Analisis Bahaya Longsor Prediksi Bahaya Longsor Dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor Di Wilayah Das Kali Bekasi Bagian Hulu

fieldwork serta untuk memprediksi tingkat bahaya longsor. Pengambilan titik- titik sampel dilakukan secara sistematis berdasarkan satuan lahan, bersifat acak namun merata sehingga setiap satuan lahan terwakili.

c. Pembuatan Peta Bahaya Longsor

Kriteria faktor-faktor penentu bahaya longsor pada penelitian ini mengacu pada kriteria Silviani 2013 yang dimodifikasi dengan menambahkan parameter gangguan pemotongan lereng. Selain itu mengganti parameter kedalaman tanah dengan kedalaman pelapukan batuan. Parameter pembentuk longsor ini selanjutnya dianalisis dengan metode AHP Expert Choice 2000 sehingga menghasilkan nilai bobot dan skor dari masing-masing parameter. Tabel skor parameter bahaya longsor hasil AHP dapat dilihat pada Tabel 3. Untuk menentukan kelas bahaya longsor, nilai skor dan bobot dari masing-masing parameter dikalikan. Kemudian nilai tersebut dipakai dalam menentukan interval bahaya longsor pada jumlah kelas yang telah ditentukan 3 kelas. Metode penentuan tingkat bahaya menggunakan persamaan Dibyosaputro 1999 dalam Ikqra 2012, yaitu: Dari hasil perhitungan di atas maka didapatkan total nilai tertinggi bahaya longsor, yaitu 43,93 dan terendah adalah 9,82, sedangkan nilai interval bahaya longsor sebesar 11,37 Tabel 2. Tabel 2 Skor interval bahaya longsor Skor Interval Tingkat Bahaya Kelas 9,82 – 21,19 Rendah 1 21,20 – 32,57 Sedang 2 32,58 – 43,93 Tinggi 3

d. Analisis Bahaya Longsor

Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya longsor. Semua parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai kontribusinya masing-masing dan kemudian dinilai berdasarkan perkalian antara bobot dengan skor. Semua parameter tersebut kemudian ditumpangsusunkan overlay. Proses ini dikerjakan dengan memakai software ArcGIS. Pada proses tumpang tindih ini, skor masing-masing parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir analisis diperoleh peta bahaya tanah longsor. Berikut rumus perhitungan skor total: LH = 0.272KL+0.089KPB+0.064G+0.172CH+0.145LU+0.258GL Keterangan: KL = Kemiringan Lereng , KPB = Kedalaman Pelapukan Batuan m, G = Jenis Batuan, CH = Curah Hujan mmtahun, LU = Tutupan Lahan, GL = Gangguan pemotongan lereng m Tahap Kerja Lapangan Peta acuan untuk pekerjaan di lapangan adalah menggunakan peta satuan lahan land unit. Dari peta ini direncanakan ada sebanyak 135 titik yang akan dikunjungi dan sudah mewakili semua satuan lahan yang ada. Untuk menentukan posisi geografis lokasi pengamatan digunakan alat GPS Global Positioning System. Pekerjaan lapangan juga digunakan untuk mengumpulkan data primer berupa wawancara dengan penduduk, tipe longsoran, pengecekan jenis batuan, kedalaman pelapukan batuan, gangguan pemotongan lereng, penutupan lahan, serta pengambilan dokumentasi berupa foto. Hasil dari pekerjaan di lapangan dan informasi yang didapat akan dijadikan bahan untuk analisis bahaya longsor berdasarkan kejadian longsor yang ada di lapangan. Tahap Analisis Data Akhir Analisis berikutnya adalah mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya longsor di daerah penelitian. Analisis ini dilakukan berdasarkan data yang didapat di lapangan dengan menggunakan analisis statistik regresi logistik ordinal pada SPSS. Pada tahap ini selanjutnya juga akan dilakukan analisis sebaran bahaya longsor berdasarkan bobot nilai statistik regresi berganda dari data kejadian longsor di lapangan. Setelahnya dibandingkan dengan pemetaaan bahaya longsor versi AHP untuk melihat hasil yang persamaan atau perbedaan di antara dua buah pendekatan tersebut. Arahan-arahan mitigasi yang terbaik untuk wilayah penelitian juga dibuat pada tahap ini. Tabel 3 Bobot dan skor dalam perhitungan bahaya longsor Parameter Bobot Skor Nilai Kemiringan Lereng 0,272 45 Sangat Curam 46 12,51 30-45 Curam 29,7 8,08 15-30 Agak Curam 12,8 3,48 8-15 Landai 7,2 1,96 8 Datar 4,3 1,17 Kedalaman Pelapukan Batuan 0,089 120cm 43 3,83 90 – 120 cm 25,2 2,24 60 – 90 cm 15,2 1,35 30 – 60 cm 10 0,89 30 cm 6,6 0,59 Jenis Batuan 0,064 Batu LiatClaystone 24,7 1,58 Batu Napal 19,1 1,22 Batu PasirSand 17,1 1,09 Batuan piroklastik 12 0,77 Parameter Bobot Skor Nilai Batu Konglomerat 10,7 0,68 Batu KapurLimestone 9 0,58 Batuan Lava dan Breksi Vulkanik 7,4 0,47 Curah Hujan 0,172 = 2300 mmtahun 46,8 8,05 2201 – 2300 mmtahun 25,2 4,33 2101 – 2200 mmtahun 14,9 2,56 2001 – 2100 mmtahun 8,2 1,41 1900 – 2000 mmtahun 4,8 0,83 Tutupan Lahan 0,145 Permukiman 31,3 4,53 Tegalan, sawah 25,6 3,71 Semak belukar 22,7 3,29 Perairan 13,4 1,94 Hutan, Perkebunan 7 1,01 Gangguan pemotongan lereng 0,258 Berat 54,9 14,16 Sedang 26,1 6,73 Ringan 19 4,90 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administratif Secara geografis DAS Kali Bekasi bagian hulu berada di antara 106°49’0” BT sampai 107°07’00” BT dan 06°26’00” LS sampai 06°41’00” LS dan terletak pada kisaran ketinggian 50 sampai 1.662 mdpl. Luas DAS Kali Bekasi bagian hulu adalah 26.912,17 ha dengan batas-batas : di sebelah utara adalah DAS Kali Bekasi bagian tengah, di sebelah timur adalah DAS Citarum, dan di sebelah selatan dan barat adalah DAS Ciliwung. Wilayah yang termasuk ke dalam DAS Kali Bekasi bagian hulu secara administratif terdiri dari enam kecamatan yaitu Babakan Madang, Citeureup, Jonggol, Kelapa Nunggal, Sukamakmur, dan Sukaraja Tabel 4 dan Gambar 2. Tabel 4 Luas kecamatan di wilayah penelitian Kecamatan Luas ha Babakan madang 6.886,61 Citeureup 4.170,24 Jonggol 4.515,11 Klapanunggal 6.335,68 Kecamatan Luas ha Sukamakmur 3.711,38 Sukaraja 934,97 Gambar 2 Lokasi administratif wilayah penelitian Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian Kemiringan Lereng Peta kemiringan lereng dibuat dari peta kontur dengan interval 12,5 meter yang diperoleh dari data SRTM 30 meter. Kelas kemiringan lereng dibagi menjadi 5 kelas, yaitu lebih kecil dari 8 datar, 8 - 15 landai, 15 - 30 agak curam, 30 - 45 curam, dan lebih besar dari 45 sangat curam. Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 3, dan sebaran luas kemiringan lereng pada wilayah penelitian ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran luas kemiringan lereng di wilayah penelitian Kemiringan Lereng Luas Ha 8 Datar 12.192,03 45,30 8-15 Landai 2.212,88 8,22 15-30 Agak Curam 6.576,32 24,44 30-45 Curam 1.597,69 5,94 45 Sangat Curam 4.333,26 16,10 Total 26.912,17 100,00 Berdasarkan pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kemiringan lereng 8 memiliki luasan yang tertinggi yaitu sebesar 45,30 dari luas total wilayah penelitian, sedangkan kemiringan lereng 30-45 memiliki luasan yang terendah yaitu 5,94 dari luas total wilayah penelitian. Gambar 3 Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian Curah Hujan Data curah hujan yang dibuat diperoleh dari data curah hujan tahunan BPDAS Citarum-Ciliwung. Secara umum, keadaan iklim di wilayah penelitian relatif sama dengan keadaan iklim Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di DAS Kali Bekasi bagian hulu termasuk iklim tipe A sangat basah di bagian Selatan dan tipe B basah di bagian Utara. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.800 - 2.400 mm, dimana curah hujan tinggi terjadi pada wilayah yang memiliki bentuklahan pegunungan, yaitu di Kecamatan Citeureup, Babakan Madang, dan Sukamakmur. Peta sebaran curah hujan wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Peta sebaran curah hujan di wilayah penelitian Geologi Informasi geologi wilayah penelitian diambil dari Peta Geologi Lembar Bogor skala 1:100.000 yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Secara umum jenis batuan di DAS Kali Bekasi bagian hulu dibagi menjadi 6 enam kategori, yaitu Claystone, Konglomerat, Lava dan Breksi Vulkanik, Limestone, Piroklastik, dan Sandstone Gambar 5 dan Tabel 6. Tabel 6 Sebaran luas geologi di wilayah penelitian Geologi Luas Ha Claystone 10.950,39 40,69 Konglomerat 394,09 1,46 Lava dan Breksi Vulkanik 5.378,82 19,99 Limestone 9.938,96 36,93 Piroklastik 85,34 0,32 Sandstone 164,61 0,61 Total 26.912,17 100.00 Gambar 5 Peta sebaran geologi di wilayah penelitian Berdasarkan pengklasifikasian batuan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, terdapat 4 jenis batuan utama yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen, batuan endapan, dan terobosan. Batuan vulkanik terdiri atas satuan batuan Qvk; batuan sedimen terdiri atas satuan batuan Mdm, Mk, Tmj, Tmk, Tmp, dan Tms; satuan batuan endapan terdiri dari Qa, Qav, dan Qoa; dan satuan batuan terobosan terdiri dari satuan batuan a. Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa luas satuan batuan yang paling dominan adalah batuan batu liat claystone dan batuan batu kapur limestone yaitu sebesar 10.950,39 hektar atau 40,69 dari luas total wilayah penelitian, sedangkan batuan yang paling sedikit adalah batuan Piroklastik dan Sandstone yaitu hanya 85,34 ha dan 165,61 ha atau 0,32 dan 0,61 dari luas total wilayah penelitian. Bentuklahan Dari hasil interpretasi dan pekerjaan lapang, bentuklahan daerah penelitian dapat dipilih menjadi 6 jenis asal proses geomorfik, yaitu denudasional, fluvial, karst, plutonik, vulkanik, dan vulkanik denudasional Tabel 7 dan Gambar 6 Tabel 7 Sebaran luas bentuklahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu Bentuklahan Luas ha Denudasional 11.102,29 41,81 Fluvial 1.163,09 4,38 Bentuklahan Luas ha Karst 5.854,05 22,05 Plutonik 152,05 0,57 Vulkanik 339,95 1,28 Vulkanik denudasional 7.942,53 29,91 Total 26.912,17 100,00 Proses pembentukan lahan yang terjadi di daerah penelitian dapat dijelaskan melalui proses awal dan proses lanjutan. Proses awal terjadi secara endogenetic diastrophysme dan volcanisme dan proses lanjutan terjadi secara exogenetic degradation dan aggradation. Proses endogenetik yang terdapat di daerah penelitian adalah berupa proses tektonik lipatan dan gejala vulkanisme. Berdasarkan data pengamatan lapang, bentuklahan yang dihasilkan oleh proses exogenetic adalah jalur sungai, tebing sungai, lembah, dan teras-teras sungai. Tenaga yang berperan pada proses tersebut adalah air yang mengalir melalui proses erosi dan deposisi. Proses aggradasi terjadi pada daerah-daerah lembah yang dijumpai di daerah lipatan yakni berupa dataran deposisional alluvial. Gambar 6 Peta bentuklahan di wilayah penelitian Gambar 7 Landform pegunungan di daerah penelitian Gambar 8 Landform perbukitan di daerah penelitian Penutupan Lahan Berdasarkan hasil analisis citra satelit Google Earth tahun 2011 dan peta RBI dari BIG Badan Informasi Geospasial di wilayah penelitian, diperoleh 6 kelas penutupan lahan, yaitu hutan dan perkebunan, permukiman, pertambangan, tegalan dan sawah, semak, dan perairan. Peta penutupan lahan di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu disajikan pada Gambar 9. Berdasarkan data penutupan lahan yang didapatkan, terlihat bahwa penutupan lahan terluas adalah tegalan dan sawah yaitu sebesar 47,36, kemudian diikuti hutan dan perkebundan sebesar 27,92, dan permukiman sebesar 11,12 dari luas total daerah penelitian. Sebaran luas penutupan lahan do wilayah penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran luas penutupan lahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu Land Cover Luas Ha Hutan dan Perkebunan 7.514,86 27,92 Permukiman 2.991,98 11,12 Pertambangan 977,69 3,63 Tegalan dan Sawah 12.745,40 47,36 Semak 2.682,60 9,97 Perairan 4,91 0,02 Grand Total 26.912,17 100,00 Gambar 9 Peta sebaran penutupan lahan di wilayah penetlitian Gangguan Lereng Parameter gangguan pemotongan lereng pada penelitian ini dilihat dari seberapa besar tingkat pemotongan lereng yang terjadi pada wilayah penelitian ini. Peta gangguan lereng ini didapatkan dengan membuat rata-rata pemotongan lereng di tiap satuan lahan land unit kemudian dikalikan dengan jumlah kejadian gangguan lereng yang terjadi di lapangan dalam satuan lahan yang sama. Apabila tingkat pemotongan lereng besar, maka semakin berpotensi menghasilkan bencana longsor di daerah tersebut. Peta gangguan lereng dibagi menjadi 3 kelas, yaitu ringan pemotongan lereng 20 – 137m, sedang 138 – 255m, dan tinggi 256m. Berdasarkan peta gangguan lereng dan data yang didapatkan, dapat dilihat bahwa gangguan lereng ringan tampak dominan di wilayah penelitian, yaitu sebesar 55,76 dari luas total daerah penelitian, sedangkan gangguan yang berat hanya sebesar 8,22. Peta dan sebaran luasan gangguan lereng pada wilayah penelitian disajikan pada Gambar 10 dan Tabel 9. Tabel 9 Sebaran luas gangguan lereng di DAS Kali Bekasi bagian hulu Gangguan Lereng Luas ha Ringan 15.006,70 55,76 Sedang 9.694,35 36,02 Berat 2.211,19 8,22 Grand Total 26.912,17 100 Gambar 10 Peta gangguan lereng di wilayah penelitian 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Peta Satuan Lahan Land Unit Daerah Penelitian Peta satuan lahan merupakan peta yang digunakan untuk acuan dalam identifikasi titik-titik longsor di lapangan dan digunakan sebagai satuan pemetaan mapping unit. Peta satuan lahan pada penelitian ini didapatkan dari proses overlay antara peta landform dan peta kemiringan lereng wilayah penelitian. Satuan lahan yang didapatkan di daerah penelitian ada sebanyak 102 Gambar 11. Gambar 11 Peta satuan lahan dan rencana titik pekerjaan lapang Identifikasi Titik-titik Kejadian Longsor di Lapangan Titik observasi yang direncanakan untuk pekerjaan lapang ada sebanyak 135 titik dimana tiap satu jenis satuan lahan dapat diambil lebih dari 1 sampel sesuai dengan proporsi luasannya. Peta satuan lahan dan peta titik rencana pekerjaan lapang dapat dilihat pada Gambar 11. Dari 135 titik yang sudah direncanakan, ada sebanyak 85 titik yang bisa didatangi di wilayah penelitian. Hal ini disebabkan akses ke titik-titik yang dituju tidak memungkinkan baik karena adanya hambatan topografis maupun hambatan- hambatan lainnya. Peta titik sebaran daerah penelitian yang dapat didatangi dapat dilihat pada Gambar 12. Dalam hal ini dari 85 titik yang diobservasi, 42 titik diantaranya ditemukan kejadian longsor Gambar 13. Secara spasial dari 42 titik longsor tersebut, 28 di antaranya ditemukan pada landform denudasional, 2 titik longsor pada landform fluvial, 4 titik longsor pada landform karst, dan 8 longsor titik pada landform vulkanik denudasional. Dari semua titik longsor tersebut, bila dilihat dari peta satuan lahan ada sebanyak 15 titik yang berada pada kemiringan lereng 8, 7 titik berada pada kemiringan lereng 8-15, 2 titik berada pada kemiringan lereng 15-30, 15 titik pada kemiringan lereng 30-45, dan 3 titik pada kemiringan lereng 45 . Dengan demikian titik-titik longsor yang banyak dijumpai berada pada kemiringan lereng 8 dan kemiringan lereng 30-45. Dari hasil pengamatan pada 42 titik longsor di lapangan, karakteristik longsor yang umum ditemukan, yaitu longsor tipe slide dan aliran massa tanah dan batuan earth flow. Fenomena longsor yang terjadi pada daerah penelitian ini banyak disebabkan oleh beban bangunan rumah, jalanan, dan lain lain yang begitu besar dan juga sebagian merupakan akibat dari aktifitas manusia seperti penambangan, pembangunan jalan, dan permukiman dengan memotong lereng. Pembangunan daerah permukiman di bagian lereng atas dapat membuat lereng tersebut kehilangan kestabilannya apabila bagian kaki lereng tidak didukung oleh bangungan penguat konservasi yang dapat mendukung lereng tersebut. Selain itu, curah hujan yang jatuh di lereng atas bila masuk ke dalam retakan tanah, maka bobot tanah akan bertambah. Jika air tersebut menembus sampai lapisan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah tersebut akan menjadi licin dan massa tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng, sehingga massa batuan keluar lereng, maka terjadilah longsor. Gambar 12 Peta titik observasi di wilayah penelitian Gambar 13 Peta titik kejadian longsor di wilayah penelitian Persebaran Titik Longsor Berdasarkan Wilayah Administrasi Jika dilihat dari jumlah titik longsor yang ditemukan di lapangan per kecamatan, maka kejadian longsor paling banyak berada di wilayah Kecamaatan Babakan Madang, yaitu sebanyak 16 dan diikuti oleh Kecamatan Sukamakmur sebanyak 10, sedangkan yang paling sedikit adalah di Kecamatan Sukaraja. Untuk kecamatan-kecamatan yang lain kejadian longsor yang ditemukan tidak sebanyak di Kecamatan Babakan Madang, karena medan kecamatan-kecamatan tersebut cukup sulit untuk dilewati, selain karena lahan berupa hutan juga karena milik suatu perusahaan tambang, dan tidak diijinkan untuk diakses. Tabel 10 Jumlah kejadian titik longsor berdasarkan kecamatan Kecamatan Longsor Babakan Madang 16 Citeureup 4 Jonggol 5 Kelapa nunggal 6 Sukamakmur 10 Sukaraja 1 Penilaian Bahaya Longsor dengan AHP a. Kriteria dan Parameter Pembentuk Longsor Kriteria faktor-faktor penentu bahaya longsor pada penelitian ini mengacu pada kriteria Silviani 2013 yang dimodifikasi dengan menambahkan parameter gangguan pemotongan lereng dan mengganti parameter kedalaman tanah dengan kedalaman pelapukan batuan. Parameter pembentuk longsor ini dianalisis dengan metode AHP Expert Choice 2000 sehingga menghasilkan nilai bobot dan skor dari masing-masing parameter sesuai dengan pendapat para pakar. Hasil lengkap analisis AHP untuk pembobotan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Bobot masing-masing parameter pembentuk longsor No Parameter Bobot 1 Kemiringan Lereng 0,272 2 Gangguan lereng 0,258 3 Curah Hujan 0,172 4 Penutupan Lahan 0,145 5 Kedalaman Pelapukan Batuan 0,089 6 Jenis Batuan 0,064 Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa bobot parameter bahaya longsor secara berurutan dari yang paling besar adalah parameter kemiringan lereng, gangguan pemotongan lereng, curah hujan, penutupan lahan, kedalaman pelapukan batuan, dan paling kecil adalah jenis batuan geologi. Nilai bobot parameter yang paling tinggi menunjukkan bahwa parameter tersebut lebih penting dalam menyebabkan longsor di wilayah penelitian. Dalam hal ini kemiringan lereng merupakan parameter yang paling penting dalam menentukan terjadinya longsor, sedangkan jenis batuan geologi merupakan parameter yang dianggap kurang penting. Kemiringan Lereng Berdasarkan hasil analisis AHP terhadap parameter kemiringan lereng dapat dilihat bahwa skor tertinggi untuk bahaya longsor adalah pada kemiringan lereng 45 yaitu sebesar 46, dan 30-45 sebesar 29,7. Apabila nilai skor yang diperoleh tinggi, maka semakin tinggi pula potensi terjadinya longsor di wilayah penelitian. Hal ini berarti bahwa tingkat kemiringan lereng yang lebih besar dari 30 adalah daerah-daerah bahaya longsor di daerah penelitian. Hasil analisis AHP untuk parameter kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Bobot dan skor parameter kemiringan lereng Kemiringan Lereng Bobot Skor 45 Sangat Curam 0,272 46 30-45 Curam 29,7 15-30 Agak Curam 12,8 8-15 Landai 7,2 8 Datar 4,3 Gangguan Pemotongan Lereng Berdasarkan hasil analisis AHP dapat dilihat bahwa skor tertinggi terdapat pada pemotongan lereng yang berat yaitu sebesar 54,9, dan paling kecil pada pemotongan lereng yang ringan. Hasil analisis AHP terhadap parameter gangguan pemotongan lereng dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Bobot dan skor parameter gangguan lereng Gangguan pemotongan lereng Bobot Skor Berat 0,258 54,9 Sedang 26,1 Ringan 19 Curah Hujan Berdasarkan analisis AHP untuk curah hujan, skor tertinggi terdapat pada curah hujan yang lebih dari 2.300 mmtahun yaitu mempunyai skor 46,8. Dari Tabel 14 hasil analisis AHP dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat curah hujan, maka tingkat potensi longsor yang terjadi juga akan semakin tinggi. Hasil analisis AHP terhadap parameter curah hujan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 14 Bobot dan skor parameter curah hujan Curah Hujan Bobot Skor = 2300 mmtahun 0,172 46,8 2201 – 2300 mmtahun 25,2 2101 – 2200 mmtahun 14,9 2001 – 2100 mmtahun 8,2 1900 – 2000 mmtahun 4,8 Penutupan Lahan Dari hasil analisis AHP untuk penutupan lahan, skor yang paling tinggi terdapat pada penutupan lahan tegalan dan sawah, yaitu sebesar 31,3, diikuti oleh permukiman yaitu 25,6, dan paling kecil adalah di penutupan lahan hutan dan perkebunan, yaitu 7 Tabel 15. Tabel 15 Bobot dan skor parameter penutupan lahan Tutupan Lahan Bobot Skor Permukiman 0,145 31,3 Tegalan, sawah 25,6 Semak belukar 22,7 Perairan 13,4 Hutan, perkebunan 7 Kedalaman Pelapukan Batuan Hampir mirip dengan ketebalan solum tanah yang merupakan bagian dari profil tanah, maka untuk kedalaman pelapukan batuan, ketebalan solum tanah termasuk didalamnya. Dalam kaitannya dengan longsor, maka besar kemungkinan batuan yang telah mengalami pelapukan sangat mendukung terjadi longsor daripada batuan yang masih segar atau kedalaman pelapukan yang tipis. Berdasarkan analisis AHP untuk kedalaman pelapukan batuan, skor yang paling tinggi terdapat pada kedalaman pelapukan batuan 120 cm yang mempunyai skor 43. Hasil dari analisis AHP untuk parameter kedalaman pelapukan batuan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Bobot dan skor parameter kedalaman pelapukan batuan Kedalaman Pelapukan Batuan Bobot Skor 120cm 0,089 43 90 – 120 cm 25,2 60 – 90 cm 15,2 30 – 60 cm 10 30 cm 6,6 Jenis Batuan Batuan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi karakter suatu wilayah. Batuan berbeda-beda sifatnya ada yang kompak dan ada yang tidak kompak. Sifat batuan tersebut berpengaruh terhadap bencana longsor di wilayah penelitian. Dari hasil analisis AHP didapatkan bahwa jenis batuan liat memiliki skor yang paling tinggi yaitu sebesar 24,7. Hal ini berarti bahwa jenis batu liat memiliki tingkat kerentanan tinggi dalam melahirkan longsor di daerah penelitian, sedangkan batuan lainnya tidak terlalu tinggi. Hasil analisis AHP untuk parameter jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Bobot dan skor geologi Jenis Batuan Bobot Skor Batu LiatClaystone 0,064 24,7 Batu Napal 19,1 Batu PasirSand 17,1 Batuan piroklastik 12 Batu Konglomerat 10,7 Batu KapurLimestone 9 Batuan Lava dan Breksi Vulkanik 7,4

b. Prediksi Bahaya Longsor dengan Pendekatan AHP