Betung mempunyai MOR 816 kgcm
2
dan MOE 1 034 kgcm
2
, sedangkan kuat tekan sejajar serat adalah 228 kgcm
2
dan 314 kgcm
2
Prosea 1995. Pada penelitian Nuriyatin 2000 penggunaan bambu sebagai bahan
konstruksi menunjukkan bahwa bambu Betung, Temen, dan Andong telah memenuhi persyaratan fisik dalam penggunaannya dalam bentuk buluh, namun
bambu Tali dan Hitam pada bagian pangkal dapat dipergunakan dalam bentuk buluh sedangkan bagian ujung dalam bentuk bilah.
Kelemahan dari penggunaan bambu sebagai komponen bahan bangunan adalah adanya buku pada buluh bambu, dimana merupakan perlemahan
khususnya MOR. Noermalicha 2001 menuliskan bahwa pada bambu Tali dan Betung hasil pengujian MOE tidak dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya buku
pada bilah laminasi, sedangkan MOR dipengaruhi oleh keberadaan buku pada bilah laminasi dan menurunkan MOR hingga 50.
2. Bambu Sembilang Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro
Bambu Sembilang mempunyai sinonim yaitu Bambusa gigantea Wallich 1814. Dibeberapa daerah, bambu Sembilang mempunyai nama lokal, antara lain
seperti buloh Betong Malaysia, bambu Sembilang Semenanjung, Wabo, Ban, Birma Myanmar , Russey prey Kamboja, Po’ Laos, Phai-po Thailand, Phai-
pok Thailand bagian utara, m[aj]nh t[oo]ng to Vietnam Prosea, 1995. Adapun dari taxonomi bambu Sembilang dapat dilihat sebagai berikut
http:www.plantamor.com :
Klasifikasi
Kingdom : Plantae tumbuhan
Subkingdom : Tracheobionta berpembuluh
Superdivisio : Spermatophyta menghasilkan biji
Divisio : Magnoliophyta berbunga
Kelas : Liliopsida berkeping satu monokotil
Sub-kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae suku rumput-rumputan
Genus : Dendrocalamus
Spesies : Dendrocalamus giganteus Kerabat dekat:
bambu Betung, bambu Batu, bambu Taiwan
Keberadaan awalasal usul dari bambu Sembilang tidak diketahui secara persis. Akan tetapi dapat dimungkinkan di bagian selatan Birma Myanmar
Tenasserim dan barat laut Thailand, serta tanam di daerah Arunachal Pradesh, Assam, Manipur, Nagaland and Bengal Barat, dan ada beberapa bagian di Negara
tersebut. Penanaman bambu Sembilang meningkat di Devisi Kurseong pada tahun 1880-1888, dan diperkenalkan pada Coorg antara tahun 1913-1924. Bambu
ini umumnya telah dibudidayakan di Srilanka, India, Bangladesh dan bagian selatan China. Di semenanjung Malaysia telah dijumpai beberapa rumpun tua
bambu Sembilang yang menyebar di Penang Hills, tetapi tidak diketahui apakah populasi ini merupakan alami atau pembudidayaan. Bambu Sembilang telah
dikenalkan dan ditanam pada beberapa kebun konservasi, seperti di Indonesia 1910, Philipina 1990, Indo-China dan Madagaskar juga diluar kebun
konservasi Prosea 1995. Bambu sembilang dapat tumbuh baik pada perbukitan maupun dataran yang banyak mengandung tanah liat, serta dapat tumbuh pada
daerah dengan ketinggian 1 200 m diatas permukaan air laut http:www. inbar. intpublicationtxttr17Dendrocalamusgiganteus.htm diunduh pada tahun 2008.
Ketinggian bambu Sembilang mencapai 24-30 m dengan diameter antara 20-30 cm, dan rata-rata tebal dinding batangnya antara 2-2.5 cm. Pada saat muda
berwarna hijau pudar, yang dilindungi dengan kulit dengan lilin putih pada saat muda. Jarak antar buku sekitar 30-50 cm dan lebih pendek pada daerah dekat akar
atau bagian bawah. Batang bambu Sembilang banyak digunakan dalam berbagai tujuan, seperti
konstruksi, perancah dan rumah di daerah perdesaan, pipa pengairan, keranjang, tiang kapal, tikar, kerai, vas bunga serta ornamen dekoratif lainnya dan industri
kertas. Di daerah Siang District of Arunachal Pradesh, Abors dan Mishmis utamanya bambu ini digunakan untuk tempat air kendi. Kulit batang bambu
bagus dibuat sebagai papan bambu, dimana ideal sebagai material dekoratif ruangan dan penggunaan lainnya seperti dinding, plafon, lantai, pintu dan lain-
lain. Tunas yang masih muda rebung dapat dimakan lembut dan empuk saat dimasak. Guha et al. 1975 dalam http:www.inbar.intpublicationtxttr17
Dendrocalamusgiganteus.htm menuliskan bahwa setelah melaksanakan penelitian tentang pulp menyimpulkan bahwa bahan baku dari bambu Sembilang
lebih bagus dari pulp kertas dengan bahan baku D. strictus. Penanaman bambu Sembilang dapat sebagai pelindung tanah dalam menahan erosi. Sebagai salah
satu spesies bambu yang paling besar mempunyai nilai eksetika yang tinggi sebagai tanaman hias.
Bambu Sembilang mempunyai panjang serat pada batangnya sangat bervariasi yaitu antara 1.4 – 4.6 mm rata-rata sekitar 2.7 mm, diameter 26 m,
diameter lumen 19 m, tebal dinding seratnya 3.9 m. Data ini mengindikasikan bahwa bambu Sembilang berkualitas sebagai bahan kertas. Kadar air KA
berkisar 19 dengan kerapatan sekitar 900 kgm
3
, dan berat jenis BJ 0.17. Sifat mekanik bambu Sembilang adalah nilai MOE kurang lebih 140 440 kgcm
2
Indonesia dan MOR 1 790 kgcm
2
Indonesia, 930 kgcm
2
dengan buku, Brazil dan 1 240 kgcm
2
tanpa buku, Brazil. Nilai kuat tekan sejajar serat rata- rata 615 kgcm2 Indonesia, 390 kgcm
2
dengan buku, Brazil, 460 kgcm
2
tanpa buku, Brazil Prosea 1995.
Laminated Veneer Lumber LVL
Pada suatu konstruksi hal yang perlu diperhatikan selain alat penyambung tentunya material struktur yang disambung, dimana merupakan bagian dari
kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Potensi kayu bermutu tinggi terus
Gambar 4 Pertunasan Bambu SembilangDendrocalamus giganteus Wallich ex Munro kiri dan rumpun yang sudah dewasa kanan.
Sumber : http:www.inbar.intpublicationtxttr17Dendrocalamusgiganteus.htm
mengalami penurunan, berhubungan dengan hal tersebut teknologi kayu terus dikembangkan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan
tinggi sebagai struktur suatu konstruksi dikenal dengan Laminated Veneer Lumber LVL. LVL pertama kali digunakan pada baling-baling pesawat udara dan bagian
lain dari pesawat yang mempunyai tegangan yang tinggi, pada masa perang dunia kedua.
Neuvonen et al. 1998 menuliskan bahwa pada periode sebelum tahun 1970-an istilah vinir sedikit banyak mempunyai sinonim dengan plywood. Hal
tersebut berubah ketika Troutner dan Herold di United State of America USA menggunakan laminasi vinir sejajar serta tanpa ada yang melintang dari bagian
lapisan teratas dan yang terbawah pada balok I untuk struktur dan memperkenalkan produksinya yang dikenal dengan TJ International USA pada
awal 1960. LVL sebagai produk olahan mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan kayu utuh. Pada kayu utuh pengaruh cacat-cacat alami kayu
sangat mempengaruhi keteguhan kayu, tetapi pada produk LVL, cacat-cacat alami kayu tersebut dapat disebar secara merata diantara lapisan vinir sehingga dapat
meminimumkan pengaruh cacat-cacat tersebut terhadap kekuatan LVL. Hasilnya adalah produk serupa kayu gergajian dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih
seragam dibandingkan kayu utuh dengan kandungan cacat yang sama Youngquist dan Bryant 1979.
LVL Pada produksinya dikhususkan untuk bahan baku konstruksi yang menerima beban struktur dengan pola penyusunan diantara vinir adalah arah serat
sejajar. Menurut Bakar 1996 dibandingkan kayu utuh atau kayu lapis, papan LVL mempunyai nilai lebih, meliputi ukuran panjang “end-less”, dapat
dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi, persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku tinggi. Sebagai perencana suatu
struktur bangunan dengan melihat keunggulan LVL dapat menggunakan LVL ini dengan sangat fleksibel dalam berbagai bentuk desain. Oleh sebab itu banyak
penelitian yang mendukung terhadap perkembangan LVL. Pengembangan dan penggunaan LVL mempunyai prospek yang sangat
baik dilatarbelakangi oleh menipisnya persediaan kayu berkualitas tinggi untuk penggunaan struktural telah mendorong dimulainya usaha pengambangan LVL
sebagai produk struktural Iman 2001. Pada pengujian mekanik dari LVL Muhadi 2005 melakukan penelitian pengujian LVL yang menunjukkan hasil
bahwa MOE
true
posisi tegak mempunyai nilai lebih besar dari MOE
true
posisi baring. Sebaliknya untuk modulus geser posisi baring lebih besar dibanding
dengan posisi tegak. Tetapi untuk MOR posisi tegak mempunyai nilai lebih besar daripada posisi baring.
Dalam suatu konstruksi interaksi antara jenis alat sambung dan bentuk sambungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai rata-rata
kekakuan lentur atau MOE dan keteguhan patah atau MOR sambungan balok LVL. Pranata 2004 memberikan hasil penelitian sambungan miring dengan
menggunakan alat penyambung kayu lapis dan perekat pada posisi pengujian vertikal memiliki kekakuan dan keteguhan yang tertinggi. Sambungan dengan
menggunakan alat sambung kayu lapis dan paku memiliki nilai kekakuan dan kekuatan yang paling rendah. Terdapat kecenderungan bahwa keberadaan
sambungan akan menurunkan kekakuan dan kekuatan lentur balok LVL. Potensi LVL yang telah disampaikan diatas perencanaan sambungan
dengan menggunakan pasak dari bambu yang mempunyai kekuatan yang dapat disandingkan dengan baja dan potensi LVL yang dapat digunakan sebagai
pengganti kayu utuh, perlu dilakukan penelitian optimal dari sambungan dengan menggunakan pasak bambu dengan komponen struktur yang disambung adalah
LVL. Hal ini dapat diyakini dengan melihat penelitian yang telah dilakukan Irmon 2005 dimana balok laminasi kayu Sengon berpasak dan dilapisi bambu
memiliki nilai kekakuan lebih tinggi daripada balok laminasi bambu saja, tetapi lebih rendah dari nilai kekakuan balok laminasi kayu Sengon tanpa pasak dan
dilapisi bambu. Dengan mendapatkan optimasi hasil kekuatan sambungan menggunakan pasak pada struktur LVL tersebut dapat memberingan angin segar
dalam bidang pemanfaatan sumber hayati yang telah mengalami krisis.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium UPT BPP Biomaterial LIPI Cibinong dan Laboratorium Laboratorium Bahan, Pusat Litbang Permukiman,
Badan Litbang PU, Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama 6 enam bulan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1.
Pasak menggunankan bambu Sembilang Dendrocalamus giganteus dan bambu Betung Dendrocalamus asper yang mempunyai umur lebih dari 3
tiga tahun. Bambu diambil dari koleksi tananam bambu Kebun Raya Bogor. 2.
LVL hasil produksi komersial PT. Sumber Graha Sejahtera SGS yang diproduksi di Balaraja, Serang mempunyai tebal 5 cm dengan tiga 3 tiga
variasi kombinasi susunan : a.
Vinir dari kayu Karet dengan perekat PF, b.
Vinir dari kombinasi kayu Karet dan Sengon dengan perekat PF, c.
Vinir dari kayu Karet dengan perekat MUF. Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Universal Testing Machine
UTM merk Shimadzu dan Tokyokoki; 2.
Alat pemotong dan pembelah bambu; 3.
Kempa dingin 4.
Alat pembubut pasak; 5.
Oven; 6.
Kaliper; 7.
Waterbath ;
8. Neraca analitik.
Metodologi Penelitian
1. Persiapan bahan
a. Bahan untuk Pasak :
Dua jenis Bambu yaitu bambu Sembilang Dendrocalamus giganteus dan bambu Betung Dendrocalamus asper dipotong dan dikeringkan kurang
lebih tiga minggu hingga mencapai kondisi KA kering udara yaitu ± 12. Setiap batang bambu dihilangkan kulit dan buku. Ketebalan dinding batang
bambu yang diambil adalah ± 3 – 6 mm dari dinding luar yang berhimpit dengan kulit, dengan target BJ lebih dari 0,6.
b. Bahan untuk LVL
LVL dengan 3 komposisi, merupakan produk komersial. Ketiga jenis tersebut dengan spesifikasi sebagai berikut :
1. LVL A yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat PF;
2. LVL B yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 10 vinir Karet dan 12 vinir Sengon dengan perekat PF;
3. LVL C yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat MUF.
2. Pengujian sifat fisik mekanik bahan
a. Sifat fisik bambu yang diuji adalah kadar air KA dan kerapatan, berat
jenis BJ. Metode yang dipakai untuk pengujian sifat fisik berdasarkan International Standard Organization
ISO 22157-1:2004E Bamboo- Determination of Physical and Mechanical Properties, Part 1:
Requirements. Sifat mekanik diperoleh dengan pengujian bending yang
menghasilkan Modulus of Elasticity MOE dan Modulus of Rupture MOR berdasarkan American National Standard ANSIASTM D 790-
71:1978 Standard Test Methods for Flexural Properties of and Electrical Insulating Materials.
Persiapan contoh dilakukan dengan mengambil bangian bambu ± 9 m dari mulai pangkal. Potongan tersebut menjadi tiga
bagian untuk mewakili bagian bawah B, tengah T dan atas A dengan panjang masing ± 3 m. Dari masing-masing lokasi B, T dan A diambil 2
lokasi sebagai ulangan, sehingga terdapat sebaran enam titik dari bawah sampai atas untuk pengujian sifat fisik mekaniknya. Pembuatan contoh
uji dilakukan dengan menghilangkan kulit serta bukunya yang selanjutnya disayat setebal ± 1 mm dari luar menuju ke dalam tebal
dinding bambu. Semua lapisan akan diuji sifat fisik dan mekaniknya, dengan 3 kali ulangan untuk setiap contoh uji.
1. Pengujian Kadar Air KA
Penentuan kadar air bambu dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dengan berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai
berat konstan pada suhu 100 ± 3
o
C. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus :
.................
1
Keterangan : KA = Kadar air
m = Berat awal contoh uji g m
= Berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven g dengan akurasi 0,01 g
2. Pengujian Berat Jenis BJ
Penetapan BJ dilakukan dengan membandingkan kerapatan bambu dengan kerapatan air. Dalam perhitungan kerapatan untuk penentuan
berat jenis tersebut, berat contoh uji yang digunakan adalah berat kering oven. Penentuan kerapatan bambu dihitung berdasarkan berat
dan volume kering udara dengan menggunakan rumus :
……………….. 2
Keterangan : ρ
= Kerapatan gcm
3
m = Berat contoh uji kering udara g V = Volume contoh uji kering udara cm
3
3. Pengujian Modulus of Rupture MOR
Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE. Pengujian dilakukan dengan pembebanan terpusat pada bagian tengah
contoh uji dengan menggunakan UTM merek Shimadzu dengan
m ρ
= V
m – m KA =
x 100 m
kecepatan 0.8 mmmenit. Jarak sangga yang digunakan adalah ±15 x tebal contoh uji. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 5.
MOR dihitung dengan menggunakan rumus : 3Pl
MOR =
........................... 3
2bh
2
Keterangan : MOR = Modulus of Rupture kgfcm
2
l = Bentang cm
P = Beban maksimum kgf
h = Tebal contoh uji cm
b = Lebar contoh uji cm
Gambar 5 Pembebanan pengujian MOR dan MOE.
4. Pengujian Modulus of Elastiscity MOE
Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan
defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :
b h
b Contoh uji
Beban
L l
L : Panjang contoh uji l : Bentang ± 15 x tebal cm
h : Tebal contoh uji b : Lebar contoh uji
Pl
3
MOE =
....................... 4
4bh
3
Y Keterangan
: MOE = Modulus of Elasticity kgfcm
2
l = Bentang cm
P = Beban sebelum batas proporsi kgf
∆ Y
= Lenturan pada beban P h
= Tebal contoh uji cm b
= Lebar contoh uji cm
b.
Pengujian fisik mekanik LVL berdasarkan Standar SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian kadar air,
kerapatan, delaminasi struktural dan non struktural, pengujian geser horizontal tegak dan datar, MOE, MOR serta pengujian emisi
formaldehide. Contoh uji dipotong sesuai standar dan mempunyai
masing-masing 3 ulangan.
1. Pengujian KA dan kerapatan
Pada penentuan KA dan kerapatan ini menggunakan perhitungan seperti dengan formulasi 1 dan 2
2. Pengujian Delaminasi
Pengujian delaminasi untuk menentukan keteguhan rekat ini dilakukan dua jenis yaitu uji delaminasi non struktural dan struktural.
a. Pengujian delaminasi struktural dilakukan dengan merendam
contoh uji ke dalam air dengan suhu 70
o
C ± 3
o
C selama 2 jam, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60
o
C ± 3
o
C sampai KA contoh uji kurang dari 8. Selanjutnya diukur
delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan.
b. Pengujian delaminasi non struktural dilakukan dengan merendam
contoh uji ke dalam air dingin selama 24 jam, kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60
o
C ± 3
o
C selama 24 jam. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap
sisi kemudian dijumlahkan.
Penentuan nisbah delaminasi dalam didapat dengan formulasi berikut :
……………. 5
3. Pengujian Geser Horisontal
Pengujian geser horisontal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beban terhadap kekuatan lapisan vinir dan garis rekat. Pengujian ini
dilakukan pada dua posisi, yaitu tegak dan datar seperti yang ditunjukkan pada gambar 6 dan pembebanan tepusat seperti pada
gambar 4. Contoh uji diletakkan tegak atau datar dengan jarak sangga 4 kali tebal, sedangkan panjang contoh uji 6 kali tebal. Beban yang
diberikan dengan laju maksimum 150 kgcm
2
tiap menit sampai contoh uji patah. Keteguhan horizontal dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
Keterangan : B’ = Beban maksimum kg
L = Lebar cm pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji T = Tebal cm pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji
4. Pengujian Modulus of Rupture MOR
Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan patah yang dapat ditahan dengan
memberi pembebanan dua titik beban pada LVL. Contoh uji diletakkan
…………… 6
Gambar 6 Posisi benda uji LVL Tegak kiri dan benda uji Datar kanan.
tegak dan datar seperti pada gambar 6 dengan jarak sangga yang digunakan adalah ±21 x tebal contoh uji, sedangkan panjang contoh uji
23 kali tebal. Laju maksimum pembebanan yang diberikan adalah 150 kgcm
2
tiap menit. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 7. MOR dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
MOR = Modulus of Rupture kgfcm
2
B’ = Beban maksimum kgf
S = Jarak sanggabentang cm
L = Lebar contoh uji cm, pada pengujian tegak, sama dengan
tebal contoh uji T
= Tebal contoh uji cm, pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji
P = Panjang contoh uji cm
5. Pengujian Modulus of Elastiscity MOE
Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan
T Contoh uji
Beban 1 Beban 2
13 S 13 S
13 S
P S
L
Gambar 7 Pengujian MOR dan MOE dengan dua titik pembebanan.
…………… 6
defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :
Keterangan : MOE = Modulus of Elasticity kgfcm
2
S = Jarak sanggabentang cm
L = Lebar contoh uji cm, pada pengujian tegak, sama dengan
tebal contoh uji T
= Tebal contoh uji cm, pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji
B = Perbedaan batas atas dan batas bawah dalam selang batas
proporsional D
= Defleksi pada bagian tengah jarak sangga sesuai dengan B 6.
Pengujian Emisi Formaldehide Pengukuran emisi formaldehida sesuai dengan metoda botol Wilhelm
Klaunitz Institute WKI. Prinsip dari metode ini adalah contoh uji
yang berukuran 2,5 cm x 2,5 cm ditimbang untuk menentukan nilai kadar air. Kemudian, contoh yang lain dengan ukuran yang sama
diikatkan pada tutup botol WKI Gambar 8.a yang telah berisi air dan disimpan pada suhu 40
o
C selama 24 jam. Setelah itu larutan dalam botol WKI direaksikan dengan larutan asetil aseton-amonium asetat
kemudian dipanaskan dalam penangas air Gambar 8.b bersuhu 60- 70
o
C selama 10 menit. Larutan diukur absorbansnya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 412 nm untuk menentukan
konsentrasi larutan dengan cara membandingkan dengan larutan
standar formalin.
…………… 7
a b
Gambar 8 a. Botol WKI; b.Shaking Water bath.
3. Pembuatan pasak bambu
Pasak bambu yang akan digunakan sebagai alat penyambung terbuat dari bambu laminasi, disusun dari vinir bambu. Penelitian sifat dasar bambu
digunakan sebagai dasar penentuan ketebalan vinir. Pasak disusun oleh vinir dengan ketebalan ± 3 mm serta perekat jenis polyurethane PU dengan berat
labur 280 gm
2
menggunakan kempa dingin. Pasak yang dibuat mempunyai diameter 10 mm dan 15 mm, dengan bahan baku bambu Betung dan bambu
Sembilang. Proses pembuatan pasak dimulai dengan pembuatan papan laminasi bambu dengan ukuran 400 x 400 x 12 mm, untuk pasak diameter 10
mm Gambar 9, dan papan dengan ukuran 400 x 400 x 18 mm, untuk diameter 15 mm. Laminasi bambu ini tersusun dari strip bambu dengan tebal 3
mm, lebar 10 mm dan panjang 40 cm. Panjang strip disesuaikan dengan panjang antar buku. Laminasi bambu dibuat diawali dengan pembuatan
lapisan-lapisan yang disusun vinir bambu dengan tebal 3 mm. Setelah pengeringan selama 24 jam, lapisan vinir tersebut disusun dengan sejajar arah
serat dengan susunan zigzag seperti pada pemasangan batu bata sebanyak 4 lapis untuk pasak 10 mm dan 6 lapis untuk pasak 15 mm. Setelah masa
pengeringan ± 1 minggu, papan laminasi dipotong-potong sejajar serat dengan lebar ± 15 - 18 mm Gambar 10 yang selanjutnya dilakukan pembubutan
sesuai diameter yang diinginkan Gambar 11.
Gambar 9 Lembaran papan laminasi bambu, yang terdiri dari 4 dan 6 lapis vinir bambu dengan tebal masing-masing 3 mm untuk dowel 10 dan 15 mm.
4. Pengujian pasak bambu
Pasak bambu yang merupakan produk laminasi akan diuji sifat fisik yang meliputi pengujian KA, kerapatan, kembang susut, MOE dan MOR
berdasarkan SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina dengan formulasi telah diuraikan seperti sebelumnya. Sifat mekanik dimana data yang diperoleh
dipergunakan untuk mendesain sambungannya adalah momen leleh yield moment
berdasarkan ISOTC 165SC N537:2007 Timbers Structures-Dowel- type fasteners-Part 1
: Determination of yield moment dan kuat tumpu pasak dowel embedding strength berdasarkan ISOTC 165SC N538:2007. Timbers
Structures-Dowel-type fasteners-Part 2 : Determination of embedding strength
and foundation values
Gambar 10 Pemotongan laminasi bambusejajar serat dengan lebar 15 – 18 mm.
Gambar 11 Pembubutan pasak sesuai diameter dan dipotong sesuai kebutuhan.
a. Pengujian Yield Moment M
y
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui beban maksimum yang diterima pasak, dimana pasak akan melendut dengan sudut kurang lebih 45
o
. Penentuan nilai yield moment dilakukan dengan pembebanan dua titik
gaya tekan pada pasak seperti pada Gambar 12, dengan ketentuan bahwa
1
dan
3
panjangnya paling sedikit 2d. Panjang
2
antara d dan 3 d. Adapun nilai yield moment dapat diperoleh dengan perumusan sebagai berikut :
Keterangan : My
= Yield moment kgfcm F
max
= Beban maksimum kgf l
= Jarak antar tumpuan cm l
2
= Jarak antar beban cm
b. Pengujian Dowel Embedding Strength
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan mekanik pasak dimana hasil pengujian menunjukkan kuat batas kayu di sekeliling lubang
yang terbebani tekan oleh pasak Gambar 13. Penentuan nilai embedding strength
daidapat dengan perumusan sebagai berikut :
Keterangan : f
h
= Embedding strength kgfcm
2
Gambar 12. Pengujian yield moment dengan dua titik pembebanan
d Contoh uji
Beban 1 Beban 2
1 2
3
……… 8
…………… 9
F
max
= Beban maksimum kgf d
= Diameter pasak cm t
= Tebal kayu penumpu cm
5. Perencanaan desain sambungan
Sambungan yang dibuat adalah sambungan dengan dua bidang geser. Jumlah pasak n yang digunakan berdasarkan pendekatan 4 model kerusakan
EUROCODE 5 dan sebagai kontrol adalah sambungan baut dengan diameter 10 mm. Empat model kerusakan EN 1995-1-1: 2004
EUROCODE 5 dengan persamaan tegangan leleh yang terjadi, yaitu menggambarkan karakteristik
kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser disajikan dalam gambar 14. Persamaan pendekatan keempat model
dapat dilihat pada persamaan 10 sampai dengan persamaan 13.
Gambar 13 Pengujian Embedding strength.
t
1
t
2
t
1
Gambar 14 Model mode kerusakan sambungan tipe pasakbaut pada dua dinding geser.
Persamaan Model I :
Persamaan Model II :
Persamaan Model III :
Persamaan Model IV :
Dimana : F
v, Rk
: kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser kgf
t
1
: tebal balok pengapit cm t
2
: tebal balok utama cm f
h
: Embedding strength kgfcm
2
, bisa didapat dengan EUROCODE 5 persamaan 8.31 dan 8.32, untuk beban dengan sudut α terhadap
serat
f
h,0,k
: Embedding strength pada sejajar serat ρ
: density balok D
: diameter pasakbaut cm
…………… 10
…………… 11
…………… 12
…………… 13
…………… 14
…..……… 15
M
y
: Yield moment kgfcm, bisa didapat dengan EUROCODE 5 persamaan 8.30
f
u,k
: tegangan tarik pasakbaut kgfcm
2
β : rasio perbandingan antara Embedding strength pada balok utama
terhadap balok pengapit
6. Pengujian mekanik sambungan
Pengujian yang dilakukan dengan uji tarik sambugan untuk pengetahui lendutansesaran yang diterima oleh bautpasak terhadap beban yang
dikenakan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine UTM merk Tokyokoki berdasarkan ASTM D 5652 : Standard Test Methods for
Bolted Connection in Wood and Wood-Based Products
Gambar 15 Pengujian tekan sambungan dengan UTM merek Tokyokoki kiri dan data logger
kanan.
Analisis Statistika
a. Analisis pengujian sifat fisis mekanis LVL dan bambu
Analisis yang digunakan untuk pengujian sifat fisik mekanik bahan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Sederhana Simple Random
Sampling , dengan formulasi sebagai berikut :
ij i
ij
Y
ε τ
µ
+ +
=
…………… 16
…………… 17
…………… 18
dimana : i
= 1,2,3 jenis LVL atau bambu j
= 1,2,3 ulangan Y
ij
= respon dari jenis ke-i serta ulangan ke-j = rata-rata umum
τ
i
= pengaruh perlakuan ke-i ε
ij
= galat dari perlakuan ke-i serta ulangan ke-j b.
Analisis pengujian sifat fisis dan mekanis pasak bambu Analisis pengujian sifat fisik mekanik pasak bambu menggunakan
Rancangan Faktorial dalam RAL, dengan formulasi sebagai berikut :
ijk ij
j i
ijk
Y
ε τκ
κ τ
µ
+ +
+ +
=
Dimana : i
= 1,2 jenis bambu j
= 1,2 besar diameter k
= 1,2,3,4,5 ulangan Y
ijk
= respon dari jenis ke-i, kelompok ke-j serta ulangan ke-k µ
= rata-rata umum τ
i
= pengaruh jenis ke-i κ
j
= pengaruh kelompok ke-j τκ
ij
= pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan kelompok ke-j ε
ijk
= galat dari perlakuan ke-i, kelompok ke-j, serta ulangan ke-k c.
Analisis pengujian mekanik sambungan Analisis perilaku sambungan menggunakan Linear Model The Two Stages
Nested Design Nested Design , dengan formulasi sebagai berikut :
=
= =
+ +
+ =
r k
b j
a i
y
ijk i
j i
ijk
,..., 2
, 1
,..., 2
, 1
,..., 2
, 1
ε β
τ µ
…………… 19
…………… 20
dimana : Y
ijk
= pengamatan dari faktor A ke-i, faktor B ke-j, serta ulangan ke-k
µ = rataan umum
τ
i
= pengaruh faktor A ke-i β
ji
= pengaruh faktor B ke-j tersarang dari faktor A ke-i ε
ijk
= pengaruh acak dari faktor A ke-i, faktor B ke-j serta ulangan ke-k
Faktor A = variasi bambu dan variasi diameter pasak Faktor B = variasi jumlah pasak dalam sambungan
i = 1,2,3,4 , yaitu :
1
. Betung dengan Ø 10 mm,
2
. Betung dengan Ø 15 mm,
3 . Sembilang dengan Ø 10 mm,
4
. Sembilang dengan Ø 15 mm; j
= 1,2,3,…..12, yaitu :
1
. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 4,
2 . Betung dengan Ø 10 mm jumlah 6,
3
. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 8,
4 . Betung dengan Ø 15 mm jumlah 4,
5.
Betung dengan Ø 15 mm jumlah 6
6.
Betung dengan Ø 15 mm jumlah 8,
7.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 4,
8.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 6,
9.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 8,
10.
sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 4,
11. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 6