Asupan Serat dan Cairan, Aktivitas Fisik, serta Gejala Konstipasi pada Lanjut Usia
ABSTRACT
TALITHA RAISSA. Fiber and Liquid Intake, Physical Activity, and Symptom of
Constipation among Elderly. Under Direction of CESILIA METI DWIRIANI.
The objective of this study was to analyze differences in fiber and liquid
intake, physical activity, and symptom of constipation among elderly people lived
in government (Sukma Raharja) and non-government (Salam Sejahtera) Elderly
Social Institution. This study using crossecsional study design conducted in
August until September 2011. The subjects were 61 elderly consist of 30 people
from Sukma Raharja and 30 people from Salam Sejahtera. Almost all of elderly
(90%) in Sukma Raharja are 60-74 years old, while in Salam Sejahtera 71% are
74-90 years old. All of elderly in Sukma Raharja are women, while in Salam
Sejahtera, 51,6% are women. Education background in Salam Sejahtera is
higher than in Sukma Raharja and in both groups most of elderly have normal
nutritional status. There was significantly (p=0,001) differences in BMI of elderly
in Sukma Raharja and Salam Sejahtera. Level of energy (p=0,000), protein
(p=0,000), and carbohydrate (p=0,000) adequacy of elderly in Sukma Raharja
are significantly higher than elderly in Salam Sejahtera. There was no difference
level of fat adequacy (p=0,503), fiber (p=0,925) and liquid intake (p=0,228), and
physical activity (p=0,280) in the elderly in two places. There was no significant
correlation between fiber intake (p=0,538), liquid intake (p=0,147), and physical
activity (p=0,342) with symptom of constipation of elderly.
Keyword : fiber intake, liquid intake, physical activity, constipation
ii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan, terutama di bidang kesehatan, secara tidak
langsung telah menurunkan angka kesakitan dan kematian penduduk, serta
meningkatkan usia harapan hidup. Hal tersebut juga memicu perkembangan
jumlah penduduk Lanjut usia (lansia) yang dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Pada tahun 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah 70,0
tahun. Tahun 2006 meningkat menjadi 70,2 tahun. Jumlah ini terus meningkat
menjadi 70,4 tahun pada tahun 2007 dan di perkirakan pada tahun 2025 angka
harapan hidup penduduk indonesia akan menjadi 73 tahun (BPS 2007).
Jumlah penduduk lansia Indonesia mencapai 19,32 juta orang atau
8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya,
terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia dimana pada tahun 2005 jumlah
penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini naik menjadi 18,96 juta
orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2009 (Komnas
Lansia 2010). Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA)
melaporkan tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia
7.998.543 orang (5,45%), sedangkan pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang
(8,90%) dan UHH juga meningkat menjadi 66,2 tahun. Tahun 2010 perkiraan
penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH
sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk
lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1
tahun (Depsos 2007).
Semakin meningkatnya usia harapan hidup, maka semakin meningkat
pula upaya untuk mempertahankan atau menjaga status kesehatan pada lansia.
Kondisi kesehatan pada lansia sangat ditentukan oleh asupan makanannya, baik
kualitas maupun kuantitas. Seiring dengan bertambahnya usia dan proses
penuaan, timbul masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah fisik, biologik,
psikologik, sosial, maupun penyakit degeneratif (Safithri 2005).
Salah satu masalah yang banyak diderita para lansia adalah sembelit
atau konstipasi (susah BAB) dan terbentuknya benjolan-benjolan pada usus
(Depkes 2003). Sekitar 30–40% orang diatas usia 65 tahun di Inggris mengeluh
konstipasi, 30% penduduk diatas usia 60 tahun merupakan konsumen yang
teratur menggunakan obat pencahar. Sekitar 20% populasi diatas 65 tahun di
Australia, mengeluh menderita konstipasi (Siswono 2003).
1
2
Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan,
karena volume feses terlalu kecil sehingga penderita jarang buang air besar.
Kondisi ini akan memperlama waktu transit atau perjalanan makanan dari mulut
sampai dubur (Soelistijani 2002). Semakin lama tinja tertahan dalam usus,
konsistensinya semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah
dikeluarkan. Hal tersebut berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding usus
akibat penuaan yaitu kegiatan fisik yang mulai berkurang, serta kurangnya
asupan serat dan cairan (Arisman 2007).
Saat ini masyarakat Indonesia terutama yang di perkotaan mengalami
pergeseran pola konsumsi pangan. Seiring dengan kemajuan zaman dan
perbaikan sosial ekonomi masyarakat, maka terjadi pula perubahan kebiasaan
makan yang cenderung kebarat-baratan (western style diet). Makanan jadi dan
makanan siap saji telah menjadi kegemaran dan tren di masyarakat. Masyarakat
umumnya belum tahu atau kurang menyadari bahwa makanan jadi telah
kehilangan banyak komponen-komponen essensial makanan, khususnya serat.
Asupan serat yang terlampau rendah dalam kurun waktu lama akan
mempengaruhi kesehatan (seperti konstipasi), kegemukan, dan serangan
penyakit degeneratif (Soelistijani 2002).
Para ahli klinis, ahli gizi dan ahli teknologi pangan dalam dasawarsa
terakhir ini sepakat bahwa serat merupakan komponen yang sangat dianjurkan
dalam pola diet, ini disebabkan oleh banyaknya penyakit yang muncul akibat
rendahnya konsumsi serat, terutama di negara-negara maju. Meskipun masih
memerlukan penelitian lebih lanjut, cukup bukti bahwa berbagai serat dapat
membantu mencegah atau mengatasi penyakit seperti sembelit, gangguan usus,
obesitas dan penyakit jantung (Bangun 2005).
Menurut Kusharto (2006), serat mampu mengatasi konstipasi karena
serat dimetabolisme oleh bakteri yang berada dan melalui saluran pencernaan.
Pengaruh nyata yang telah dibuktikan adalah bertambahnya volume feses,
melunakkan konsistensi feses, memperpendek waktu transit di usus, dan
memproduksi flatus.
Selain konsumsi serat yang rendah, konstipasi juga disebabkan oleh
kurangnya asupan cairan. Menurut Muhammad (2010), salah satu masalah
cairan yang lebih sering dialami lansia adalah kekurangan cairan tubuh. Hal ini
terjadi karena adanya berbagai perubahan perubahan yang dialami lansia,
diantaranya adalah peningkatan jumlah lemak pada lansia, penurunan fungsi
3
ginjal untuk memekatkan urin, dan penurunan rasa haus. Penurunan rasa haus
pada lansia otomatis akan menurunkan asupan cairan, padahal dalam fungsinya
cairan memegang peranan penting terutama untuk mengolah makanan dalam
usus, tanpa cairan yang cukup usus tidak dapat bekerja secara maksimal
sehingga timbullah sembelit.
Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan mengenai pentingnya
peranan aktivitas fisik, asupan serat dan cairan sebagai penyebab konstipasi
yang terjadi pada lansia, maka peneliti ingin mengetahui perbedaan asupan
serat, cairan, dan aktivitas fisik serta hubungannya dengan gejala konstipasi
pada lansia di Panti Wreda Sukma Raharja yang dikelola pihak Pemda dan Panti
Wreda Salam Sejahtera yang dikelola pihak swasta.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan asupan serat dan cairan, aktivitas fisik, serta
hubungannya dengan gejala konstipasi pada lansia di Rumah Perlindungan
Sosial Tresna Wreda (RPSTW) Sukma Raharja yang dikelola pihak Pemda
dan Panti Wreda (PW) Salam Sejahtera yang dikelola pihak swasta.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik sosial dan status gizi contoh.
b. Menganalisis perbedaan asupan energi dan zat gizi (protein, karbohidrat,
dan lemak) pada lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam
Sejahtera.
c. Menganalisis perbedaan asupan serat, cairan, aktivitas fisik, dan kejadian
konstipasi pada lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam
Sejahtera.
d. Menganalisis hubungan antara asupan serat dan cairan dengan kejadian
konstipasi pada lansia contoh.
e. Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan gejala konstipasi pada
lansia contoh.
Hipotesis
1. Ada perbedaan asupan serat, cairan, dan aktivitas fisik pada lansia di RPSTW
Sukma Raharja dan PW Salam Sejahtera.
2. Ada hubungan antara asupan serat, cairan, dan aktivitas fisik dengan kejadian
konstipasi pada lansia contoh.
4
Kegunaan Penelitian
Kegunaan bagi Pihak Panti
Sebagai informasi dan masukan bagi pengelola panti mengenai konsumsi
pangan yang meliputi asupan serat dan cairan, serta aktivitas fisik penghuni
panti.
Kegunaan bagi Pihak Pemda
Sebagai
informasi
dan
masukan
bagi
pihak
pemda
mengenai
pelaksanaan dan pengelolaan panti, konsumsi pangan yang meliputi asupan
serat dan cairan, serta aktivitas fisik penghuni panti, terutama Rumah
Perlindungan Sosial Tresna Wreda Sukma Raharja yang merupakan pelaksana
dari UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda Ciparay Bandung dan
Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Lanjut Usia
Manusia usia lanjut merupakan seseorang yang karena usianya
mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang nantinya akan
mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Depkes
(2000) dalam Notoatmodjo (2007) mendefinisikan bahwa usia lanjut merupakan
orang yang sudah memasuki tahap dewasa akhir dengan usia sekitar 60 tahun
ke atas. Menurut Notoatmodjo (2007), usia lanjut adalah kelompok orang yang
mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu
beberapa dekade.
Undang-Undang
Republik
Indonesia
No.13
Tahun
1998
tentang
kesejahteraan lanjut usia, pasal 1 ayat 2, menyatakan bahwa yang dimaksud
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas. Usia lanjut menurut WHO (1997) dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu
lanjut usia (elderly): 60-74 tahun, usia tua (old): 75-90 tahun, dan sangat tua
(very old): >90 tahun (Notoatmodjo 2007).
Pada seorang usia lanjut mengalami perubahan-perubahan komposisi
tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem pernapasan, otak dan sistem
saraf, sistem metabolisme dan hormon, sistem ekskresi, massa tulang dan
mengalami perubahan mental (Wirakusumah 2002).
Konstipasi
Kebiasaan buang air besar normal mempunyai variasi yang luas pada
setiap orang. Perubahan kebiasaan BAB merupakan manifestasi klinis yang
umum dari penyakit saluran cerna. Konstipasi didefinisikan sebagai evakuasi
feses yang jarang atau sulit dan dapat akut atau kronis. Konstipasi absolut
didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses maupun flatus
(Grace & Neil 2006).
Menurut Bangun (2005), konstipasi merupakan keadaan atau gejala
hambatan gerak sisa makanan di saluran pencernaan sehingga buang air besar
tidak bisa lancar dan teratur. Pada keadaan normal, setiap 24 jam usus besar
(kolon) akan dikosongkan secara periodik. Seseorang dianggap konstipasi
apabila tidak dapat buang air besar selama dua hari atau lebih.
Penyebab konstipasi menurut The National Digestive Disease Information
Clearinghouse (NDDIC) dalam Muhammad (2010), yaitu kurangnya asupan serat
5
6
dalam konsumsi sehari-hari, kurangnya aktifitas terutama di usia lanjut, obatobatan tertentu (obat golongan narkotika, antasid yang mengandung alumunium
dan kalsium, antihipertensi golongan penghambat kalsium, obat anti Parkinson,
antispasmodik, antidepresan, suplemen Fe, diuretik, antikonvulsan), intoleransi
susu, penyakit dan gangguan pada usus besar, kehamilan, usia lanjut,
pemakaian pencahar berlebihan, kebiasaan menahan buang air besar, kurang
asupan cairan, gangguan fungsional pada usus.
Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam hubungannya
dengan konstipasi, yaitu dimana konstipasi akut sering mengindikasikan
obstruksi usus, dengan gejala utamanya berupa nyeri kolik abdomen, muntah,
konstipasi, dan distensi. Apabila yang terjadi adalah konstipasi kronis maka akan
beresiko untuk berkembang secara perlahan menjadi obstruksi usus (Bangun
2005).
Konstipasi kronis biasa terjadi akibat diet rendah serat. Selain itu, bisa
juga karena makan tidak teratur, kurang pergerakan dan olah raga, dan
mengabaikan saat terjadi rangsangan untuk buang air besar. Konstipasi yang
terjadi pada usia lanjut dengan atau tanpa gambaran sistemik harus diobati
secara sungguh-sungguh dengan tidak mengabaikan berat badan yang menurun
(Daldiyono et al 1990).
Muhammad (2010) mengemukakan gejala-gejala konstipasi pada setiap
orang berbeda-beda, tergantung pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk
usus besar masing-masing orang. Akan tetapi, gejala umum yang sering ditemui
diantaranya adalah perut terasa penuh, nyeri dan mulas; tinja atau feses lebih
keras dari biasanya; pada saat BAB feses atau tinja sulit dikeluarkan atau
dibuang, tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan ataupun
menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan dan
membuang tinja; serta menurunnya frekuensi BAB, dan meningkatnya waktu
BAB (BAB menjadi 3 hari sekali atau lebih).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumahtangga) pada
waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang
diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan
7
zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan
berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi
bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim
dan aktivitas fisik (Almatsier 2003).
Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan
mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh
melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan kegiatan
(internal dan eksternal), aktivitas dan mempertahankan daya tahan tubuh.
Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari
konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan asupan zat gizi dari kebutuhan
normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat membahayakan
kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992).
Serat
Serat adalah zat non-gizi yang termasuk sebagai salah satu jenis
kelompok polisakarida atau karbohidrat kompleks. Serat terbentuk dari beberapa
gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu dan membentuk rantai
kimia panjang, sehingga sukar dicerna oleh enzim pencernaan (Soelistijani
2002). Menurut Lubis (2009), serat makanan adalah komponen karbohidrat
kompleks yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, tetapi dapat dicerna
oleh mikro bakteri pencernaan. Serat makanan merupakan bahan baku yang
baik untuk pertumbuhan mikroflora usus.
Serat makanan tidak dicerna di usus halus, akan tetapi dimetabolisme
oleh bakteri yang berada dan melalui usus besar. Hal ini dapat menambah
volume feses, meningkatkan pengaruh laksatif, melunakkan konsistensi feses,
memperpendek transit time di usus, memproduksi flatus, hasil produksi
metabolisme bakteri dan keluaran anion organiknya akan mengubah garam
empedu dan asam lemak berantai pendek. Serat makanan menurut jenisnya
dibedakan menjadi dua, yaitu serat larut dan serat tak larut air. Serat larut
berfungsi dalam memperlama waktu pengosongan lambung sehingga seseorang
dapat merasa kenyang lebih lama, sedangkan serat tidak larut air dapat
menurunkan waktu transit dalam kolon, menghasilkan feses lebih lembek dan
lebih banyak (Kusharto 2006).
Selanjutnya menurut Almatsier (2003), serat larut air mudah di fermentasi,
sehingga
pertumbuhan
dan
perkembangan
bakteri
kolon
menyebabkan
bertambahnya berat feses. Serat tidak larut air, terutama lignin yang terdapat
8
dalam dedak gandum tidak mengalami fermentasi. Serat tidak larut air mampu
menyerap air, sehingga mengalami peningkatan berat dan mempunyai pengaruh
laksatif paling besar. Serat membantu pengeluaran feses dengan cara mengatur
peristaltik usus dan memberi bentuk pada feses. Selulosa dalam serat makanan
mengatur peristaltik usus, sedangkan hemiselulosa dan pektin mampu menyerap
banyak air dalam usus besar, sehingga memberi bentuk pada sisa makanan
yang akan dikeluarkan.
Konsumsi serat yang kurang akan mengakibatkan seseorang mengalami
sembelit atau konstipasi, sehingga sangat dianjurkan seseorang mengkonsumsi
serat sebesar 20-30 g per hari untuk orang dewasa. Perbandingan konsumsi
serat larut dan serat tak larut sebaiknya 1:3 (Muchtadi 2009). Sumber serat larut
yang baik adalah jenis kacang-kacangan, rumput laut, agar-agar, apel, pisang,
jeruk, wortel, bekatul, dan buncis, sedangkan sumber serat tak larut seperti
polong-polongan, buah berbiji, serta sayuran (Kusharto 2006).
Cairan
Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Pada pria
dewasa, 55%-60% berat tubuh adalah air dan pada wanita dewasa 50%-60%
berat tubuhnya adalah air. Air sebagai salah satu zat gizi mikro yang mempunyai
fungsi
dalam
berbagai
proses
penting
dalam
tubuh
manusia,
seperti
metabolisme, pengangkutan dan sirkulasi zat gizi dan non gizi, pengendalian
suhu tubuh, kontraksi otot, transmisi impuls saraf, pengaturan keseimbangan
elektrolit, dan proses pembuangan zat tak berguna bagi tubuh. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa kurang air berdampak buruk terhadap kesehatan
atau meningkatkan risiko kejadian berbagai penyakit, seperti sembelit, kram, batu
ginjal, infeksi saluran kemih dan lain-lain (Hardinsyah et al 2011). Menurut
Driskell (2009), dehidrasi (kurang cairan) kronis akan dapat berakibat terjadinya
konstipasi.
Almatsier (2003) menyatakan bahwa konsumsi cairan terdiri atas air yang
diminum, yang diperoleh dari makanan, serta air yang diperoleh sebagai hasil
metabolisme (air metabolik). Menurut Sawka, Cheuvront, dan Carter (2005), total
konsumsi cairan adalah berasal dari air minum (drinking water), air pada
minuman (water in beverages), dan air pada makanan.
Kebutuhan air tiap orang berbeda dan berfluktuasi tiap waktu. Hal tersbut
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas,
serta faktor lingkungan. Sebagian besar lansia mengurangi minum air putih atau
9
minuman lain karena berbagai alasan, misalnya karena timbulnya rasa mual
setelah minum susu, keasaman sari buah yang dapat mengganggu lambungnya,
serta tidak suka air. Penyebab utama hal tersebut adalah keengganan untuk
terlalu sering buang air kecil, karena telah menurunnya kontrol terhadap kandung
kemih (Muchtadi 2009).
Menurut Hardinsyah et al (2011), asupan air pada usia lanjut yang optimal
adalah 1-1,5 liter per hari. Pada keadaan usia lanjut, kepekaan pusat rasa haus
berkurang sehingga diperlukan perhatian lebih dari pengasuh usia lanjut untuk
mengawasi konsumsi minuman pada kelompok ini. Kebutuhan cairan lansia
dihitung dengan rumus 30ml/kg BB (untuk lansia dengan status gizi kurang/kurus
100ml/10 kg pertama, 30 ml/10 kg kedua, dan 15 ml/kg sisanya) (WHO 2002).
Penilaian Konsumsi Pangan
Penilaian komsumsi pangan adalah kegiatan mempelajari seluk beluk
tentang
makanan,
menelaah
jumlah
makanan
yang
dikonsumsi,
dan
membandingkan dengan baku kecukupan gizi yang dapat dipenuhi. Konsumsi
makanan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Penilaian konsumsi
makanan secara kualitatif biasanya digunakan untuk menggali informasi
mengenai kebiasaan makan dan frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang
dikonsumsi.
Konsumsi
makanan
secara
kuantitatif
dimaksudkan
untuk
mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi dan dari informasi ini dapat
diketahui dan dihitung konsumsi zat gizi dari makanan tersebut (Suhardjo 1989).
Pengukuran makanan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan berbagai
metode, antara lain metode recall 24 jam, metode perkiraan makanan (estimted
food records), penimbangan makanan (food weighing), metode food account,
metode inventaris (inventary method), pencatatan (household food record)
(Supariasa 2002). Besarnya porsi makanan dan estimasi jumlah makanan yang
dimakan dan diminum oleh responden, dapat diketahui dengan metode recall 24
jam (Khomsan dkk 2007).
Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan
yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Metode recall 24 jam sebaiknya
dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat
menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi
yang lebih besar tentang asupan harian individu (Sanjur 1997 dalam Supariasa
2002).
10
Meskipun metode recall 24 jam sudah dapat menggambarkan besar porsi
dan estimasi jumlah makanan yang dikonsumsi, namun metode ini memiliki
kelemahan berupa ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden,
sehingga metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia di bawah 7 tahun,
orang tua berusia di atas 70 tahun dan orang yang hilang ingatan atau orang
yang pelupa. Oleh karena itu, metode penilaian konsumsi makanan pada lansia
dilengkapi dengan metode food weighing.
Supariasa (2002) mengemukakan penimbangan makanan atau food
weighing merupakan salah satu metode pengukuran konsumsi makanan secara
kuantitatif pada tingkat perorangan yang digunakan untuk mengetahui jumlah
makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung asupan zat gizinya. Adapun
kelebihan dari metode ini ialah data yang diperoleh lebih akurat/teliti.
Kekurangannya yaitu memerlukan waktu yang cukup lama, mahal karena
membutuhkan peralatan, ada kemungkinan responden merubah kebiasaan
makan mereka jika penimbangan dilakukan dalam periode yang cukup lama,
tenaga pengumpul data harus terlatih dan trampil, serta memerlukan kerjasama
yang baik dengan responden.
Pada metode penimbangan, responden atau petugas menimbang dan
mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama 1 hari.
Penimbangan makanan biasanya dilakukan beberapa hari tergantung tujuan,
dana, dan tenaga yang tersedia.
Langkah-langkah pelaksanaan penimbangan makanan adalah petugas
atau responden menimbang dan mencatat bahan makanan yang dikonsumsi
dalam gram. Apabila terdapat sisa makanan setelah makan maka perlu juga
dilakukan penimbangan sisa makanan tersebut untuk mengetahui jumlah
sesungguhnya makanan yang dikonsumsi sehingga hasil yang diperoleh lebih
akurat. Kemudian dari jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari dapat
dianalisis menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau Daftar
Komposisi Gizi Jajanan (DKGJ). Selanjutnya hasil analisis zat gizi dibandingkan
dengan kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) (Supariasa 2002).
Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan zat gizi. Klasifikasi tingkat
kecukupan menurut Depkes (1996) dalam Supariasa (2002) adalah: defisit
tingkat berat (120%). Penilaian untuk mengetahui
11
tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi
zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hasil
perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal adalah kegiatan yang
menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegitan fisik, seperti
berjalan, berlari, berolahraga, dan lain-lain. Setiap kegiatan fisik membutuhkan
energi yang berbeda menurut lamanya intensitas dan kerja otot (FKM-UI 2007).
Menurut Hoeger dan Hoeger (2005), aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang
dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi.
Almatsier (2003), menjelaskan bahwa aktivitas fisik adalah gerakan yang
dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan
aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak,
sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk
menghantarkan
zat-zat
gizi
dan
oksigen
keseluruh
tubuh
dan
untuk
mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan
tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa
berat pekerjaan yang dilakukan.
Menurut Rosmalina dan Permaesih (2008), aktivitas fisik merupakan
faktor utama yang membedakan kebutuhan energi, selain itu juga berat badan
dan umur. Aktivitas fisik sehari mencakup lama dan jenis aktivitas yang biasa
dilakukan akan mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan.
Fisik lansia yang melemah sebagai akibat dari proses penuaan yang
terjadi pada seseorang menyebabkan keterbatasan lansia dalam beraktivitas.
Penurunan aktivitas fisik ini akan mengakibatkan terjadinya kelemahan tonus otot
dinding saluran cerna sehingga akan terjadi konstipasi (Arisman 2007).
Status Gizi Lansia
Menurut Briawan dan Madanijah (2008), status gizi adalah keadaan tubuh
yang diakibatkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan (asupan) zat gizi dan
jumlah yang dibutuhkan (requirement) untuk berbagai fungsi biologis. Penilaian
status gizi menurut Riyadi (2004) dapat dilakukan dengan beberapa cara salah
satunya
menggunakan
pengukuran
antropometri
(ukuran-ukuran
tubuh),
terutama jika terjadi ketidakseimbangan kronik antara intik energi dan protein.
12
Indikator dari status gizi adalah berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Status
gizi diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia seiring pertambahan
usia adalah terjadinya penurunan massa tulang yang dapat merubah struktur
tulang. Perubahan struktur tulang akan terjadi pada tulang-tulang punggung
(vertebrae), struktur jaringan pengikat dan tulang rawan (invertebrae) yang akan
merubah kurvatura tulang punggung menjadi lebih melengkung (kifosis torakalis)
dan posisi akan menjadi bungkuk (Darmojo 1999).
Tinggi badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang diperlukan
untuk pengkajian status gizi. Namun, dalam prakteknya seringkali menemukan
kesulitan untuk mendapatkan data TB pada lansia terutama yang sudah tidak
dapat berdiri dan mengalami kelainan tulang. Alternatif lain untuk memprediksi
TB lansia yaitu pengukuran tinggi lutut (TL). Tinggi lutut dapat digunakan untuk
melakukan estimasi TB lansia. Hasil pengukuran TL dikonversikan menjadi TB
menggunakan rumus Chumlea (1984) dalam Fatmah (2008):
TB pria
= 64,19 - (0,04 x usia dalam tahun) + (2,02 x tinggi lutut daIam cm)
TB wanita = 84,88 - (0,24 x usia dalam tahun) + (1,83 x tinggi lutut dalam cm)
Menurut Riyadi (2004) indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) ini sudah
divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga
direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi
juga telah tersedia. Indeks Massa Tubuh merupakan perbandingan BB dalam
satuan kilogram dengan TB kuadrat dalam satuan meter. Kategori IMT dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kategori indeks massa tubuh
Kurus
Normal
Gemuk
Kategori
Kekurangan berat badan tingkat berat
Kekurangan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat
Sumber : Depkes (1994) dalam Supariasa et al (2002)
IMT
: < 17,0 kg/m2
: 17,0 – 18,49 kg/m2
: 18,5 – 24,9 kg/m2
: 25,0 – 27,0 kg/m2
: >27,0 kg/m2
13
KERANGKA PEMIKIRAN
Lansia merupakan seseorang yang berusia 60 tahun keatas. Lansia
mengalami beberapa proses perubahan jangka panjang, berupa perubahanperubahan komposisi tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem
pernapasan, otak dan sistem saraf, sistem metabolisme dan hormon, sistem
ekskresi, massa tulang, dan mengalami perubahan mental penurunan.
Perubahan tersebut memicu berbagai masalah kesehatan yang sering terjadi
pada lansia, salah satunya masalah pencernaan yaitu konstipasi.
Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan,
karena volume feses terlalu kecil sehingga penderita jarang buang air besar.
Kondisi ini akan memperlama waktu transit atau perjalanan makanan dari mulut
sampai anus. Konstipasi dapat diketahui dari beberapa gejala yang umum terjadi
pada penderitanya, meliputi perut terasa penuh, konsistensi feses lebih keras
dari biasanya, feses susah dikeluarkan pada saat BAB atau mengejan secara
berlebihan saat BAB, dan tidak BAB selama 2 hari atau lebih.
Konstipasi umumnya disebabkan oleh kurangnya asupan serat dan
cairan, serta aktivitas fisik rendah. Penurunan fungsi gigi-geligi pada lansia
berakibat keengganan untuk mengkonsumsi makanan bertekstur keras seperti
buah dan sayur yang merupakan sumber serat makanan. Penurunan rasa haus
pada lansia juga otomatis akan menurunkan asupan cairan harian. Fisik lansia
yang melemah sebagai akibat dari proses penuaan yang terjadi pada seseorang
menyebabkan keterbatasan lansia dalam beraktivitas. Penurunan aktivitas ini
akan mengakibatkan terjadinya konstipasi.
Selain itu, konstipasi pada lansia juga sering disebabkan karena adanya
penyakit atau gangguan pada usus besar dan konsumsi obat-obatan. Lansia
yang memiliki riwayat penyakit hipertensi terbiasa untuk mengkonsumsi obatobatan anti hipertensi, dimana beberapa jenis obat anti hipertensi dapat
menyebabkan konstipasi. Kerangka pemikiran penelitian secara lengkap dapat
dilihat pada Gambar 1.
13
14
Lansia
Karakteristik Contoh
‐ Umur
‐ Jenis Kelamin
‐ Tingkat Pendidikan
‐ Status Gizi
Asupan Energi,
Protein,
Karbohidrat,
dan Lemak
‐ Penyakit dan
gangguan pada
usus besar
‐ Gangguan
fungsional pada
usus
Konsumsi
obat-obatan
Penurunan
fungsi fisik
Kurangnya
aktifitas fisik
- Asupan serat
- Asupan cairan
Konstipasi
Keterangan :
= Variabel yang tidak diteliti
= Variabel yang diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan antara asupan serat dan cairan, serta
aktivitas fisik dengan gejala konstipasi pada lanjut usia.
15
METODOLOGI PENELITIAN
Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain crossecsional study, semua data yang
dibutuhkan dikumpulkan dalam satu waktu (Singarimbun & Effendi 2006).
Penelitian dilakukan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda (RPSTW)
Sukma Raharja dan Panti Wreda (PW) Salam Sejahtera. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Agustus-September 2011. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan
secara purposive sampling berdasarkan pertimbangan bahwa RPSTW Sukma
Raharja merupakan satu-satunya panti yang dikelola Pemda Kota Bogor,
sedangkan PW Salam Sejahtera yang dikelola pihak swasta dipilih dengan
pertimbangan jumlah lansia yang dirawat relatif lebih banyak dibandingkan
dengan panti-panti swasta lainnya.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Keseluruhan lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam Sejahtera
masing-masing berjumlah 60 dan 62 orang. Penentuan jumlah contoh dilakukan
dengan cara proporsional stratified random sampling. Jumlah contoh diperoleh
dengan menentukan jumlah contoh minimal terlebih dahulu, yaitu 30 untuk
masing-masing panti. Perhitungan jumlah contoh dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perhitungan jumlah contoh
Panti
RPSTW Sukma Raharja
PW Salam Sejahtera
Total
Jumlah lansia
P
L
59
1
31
31
Total
Ukuran Contoh
60
62
122
60/122 x 60 = 30
62/122 x 60 = 31
61
Berdasarkan perhitungan, diperoleh jumlah contoh 61 orang dengan
masing-masing 30 lansia dari RPSTW Sukma Raharja dan 31 lansia PW Salam
Sejahtera. Penentuan lansia yang menjadi contoh penelitian ialah dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut :
1. Tidak pikun
2. Masih bisa berkomunikasi dengan baik
3. Bersedia diwawancarai dan dilakukan penimbangan terhadap makanan yang
dikonsumsi.
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik
15
16
lansia (nama, umur, jenis kelamin, dan pendidikan), konsumsi pangan dan
cairan, aktivitas fisik, status gizi, dan data kejadian konstipasi contoh. Data
sekunder yang dikumpulkan meliputi jumlah lansia yang berada di Panti, menu
yang diberikan dari pihak panti, dan gambaran umum panti. Jenis dan cara
pengumpulan data primer dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis dan Cara Pengumpulan Data
No
1
Variabel
Karakteristik
Contoh
Data
Umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan
2
Data asupan
Konsumsi makanan
dan minuman
3
Aktivitas Fisik
4
Status Gizi
Jenis dan alokasi waktu
untuk aktivitas fisik dan
olah raga
Berat badan dan tinggi
badan
5
Kejadian
Konstipasi
Lokasi penelitian
6
Gejala-gejala konstipasi
Gambaran umum Panti
Cara Pengumpulan Data
Wawancara menggunakan
kuesioner.
Penimbangan
makanan
(food
weighing) yang disediakan panti dan
recall makanan jajanan selama 2
hari berturut-turut, dengan mencatat
jenis dan jumlah makanan dan
minuman yang dikonsumsi mulai
dari bangun tidur sampai mau tidur
malam.
Wawancara menggunakan
kuesioner dan recall 2x 24 jam.
Pengukuran langsung menggunakan
timbangan bath room merk Camry
dengan ketelitian 0,1 kg dan
kapasitas 120 kg. Pengukuran tinggi
badan menggunakan Microtoise
merk Design dengan ketelitian 0,1
cm dan kapasitas 200 cm.
Wawancara langsung menggunakan
kuesioner.
Data profil panti
Data konsumsi makanan dari kedua panti diperoleh dengan cara yang
berbeda. Pada RPSTW Sukma Raharja, konsumsi nasi dan sayuran lansia per
kali makan diperoleh dengan menanyakan dan mengamati langsung banyaknya
nasi yang diambil dan dihabiskan lansia. Berat atau jumlah pangan yang diambil
diketahui dengan terlebih dahulu menimbang berat pangan yang diambil setiap
per satuan alat (sendok sayur) yang dipakai oleh pihak panti saat memberikan
makanan kepada penghuni panti. Hal tersebut karena petugas dapur RPSTW
Sukma Raharja membagikan makanan secara prasmanan dan tidak disediakan
tempat/wadah khusus. Lansia membawa piring/mangkuk milik sendiri sebagai
tempat/wadah makanan mereka, sehingga porsi yang diterima penghuni panti
cenderung berbeda, sedangkan makanan yang berupa potongan seperti pangan
hewani dan nabati dilakukan penimbangan dengan cara mengambil 3 potong dari
17
jenis pangan yang sama dan dianggap dapat mewakili porsi yang diberikan
terhadap semua penghuni panti.
Pada PW Salam Sejahtera, total konsumsi nasi lansia per kali makan
diperoleh dengan menanyakan dan mengamati langsung banyaknya nasi yang
diambil dan dihabiskan lansia. Penimbangan dilakukan untuk lauk pauk dan
sayuran, yaitu dengan cara mengambil 3 potong dari jenis pangan yang sama
dan dianggap dapat mewakili porsi yang diberikan terhadap semua penghuni
panti. Recall 2x24 jam dilakukan pada kedua panti untuk makanan yang
dikonsumsi lansia contoh diluar dari yang diberikan oleh pengelola panti, serta
makanan yang dikonsumsi penghuni panti pada saat malam hari, karena peneliti
hanya melakukan penelitian dari pagi hingga sore.
Data konsumsi dan aktivitas fisik juga diperoleh dengan melakukan
pengamatan secara langsung terhadap masing-masing lansia contoh. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisasi bias dari lansia contoh yang telah mengalami
penurunan daya ingat.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses editing, coding,
scoring, entry data, cleaning data, tabulasi dan analisis data. Pengolahan dan
analisis data menggunakan program Microsoft Excel dan Software Statistik.
Data karakteristik. Data karakteristik contoh yang meliputi umur, jenis
kelamin, dan tingkat pendidikan, data asupan /asupan makanan dan minuman,
data aktivitas fisik, dan data status gizi. Data tersebut kemudian dianalisis secara
deskriptif dan inferensial. Data umur contoh yang diperoleh dikelompokkan
menjadi tiga kelompok menurut WHO (1997) yaitu lanjut usia (elderly): 60-74
tahun, usia tua (old): 75-90 tahun, dan sangat tua (very old): >90 tahun. Data
tingkat pendidikan contoh diolah dengan mengelompokkannya menjadi enam
kategori yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat
SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, tamat Perguruan Tinggi/D3.
Data konsumsi. Data konsumsi yang diperoleh dikonversi dalam satuan
gram kemudian dihitung kandungan energi, protein, karbohidrat, lemak, dan serat
dengan menggunakan program nutrisurvey kemudian hasil akhirnya diperoleh
rata-rata untuk 2 hari.
Asupan energi dan protein. Angka kecukupan gizi contoh dihitung
berdasarkan status gizi contoh. Apabila status gizi normal maka menggunakan
Angka Kecukupan Gizi (2004) yang telah dikoreksi dengan berat badan aktual
18
contoh sehingga didapatkan angka kecukupan energi dan protein koreksi. Status
gizi kurang tingkat berat dan lebih tingkat berat menggunakan berat badan ideal
dalam menghitung angka kecukupan zat gizi contoh. Rumus yang digunakan
dalam mengkoreksi angka kecukupan zat gizi adalah sebagai berikut
(Hardinsyah & Tambunan 2004):
AKG Koreksi=
berat badan aktual (kg)
x AKG
berat badan standar dalam daftar AKG
Angka kecukupan gizi kemudian digunakan untuk menghitung tingkat
kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan zat gizi contoh diperoleh dengan
menggunakan rumus (Hardinsyah & Tambunan 2004):
Tingkat kecukupan zat gizi =
asupan zat gizi aktual
x 100%
angka kecukupan gizi
Penggolongan tingkat kecukupan dilakukan berdasarkan Depkes (1996)
dalam Supariasa (2002) yaitu defisit tingkat berat ( 30 g) (Muchtadi 2009).
Asupan cairan. Data asupan cairan dikelompokkan menjadi tiga
kelompok berdasarkan sumbernya, yaitu air yang berasal dari makanan,
minuman, dan air metabolik. Asupan air dari makanan dihitung berdasarkan
kandungan air dari rata-rata konsumsi pangan selama 2 hari. Kandungan air
pangan diperoleh dari Tabel Komposisi Pangan Indonesia dalam Mahmud et al
(2009) dengan rumus:
Kgij= {(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)}
Keterangan:
Kgij
= Kandungan zat-zat gizi-i dalam bahan makanan-j
Bj
= Berat makanan-j yang dikonsumsi (g)
Gij
= Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan-j
BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan
Air metabolik merupakan air hasil metabolisme zat gizi pangan
(karbohidrat, protein, lemak). Jumlah air yang dihasilkan dari proses metabolisme
zat gizi dapat dilihat pada Tabel 4. Asupan cairan dihitung dari rata-rata
konsumsi cairan dalam 2 hari penelitian baik dari makanan, minuman, maupun
19
air metabolik dibandingkan dengan kebutuhan cairan perhari dikali 100%.
Kebutuhan cairan lansia dihitung dengan rumus 30ml/kg BB (untuk lansia
dengan status gizi kurang/kurus 100ml/10 kg pertama, 30 ml/10 kg kedua, dan
15 ml/kg sisanya) (WHO 2002). Kemudian
dilakukan penggolongan tingkat
konsumsi cairan yang dianalogikan sama dengan pemenuhan zat gizi, yaitu
kurang minum (110%)
(Depkes 2005).
Tabel 4 Air metabolik
Zat Gizi
Karbohidrat
Protein
Lemak
Air Hasil Metabolisme (ml/100 g zat gizi)
55
41
107
Sumber : Muchtadi et al (1993)
Aktivitas fisik. Data aktivitas fisik didapatkan dengan metode recall 2x24
jam dan pengeluaran energi aktivitas fisik dihitung berdasarkan jenis kegiatan
dengan menggunakan faktor kelipatan dan EMB untuk tiap jenis kegiatan.
Menurut FAO/WHO/UNU (2001) besarnya aktivitas fisik yang dilakukan
seseorang dalam 24 jam dinyatakan dlam PAL (Physical Activity Level) atau
tingkat aktivitas fisik. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
PAL=
∑(PAR ×alokasi waktu tiap aktivitas)
24 jam
Keterangan:
PAL = Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)
PAR= Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis
aktivitas per satuan waktu tertentu)
Tingkat aktivitas fisik kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu
ringan (1,40≤ PAL≤1,69), sedang (1,70≤PAL≤1,99), dan berat (2,00≤PAL≤2,39)
(FAO/WHO/UNU 2001). Jenis aktivitas fisik yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada FAO/WHO/UNU (2001) dengan nilai PAR yang berbeda dalam
setiap jenis kegiatan kkal per menitnya antara laki-laki dan perempuan. Nilai
PAR yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Keseimbangan energi diperoleh dengan menghitung selisih antara energi
yang didapat dari konsumsi pangan (asupan energi) dan pengeluaran energi dari
aktivitas fisik, masing-masing dalam satuan kalori. Keseimbangan energi
dikatakan positif apabila asupan energi lebih besar dari pengeluaran energi, dan
dikatakan negatif bila asupan energi lebih kecil dari pengeluaran energi.
20
Perhitungan pengeluaran energi aktivitas fisik dapat dilihat dengan rumus
sebagai berikut:
Pengeluaran Energi = PAL x EMB
Keterangan:
PAL = Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)
EMB = Energi Metabolisme Basal
Penentuan nilai EMB didasarkan pada umur dan BB disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Rumus FAO/WHO/UNU untuk menentukan EMB
Kelompok Umur
0–3
3 – 10
10 – 18
18 – 30
30 – 60
≥ 60
Sumber: Almatsier S (2004)
EMB (kkal/hari)
Laki-laki
Perempuan
60,9 BB - 54
61,0 BB – 51
22,7 BB + 495
22,5 BB + 499
17,5 BB + 651
12,2 BB + 746
15,3 BB + 679
14,7 BB + 496
11,6 BB + 879
8,7 BB + 829
13,5 BB + 487
10,5 BB + 596
Status gizi. Status gizi contoh diukur berdasarkan indeks massa tubuh
yang terdiri dari 5 kategori menurut Depkes (1994) dalam Supariasa et al (2002)
yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kategori status gizi berdasarkan IMT
Kurus
Normal
Gemuk
Kategori
Kekurangan berat badan tingkat berat
Kekurangan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat
IMT
: < 17,0 kg/m2
: 17,0 – 18,49 kg/m2
: 18,5 – 24,9 kg/m2
: 25,0 – 27,0 kg/m2
: >27,0 kg/m2
Data IMT diperoleh dengan terlebih dahulu mengetahui tinggi dan berat
badan lansia. Tinggi dan berat badan lansia diperoleh dengan pengukuran
langsung terhadap lansia contoh. Akan tetapi, ada beberapa lansia contoh
dikedua panti yangmengalami kelainan tulang yaitu 4 orang di RPSTW Sukma
Raharja dan 10 orang di PW Salam Sejahtera, sehingga digunakan pengukuran
TL yang dikonversi ke dalam TB dengan menggunakan rumus Chumlea (1984).
Konstipasi. Data konstipasi diperoleh dengan wawancara langsung
menggunakan kuesioner mengenai gejala-gejala dasar konstipasi seperti perut
terasa penuh, konsistensi feses lebih keras dari biasanya, feses susah
dikeluarkan pada saat BAB atau mengejan secara berlebihan saat BAB, dan
tidak BAB selama 2 hari atau lebih dengan jawaban ya atau tidak.
Data dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif
dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi, rata-rata dan standard deviasi. Data
21
yang dianalisis secara deskriptif adalah data karakteristik contoh, asupan zat gizi,
aktivitas fisik, status gizi dan kejadian konstipasi contoh. Untuk mengetahui
perbedaan asupan energi, protein, karbohidrat, lemak, serat, cairan, aktivitas
fisik, dan status gizi pada lansia di Panti Wreda Sukma Raharja yang dikelola
pihak Pemda dan Panti Wreda Salam sejahtera yang dikelola pihak swasta
dianalisis dengan independent sample t-test. Sedangakan analisis data yang
digunakan untuk menguji hubungan antara variabel adalah uji korelasi Rank
Spearman.
22
Definisi Operasional
Contoh adalah lansia di Sukma Raharja dan Salam Sejahtera laki-laki dan
perempuan berusia ≥ 60 tahun.
Asupan serat adalah asupan serat yang dikonsumsi oleh contoh dari makanan
dan minuman dalam satuan gram sehari.
Asupan cairan adalah asupan cairan yang dikonsumsi oleh contoh dari
makanan, minuman, dan air metabolik dalam satuan liter sehari.
Aktivitas fisik adalah data recall semua aktivitas fisik yang dilakukan contoh
selama 24 jam atau 1 hari penuh.
Gejala-gejala konstipasi adalah tanda-tanda konstipasi yang dialami contoh
berupa gangguan buang air besar dengan gejala tidak BAB selama 2 hari
atau lebih, perut terasa penuh, konsistensi feses lebih keras dari biasanya,
feses susah dikeluarkan pada saat BAB atau mengejan secara berlebihan
saat BAB.
Karakteristik sosial adalah karakterisitk lansia contoh yang meliputi umur, jenis
kelamin dan tingkat pendidikan.
Tingkat Pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi yang pernah diperoleh
oleh contoh.
Status gizi contoh adalah keadaan gizi contoh yang diukur dari BB dan TB yang
dikonversikan dan dikategorikan berdasarkan IMT contoh.
Asupan energi adalah jumlah rata-rata energi dari makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh contoh dalam satuan kkal dalam sehari.
Asupan protein adalah jumlah rata-rata protein dari makanan dan minuman
yang dikonsumsi oleh contoh dalam satuan gram dalam sehari.
Asupan karbohidrat adalah jumlah rata-rata karbohidrat dari makanan dan
minuman yang dikonsumsi oleh contoh dalam satuan gram dalam sehari.
Asupan lemak adalah jumlah rata-rata lemak dari makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh contoh dalam satuan gram dalam sehari.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda Sukma Raharja
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda (RPSTW) Sukma Raharja
Kota Bogor adalah salah satu panti dibawah lembaga atau satuan kerja yang
berfungsi untuk memberikan pelayanan sosial bagi penyandang masalah sosial
Lanjut Usia terlantar. Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda (RPSTW)
Sukma Raharja Bogor terbentuk sejak tahun 1957 diatas sebidang tanah seluas
1810 m2. Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda Sukma Raharja Kota Bogor
merupakan pelaksana dari UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda
Ciparay Bandung dan Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan yang berfungsi
memberikan pelayanan sosial bagi para lansia terlantar dan tidak mampu
berdasarkan profesi pekerjaan sosial.
Kedudukan RPSTW Sukma Raharja Bogor sesuai dengan SK Gubernur
Jawa Barat No. 38 Tahun 1997 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
RPSTW Sosial di Lingkungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dan keputusan
Gubernur Jawa Barat No. 29 tahun 2003 tentang Pembentukan Instalasi Unit
Pelaksana Teknis Dinas pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, yaitu
merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas yang memberikan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lanjut usia yang berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala Dinas Sosial provinsi Jawa Barat. Berdasarkan SK
Gubernur Jawa Barat No. 113 Tahun 2009 tentang Pembentukan Sub Unit
Pelaksanaan Teknis Dinas pada Dinas sosial Provinsi Jawa Barat, yaitu RPSTW
Bogor diubah menjadi Sub Unit Pelaksana Teknis Dinas pada Dinas Sosial
Provinsi Jawa Barat.
Sarana dan prasarana penunjang yang dimiliki RPSTW Sukma Raharja
saat ini berupa bangunan yaitu 1 unit kantor, 4 unit asrama, 1 unit aula, 1 unit
gazebo, 1 unit Mushola, 3 unit kamar mandi, 3 unit kamar emergency, 1 unit
dapur, dan 1 unit rumah dinas Kepala Panti. Jumlah penghuni yang dilayani di
RPSTW Sukma Raharja Bogor sebanyak 60 orang, terdiri dari 59 Lansia wanita
dan 1 orang Lansia laki-laki. Jumlah pegawai sebanyak 16 orang termasuk 10
tenaga TKK yaitu 6 orang Pegawai Negeri Sipil, 3 orang perawat, 1 orang pramu
wisma, 1 orang pramu Wreda, 2 orang petugas keamanan, dan 2 orang petugas
dapur.
23
24
Beberapa persyaratan untuk bisa diterima di RPSTW Sukma Raharja
Bogor yaitu:
1. Wanita berusia minimal 60 tahun keatas
2. Bukan Pensiun PNS/Polri/TNI
3. Membawa surat keterangan sehat dari dokter
4. Mengisi formulir permohonan
5. Menyerahkan surat keterangan tidak mampu dari Desa/ Kelurahan
setempat
6. Membawa surat rujukan dari Dinas Sosial Kabupaten/ Kota
7. Menyerahkan KTP, fotcopy KK, foto terbaru ukuran 3x4 2 lembar.
Adapun pembiayaan dibebankan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Barat/APBD Tk. I yang menyantuni sebanyak 60 orang Lansia.
Pegelolaan makanan di RPSTW Sukma Raharja dilakukan dengan
menggunakan siklus menu 1 minggu. Pembagian porsi dilakukan untuk pangan
sumber protein hewani dan nabati, seperti ayam, ikan, tahu, dan tempe. Nasi
diambil sendiri oleh penghuni panti, sedangkan sayuran diberikan secara
langsung oleh petugas dapur pada saat pembagian makanan. Penghuni panti
menggunakan tempat/piring/mangkuk masing-masing untuk mengambil makanan
yang diberikan oleh pengelola.
Panti Wreda Salam Sejahtera
Awal tahun 1996 diadakan pertemuan dengan diberi nama “Ikatan
Kekerabatan/Kekeluargaan Tio Chiu”. Pertemuan ini menghasilkan gagasangagasan,
salah
satunya
muncul
gagasan
mulia
dengan
tujuan
untuk
mengadakan bentuk kegiatan yang lebih berarti, bukan untuk kalangan terbatas
tetapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Gagasan ini yaitu dengan
membangun dan membentuk sebuah panti yang diberi nama Panti Wreda (PW)
Salam Sejahtera dibawah naungan Yayasan Kasih Mulia Sejahtera Panti Wreda
dan resmi berdiri pada tanggal 12 Desember 1996.
Lokasi PW Salam Sejahtera Kota Bogor cukup strategis baik untuk
hubungan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya, pusat perbelanjaan dan
Pemerintahan Kota Bogor, sehingga penghuni panti tidak merasa diasingkan dan
dapat menikmati hari tuannya dengan diliputi rasa ketentraman lahir batin. PW
Salam Sejahtera Kota Bogor terletak di Jalan Padjajaran belakang Gedung
Olympic, diapit oleh dua gedung pertokoan yang dibelakangnya terdapat
perumahan masyarakat.
25
Panti Wreda Salam Sejahtera dibangun diatas sebidang tanah seluas ±
3.642 m2 yang didirikan oleh 10 orang yaitu salah satunya Bapak Eddy Mulianto
sebagai ketua. Adapun bangunan tersebut terdiri dari ruang sekretariat, ruang
tamu, ruang perawat, balai pengobatan/poliklinik, ruang pertemuan yang
biasanya dipakai sebagai tempat ibadah, kamar berjumlah 60 unit yang dibagi
menjadi 3 wisma yaitu wisma A dengan 25 unit kamar, wisma B 8 unit kamar,
dan wisma C 27 unit kamar yang dikhususkan untuk lansia laki-laki. Setiap kamar
dilengkapi dengan kamar mandi dan WC tersendiri. Ruang makan yang
dilengkapi meja dan kursi serta perlengkapan lainnya, dapur dan ruang cuci
dengan ukuran 6,5x6 m2 dan ruang penyimpanan bahan makanan 5x5 m2.
Jumlah karyawan di PW Salam Sejahtera yaitu 24 orang yang terdiri dari
5 orang bagian pengelola makanan, 6 orang suster, 2 orang Ahli Madya
Fisioterapi, 4 orang satpam, 2 orang bagian administrasi, 3 orang bagian
kebersihan, 1 orang tukang cuci dan 1 orang driver. Adapun struktur organisa
TALITHA RAISSA. Fiber and Liquid Intake, Physical Activity, and Symptom of
Constipation among Elderly. Under Direction of CESILIA METI DWIRIANI.
The objective of this study was to analyze differences in fiber and liquid
intake, physical activity, and symptom of constipation among elderly people lived
in government (Sukma Raharja) and non-government (Salam Sejahtera) Elderly
Social Institution. This study using crossecsional study design conducted in
August until September 2011. The subjects were 61 elderly consist of 30 people
from Sukma Raharja and 30 people from Salam Sejahtera. Almost all of elderly
(90%) in Sukma Raharja are 60-74 years old, while in Salam Sejahtera 71% are
74-90 years old. All of elderly in Sukma Raharja are women, while in Salam
Sejahtera, 51,6% are women. Education background in Salam Sejahtera is
higher than in Sukma Raharja and in both groups most of elderly have normal
nutritional status. There was significantly (p=0,001) differences in BMI of elderly
in Sukma Raharja and Salam Sejahtera. Level of energy (p=0,000), protein
(p=0,000), and carbohydrate (p=0,000) adequacy of elderly in Sukma Raharja
are significantly higher than elderly in Salam Sejahtera. There was no difference
level of fat adequacy (p=0,503), fiber (p=0,925) and liquid intake (p=0,228), and
physical activity (p=0,280) in the elderly in two places. There was no significant
correlation between fiber intake (p=0,538), liquid intake (p=0,147), and physical
activity (p=0,342) with symptom of constipation of elderly.
Keyword : fiber intake, liquid intake, physical activity, constipation
ii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan, terutama di bidang kesehatan, secara tidak
langsung telah menurunkan angka kesakitan dan kematian penduduk, serta
meningkatkan usia harapan hidup. Hal tersebut juga memicu perkembangan
jumlah penduduk Lanjut usia (lansia) yang dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Pada tahun 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah 70,0
tahun. Tahun 2006 meningkat menjadi 70,2 tahun. Jumlah ini terus meningkat
menjadi 70,4 tahun pada tahun 2007 dan di perkirakan pada tahun 2025 angka
harapan hidup penduduk indonesia akan menjadi 73 tahun (BPS 2007).
Jumlah penduduk lansia Indonesia mencapai 19,32 juta orang atau
8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya,
terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia dimana pada tahun 2005 jumlah
penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini naik menjadi 18,96 juta
orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2009 (Komnas
Lansia 2010). Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA)
melaporkan tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia
7.998.543 orang (5,45%), sedangkan pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang
(8,90%) dan UHH juga meningkat menjadi 66,2 tahun. Tahun 2010 perkiraan
penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH
sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk
lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1
tahun (Depsos 2007).
Semakin meningkatnya usia harapan hidup, maka semakin meningkat
pula upaya untuk mempertahankan atau menjaga status kesehatan pada lansia.
Kondisi kesehatan pada lansia sangat ditentukan oleh asupan makanannya, baik
kualitas maupun kuantitas. Seiring dengan bertambahnya usia dan proses
penuaan, timbul masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah fisik, biologik,
psikologik, sosial, maupun penyakit degeneratif (Safithri 2005).
Salah satu masalah yang banyak diderita para lansia adalah sembelit
atau konstipasi (susah BAB) dan terbentuknya benjolan-benjolan pada usus
(Depkes 2003). Sekitar 30–40% orang diatas usia 65 tahun di Inggris mengeluh
konstipasi, 30% penduduk diatas usia 60 tahun merupakan konsumen yang
teratur menggunakan obat pencahar. Sekitar 20% populasi diatas 65 tahun di
Australia, mengeluh menderita konstipasi (Siswono 2003).
1
2
Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan,
karena volume feses terlalu kecil sehingga penderita jarang buang air besar.
Kondisi ini akan memperlama waktu transit atau perjalanan makanan dari mulut
sampai dubur (Soelistijani 2002). Semakin lama tinja tertahan dalam usus,
konsistensinya semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah
dikeluarkan. Hal tersebut berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding usus
akibat penuaan yaitu kegiatan fisik yang mulai berkurang, serta kurangnya
asupan serat dan cairan (Arisman 2007).
Saat ini masyarakat Indonesia terutama yang di perkotaan mengalami
pergeseran pola konsumsi pangan. Seiring dengan kemajuan zaman dan
perbaikan sosial ekonomi masyarakat, maka terjadi pula perubahan kebiasaan
makan yang cenderung kebarat-baratan (western style diet). Makanan jadi dan
makanan siap saji telah menjadi kegemaran dan tren di masyarakat. Masyarakat
umumnya belum tahu atau kurang menyadari bahwa makanan jadi telah
kehilangan banyak komponen-komponen essensial makanan, khususnya serat.
Asupan serat yang terlampau rendah dalam kurun waktu lama akan
mempengaruhi kesehatan (seperti konstipasi), kegemukan, dan serangan
penyakit degeneratif (Soelistijani 2002).
Para ahli klinis, ahli gizi dan ahli teknologi pangan dalam dasawarsa
terakhir ini sepakat bahwa serat merupakan komponen yang sangat dianjurkan
dalam pola diet, ini disebabkan oleh banyaknya penyakit yang muncul akibat
rendahnya konsumsi serat, terutama di negara-negara maju. Meskipun masih
memerlukan penelitian lebih lanjut, cukup bukti bahwa berbagai serat dapat
membantu mencegah atau mengatasi penyakit seperti sembelit, gangguan usus,
obesitas dan penyakit jantung (Bangun 2005).
Menurut Kusharto (2006), serat mampu mengatasi konstipasi karena
serat dimetabolisme oleh bakteri yang berada dan melalui saluran pencernaan.
Pengaruh nyata yang telah dibuktikan adalah bertambahnya volume feses,
melunakkan konsistensi feses, memperpendek waktu transit di usus, dan
memproduksi flatus.
Selain konsumsi serat yang rendah, konstipasi juga disebabkan oleh
kurangnya asupan cairan. Menurut Muhammad (2010), salah satu masalah
cairan yang lebih sering dialami lansia adalah kekurangan cairan tubuh. Hal ini
terjadi karena adanya berbagai perubahan perubahan yang dialami lansia,
diantaranya adalah peningkatan jumlah lemak pada lansia, penurunan fungsi
3
ginjal untuk memekatkan urin, dan penurunan rasa haus. Penurunan rasa haus
pada lansia otomatis akan menurunkan asupan cairan, padahal dalam fungsinya
cairan memegang peranan penting terutama untuk mengolah makanan dalam
usus, tanpa cairan yang cukup usus tidak dapat bekerja secara maksimal
sehingga timbullah sembelit.
Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan mengenai pentingnya
peranan aktivitas fisik, asupan serat dan cairan sebagai penyebab konstipasi
yang terjadi pada lansia, maka peneliti ingin mengetahui perbedaan asupan
serat, cairan, dan aktivitas fisik serta hubungannya dengan gejala konstipasi
pada lansia di Panti Wreda Sukma Raharja yang dikelola pihak Pemda dan Panti
Wreda Salam Sejahtera yang dikelola pihak swasta.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan asupan serat dan cairan, aktivitas fisik, serta
hubungannya dengan gejala konstipasi pada lansia di Rumah Perlindungan
Sosial Tresna Wreda (RPSTW) Sukma Raharja yang dikelola pihak Pemda
dan Panti Wreda (PW) Salam Sejahtera yang dikelola pihak swasta.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik sosial dan status gizi contoh.
b. Menganalisis perbedaan asupan energi dan zat gizi (protein, karbohidrat,
dan lemak) pada lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam
Sejahtera.
c. Menganalisis perbedaan asupan serat, cairan, aktivitas fisik, dan kejadian
konstipasi pada lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam
Sejahtera.
d. Menganalisis hubungan antara asupan serat dan cairan dengan kejadian
konstipasi pada lansia contoh.
e. Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan gejala konstipasi pada
lansia contoh.
Hipotesis
1. Ada perbedaan asupan serat, cairan, dan aktivitas fisik pada lansia di RPSTW
Sukma Raharja dan PW Salam Sejahtera.
2. Ada hubungan antara asupan serat, cairan, dan aktivitas fisik dengan kejadian
konstipasi pada lansia contoh.
4
Kegunaan Penelitian
Kegunaan bagi Pihak Panti
Sebagai informasi dan masukan bagi pengelola panti mengenai konsumsi
pangan yang meliputi asupan serat dan cairan, serta aktivitas fisik penghuni
panti.
Kegunaan bagi Pihak Pemda
Sebagai
informasi
dan
masukan
bagi
pihak
pemda
mengenai
pelaksanaan dan pengelolaan panti, konsumsi pangan yang meliputi asupan
serat dan cairan, serta aktivitas fisik penghuni panti, terutama Rumah
Perlindungan Sosial Tresna Wreda Sukma Raharja yang merupakan pelaksana
dari UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda Ciparay Bandung dan
Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Lanjut Usia
Manusia usia lanjut merupakan seseorang yang karena usianya
mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang nantinya akan
mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Depkes
(2000) dalam Notoatmodjo (2007) mendefinisikan bahwa usia lanjut merupakan
orang yang sudah memasuki tahap dewasa akhir dengan usia sekitar 60 tahun
ke atas. Menurut Notoatmodjo (2007), usia lanjut adalah kelompok orang yang
mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu
beberapa dekade.
Undang-Undang
Republik
Indonesia
No.13
Tahun
1998
tentang
kesejahteraan lanjut usia, pasal 1 ayat 2, menyatakan bahwa yang dimaksud
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas. Usia lanjut menurut WHO (1997) dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu
lanjut usia (elderly): 60-74 tahun, usia tua (old): 75-90 tahun, dan sangat tua
(very old): >90 tahun (Notoatmodjo 2007).
Pada seorang usia lanjut mengalami perubahan-perubahan komposisi
tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem pernapasan, otak dan sistem
saraf, sistem metabolisme dan hormon, sistem ekskresi, massa tulang dan
mengalami perubahan mental (Wirakusumah 2002).
Konstipasi
Kebiasaan buang air besar normal mempunyai variasi yang luas pada
setiap orang. Perubahan kebiasaan BAB merupakan manifestasi klinis yang
umum dari penyakit saluran cerna. Konstipasi didefinisikan sebagai evakuasi
feses yang jarang atau sulit dan dapat akut atau kronis. Konstipasi absolut
didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses maupun flatus
(Grace & Neil 2006).
Menurut Bangun (2005), konstipasi merupakan keadaan atau gejala
hambatan gerak sisa makanan di saluran pencernaan sehingga buang air besar
tidak bisa lancar dan teratur. Pada keadaan normal, setiap 24 jam usus besar
(kolon) akan dikosongkan secara periodik. Seseorang dianggap konstipasi
apabila tidak dapat buang air besar selama dua hari atau lebih.
Penyebab konstipasi menurut The National Digestive Disease Information
Clearinghouse (NDDIC) dalam Muhammad (2010), yaitu kurangnya asupan serat
5
6
dalam konsumsi sehari-hari, kurangnya aktifitas terutama di usia lanjut, obatobatan tertentu (obat golongan narkotika, antasid yang mengandung alumunium
dan kalsium, antihipertensi golongan penghambat kalsium, obat anti Parkinson,
antispasmodik, antidepresan, suplemen Fe, diuretik, antikonvulsan), intoleransi
susu, penyakit dan gangguan pada usus besar, kehamilan, usia lanjut,
pemakaian pencahar berlebihan, kebiasaan menahan buang air besar, kurang
asupan cairan, gangguan fungsional pada usus.
Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam hubungannya
dengan konstipasi, yaitu dimana konstipasi akut sering mengindikasikan
obstruksi usus, dengan gejala utamanya berupa nyeri kolik abdomen, muntah,
konstipasi, dan distensi. Apabila yang terjadi adalah konstipasi kronis maka akan
beresiko untuk berkembang secara perlahan menjadi obstruksi usus (Bangun
2005).
Konstipasi kronis biasa terjadi akibat diet rendah serat. Selain itu, bisa
juga karena makan tidak teratur, kurang pergerakan dan olah raga, dan
mengabaikan saat terjadi rangsangan untuk buang air besar. Konstipasi yang
terjadi pada usia lanjut dengan atau tanpa gambaran sistemik harus diobati
secara sungguh-sungguh dengan tidak mengabaikan berat badan yang menurun
(Daldiyono et al 1990).
Muhammad (2010) mengemukakan gejala-gejala konstipasi pada setiap
orang berbeda-beda, tergantung pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk
usus besar masing-masing orang. Akan tetapi, gejala umum yang sering ditemui
diantaranya adalah perut terasa penuh, nyeri dan mulas; tinja atau feses lebih
keras dari biasanya; pada saat BAB feses atau tinja sulit dikeluarkan atau
dibuang, tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan ataupun
menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan dan
membuang tinja; serta menurunnya frekuensi BAB, dan meningkatnya waktu
BAB (BAB menjadi 3 hari sekali atau lebih).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumahtangga) pada
waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang
diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan
7
zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan
berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi
bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim
dan aktivitas fisik (Almatsier 2003).
Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan
mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh
melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan kegiatan
(internal dan eksternal), aktivitas dan mempertahankan daya tahan tubuh.
Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari
konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan asupan zat gizi dari kebutuhan
normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat membahayakan
kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992).
Serat
Serat adalah zat non-gizi yang termasuk sebagai salah satu jenis
kelompok polisakarida atau karbohidrat kompleks. Serat terbentuk dari beberapa
gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu dan membentuk rantai
kimia panjang, sehingga sukar dicerna oleh enzim pencernaan (Soelistijani
2002). Menurut Lubis (2009), serat makanan adalah komponen karbohidrat
kompleks yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, tetapi dapat dicerna
oleh mikro bakteri pencernaan. Serat makanan merupakan bahan baku yang
baik untuk pertumbuhan mikroflora usus.
Serat makanan tidak dicerna di usus halus, akan tetapi dimetabolisme
oleh bakteri yang berada dan melalui usus besar. Hal ini dapat menambah
volume feses, meningkatkan pengaruh laksatif, melunakkan konsistensi feses,
memperpendek transit time di usus, memproduksi flatus, hasil produksi
metabolisme bakteri dan keluaran anion organiknya akan mengubah garam
empedu dan asam lemak berantai pendek. Serat makanan menurut jenisnya
dibedakan menjadi dua, yaitu serat larut dan serat tak larut air. Serat larut
berfungsi dalam memperlama waktu pengosongan lambung sehingga seseorang
dapat merasa kenyang lebih lama, sedangkan serat tidak larut air dapat
menurunkan waktu transit dalam kolon, menghasilkan feses lebih lembek dan
lebih banyak (Kusharto 2006).
Selanjutnya menurut Almatsier (2003), serat larut air mudah di fermentasi,
sehingga
pertumbuhan
dan
perkembangan
bakteri
kolon
menyebabkan
bertambahnya berat feses. Serat tidak larut air, terutama lignin yang terdapat
8
dalam dedak gandum tidak mengalami fermentasi. Serat tidak larut air mampu
menyerap air, sehingga mengalami peningkatan berat dan mempunyai pengaruh
laksatif paling besar. Serat membantu pengeluaran feses dengan cara mengatur
peristaltik usus dan memberi bentuk pada feses. Selulosa dalam serat makanan
mengatur peristaltik usus, sedangkan hemiselulosa dan pektin mampu menyerap
banyak air dalam usus besar, sehingga memberi bentuk pada sisa makanan
yang akan dikeluarkan.
Konsumsi serat yang kurang akan mengakibatkan seseorang mengalami
sembelit atau konstipasi, sehingga sangat dianjurkan seseorang mengkonsumsi
serat sebesar 20-30 g per hari untuk orang dewasa. Perbandingan konsumsi
serat larut dan serat tak larut sebaiknya 1:3 (Muchtadi 2009). Sumber serat larut
yang baik adalah jenis kacang-kacangan, rumput laut, agar-agar, apel, pisang,
jeruk, wortel, bekatul, dan buncis, sedangkan sumber serat tak larut seperti
polong-polongan, buah berbiji, serta sayuran (Kusharto 2006).
Cairan
Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Pada pria
dewasa, 55%-60% berat tubuh adalah air dan pada wanita dewasa 50%-60%
berat tubuhnya adalah air. Air sebagai salah satu zat gizi mikro yang mempunyai
fungsi
dalam
berbagai
proses
penting
dalam
tubuh
manusia,
seperti
metabolisme, pengangkutan dan sirkulasi zat gizi dan non gizi, pengendalian
suhu tubuh, kontraksi otot, transmisi impuls saraf, pengaturan keseimbangan
elektrolit, dan proses pembuangan zat tak berguna bagi tubuh. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa kurang air berdampak buruk terhadap kesehatan
atau meningkatkan risiko kejadian berbagai penyakit, seperti sembelit, kram, batu
ginjal, infeksi saluran kemih dan lain-lain (Hardinsyah et al 2011). Menurut
Driskell (2009), dehidrasi (kurang cairan) kronis akan dapat berakibat terjadinya
konstipasi.
Almatsier (2003) menyatakan bahwa konsumsi cairan terdiri atas air yang
diminum, yang diperoleh dari makanan, serta air yang diperoleh sebagai hasil
metabolisme (air metabolik). Menurut Sawka, Cheuvront, dan Carter (2005), total
konsumsi cairan adalah berasal dari air minum (drinking water), air pada
minuman (water in beverages), dan air pada makanan.
Kebutuhan air tiap orang berbeda dan berfluktuasi tiap waktu. Hal tersbut
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas,
serta faktor lingkungan. Sebagian besar lansia mengurangi minum air putih atau
9
minuman lain karena berbagai alasan, misalnya karena timbulnya rasa mual
setelah minum susu, keasaman sari buah yang dapat mengganggu lambungnya,
serta tidak suka air. Penyebab utama hal tersebut adalah keengganan untuk
terlalu sering buang air kecil, karena telah menurunnya kontrol terhadap kandung
kemih (Muchtadi 2009).
Menurut Hardinsyah et al (2011), asupan air pada usia lanjut yang optimal
adalah 1-1,5 liter per hari. Pada keadaan usia lanjut, kepekaan pusat rasa haus
berkurang sehingga diperlukan perhatian lebih dari pengasuh usia lanjut untuk
mengawasi konsumsi minuman pada kelompok ini. Kebutuhan cairan lansia
dihitung dengan rumus 30ml/kg BB (untuk lansia dengan status gizi kurang/kurus
100ml/10 kg pertama, 30 ml/10 kg kedua, dan 15 ml/kg sisanya) (WHO 2002).
Penilaian Konsumsi Pangan
Penilaian komsumsi pangan adalah kegiatan mempelajari seluk beluk
tentang
makanan,
menelaah
jumlah
makanan
yang
dikonsumsi,
dan
membandingkan dengan baku kecukupan gizi yang dapat dipenuhi. Konsumsi
makanan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Penilaian konsumsi
makanan secara kualitatif biasanya digunakan untuk menggali informasi
mengenai kebiasaan makan dan frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang
dikonsumsi.
Konsumsi
makanan
secara
kuantitatif
dimaksudkan
untuk
mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi dan dari informasi ini dapat
diketahui dan dihitung konsumsi zat gizi dari makanan tersebut (Suhardjo 1989).
Pengukuran makanan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan berbagai
metode, antara lain metode recall 24 jam, metode perkiraan makanan (estimted
food records), penimbangan makanan (food weighing), metode food account,
metode inventaris (inventary method), pencatatan (household food record)
(Supariasa 2002). Besarnya porsi makanan dan estimasi jumlah makanan yang
dimakan dan diminum oleh responden, dapat diketahui dengan metode recall 24
jam (Khomsan dkk 2007).
Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan
yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Metode recall 24 jam sebaiknya
dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat
menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi
yang lebih besar tentang asupan harian individu (Sanjur 1997 dalam Supariasa
2002).
10
Meskipun metode recall 24 jam sudah dapat menggambarkan besar porsi
dan estimasi jumlah makanan yang dikonsumsi, namun metode ini memiliki
kelemahan berupa ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden,
sehingga metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia di bawah 7 tahun,
orang tua berusia di atas 70 tahun dan orang yang hilang ingatan atau orang
yang pelupa. Oleh karena itu, metode penilaian konsumsi makanan pada lansia
dilengkapi dengan metode food weighing.
Supariasa (2002) mengemukakan penimbangan makanan atau food
weighing merupakan salah satu metode pengukuran konsumsi makanan secara
kuantitatif pada tingkat perorangan yang digunakan untuk mengetahui jumlah
makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung asupan zat gizinya. Adapun
kelebihan dari metode ini ialah data yang diperoleh lebih akurat/teliti.
Kekurangannya yaitu memerlukan waktu yang cukup lama, mahal karena
membutuhkan peralatan, ada kemungkinan responden merubah kebiasaan
makan mereka jika penimbangan dilakukan dalam periode yang cukup lama,
tenaga pengumpul data harus terlatih dan trampil, serta memerlukan kerjasama
yang baik dengan responden.
Pada metode penimbangan, responden atau petugas menimbang dan
mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama 1 hari.
Penimbangan makanan biasanya dilakukan beberapa hari tergantung tujuan,
dana, dan tenaga yang tersedia.
Langkah-langkah pelaksanaan penimbangan makanan adalah petugas
atau responden menimbang dan mencatat bahan makanan yang dikonsumsi
dalam gram. Apabila terdapat sisa makanan setelah makan maka perlu juga
dilakukan penimbangan sisa makanan tersebut untuk mengetahui jumlah
sesungguhnya makanan yang dikonsumsi sehingga hasil yang diperoleh lebih
akurat. Kemudian dari jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari dapat
dianalisis menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau Daftar
Komposisi Gizi Jajanan (DKGJ). Selanjutnya hasil analisis zat gizi dibandingkan
dengan kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) (Supariasa 2002).
Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan zat gizi. Klasifikasi tingkat
kecukupan menurut Depkes (1996) dalam Supariasa (2002) adalah: defisit
tingkat berat (120%). Penilaian untuk mengetahui
11
tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi
zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hasil
perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal adalah kegiatan yang
menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegitan fisik, seperti
berjalan, berlari, berolahraga, dan lain-lain. Setiap kegiatan fisik membutuhkan
energi yang berbeda menurut lamanya intensitas dan kerja otot (FKM-UI 2007).
Menurut Hoeger dan Hoeger (2005), aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang
dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi.
Almatsier (2003), menjelaskan bahwa aktivitas fisik adalah gerakan yang
dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan
aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak,
sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk
menghantarkan
zat-zat
gizi
dan
oksigen
keseluruh
tubuh
dan
untuk
mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan
tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa
berat pekerjaan yang dilakukan.
Menurut Rosmalina dan Permaesih (2008), aktivitas fisik merupakan
faktor utama yang membedakan kebutuhan energi, selain itu juga berat badan
dan umur. Aktivitas fisik sehari mencakup lama dan jenis aktivitas yang biasa
dilakukan akan mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan.
Fisik lansia yang melemah sebagai akibat dari proses penuaan yang
terjadi pada seseorang menyebabkan keterbatasan lansia dalam beraktivitas.
Penurunan aktivitas fisik ini akan mengakibatkan terjadinya kelemahan tonus otot
dinding saluran cerna sehingga akan terjadi konstipasi (Arisman 2007).
Status Gizi Lansia
Menurut Briawan dan Madanijah (2008), status gizi adalah keadaan tubuh
yang diakibatkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan (asupan) zat gizi dan
jumlah yang dibutuhkan (requirement) untuk berbagai fungsi biologis. Penilaian
status gizi menurut Riyadi (2004) dapat dilakukan dengan beberapa cara salah
satunya
menggunakan
pengukuran
antropometri
(ukuran-ukuran
tubuh),
terutama jika terjadi ketidakseimbangan kronik antara intik energi dan protein.
12
Indikator dari status gizi adalah berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Status
gizi diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia seiring pertambahan
usia adalah terjadinya penurunan massa tulang yang dapat merubah struktur
tulang. Perubahan struktur tulang akan terjadi pada tulang-tulang punggung
(vertebrae), struktur jaringan pengikat dan tulang rawan (invertebrae) yang akan
merubah kurvatura tulang punggung menjadi lebih melengkung (kifosis torakalis)
dan posisi akan menjadi bungkuk (Darmojo 1999).
Tinggi badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang diperlukan
untuk pengkajian status gizi. Namun, dalam prakteknya seringkali menemukan
kesulitan untuk mendapatkan data TB pada lansia terutama yang sudah tidak
dapat berdiri dan mengalami kelainan tulang. Alternatif lain untuk memprediksi
TB lansia yaitu pengukuran tinggi lutut (TL). Tinggi lutut dapat digunakan untuk
melakukan estimasi TB lansia. Hasil pengukuran TL dikonversikan menjadi TB
menggunakan rumus Chumlea (1984) dalam Fatmah (2008):
TB pria
= 64,19 - (0,04 x usia dalam tahun) + (2,02 x tinggi lutut daIam cm)
TB wanita = 84,88 - (0,24 x usia dalam tahun) + (1,83 x tinggi lutut dalam cm)
Menurut Riyadi (2004) indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) ini sudah
divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga
direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi
juga telah tersedia. Indeks Massa Tubuh merupakan perbandingan BB dalam
satuan kilogram dengan TB kuadrat dalam satuan meter. Kategori IMT dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kategori indeks massa tubuh
Kurus
Normal
Gemuk
Kategori
Kekurangan berat badan tingkat berat
Kekurangan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat
Sumber : Depkes (1994) dalam Supariasa et al (2002)
IMT
: < 17,0 kg/m2
: 17,0 – 18,49 kg/m2
: 18,5 – 24,9 kg/m2
: 25,0 – 27,0 kg/m2
: >27,0 kg/m2
13
KERANGKA PEMIKIRAN
Lansia merupakan seseorang yang berusia 60 tahun keatas. Lansia
mengalami beberapa proses perubahan jangka panjang, berupa perubahanperubahan komposisi tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem
pernapasan, otak dan sistem saraf, sistem metabolisme dan hormon, sistem
ekskresi, massa tulang, dan mengalami perubahan mental penurunan.
Perubahan tersebut memicu berbagai masalah kesehatan yang sering terjadi
pada lansia, salah satunya masalah pencernaan yaitu konstipasi.
Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan,
karena volume feses terlalu kecil sehingga penderita jarang buang air besar.
Kondisi ini akan memperlama waktu transit atau perjalanan makanan dari mulut
sampai anus. Konstipasi dapat diketahui dari beberapa gejala yang umum terjadi
pada penderitanya, meliputi perut terasa penuh, konsistensi feses lebih keras
dari biasanya, feses susah dikeluarkan pada saat BAB atau mengejan secara
berlebihan saat BAB, dan tidak BAB selama 2 hari atau lebih.
Konstipasi umumnya disebabkan oleh kurangnya asupan serat dan
cairan, serta aktivitas fisik rendah. Penurunan fungsi gigi-geligi pada lansia
berakibat keengganan untuk mengkonsumsi makanan bertekstur keras seperti
buah dan sayur yang merupakan sumber serat makanan. Penurunan rasa haus
pada lansia juga otomatis akan menurunkan asupan cairan harian. Fisik lansia
yang melemah sebagai akibat dari proses penuaan yang terjadi pada seseorang
menyebabkan keterbatasan lansia dalam beraktivitas. Penurunan aktivitas ini
akan mengakibatkan terjadinya konstipasi.
Selain itu, konstipasi pada lansia juga sering disebabkan karena adanya
penyakit atau gangguan pada usus besar dan konsumsi obat-obatan. Lansia
yang memiliki riwayat penyakit hipertensi terbiasa untuk mengkonsumsi obatobatan anti hipertensi, dimana beberapa jenis obat anti hipertensi dapat
menyebabkan konstipasi. Kerangka pemikiran penelitian secara lengkap dapat
dilihat pada Gambar 1.
13
14
Lansia
Karakteristik Contoh
‐ Umur
‐ Jenis Kelamin
‐ Tingkat Pendidikan
‐ Status Gizi
Asupan Energi,
Protein,
Karbohidrat,
dan Lemak
‐ Penyakit dan
gangguan pada
usus besar
‐ Gangguan
fungsional pada
usus
Konsumsi
obat-obatan
Penurunan
fungsi fisik
Kurangnya
aktifitas fisik
- Asupan serat
- Asupan cairan
Konstipasi
Keterangan :
= Variabel yang tidak diteliti
= Variabel yang diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan antara asupan serat dan cairan, serta
aktivitas fisik dengan gejala konstipasi pada lanjut usia.
15
METODOLOGI PENELITIAN
Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain crossecsional study, semua data yang
dibutuhkan dikumpulkan dalam satu waktu (Singarimbun & Effendi 2006).
Penelitian dilakukan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda (RPSTW)
Sukma Raharja dan Panti Wreda (PW) Salam Sejahtera. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Agustus-September 2011. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan
secara purposive sampling berdasarkan pertimbangan bahwa RPSTW Sukma
Raharja merupakan satu-satunya panti yang dikelola Pemda Kota Bogor,
sedangkan PW Salam Sejahtera yang dikelola pihak swasta dipilih dengan
pertimbangan jumlah lansia yang dirawat relatif lebih banyak dibandingkan
dengan panti-panti swasta lainnya.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Keseluruhan lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam Sejahtera
masing-masing berjumlah 60 dan 62 orang. Penentuan jumlah contoh dilakukan
dengan cara proporsional stratified random sampling. Jumlah contoh diperoleh
dengan menentukan jumlah contoh minimal terlebih dahulu, yaitu 30 untuk
masing-masing panti. Perhitungan jumlah contoh dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perhitungan jumlah contoh
Panti
RPSTW Sukma Raharja
PW Salam Sejahtera
Total
Jumlah lansia
P
L
59
1
31
31
Total
Ukuran Contoh
60
62
122
60/122 x 60 = 30
62/122 x 60 = 31
61
Berdasarkan perhitungan, diperoleh jumlah contoh 61 orang dengan
masing-masing 30 lansia dari RPSTW Sukma Raharja dan 31 lansia PW Salam
Sejahtera. Penentuan lansia yang menjadi contoh penelitian ialah dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut :
1. Tidak pikun
2. Masih bisa berkomunikasi dengan baik
3. Bersedia diwawancarai dan dilakukan penimbangan terhadap makanan yang
dikonsumsi.
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik
15
16
lansia (nama, umur, jenis kelamin, dan pendidikan), konsumsi pangan dan
cairan, aktivitas fisik, status gizi, dan data kejadian konstipasi contoh. Data
sekunder yang dikumpulkan meliputi jumlah lansia yang berada di Panti, menu
yang diberikan dari pihak panti, dan gambaran umum panti. Jenis dan cara
pengumpulan data primer dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis dan Cara Pengumpulan Data
No
1
Variabel
Karakteristik
Contoh
Data
Umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan
2
Data asupan
Konsumsi makanan
dan minuman
3
Aktivitas Fisik
4
Status Gizi
Jenis dan alokasi waktu
untuk aktivitas fisik dan
olah raga
Berat badan dan tinggi
badan
5
Kejadian
Konstipasi
Lokasi penelitian
6
Gejala-gejala konstipasi
Gambaran umum Panti
Cara Pengumpulan Data
Wawancara menggunakan
kuesioner.
Penimbangan
makanan
(food
weighing) yang disediakan panti dan
recall makanan jajanan selama 2
hari berturut-turut, dengan mencatat
jenis dan jumlah makanan dan
minuman yang dikonsumsi mulai
dari bangun tidur sampai mau tidur
malam.
Wawancara menggunakan
kuesioner dan recall 2x 24 jam.
Pengukuran langsung menggunakan
timbangan bath room merk Camry
dengan ketelitian 0,1 kg dan
kapasitas 120 kg. Pengukuran tinggi
badan menggunakan Microtoise
merk Design dengan ketelitian 0,1
cm dan kapasitas 200 cm.
Wawancara langsung menggunakan
kuesioner.
Data profil panti
Data konsumsi makanan dari kedua panti diperoleh dengan cara yang
berbeda. Pada RPSTW Sukma Raharja, konsumsi nasi dan sayuran lansia per
kali makan diperoleh dengan menanyakan dan mengamati langsung banyaknya
nasi yang diambil dan dihabiskan lansia. Berat atau jumlah pangan yang diambil
diketahui dengan terlebih dahulu menimbang berat pangan yang diambil setiap
per satuan alat (sendok sayur) yang dipakai oleh pihak panti saat memberikan
makanan kepada penghuni panti. Hal tersebut karena petugas dapur RPSTW
Sukma Raharja membagikan makanan secara prasmanan dan tidak disediakan
tempat/wadah khusus. Lansia membawa piring/mangkuk milik sendiri sebagai
tempat/wadah makanan mereka, sehingga porsi yang diterima penghuni panti
cenderung berbeda, sedangkan makanan yang berupa potongan seperti pangan
hewani dan nabati dilakukan penimbangan dengan cara mengambil 3 potong dari
17
jenis pangan yang sama dan dianggap dapat mewakili porsi yang diberikan
terhadap semua penghuni panti.
Pada PW Salam Sejahtera, total konsumsi nasi lansia per kali makan
diperoleh dengan menanyakan dan mengamati langsung banyaknya nasi yang
diambil dan dihabiskan lansia. Penimbangan dilakukan untuk lauk pauk dan
sayuran, yaitu dengan cara mengambil 3 potong dari jenis pangan yang sama
dan dianggap dapat mewakili porsi yang diberikan terhadap semua penghuni
panti. Recall 2x24 jam dilakukan pada kedua panti untuk makanan yang
dikonsumsi lansia contoh diluar dari yang diberikan oleh pengelola panti, serta
makanan yang dikonsumsi penghuni panti pada saat malam hari, karena peneliti
hanya melakukan penelitian dari pagi hingga sore.
Data konsumsi dan aktivitas fisik juga diperoleh dengan melakukan
pengamatan secara langsung terhadap masing-masing lansia contoh. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisasi bias dari lansia contoh yang telah mengalami
penurunan daya ingat.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses editing, coding,
scoring, entry data, cleaning data, tabulasi dan analisis data. Pengolahan dan
analisis data menggunakan program Microsoft Excel dan Software Statistik.
Data karakteristik. Data karakteristik contoh yang meliputi umur, jenis
kelamin, dan tingkat pendidikan, data asupan /asupan makanan dan minuman,
data aktivitas fisik, dan data status gizi. Data tersebut kemudian dianalisis secara
deskriptif dan inferensial. Data umur contoh yang diperoleh dikelompokkan
menjadi tiga kelompok menurut WHO (1997) yaitu lanjut usia (elderly): 60-74
tahun, usia tua (old): 75-90 tahun, dan sangat tua (very old): >90 tahun. Data
tingkat pendidikan contoh diolah dengan mengelompokkannya menjadi enam
kategori yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat
SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, tamat Perguruan Tinggi/D3.
Data konsumsi. Data konsumsi yang diperoleh dikonversi dalam satuan
gram kemudian dihitung kandungan energi, protein, karbohidrat, lemak, dan serat
dengan menggunakan program nutrisurvey kemudian hasil akhirnya diperoleh
rata-rata untuk 2 hari.
Asupan energi dan protein. Angka kecukupan gizi contoh dihitung
berdasarkan status gizi contoh. Apabila status gizi normal maka menggunakan
Angka Kecukupan Gizi (2004) yang telah dikoreksi dengan berat badan aktual
18
contoh sehingga didapatkan angka kecukupan energi dan protein koreksi. Status
gizi kurang tingkat berat dan lebih tingkat berat menggunakan berat badan ideal
dalam menghitung angka kecukupan zat gizi contoh. Rumus yang digunakan
dalam mengkoreksi angka kecukupan zat gizi adalah sebagai berikut
(Hardinsyah & Tambunan 2004):
AKG Koreksi=
berat badan aktual (kg)
x AKG
berat badan standar dalam daftar AKG
Angka kecukupan gizi kemudian digunakan untuk menghitung tingkat
kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan zat gizi contoh diperoleh dengan
menggunakan rumus (Hardinsyah & Tambunan 2004):
Tingkat kecukupan zat gizi =
asupan zat gizi aktual
x 100%
angka kecukupan gizi
Penggolongan tingkat kecukupan dilakukan berdasarkan Depkes (1996)
dalam Supariasa (2002) yaitu defisit tingkat berat ( 30 g) (Muchtadi 2009).
Asupan cairan. Data asupan cairan dikelompokkan menjadi tiga
kelompok berdasarkan sumbernya, yaitu air yang berasal dari makanan,
minuman, dan air metabolik. Asupan air dari makanan dihitung berdasarkan
kandungan air dari rata-rata konsumsi pangan selama 2 hari. Kandungan air
pangan diperoleh dari Tabel Komposisi Pangan Indonesia dalam Mahmud et al
(2009) dengan rumus:
Kgij= {(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)}
Keterangan:
Kgij
= Kandungan zat-zat gizi-i dalam bahan makanan-j
Bj
= Berat makanan-j yang dikonsumsi (g)
Gij
= Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan-j
BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan
Air metabolik merupakan air hasil metabolisme zat gizi pangan
(karbohidrat, protein, lemak). Jumlah air yang dihasilkan dari proses metabolisme
zat gizi dapat dilihat pada Tabel 4. Asupan cairan dihitung dari rata-rata
konsumsi cairan dalam 2 hari penelitian baik dari makanan, minuman, maupun
19
air metabolik dibandingkan dengan kebutuhan cairan perhari dikali 100%.
Kebutuhan cairan lansia dihitung dengan rumus 30ml/kg BB (untuk lansia
dengan status gizi kurang/kurus 100ml/10 kg pertama, 30 ml/10 kg kedua, dan
15 ml/kg sisanya) (WHO 2002). Kemudian
dilakukan penggolongan tingkat
konsumsi cairan yang dianalogikan sama dengan pemenuhan zat gizi, yaitu
kurang minum (110%)
(Depkes 2005).
Tabel 4 Air metabolik
Zat Gizi
Karbohidrat
Protein
Lemak
Air Hasil Metabolisme (ml/100 g zat gizi)
55
41
107
Sumber : Muchtadi et al (1993)
Aktivitas fisik. Data aktivitas fisik didapatkan dengan metode recall 2x24
jam dan pengeluaran energi aktivitas fisik dihitung berdasarkan jenis kegiatan
dengan menggunakan faktor kelipatan dan EMB untuk tiap jenis kegiatan.
Menurut FAO/WHO/UNU (2001) besarnya aktivitas fisik yang dilakukan
seseorang dalam 24 jam dinyatakan dlam PAL (Physical Activity Level) atau
tingkat aktivitas fisik. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
PAL=
∑(PAR ×alokasi waktu tiap aktivitas)
24 jam
Keterangan:
PAL = Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)
PAR= Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis
aktivitas per satuan waktu tertentu)
Tingkat aktivitas fisik kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu
ringan (1,40≤ PAL≤1,69), sedang (1,70≤PAL≤1,99), dan berat (2,00≤PAL≤2,39)
(FAO/WHO/UNU 2001). Jenis aktivitas fisik yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada FAO/WHO/UNU (2001) dengan nilai PAR yang berbeda dalam
setiap jenis kegiatan kkal per menitnya antara laki-laki dan perempuan. Nilai
PAR yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Keseimbangan energi diperoleh dengan menghitung selisih antara energi
yang didapat dari konsumsi pangan (asupan energi) dan pengeluaran energi dari
aktivitas fisik, masing-masing dalam satuan kalori. Keseimbangan energi
dikatakan positif apabila asupan energi lebih besar dari pengeluaran energi, dan
dikatakan negatif bila asupan energi lebih kecil dari pengeluaran energi.
20
Perhitungan pengeluaran energi aktivitas fisik dapat dilihat dengan rumus
sebagai berikut:
Pengeluaran Energi = PAL x EMB
Keterangan:
PAL = Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)
EMB = Energi Metabolisme Basal
Penentuan nilai EMB didasarkan pada umur dan BB disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Rumus FAO/WHO/UNU untuk menentukan EMB
Kelompok Umur
0–3
3 – 10
10 – 18
18 – 30
30 – 60
≥ 60
Sumber: Almatsier S (2004)
EMB (kkal/hari)
Laki-laki
Perempuan
60,9 BB - 54
61,0 BB – 51
22,7 BB + 495
22,5 BB + 499
17,5 BB + 651
12,2 BB + 746
15,3 BB + 679
14,7 BB + 496
11,6 BB + 879
8,7 BB + 829
13,5 BB + 487
10,5 BB + 596
Status gizi. Status gizi contoh diukur berdasarkan indeks massa tubuh
yang terdiri dari 5 kategori menurut Depkes (1994) dalam Supariasa et al (2002)
yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kategori status gizi berdasarkan IMT
Kurus
Normal
Gemuk
Kategori
Kekurangan berat badan tingkat berat
Kekurangan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat
IMT
: < 17,0 kg/m2
: 17,0 – 18,49 kg/m2
: 18,5 – 24,9 kg/m2
: 25,0 – 27,0 kg/m2
: >27,0 kg/m2
Data IMT diperoleh dengan terlebih dahulu mengetahui tinggi dan berat
badan lansia. Tinggi dan berat badan lansia diperoleh dengan pengukuran
langsung terhadap lansia contoh. Akan tetapi, ada beberapa lansia contoh
dikedua panti yangmengalami kelainan tulang yaitu 4 orang di RPSTW Sukma
Raharja dan 10 orang di PW Salam Sejahtera, sehingga digunakan pengukuran
TL yang dikonversi ke dalam TB dengan menggunakan rumus Chumlea (1984).
Konstipasi. Data konstipasi diperoleh dengan wawancara langsung
menggunakan kuesioner mengenai gejala-gejala dasar konstipasi seperti perut
terasa penuh, konsistensi feses lebih keras dari biasanya, feses susah
dikeluarkan pada saat BAB atau mengejan secara berlebihan saat BAB, dan
tidak BAB selama 2 hari atau lebih dengan jawaban ya atau tidak.
Data dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif
dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi, rata-rata dan standard deviasi. Data
21
yang dianalisis secara deskriptif adalah data karakteristik contoh, asupan zat gizi,
aktivitas fisik, status gizi dan kejadian konstipasi contoh. Untuk mengetahui
perbedaan asupan energi, protein, karbohidrat, lemak, serat, cairan, aktivitas
fisik, dan status gizi pada lansia di Panti Wreda Sukma Raharja yang dikelola
pihak Pemda dan Panti Wreda Salam sejahtera yang dikelola pihak swasta
dianalisis dengan independent sample t-test. Sedangakan analisis data yang
digunakan untuk menguji hubungan antara variabel adalah uji korelasi Rank
Spearman.
22
Definisi Operasional
Contoh adalah lansia di Sukma Raharja dan Salam Sejahtera laki-laki dan
perempuan berusia ≥ 60 tahun.
Asupan serat adalah asupan serat yang dikonsumsi oleh contoh dari makanan
dan minuman dalam satuan gram sehari.
Asupan cairan adalah asupan cairan yang dikonsumsi oleh contoh dari
makanan, minuman, dan air metabolik dalam satuan liter sehari.
Aktivitas fisik adalah data recall semua aktivitas fisik yang dilakukan contoh
selama 24 jam atau 1 hari penuh.
Gejala-gejala konstipasi adalah tanda-tanda konstipasi yang dialami contoh
berupa gangguan buang air besar dengan gejala tidak BAB selama 2 hari
atau lebih, perut terasa penuh, konsistensi feses lebih keras dari biasanya,
feses susah dikeluarkan pada saat BAB atau mengejan secara berlebihan
saat BAB.
Karakteristik sosial adalah karakterisitk lansia contoh yang meliputi umur, jenis
kelamin dan tingkat pendidikan.
Tingkat Pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi yang pernah diperoleh
oleh contoh.
Status gizi contoh adalah keadaan gizi contoh yang diukur dari BB dan TB yang
dikonversikan dan dikategorikan berdasarkan IMT contoh.
Asupan energi adalah jumlah rata-rata energi dari makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh contoh dalam satuan kkal dalam sehari.
Asupan protein adalah jumlah rata-rata protein dari makanan dan minuman
yang dikonsumsi oleh contoh dalam satuan gram dalam sehari.
Asupan karbohidrat adalah jumlah rata-rata karbohidrat dari makanan dan
minuman yang dikonsumsi oleh contoh dalam satuan gram dalam sehari.
Asupan lemak adalah jumlah rata-rata lemak dari makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh contoh dalam satuan gram dalam sehari.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda Sukma Raharja
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda (RPSTW) Sukma Raharja
Kota Bogor adalah salah satu panti dibawah lembaga atau satuan kerja yang
berfungsi untuk memberikan pelayanan sosial bagi penyandang masalah sosial
Lanjut Usia terlantar. Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda (RPSTW)
Sukma Raharja Bogor terbentuk sejak tahun 1957 diatas sebidang tanah seluas
1810 m2. Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda Sukma Raharja Kota Bogor
merupakan pelaksana dari UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda
Ciparay Bandung dan Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan yang berfungsi
memberikan pelayanan sosial bagi para lansia terlantar dan tidak mampu
berdasarkan profesi pekerjaan sosial.
Kedudukan RPSTW Sukma Raharja Bogor sesuai dengan SK Gubernur
Jawa Barat No. 38 Tahun 1997 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
RPSTW Sosial di Lingkungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dan keputusan
Gubernur Jawa Barat No. 29 tahun 2003 tentang Pembentukan Instalasi Unit
Pelaksana Teknis Dinas pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, yaitu
merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas yang memberikan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lanjut usia yang berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala Dinas Sosial provinsi Jawa Barat. Berdasarkan SK
Gubernur Jawa Barat No. 113 Tahun 2009 tentang Pembentukan Sub Unit
Pelaksanaan Teknis Dinas pada Dinas sosial Provinsi Jawa Barat, yaitu RPSTW
Bogor diubah menjadi Sub Unit Pelaksana Teknis Dinas pada Dinas Sosial
Provinsi Jawa Barat.
Sarana dan prasarana penunjang yang dimiliki RPSTW Sukma Raharja
saat ini berupa bangunan yaitu 1 unit kantor, 4 unit asrama, 1 unit aula, 1 unit
gazebo, 1 unit Mushola, 3 unit kamar mandi, 3 unit kamar emergency, 1 unit
dapur, dan 1 unit rumah dinas Kepala Panti. Jumlah penghuni yang dilayani di
RPSTW Sukma Raharja Bogor sebanyak 60 orang, terdiri dari 59 Lansia wanita
dan 1 orang Lansia laki-laki. Jumlah pegawai sebanyak 16 orang termasuk 10
tenaga TKK yaitu 6 orang Pegawai Negeri Sipil, 3 orang perawat, 1 orang pramu
wisma, 1 orang pramu Wreda, 2 orang petugas keamanan, dan 2 orang petugas
dapur.
23
24
Beberapa persyaratan untuk bisa diterima di RPSTW Sukma Raharja
Bogor yaitu:
1. Wanita berusia minimal 60 tahun keatas
2. Bukan Pensiun PNS/Polri/TNI
3. Membawa surat keterangan sehat dari dokter
4. Mengisi formulir permohonan
5. Menyerahkan surat keterangan tidak mampu dari Desa/ Kelurahan
setempat
6. Membawa surat rujukan dari Dinas Sosial Kabupaten/ Kota
7. Menyerahkan KTP, fotcopy KK, foto terbaru ukuran 3x4 2 lembar.
Adapun pembiayaan dibebankan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Barat/APBD Tk. I yang menyantuni sebanyak 60 orang Lansia.
Pegelolaan makanan di RPSTW Sukma Raharja dilakukan dengan
menggunakan siklus menu 1 minggu. Pembagian porsi dilakukan untuk pangan
sumber protein hewani dan nabati, seperti ayam, ikan, tahu, dan tempe. Nasi
diambil sendiri oleh penghuni panti, sedangkan sayuran diberikan secara
langsung oleh petugas dapur pada saat pembagian makanan. Penghuni panti
menggunakan tempat/piring/mangkuk masing-masing untuk mengambil makanan
yang diberikan oleh pengelola.
Panti Wreda Salam Sejahtera
Awal tahun 1996 diadakan pertemuan dengan diberi nama “Ikatan
Kekerabatan/Kekeluargaan Tio Chiu”. Pertemuan ini menghasilkan gagasangagasan,
salah
satunya
muncul
gagasan
mulia
dengan
tujuan
untuk
mengadakan bentuk kegiatan yang lebih berarti, bukan untuk kalangan terbatas
tetapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Gagasan ini yaitu dengan
membangun dan membentuk sebuah panti yang diberi nama Panti Wreda (PW)
Salam Sejahtera dibawah naungan Yayasan Kasih Mulia Sejahtera Panti Wreda
dan resmi berdiri pada tanggal 12 Desember 1996.
Lokasi PW Salam Sejahtera Kota Bogor cukup strategis baik untuk
hubungan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya, pusat perbelanjaan dan
Pemerintahan Kota Bogor, sehingga penghuni panti tidak merasa diasingkan dan
dapat menikmati hari tuannya dengan diliputi rasa ketentraman lahir batin. PW
Salam Sejahtera Kota Bogor terletak di Jalan Padjajaran belakang Gedung
Olympic, diapit oleh dua gedung pertokoan yang dibelakangnya terdapat
perumahan masyarakat.
25
Panti Wreda Salam Sejahtera dibangun diatas sebidang tanah seluas ±
3.642 m2 yang didirikan oleh 10 orang yaitu salah satunya Bapak Eddy Mulianto
sebagai ketua. Adapun bangunan tersebut terdiri dari ruang sekretariat, ruang
tamu, ruang perawat, balai pengobatan/poliklinik, ruang pertemuan yang
biasanya dipakai sebagai tempat ibadah, kamar berjumlah 60 unit yang dibagi
menjadi 3 wisma yaitu wisma A dengan 25 unit kamar, wisma B 8 unit kamar,
dan wisma C 27 unit kamar yang dikhususkan untuk lansia laki-laki. Setiap kamar
dilengkapi dengan kamar mandi dan WC tersendiri. Ruang makan yang
dilengkapi meja dan kursi serta perlengkapan lainnya, dapur dan ruang cuci
dengan ukuran 6,5x6 m2 dan ruang penyimpanan bahan makanan 5x5 m2.
Jumlah karyawan di PW Salam Sejahtera yaitu 24 orang yang terdiri dari
5 orang bagian pengelola makanan, 6 orang suster, 2 orang Ahli Madya
Fisioterapi, 4 orang satpam, 2 orang bagian administrasi, 3 orang bagian
kebersihan, 1 orang tukang cuci dan 1 orang driver. Adapun struktur organisa