu tiri mereka sebagai orang asing. Pertemanan yang terlalu dekat dengan lawan jenis dari luar keluarga juga dapat memicu konflik. Oleh karena itu, gangguan eksternal dapat muncul jika keluarga terlalu terbuka terhadap orang-orang di luar keluarga.

Konflik internal muncul ketika terjadi pergesekan antara salah satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lainnya. Menurut Taylor (2002), konflik keluarga yang paling banyak terjadi adalah konflik internal. Meskipun seseorang menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah (berada di tempat kerja atau berkumpul dengan komunitasnya), namun pada hakikatnya mereka tinggal dengan keluarga dan akan kembali ke rumah. Lewicki, Saunders, dan Minton membagi konflik keluarga dalam 4 level, yaitu: 1) konflik intrapersonal (konflik karena adanya dua ‘kubu’ pemikiran dalam diri seseorang); 2) konflik interpersonal (konflik antar anggota keluarga); 3) konflik intragroup (terbentuknya kubu-kubu dalam internal keluarga); dan 4) konflik intergroup (perselisihan keluarga dengan komunitas di luar keluarga). Menurut Burgess dan Locke (1960), konflik interpersonal diantaranya adalah konflik orangtua-anak dan konflik suami-isteri. Konflik anak biasanya berkaitan dengan perilaku anak, gangguan emosional, dan keremajaan. Konflik yang terjadi antara orangtua-anak menunjukkan ketidakmampuan orangtua dalam membangun hubungan demokratis dengan anak. Adapun konflik suami isteri bersumber dari hubungan kasih sayang, seks, perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan ekonomi, dan adanya persahabatan yang saling menguntungkan. Goldsmith mengelompokkan tiga area interaksi suami isteri yang merupakan sumber konflik yaitu uang, pekerjaan, dan seks. Konsekuensi negatif yang bersifat merusak dari


(13)

konflik keluarga bisa berupa frustasi, penolakan, pengkhianatan, dan rendahnya self esteem (Sunarti 2001).

Sunarti (2001) melakukan studi ketahanan keluarga dengan menggunakan pendekatan input-proses-output. Masalah yang dirasakan oleh seseorang merupakan komponen proses yang akan mempengaruhi kesejahteraan keluarga. untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga (output), keluarga harus mampu menanggulangi masalah (proses) dengan menggunakan sumberdaya yang dimiliki (input). Masalah ada yang bersifat fisik dan non fisik. Masalah fisik mencakup kondisi ekonomi, kesehatan, dan peristiwa kehilangan materi. Adapun masalah non-fisik berupa konflik dengan suami, keluarga, kesulitan pengasuhan anak, dan peristiwa kehilangan.

Tujuan Keluarga

Tujuan didefinisikan sebagai hasil akhir yang dituju dari suatu tindakan, biasanya berkaitan dengan tenggat waktu, pencapaian prestasi, penyelesaian, dan kesuksesan. Orientasi tujuan masuk ke dalam proses manajemen melalui sistem personal yang berasal dari nilai yang dianut. Semakin absolut nilai yang dianut seseorang, makin spesifik tujuan hidupnya. Misalnya, jika ketertarikan musik seseorang hanya pada musik country dan barat, maka keinginan untuk menyaksikan pertunjukan langsung menjadi fokus tujuannya. Seseorang yang menikmati semua jenis musik, memiliki lebih banyak alternatif pilihan untuk memenuhi keinginannya (Deacon dan Firebaugh 1988).

Nilai berkembang menjadi tujuan melalui berbagai cara, seperti pengalaman, pengetahuan baru, informasi timbal balik, dan perubahan lingkungan. Misalnya, nilai akan kesehatan diwujudkan ke dalam tujuan untuk meningkatkan vitalitas fisik (Deacon dan Firebaugh 1988). Ada tiga tipe tujuan, yaitu: 1) berdasarkan waktu (tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang); 2) berdasarkan peran (pribadi, profesional, keluarga, dan masyarakat); dan 3) jenis (tujuan primer dan sekunder).

Manajemen Sumberdaya Keluarga

Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan sumberdaya sebagai segala sesuatu yang berada dalam kontrol keluarga yang dapat memenuhi tuntutan keluarga atau menghantarkan keluarga untuk mencapai tujuan. Sumberdaya dapat berasal dari dalam keluarga atau merupakan hasil interaksi keluarga dengan lingkungan. Sumberdaya harus diketahui potensi dan kegunaannya agar


(14)

bisa memenuhi keinginan (Gross et al 1973). Dengan demikian segala sesuatu yang ada di sekitar kita dapat digolongkan menjadi sumberdaya jika dapat diakses dan sudah diketahui potensi atau kegunaannya.

Berdasarkan jenisnya, sumberdaya dibagi menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya materi (Deacon dan Firebaugh 1988). Sumberdaya manusia mencakup keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan anggota keluarga. Terdapat tiga aspek sumberdaya manusia, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Keberfungsian ketiga aspek sumberdaya manusia tersebut dipengaruhi oleh energi yang dimiliki manusia dan kemampuannya untuk mengelola waktu. Sumberdaya energi dan waktu digolongkan sebagai sumberdaya non-manusia/materi. Dengan demikian, terdapat kaitan yang erat antara sumberdaya manusia dan sumberdaya materi.

Sumberdaya materi mencakup barang/benda, jasa, waktu, dan energi (Deacon dan Firebaugh 1988). Waktu sifatnya tetap, tidak bisa ditambah, dikurangi atau diakumulasi. Penggunaan waktu yang efektif berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan psikologis. Energi merupakan sesuatu yang fundamental bagi kelangsungan hidup manusia karena manusia selalu membutuhkan energi dalam setiap aktivitas. Sumberdaya energi dapat dihasilkan oleh manusia sendiri melalui proses konsumsi pangan atau berasal dari lingkungan seperti energi matahari, energi angin, dan lain-lain.

Manajemen merupakan alat dasar (basic tool) utnuk mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Suatu proses manajemen dikatakan berhasil jika mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan melakukan manajemen kehidupan seseorang bisa teratur dan efektif (Deacon dan Firebaugh 1988). Menurut Gross dan Crandall (1973) sumberdaya keluarga terdiri atas serangkaian pengambilan keputusan dalam penggunaan sumberdaya keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Dengan kata lain, manajemen sumberdaya keluarga mencakup semua bentuk perilaku untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sistem manajemen menunjukkan saling ketergantungan dan saling keterhubungan di antara sistem keluarga dengan sistem di sekelilingnya karena manajemen dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan.

Input mencakup zat, energi, sumberdaya, keinginan, dan informasi yang dapat ditransformasi untuk mencapai tujuan tertentu (Deacon dan Firebaugh 1988). Proses manajemen mencakup perencanaan dan pelaksanaan. Perencanaan berarti serangkaian pengambilan keputusan yang berorientasi


(15)

masa depan. Pelaksanaan merupakan aktivitas menjalankan perencanaan. Pelaksanaan juga mencakup pengawasan terhadap aktivitas. Salah satu ciri manajemen adalah tidak kaku atau dinamis. Oleh karena itu, merupakan kelaziman jika selama proses manajemen mengalami berbagai penyesuaian dan adaptasi. Di akhir proses pelaksanaan, ada evaluasi yang menilai pencapaian tujuan (output). Tujuan dalam manajemen sumberdaya keluarga bisa berasal dari tujuan masing-masing anggota keluarga atau keluarga secara keseluruhan. Tujuan memberikan arahan bagi proses manajemen. Adapun standar yaitu ukuran atau kriteria untuk mengukur kapasitas dan cara yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan (Nickell dan Dorsey 1960). Secara umum hasil dari proses manajemen yaitu tercapainya tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang ada.

Manajemen Sumberdaya Manusia

Manajemen sumberdaya manusia dalam penelitian ini merupakan pembagian tugas dalam keluarga demi keberfungsian keluarga dalam memenuhi aspek pangan, perumahan, pengasuhan, pendidikan, dan pengasuhan. Pembagian kerja dalam rumah tangga dapat dilihat dengan menggunakan empat hipotesis, yaitu: 1) resource and power hypothesis; 2) time availability hypothesis; 3) sex-role hypothesis; dan 4) preference-for-housework hypothesis. Resource and power hypothesis menyatakan bahwa semakin besar kontribusi pendapatan suami bagi keluarga, maka semakin besar tanggung jawab isteri dalam urusan rumah tangga. Sebaliknya, semakin besar kontribusi pendapatan isteri bagi keluarga, maka semakin kecil tanggung jawab isteri dalam urusan rumah tangga. Time availability hypothesis menyatakan bahwa seorang isteri yang bekerja memiliki alokasi waktu dan tanggung jawab yang lebih sedikit untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan isteri yang tidak bekerja. Sex-role hypothesis menyebutkan bahwa persepsi gender mempengaruhi pembagian kerja. Adapun preference-for-housework hypothesis menyatakan bahwa preferensi (ketertarikan) suami dan isteri pada jenis pekerjaan tertentu mempengaruhi pembagian kerja dalam keluarga. Secara umum, seorang isteri menyukai aktivitas domestik seperti mengasuh anak dan merapikan rumah, sedangkan ketertarikan suami pada aktivitas domestik lebih rendah dibandingkan isteri (Deacon dan Firebaugh 1988).


(16)

Manajemen Waktu

Manajemen waktu adalah suatu cara dalam menggunakan dan mengelola waktu agar aktivitas dapat berjalan efektif dan efisien. Output dari manajemen waktu adalah jika waktu yang digunakan dapat mencapai tujuan individu dan keluarga. Dalam mengelola waktu diperlukan kemampuan untuk menempatkan posisi diri kita dalam lingkungan. Dengan kata lain, aktivitas individu akan disesuaikan dengan orang lain, baik dalam aspek pemenuhan pangan, pekerjaan, istirahat, atau rekreasi (Nickell dan Dorsey 1960).

Sebagai aktivitas manajemen, manajemen waktu terdiri atas aktivitas perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Menurut Gross dan Crandall (1973), terdapat tiga tipe perencanaan waktu, yaitu: 1) List a job; 2) Series of project; dan 3) Schedule. List a job adalah perencanaan waktu dengan cara membuat daftar aktivitas kegiatan yang akan dilakukan, disertai dengan kata-kata motivasi sehingga bersemangat untuk mencapai target yang sudah ditentukan. Pada perencanaan series of project, daftar aktivitas kegiatan disertai dengan urutan waktu, namun tidak ada batas waktu yang jelas. Adapun, dalam tipe perencanaan yang ketiga, daftar aktivitas disertai dengan urutan waktu dan perkiraan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan aktivitas tersebut. Langkah-langkah dalam menyusun schedule adalah; 1) membuat daftar semua aktivitas, kemudian dikelompokkan menjadi aktivitas fleksibel dan tidak fleksibel; 2) memperkirakan waktu yang diperlukan untuk menjalankan setiap aktivitas; 3) menyesuiakan total perkiraan waktu yang diperlukan dengan waktu yang tersedia; 4) menyusun urutan waktu; 5) tuliskan perencanaan; dan 6) jika terdapat aktivitas yang berkaitan dengan orang lain, maka komunikasikan hal tersebut kepada orang yang dimaksud.

Perencanaan waktu disusun sedemikian rupa dengan mengalokasikan waktu tidak terduga (emergencies time). Kemampuan seseorang dalam melakukan penyesuaian dalam pengelolaan waktu merupakan aspek penting dalam melakukan manajemen waktu (Nickell dan Dorsey 1960). Salah satu cara untuk meningkatkan kepekaan terhadap waktu adalah dengan membuat daftar aktivitas yang harus dilakukan dalam waktu yang cukup singkat. Misalnya merencanakan untuk mengerjakan laporan praktikum dalam waktu setengah jam. Jika ternyata waktu yang diperlukan lebih dari setengah jam, maka yang harus dilakukan adalah mengubah konsepsi bahwa mengerjakan laporan praktikum memerlukan waktu lebih dari setengah jam. Salah satu alat bantu yang bisa


(17)

digunakan sebagai pengontrol waktu adalah bulletin board, yaitu papan yang berisi daftar aktivitas beserta perkiraan waktu yang diperlukan. Alat bantu lainnya adalah time record, yaitu mencatat setiap penggunaan waktu. Dengan cara ini, seseorang dapat memeriksa proporsi dalam menggunakan waktu. Adapun evaluasi dilakukan dengan memeriksa ketepatan metode yang digunakan, kesesuaian pengambilan keputusan yang diambil dengan nilai yang dianut serta ketepatan pencapaian target (Gross dan Crandall 1973).

Manajemen Keuangan Keluarga

Manajemen pendapatan atau manajemen keuangan adalah kegiatan merencanakan, mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan pendapatan (Nickell dan Dorsey 1960). Menurut Firdaus dan Sunarti (2009), manajemen keuangan keluarga mencakup komunikasi bagaimana menggunakan pendapatan. Ketersediaan sumberdaya lain, seperti waktu dan sumberdaya manusia, penting dalam melakukan manajemen keuangan karena sumberdaya tersebut mempengaruhi bagaimana penggunaan keuangan untuk mencapai tujuan (Deacon dan Firebaugh 1988). Sebagai suatu sistem, manajemen keuangan mencakup tiga aspek, yaitu input, proses, dan output. Aspek input mencakup tujuan, keinginan, kebutuhan, dan resiko ekonomi. Penentuan tujuan dan penetapan budget merupakan tahap perencanaan dalam proses manajemen keuangan. Bagi keluarga yang baru menikah, tujuan utama dalam penetapan budget adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai harga barang dan jasa. Bagi keluarga yang menggunakan kartu kredit, maka yang menjadi tujuan utama adalah menjaga batas kartu kredit sesuai dengan kemampuan finansial mereka (Gross dan Crandall 1973). Ada empat langkah yang dilakukan dalam menetapkan budget, yaitu: 1) memperkirakan jumlah uang yang tersedia; 2) memperkirakan pengeluaran; 3) membandingkan keperluan dengan sumberdaya yang tersedia; dan 4) mengevaluasi perencanaan dan implementasi secara menyeluruh.

Penelitian-Penelitian Terdahulu

Samon (2005) meneliti pelaksanaan manajemen keuangan pada dua populasi, yaitu keluarga nelayan dan keluarga petani tambak. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pengeluaran terbesar keluarga nelayan adalah pangan, sebaliknya pengeluaran terbesar keluarga petani tambak adalah non pangan. Jika suatu keluarga memiliki pengeluaran terbesar untuk pangan, maka mengindikasikan bahwa keluarga tersebut tidak sejahtera. Dengan demikian,


(18)

keluarga nelayan tergolong keluarga miskin dan keluarga petani tambak termasuk keluarga sejahtera. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan manajemen keuangan, baik keluarga nelayan maupun petani tambak masih tergolong rendah.

Hasil penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga, maka semakin tinggi tekanan ekonomi dan semakin rendah kesejahteraannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, makin baik pula manajemen keuangan keluarga sehingga kesejahteraannya semakin meningkat. Meskipun demikian hanya sedikit (12.6%) keluarga yang memiliki manajemen dalam kategori baik. Hal ini membuktikan bahwa jenjang pendidikan yang tinggi belum pasti memiliki manajemen keluarga yang baik. Terbatasnya keuangan keluarga dan terbatasnya tindakan pilihan untuk menggunakan uang, menyebabkan pengelolaan keuangan menjadi sederhana.

Hasil penelitian Sunarti (2001) menunjukkan bahwa masalah yang paling banyak dihadapi oleh keluarga adalah masalah ekonomi keluarga (50-60%) yang mencakup kekurangan uang untuk membeli pangan, biaya anak sekolah, dan untuk pelayanan kesehatan. Masalah perkawinan yang terjadi adalah konflik suami isteri (40%), bahkan terdapat 10 persen contoh yang mengetahui suaminya selingkuh. Pada umumnya contoh merasa tertekan dengan kejadian tersebut, namun ada contoh yang mencoba menekan perasaan tersebut dengan berusaha memahami kejadian dan kondisi sulit yang dialami suaminya.

Saleha melakukan penelitian sumberdaya keluarga pada keluarga nelayan di Bontang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas domestik seperti mengurus anak dan pemeliharaan rumahtangga banyak dilakukan oleh isteri. Meskipun demikian, aktivitas mendampingi anak belajar lebih banyak dilakukan oleh suami. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa pendidikan suami lebih memadai dalam melakukan pendampingan belajar. Selain itu, keterlibatan suami dalam merawat anak yang sakit, cukup tinggi yaitu sebesar 78.3 persen. Hal ini karena mereka menyadari pentingnya kesehatan sehingga harus ditangani dengan lebih serius bersama-sama. Adapun untuk aktivitas publik dalam sektor ekonomi dan sosial kemasyarakatan, terdapat pembagian peran antara suami dan isteri. Dalam sektor ekonomi, aktivitas persiapan melaut dan pemasaran hasil laut banyak dilakukan oleh suami, sedangkan isteri banyak terlibat dalam aktivitas pengolahan hasil ikan. Dalam sektor sosial kemasyarakatan, isteri lebih banyak menghadiri kegiatan keagamaan/pengajian, Posyandu, dan PKK,


(19)

sedangkan suami lebih banyak menghadiri kegiatan gotong royong. Suami dan isteri secara bersama-sama banyak menghadiri kegiatan sosial kemasyarakatan seperti acara selamatan (Saleha 2003).

Hasil penelitian Kusumo dan Simanjuntak (2009) menyebutkan bahwa keluarga berpenghasilan rendah belum merasa puas dengan sumberdaya fisik yang dimiliki karena hanya dapat memenuhi separuh dari harapan contoh atau dengan kata lain sumberdaya tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Meskipun demikian secara umum keluarga berpenghasilan rendah merasa puas dengan sumberdaya non fisik yang tersedia. Kepuasan sangat berhubungan dengan bagaimana keluarga tersebut mengatur pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Menurut Iskandar (2003) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manajemen sumberdaya keluarga terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jumlah anggota keluarga, usia kepala keluarga, usia isteri, pendidikan kepala keluarga dan isteri, pendidikan, dan kepemilikan aset, sedangkan faktor eksternal berupa lokasi tempat tinggal. Keluarga miskin membiarkan tujuan hidup mengalir seperti apa adanya, sedangkan keluarga yang tidak miskin memiliki perencanaan agar tujuan hidup dapat dicapai. Pada keluarga miskin dan tidak miskin, sebagian besar tugas seorang ibu adalah mengurus anak dan keluarga. Meskipun demikian, suami juga berperan dalam kegiatan domestik (pengasuhan anak) walaupun dengan rataan alokasi waktu yang jauh lebih sedikit.

Suandi (2007) meneliti mengenai modal sosial dan kesejahteraan ekonomi keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial, seperti tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi lokal, dan keterpercayaan masyarakat berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi objektif keluarga. Selain itu, manajemen keuangan dan manajemen anggota keluarga pun berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi objektif. Adapun karakteristik sosio-demografi, seperti pendidikan suami dan pendidikan non-formal suami tidak berpengaruh signifikan. Meskipun demikian, karakteristik sosio-demografi tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga. Begitu pula dengan manajemen sumberdaya keluarga dan faktor modal sosial, tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga.


(20)

Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa manajemen keuangan pada keluarga miskin maupun keluarga tidak miskin tergolong rendah. Meskipun terdapat kecenderungan semakin tinggi jenjang pendidikan maka sumberdaya keluarga semakin baik, namun jenjang pendidikan yang tinggi belum pasti memiliki manajemen keluarga yang baik. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manajemen sumberdaya keluarga, yaitu besar keluarga, usia suami, usia isteri, pendidikan suami, pendidikan isteri, kepemilikan aset, dan lokasi tempat tinggal. Karakteristik sosio-demografi, modal sosial, dan manajemen sumberdaya keluarga berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan objektif keluarga. Masalah yang paling banyak dirasakan oleh keluarga yaitu masalah ekonomi keluarga dan perkawinan.


(21)

KERANGKA PEMIKIRAN

Sumberdaya keluarga adalah segala sesuatu yang dimiliki keluarga yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan keluarga. Sumberdaya yang dimiliki keluarga merupakan input dalam proses manajemen sumberdaya keluarga. Oleh karena itu, karakteristik keluarga yang mencakup karakteristik demografi (usia suami-isteri dan besar keluarga), sosial (jenjang pendidikan dan lama pendidikan), ekonomi (pendapatan, pengeluaran, pekerjaan, kepemilikan utang dan rasio utang terhadap aset) merupakan input bagi proses manajemen. Selain itu, masalah keluarga yang ingin diselesaikan menjadi tujuan bagi keluarga yang akan menjadi input juga bagi proses manajemen.

Proses manajemen berlangsung jika ada perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian atas penggunaan input serta evaluasi terhadap tindakan manajemen secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, manajemen sumberdaya keluarga yang diteliti adalah manajemen sumberdaya manusia, manajemen waktu, dan manajemen keuangan. Manajemen sumberdaya manusia mengacu pada pembagian tugas dan tanggung jawab suami-isteri demi keberfungsian keluarga dalam aspek pangan, perumahan, pengasuhan, pendidikan, dan kesehatan. Manajemen waktu mencerminkan kemampuan keluarga menggunakan waktu dengan efektif dan efisien. .Adapun manajemen keuangan mencerminkan kemampuan keluarga mengelola sumberdaya materi yang dimiliki.

Manajemen sumberdaya keluarga dikatakan berhasil jika keluarga dapat mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang ada. Secara umum, tujuan dari keluarga adalah terciptanya kesejahteraan keluarga. Pada penelitian ini indikator kesejahteraan yang digunakan adalah indikator kesejahteraan yang dikembangkan oleh Sunarti, meliputi kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis (Sunarti 2001). Kesejahteraan fisik mencerminkan ketahanan ekonomi keluarga karena keluarga mampu memenuhi kebutuhan fisik seperti pangan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kesejahteraan sosial berkaitan dengan persepsi dan harapan seseorang terhadap lingkungan sosialnya. Adapun kesejahteraan psikologis diukur berdasarkan intensitas emosi tertentu, konsep diri, dan kepedulian suami. Secara ringkas, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.


(22)

Gambar 1 Kerangka berpikir manajemen sumberdaya keluarga pada keluarga miskin dan tidak miskin

OUTPUT

Kesejahteraan Keluarga:

 Kesejahteraan

Fisik

 Kesejahteraan

Psikologis

 Kesejahteraan

Sosial

PROSES

Manajemen Waktu

Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen Keuangan

Karakteristik Keluarga:

1. Demografi

- Usia suami & isteri -Besar keluarga 2. Sosial

- Jenjang Pendidikan - Lama Pendidikan 3. Ekonomi

- Pendapatan - Pengeluaran - Pekerjaan

- Rasio utang terhadap aset

 Masalah Keluarga

 Tujuan Keluarga


(23)

METODE PENELITIAN

Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study, artinya data penelitian dikumpulkan pada satu periode waktu tertentu. Penelitian dilaksanakan di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode purposive dengan pertimbangan Desa Laladon memiliki masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang cukup heterogen. Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus 2010 sampai dengan Februari 2011. Dalam kurun waktu tersebut, peneliti melakukan pengumpulan, pengolahan, dan analisis data serta menyusun laporan penelitian.

Populasi dan Teknik Penarikan Contoh

Populasi penelitian adalah seluruh keluarga miskin dan tidak miskin di Desa Laladon. Desa Laladon tidak memiliki data penduduk miskin, namun memiliki data penduduk penerima BLT. Dana BLT diberikan kepada penduduk yang memenuhi kriteria kemiskinan BPS, yaitu keluarga dinyatakan miskin apabila pengeluaran per kapita per bulannya di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, data BLT 2008 digunakan sebagai acuan menentukan keluarga tidak miskin.

Berdasarkan data BLT, RW 03 merupakan RW terbanyak penerima BLT yaitu sebanyak 98 keluarga. Oleh karena itu RW 03 dipilih untuk kemudian ditentukan contoh dari keluarga miskin. Sedangkan keluarga tidak miskin berasal dari RW 10 karena RW 10 tidak memiliki satu pun keluarga miskin. RW 10 terdiri atas 124 keluarga sehingga total populasi penelitian adalah 222 keluarga.

Contoh penelitian ini yaitu isteri dengan karakteristik sebagai berikut: 1) masih memiliki suami; dan 2) memiliki anak minimal usia sekolah. Penentuan karakteristik contoh mengacu pada instrumen penelitian (kuesioner). Pada kuesioner terdapat pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan peran dan fungsi suami sehingga untuk menjaga keakuratan jawaban, contoh harus memiliki suami saat penelitian dilakukan. Selain itu terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan peran orangtua terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan anak sehingga contoh harus memiliki anak minimal usia sekolah saat penelitian


(24)

dilakukan. Jumlah contoh minimal ditentukan menggunakan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan 10 persen, yaitu:

Dengan demikian jumlah contoh yang diperoleh yaitu:

Adapun jumlah contoh dari setiap RW diperoleh dengan menggunakan sistem proporsi dengan perhitungan sebagai berikut:

Keterangan: nRw 03/Rw 10 = populasi penelitian (RW 03 dan RW 10) N Rw 03/Rw 10 = jumlah contoh penelitian (RW 03 dan RW 10) Ntotal = populasi penelitian

n = jumlah contoh penelitian

Dengan demikian didapatkan jumlah contoh di setiap RW yaitu sebagai berikut:

Berdasarkan perhitungan rumus di atas, maka didapatkan 31 orang contoh dari RW 03 (keluarga miskin) dan 39 orang contoh dari RW 10 (keluarga tidak miskin). Di tengah pengumpulan data penelitian, terdapat 2 contoh keluarga tidak miskin drop out karena tidak berkenan diwawancara. Dengan demikian, total seluruh contoh adalah 68 orang. Proses penarikan contoh dilakukan secara acak menggunakan teknik simple random sampling. Secara ringkas teknik penarikan contoh dapat dilihat pada bagan berikut:

N n= 1+ Ne2

Keterangan: n= ukuran sampel N= ukuran populasi

e= persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan yang masih bisa ditolerir yaitu 10%

222

n= = 70 orang 1+ 222 (0.1)2

70

N RW 03= × 98 = 31 orang 222

70

N RW 10= × 124 = 39 orang 222

n RW 03/RW 10 N RW 03/RW 10= × n


(25)

Gambar 2 Bagan penarikan contoh

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara kepada contoh terpilih dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder didapatkan dari Kantor Kelurahan Desa Laladon dan literatur-literatur terkait.

Kuesioner untuk mengukur manajemen sumberdaya manusia merupakan kuesioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan construct dari Diktat Manajemen Sumberdaya Manusia karya Suprihatin Guhardja dan kawan-kawan. Kuesioner yang mengukur manajemen waktu merupakan kuesioner yang dikembangkan sendiri dengan menggunakan konstrak dari Nickell dan Dorsey (1960), sedangkan kuesioner yang mengukur manajemen keuangan merupakan kuesioner yang dimodifikasi dari kuesioner manajemen keuangan Firdaus dan Sunarti (2009) dan Simanjuntak (2010). Adapun kuesioner yang mengukur kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis merupakan kuesioner yang diadopsi dari Sunarti (2001).

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang sudah dikumpulkan diolah melalui proses entrying, editing, coding, cleaning, dan dianalisis menggunakan program lunak komputer. Analisis yang digunakan untuk menganalisis data yaitu uji deskriptif, uji beda Independent

Purposive

Purposive

Purposive

Random Sampling Desa

Laladon

RW 10 (KTM)

n2=31 n1=39

RW 03 (KM) Kecamatan


(26)

sample T-Test, dan uji korelasi Pearson. Uji deskriptif digunakan untuk mengetahui nilai minimum-maksimum, rataan, dan standar deviasi variabel penelitian. Selain itu uji deskriptif juga digunakan untuk mengetahui sebaran contoh pada kedua kelompok contoh berdasarkan kategori tertentu. Uji beda digunakan untuk menganalisis perbedaan karakteristik contoh, masalah, tujuan keluarga, penerapan manajemen sumberdaya keluarga, dan kesejahteraan keluarga antara keluarga miskin dan tidak miskin. Uji korelasi digunakan untuk menguji hubungan antarvariabel. Selanjutnya data yang disajikan dijelaskan secara deskriptif. Dalam tabel pembahasan, contoh keluarga miskin diberi label KM, sedangkan contoh keluarga tidak miskin diberi label KTM. Variabel penelitian, skala, dan kategori dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel penelitian, skala, dan kategoriyang digunakan

Variabel Penelitian Skala Kategori

1. Karakteristik Keluarga

a. Usia Rasio Berdasarkan Hurlock (1980)

[1] Dewasa awal: 18-40 tahun; [2] Dewasa madya: 41-60 tahun; [3] Dewasa akhir: >60 tahun

b. Besar Keluarga Rasio Berdasarkan Hurlock (1980)

[1] Keluarga kecil (≤4 orang); [2]

Keluarga sedang (5-7 orang); dan [3]

Keluarga besar (≥8 orang)

c. Pendidikan

Jenjang Pendidikan Lama Pendidikan

Ordinal Rasio

[1] Tidak sekolah; [2] Tidak tamat SD; [3] Tamat SD; [4] Tamat SMP; [5] Tamat SMA; [6] Diploma; dan [7] S1-S3 Berdasarkan wajib belajar 9 tahun: [1] ≤ 9 tahun; dan [2] > 9 tahun

d. Pekerjaan Nominal [1] Tidak bekerja; [2] Buruh; [3] Satpam;

[4] PRT; [5] Wiraswasta; [6] PNS; [7] Pegawai swasta; dan [8] Lain-lain

e. Pendapatan Rasio Berdasarkan UMR Bogor (2010)

1. Rendah (≤ Rp 971 200)

2. Sedang (Rp 971 201-Rp 1 942 401) 3. Tinggi (> Rp 1 942 402)

f. Pengeluaran Rasio Berdasarkan GK BPS Jawa Barat (2009)

1. Sangat miskin (≤ Rp 105 863)

2. Miskin (Rp 105 864-Rp 211 727) 3. Hampir miskin (Rp 211 728-Rp 317

590)

4. Tidak miskin (>Rp 317 590)

g. Rasio Utang Rasio [1] ≤ 50%; dan [2] > 50%

2. Masalah Keluarga (skor) Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang

(33.4%-66.6%); dan [3] Tinggi (66.7%-100%)

3. Manajemen Sumberdaya Keluarga

a. Manajemen Sumberdaya Manusia (skor)

Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang


(27)

(66.7%-Variabel Penelitian Skala Kategori

100%)

b. Manajemen Waktu (skor) Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang

(33.4%-66.6%); dan [3] Tinggi (66.7%-100%)

c. Manajemen Keuangan (skor)

Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang

(33.4%-66.6%); dan [3] Tinggi (66.7%-100%)

4. Kesejahteraan Keluarga

a. Kesejahteraan Fisik (skor) Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang

(33.4%-66.6%); dan [3] Tinggi (66.7%-100%)

b. Kesejahteraan Psikologis (skor)

Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang

(33.4%-66.6%); dan [3] Tinggi (66.7%-100%)

c. Kesejahteraan Sosial (skor)

Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang

(33.4%-66.6%); dan [3] Tinggi (66.7%-100%)

Pada saat melakukan pengolahan, data variabel masalah, sumberdaya manusia, sumberdaya waktu, sumberdaya keuangan, kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis diubah ke dalam bentuk rasio dengan cara skoring. Adapun rumus skoring, yaitu:

nilai total-nilai minimum

Skor= × 100%

nilai maksimum-nilai minimum

Setelah mendapatkan skor setiap variabel, selanjutnya skor dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Untuk menentukan cut off tingkat masalah, sumberdaya manusia, sumberdaya waktu, sumberdaya keuangan, kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis, maka perlu dicari interval kelasnya dengan menggunakan rumus:

kategori jumlah minimum skor -maksimum skor (IK) kelas Interval 

Selanjutnya, tentukan pembagian kategorinya:

a. Rendah : skor minimum ≤ x ≤ skor minimum + IK b. Sedang : skor minimum + IK < x ≤ skor minimum + 2 IK c. Tinggi : skor minimum + 2 IK < x ≤ skor maksimum

Dengan menggunakan rumus di atas, maka interval kelas untuk ketujuh variabel tersebut yaitu:

% 3 . 33 3 0% -100% (IK) kelas

Interval  


(28)

Dengan demikian, cut off bagi masalah keluarga, manajemen keuangan, manajemen waktu, manajemen sumberdaya manusia, kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis yaitu:

a. Rendah : 0%– 33.3% b. Sedang : 33.4% – 66.6% c. Tinggi : 66.7% – 100%

Definisi Operasional

Contoh adalah isteri yang memiliki keluarga utuh dan memiliki anak minimal berusia sekolah.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama.

Lama pendidikan adalah waktu yang diperlukan contoh dalam menempuh pendidikan formal.

Pekerjaan keluarga adalah pekerjaan utama suami dan isteri yang bernilai ekonomi.

Pendapatan keluarga adalah jumlah uang yang diterima oleh keluarga, baik dari semua anggota keluarga yang bekerja ataupun pemberian rutin. Pendididikan adalah pendidikan formal yang ditempuh oleh contoh.

Pengeluaran adalah jumlah total semua pengeluaran pangan dan non pangan keluarga.

Tujuan keluarga adalah hal yang ingin dicapai keluarga dalam jangka pendek, menengah, dan panjang

Manajemen sumberdaya keluarga adalah pengelolaan sumberdaya yang dilakukan keluarga, mencakup manajemen waktu, manajemen keuangan, dan manajemen sumberdaya manusia.

Manajemen keuangan adalah kegiatan merencanakan, mengevaluasi, dan membicarakan penggunaan sumberdaya berupa uang yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan keluarga.

Manajemen waktu adalah kegiatan merencanakan penggunaan waktu dan melaksanakannya untuk mencapai tujuan keluarga.

Manajemen sumberdaya manusia adalah kegiatan mengelola dengan cara membagi-bagi pekerjaan keluarga kepada anggota keluarga.


(29)

Kesejahteraan keluarga adalah kondisi ideal keluarga, mencakup kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan fisik adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi aspek

pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan perumahan.

Kesejahteraan sosial adalah persepsi dan harapan contoh dalam hubungannya dengan lingkungan sosial.

Kesejahteraan psikologis adalah frekuensi emosi tertentu, harapan terhadap masa datang, tingkat kepuasan, dan konsep diri contoh.


(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sindang Barang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Padasuka, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ciherang, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Ciomas Rahayu. Desa Laladon berada pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan rataan 200 mm per tahun. Adapun jarak Desa Laladon ke pusat pemerintahan (orbitasi) relatif dekat, yaitu 2.5 km ke pusat pemerintahan kecamatan, 20 km ke pemerintahan Kabupaten atau Kota Bogor, 60 km ke ibukota negara, dan 120 km ke ibukota provinsi.

Desa Laladon terdiri atas 43 RT dan 10 RW yang dihuni oleh 2 540 kepala keluarga. Dengan demikian kepadatan penduduk Desa Laladon adalah sebesar 0.996 per km2. Adapun jumlah penduduk Desa Laladon sebesar 10 155 yang terdiri atas laki-laki sebesar 5 126 jiwa dan perempuan sebesar 5 029 jiwa. Lebih dari separuh (67.1%) penduduk Desa Laladon adalah usia produktif (15-60 tahun). Namun hanya sebesar 36.8 persen yang bekerja, sedangkan sebesar 50.7 persen belum bekerja/pengangguran, dan sisanya masih bersekolah (12.4%). Mata pencaharian terbesar penduduk Desa Laladon adalah pegawai swasta sebesar 1 767 jiwa, diikuti dengan buruh jahit sebesar 228 jiwa dan pemilik tanah sawah sebesar 364 jiwa. Adapun buruh tani jumlahnya hanya 74 jiwa, buruh industri sebanyak 22 orang, dan supir angkot sebanyak 44 orang.

Berdasarkan data demografi Desa Laladon, tingkat pendidikan penduduk usia produktif Desa Laladon adalah tamat SD sebanyak 1 151 jiwa, tamat SLTP 1 141 jiwa, tamat SMU 3 616 jiwa, tamat akademi (D1-D3) sebanyak 239 jiwa, dan tamat S1-S3 sebanyak 426 jiwa. Fasilitas pendidikan Desa Laladon cukup lengkap mulai dari pendidikan pra sekolah sampai sekolah menengah atas dengan rincian sebagai berikut: 3 buah TK, 3 buah SD/MI, 1 buah SMP/MTS, dan 3 buah SMA/MA. Selain itu, Desa Laladon memiliki 2 buah pesantren. Desa Laladon memiliki penduduk yang cukup heterogen karena dihuni oleh beberapa etnis, yaitu Sunda (9 071 jiwa), Jawa (761 jiwa), Betawi (229 jiwa), Minang (8 jiwa), Batak (61 jiwa), keturunan Cina (8 jiwa), dan lain-lain (25 jiwa).


(31)

Karakteristik Keluarga Usia

Pada penelitian ini, pembagian rentang usia menggunakan pendapat Hurlock (1980), yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Hasil uji deskriptif menunjukkan bahwa usia contoh berkisar antara 28-70 tahun. Rataan usia pada keluarga miskin lebih tinggi daripada rataan usia pada keluarga tidak miskin. Rataan pada keluarga miskin sebesar 48.58 tahun, sedangkan rataan pada keluarga tidak miskin sebesar 36.08 tahun (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa usia contoh keluarga miskin lebih tua dibandingkan keluarga tidak miskin.

Tabel 2 Sebaran usia contoh dan statistiknya

Usia KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

Dewasa awal (18-40 tahun) 6 19.4 31 83.8 37 54.4

Dewasa madya (41-60 tahun) 21 67.7 6 16.2 27 39.7

Dewasa akhir (>60 tahun) 4 12.9 0 0.0 4 5.9

Min-max (tahun) 29-70 28-47 28-70

Rataan ± SD (tahun) 48.58±9.36 36.08±4.51 41.78±9.46

Nilai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01

Sebanyak dua pertiga contoh (67.7%) pada keluarga miskin berada pada kategori usia dewasa madya sedangkan pada keluarga tidak miskin sebagian besar contoh (83.8%) berada pada kategori usia dewasa awal. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara usia contoh pada keluarga miskin dengan keluarga tidak miskin.

Adapun usia suami contoh berkisar antara 29-79 tahun. Pada keluarga miskin, lebih dari separuh (54.8%) suami contoh berada pada kategori usia dewasa madya, sedangkan pada keluarga tidak miskin lebih dari separuh (56.8%) suami contoh berada pada kategori usia dewasa awal (Tabel 3). Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara usia suami pada keluarga miskin dengan keluarga tidak miskin. Rataan suami contoh pada keluarga tidak miskin lebih rendah dibandingkan dengan keluarga miskin. Rataan keluarga tidak miskin sebesar 39.59 tahun, sedangkan rataan keluarga miskin sebesar 55.74 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia suami keluarga miskin lebih tua dibandingkan keluarga tidak miskin. Meskipun demikian usia pasangan pada keluarga miskin dan tidak miskin berada pada masa produktif. Menurut Lee dan Hanna dalam Iskandar (2007) pada usia 55-59 tahun


(32)

kekayaan dan human capital income meningkat sehingga kesejahteraan keluarga akan lebih baik.

Tabel 3 Sebaran usia suami contoh dan statistiknya

Usia KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % % n

Dewasa awal (18-40 tahun) 4 12.9 21 56.8 25.0 36.8

Dewasa madya (41-60 tahun) 17 54.8 16 43.2 33.0 48.5

Dewasa akhir (>60 tahun) 10 32.3 0 0.0 10.0 14.7

Min-max (tahun) 34-79 29-51 29-79

Rataan ± SD (tahun) 55.74±12.52 39.59±5.61 46.96±12.36

NIlai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01 Pendidikan

Sebanyak tiga perempat contoh (67.7%) keluarga miskin tidak tamat SD (Tabel 4). Hal ini disebabkan karena keluarga miskin tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah sehingga putus sekolah. Jenjang pendidikan contoh pada keluarga tidak miskin cukup beragam yaitu mulai dari tamat SD hingga lulus S1-S3. Persentase terbesar contoh keluarga tidak miskin berjenjang pendidikan Diploma (D1-D3) sebesar 35.1 persen. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata jenjang pendidikan antara kedua kelompok contoh.

Tabel 4 Sebaran jenjang pendidikan contoh dan koefisien uji bedanya

Jenjang pendidikan KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

Tidak sekolah 3 9.7 0 0.0 3 4.4

Tidak tamat SD 21 67.7 0 0.0 21 30.9

Tamat SD 7 22.6 1 2.7 8 11.8

Tamat SMP 0 0.0 1 2.7 1 1.5

Tamat SMA 0 0.0 11 29.7 11 16.2

DIPLOMA (D1-D3) 0 0.0 13 35.1 13 19.1

S1-S3 0 0.0 11 29.7 11 16.2

NIlai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01

Lebih dari tiga perempat (71.0%) jenjang pendidikan suami pada keluarga miskin tidak tamat SD (Tabel 6), sedangkan pada keluarga tidak miskin, tiga perempat (67.6%) suami lulusan S1-S3. Menurut Rachmawati (2009), semakin tinggi pendidikan maka semakin baik keadaan sosial ekonomi dan kemandirian keluarga. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar peluang kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan yang lebih tinggi.


(33)

Tabel 5 Sebaran jenjang pendidikan suami contoh dan koefisien uji bedanya Jenjang pendidikan KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

Tidak sekolah 1 3.2 0 0.0 1 1.5

Tidak tamat SD 22 71.0 0 0.0 22 32.4

Tamat SD 6 19.4 1 2.7 7 10.3

Tamat SMP 1 3.2 0 0.0 1 1.5

Tamat SMA 1 3.2 8 21.6 9 13.2

DIPLOMA (DI, DII, DIII) 0 0.0 3 8.1 3 4.4

S1-S3 0 0.0 25 67.6 25 36.8

NIlai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan suami lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan contoh. Pada keluarga miskin yang memiliki sumberdaya materi terbatas, orang tua cenderung memberikan peluang lebih besar bagi anak laki-laki untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Saleha (2003) yang menyebutkan bahwa keluarga yang memiliki pendapatan kecil lebih memilih anak laki-laki yang melanjutkan sekolah daripada anak perempuannya karena anak laki-laki memiliki peluang pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik daripada anak perempuan pada tingkat yang sama. Sedangkan, pada keluarga tidak miskin, umumnya contoh kesulitan melanjutkan pendidikan setelah berkeluarga karena mereka lebih mengutamakan untuk mengurus keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah, namun tidak demikian dengan suami. Meskipun telah berkeluarga, mereka tetap dapat melanjutkan pendidikan karena mereka menganggap pendidikan sebagai investasi yang memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi.

Tabel 6 Sebaran lama pendidikan contoh dan statistiknya

Lama pendidikan KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

≤ 9 tahun 31 100.0 2 5.4 33 48.5

>9 tahun 0 0.0 35 94.6 35 51.5

Min-max 0-6 6-18 0-18

Rataan ± SD 3.94±2.13 13.97±2.36 9.40±5.51

NIlai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01

Pembagian lama pendidikan didasarkan pada kewajiban belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah. Dengan demikian, lama pendidikan dibagi ke dalam dua kategori, yaitu ≤ 9 tahun dan >9 tahun. Berdasarkan hasil tabulasi silang ditemukan bahwa seluruh contoh pada keluarga miskin menempuh


(34)

pendidikan selama ≤ 9 tahun. Adapun, pada keluarga tidak miskin hampir seluruh contoh (94.6%) menempuh pendidikan selama >9 tahun (Tabel 6).

Hanya 3.2 persen suami pada keluarga miskin yang menempuh pendidikan lebih >9 tahun (Tabel 7), sedangkan pada keluarga tidak miskin hampir seluruh contoh (97.3%) menempuh pendidikan >9 tahun. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa partisipasi pendidikan pada keluarga miskin masih terbilang rendah. Hal ini disebabkan mindset keluarga yang bersifat present oriented sehingga menganggap kurang perlu investasi dalam bidang pendidikan (Saleha 2003).

Tabel 7 Sebaran lama pendidikan suami contoh dan statistiknya

Lama pendidikan KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

≤9 tahun 30 96.8 1 2.7 31 45.6

>9 tahun 1 3.2 36 97.3 37 54.4

Min-max 0-12 6-21 0-21

Rataan ± SD 4.68±2.29 15.03±2.59 10.31±5.73

NIlai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01

Lee dan Hanna dalam Iskandar (2007) menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan jumlah kekayaan pada semua usia. Semakin tinggi pendidikan maka semakin besar peluang pekerjaan yang didapatkan sehingga semakin besar pula jumlah kekayaan yang dimiliki. Adapun Sunarti (2001) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan sumberdaya non fisik yang akan mempengaruhi kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis seseorang. Pekerjaan

Pada keluarga miskin, secara umum pekerjaan contoh terbagi ke dalam tiga jenis pekerjaan, yaitu buruh, pembantu rumahtangga (PRT), dan wiraswasta (Tabel 8). Jenis pekerjaan dengan persentase terbesar adalah PRT, yaitu 45.2 persen, diikuti dengan buruh (6.5%), dan wiraswasta (6.5%). Hampir seluruh contoh bekerja sebagai PRT di komplek perumahan yang banyak terdapat di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka bekerja sebagai PRT paruh waktu (tidak menginap) sehingga mereka tetap bisa mengurus suami dan keluarga.


(35)

Tabel 8 Sebaran jenis pekerjaan contoh

Pekerjaan KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

Tidak bekerja 12 38.7 17 45.9 29 42.6

Buruh 2 6.5 0 0.0 2 2.9

PRT 14 45.2 0 0.0 14 20.6

Wiraswasta 2 6.5 6 16.2 8 11.8

PNS 0 0.0 4 10.8 4 5.9

Pegawai swasta 0 0.0 7 18.9 7 10.3

Lain-lain* 1 3.2 3 8.1 4 5.9

*ket: tukang kredit, guru, tukang urut, pegawai BUMN

Pada keluarga tidak miskin jenis pekerjaan contoh meliputi wiraswasta, PNS, dan pegawai swasta. Dengan presentase wiraswasta sebesar 16.2 persen, PNS sebesar 10.8 persen, dan pegawai swasta sebesar 18.9 persen. Meskipun sebagian besar contoh memiliki jenjang pendidikan tinggi (diploma dan S1), namun hampir separuh contoh keluarga tidak miskin, tidak bekerja (45.9%). Berdasarkan pengamatan, setidaknya ada dua alasan yang menjelaskan fenomena ini, yaitu 1) contoh merasa keperluan hidupnya sudah tercukupi dari penghasilan suami; dan 2) reponden memilih untuk mengalokasikan waktunya untuk keluarga dibandingkan untuk bekerja.

Tabel 9 Sebaran jenis pekerjaan suami contoh

Pekerjaan KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

Tidak bekerja 4 12.9 0 0.0 4 5.9

Buruh 18 58.1 0 0.0 18 26.5

Satpam 3 9.7 0 0.0 3 4.4

Wiraswasta 1 3.2 4 10.8 5 7.4

PNS 0 0.0 7 18.9 7 10.3

Pegawai swasta 0 0.0 23 62.2 23 33.8

Lain-lain* 5 16.1 3 8.1 8 11.8

*ket: pemulung, petani, penambang, tukang ojeg, supir angkot, pegawai BUMN, serabutan

Jenis pekerjaan suami pada keluarga miskin yaitu buruh (58.1%), satpam (9.7%), dan wiraswasta (3.2%). Umumnya suami bekerja sebagai buruh tani atau buruh bangunan. Buruh tani biasanya mendapatkan upah harian, sedangkan buruh bangunan mendapatkan upah harian atau gaji bulanan bergantung dari kontrak. Ketika kontrak pekerjaan bangunan habis, maka suami akan kembali ke rumah dan menjadi pengangguran hingga ada pekerjaan lagi. Pada kondisi seperti ini, contoh mengaku makin sulit memenuhi kebutuhan hidup karena suami terkadang menganggur dalam waktu yang cukup lama. Pada keluarga


(36)

tidak miskin, suami berprofesi sebagai pegawai swasta, PNS, dan wiraswasta. Proporsi terbesar pekerjaan suami adalah pegawai swasta (62.2%) (Tabel 9).

Berdasarkan data di atas jelas telihat bahwa baik contoh maupun suami pada keluarga miskin, sebagian besar memiliki pekerjaan yang lebih membutuhkan keterampilan fisik dibandingkan dengan kemampuan intelektual. Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan contoh yang tergolong rendah sehingga kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sulit dicapai. Menurut Lee dan Hanna dalam Iskandar (2007) terdapat hubungan positif antara pekerjaan dengan kesejahteraan keluarga karena pekerjaan berkaitan dengan akumulasi kekayaan.

Besar Keluarga

Besar keluarga menunjukkan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Hurlock (1980) membagi besar keluarga menjadi 3 kategori, yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari dan sama dengan 4, keluarga sedang dengan jumlah anggota 5 sampai 7 orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 8 orang.

Pada Tabel 10 terlihat bahwa jumlah anggota keluarga berkisar antara 2 sampai 17 orang. Pada keluarga miskin jumlah anggota keluarga dengan persentase terbesar adalah 5 sampai 7 orang (keluarga sedang). Adapun pada keluarga tidak miskin lebih dari separuh contoh memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari dan sama dengan 4 orang (keluarga kecil).

Tabel 10 Sebaran contoh dan statistik besar keluarga

Besar Keluarga KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

Keluarga kecil (≤ 4 orang) 7 22.6 22 59.5 29 42.6

Keluarga sedang (5-7 orang) 14 45.2 13 35.1 27 39.7

Keluarga besar (≥ 8 orang) 10 32.3 2 5.4 12 17.6

Min-max 2-17 3-8 2-17

Rataan ± SD 7.23±3.739 4.59±1.142 5.79±2.95

Nilai uji p 0.001**

** nyata pada p<0.01

Rataan besar keluarga keluarga tidak miskin lebih rendah dibandingkan rataan keluarga miskin. Hal tersebut berarti besar keluarga tidak miskin lebih kecil dibandingkan keluarga miskin. Besar keluarga berkaitan dengan jumlah pengeluaran keluarga. Semakin besar ukuran keluarga, maka semakin besar alokasi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan keluarga.


(1)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Terdapat perbedaan karakteristik keluarga antara keluarga miskin dengan tidak miskin. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan nyata pada usia, tingkat pendidikan, lama pendidikan, pengeluaran, pendapatan, dan kepemilikan utang keluarga miskin dan keluarga tidak miskin. Meskipun rataan utang pada keluarga miskin dan keluarga tidak miskin berbeda, namun hasil perhitungan rasio utang terhadap aset menunjukkan bahwa baik pada keluarga miskin maupun keluarga tidak miskin, memiliki jumlah aset yang lebih banyak dibandingkan utang sehingga mampu melunasi utang dengan aset yang dimiliki. Berbeda halnya dengan hasil perhitungan rasio utang terhadap pendapatan yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga tidak miskin tidak mampu melunasi utang dengan pendapatan per bulan yang diterima. Tingkat masalah menunjukkan banyaknya masalah yang dirasakan oleh contoh. Terdapat perbedaan nyata antara tingkat masalah pada keluarga miskin dengan tidak miskin. Seluruh contoh pada keluarga tidak miskin memiliki skor masalah yang rendah, sedangkan pada keluarga miskin, lebih dari separuh contoh memiliki skor masalah yang tinggi. Masalah yang paling banyak dirasakan keluarga tidak miskin adalah masalah perumahan sedangkan pada keluarga tidak miskin adalah masalah pengembangan diri. Tujuan mengacu pada hasil akhir yang dituju dari suatu tindakan. Pada keluarga miskin, aspek perumahan, merupakan tujuan yang paling banyak disebutkan oleh contoh. Sedangkan pada keluarga tidak miskin, aspek spiritual dan psikologis yang paling banyak disebutkan.

2. Terdapat perbedaan manajemen sumberdaya manusia antara keluarga miskin dengan keluarga tidak miskin. Manajemen sumberdaya manusia pada keluarga tidak miskin tergolong rendah sedangkan pada keluarga tidak miskin tergolong sedang. Adapun manajemen waktu dan keuangan pada keluarga miskin dan tidak miskin tergolong rendah.

3. Terdapat perbedaan nyata antara kesejahteraan fisik pada keluarga miskin dan tidak miskin, namun kesejahteraan sosial dan psikologis kedua kelompok contoh tidak berbeda nyata. Seluruh contoh keluarga tidak miskin memiliki kesejahteraan fisik yang baik, sedangkan proporsi


(2)

terbesar kesejahteraan fisik keluarga miskin berada pada kategori sedang. Sebagian besar contoh keluarga miskin dan tidak miskin memiliki kesejahteraan sosial yang baik. Secara keseluruhan kesejahteraan psikologis contoh berada pada tingkat baik, namun kesejahteraan psikologis keluarga miskin lebih baik dibandingkan keluarga tidak miskin. 4. Pada keluarga miskin, semakin tua usia isteri dan semakin tua usia

suami, maka cenderung semakin rendah manajemen waktu dan manajemen keuangan keluarga. Pada keluarga tidak miskin, semakin lama pendidikan suami, maka cenderung semakin baik manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan yang dilakukan keluarga. Selain itu, pada keluarga tidak miskin, semakin lama pendidikan isteri, maka cenderung semakin baik manajemen waktu yang dilakukan.

5. Semakin tua usia isteri, semakin tua usia suami, semakin banyak jumlah anggota keluarga, dan semakin banyak masalah yang dirasakan contoh, maka cenderung semakin rendah kesejahteraan fisiknya. Sebaliknya, semakin lama pendidikan isteri, semakin lama pendidikan suami, semakin baik manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan, maka semakin baik pula kesejahteraan fisiknya.

Saran

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan berhubungan positif dengan manajemen waktu, keuangan, dan kesejahteraan fisik. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah lebih mendorong masyarakat untuk menempuh pendidikan formal setinggi-tingginya dan menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat. Dorongan terhadap masyarakat untuk menempuh pendidikan formal setinggi-tingginya dapat dikemas dalam bentuk penyuluhan yang memuat tentang arti penting pendidikan. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memahami peran penting pendidikan bagi kehidupan masa depan sehingga memiliki motivasi yang lebih baik untuk sekolah. Selain itu, pemerintah diharapkan melakukan pemerataan pendidikan, misalnya dengan membangun gedung sekolah sampai wilayah pelosok dan memberikan fasilitas sekolah yang memadai. Fasilitas yang dimaksud bukan hanya fasilitas fisik seperti gedung sekolah atau laboratorium, melainkan mencakup ketersediaan sumberdaya manusia (guru/pengajar) yang kompeten dan mampu mendidik dengan baik.


(3)

2. Pemerintah diharapkan dapat memperluas akses masyarakat miskin terhadap pekerjaan yang layak baik di pedesaan atau perkotaan sehingga masyarakat miskin memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan yang lebih tinggi. Pemerataan lapangan pekerjaan dapat dilakukan dengan memupuk jiwa kewirausahaan dan mendorong masyarakat untuk berwirausaha serta melakukan pendampingan bagi masyarakat yang sudah memiliki usaha kecil menengah (UKM). Dengan melakukan hal ini pemerintah bukan hanya menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat melainkan juga membangun kemandirian masyarakat.

3. Manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan berhubungan positif nyata terhadap kesejahteraan fisik. Oleh karena itu, diharapkan perguruan tinggi dapat mengaplikasikan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat dengan memberdayakan masyarakat melalui program penyuluhan atau pelatihan bagi masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya keluarga. Selain itu, pemerintah diharapkan menjadikan manajemen sumberdaya keluarga sebagai substansi dalam berbagai program pemberdayaan dan ketahanan keluarga.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008

__________________. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia

Blood RO. 1972. The Family. New York: The Free Press

Deacon F, Firebaugh FM. 1988. Family Resource Management Principles and Applications (Second Edition). Massachusetts: Allyn and Bacon Inc. Depnakertrans. 2008. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang:

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Dew J. 2008. Debt Change and Marital Satisfaction Change In Recently Married

Couples. Journal of Family Relations 57: 60-71

Fahmi, SA. 2008. Analisis Nilai Ekonomi Pekerjaan Ibu Rumah Tangga dan Peran Gender Serta Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Keluarga Petani. [Skripsi]. Bogor. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Firdaus. Sunarti E. 2009. Hubungan Antara Tekanan Ekonomi, Manajemen Keuangan, dan Mekanisme Koping dengan Kesejahteraan Keluarga Wanita Pemetik Teh. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 2: 21-31

Ginanjarsari G. 2010. Hubungan Antara Tipologi Keluarga dengan Komponen Ketahanan Keluarga Pada Keluarga Miskin dan Tidak Miskin. [Skripsi]. Bogor.

Gross IH, Crandall EW, Knoll MM. 1973. Management For Modern Families (Second Edition). New York: Appleton Century Crofts

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Iskandar A. 2007. Analisis Praktek Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Keluarga Di Kabupaten dan Kota Bogor. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kementerian Dalam Negeri. 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 52

Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. www.hsph.harvard.edu [14 Januari 2011]

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2009. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 1978-2009.

Kusumo RAB, Simanjuntak M. 2009. Tingkat Kepuasan Keluarga Berpendapatan Rendah Terhadap Sumberdaya yang Dimiliki. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 2:122-136

Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial. 2006.

Menyemai Harapan Menuju Sejahtera. Jakarta: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri

Megawangi R. 2001. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan


(5)

Nesteruk O, Garrison MEB. 2005. An Exploratory Study of The Relationship Between Family Daily Hassles and Family Coping and Managing Strategies. Family and Consumer Sciences Research Journal 34:140-152 Nickell P, Dorsey JM, Budolfson M. 1960. Management In Family Living (Third

Edition). New York: John Wiley & Sons Inc.

Nurulfirdausi K. 2010. Analisis Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan Dan Manajemen Keuangan Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga Pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus Di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Rachmawati A. 2009. Strategi Koping dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif Pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH). [Skripsi]. Bogor. Departemen Ilmu keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Saleha Q. 2003. Manajemen Sumberdaya Keluarga: Suatu Analisis Gender Dalam Kehidupan Keluarga Nelayan Di Pesisir Bontang Kuala, Kalimantan Timur. [Tesis]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Samon EKT. 2005. Manajemen Keuangan, Alokasi Pengeluaran dan Coping

Mechanism Keluarga Nelayan dan Petani Tambak (Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, DKI Jakarta). [Skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Simanjuntak M. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan

Keluarga Dan Prestasi Belajar Anak Pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH). [Tesis]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Soedarsono S. 1997. Ketahanan Pribadi dan Ketahanan Keluarga Sebagai Tumpuan Ketahanan Nasional. Jakarta: PT Intermasa

Soekanto S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Suandi. 2007. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Pedesaan Provinsi Jambi. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Suharto E. 2005. Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama

Sumarwan U. 2004. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya Dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia

Sunarti E. 2001. Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya Terhadap Kualitas Kehamilan. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

________. 2010. Peningkatan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga. Di dalam: Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga: Bekal Mahasiswa Kuliah Kerja Profesi; Bogor, Juni 2010. Bogor: IPB Press. Hlm: 59-84


(6)

Sunarto. 2006. Kebijakan Pengembangan Ketahanan Keluarga. www.bkkbn.go.id

[8 Juni 2010]

Taylor A. 2002. The Handbook of Family Dispute Resolution: Mediation Theory and Practice. San Fransisco: John Wiley & Sons, Inc.