Hubungan antara Produksi dan Kualitas Susu Sapi Perah dengan Faktor yang Mempengaruhi (Studi Kasus di Pondok Ranggon, Jakarta Timur)

RINGKASAN
NAWANGWULAN DEWAYANI. D14080208. 2012. Hubungan antara Produksi
dan Kualitas Susu Sapi Perah dengan Faktor yang Mempengaruhi (Studi Kasus
di Pondok Ranggon, Jakarta Timur). Skripsi. Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P Purwanto, M.Agr.Sc
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si
Ternak sapi perah merupakan salah satu jenis ternak ruminansia besar yang
banyak diusahakan dan dipelihara oleh para petani dan peternak di Indonesia, tidak
hanya dipelihara di pedesaan bahkan kawasan perkotaan tidak luput dari usaha ini.
Sentra peternakan sapi perah di Jakarta terletak di Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan produksi dan kualitas susu
berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada peternakan sapi perah di
Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Jumlah sapi laktasi yang digunakan dalam
penelitian sebanyak 134 ekor. Rancangan dan analisis data menggunakan analisis
regresi eksponensial berganda dengan persamaan sebagai berikut: Yi =
a.X1b1.X2b2.X3b3.X4b4.X5b5 dimana Yi menunjukkan produksi dan kualitas susu (lemak,
laktosa, protein, dan SNF); a menunjukkan intersep; X1 pemberian hijauan; X2
konsentrat; X3 ampas tahu; X4 ampas tempe; X5 pemberian dedak; dan b
menunjukkan koefisien korelasi untuk setiap X. Parameter yang diukur ialah keadaan
lingkungan, pemberian pakan, kondisi ternak, produksi susu, dan kualitas susu yang

dihasilkan.
Peternak memberikan pakan sapi dengan hasil sampingan industri pangan,
seperti ampas tahu, dedak padi, dan ampas tempe. Rataan pemberian hijauan,
konsentrat, ampas tahu, ampas tempe, dan dedak masing-masing sebesar 20,85±4,27;
0,67±0,73; 28,94±7,62; 2,26±4,51; dan 0,01±0,09 kg/ekor/hari. Produksi susu yang
dihasilkan di Pondok Ranggon sebesar 9,28±3,22 kg/ekor/hari. Kualitas susu yaitu
lemak, laktosa, protein, bahan kering tanpa lemak, dan berat jenis masing-masing
sebesar 4,44%; 4,20%; 3,91%; 8,83%; dan 1,032 g/ml. Kesimpulan menunjukkan
produksi dan kualitas susu di Pondok Ranggon dipengaruhi oleh suhu dan
kelembaban kandang,manajemen pemeliharaan, serta kondisi fisiologis sapi. Sapi
berproduksi maksimal saat berumur 2,5 tahun, periode laktasi pertama, bulan laktasi
kedua, sapi yang berbobot badan besar, serta sapi yang tidak dalam keadaan bunting.
Kata-kata kunci : sapi perah, Pondok Ranggon, susu.

i

ABSTRACT
The relationship between quality of dairy milk cow and production with factors
influenced (Case Study in Pondok Ranggon, East Jakarta).
Dewayani, N., B. P. Purwanto, and A. Atabany

Dairy cows are the large ruminants that mostly kept by Indonesian dairy farmers.
The dairy farms of Indonesia located not only in the villages, but also in the urban
areas, such as Pondok Ranggon in East Jakarta. Recent study was done to observe
effect of technical factors on milk production and quality of dairy farms in Pondok
Ranggon in East Jakarta. The parameters were environmental conditions, feeding
patterns, animal conditions, lactation performance, and milk quality. The data were
analyzed using multiple regression analysis. To overcome less of roughage supply,
farmers used agro-industry by products such as tofu waste, soybean waste, and rice
bran. The averages of roughage, concentrate, tofu waste, soybean waste and rice bran
that offered to the animals were 20,85±4,27; 0,67±0,73; 28,94±7,62; 2,26±4,51; and
0,01±0,09 kg/h/d, respectively. Under this feeding regime, the average milk
produced was 9,28±3,22 kg/h/d. The averages of fat, lactose, protein, solid non fat,
density of milk quality were 4,44%; 4,20%; 3,91%; 8,83%; and 1,032 g/ml. The
relationship of milk production(Y) on roughage (X1), concentrate (X2), tofu waste
(X3), soybean waste (X4) and rice bran (X5) was Y1=2,672X10,256 X20,014 X30,018 X40,008
X5-0,055. The influenced of age, number of lactation, lactation days, pregnancy
and body weight on milk production and quality were also confirmed. It was
concluded that maximum milk production in Pondok Ranggon was produced by the
cows at 2,5 years age, in the first lactation, at the second months of lactation, from
heavier cows, or in the non pregnant cows.

keywords : dairy cow, Pondok Ranggon, milk.

ii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak sapi perah merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang banyak
diusahakan dan dipelihara oleh para petani dan peternak di Indonesia, tidak hanya
dipelihara di pedesaan bahkan kawasan perkotaan tidak luput dari usaha ini. Ternak
sapi perah mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan karena peternakan
sapi perah termasuk usaha yang berkelanjutan, sehingga produksi susu yang
dihasilkan dapat dipertahankan sampai waktu tertentu atau selama masa hidupnya.
Sapi perah laktasi memerlukan pasokan nutrisi yang memadai dari segi
kualitas maupun kuantitas untuk memenuhi tiga hal pokok, yaitu: mencukupi
kebutuhan hidup pokok, perkembangan janin, serta memproduksi susu. Produksi
susu sangat dipengaruhi oleh faktor internal (genetik) serta faktor eksternal (pakan
dan lingkungan ternak). Komposisi kimia susu lebih ditentukan oleh faktor genetik,
misalnya sapi perah FH umumnya menghasilkan susu dengan kandungan lemak
lebih rendah bila dibandingkan sapi Jersey, meskipun sebagian juga ditentukan oleh
faktor eksternal (Palladino et al., 2010).

Sentra peternakan sapi perah di daerah Jakarta Timur terletak di kelurahan
Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur. Pemerintah
Propinsi DKI Jakarta telah menetapkan daerah tersebut sebagai kawasan relokasi
sapi perah sejak tahun 1992 melalui SK Gubernur No 300 tahun 1986. Usaha ternak
sapi perah didaerah tersebut dilakukan secara perorangan maupun kelompok dan
telah berlangsung secara turun-temurun dibawah bimbingan Dinas Peternakan DKI
Jakarta.
Peternakan sapi perah di Pondok Ranggon memiliki potensi untuk
dikembangkan, mengingat tingginya permintaan dan harga jual susu segar di DKI
Jakarta. Tingkat produksi susu di DKI Jakarta masih tergolong rendah, yaitu sekitar
5-10 liter/ekor/hari. Rendahnya produksi susu di DKI Jakarta diduga dipengaruhi
oleh beberapa faktor baik itu eksternal maupun internal, oleh karena itu perlu adanya
usaha untuk mengevaluasi dan memperbaiki aspek teknis pemeliharaan sapi perah di
DKI Jakarta agar dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas susu yang
dihasilkan oleh sapi-sapi yang dipelihara khususnya di wilayah Pondok Ranggon.

1

Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan produksi dan kualitas

susu berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada peternakan sapi perah di
Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Perah
Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu
yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa
anak. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan cara perbaikan mutu genetik
melalui seleksi terhadap sapi-sapi yang memiliki produksi tinggi. Penilaian terhadap
seekor sapi perah pada dasarnya dilakukan dengan memperhatikan lima kriteria
penting, yaitu : bangsa, asal usul ternak, kesehatan, penampilan fisik, dan catatan
produksi, apabila catatan reproduksi dan asal usul ternak belum diketahui maka
seleksi didasarkan penampilan fisik secara umum (Diggins et al., 1984).
Sifat-sifat fisik secara eksterior pada bagian tertentu yang dimiliki sapi perah
menentukan tipe perahnya. Tipe perah yang baik akan menjamin kapasitas produksi
yang dihasilkan. Bentuk dan ukuran tubuh serta kondisi ambing perlu diperhatikan
didalam seleksi sapi perah. Sapi perah produksi tinggi mempunyai kapasitas tubuh
panjang dan dalam untuk mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang banyak sehingga

menghasilkan susu yang tinggi (Diggins et al., 1984).
Sapi Friesian Holstein (FH)
Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu
hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun juga ada yang berwarna
coklat ataupun merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian
bawah dari kaki berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin,
2011). Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya paling tinggi dengan kadar
lemak susu yang rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya
didaerah tropis maupun subtropis. Bobot badan ideal sapi FH betina dewasa adalah
682 kg dan jantan dewasa 1000 kg. Sapi FH dapat digunakan sebagai sapi pedaging
karena pertumbuhan cepat, selain itu lemak daging anak sapi berwarna putih,
sehingga baik untuk produksi daging anak sapi/veal (Sudono et al., 2003).
Produktivitas Sapi Perah
Kegiatan budidaya sapi perah ditujukan terutama untuk mencapai produksi
susu dalam volume yang tinggi, sehingga prioritas perbaikan genetik dalam kegiatan
seleksi sapi perah biasanya ditekankan pada produksi susu. Produksi susu sendiri

3

merupakan hasil resultan antara faktor genetik dengan lingkungan, selain karena

perbedaan genetik, variasi produksi susu antara sapi betina dipengaruhi juga oleh
kondisi lingkungan serta interaksi antara keduanya (Anggraeni, 2003).
Pada umumnya produktivitas sapi FH di Indonesia adalah rendah, dimana
produksi susu rata-rata 10 liter/ekor/hari atau kurang lebih 3.050 kg/laktasi. Produksi
susu yang rendah ini disebabkan mutu ternak rendah ataupun makanan yang
diberikan baik kualitas maupun kuantitasnya kurang baik (Sudono et al., 2003).
Widjaja (1998) menambahkan bahwa produksi susu sapi perah paling tinggi lebih
dari 16 liter/ekor/hari, tinggi 13-16 liter/ekor/hari, sedang 10-12,9 liter/ekor/hari, dan
rendah kurang dari 10 liter/ekor/hari.
Rataan puncak produksi susu untuk sapi dara 3,15-6,3 kg lebih tinggi dari
rataan produksi susu harian. Pada laktasi kedua dan selanjutnya produksi susu dapat
mencapai 6,75-13,5 lebih tinggi dari rataan produksi harian. Puncak produksi dapat
dicapai antara 5-10 minggu setelah beranak, setelah puncak produksi tercapai
umumnya terjadi penurunan rataan produksi susu dapat mencapai 10-15%. Pada
akhir laktasi penurunan dapat terjadi sekitar 12-20%. Laju penurunan dapat ditekan
dengan cara memberikan pakan dan pengelolaan yang baik (Despal et al., 2008).
Kualitas Susu
Susu segar adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang
diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun

kecuali pendinginan. Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman
dikonsumsi dan digunakan untuk proses pengolahan selanjutnya. Persyaratan
tersebut ialah kadar berat jenis minimal 1,027, kadar lemak minimal 3,0%, Solid Non
Fat (SNF) minimal 7,8%, kadar protein minimal 2,8% (Badan Standarisasi Nasional,
2011). Komposisi susu sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, untuk sapi
FH kandungan persentase air, protein, lemak, laktosa, abu, dan BK masing-masing
sebesar 88,01%; 3,15%; 3,45%; 4,65%; 0,68%; dan 11,57% (Sudono et al., 2003).
Kandungan terbesar susu adalah air dan lemak. Lemak susu mengandung
vitamin yang hanya larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K (Hasim dan
Martindah, 2012). Kadar lemak susu mulai menurun setelah satu sampai dua bulan
masa laktasi. Masa laktasi dua sampai tiga bulan kadar lemak susu mulai konstan,

4

kemudian naik sedikit (Sudono et al., 2003). Kurva tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Kurva Laktasi untuk Mengetahui Gambaran Produksi, Persentase lemak,
dan Persentase Protein Susu.
Sumber: Sudono et al. (2003).


Susu mengandung berbagai macam tipe protein, yang dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu kasein (80%) dan laktoglobulin (20%). Rasa manis susu
karena adanya laktosa berkontribusi sekitar 40% kalori dari susu penuh (whole milk).
Laktosa terdiri atas dua macam gula sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Secara
alami laktosa hanya terdapat pada susu (Hasim dan Martindah, 2012).
Bangsa sapi yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda,
misalnya sapi perah FH menghasilkan susu dengan kandungan lemak lebih rendah
apabila dibandingkan sapi Jersey (Palladino et al., 2010). Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi komposisi susu ialah keragaman akibat musim, hal ini terutama
terjadi pada daerah beriklim subtropis dimana kandungan lemak akan menurun pada
akhir musim semi dan akan meningkat menjelang musim dingin. Perbedaan tersebut
biasanya dihubungkan dengan adanya perubahan pakan ternak dari biji-bijian pada
musim dingin menjadi rumput-rumputan pada musim semi (Muchtadi, 2009).
Faktor lainnya ialah umur sapi. Umur sapi berpengaruh kecil sekali terhadap
komposisi susu. Selama jangka waktu 10 tahun, rata-rata kandungan lemak susu
menurun sekitar 0,2%. Penyakit juga dapat mempengaruhi komposisi susu. Penyakit
pada sapi dapat mengacaukan keseimbangan komponen-komponen di dalam susu,

5


hal tersebut menyebabkan terjadi kenaikan kadar lemak dan garam-garam mineral
serta penurunan kadar laktosa (Muchtadi, 2009).
Pakan berpengaruh terhadap komposisi susu. Kurangnya pemberian pakan
akan mengurangi produksi susu. Keragaman cukup besar yang terjadi dalam
kandungan protein dan karbohidrat dalam pakan tidak akan banyak mempengaruhi
komposisi susu, akan tetapi pakan yang banyak mengandung lemak atau pakan
tersebut secara sengaja dicampuri lemak atau minyak, pengaruhnya akan terlihat
jelas kadar dan komposisi lemak susu. Komposisi susu dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor dari luar, misalnya pemalsuan dengan cara menambahkan air atau
bahan lain, kegiatan mikroba, kurangnya homogenisasi dalam pengambilan sampel,
dan lain lain (Muchtadi, 2009).
Pemberian Pakan Sapi Perah
Peningkatan produksi susu dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan
berproduksi susu dari sapi-sapi perah induk dengan cara perbaikan pakan dan
tatalaksana. Kemampuan berproduksi susu sapi perah yang dipelihara para peternak
masih memberi peluang untuk ditingkatkan terutama melalui perbaikan pakan.
Penelitian yang telah dilakukan di daerah Pangalengan, Kertasari, dan Lembang
menunjukkan bahwa suplementasi pakan konsentrat sebanyak 2 kg/ekor/hari
berakibat terhadap peningkatan kemampuan berproduksi susu rata-rata harian

masing-masing adalah 1,7 liter/ekor/hari; 2,42 liter/ekor/hari, dan 2,31 liter/ekor/hari
(Siregar, 2000).
Tujuan utama pemberian pakan pada sapi perah adalah menyediakan ransum
yang ekonomis, tetapi dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok, kebuntingan, dan
produksi susu bagi induk, serta kebutuhan untuk pertumbuhan bagi ternak muda.
Produksi optimal dapat tercapai dengan cara menyediakan cukup pakan, baik kualitas
maupun kuantitasnya, serta terpenuhinya kecukupan gizi sesuai dengan kebutuhan
ternak, tidak kekurangan maupun kelebihan (Santosa et al., 2009). Kebutuhan
nutrien sapi laktasi ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2.

6

Tabel 1. Kebutuhan Bahan Kering Sapi Laktasi
Produksi Susu (Kg)

Kebutuhan Hidup Pokok (Kg)

Bobot
Badan
(Kg)
300

5

10

15

20

TDN

PK

2,25

2,70

3,15

3,60

2,54

0,294

350

2,20

2,60

3,00

3,40

2,85

0,330

400

2,10

2,50

2,90

3,30

3,15

0,365

450

2,00

2,40

2,80

3,20

3,44

0,399

500

1,90

2,30

2,70

3,10

3,72

0,432

Sumber: Sutardi (1981).

Tabel 2. Kebutuhan TDN dan PK Sapi Laktasi
Kebutuhan Produksi
(Kg 4% FCM)

Produksi (Kg 4% FCM)
5

10

15

20

25

TDN

1,63

3,26

4,89

6,52

8,15

PK

0,435

0,870

1,30

1,74

2,18

Keterangan : 4% FCM = (0,4 x produksi)+(0,15 x % lemak x produksi).
TDN
= Total Digestible Nutrient
PK
= Protein Kasar
Sumber
: Sutardi (1981).

Nutrien diperlukan untuk hidup pokok dan berbagai produksi. Faktor yang
harus diperhatikan adalah jumlah pakan yang diberikan, semakin banyak jumlah
pakan yang dikonsumsi setiap hari, akan memberikan kesempatan untuk
menghasilkan produksi tinggi. Semakin tinggi bobot hidup sapi, maka kapasitas fisik
lambung dan saluran pencernaan juga bertambah besar yang mengakibatkan
konsumsi bahan kering juga semakin meningkat. Bobot hidup itu sendiri akan
mempengaruhi kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok, kebutuhan tersebut dipenuhi
dari pemberian pakan (Parakkasi, 1995).
Pemberian pakan pada sapi yang sedang berproduksi atau sedang laktasi
harus memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, jika jumlah dan mutu
yang diberikan kurang, maka hasil produksi susu tidak akan maksimal. Pemberian
konsentrat agar lebih praktis dianjurkan 50% dari produksi susu, sedangkan hijauan
pemberiannya 10% dari bobot badan. Pemberian pakan hijauan yang berlebihan
dapat menyebabkan peningkatan serat kasar sehingga pakan sulit dicerna, sebaliknya

7

kurangnya pemberian konsentrat akan menyebabkan kekurangan konsumsi protein
yang dapat menurunkan kinerja reproduksi sapi induk (Sudono et al., 2003).
Hijauan
Pada umumnya pakan hijauan atau pakan berserat yang diberikan pada sapi
perah terdiri dari tiga kategori, yaitu : 1) rumput introduksi berkualitas menengah; 2)
rumput lapangan berkualitas rendah sampai menengah, yang diambil dari pinggiran
jalan dan lahan-lahan; dan 3) hasil ikutan pertanian yang berkualitas rendah (Santosa
et al., 2009). Bargo et al. (2003) menambahkan bahwa hijauan kaya akan serat. Serat
yang tinggi dalam pakan sapi akan meningkatkan persentase lemak lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian konsentrat. Semakin tinggi kandungan serat kasar
didalam suatu bahan pakan atau ransum maka kecernaannya semakin menurun
sehingga efisiensi penggunaan ransum akan ditentukan oleh kandungan zat makanan,
terutama kandungan serat kasar yang terdapat didalamnya (Dhalika et al., 2003).
Kandungan nutrisi rumput alam lahan darat (campuran) ialah BK 24,4%; abu 14,5%;
PK 8,2%; LK 1,4%; SK 31,7%; BETN 44,2%; TDN 56,2%; Ca 0,36%; dan P 0,23%
(Sutardi,1981).
Konsentrat Komersial
Konsentrat merupakan pakan tambahan utama pada sapi perah. Kualitas
bahan pakan konsentrat lebih baik dibandingkan dengan bahan pakan hijauan, namun
kualitasnya sangat variatif tergantung pada jenis bahan baku, musim, dan tempat asal
sumber konsentrat tersebut. Konsentrat harus memenuhi standar baku, untuk sapi
perah laktasi diperlukan kandungan air maksimal 14%, TDN minimal 70%, protein
minimal 16%, lemak maksimal 7%, abu maksimal 10%, Ca 0,8-1%, dan P 0,6-0,8%.
Kualitas konsentrat sangat tinggi yaitu lebih dari 75% TDN dengan kandungan
protein lebih dari 16%, sebaliknya kualitas rendah dengan kandungan TDN kurang
dari 55% dan kandungan protein kurang dari 13% (Santosa et al., 2009).
Pemberian konsentrat sebanyak 4 kg/ekor/hari dengan kandungan 60% dan
75% TDN menunjukkan bahwa sapi yang mengkonsumsi pakan berkualitas lebih
baik akan menerima 2,7 kg TDN, dan yang mengkonsumsi bahan berkualitas rendah
akan menerima 2,2 kg TDN. Perbedaan tersebut akan menghasilkan perbedaan
dalam produksi susu sekitar satu liter (Santosa et al., 2009). Perimbangan yang

8

mengarah kepada persentase konsentrat yang lebih besar akan berakibat tercapainya
produksi susu yang tinggi, namun kadar lemaknya akan menurun. Kandungan zat-zat
makanan dalam konsentrat lebih tinggi dibandingkan hijauan, oleh karena itu
pemberian konsentrat yang lebih tinggi pada pakan sapi perah laktasi akan
menghasilkan kemampuan berproduksi susu yang lebih tinggi (Siregar, 2000).
Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan limbah dalam bentuk padatan pasta dari bubur
kedelai yang diperas untuk diambil sarinya pada proses pembuatan tahu. Ampas tahu
yang dihasilkan bervariasi tergantung dari proses pembuatannya. Ampas tahu pada
pembuatan tahu menggunakan prinsip ekstraksi protein kedelai yang dikumpulkan
dan terbentuknya padatan protein (Herlambang, 2002).
Duljaman (1989) menyatakan ampas tahu mempunyai palatabilitas yang
tinggi. Pemberian ampas tahu segar dalam ransum sapi perah dapat meningkatkan
konsumsi pakan, namun ampas tahu mengandung protein yang sulit didegradasi
dalam rumen. Ampas tahu telah mengalami koagulasi dan denaturasi akibat
pemanasan pada proses pembuatan tahu, sehingga protein ampas tahu sulit diubah
menjadi ammonia. Hal ini menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan mikroba
rumen menjadi lebih pesat. Kandungan nutrisi ampas tahu basah ialah BK 14,6%;
abu 5,1%; PK 30,3%; LK 9,9%; SK 22,2%; BETN 32,5%; TDN 77,9% (Sutardi,
1981).

9

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Komplek Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon,
Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Pengujian kualitas susu dilakukan di
Laboratorium Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian berlangsung pada bulan Januari-Maret 2012.
Materi
Sapi yang digunakan dalam penelitian sebanyak 134 ekor sapi perah Friesian
Holstein laktasi yang berasal dari peternak di Pondok Ranggon. Peralatan yang
digunakan dalam penelitian ialah alat tulis, timbangan gantung, thermos es, lembar
wawancara, gelas ukur, tabung reaksi, thermometer wet and dry, tali raffia, corong,
pengaduk, plastik sampel susu, botol film, milkcotester, pita ukur, dan kamera.
Bahan yang digunakan ialah alkohol 70% sebanyak satu liter, formalin 37%
sebanyak 100 ml, dan sampel susu sebanyak 268 sampel masing-masing sekitar 25
ml.
Prosedur
Pengumpulan Data
Pengumpulan

data

diperoleh

dengan

cara

melakukan

pengukuran,

pengamatan, dan wawancara langsung dengan peternak. Peubah yang diukur ialah
pemberian pakan, produksi susu, pendugaan bobot badan, pengujian kualitas susu,
dan pengukuran suhu lingkungan.
Pemberian Pakan
Pemberian pakan ditimbang berdasarkan jenis pakan (hijauan, konsentrat, dan
bahan pakan lainnya). Timbangan yang digunakan dalam penelitian ialah timbangan
gantung dengan kapasitas 50 kg. Pemberian pakan diukur disetiap peternakan pada
hari yang berbeda per sampel sapi laktasi dengan satuan kg/ekor/hari.
Produksi Susu
Produksi susu diukur berdasarkan jumlah susu hasil pemerahan pagi hari dan
siang hari. Pengukuran produksi susu dilakukan dengan menggunakan timbangan

10

gantung. Pengukuran produksi susu dilakukan per ekor sapi laktasi pada peternakan
yang berbeda, dihari yang berbeda, dan dinyatakan dengan satuan kg/ekor/hari.
Pengujian Alkohol
Sampel susu pemerahan pagi diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan alkohol 70% sebanyak 5 ml, kemudian
dihomogenkan secara perlahan. Susu tersebut diamati apakah terdapat butir-butir,
apabila terdapat butiran maka sapi dinyatakan positif rusak dan dapat diduga sapi
tersebut menderita mastitis khususnya mastitis subklinis.
Pengambilan Sampel Susu
Susu hasil pemerahan masing masing diambil sampel sekitar 25 ml. Sampel
tersebut dimasukkan kedalam wadah yang telah diberi identitas, lalu diteteskan 1-2
tetes larutan Formalin 37%, kemudian dibekukan selama 2-3 hari. Sampel susu
tersebut dimasukkan kedalam termos es agar tetep beku saat menuju Laboratorium
Ternak Perah, Fakultas Peternakan IPB untuk diuji kualitas susu.
Pengujian Kualitas Susu
Sampel susu dianalisis di Laboratorium Ternak Perah, Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Sampel susu diuji dengan mengunakan alat milkcotester.
Parameter yang diuji ialah kadar lemak, protein, berat jenis, SNF, dan laktosa.
Pendugaan Bobot Badan
Pendugaan bobot badan diukur dengan mengukur lingkar dada sapi.
Pengukuran yang dilakukan ialah lingkar dada diukur dengan pita ukur, kemudian
dikonversi kedalam bobot badan. Pengukuran tersebut menggunakan rumus Schoorl
(Sudono, 2003) yaitu :
BB =

(LD+22)2
100

Keterangan : BB = Bobot badan (kg).
LD = Lingkar dada (cm).

Pengukuran Suhu Lingkungan
Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan dilakukan menggunakan
termometer wet and dry. Pengukuran dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari pada
setiap peternakan yang berbeda dan dihari yang berbeda.

11

Rancangan dan Analisis Data
Hasil penelitian berupa data pemberian pakan, kualitas susu, dan produksi
susu dianalisis menggunakan regresi eksponensial berganda. Analisis regresi
eksponensial berganda (Hasan, 2008), dengan persamaan sebagai berikut:
Yi = a.X1b1.X2b2.X3b3.X4b4.X5b5
keterangan :
Yi
a
X1
X2
X3
X4
X5
b1, b2, b3, b4, b5

= Produksi susu (Y1) ( kg/ekor/hari), lemak susu (Y2) (g/ekor/hari), laktosa
susu (Y3) (g/ekor/hari), protein susu (Y4) (g/ekor/hari), bahan kering
tanpa lemak susu (Y5) (g/ekor/hari).
= Intersep.
= Hijauan (kg/ekor/hari).
= Konsentrat (kg/ekor/hari).
= Ampas tahu (kg/ekor/hari).
= Ampas tempe (kg/ekor/hari).
= Dedak (kg/ekor/hari).
= Koefisien korelasi untuk hijauan, konsentrat, ampas tahu, ampas tempe,
dan dedak.

Perbandingan antara umur kebuntingan dengan produksi susu dianalisis dengan uji-T
menggunakan program Minitab.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Lokasi Penelitian
Kawasan peternakan sapi perah seluas 11 ha dari 30 ha yang telah disediakan
oleh pemerintah sesuai dengan SK Gubernur no 300 tahun 1986 berada di Kelurahan
Pondok Ranggon, Kecamatan Jakarta Timur. Kelurahan Pondok Ranggon termasuk
dataran rendah dengan ketinggian 15 m diatas permukaan laut. Keadaan permukaan
tanah di Pondok Ranggon bergelombang dengan curah hujan rata-rata per tahun
antara 1000-2000 mm/tahun (Anggraeni, 2010). Temperatur dan kelembaban udara
harian berkisar antara 24-35 oC dan 65-91% (Tabel 3).
Kawasan peternakan Pondok Ranggon berbatasan langsung dengan jalan
Munjul Raya Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur (sebelah utara), perikanan ikan
arwana dan perkemahan pramuka Cibubur (sebelah barat), Kabupaten Bekasi, Jawa
Barat (sebelah selatan), dan Tempat Pemakaman Umum (sebelah timur) (Lampiran
2). Peternak di Pondok Ranggon merupakan peternak yang berternak secara turuntemurun dimana sebelumnya mereka sudah melakukan kegiatan berternak secara
tradisional di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Peternak di daerah ini telah memiliki
struktur organisasi yang bernama Kelompok Tani Ternak Swadaya Pondok Ranggon
yang didirikan sejak tahun 1993.
Temperatur lingkungan berkaitan erat dengan kelembaban yang memberikan
efek yang sama terhadap produksi susu. Daerah Jakarta seperti Pondok Ranggon
dengan suhu lingkungan dan kelembaban yang tinggi akan memberikan efek stres
ganda bagi sapi perah FH. Temperatur dan kelembaban yang tinggi sangat tidak
nyaman bagi sapi perah. Kondisi nyaman tersebut apabila dipelihara pada suhu
lingkungan 15-22 oC dengan kelembaban 60-70% (Nurdin, 2011). Suhu di Pondok
Ranggon pada pagi hari sekitar 25,08 oC, disiang hari meningkat hingga 30,79 oC,
dan disore hari suhu kembali menurun sekitar 29,38 oC. Kelembaban udara
berbanding terbalik dengan suhu dimana pada pagi hari kelembaban tinggi sekitar
91%, disiang hari kelembaban menurun sekitar 74,58%, dan disore hari kelembaban
kembali meningkat sekitar 81,08%. Suhu dan kelembaban kandang di Pondok
Ranggon ditunjukkan pada Tabel 3.

13

Tabel 3. Suhu dan Kelembaban Kandang di Pondok Ranggon
No

Peternak

Suhu (oC)

Kelembaban (%)

Pagi

Siang

Sore

Pagi

Siang

Sore

1

H Mas`ud Salam

24

33

28

91

70

91

2

H. M. Amin

27

24

29

91

83

91

3

H. Abdul Somad

26

31

30

91

83

83

4

H. Hasan Basri

25

35

31

91

59

70

5

H. M. Zein

23

30

27

91

83

91

6

H. Hamdani

25

32

29

91

70

83

7

Bahroji

26

29

28

91

91

75

8

H. Masri Salam

24

26

25

91

83

91

9

Fahrurozi

24

29

29

91

83

83

10

Komarudin

25

20

30

91

83

83

11

H. Nurudin

26

32

29

91

83

83

12

H. Hasanudin

25

33

29

91

70

83

13

H. Romli

24

35

31

91

53

70

14

Ahmad Maulana

24

32

31

91

64

64

15

H. Zaenudin

27

31

28

91

76

83

16

Sriyatno

25

34

31

91

70

70

17

H. Abdurohim

24

30

30

91

69

76

18

Ma`mun Ali

24

35

31

91

65

76

19

KFA

26

31

27

91

76

91

20

H. M. Zaini

26

33

31

91

64

76

21

Rochmani

26

30

31

91

83

83

22

Royati

26

30

31

91

83

83

23

Abdan Syakur

26

33

27

91

70

91

24

Hj. Fatimah

24

31

32

91

76

76

25,08

30,79

29,38

91

74,58

81,08

Rataan

Keterangan: Pagi (05.30) WIB, siang (13.00) WIB, dan sore (17.00) WIB.

Salah satu efek dari suhu panas pada sapi perah FH adalah tekanan pada
aktivitas kelenjar tiroid yang kemudian menghasilkan laju metabolisme basal yang
tinggi. Perubahan tersebut akan menyebabkan ternak mempertahankan suhu
tubuhnya terhadap lingkungan panas dengan cara mengurangi produksi panasnya

14

melalui penguapan panas dari tubuh. Sapi akan terengah-engah, mengurangi
konsumsi pakan, dan meningkatkan konsumsi air minum. Pada temperatur dibawah
nyaman, efisiensi pakan akan menurun karena ternak lebih banyak makan untuk
mempertahankan temperatur tubuh yang normal, sebaliknya pada temperatur diatas
nyaman, ternak akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur
tubuh. Semua hal tersebut akan menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan
pakan. pada kondisi lingkungan yang panas konsumsi BK ransum akan turun sekitar
8-12% untuk mengurangi peningkatan panas dari metabolic process, hal ini
menyebabkan produksi susu berkurang 20-30% (Despal et al., 2008).
Keadaan Ternak dan Kepemilikannnya
Bangsa sapi perah yang dipelihara oleh peternak di Pondok Ranggon ialah
sapi Friesian Holstein (FH) dan persilangannya. Sapi perah FH berasal dari Belanda
dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih pada
umumnya, namun juga ada yang berwarna coklat ataupun merah dengan bercak
putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari kaki berwarna putih atau
hitam, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011).
Kepemilikan sapi laktasi di Pondok Ranggon sangat bervariasi yaitu berkisar
2 hingga lebih dari 152 ekor. Persentase kepemilikan sapi laktasi sebesar 70,37%,
dan sapi yang sedang kering sebesar 8,39%. Keadaan tersebut menunjukkan usaha
ternak sapi perah yang dikelola peternak di Pondok Ranggon dapat dikatakan sudah
optimum seperti yang dinyatakan Makin (2011) bahwa peternakan sapi perah akan
optimum apabila sapi laktasi sekitar 70%.
Kepemilikan sapi pedet jantan dan betina hanya sebesar 2,53% dan 2,37%.
Sex ratio yang efisien menurut Nurdin (2011) sebesar 1:1. Sex ratio di Pondok
Ranggon dapat dikatakan cukup efisien, namun persentase kepemilikan pedet masih
rendah. Hal tersebut kemungkinan karena terbatasnya lahan untuk membesarkan
pedet membuat peternak menjual sapi pedetnya. Pedet jantan dijual oleh peternak
dengan alasan sapi jantan tidak bernilai ekonomis untuk dipelihara, sedangkan untuk
pedet betina oleh peternak tidak dijual dan dipelihara hingga dewasa untuk
regenerasi sapi laktasi yang sudah tidak berproduksi, sehingga selalu terjaga produksi
susu yang dihasilkan. Sapi yang dipelihara oleh peternak tidak hanya sapi FH,
melainkan juga sapi Peranakan Ongole (PO) sebanyak 18 ekor dan sapi Simental

15

sebanyak 11 ekor. Peternak memelihara sapi jenis tersebut sebagai tabungan yang
sewaktu-waktu dapat dijual, terutama pada Hari Raya Idul Adha. Kepemilikan sapi
FH di Pondok Ranggon dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Kepemilikan Sapi FH di Pondok Ranggon
Jumlah Sapi (Ekor)
No
1

Nama Peternak
H Mas`ud Salam

Jumlah
(Ekor)

0

Pedet
Jantan
0

Pedet
Betina
0

1

3

2

4

3

0

3

7

1

46

Laktasi

Kering

Pejantan

Dara

2

1

5

45

6

32

8

3

H. Muhamad
Amin
H. Abdul Somad

4

H. Hasan Basri

90

11

20

40

7

8

176

5

H. M. Zein

5

1

0

3

1

1

11

6

H. Hamdani

29

4

4

7

2

5

51

7

Bahroji

20

3

1

4

6

5

39

8

H. Masri Salam

5

0

0

0

0

0

5

9

Fahrurozi

20

1

2

0

0

0

23

10

Komarudin

13

0

0

4

2

1

20

11

H. Nurudin

152

10

21

8

6

7

204

12

H. Hasanudin

21

3

0

3

4

6

37

13

H. Romli

14

4

1

8

6

3

36

14

Ahmad Maulana

10

0

3

2

3

1

19

15

H. Zaenudin

26

2

0

2

5

3

38

16

Sriyatno

12

6

1

2

2

5

28

17

H. Abdurohim

8

2

0

2

4

1

17

18

Ma`mun Ali

15

1

1

2

3

3

25

19

KFA

31

3

5

9

5

9

62

20

H. M. Zaini

14

1

2

4

1

4

26

21

Rochmani

26

2

9

5

13

3

58

22

Royati

2

2

1

0

1

0

6

23

Abdan Syakur

31

1

3

6

8

10

59

24

Hj. Fatimah

23

10

6

11

5

7

62

Jumlah

646

77

86

128

93

87

1.117

Jumlah (ST)

646

77

86

64

23,25

21,75

918

70,37

8,39

9,37

6,97

2,53

2,37

100

2

Persentase (%)

61

16

Jumlah kepemilikan sapi dara sebagai pengganti (replacement stock) sebesar
6,97% dan kepemilikan sapi dara hanya berkisar 8,85% dari jumlah sapi dewasa.
Jumlah tersebut lebih kecil apabila dibandingkan menurut Nurdin (2011) yang
menyatakan bahwa pada suatu peternakan sapi perah sering terjadi adanya
pengeluaran (culling) sapi perah induk setiap tahunnya mencapai 25%, oleh karena
itu jumlah sapi dara yang akan dijadikan sebagai induk pengganti (replacement
stock) seharusnya lebih dari persentase sapi yang diculling. Keadaan tersebut diduga
disebabkan karena adanya kecenderungan peternak di Pondok Ranggon untuk
membeli sapi yang sudah berproduksi dan diperoleh dari daerah Boyolali dengan
sistem tukar tambah maupun membeli secara kontan.
Kepemilikan pejantan FH di Pondok Ranggon sebesar 9,37% yang terdiri atas
86 ekor pejantan. Pejantan tersebut dapat mengawini betina dengan populasi
sebanyak 787 ekor yang diperoleh dari penjumlahan sapi laktasi, sapi kering, dan
sapi dara (Tabel 3). Hal tersebut didapatkan rataan bahwa seekor pejantan dapat
mengawini sapi betina sembilan sampai sepuluh ekor.

Nugroho (2008)

menambahkan bahwa seekor pejantan dapat mengawini secara alami sebanyak 50-60
ekor betina dalam setahun dan sampai berumur 12 tahun.
Tingkat Pendidikan dan Tenaga Kerja
Secara umum tingkat pendidikan peternak di Pondok Ranggon sangat
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan peternak dalam mengelola
usaha ternaknya. Tingkat pendidikan para peternak di kawasan peternakan Pondok
Ranggon dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pendidikan Peternak di Pondok Ranggon
No Pendidikan

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1

SD/ Sederajat

6

25,00

2

SMP/Sederajat

1

4,17

3

SMA/ Sederajat

12

50,00

4

Akademi D1-D3

1

4,17

5

Strata 1 (S1)

4

16,66

24

100,00

Jumlah

17

Tingkat pendidikan peternak sapi perah di Pondok Ranggon lebih dari 70%
peternak berpendidikan minimal Sekolah Menegah Atas (SMA). Peternak yang
tingkat pendidikannya lebih tinggi akan cenderung meningkatkan usaha ternaknya
sehingga taraf kehidupannya menjadi lebih baik dibandingkan dengan peternak yang
berpendidikan lebih rendah.
Keberadaan peternakan sapi perah di Pondok Ranggon berdampak pada
penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh peternak di kawasan
Pondok Ranggon dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Tenaga Kerja di Pondok Ranggon
No

Tenaga Kerja (Orang)

Peternak

Persentase (%)

1

1–5

18

75,00

2

6 -10

5

20,83

3

11 – 15

0

0

4

16 – 20

1

4,17

24

100,00

Jumlah

Peternakan sapi perah menggunakan tenaga kerja sepanjang tahun karena
usaha tersebut menuntut ketekunan dari para pekerja dan pekerjaannya harus
dilakukan secara rutin setiap hari. Tenaga kerja di Pondok Ranggon meliputi pemilik
ternak itu sendiri, anggota keluarga, pekerja kandang, pencari rumput, pengolah susu,
dan tenaga pengirim susu. Sebanyak 75% peternak memiliki tenaga kerja 1-5 orang,
sisanya 20,83% peternak yang memiliki tenaga kerja 6-10 orang, dan 4,17% peternak
yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 16-20 orang.
Jumlah ternak di Pondok Ranggon sebanyak 918 ST (Tabel 4) dengan jumlah
pekerja sekitar 93 orang dari 24 peternak, maka seorang tenaga kerja dapat
menangani sekitar 7-8 ekor per hari. Menurut Makin (2011) untuk efisiensi
penggunaan tenaga kerja sebaiknya 5-7 ekor sapi dewasa cukup ditangani oleh
seorang tenaga kerja, semakin banyak sapi yang dipelihara dalam suatu peternakan
makin efisien tenaga yang dibutuhkan.
Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah
Kunci keberhasilan dalam pemeliharaan sapi perah terletak pada pengetahuan
dan pengertian terhadap ternak yang dipelihara. Tata laksana pemeliharaan sapi

18

perah di Pondok Ranggon merupakan segala aspek pemeliharaan yang dilakukan
sehari-hari seperti membersihkan ternak dan kandang, pemberian pakan dan air
minum, cara perkawinan yang teratur, dan pencegahan serta pengobatan terhadap
penyakit.
Pembersihan Ternak dan Kandang
Peternak di Pondok Ranggon membersihkan lantai kandang dua kali sehari,
namun untuk membersihkan langit-langit kandang sangat jarang dilakukan, terlihat
dari banyaknya debu yang terdapat dilangit-langit. Sapi dimandikan dua kali sehari,
badan sapi dibersihkan dan disikat agar sapi terlihat lebih bersih. Tujuan dari
membersihkan badan sapi agar susu yang dihasilkan bersih dari kotoran maupun
rambut yang rontok.
Perkawinan Ternak
Periode birahi sapi perah rata-rata 21 hari, tetapi terdapat sapi yang memiliki
periode birahi 17-26 hari. Lama masa birahi berlangsung 6-36 jam, dengan rata-rata
18 jam (Sudono et al., 2003). Pengetahuan peternak mengenai birahi cukup baik,
apabila terlihat tanda-tanda birahi seperti keluar cairan lendir dari vagina, vulva
menjadi merah, bengkak, dan hangat, serta sapi terlihat gelisah maka peternak segera
mengawinkan sapinya.
Cara perkawinan yang dilakukan peternak di Pondok Ranggon ialah kawin IB
dan kawin alami. Bibit IB yang digunakan oleh peternak di Pondok Ranggon berasal
dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Balai Besar Pembibitan Ternak
Unggul Sapi Perah (BBPTU) Baturraden, dan Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB)
Singosari. Peternak mengawinkan sapinya secara alami dengan alasan biaya IB yang
cukup mahal yaitu sekitar Rp 50.000,00/IB, apabila mengawinkan sapi secara alami
petenak cukup mengeluarkan pejantan FH yang dimiliki dari kandang, ataupun
meminjam pejantan FH dari peternak lain. Kegagalan inseminasi umumnya karena
kelalaian peternak dalam mendeteksi birahi, inseminator sedang libur atau tidak
bertugas. Peternak mengawinkan sapi secara alami dapat terjadi karena petugas
inseminator sedang tidak ditempat.

19

Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Penyakit yang sering dijumpai dan merupakan masalah utama tata laksana
pemeliharaan sapi perah karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah
besar ialah penyakit mastitis. Sebagian besar penyakit mastitis disebabkan oleh
masuknya bakteri patogen melalui lubang puting dalam ambing dan menimbulkan
peradangan (Nurdin, 2011). Muchtadi (2009) menambahkan bahwa faktor penyakit
dapat mempengaruhi komposisi susu. Penyakit pada sapi dapat mengacaukan
keseimbangan komponen-komponen didalam susu, terjadi kenaikan kadar lemak dan
garam-garam mineral, serta penurunan kadar laktosa.
Pengetahuan peternak tentang penyakit sudah cukup baik, apabila terlihat
tanda-tanda sapi sakit seperti kurang nafsu makan, produksi menurun, suhu badan
sapi meningkat, sapi terlihat lemah dan lesu maka peternak berusaha mengobati
penyakitnya dengan cara tradisional. Peternak memanggil dokter hewan untuk
mengobati sapi apabila penyakit yang terjadi cukup parah. Beberapa peternak
menyediakan obat-obatan bagi sapinya. Biaya pengobatan cukup mahal maka
sebagian dari peternak belajar untuk menyuntik sendiri hewan yang sakit, dengan
dosis sesuai yang dianjurkan.
Pencegahan penyakit yang dilakukan oleh peternak hanya dengan menjaga
kebersihan kandang setiap harinya. Program vaksinasi penyakit seperti anthrax,
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Tuberkulosis (TBC), dan lain-lain dilakukan oleh
Dinas Peternakan DKI Jakarta. Dinas Peternakan sering mengontrol keadaan sapi
secara rutin yaitu 2-5 kali dalam setahun.
Pemberian Pakan
Keberhasilan usaha sapi perah tidak hanya ditentukan oleh pemasaran, tetapi
faktor lainnya misalnya ketersediaan pakan yang memadai untuk menghasilkan
produksi optimal. Tujuan utama pemberian pakan pada sapi perah adalah
menyediakan ransum yang ekonomis, tetapi dapat memenuhi kebutuhan hidup
pokok, kebuntingan, dan produksi susu bagi induk, serta kebutuhan untuk
pertumbuhan bagi ternak muda (Santosa et al., 2009). Hasil analisa sampel pakan di
Pondok Ranggon dapat dilihat pada Tabel 7.

20

Tabel 7. Analisa Proksimat Sampel Pakan yang digunakan Peternak di Pondok
Ranggon
Kandungan Pakan (%)
Bahan Pakan
BK
Abu
Protein Lemak
Serat Beta-N TDN
Rumput Lahan
Darat1

24,4

14,5

8,20

1,44

31,7

44,2

56,2

Konsentrat
Komersial2

79,74

19,93

12,96

5,50

31,74

29,87

41,93

11,03

7,07

18,40

4,08

47,78

22,67

56,22

Ampas Tempe

22,24

5,08

21,72

7,01

27,02

39,16

67,15

Dedak Padi1

89,2

16,9

8,36

3,97

28,9

41,9

50

Ampas Tahu2
2

Sumber: 1 = Sutardi (1981).
2
= hasil analisis di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB.

Pakan hijauan yang umumnya diberikan peternak ialah rumput lapang.
Rumput lapang diperoleh dari daerah Cibubur, Cipayung, Ciracas, Munjul,
Kranggan, Cikeas, dan daerah sekitar kawasan peternakan Pondok Ranggon.
Beberapa peternak memiliki lahan kebun rumput gajah yang mereka tanam sendiri.
Rumput gajah digunakan hanya pada saat-saat tertentu saja, seperti pada hari raya
Idul Fitri karena banyak pekerja kandang yang pulang kampung. Pakan konsentrat
berasal dari KOPERDA dan ada juga peternak yang meramu sendiri pakan
konsentratnya. Pakan ampas tahu dan ampas tempe berasal dari daerah Setu,
Kranggan, Ciracas, Pasar Rebo, Kalisari, dan Bekasi.
Keterbatasan hijauan membuat peternak memberikan pakan sapi dengan hasil
sampingan industri pangan, seperti ampas tahu, dedak padi, dan ampas tempe. Pakan
ampas tahu dan ampas tempe berasal dari daerah Setu, Kranggan, Ciracas, Pasar
Rebo, Kalisari, Bekasi, dan daerah lainnya di sekitar kawasan tersebut. Sebagian
besar peternak lebih banyak memberikan ampas tahu dengan rataan 28,94±7,62
kg/ekor/hari dibandingkan dengan pemberian hijauan dengan rataan

20,85±4,27

kg/ekor/hari. Konsentrat diberikan sangat sedikit dengan rataan 0,67±0,73
kg/ekor/hari. Ampas tempe dan dedak hanya diberikan sebesar 2,26±4,51
kg/ekor/hari dan 0,01±0,09 kg/ekor/hari. Pemberian pakan di Pondok Ranggon dapat
dilihat pada Tabel 8.

21

Tabel 8. Pemberian Pakan dan Kebutuhan Sapi Laktasi di Pondok Ranggon
Pemberian
Bahan Pakan

Segar

BK

PK

TDN

................................(Kg/ekor/hari)................................
Rumput Lahan Darat

20,85±4,27

5,09

0,42

2,86

Konsentrat Komersial

0,67±0,73

0,53

0,07

0,22

Ampas Tahu

28,94±7,62

3,19

0,59

1,79

Ampas Tempe

2,26±4,51

0,50

0,11

0,34

Dedak

0,01±0,09

0,009

0,0008

0,0045

Jumlah Pemberian

-

9,32

1,19

5,21

Kebutuhan Hidup Pokok

-

9,22

0,36

3,08

Kebutuhan Produksi
(4% FCM)
Jumlah Kebutuhan

-

-

0,86

3,22

-

9,22

1,22

6,30

Keterangan :BK
= Bahan kering.
PK
= Protein kasar.
TDN
= Total Digestible Nutrient.
4% FCM = (0,4 x produksi)+(0,15 x % lemak x produksi).

Pemberian PK dan TDN pakan oleh peternak sebesar 1,19 dan 5,21
kg/ekor/hari. Pemberian tersebut hanya melebihi dari kebutuhan hidup pokok dengan
nilai PK dan TDN yang dihitung menurut Sutardi (1981) yaitu sebesar 0,36 dan 3,08
kg/ekor/hari, namun untuk kebutuhan hidup pokok dan berproduksi secara maksimal
belum dapat terpenuhi karena pemberian PK dan TDN pakan di Pondok Ranggon
hanya sebesar 1,19 dan 5,21 kg/ekor/hari sedangkan kebutuhan yang diperlukan
sebesar 1,22 dan 6,3 kg/ekor/hari.
Pemberian BK pakan di Pondok Ranggon sebesar 9,32 kg/ekor/hari.
Kebutuhan BK dapat dihitung berdasarkan rataan produksi susu 9,28 kg/ekor/hari
dan bobot badan 387,90 kg menurut Sutardi (1981) yaitu sebesar 9,22 kg/ekor/hari
(Lampiran 8). Despal et al. (2008) peningkatan ransum akan meminimalisasi
penurunan produksi susu akibat temperatur yang panas dengan upaya menurunkan
rasio hijauan : konsentrat. Rasio pemberian hijauan dan konsentrat dalam bahan
kering di Pondok Ranggon adalah 53,73:46,27. Pada musim kemarau peternak
kesulitan mendapatkan hijauan sehingga sebagai gantinya peternak memberikan
konsentrat dalam jumlah lebih banyak.

22

Konsumsi BK sapi FH di Pondok Ranggon sebesar 2,40% yang didapatkan
dari pembagian antara pemberian BK pakan dengan rataan bobot badan sapi.
Konsumsi BK pakan tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan pendapat Despal
et al. (2008) menyatakan bahwa sapi yang berproduksi tinggi dapat mengkonsumsi
BK pakan 3,6-4% bobot hidupnya. Kebutuhan ternak untuk hidup pokok telah
terpenuhi dan sisanya digunakan untuk produksi susu, namun selisih antara
pemberian BK pakan dengan kebutuhan BK pakan sangat sedikit. Keadaan tersebut
perlu dilakukan perbaikan tata laksana pemberian pakan agar dapat meningkatkan
produksi susu.
Perbaikan tata laksana yang paling memungkinkan adalah tata laksana
pemberian pakan berupa frekuensi pemberiannya. Peternak sapi perah di Indonesia
memberikan pakan kepada sapi perah umumnya hanya dua kali dalam sehari.
Peternak di Pondok Ranggon memberikan pakan ternaknya dua kali sehari, namun
ada satu peternak yang memberikan pakan ampas tahu dan konsentrat sebanyak tiga
kali sehari. Peternak yang memberikan pakan tiga kali tersebut memberikan pakan
ampas tahu dan konsentrat pagi, siang, dan sore hari, sedangkan untuk pemberian
pakan hijauan hanya pagi dan sore hari. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa
peternak yang memberikan pakan sebanyak tiga kali sehari mampu berproduksi lebih
banyak dengan rataan produksi sebesar 10,82±3,15 kg/ekor/hari dibandingkan
dengan peternak yang memberikan pakan dua kali sehari dengan rataan produksinya
sebesar 9,21±3,22 kg/ekor/hari. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian di daerah
Sumedang oleh Siregar (2001), yang menunjukkan peningkatan produksi dari 12,7
l/ekor/hari menjadi 15,7 l/ekor/hari dengan frekuensi pemberian pakan tiga kali
dalam sehari yang berdampak besar terhadap peningkatan kemampuan berproduksi
susu sapi perah.
Menurut Sudono et al. (2003) sapi perah setiap harinya membutuhkan air
minum sebanyak empat liter untuk setiap satu liter susu yang dihasilkan. Jumlah
tersebut tergantung pada produksi susu yang dihasilkan, suhu lingkungan, dan jenis
pakan yang diberikan. Pemberian air minum di Pondok Ranggon pada umumnya
dicampurkan langsung saat pemberian pakan ampas tahu, ampas tempe, dan
konsentrat. Peternak tidak memberi air minum secara ad libitum, namun ada
beberapa peternak yang memberikan air minum secara ad libitum. Pemberian air

23

minum dengan cara dicampur dengan konsentrat dan pakan lainnya memiliki
kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya ialah dapat mengurangi pakan yang
tercecer, sehingga pakan tersebut dapat sepenuhnya dikonsumsi ternak. Kelemahan
dari pemberian minum tersebut ialah dapat menurunkan kecernaan bahan kering
konsentrat dan pakan lainnya didalam rumen, selain itu akan mengurangi produksi
air liur akibatnya pH rumen menurun dan dapat merugikan kehidupan bakteri
selulotik yang mencerna serat kasar terutama selulosa menjadi asam asetat
(Sutardi,1980).
Produksi Susu
Produksi susu di kawasan Pondok Ranggon masih sedikit dengan rata-rata
produksi sekitar 9,28±3,22 kg/ekor/hari, namun produksi tersebut lebih tinggi dan
terjadi peningkatan dari hasil penelitian Putra (2004) dimana produksi susu di
Pondok Ranggon sebesar 8,43±2,99 kg/ekor/hari. Peningkatan tersebut diduga
karena adanya perbaikan dari manajemen pemeliharaan sebelumnya. Produksi susu
yang lebih tinggi terletak di daerah Cikole menurut Anggraeni et al. (2008) sebesar
17,3 kg/ekor/hari dan produksi susu di Baturraden menurut Atabany et al. (2011)
sebesar 16,03 kg/ekor/hari.
Produksi susu terbanyak di Pondok Ranggon sebesar 12,04 kg/ekor/hari, dan
tersedikit sebesar 5,45 kg/ekor/hari. Produksi susu yang dihasilkan berbeda-beda
tergantung dari manajemen pemeliharaan ternak tersebut. Peternakan sapi perah di
Pondok Ranggon perlu mendapat perhatian dan dapat menjadi potensi untuk
dikembangkan menjadi lebih baik agar dapat meningkatkan produksi susu sehingga
mendatangkan keuntungan bagi peternak. Faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi susu sapi perah diantaranya umur kebuntingan, masa laktasi, besar sapi,
umur sapi, dan pemberian pakan (Sudono et al., 2003). Produksi Susu di Pondok
Ranggon ditunjukkan pada Tabel 9.

24

Tabel 9. Produksi Susu Setiap Peternak di Pondok Ranggon
No

Nama Peternak

Sampel Sapi (ekor) Total Produksi

Rataan Produksi

1

H Mas`ud Salam

2

13,24

6,62

2

H. Muhamad Amin

6

66,48

11,08

3

H. Abdul Somad

6

39,54

6,59

4

H. Hasan Basri

11

95,48

8,68

5

H. M. Zein

3

34,35

11,45

6

H. Hamdani

5

32,95

6,59

7

Bahroji

6

49,56

8,26

8

H. Masri Salam

5

32.2

6,44

9

Fahrurozi

6

46,5

7,75

10

Komarudin

4

40,72

10,18

11

H. Nurudin

14

112,56

8,04

12

H. Hasanudin

6

72,42

12,07

13

H. Romli

4

45

11,25

14

Ahmad Maulana

4

42,88

10,72

15

H. Zaenudin

6

61,5

10,25

16

Sriyatno

5

62,05

12,41

17

H. Abdurohim

4

27,36

6,84

18

Ma`mun Ali

6

50,82

8,47

19

KFA

6

75,66

12,61

20

H. M. Zaini

5

54,45

10,89

21

Rochmani

6

72,24

12,04

22

Royati

2

14,26

7,13

23

Abdan Syakur

6

64,92

10,82

24

Hj. Fatimah

6

32,7

5,45

134

1239,84

222,63

Jumlah
Umur Kebuntingan

Sapi yang telah dikawinkan dan mengalami kebuntingan dapat menyebabkan
penurunan produksi susu dibandingkan sapi yang tidak bunting. Produksi susu yang
dihasilkan dari sapi yang tidak bunting sebesar 9,93 kg/ekor/hari, sedangkan rataan
produksi sapi yang bunting sebesar 7,08 kg/ekor/hari. Data penelitian menunjukkan

25

dari 134 ekor sapi yang digunakan, terdapat 30 ekor sapi yang sedang bunting.
Sebanyak lima ekor sapi bunting dua bulan dengan rataan produksi sebesar 7,37
kg/ekor/hari, delapan ekor bunting tiga bulan sebesar 6,79 kg/ekor/hari, 11 ekor sapi
bunting empat bulan sebesar 6,95 kg/ekor/hari, tiga ekor sapi bunting lima bulan
sebesar 7,34 kg/ekor/hari, dan tiga ekor sapi bunting enam bulan dengan rataan
produksi sebesar 6,97 kg/ekor/hari. Perubahan produksi selama kebuntingan dapat
dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Rataan Produksi Susu Sapi Perah berdasarkan Kebuntingan di Pondok
Ranggon.
Data kebuntingan diuji dengan uji-T menunjukkan bahwa sapi yang tidak
bunting memiliki produksi yang berbeda lebih tinggi dengan kebuntingan dua dan
tiga bulan (P0,01