Konflik Internal dalam Komunitas Gay (Studi Etnografi pada Komunitas IGAMA)

(1)

Konflik Internal dalam Komunitas Gay

(Studi Etnografi pada Komunitas IGAMA)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh: Wulan Agustia

08220065

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

ii LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Wulan Agustia

NIM : 08220065

Konsentrasi : Public Relations

Judul Skripsi : Konflik Internal dalam Komunitas Gay (Studi Etnografi pada Komunitas IGAMA)

Telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

dan dinyatakan LULUS

Pada Hari : Jumat Tanggal : 2 Mei 2014 Tempat : Ruang 605

Mengesahkan Dekan FISIP UMM

Drs. Asep Nurjaman, M.Si

Dewan Penguji ;

1. Sugeng Winarno, MA ( )

2. Winda Hardyanti, M.Si ( )

3. M. Himawan Sutanto, M.Si ( )


(3)

iii LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Wulan Agustia

Nim : 08220065

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi : Konflik Internal dalam Komunitas Gay : (Studi Etnografi pada Komunitas IGAMA)

Disetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing II

M. Himawan Sutanto, M.Si Nasrullah, M.Si.

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi


(4)

iv BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

1. Nama : Wulan Agustia

2. Nim : 08220065

3. Konsentrasi : Public Relation

4. Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

5. Jurusan : Ilmu Komunikasi

6. Judul Skripsi : Konflik Internal dalam Komunitas Gay (Studi Etnografi pada Komunitas IGAMA)

7. Pembimbing : I. M. Himawan Sutanto, M.Si : II. Nasrullah, M.Si.

8. Kronologi Bimbingan :

Tanggal Paraf bimbingan Keterangan

Pembimbing I

Pembimbing II

13 Maret 2012 / 20 Maret 2012 Acc Judul

05 Februari 2013 / 09 Februari 2013 Acc Proposal

12 Februari 2013 Seminar Proposal

22 Mei 2013 / 28 Mei 2013 Acc Bab 1

03 Juni 2013 / 07 Juni 2013 Acc Bab II

20 Maret 2014 / 25 Maret 2014 Acc Bab III

28 Maret 2014 / 05 April 2014 Acc Bab IV

16 April 2014 Acc Abstraksi

Malang, 17 April 2014 Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II


(5)

v As long as society is anti-gay, then it will seem like being gay is anti-social. -Joseph Francis


(6)

vi PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Wulan Agustia

Tempat, Tanggal lahir : Balikpapan, 29 Agustus 1990

Nim : 08220065

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) dengan judul:

KONFLIK INTERNAL DALAM KOMUNITAS GAY (Studi Etnografi pada Komunitas IGAMA)

Adalah bukan karya ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya dengan benar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 17 April 2014 Yang menyatakan,


(7)

vii ABSTRAK

Wulan Agustia, 08220065

KONFLIK INTERNAL DALAM KOMUNITAS GAY Studi Etnografi pada Komunitas IGAMA

Pembimbing : M.Himawan Sutanto, M.Si dan Nasrullah, M.si (xiv+97+6 gambar+3 lampiran)

(Bibliografi; 20 Buku, 2 Ebook, 2 Jurnal, 10 Situs Web) Kata Kunci: Konflik, Internal, Komunitas, Gay

Penelitian ini didasari atas fenomena keberadaan homoseksual yang tidak dapat dipungkiri menjadi semakin tajam karena ada keterbukaan dalam mengungkap jati diri mengenai siapa mereka sebenarnya. Hubungan yang terjadi pada kaum homoseksual adalah sebuah hubungan yang bersifat erotis dan mengacu pada perilaku seksual. Sebagai makhluk sosial yang menyimpang secara seksual, mereka terisolir dari masyarakat. Inilah yang kemudian membuat mereka membentuk komunitas untuk bisa berkumpul sesama gay. IGAMA, merupakan salah satu komunitas homoseksual yang ada di Indonesia, khususnya di Malang. Dalam hal pengelolaan komunitas dan anggota-anggotanya, sudah pasti terdapat konflik. Penelitian ini berfokus kepada komunikasi yang dilakukan dalam rangka mengelola atau mengatasi konflik yang terjadi pada komunitas secara internal.

IGAMA (Ikatan Gaya Malang) adalah komunitas gay yang bersifat non-profit. Komunitas IGAMA termasuk salah satu komunitas yang cukup besar di kota Malang, dan memiliki struktur organisasi yang baik karena mengalami perubahan pengurus yang dinamis setiap tahunnya. Komunitas yang berdiri pada tanggal 01 April 1993 ini lebih menitik beratkan pada kegiatan entertainment, arisan anggota serta rekreasi bersama. Selain itu, komunitas ini juga terbentuk atas kepedulian mereka terhadap pencegahan penyebaran penyakit HIV/AIDS. Dengan adanya fokus mereka terhadap hal tersebut, komunitas ini kemudian berkembang menjadi organisasi dengan kepengurusan yang lebih formal dan bekerjasama dengan beberapa lembaga pemerintah pada kegiatan-kegiatan tertentu.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif interpretatif. Sementara itu, metode yang digunakan adalah metode etnografi komunikasi. karena metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan dan membangun hubungan dari kategori-kategori dan data yang ditemukan. Di mana peneliti dalam penelitian dan pengumpulan data berperan sebagai partisipan. Dalam teknik ini, peneliti mengamati secara keseluruhan proses dan pola komunikasi kaum gay saat berkomunikasi langsung dengan sesama gay maupun orang lain. Karena secara langsung peneliti ikut berinteraksi dan terlibat dalam komunitas kaum gay.

Adapun hasil dari penelitian adalah mengetahui bahwa konflik internal yang terjadi dalam IGAMA adalah merupakan konflik keorganisasian yang pada dasarnya diawali oleh miss communication antar


(8)

viii anggotanya. Kesalahan pada komunikasi akibat perbedaan sumber dan cerita ini tadi, kemudian melebar menjadi konflik kepentingan yang mana masing-masing pihak mempertahankan pendapatnya. Penyelesaian masalah yang biasa dilakukan dalam IGAMA adalah melalui manajemen konflik dengan pendekatan positif, yakni manajemen konflik konstruktif berupa negosiasi. Negosiasi atau kompromi yang dilakukan di sini lebih berbentuk kepada adanya mediasi dari pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak membela salah satu pihak, yang kemudian berusaha membuat kedua belah pihak saling memahami dan melaksanakan kesepakatan bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

.

Peneliti,

Wulan Agustia

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II


(9)

ix ABSTRACT

Wulan Agustia, 08220065

INTERNAL CONFLICT ON GAY COMMUNITY Etnografi Study on IGAMA Community

Supervisors : M.Himawan Sutanto, M.Si dan Nasrullah, M.si (xiv+97+6 pictures+3 attachment)

(Bibliografy; 20 Books, 2 Ebooks, 2 Journals, 10 Web Sites) Key Word: Conflict, Internal, Community, Gay

This study is based on the phenomenon of existence that can not be denied of homosexuals become increasingly sharp as there is openness in revealing the identity of who they really are. Relationships that occur in homosexuals is a relationship that is both erotic and refers to sexual behavior. As social beings who are sexually deviant , they isolated from society. This then makes them form a community of fellow gays to be together. IGAMA, is one of the homosexual community in Indonesia, especially in Malang.

In terms of the management of the community and its members, there is definitely a conflict. This study focuses on the communications made in order to manage or resolve conflicts within the community internally.

IGAMA ( Association Style Malang ) is a gay community non- profit based organization. Community of IGAMA is one fairly large community in the city of Malang, and have a good organizational structure for the management of dynamic changes every year. Communities which established on April 1, 1993 is more focused on entertainment activities , recreation and social gathering members together. In addition, these communities are also formed , for their efforts on the prevention of the spread of HIV / AIDS . Given their focus on it, this community developed into an organization with more formal management and collaboration with several government agencies in certain activities .

The type of research used in this study is a qualitative interpretive. Meanwhile, the method used is the method of ethnography of communication . Because this method can describe, explain and establish the relationship of the categories and the data found. Where researchers in research and data collection serves as a participant. In this technique, researchers looked at the whole process and the communication pattern of the current gay communicate directly with each other and others. Because researchers participate directly interact and engage in the gay community.

The results of the study was to determine that the internal conflicts that occur in IGAMA is an organizational conflict which basically begins by miss communication between its members . Errors in communication due to different sources and this story before, and then widened to a conflict of


(10)

x interest which each party opinion. Problem solving is usually done in IGAMA is through conflict management with a positive approach, namely in the form of constructive conflict management negotiation . Negotiation or compromise made here over the form to the mediation of a third party that is neutral and does not defend either party, who then tried to make both sides understand each other and carry out a mutual agreement to resolve problems that occur.

Researcher,

Wulan Agustia

Approve,

Supervisor I Supervisor II


(11)

xi KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman, amin.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana pada Program Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.

Selama menyelesaikan skripsi ini maupun mengikuti program studi banyak pihak yang turut memberikan bantuan baik secara moril maupun material. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak M. Himawan Sutanto, M.Si dan Bapak Nasrullah, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam setiap proses mulai dari pembimbingan hingga penyususnan akhir skripsi.

2. Bapak Joko Susilo, S.Sos, M.Si selaku dosen wali yang telah membimbing dan terus memberikan dukungan kepada penulis selama masa studi di Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Bapak Sugeng Winarno MA, selaku ketua jurusan Ilmu Komunikasi atas motivasi dan dukungan kepada penulis selama masa studi sebagai bagian dari jurusan Ilmu Komunikasi.


(12)

xii 4. Kepada segenap dosen jurusan Ilmu Komunikasi, Ibu Isnani Dzuhrina, Ibu Arum, Bapak Nurudin, dan seluruh dosen yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas ilmu dan pelajaran yang menjadi bekal bagi penulis baik dalam menjalani masa studi maupun ketika nanti lulus dan bekerja.

5. Untuk staff TU dan Kajur Ilmu Komunikasi, yang turut membantu pada saat proses pre sidang skipsi penulis, agar penulis tetap bisa mengikuti sidang tepat pada deadline yang ditentukan.

6. Untuk Ibunda Meiyana dan Ayahanda Djohar, Terima kasih tidak terhingga atas jasa-jasanya, cinta yang tulus dan ikhlas, kesabaran, serta do`a yang tidak pernah putus kepada penulis selama penulis menempuh studi.

7. Paduan Suara Mahasiswa Gitasurya Universitas Muhammadiyah Malang, atas pengalaman yang tidak akan terlupakan, keluarga baru, serta ilmu yang akan selalu penulis terapkan di dunia luar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari kesalahan, baik dari penyajian materi, pembahasan, dan lainnya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan semoga ALLAH SWT melimpahkan ridho-Nya kepada kita semua. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Malang, 19 April 2014


(13)

xiii Lembar Persembahan

Halaman ini didedikasikan penulis untuk orang-orang yang telah menjadi inspirasi dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan skripsi. Kepada mereka:

Kedua Orang Tua terhebat yang saya miliki, Bapak Djohar dan Mama Meiyana, yang telah mendidik saya, senantiasa memberikan support dalam bentuk moril maupun material, dan do`a yang tidak pernah ada putusnya.You don’t know

how much I Love both of You..

Kepada kedua pembimbing saya, Bapak Muhammad Himawan Stuanto, M.Si dan Bapak Nasrullah M.Si yang senantiasa sabar membimbing saya dengan segala kemalasan saya, hingga akhirnya skripsi ini selesai. Terimakasih Pak..

Untuk sahabat-sahabat saya selama di Malang. 14 orang siput. Anda, Ganjar, Ophie, Gita, Rejo, Dewa, Angga, Rizka, Fanny, Gincu, Vega, Efry, dan Ponci. Bukan hanya sahabat, kalian adalah keluarga untuk saya. Terimakasih atas tawa, canda, sedih, haru, bahagia yang selama 6 tahun belakangan ini selalu kita lewati bersama. Terimakasih juga atas sindiran dan cemooh yang kalian berikan, hingga akhirnya saya terpacu menyelesaikan skripsi ini. Hehe.. Semoga kita akan terus menjadi keluarga ya, Siput. Aku sayang kalian semua..

Untuk teman teman kost kavling 40. Terimakasih atas kehidupan di Malang yang begitu ceria bersama kalian. Popo, Wina, Itha, Julia, Dilla, Kaklong, Kak tyas, Mamak Ate dan semua anak-anak kavling 40 lainnya. Terimakasih banyak, Sisters..

Untuk Megi Fanany, teman berbagi support dan semangat. Terimakasih untuk selalu ada disaat saya merasa putus asa dan menyerah. Juga, Terimakasih banyak karena selalu mempunyai cara serta trik agar rasa malas itu akhirnya berakhir dengan selesainya skripsi ini. Terimakasih, Biru..

Untuk teman-teman selama berkuliah di Malang, Pricilla Tirta yang selalu memberikan semangat, hingga akhirnya saya bisa menyusul menjadi sarjana. serta keluarga besar PSM Gitasurya UMM yang sudah memberikan saya ilmu dan banyak pengalaman.


(14)

xiv DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL...i

LEMBAR PENGESAHAN………….....ii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ...iii

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI...iv

MOTTO...v

PERNYATAAN ORISINALITAS ...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT……….ix

KATA PENGANTAR...xi

LEMBAR PERSEMBAHAN...xiii

DAFTAR ISI...xiv

DAFTAR GAMBAR ...xvii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...4

C. Tujuan Penelitian ...4

D. Kegunaan Penelitian ...5

E. Kerangka Teoritik...6

E.1 Komunikasi ...6

E.2 Konflik ...13

E.2.1 Beberapa Faktor Penyebab Konflik ...16

E.2.2 Akibat-akibat dari Konflik ...18

E.2.3 Cara-cara Mengatasi Konflik ...21

E.2.4 Manajemen Konflik ………..22


(15)

xv

E.4 Landasan Teori …...………...30

E.4.1 Teori Penetrasi Sosial………30

E.5.2 Teori Queer (Teori Homoseksualitas)………...31

E.5.3 Teori Konflik Mikro ………...33

F. Fokus Penelitian………..36

G. Metode Penelitian………...……36

H. Waktu dan Tempat Penelitian………...……….39

I. Tehnik Pengumpulan Data………...39

J. Informan dan Tehnik Penentuan Informan……….……….42

K. Tehnik Analisa Data………...…43

L. Tehnik Keabsahan Data………..44

BAB II Tentang IGAMA A. Sejarah IGAMA ...45

BAB III Analisis dan Penyajian Data A.Penelitian Terdahulu Attachments Style pada Gay Dewasa Muda ...52

B. Analisis dan Penyajian Data...53

C. Latar Belakang Menjadi Gay...60

C.1 Faktor Trauma Masa Kecil………...……….…..60

C.2 Faktor Biologis……….…...61

C.3 Faktor Lingkungan………...….…..64

D. Awal Mula Terbentuknya IGAMA……….68

E. Komunikasi dalam Komunitas IGAMA………...…72

E.1 Komunikasi Verbal dan NonVerbal sesama Gay………....72

E.2 Penggunaan Media Sosial dalam Komunikasi Internal IGAMA……75

F. Konflik Internal dalam Komunitas IGAMA dan penyelesaiannya………..79

F.1 Miss Comunication sebagai faktor timbulnya konflik………..……...83

F.2 Mediasi sebagai Manajemen Konflik Internal IGAMA……….84

G. Hambatan Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik yang Bertambah Parah ………...……….89


(16)

xvi

G.2 Faktor Emosi Pribadi………...…91

H. Diskusi Teori dan Hasil Temuan Penelitian………...95

H.1 Teori Penetrasi Sosial dan Timbulnya Konflik……...…………..…..95

H.2 Teori Queer dan Gay………...96

H.3 Teori Konflik Mikro………98

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...99

B. Saran ...100

B.1 Saran Akademis……….100

B2. Saran Praktis………..100 DAFTAR PUSTAKA


(17)

xvii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Komunikasi Universal, Devito 1991………...8

Gambar 2.1 Survey Populasi Gay yang Menggunakan Situs Gay...28

Gambar 3.1 Logo IGAMA (Ikatan GAYa Arema)...45

Gambar 4.1 Facebook IGAMA...78

Gambar 5.1 Twitter IGAMA...78


(18)

xviii

DAFTAR PUSTAKA

A.M. Hoeta Soehoet. 2002. Teori Komunikasi I II, Yayasan Kampus Tecinta. Jakarta.

Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.

Craig, G. J. 1992. Human Development Sixth Edition. New Jersey, Prentice-Hall.

Drs. Jokie Siahaan, M.Si. 2009. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi. Indeks Puri Media Kembangan, PT.

De Vito, Joseph H. 2005. The Interpersonal Communication Book. Person Education. Inc. (www.unimedia.ac.id)

Effendy, Onong Ujhana, 2001. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.

Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies. Jalasutra: Yogyakarta

Hamidi, 2004. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi.UMM Press, Malang

H. Kusnadi dan Bambang Wahyudi, Teori dan Manajement Konflik, Malang: Taroda, 2001, hlm. 22-27


(19)

xix Kayam, U. 1986. Homoseksualitas di Tengah Budaya Kita: Sri Sumarah dan Cerita Pendek lainnya. Pustaka Jaya, Jakarta.

Kuswarno, Engkus. 2008. Metode Penelitian Komunikasi Etnografi Komunikasi. Jakarta

Littlejohn, Stephen W. 2009. Teori Komunikasi. Salemba Humanika. Jakarta.

Minnery, John R., (1985). Conflict management in Urban Planning, Gower Publishing Company Limited, England.

Moleong, Lexy. 2001, Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya.

Nurgiyantoro. Burhan. 2000. Teori Kajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press.

Pruitt, Dean G. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ross, Marc Howard Ross, (1993). The management of conflict: interpretations and interests in comparative perspective, Yale university press.

Oetomo, D. 1999. Dede Oetomo Talks on Reyog Ponorogo. Diakses pada 20 Maret 2012 http://intersections.anu.edu.au/issue2/Oetomo.html


(20)

xx

Ebook:

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Penerjemah: Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto.

Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan Strategi & Bertindak. The British Council.

Non Buku:

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik. Diakses 18 Maret 2012 pukul 22.00

http://zeincom.wordpress.com/2011/10/23/pkjsk). Diakses 18 Maret 2012 pukul 22.05

http://teoriorganisasiumum2012.blogspot.com/2012/12/konflik-organisasi.html Diakses 18 Maret 2012 pukul 22.15

http://www.e-psikologi.com/epsi/Klinis_detail.asp?id=551 Diakses 20 Maret 2012 pukul 13.35

http://www.gudangmateri.com/2011/06/teori-dan-manajemen-konflik.html) Diakses 22 Maret 2012 pukul 08.30

http://pengertianmanagement.blogspot.com/2013/03/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html) Diakses 22 Maret 2012 pukul 08.45

http://digilib.uin-suka.ac.id/8381/1/RISTIANA%20KADARSIH%20TEORI%20PENETRASI%20SOS

IAL%20DAN%20HUBUNGAN%20INTERPERSONAL.pdf Diakses 18 April 2014


(21)

xxi

http://kurniadidebby.blogspot.com/2012/07/sejarah-dan-pembahasan-teori-queer.html Diakses 06 Mei 2012 pukul 03.10

http://www.scribd.com/doc/170555086/135962010-KONFLIK-Tinjauan-Teoritik) Diakses 07 Mei 2012 pukul 17.22

http://sejarahdanahrizal.blogspot.com/2009_11_22_archive.html) Diakses 07 Mei

pukul 18.00

Majalah GAYa Nusantara Vol. 2, Vol.5, Vol.6 Tahun 2007 Jurnal Gandrung Vol.1 No.2 (e-Journal)


(22)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain. Seorang individu akan memerlukan orang lain dalam menghabiskan sebagian besar masa hidupnya dengan berinteraksi dengan orang lain. Dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, individu harus memperhatikan tuntutan dan harapan sosial terhadap perilaku yang ia lakukan di lingkungan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Seorang individu harus membuat suatu kesepakatan atau kompromi antara kebutuhan atau keinginan dirinya dengan tuntutan dan harapan sosial yang ada sehingga seorang individu dapat merasakan kepuasan dalam hidupnya, hal ini dapat dilakukan dengan cara bila seorang individu ingin diterima dalam suatu masyarakat, maka dia harus bertingkah laku seperti yang masyarakat lakukan tempat tersebut. Dengan kata lain, individu dituntut untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya.

Hubungan yang terjadi antar individu tersebut dapat berupa hubungan pertemanan, persahabatan, persaudaraan atau bahkan hubungan yang mengarah pada suatu hubungan khusus yang bersifat pribadi. Pada umumnya, hubungan yang khusus dan bersifat pribadi ini atau lebih dikenal dengan istilah “pacaran” dapat terjadi di antara individu yang berjenis kelamin laki-laki dengan individu yang berjenis kelamin perempuan. Hubungan ini biasanya bertujuan untuk lebih


(23)

2 mengenal antara satu sama lain hingga akan tercapai suatu kesamaan tujuan yang membuat dua individu dapat bersatu dalam suatu ikatan yang disebut dengan ikatan pernikahan. Akan tetapi kenyataan yang saat ini berkembang di kalangan masyarakat umum sangat bertentangan dengan apa yang selama ini diketahui.

Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial sekaligus menarik untuk didiskusikan. Di Indonesia sendiri, homoseksualitas sudah meranah dalam waktu yang lama, misalnya saja pada kisah percintaan sejenis antara Cebolang dan Adipati Daha dalam Serat Suluk Tambanglaras, Centhini tahun 1742, kemudian pada kesenian Gandrung, pada suku Dayak Ngaju di Kalimantan, serta pada legenda warok di Ponorogo, Jawa Timur (Kayam, 1986; Oetomo, 1999).

Homoseksual adalah seseorang yang memilih relasi seks pada jenis kelamin yang sama, seorang laki-laki akan memilih laki-laki sebagai pasangan dalam relasi seksualnya, begitu pula dengan perempuan memilih perempuan sebagai relasi seksnya. (Craig, 1992; Davidson & Neale, 1996). Keberadaan mereka tidak dapat dipungkiri dan menjadi semakin tajam karena ada keterbukaan dalam mengungkap jati diri mengenai siapa mereka sebenarnya. Hubungan yang terjadi pada kaum homoseksual adalah sebuah hubungan yang bersifat erotis dan mengacu pada perilaku seksual.

Di dalam prosesnya, tidak bisa dipungkiri bahwa pada awal pencarian jati diri sebagai seorang individu gay, terjadi banyak konflik batin yang terjadi pada diri individu yang bersangkutan. Kaum gay merasakan dilema yang berat ketika di hadapkan kepada lingkungan mengenai eksistensi mereka di dalam masyarakat.


(24)

3 Di dalam masyarakat sendiri, kaum homoseksual masih berjuang bukan hanya untuk mendapatkan tempat yang layak, namun juga melawan stigma negatif dan terkadang intimidasi dari lingkungan.

Karena terintimidasi dari lingkungan, kaum gay mulai berkumpul dengan sesama gay dan membangun komunitas sesama gay. Salah satunya adalah IGAMA. IGAMA (Ikatan Gaya Malang) adalah komunitas gay yang bersifat non-profit. Komunitas IGAMA termasuk salah satu komunitas yang cukup besar di kota Malang, dan memiliki struktur organisasi yang baik karena mengalami perubahan pengurus yang dinamis setiap tahunnya. Komunitas yang berdiri pada tanggal 01 April 1993 ini lebih menitik beratkan pada kegiatan entertainment, arisan anggota serta rekreasi bersama.

Lalu bagaimana cara mereka membuka diri mereka dan bagaimana mereka berinteraksi antara gay juga masih menarik untuk diteliti. Kalau dahulu mereka hanya mengekspos diri mereka melalui cara tersembunyi dan hanya diketahui oleh beberapa kalangan termasuk kalangannya sendiri dan memiliki simbol-simbol khusus sendiri, untuk saat ini kaum gay sudah berani terang-terangan dalam mempertegas orientasi seksual mereka.

Konflik atau permasalahan yang terjadi pada komunitas gay juga menjadi sorotan menarik bahkan juga konflik antara komunitas gay dengan masyarakat. Konflik yang sering terjadi dan sering diketahui adalah konflik percintaan atau konflik yang melibatkan hubungan sesama jenis. Dapat diambil contoh adalah kasus Rian, gay asal Jombang yang mengakui pemicu konflik adalah adanya rasa cemburu dengan pasangannya. Hal ini menjadi sebuah perselisihan yang memicu


(25)

4 adanya pembunuhan sadis yang dilakukan oleh Rian. Konflik berebut pacar juga sering menimpa para gay.

Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui konflik-konflik yang terjadi dalam lingkup komunitas gay. Sehingga judul dalam penelitian ini adalah “KONFLIK INTERNAL DALAM KOMUNITAS GAY”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana konflik yang terjadi dalam komunitas IGAMA dan penyelesaiannya?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana komunikasi dalam mengelola konflik internal pada komunitas gay, yakni komunitas IGAMA. Di mana tujuan dari penelitian ini juga mendapatkan penjelasan deskriptif tentang konflik internal yang terjadi dalam komunitas IGAMA dan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh komunitas tersebut.


(26)

5 D. Kegunaan Penelitian

Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi kepada peneliti sejenis selanjutnya tentang pola komunikasi pada sebuah komunitas gay.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan berupa pemahaman tentang pentingnya manajemen konflik dalam keberlangsungan suatu komunitas. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang bagaimana komunikasi dapat menjadi bagian dalam menangani konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi.


(27)

6 E. Kerangka Teoritik

E.1. Proses dan Prinsip Komunikasi

Kata komunikasi atau communications dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin Communis yang berarti “sama”, communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Komunikasi juga di definisikan secara luas sebagai “berbagi pengalaman”. (Mulyana, 2005: 41-42 )

Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris Communication berasal dari kata Latin Communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 2001,9).

Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. (DeVito, 1997 : 23).

A.M. Hoeta Soehoet (2002) menyatakan bahwa komunikasi merupakan suatu usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataan kepada manusia lain. Jadi komunikasi adalah sarana yang sangat berarti sekali bagi seseorang untuk bisa berbagai rasa dan pengetahuan.

Komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan interaksi sosial yang digunakan individu untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia dan untuk


(28)

7 bertukar citra itu melalui simbol-simbol. Proses komunikasi merupakan urut-urutan peristiwa yang terjadi dalam usaha manusia menyampaikan isi pernyataan kepada manusia lain (A.M. Hoeta Soehoet, 2002:10). Dalam proses komunikasi agar data berlangsung dengan baik minimal harus memiliki 3 (tiga) unsur yaitu komunator, isi pernyataan dan komunikan.

Setidaknya ada 6 komponen pembentuk komunikasi yang saling terkait dan berhubungan dengan yang lain, yaitu:

1. Source: Sumber pesan, seseorang atau sekelompok orang yang berinisiatif mengirimkan pesan. Sumber harus melakukan encoding (proses mengubah ide, gagasan, atau perasaan, kedalam seperangkat simbol dan tanda) untuk menyampaikan pesannya.

2. Message: pesan, atau apa yang dikomunikasikan oleh source kepada penerima dalam bentuk berupa simbol-simbol dan tanda.

3. Media : saluran/sarana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya. Dapat berupa media fisik, seperti suara, cahaya, sistem syaraf, dsb, maupun cara penyajian pesannya.Receiver: orang yang menerima pesan dari sumber. Receiver malakukan decoding, kebalikan dari encoding. Yaitu proses menafsirkan seperangkat tanda yang ia terima menjadi gagasan yang dapat dipahaminya.

4. Effect: apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan, berupa perubahan persepsi, perilaku, dsb.

5. Feedback: reaksi, atau tanggapan dari pihak receiver sebagai petunjuk efektif tidaknya pesan yang disampaikan sebelumnya. Umpan balik


(29)

8 tidak harus disengaja. Misalnya kejang-kejang dan histeris setelah mendengar berita duka, dll.

6. Noise: faktor-faktor berupa rangsangan tambahan yang mengganggu penyampaian pesan atau mengurangi akurasi pesan. Sebuah kursi yang tidak nyaman selama kuliah dapat menjadi suber noise, kita tidak dapat menerima pesan hanya melalui mata dan telinga kita. Pikiran-pikiran yang lebih menarik daripada kata-kata dosen juga merupakan gangguan (Fiske, 2005 :16)


(30)

9 Berdasarkan definisi dari komunikasi yang telah diutarakan para ahli patut diketahui pula prinsip-prinsip yang terdapat dalam komunikasi. Prinsip-prinsip komunikasi tersebut antara lain :

1. Komunikasi adalah suatu proses simbolik

Lambang atau symbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang (Mulyana, 2005:85). Lambang memiliki sifat yaitu fleksibel, dengan kata lain setiap lambang tidak mempunyai makna yang permanen tergantung dari persepsi dan pemikiran dari orang yang menerimanya. Sifat ini dapat dapat dijabarkan melalui contoh berikut. Suatu hari seorang dosen mengatakan “tutup pintunya dari depan” kepada seorang mahasiswanya yang telambat. Kalimat ini menimbulkan persepsi yang berbeda-beda diantara para mahasiswa. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa lambing pada dasarnya tidak mempunyai makana: kitalah yang memberi makna pada lambang (Mulyana, 2005:88). Elemen lain yang termasuk tanda namun tidak memerlukan kesepakatan bersama dalam pengertiannya yaitu indeks. Karena dalam memaknainya ikon indeks mucul berdasarkan hubungan sebab dan akibat (biasanya secara alamiah). Istilah lain dari indeks adalah sinyal (signal) atau juga gejala. Misalnya adalah bunyi sirene yang merupakan indeks dari mobil ambulan.


(31)

10 2.Setiap perilaku memiliki potensi komunikasi

Kita tidak dapat tidak berkomunikasi (we cannot not communicate). Tidak berarti bahwa semua perilaku adalah komunikasi. (Mulyana, 2005:98). Hal ini berarti bahwa komunikasi itu mulai terjadi apabila seseorang memberi makna atau mengartikan perilaku orang lain maupun memaknai perilakunya sendiri.

3.Komunikasi punya dimensi isi dan dimensi hubungan

Dimensi isi disandi secara verbal, sementara dimensi hubungan disandi secara nonverbal. Dimensi isi menunjukkan muatan (isi) komunikasi, yaitu apa yang dikatakan. Sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakannya yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu, dan bagaimana seharusnya pesan itu ditafsirkan (Mulyana, 2005:99).

4.Komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan

Komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesenjangan, hal ini berarti komunikasi dapat berlangsung dengan sengaja atau direncanakan misalnya ketika kita menyampaikan sebuah ceramah maupun komunikasi dapat berlangsung dengan tidak disengaja misalnya ketika kita sedang merenung dan orang lain memperhatikan serta memaknai apa yang kita lakukan. Kesengajaan bukanlah syarat untuk terjadinya komunikasi, dan dalam berkomunikasi biasanya kesadaran kita lebih tinggi dalam situasi khusus alih-alih dalam situasi rutin (Mulyana, 2005:101).


(32)

11 5.Komunikasi terrjadi dalam konteks ruang dan waktu

Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari bergantung pada fisik atau ruang dimana kegiatan tersebut berlangsung. Jadi kita harus pandai menempatkan diri dimana kita melakukan kegiatan komunikasi. Waktu juga mempengaruhi makna terhadap suatu pesan (Mulyana, 2005:104).

6.Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi

Komunikasi terikat pada aturan terrtentu atau tata karma yang berarti orang-orang memilih strategi tertentu berdasarkan bagaimana orang-orang yang menerima pesan akan merespon (Mulyana, 2005:105). Prediksi ini seringkali berlangsung cepat dan tanpa disadari dan dapat diramalkan. Misalnya apabila kita mengalami sakit gigi dan kita pergi kedokter gigi kita memprediksi pasti yang diperiksa adalah gigi kita bukan anggota tubuh kita yang lain.

7.Komunikasi itu bersifat sistematik

Komunikasi memiliki beberapa unsur sehingga menjadikannya sebagai suatu system. Terdapat dua sistem dasar yang melandasi transaksi komunikasi yaitu sistem internal dan sistem eksternal. Sistem internal adalah seluruh sistem nilai yang dibawa oleh seorang individu ketika ia berpartisipasi dalam komunikasi. Sistem internal mengandung unsur kepribadian, agama, intelegensi, pendidikan, bahasa, motif, keinginan, cita-cita, dan pengalaman masa lalunya (Mulyana, 2005:106). Sedangkan sistem eksternal yaitu semua unsur yang berada diluar individu termasuk lingkungan.


(33)

12 8.Semakin mirip latar belakang sosial budaya semakin efektiflah

komunikasi

Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi) (Mulyana, 2005:107).

9.Komunikasi bersifat nonsekuensial

Komunikasi dapat berlangsung secara linier (satu arah) maupun sirkuler dua arah. Pada dasarnya setiap proses komunikasi bersifat dua arah karena orang-orang yang kita anggap sebagai komunikan pada saat yang sama mereka juga menjadi komunikator atau penyampai pesan meskipun ditunjukkan melalui perilaku nonverbal. Beberapa pakar komunikasi mengakui sifat sirkuler atau dua arah komunikasi ini walaupun, sifat sirkuler dapat digunakan untuk menandai proses komunikasi, unsure-unsur komunikasi sebenarnya tidak berpola secara kaku. Oleh karena itu sifat nonsekuensial alih-alih sirkuler tampaknya lebih tepat digunakan untuk menandai proses komunikasi. (Mulyana, 2005:109).

10. Komunikasi bersifat prosesual, dinamis, dan transaksional

Komunikasi tidak mempunyai awal dan tidak mempunyai akhir, melainkan merupakan proses yang sinambung (continuous) (Mulyana, 2005:109). Karena hal yang paling penting dalam proses komunikasi adalah antara komunikator dan komunikan mampu merumuskan atau menafsirkan pesan yang diterima dengan


(34)

13 baik serta dalam proses ini terjadi saling mempengaruhi antara peserta komunikasi.

Implikasi dari komunikasi sebagai proses yang dinamis dan transaksional adalah bahwa para peserta komunikasi berubah (dari sekadar berubah dalam pengetahuan hingga berubah pandangan dunia dan perilakunya) baik berubah dengan sedikit demi sedikt maupun berrubah secara tiba-tiba (Mulyana, 2005:111).

11. Komunikasi bersifat irreversible

Sifat irreversible ini adalah implikasi dari komunikas sebagai proses yang selalu berubah. Prinsip ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita harus berhati-hati untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain (Mulyana, 2005:112).

12. Komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah

Banyak konflik yang disebabkan oleh masalah komunikasi. Namun komunikasi bukanlah panasea (obat mujarab) untuk menyelesaikan persoalan atau konflik itu (Mulyana, 2005:115).

E.2 Konflik

Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah percekcokkan, perselisihan, pertentangan. Konflik berasal dari kata kerja bahasa latin yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara Sosiologis konflik diartikan sebagai proses social antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana


(35)

14 salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Menurut Webster dalam Teori Konflik Sosial (Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin) (2004: 200): Istilah conflict di dalam bahasa Indonesia aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Namun, arti kata ini kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.

Kemudian, muncul definisi Webster yang kedua, bahwa konflik dapat diartikan sebagai persepsi pandangan mengenai perbedaan kepentingan, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.

Menurut H. Kusnadi dan Bambang Wahyudi (2001: 22-27) macam-macam konflik dapat dibedakan ke dalam berbagai klasifikasi yang relevan. Berikut ini konflik menurut hubungannya dengan tujuan organisasi, yaitu:

a. Dilihat dari fungsinya

1) Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung tercapainya

tujuan organisasi dan karenanya sering kali bersifat konstruktif. Konflik fungsional sangat di butuhkan oerganisasi.


(36)

15

2) Konflik disfungfsional adalah konflik yang menghambat tercapainya

tujuan organisasi dan karenanya seringkali bersifat destruktif (merusak). b. Konflik dilihat dari pihak yang terlibat didalamnya

1) Konflik dalam diri individu;

2) Konflik antar individu;

3) Konflik antara individu dan kelompok;

4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama;

5) Konflik antar organisasi;

6) Konflik antar individu individu dalam organisasi yang berbeda.

Sehingga, Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa konflik merupakan suatu masalah yang muncul dan terjadi secara tiba-tiba atau tidak, yang disebabkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan golongan atau individu berbeda untuk mencapai tujuan tertentu.

Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002:124) konflik dibedakan menjadi dua kategori, yaitu konflik internal dan eksternal.

1. Konflik internal atau kejiwaan adalah konflik yang terjadi dalam hati jiwa seorang tokoh cerita. Jadi konflik ini adalah konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri.

2. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu dengan di luar dirinya. Konflik eksternal ini oleh Jones (1968:30) dibedakan dalam dua kategori lagi, yaitu konflik fisik dan konflik sosial;


(37)

16 1. Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan oleh adanya

perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam.

2. Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia.

Konflik internal yaitu konflik yang terjadi pada diri manusia, yang didasarkan atas perasaan senang, susah, bahagia dan kecewa. seperti: konflik yang terjadi antara percaya dan ragu akan sesuatu, pemilihan satu antara dua kenyakinan (agama), pemilihan antara ketaatan beragama atau sukularisme. Konflik internal yang dimaksutkan dalam penelitian ini adalah konflik yang terjadi di dalam komunitas IGAMA. Konflik organisasi dan operasional dalam komunitas tersebut, yang menyebabkan kerusakan ada struktur kegiatan komunitas IGAMA.

Sedangkan, Konflik eksternal yaitu konflik yang terjadi karena adanya pengaruh dari pihak luar, baik di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, maupun lingkungan pendidikan/sekolah. Dalam penelitian ini adalah konflik yang berasal dari pengaruh luar yaitu pandangan masyarakat mayoritas terhadap komunitas tersebut yang merupakan kaum minoritas.

E.2.1 Beberapa Faktor Penyebab Konflik

Perbedaan individu yang didasari oleh perbedaan pendirian dan perbedaan perasaan. Setiap manusia memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda,


(38)

17 sehingga dalam menilai sesuatu tentu memiliki penilaian yang berbeda-beda. Misalnya masyarakat menilai kebijakan pemerintah mengenai menaikkan harga BBM karena harga bahan mentah naik. Tentu setiap masyarakat akan menilai dengan pemikirannya masing-masing yang mungkin secara umum terbagi menjadi kelompok yang pro dan kontra. Berikut adalah faktor-faktor penyebab konflik :

a. Perbedaan kebudayaan sehingga membentuk pribadi yang berbeda

Orang dari kebudayaan berbeda, misalnya orang Jawa dengan orang Papua yang memiliki budaya berbeda, jelas akan membedakan pola pikir dan kepribadian yang berbeda pula. Jika hal ini tak ada suatu hal yang dapat mempersatukan, akan berakibat timbulnya konflik.

b. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok

Manusia merupakan mahkluk yang unik karena satu dengan yang lain relative berbeda. Berbeda pendirian, pemikiran, perilaku, kebiasaan, dsb. Dari perbedaan itu tentu timbul perbedaan kepentingan yang latar belakangnya juga berbeda. Misalnya mengenai masalah pemanfaatan hutan. Para pecinta alam menganggap hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup manusia dan habitat dari flora dan fauna. Sedangkan bagi para petani hutan dapat menghambat tumbuhnya jumlah areal persawahan atau perkebunan. Bagi para pengusaha kayu tentu ini menjadi komoditas yang menguntungkan. Dari kasus ini ada pihak – pihak yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan, sehingga dapat berakibat timbulnya konflik.


(39)

18 c. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam

masyarakat

Perubahan merupakan suatu hal yang wajar didalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi perubahan yang sangat cepat akan memicu timbulnya konflik. Misalnya masyarakat pedesaan yang secara umum mata pencariannya bertani yang hidupnya bergotong-royong dengan jadwal waktu yang relative tidak mengikat, kemudian tumbuh suatu industry dengan waktu yang relative cepat dengan kebiasaan cenderung individualis, disiplin kerja dan waktu kerja ditentukan, yang secara umum mengubah nilai-nilai masyarakat desa tadi, tentu akan menimbulkan konflik berupa penolakan diadakannya industry di wilayah itu. (dikutip dari situs http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik)

E.2.2 Akibat-akibat dari konflik

Konflik dapat baik dan tidak baik. Konflik berakibat tidak baik seperti : 1. Menghambat komunikasi, karena pihak-pihak yang berkonflik cenderung

tidak berkomunikasi.

2. Menghambat keeratan hubungan.

3. Karena komunikasi relative tidak ada, maka akan mengancam hubungan pihak-pihak yang berkonflik.

4. Mengganggu kerja sama.

5. Hubungan yang tidak terjalin baik, bagaimana mungkin terjadi kerjasama yang baik.


(40)

19 7. Mengganggu proses produksi, bahkan menurunkan produksi.

8. Kerja sama yang kurang baik, maka produktifitas pun rendah. 9. Menimbulkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.

10. Karena produktifitas rendah, timbullah ketidakpuasan terhadap pekerjaan. 11. Yang kemudian berakibat pada individu mengalami tekanan, mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustasi dan apatisme.

Sedangkan konflik yang tidak baik, seperti:

1. Membuat suatu organisasi hidup, bila pihak-pihak yang berkonflik memiliki kesepakatan untuk mencari jalan keluarnya.

2. Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan merupakan salah satu akibat dari konflik, yang tujuannya tentu meminimalkan konflik yang akan terjadi dikemudian hari.

3. Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan perbaikan dalam sistem serta prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.

4. Memunculkan keputusan-keputusan yang inovatif.

5. Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat. (dikutip dari situs http://zeincom.wordpress.com/2011/10/23/pkjsk/)

Sedangkan menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel jenis-jenis konflik terbagi atas :


(41)

20 1. Konflik intrapersonal.

a) Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik ini terjadi pada saat yang bersamaan memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.

2. Konflik interpersonal.

a) Konflik ini adalah konflik seseorang dengan orang lainnya karena memiliki perbedaan keinginan dan tujuan.

b) Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok, Hal ini sering kali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas yang ditekankan pada kelompok kerja mereka . Sebagai contoh seorang individu dapat dikenai hukuman karena tidak memenuhi norma-norma yang ada.

3. Konflik antar grup dalam suatu organisasi adalah suatu yang biasa terjadi, yang tentu menimbulkan kesulitan dalam koordinasi dan integrasi dalam kegiatan yang menyangkut tugas-tugas dan pekerjaan. Karena hal ini tak selalu bisa dihindari maka perlu adanya pengaturan agar kolaborasi tetap terjaga dan menghindari disfungsional.

(dikutip dari situs http://teoriorganisasiumum2012.blogspot.com/2012/12/konflik-organisasi.html)


(42)

21 E.2.3 Cara-Cara Mengatasi Konflik

Mengatasi konflik antara pihak-pihak yang bertikai tergantung pada kemauan pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalah. Selain itu juga peran aktif dari pihak luar yang menginginkan redanya konflik. Berikut adalah cara-cara untuk mengatasi konflik yang telah terjadi :

1. Rujuk

Merupakan usaha pendekatan demi terjalinnya hubungan kerjasama yang lebih baik demi kepentingan bersama pula.

2. Persuasi

Mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukan kerugian yang mungkin timbul, dan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.

3. Tawar-menawar

Suatu penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan mempertukarkan kesepakatan yang dapat diterima.

4. Pemecahan masalah terpadu

Usaha pemecahan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua belah pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternative pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.


(43)

22 5. Penarikan diri

Cara menyelesaikan masalah dengan cara salah satu pihak yang bertikai menarik diri dari hubungan dengan pihak lawan konflik. Penyelesaian ini sangat efisien bila pihak-pihak yang bertikai tidak ada hubungan. Bila pihak-pihak yang bertikai saling berhubungan dan melengkapi satu sama lain, tentu cara ini tidak dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik.

6. Pemaksaan dan penekanan

Cara menyelesaikan konflik dengan cara memaksa pihak lain untuk menyerah. Cara ini dapat dilakukan apabila pihak yang berkonflik memiliki wewenang yang lebih tinggi dari pihak lainnya. Tetapi bila tidak begitu cara-cara seperti intimidasi, ancaman, dsb yang akan dilakukan dan tentu pihak yang lain akan mengalah secara terpaksa. (dikutip dari Jurnal Derman Janner Lubis, pada situs http://zeincom.wordpress.com/2011/10/23/pkjsk/)

E.2.4. Manajemen Konflik

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya


(44)

23 adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.

Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.

(Dikutip dari situs http://pengertianmanagement.blogspot.com)

Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.

1. Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.

2. Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.

3. Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.


(45)

24 4. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.

5. Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik. Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.

Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal.

Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang


(46)

25 dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.

(dikutip dari situs http://www.gudangmateri.com/2011/06/teori-dan-manajemen-konflik.html)

E.3. Komunitas Gay

Salah satu fenomena penyimpangan sosial yang seringkali menjadi perbincangan hangat dalam masyarakat adalah homoseksualitas dimana gay termasuk di dalamnya. Populasi kaum gay yang semakin besar ternyata diiringi adanya fenomena pergeseran pandangan masyarakat mengenai homoseksualitas. Populasi kaum homoseksual yang semakin besar menunjukan eksistensi keberadaan kaum homoseksual di indonesia. Sampai dengan saat ini kaum homoseksualitas sering menjadi isu yang kontradiktif dalam masyarakat, perdebatan yang muncul mengenai homoseksualitas terkait dengan faktor penyebabnya serta bagaimana suatu kelompok masyarakat menyikapinya.

Dalam masyarakat sendiri pandangan atau sikap mengenai homoseksualitas sangat beragam, namun terlepas dari perbedaan tersebut sosiologi memberikan perhatian terhadap pelaku homoseksualitas maupun perilaku homoseksualitas itu sendiri. Dalam hakikatnya sebagai makhluk sosial manusia akan membentuk sebuah struktur ataupun sistem masyarakat, selanjutnya struktur maupun sistem dalam masyarakat tersebut akan melahirkan standar nilai maupun norma yang akan menjadi pedoman hidup bagi warga masyarakatnya. Ketika suatu kelompok maupun individu tidak mampu memenuhi standar nilai maupun norma yang berlaku dalam masyarakat, maka individu maupun kelompok tersebut akan


(47)

26 diangggap menyimpang. Homoseksualitas merupakan salah satu fenomena yang dianggap menyimpang karena seringkali berbenturan dengan standar nilai maupun norma yang ada dalam banyak kelompok masyarakat.

Adanya benturan norma sosial dalam masyarakat, membentuk sisi pemberontakan dalam kaum yang menyimpang itu sendiri. Hal yang dianggap tidak memenuhi standart nilai yang berlaku di masyarakat Timur kebanyakan, justru menjadi sebuah pergolakan di dalam masyarakat. Dimana hal tersebut diperlihatkan oleh kaum penyimpangan, berupa munculnya kongres Gay dan Lesbian yang semakin marak.

Tanpa kita sadari, pergerakan kaum LGBT khususnya Gay, sudah sangat menyebar luasnya di Indonesia. Menurut Era Muslim Media Islam Rujukan, Pada tahun 1969, di Jakarta berdiri organisasi Gay pertama yang bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Organisasi ini berdiri difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin. Juga di Solo, Pada tanggal 1 Maret 1982, organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia yang bernama Lambda Indonesia. (Era Muslim Media Islam Rujukan, 2012)

Dalam waktu singkat, terbentuklah cabang-cabangnya di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan tempat tempat lain. Akibat dari munculnya organisasi Lambda Indonesia, terjadi ledakan berdirinya organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar pada tahun 1992. Menyusul juga di tahun 1993 berdiri organisasi IGAMA di kota Malang. (Era Muslim Media Islam Rujukan, 2012)


(48)

27 Kemudian, fakta fakta dalam masyarakat dengan penolakan terhadap kaum tersebut semakin bergeser. Hal itu dibuktikan dengan semakin maraknya tontonan televise yang menghadirkan sosok atau artis dengan pembawaan seperti waria atau yang sering kita sebut dengan banci atau bencong. Secara tidak langsung, tontonan tersebut semakin “menginformasikan” kehidupan kaum gay kepada masyarakat.

Salah satunya acara Empat Mata yang dibintangi oleh komedian Tukul Arwana. Pada tanggal 16 Mei 2007, Empat Mata menghadirkan seorang gay yang bernama Dede Oetomo untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar dunia gay. Seperti yang kita ketahui, Dede Oetomoe adalah seorang aktivis Gay yang juga merupakan pendiri GAYa Nusantara di Surabaya.

Dalam perbincangan tersebut, Dede Oetomo menyebutkan hal yang diluar perkiraan penulis. Gaya Nusantara, memperkirakan sekitar 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homoseksual. Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar. Dr. Dede Oetomo memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1 persen dari total penduduk Indonesia. Kalau asumsi Dr Dede Oetomo benar, tentunya itu sebuah angka yang membelalakkan mata.

Hal tersebut semakin diperkuat dengan ditemukannya survey (2011) oleh sebuah lembaga yang menyatakan bahwa Indonesia pengguna situs Gay terbesar ke-4 setelah Amerika.


(49)

28 Gambar 2.1 Survey Populasi Gay yang Menggunakan Situs Gay

Pada awalnya istilah homoseksual digunakan untuk mendeskripsikan seorang pria yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya. Namun dalam perkembangannya, istilah homoseksual digunakan untuk mendefinisikan sikap seorang individu (pria maupun wanita) yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya. Adapun ketika seorang pria memiliki orientasi seksual terhadap sesama pria maka fenomena tersebut dikenal dengan istilah gay, sementara fenomena wanita yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya disebut lesbian. Baik gay maupun lesbian, keduanya memiliki citra yang negatif dalam masyarakat.

(Dikutip dari (http://www.e-psikologi.com/epsi/Klinis_detail.asp?id=551)

Selain dipengaruhi oleh faktor biologis, seorang pria dapat menjadi homoseksual ataupun gay dikarenakan terjadi proses sosialisasi dalam masyarakatnya. Pada dasarnya sosialisasi adalah proses pembelajaran pranata sosial masyarakat yang akan membentuk karakter dan perilaku seseorang. Ketika seorang pria tersosialisasikan oleh lingkungannya untuk menjadi seorang homoseksual maka ia akan memiliki orientasi seksual sebagai homoseksual pula. Meskipun seseorang dapat menjadi homoseksual karena lingkungannya, namun


(50)

29 dalam ruang lingkup masyarakat yang lebih besar dimana masih terdapat norma dan nilai yang menentang homoseksual maka segala bentuk perilaku homoseksual tetap dikategorikan tindakan yang menyimpang.

Sebenarnya pola peran dan tingkah laku seksual yang berkaitan dengan maskulinitas dan feminitas merupakan sesuatu yang hanya dilihat dari sudut pandang biologis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, homoseksualitas juga merupakan hasil dari proses pembelajaran seseorang tentang perilaku melalui proses sosialisasi. Dalam konteks sosialisasi maka homoseksualitas dapat dipahami dengan menggunakan tiga konsep yaitu :

1. Pengambilan peran seks

Pengambilan peran seks ini lebih pada adopsi aktif terhadap ciri-ciri perilaku seks seseorang terhadap orang lain, bukan hanya keinginan untuk mengadopsi beberapa perilaku. Pengambilan peran seks biasanya disebut dengan penolakan peran seks atau peran gender.

2. Kecenderungan peran seks

Kecenderungan peran seks yaitu keinginan seseorang untuk mengadopsi perilaku yang berhubungan dengan jenis kelamin yang sama atau jenis kelamin yang berbeda. Hal ini maksudnya yaitu suatu proses dimana seseorang mempelajari suatu peran atau jenis perilaku baik itu perilaku sesama jenis maupun perilaku yang berbeda jenis.

3. Identifikasi peran seks

Identifikasi peran seks merupakan persatuan yang nyata antara takdir peran seks dan reaksi tidak sadar bahwa takdir itu merupakan ciri-ciri


(51)

30 dari peran seks. Dengan kata lain, seseorang menghayati peran seks tertentu, mengembangkan konsep dirinya dengan jenis kelamin lain dan mengadopsi sebagian besar karakteristik perilaku jenis kelamin lain tersebut. (Drs. Jokie Siahaan, 2009: 44)

E. 4 Landasan Teori

E.4.1. Teori Penetrasi Sosial

Teori penetrasi sosial adalah teori yang menjabarkan bahwa sebuah hubungan dapat berkembang menjadi suatu hubungan interpersonal. (Kadarsih, 2009 : 1)

Teori ini kemudian dikaitkan pula dengan komunikasi. Di mana pada komunikasi, semakin sering orang bertemu dan berbicara satu sama lain, maka akan semakin banyak pula hal yang dibagi. Dalam jurnal yang ditulis oleh Ristiana Kadarsih, dijelaskan bahwa teori yang ditemukan Altman dan Taylor ini menganalogikan hubungan komunikasi manusia seperti bawang. Dalam diri manusia itu seperti bawang, lapisan terluar merupakan lapisan yang dapat dijangkau seluruh orang yang tidak dekat secara personal, akan tetapi pada teori penetrasi, perlahan-lahan dengan adanya komunikasi interpersonal yang intens, lapisan-lapisan tadi terbuka satu demi satu. Ini sama dengan bagaimana seseorang membuka diri dan berbagi dengan orang yang berhubungan secara interpersonal dengannya.


(52)

31 E.4.2. Teori Queer (Teori Homoseksualitas)

Judith Butler tidak hanya berpengaruh pada teori performa dari identitas tetapi juga pada area yang dikenal sebagai teori queer. Secara historis istilah quuer memiliki bermacam istilah. Istilah queer ini mengacu pada sesuatu yang ganjil, aneh, kacau dan bukan hal yang biasa. Seperti queerky, yang ditujukan untuk karakteristik yang negatif seperti kegilaan yang ada diluar norma norma sosial.

Asal muasal frase teori queer dirujuk dari dari Teresa de Lauretis pada tahun 1990. Yang dimana Teresa de Lauretis memiliih judul untuk sebuah konfrensi yang ia koordinasikan untuk mengacaukan kepuasan diri akan kajian lesbian dan homo. Sebagai kajian yang interdisipliner, teori queer mempertahankan misi yang mengacaukan yang telah ditunjukkan oleh de Lauretis. Dengan sengaja untuk menggoncangkan makna, kategori, dan identitas diantara gender dan seksualitas. (Littlejohn, 2009)

Gender merupakan istilah yang merujuk pada seperangkat karakteristik yang dipandang manusia sebagai hal yang membedakan antara lelaki dan wanita, dari hal biologis seperti jenis kelamin sampai dengan peran sosial dan identitas gender.

Teori Queer berusaha “membuat ganjil, memusingkan, meniadakan,

membatalkan, melebih-lebihkan pengetahuan dan institusi yang heternormative. Teori Queer mencoba “mengganggu kategori identitas dan seksualitas dengan menunjukkannya supaya menjadi konstruksi sosial yang diciptakan dalam wacana kategori yang biologis dan esensial. (Littlejohn, 2009)


(53)

32 Judith Butler menjadi penyokong dalam mengelaborasi cara cara dimana kategori tersebut dinormalkan oleh wacana hegemoni kebudayaan yang dominan. Judith Butler bertanya „pada tingkatan apa identitas dianggap ideal dan normatif dari pada fitur deskriptif pengalaman?‟.

Teori queer berakar dari materi bahwa identitas tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas bersifat historis dan dikonstruksi secara sosial. Dalam konteks teori, teori ini dapat digolongkan sebagai sesuatu yang anti identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak normal atau aneh. Dalam teori ini terdapat tiga makna intelektual dan politik, meskipun sulit membuat batasan-batasannya.

Pada intinya teori ini berkaitan dengan soal proses yang difokuskan pada pergerakan yang melintasi ide, ekspresi, hubungan, ruang dan keinginan yang menginovasi perbedaan cara hidup di dunia.

Penganut teori ini melihat besarnya implikasi sosial untuk mengadopsi model homoseksual sebagai rangka berfikir dalam studi mengenai gender dan seksualitas. Teori homoseksualitas dikenal seiring dengan penelitian mengenai gay dan lesbian, bahwa gender telah dimengerti oleh sebagian masyarakat untuk menjadi dasar guna mengatur masyarakat, dan terdapat asumsi bahwa gender dan seksualitas selain kategori baku akan masuk dalam sanksi masyarakat. Sehingga, banyak penganut teori homoseksual dan aktivis melihat label homoseks sebagai tantangan terhadap kategori identitas tradisional dan norma sosial.

Queer menjadi tempat peperangan serta pertandingan yang terus menerus dan tidak selesai. Contoh yang paling menarik dan berharga bukanlah yang terdapat didalamnya, dimana seseorang memenuhi kelayakan kita dalam


(54)

33 membentuk kategori identitas, tetapi ketika orang tersebut tidak melakukannya. Kemungkinan untuk menampilkan identitas tidak ada akhirnya, yang masing masing dari kita memilih dari acuan identitas konstruksi khusus gender, jenis kelamin, seksualitas dan identitas yang sangat pantas dengan kita. (Littlejohn, 2009)

Sementara permulaan para ahli teori queer adalah kategori kategori identitas gender dan jenis kelamin, banyak ahli yang memilih untuk tidak membatasi isi teori queer hanya pada kategori tersebut. David Hallperin menjelaskan queer sebagai „apapun yang ganjil jika dikaitkan dengan yang normal, sah dan dominan. Tidak ada suatu yang khusus yang ditunjukkan olehnya‟.

Jadi, ketika homo, lesbian, biseksual, dan transgender merupakan pokok permasalahan teori Queer, beberapa diantaranya memilih memperluas kategori untuk merangkul siapa saja yang tersisihkan atau siapa saja yang tidak sesuai dengan label heteronormative kebudayaan dominan. (Littlejohn, 2009)

E.4.3 Teori Konflik Mikro

Di antara asumsi-asumsi kaum behavioris yang paling penting adalah keyakinan bahwa akar penyebab perang itu terletak pada sifat dan perilaku manusia; dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat/penting antara konflik intrapersonal dan konflik yang merambah tata sosial eksternal. Kaum behavioris meyakini peran sentral hipotesa stimulus-respons. Penganut aliran ini berusaha mengukuhkan apakah manusia memiliki karakteristik biologis atau psikologis


(55)

34 yang akan membuat kita cenderung kea rah agresi atau konflik. Mereka juga berusaha menyelidiki hubungan antara individu dan keberadaannya di lingkungannya. Mereka ingin memperhitungkan kemungkinan, dengan cara berpikir induktif, variable-variabel khusus mengenai konflik intrapersonal dan generalisasi mengenai konflik interpersonal (antar individu) dan internasional (antar bangsa). Di antara teori-teori mikro yang paling umum/lazim yang akan kita tinjau adalah: perilaku hewani (animal behavior), teori agresi bawaan atau instinktif (instinct or innate theories of aggression), teori agresi frustasi, teori pembelajaran sosial dan teori identitas sosial.

(Dikutip dari situs http://www.scribd.com/doc/170555086/135962010-KONFLIK-Tinjauan-Teoritik)

Di kalangan kaum behavioris, para ahli biologi dan psikologi telah menggunakan studi-studi perilaku atau etologis hewan untuk menggambarkan kemungkinan adanya akibat wajar pada perilaku manusia. Manusia seringkali mengabaikan kenyataan bahwa kita adalah bagian dari dunia hewan (animal kingdom). Namun demikian, kita harus hati-hati agar tidak mengambil kesimpulan langsung mengenai perilaku manusia dari perilaku hewan. Perilaku manusia dan hewan itu adalah fenomena yang kompleks meliputi faktor-faktor pendorong motivational seperti ”kewilayahan territoriality, dominasi, sexualitas, dan kelangsungan hidup (survival)” (O‟Connell 1989:15).

Ketika memakai metoda studi hewan variabel independen yang dikaji adalah agresi. O‟Connell merencanakan ruang lingkup (parameter) konflik manusia dengan menyatakan bahwa manusia terlibat dalam konflik „predatory‟


(56)

35 (pemangsaan) dan „intraspecific.‟ Walau kedengarannya sangat aneh tetapi bukannya tidak mungkin hewan melakukan banyak sekali jenis agresi, tapi yang membedakan manusia dari dunia hewan lainnya adalah motivasi (faktor pendorong) kita.

Peperangan terorganisasi merupakan bagian dari alam sebelum manusia tiba di tempat itu. Nafsu menyerang yang terkoordinasi dan maksud politis yang jelas yang dengannya serangga-serangga sosial tertentu melakukan agresi menunjukkan bahwa, dari perilakunya, manusia bukan satu-satunya yang masuk tentara atau berperang sebagai bagian dari tentara. Namun yang menjadi kunci perbedaannya adalah motivasinya. Semut-semut berperang karena „gene‟nya menuntut mereka supaya berperang. Sebaliknya, manusia menciptakan fenomena menurut versinya sendiri. Motif itu merupakan perangkat budaya (cultural instrument), hasil imaginasinya (O‟Connell 1989:30).

O‟Connell berpendapat, manusia terlibat bermacam-macam/banyak sekali

konflik. Keragaman konflik ini ditambah dengan berbagai motivator yang memaksanya melakukan konflik. Unsur lain yang menentukan konflik manusia adalah aspek material. Seperti yang dinyatakan O‟Connell, “Baru dengan datangnya pertanian lah, kemudian politik, peperangan yang sebenarnya menjadi bagian dari pengalaman manusia. Pada saat itu ada sesuatu yang bias dicuri dan pemerintah mengorganisasikan pencurian itu” (1989:26). Meskipun studi perilaku hewan memberikan keterangan perihal perilaku manusia, tetapi itu hanya memberikan petunjuk bukan penjelasan mengenai kompleksitas konflik manusia.


(57)

36 Studi itu memberikan langkah awal yang baik, namun analisisnya melemah manakala perilaku manusia menjadi lebih kompleks dari perilaku hewan.

(Dikutip dari situs

http://sejarahdanahrizal.blogspot.com/2009_11_22_archive.html)

Para ahli psikologi awal sering berdalil bahwa ada mekanisme instink atau biologis bawaan yang membuat manusia cenderung melakukan agresi. Hal ini mengarah pada pembentukan teori instink mengenai agresi. Teori ini menggabungkan unsure-unsur studi psikologi awal (misalnya instink kematian dari Freud) dan teori-teori sosial Darwin mengenai pertarungan/peperangan untuk kelangsungan hidup (the fight for survival). Teori ini kemudian dianggap tidak bisa dipercaya oleh para ahli biologi yang tidak percaya adanya mekanisme seperti itu.

F. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada proses komunikasi dalam pengelolaan konflik yang terjadi pada sesama gay di dalam internal komunitas IGAMA maupun konflik sosial tentang keberadaan gay dalam kehidupan bermasyarakat.

G. Metode Penelitian

Dalam memecahkan masalah digunakan cara atau metode tertentu yang sesuai dengan pokok masalah yang akan dibahas secara teratur dan sistematis, agar penelitian dapat menghasilkan data-data yang positif dipercaya kebenarannya.


(58)

37 Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah interpretatif kualitatif, yaitu suatu metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode di balik tanda dan teks tersebut. Interpretatif juga dapat mengarahkan peneliti untuk mengetahui bagaimana cara masuk ke dalam dunia konseptual subjek yang diteliti dengan sedemikian rupa, sedangkan data kualitatif (data yang tidak terdiri atas angka-angka) melainkan berupa pesan-pesan non-verbal (gambar) yang terdapat dalam keseharian kaum minoritas dalan hal ini adalah kaum gay.

Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian etnografi komunikasi, karena metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan dan membangun hubungan dari kategori-kategori dan data yang ditemukan.

Etnografi berasal dari kata ethos, yaitu bangsa atau suku bangsa dan graphein yaitu tulisan atau uraian. Secara harfiah kata etnografi mengandung arti tulisan tentang suatu suku bangsa, sedangkan Engkus Kuswarno menjelaskan etnografi sebagai bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi dan Maka dapat kita uraikan bahwa etnografi pada mulanya adalah bagian dari ilmu antropologi.

Sesuai dengan dasar pemikiran etnografi komunikasi, yang menyatakan bahwa, seluruh komunikasi yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan struktur pembicaraan, dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Maka kaum gay yang mengunakan bahasa keseharian sebagai saluran sarana komunikasi, akan memiliki


(59)

38 struktur bahasa dan prilaku komunikasi tersendiri. Hal ini yang akan ditemukan dan di kaji lebih jauh dalam pendekatan etnografi komunikasi.

Etnografi dipilih peneliti sebagai metode penelitian, juga dikarenakan peneliti ingin menjabarkan serta menginterpretasikan pola perilaku, kepercayaan, nilai serta bahasa yang dipahami dan digunakan oleh suatu kelompok dalam hal ini adalah komunitas IGAMA. Dalam melakukan penelitian etnografi seorang peneliti harus membuat hubungan yang sangat dekat dengan narasumber dari obyek komunitas penelitiannya. Sehingga peneliti harus terjun langsung dalam subjek penelitian.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penelitian pola komunikasi kaum gay dalam pandangan etnografi komunikasi di sini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan gambaran global mengenai pola prilaku komunikasi kaum gay dalam pengelolaan konflik di kota Malang. Gambaran mengenai prilaku komunikasi ini akan menjelaskan bagaimana pola perilaku komunikasi kaum gay dalam internal maupun konteks sosial penggunanya, sekaligus memberikan gambaran umum bagaimana aspek sosiokultural berpengaruh dalam prilaku komunkasi anak jalanan. (Engkus Kuswarsono, Metode Penelitian Etnografi Komunikasi, 2008)

H. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan awal bulan Februari 2013 s/d selesai, dan mengambil tempat di perkumpulan Igama ataupun tempat yang telah disepakati antara peneliti dengan informan.


(60)

39 Mengigat penelitian ini dilakukan untuk keperluan skripsi, maka ketentuan waktu penelitian yang tidak boleh melebihi masa satu tahun (dua semester) tetap berlaku. Oleh karena itu, peneliti melakukan studi etnografi komunikasi mikro, selama tidak lebih empat bulan.

Idealnya, etnografi komunikasi pada kaum gay ini, diharapkan mampu memberikan gambaran bagaimana kaum gay mengkategorikan pengalamannya, menerjemahkan realita keseharian, memiliki konsep dan nilai-nilai kehidupan, sekaligus menciptakan kebudayaan yang positif bagi komunitas dan lingkungannya.

Namun karena keterbatasan waktu penelitian, sebagaimana yang disebutkan, maka etnografi komunikasi yang dilakukan hanya etnografi mikro atau etnografi kecil. Adapun aspek yang diteliti oleh peneliti adalah mencakup aspek linguistik dan keterampilan interaksi sebagai perilaku yang mudah diamati, karena tampak dari peilaku dan kebiasaan sehari-hari.

I. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang obyektif, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan melakukan studi Lapangan, yaitu suatu cara pengumpulan data dan informasi dengan jalan pengamatan secara langsung pada obyek penelitian untuk mencapai dan memperoleh data-data langsung dari anggota Igama. Studi lapangan dilakukan dengan cara:


(61)

40 a. Wawancara Mendalam

Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam (in–depth interview) merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informasi dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Peneliti dapat melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden). Sebaiknya melakukan wawancara mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif.

b. Partisipan Observer / Pengamatan Berperan Serta

Dalam teknik ini, peneliti mengamati secara keseluruhan proses dan pola komunikasi kaum gay saat berkomunikasi langsung dengan sesama gay maupun orang lain. Karena secara langsung peneliti ikut berinteraksi dan terlibat dalam komunitas kaum gay. Adapun aktifitas yang peneliti lakukan selama proses penelitian adalah, ikut berperan serta secara lengkap dan pengamatan sebagai pemeran serta.

Hal ini senada dengan apa yang telah diutarakan oleh Bufford Junker dalam Patton, bahwasanya:


(1)

Mengigat penelitian ini dilakukan untuk keperluan skripsi, maka ketentuan waktu penelitian yang tidak boleh melebihi masa satu tahun (dua semester) tetap berlaku. Oleh karena itu, peneliti melakukan studi etnografi komunikasi mikro, selama tidak lebih empat bulan.

Idealnya, etnografi komunikasi pada kaum gay ini, diharapkan mampu memberikan gambaran bagaimana kaum gay mengkategorikan pengalamannya, menerjemahkan realita keseharian, memiliki konsep dan nilai-nilai kehidupan, sekaligus menciptakan kebudayaan yang positif bagi komunitas dan lingkungannya.

Namun karena keterbatasan waktu penelitian, sebagaimana yang disebutkan, maka etnografi komunikasi yang dilakukan hanya etnografi mikro atau etnografi kecil. Adapun aspek yang diteliti oleh peneliti adalah mencakup aspek linguistik dan keterampilan interaksi sebagai perilaku yang mudah diamati, karena tampak dari peilaku dan kebiasaan sehari-hari.

I. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang obyektif, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan melakukan studi Lapangan, yaitu suatu cara pengumpulan data dan informasi dengan jalan pengamatan secara langsung pada obyek penelitian untuk mencapai dan memperoleh data-data langsung dari anggota Igama. Studi lapangan dilakukan dengan cara:


(2)

a. Wawancara Mendalam

Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam (in–depth interview) merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informasi dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Peneliti dapat melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden). Sebaiknya melakukan wawancara mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif.

b. Partisipan Observer / Pengamatan Berperan Serta

Dalam teknik ini, peneliti mengamati secara keseluruhan proses dan pola komunikasi kaum gay saat berkomunikasi langsung dengan sesama gay maupun orang lain. Karena secara langsung peneliti ikut berinteraksi dan terlibat dalam komunitas kaum gay. Adapun aktifitas yang peneliti lakukan selama proses penelitian adalah, ikut berperan serta secara lengkap dan pengamatan sebagai pemeran serta.

Hal ini senada dengan apa yang telah diutarakan oleh Bufford Junker dalam Patton, bahwasanya:


(3)

Pengamat dalam hal ini menjadi anggota penuh dari anggota atau komunitas yang diamatinya. Dengan demikian peneliti dapat memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkan, termasuk yang dirahasiakan sekalipun.

2. Pengamatan Sebagai Pemeran Serta

Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum bahkan mungkin peneliti disponsori oleh subyek penelitian. Karena itu, maka segala macam informasi termasuk rahasia sekalipun dapat dengan muda diperoleh.

Dari dua aspek inilah yang tentunya sangat membantu peneliti dalam menggali permasalahan yang sebenarnya terjadi dan mendapatkaninformasi yang berharga tentang fokus penelitian yang di teliti.teknik observasi sebagai upaya peneliti untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, menjawab pertanyaan, membantu mengerti perilaku manusia, dan evaluasi. Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.

c. Review Dokumen

Review dokumen ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui fakta dan data tersimpan dalam bentuk dokumentasi berupa surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam.


(4)

J. Informan dan Teknik Penentuan Informan

Sumber informasi yang dimaksud disini adalah orang-orang yang dianggap oleh peneliti dapat memberikan data yang diperlukan dalam penelitian, sehingga peneliti dapat mengumpulkan data dengan metode yang telah ditentukan melalui sumber informasi yang telah ditentukan sebelumnya pula. Menurut Lexy J. Molleong dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif (2001:90), informan disini adalah orang-orang yang dimanfaatkan peneliti untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.

Dalam pengambilan sampel pada sumber informasi pada penelitian ini adalah ditetapkan dengan Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan berdasarkan strata, random atau daerah tetapi berdasarkan atas tujuan tertentu. Adapun tujuan dari penentuan informan itu adalah untuk memudahkan bagi peneliti dalam mengambil ataupun menggali data yang diperlukan.

Berikut kriteria penentuan informan dalam penelitian ini:

1) Informan merupakan anggota aktif dari IGAMA selama setahun. Jangka waktu ini ditentukan oleh peneliti dengan pertimbangan selama kurang lebih setahun tersebut, informan telah melalui banyak hal dengan para anggota IGAMA dan mengerti dengan baik komunitas tersebut.

2) Informan bersedia untuk diwawancarai dan bersedia pula untuk hasil wawancara dipublikasikan ke dalam bentuk hasil penelitian skripsi.


(5)

3) Informan pernah mengalami konflik dengan sesama anggota IGAMA sehingga dapat menjelaskan bagaimana pengalamannya saat menjalani proses penyelesaian konflik tersebut di dalam komunitas.

Atau, informan pernah terlibat dalam penyelesaian konflik antar anggota IGAMA dan mengikuti proses penyelesaian konflik tersebut secara lengkap.

K. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data dalam etnografi terdiri dari : 1. Deskripsi

Deskripsi menjadi tahap pertama bagi etnografi dalam menuliskan laporan etnografinya. Pada tahap ini etnografi merepresentasikan hasil penelitiannya dengan menggambarkan secara detil obyek penelitiannya. Gaya penyampaian kronologis dan seperti narator. Dengan membuat deskripsi etnografer mengemukakan latar belakang dari masalah yang diteliti dan tanpa disadari merupakan persiapan awal menjawab penelitian.

2. Analisis

Pada bagian ini etnografer menemukan beberapa data akurat mengenai obyek penelitian, biasanya melalui tabel grafik, diagram, model yang menggambarkan obyek penelitian. Penjelasan pola-pola atau regularitas dari perilaku yang diamati juga termasuk pada tahap ini. Bentuk yang lain dari tahap ini adalah membandingkan obyek yang diteliti dengan obyek lain, mengevaluasi


(6)

dengan nilai yang umum berlaku, membangun hubungan antara obyek penelitian dengan lingkungan yang lebih besar.

3. Intepretasi.

Intepretasi menjadi tahap akhir analisa dalam penelitian etnografi. Etnografer pada tahap ini mengambil kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. (Kuswarno, 2008:68-69)

L. Teknik Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik keabsahan data Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu. Pada penelitian ini teknik keabsahan data yang digunakan adalah Triangulasi dengan sumber, yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. (Moleong. 2001: 178)