Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi pada Struktur Laminated Veneer Lumber (Lvl)
KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK
BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR
LAMINATED VENEER LUMBER
(LVL)
YETVI ROSALITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009 Yetvi Rosalita NRP E251070041
(3)
Connection on Laminated Veneer Lumber (LVL) Stucture). Under the direction of NARESWORO NUGROHO and BAMBANG SUBIYANTO.
In building structure design, connection is one of concerning matter that can’t be neglected. The objective of the research is to optimize the connection design on LVL structure using bamboo dowel as fastener. Type of bamboo used to make dowel were Sembilang (Dendrocalamus giganteus) and Betung (Dendrocalamus asper) with specific gravity more than 0,6. Sembilang and Betung have similar properties, more over the properties of bamboo dowel produced by both type of bamboo is the same. The best properties of LVL was LVL A which composed of rubber wood veneer and glued with PF adhesive. That LVL was utilized as structure component to be connected with the bamboo dowel. Connection design was utilizing the Mode III from Eurocode 5, which has the lowest value also indicate the most critical mode. From mathematical calculation, to substitute bolt with 10 mm of diameter, 4 bamboo dowels with 15 mm of diameter or 8 bamboo dowels with 10 mm of diameter are needed. Based on that calculation, number of dowel used in this research were 4, 6 and 8. Those calculation was proven by compression testing on proportional limit load (Pp)
point. Different strength was also observed in the case of multiple dowels versus single dowel. Dowels with diameter of 10 mm has 37-55% reduction value, and dowels with diameter of 15 mm has 17-46% reduction value campared to a single dowel. There were 45-75% increased of strength at yield load, Py poin,t than at
ultimate load, Pu point.
(4)
Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL). Dibimbing oleh NARESWORO NUGROHO dan BAMBANG SUBIYANTO.
Kekuatan pada struktur bangunan merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam perancangan suatu konstruksi. Simpul atau sambungan dalam struktur merupakan titik kritis yang mempengaruhi kekuatan. Sambungan pada umumnya menggunakan konektor paku atau baut, yang tentunya mempunyai kelebihan serta kekurangan. Fakta memperlihatkan bahwa bangunan kuno dengan konstruksi kayu yang menggunakan pasak sebagai konektor masih berdiri kokoh meski telah berusia puluhan tahun. Besi dan baja merupakan hasil tambang yang tidak terbarukan sehingga pasak berbahan hayati yang terbarukan dapat digunakan sebagai pilihan. Kayu keras dengan mutu tinggi keberadaannya semakin menurun sehingga dimungkinkan dicari alternatif bahan yang dapat menggantikan kayu sebagai bahan baku pasak. Beberapa jenis bambu mempunyai potensi sebagai pengganti kayu, meskipun tidak dipungkiri bambu mempunyai banyak kelemahan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya jenis bambu yang mempunyai potensi sebagai komponen bahan bangunan. Bambu Betung dan Sembilang dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi karena kekuatan cukup tinggi dan kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja.
Selain memperhatikan alat sambungnya, maka material/bahan struktur yang disambung merupakan bagian dari kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi adalah Laminated Veneer Lumber (LVL). LVL dapat diproduksi dari kayu cepat tumbuh dengan diameter kecil serta kualitas yang rendah, tetapi dapat menghasilkan produk dengan kekuatan mekanis yang setara dengan kayu utuh. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan desain sambungan yang optimal pada struktur LVL yang menggunakan pasak bambu sebagai konektornya berdasarkan variasi diameter dan jumlah pasak dalam menahan gaya tekan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk pasak menggunankan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang mempunyai umur lebih dari 3 (tiga) tahun yang diambil dari koleksi tananam bambu Kebun Raya Bogor. Dinding batang bambu yang digunakan mempunyai berat jenis (BJ) diatas 0.6. Perekat yang digunakan untuk pembuatan pasak bambu laminasi adalah Polyurethan merek KOYO BOND dengan berat labur 280 g/m2 produksi PT. KOYOLEM INDONESIA, Gunung Putri Bogor. LVL yang digunakan merupakan hasil produksi komersial PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) dengan lokasi di Balaraja, Serang, Banten dengan tiga (3) komposisi yaitu LVL A mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat PF, LVL B mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 10 vinir Karet dan 12 vinir Sengon dengan perekat PF, LVL C mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat MUF.
Hasil penelitian yang didapat adalah karakteristik bambu, karakteristik LVL, karakteristik pasak bambu laminasi, perhitungan desain sambungan serta hasil pengujian mekanik sambungan. Karakteristik bambu nilai BJ lebih besar dari
(5)
pada saat dijadikan produk komposit yaitu pasak bambu mempunyai propertis yang hampir sama. LVL yang mempunyai propertis terbaik adalah LVL A, yaitu yang disusun oleh venir kayu karet dengan perekat PF sehingga LVL A inilah yang dipilih dalam simulasi sambungan. Perencanaan sambungan dengan pendekatan Eurocode 5, dan model III mempunyai nilai paling rendah sehingga mengindikasikan model yang paling kritis. Hasil perthitungan menghasilkan n = 4 dan n = 8 untuk pasak diameter 15 mm dan 10 mm yang dapat mensubtitusi baut 10 mm. Sehingga jumlah pasak yang digunakan untuk variabel adalah 4, 6 dan 8. Hasil pendekatan matematis ini telah dibuktikan tren hasil pengujian tekan dengan memperhatikan titik Pp. Penambahan pasak dalam dalam sambungan telah
mereduksi kekuatannya pada saat pemakaian tunggal. Pasak dengan diameter 10 mm mempunyai nilai reduksi antara 37 – 55% , sedangkan reduksi untuk pasak diameter 15 berkisar antara 17 – 46%. Kekuatan yang diperoleh pada saat Py
(6)
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(7)
KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK
BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR
LAMINATED VENEER LUMBER
(LVL)
YETVI ROSALITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(8)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo., MSF, PhD
(9)
LAMINATED VENEER LUMBER (LVL)
Nama : Yetvi Rosalita
NRP : E251070041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Prof(R). Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Agr
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
(10)
limpahan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL)” dapat diselesaikan antara lain berkat bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Bapak Prof (R). Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Agr sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing, memberikan masukan dan saran yang terkait dengan penelitian ini, serta semangat guna terselesaikannya tesis ini. Bapak Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo., MSF, PhD sebagai penguji luar komisi dan Dr.Ir. Lina Karlinasari, S.Hut.M.Sc.F selaku moderator sidang tesis yang juga memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
2. PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) dan PT. KOYOLEM INDONESIA dimana telah membantu penyediaan LVL dan perekat Polyurethan yang digunakan pada penelitian ini. Pusat Litbang Permukiman(Puslitbangkim), Badan Litbang PU, Bandung, khususnya ditujukan kepada Ibu Dr. Ir Anita Firmati selaku Ka. Puslitbangkim dan sodara Dani Cahyadi serta staf Laboratorium Bahan Puslitbangkim yang telah memberikan batuan fasilitas pengujian mekanik sambungan. Kebun Raya Bogor, khususnya Bapak Jati beserta staff yang telah membantu penyediaan bambu.
3. Seluruh keluarga besar UPT BPP Biomaterial LIPI atas dukungan, khususnya Team Workshop, Teguh Darmawan, Bang Jayadi, Pak Saefulloh, Ismadi, Ismail, Pak Sapri, Pak Endis, Bang Manto, Fazar, yang memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. Rekan-rekan di Laboratorium Konstruksi yang telah memberikan semangat.
4. Antech’07, terima kasih atas kebersamaan, dorongan dan bantuannya selama perkuliahan, penelitian dan penyelesaian tesis ini. Serta seluruh sahabat penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas semangat dan doanya. 5. Ibu Indah Sulistyawati dan Bapak Sucahyo yang telah menyediakan waktu
serta pemikirannya guna berdiskusi dengan penulis tentang hal yang terkait dengan penelitian penulis demi terselesaikannya tesis ini.
6. Ayahanda H. Sunarto Sapto Admodjo, Ibunda Hj. Soedarmiati, Ibu Mertua Hj. Sutriatin, terima kasih setulus hati penulis ucapkan atas segenap dukungan baik moril dan spiritual, doa yang tiada putusnya. Seluruh kakak-kakak, ponakan-ponakan atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.
7. Suami Finisha Sistin Hardanto, ananda Khansa dan Radith tercinta, terima kasih atas doa, kasih sayang, pengorbanan dan dukungannya selama penulis menjalani studi dan melaksanakan penelitian. Keberadaan mereka merupakan anugerah terindah serta pemberi semangat terbesar dalam kehidupan penulis.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
(11)
KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK
BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR
LAMINATED VENEER LUMBER
(LVL)
YETVI ROSALITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(12)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009 Yetvi Rosalita NRP E251070041
(13)
Connection on Laminated Veneer Lumber (LVL) Stucture). Under the direction of NARESWORO NUGROHO and BAMBANG SUBIYANTO.
In building structure design, connection is one of concerning matter that can’t be neglected. The objective of the research is to optimize the connection design on LVL structure using bamboo dowel as fastener. Type of bamboo used to make dowel were Sembilang (Dendrocalamus giganteus) and Betung (Dendrocalamus asper) with specific gravity more than 0,6. Sembilang and Betung have similar properties, more over the properties of bamboo dowel produced by both type of bamboo is the same. The best properties of LVL was LVL A which composed of rubber wood veneer and glued with PF adhesive. That LVL was utilized as structure component to be connected with the bamboo dowel. Connection design was utilizing the Mode III from Eurocode 5, which has the lowest value also indicate the most critical mode. From mathematical calculation, to substitute bolt with 10 mm of diameter, 4 bamboo dowels with 15 mm of diameter or 8 bamboo dowels with 10 mm of diameter are needed. Based on that calculation, number of dowel used in this research were 4, 6 and 8. Those calculation was proven by compression testing on proportional limit load (Pp)
point. Different strength was also observed in the case of multiple dowels versus single dowel. Dowels with diameter of 10 mm has 37-55% reduction value, and dowels with diameter of 15 mm has 17-46% reduction value campared to a single dowel. There were 45-75% increased of strength at yield load, Py poin,t than at
ultimate load, Pu point.
(14)
Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL). Dibimbing oleh NARESWORO NUGROHO dan BAMBANG SUBIYANTO.
Kekuatan pada struktur bangunan merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam perancangan suatu konstruksi. Simpul atau sambungan dalam struktur merupakan titik kritis yang mempengaruhi kekuatan. Sambungan pada umumnya menggunakan konektor paku atau baut, yang tentunya mempunyai kelebihan serta kekurangan. Fakta memperlihatkan bahwa bangunan kuno dengan konstruksi kayu yang menggunakan pasak sebagai konektor masih berdiri kokoh meski telah berusia puluhan tahun. Besi dan baja merupakan hasil tambang yang tidak terbarukan sehingga pasak berbahan hayati yang terbarukan dapat digunakan sebagai pilihan. Kayu keras dengan mutu tinggi keberadaannya semakin menurun sehingga dimungkinkan dicari alternatif bahan yang dapat menggantikan kayu sebagai bahan baku pasak. Beberapa jenis bambu mempunyai potensi sebagai pengganti kayu, meskipun tidak dipungkiri bambu mempunyai banyak kelemahan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya jenis bambu yang mempunyai potensi sebagai komponen bahan bangunan. Bambu Betung dan Sembilang dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi karena kekuatan cukup tinggi dan kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja.
Selain memperhatikan alat sambungnya, maka material/bahan struktur yang disambung merupakan bagian dari kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi adalah Laminated Veneer Lumber (LVL). LVL dapat diproduksi dari kayu cepat tumbuh dengan diameter kecil serta kualitas yang rendah, tetapi dapat menghasilkan produk dengan kekuatan mekanis yang setara dengan kayu utuh. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan desain sambungan yang optimal pada struktur LVL yang menggunakan pasak bambu sebagai konektornya berdasarkan variasi diameter dan jumlah pasak dalam menahan gaya tekan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk pasak menggunankan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang mempunyai umur lebih dari 3 (tiga) tahun yang diambil dari koleksi tananam bambu Kebun Raya Bogor. Dinding batang bambu yang digunakan mempunyai berat jenis (BJ) diatas 0.6. Perekat yang digunakan untuk pembuatan pasak bambu laminasi adalah Polyurethan merek KOYO BOND dengan berat labur 280 g/m2 produksi PT. KOYOLEM INDONESIA, Gunung Putri Bogor. LVL yang digunakan merupakan hasil produksi komersial PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) dengan lokasi di Balaraja, Serang, Banten dengan tiga (3) komposisi yaitu LVL A mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat PF, LVL B mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 10 vinir Karet dan 12 vinir Sengon dengan perekat PF, LVL C mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat MUF.
Hasil penelitian yang didapat adalah karakteristik bambu, karakteristik LVL, karakteristik pasak bambu laminasi, perhitungan desain sambungan serta hasil pengujian mekanik sambungan. Karakteristik bambu nilai BJ lebih besar dari
(15)
pada saat dijadikan produk komposit yaitu pasak bambu mempunyai propertis yang hampir sama. LVL yang mempunyai propertis terbaik adalah LVL A, yaitu yang disusun oleh venir kayu karet dengan perekat PF sehingga LVL A inilah yang dipilih dalam simulasi sambungan. Perencanaan sambungan dengan pendekatan Eurocode 5, dan model III mempunyai nilai paling rendah sehingga mengindikasikan model yang paling kritis. Hasil perthitungan menghasilkan n = 4 dan n = 8 untuk pasak diameter 15 mm dan 10 mm yang dapat mensubtitusi baut 10 mm. Sehingga jumlah pasak yang digunakan untuk variabel adalah 4, 6 dan 8. Hasil pendekatan matematis ini telah dibuktikan tren hasil pengujian tekan dengan memperhatikan titik Pp. Penambahan pasak dalam dalam sambungan telah
mereduksi kekuatannya pada saat pemakaian tunggal. Pasak dengan diameter 10 mm mempunyai nilai reduksi antara 37 – 55% , sedangkan reduksi untuk pasak diameter 15 berkisar antara 17 – 46%. Kekuatan yang diperoleh pada saat Py
(16)
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(17)
KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK
BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR
LAMINATED VENEER LUMBER
(LVL)
YETVI ROSALITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(18)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo., MSF, PhD
(19)
LAMINATED VENEER LUMBER (LVL)
Nama : Yetvi Rosalita
NRP : E251070041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Prof(R). Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Agr
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
(20)
limpahan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL)” dapat diselesaikan antara lain berkat bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Bapak Prof (R). Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Agr sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing, memberikan masukan dan saran yang terkait dengan penelitian ini, serta semangat guna terselesaikannya tesis ini. Bapak Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo., MSF, PhD sebagai penguji luar komisi dan Dr.Ir. Lina Karlinasari, S.Hut.M.Sc.F selaku moderator sidang tesis yang juga memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
2. PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) dan PT. KOYOLEM INDONESIA dimana telah membantu penyediaan LVL dan perekat Polyurethan yang digunakan pada penelitian ini. Pusat Litbang Permukiman(Puslitbangkim), Badan Litbang PU, Bandung, khususnya ditujukan kepada Ibu Dr. Ir Anita Firmati selaku Ka. Puslitbangkim dan sodara Dani Cahyadi serta staf Laboratorium Bahan Puslitbangkim yang telah memberikan batuan fasilitas pengujian mekanik sambungan. Kebun Raya Bogor, khususnya Bapak Jati beserta staff yang telah membantu penyediaan bambu.
3. Seluruh keluarga besar UPT BPP Biomaterial LIPI atas dukungan, khususnya Team Workshop, Teguh Darmawan, Bang Jayadi, Pak Saefulloh, Ismadi, Ismail, Pak Sapri, Pak Endis, Bang Manto, Fazar, yang memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. Rekan-rekan di Laboratorium Konstruksi yang telah memberikan semangat.
4. Antech’07, terima kasih atas kebersamaan, dorongan dan bantuannya selama perkuliahan, penelitian dan penyelesaian tesis ini. Serta seluruh sahabat penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas semangat dan doanya. 5. Ibu Indah Sulistyawati dan Bapak Sucahyo yang telah menyediakan waktu
serta pemikirannya guna berdiskusi dengan penulis tentang hal yang terkait dengan penelitian penulis demi terselesaikannya tesis ini.
6. Ayahanda H. Sunarto Sapto Admodjo, Ibunda Hj. Soedarmiati, Ibu Mertua Hj. Sutriatin, terima kasih setulus hati penulis ucapkan atas segenap dukungan baik moril dan spiritual, doa yang tiada putusnya. Seluruh kakak-kakak, ponakan-ponakan atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.
7. Suami Finisha Sistin Hardanto, ananda Khansa dan Radith tercinta, terima kasih atas doa, kasih sayang, pengorbanan dan dukungannya selama penulis menjalani studi dan melaksanakan penelitian. Keberadaan mereka merupakan anugerah terindah serta pemberi semangat terbesar dalam kehidupan penulis.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
(21)
yang berbahagia ayahanda H. Sunarto Sapto Admodjo dan Ibunda Hj. Soedarmiati. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sarjana sejak tahun 1991 di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Malang dan lulus pada tanggal 14 September 1996.
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, penulis telah berkesempatan mempunyai beberapa pengalaman bekerja yaitu sebagai staff Unit Pelaksana Proyek IPB tahun 1996-1997, sebagai Dosen Tidak Tetap, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pakuan tahun 1996 – 2001, sebagai staff Research and Development PT Jaya Konstruksi tahun 1997 – 1998, sebagai staff peneliti Pusat Standar Dan Sistem Mutu LIPI tahun 1998 – 2003, dan yang terakhir sebagai staff peneliti UPT BPP Biomaterial LIPI mulai tahun 2003 – Sekarang. Sejak tahun 2003 penulis berkesempatan bergabung menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI).
Pada tanggal 14 Oktober 2001 penulis menikah dengan Finisha Sistin Hardanto dan telah dikarunia satu putri dengan nama Kynthia Khansa Assyafi, 7 tahun dan satu putra dengan nama Radithya Rizqulloh Assyafi, 5 tahun.
(22)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………... xiii
DAFTAR GAMBAR ………. x iv
DAFTAR LAMPIRAN ………. xvii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……….… 1
Perumusan Masalah ……….……… 4
Kerangka Pemikiran ……….……… 4
Tujuan Penelitian ……….………... 5
Manfaat Penelitian ……….………..…………. 5
Hipotesis ……….……….. 6
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Sambungan ………..……….…...…... 7
Risalah Bambu ………..………..…………. 8
Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex
Heyne) ……….………..………... 14
Bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus Wallich ex
Munro) ……….. 16
Laminated Veneer Lumber (LVL) ………..………. 18 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu ………..………... 21
Bahan dan Alat ……… 21
Metodologi Penelitian ………..…... 22
Persiapan bahan ………....……... 22
Pengujian sifat fisik mekanik bahan ………..……… 22
Pembuatan pasak bambu ………..………. 29
Pengujian pasak bambu ……… 30
Perencanaan desain sambungan .……… 32
Pengujian mekanik sambungan ……… 34
Analisis Statistika ………. 34
(23)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bambu ……….... 38 Kadar Air (KA) dan Berat Jenis (BJ) ……….. 38 Modulus of Elasticity (MOE)dan Modulus of Rupture (MOR) 42 Struktur Anatomi ……… 46 Karakteristik LVL ……… 49
Kadar Air (KA) dan Kerapatan ……….……… 49
Delaminasi ………. 50
Geser Horisontal ……… 51
Modulus of Rupture (MOR) ……….. 52 Modulus of Elasticity (MOE) ……… 54
Emisi Formaldehide ……….. 56
Karakteristik Pasak Bambu Laminasi .……… 57
Kadar Air (KA) dan Kerapatan ……….……… 57
Modulus of Elasticity (MOE)dan Modulus of Rupture (MOR) 59
Kembang Susut ……….. 61
Perhitungan Desain Sambungan ………. 63
Pengujian Sambungan Pasak Bambu ………. 64
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ………. 72
Saran ………... 72
DAFTAR PUSTAKA ………..……… 74
(24)
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Nilai rata-rata berat jenis (BJ) dan kadar air (KA) bambu ………… 38 2. Jumlah ikatan vaskuler pada setiap lokasi pengujian ……….. 39 3. Dimensi serat pda bambu Betung dan Sembilang ……..………. 47 4. Nilai kadar air dan kerapatan dari 3 jenis LVL ………... 49 5. Syarat mutu produk-produk kayu lapis, papan partikel, papan serat,
dan LVL ……….. 56
6. Nilai Pvalue dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian KA dan
kerapatan ……….. 59
7. Nilai Pvalue dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian MOE dan
MOR …..……….. 61
8. Nilai Pvalue dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian kembang dan
susut ………. 62
9. Hasil pengujian embedding Strength dan Bending 4 Point loading … 63 10. Hasil perhitungan empat model kerusakan ……….. 63 11. Nilai Pvalue dari sidik ragam dengan ANOVA pengujian tekan sambungan
(25)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Diagram tegangan regangan bambu baja (Morisco 1999) ……….…. 3 2. Tunas/rebung dari bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes
f.)Backer ex Heyne) (kiri) dan ujung-ujung akar yang masih muda
(kanan) ………... 15
3. Satu rumpun bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) dengan usia lebih dari 10 tahun ……….. 15 4. Pertunasan Bambu Sembilang(Dendrocalamus giganteus Wallich ex
Munro) (kiri) dan rumpun yang sudah dewasa (kanan) ……… 18 5. Pembebanan pengujian MOR dan MOE ... 24 6. Posisi benda uji LVL Tegak (kanan) dan benda uji Datar (kiri) ….. 26 7. Pengujian MOR dan MOE dengan dua titik pembebanan ... 27
8. a. Botol WKI; b.Shaking Water bath ………. 28
9 . Lembaran papan laminasi bambu, yang terdiri dari 4 lapis vinir
bambu dengan tebal masing-masing 3 mm (untuk pasak 10 mm) ... 29 10. Pemotongan laminasi bambu sejajar serat dengan lebar 15-18 mm .. 30 11. Pembubutan pasak sesuai diameter dan dipotong sesuai kebutuhan ... 30 12. Pengujian yield moment dengan dua titik pembebanan ………. 31
13. Pengujian Embedding strength ……….... 32
14. Model (mode) kerusakan pada sambungan tipe pasak/baut pada dua
dinding geser ……….. 32
15. Pengujian tekan sambungan dengan UTM dan data logger ………… 34 16 Diagram sebaran proporsi ikatan vaskuler (dalam%) ……….... 38 17. Diagram sebaran BJ bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang 40 18. Diagram sebaran BJ bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu
(26)
19. Diagram sebaran MOE bambu Betung setiap lapisan dalam satu
batang ………... 43
20. Diagram sebaran MOE bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu
batang ……….. 43
21. Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Betung …... 44 22. Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Sembilang ... 44 23. Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Betung …... 45 24. Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Sembilang ... 45 25. Sebaran MR pada bambu Betung dan Sembilang dengan BJ lebih
besar dari 0,5 ………... 46
26. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian atas ………… 48 27. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian tengah ……… 48 28. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian bawah ..……… 48 29. Histogram pengujian delaminasi pada 3 jenis LVL ……… 51 30. Histogram pengujian geser horizontal pada 3 jenis LVL ……… 51
31. Histogram pengujian MOR pada 3 jenis LVL ……… 53
32. Histogram pengujian MOE pada 3 jenis LVL ………….……… 54 33. Pola kerusakan pada pengujia bending dari 3 jenis LVL ……… 55 34. Hasil pengujian kadar air pasak bambu ………... 58
35. Hasil pengujian kerapatan pasak bambu ………. 58
36. Hasil pengujian MOR pasak bambu ……….………... 59
37. Hasil pengujian MOE pasak bambu ……….... 60
(27)
39. Desain sambungan ………... 64 40. Klasifikasi pola hasil pengujian tekan sambungan ……….. 65 41. Hasil pengujian tekan sambungan dalam pengamatan tiga titik
pembebanan ………. 66
42. Grafik hubungan defleksi/sesaran terhadap beban, ada pengujian
tekan sambungan ………. 67
43 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada saat pengujian bending .. 69 44 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada saat pengujian
Embedding Strength ……… . 70
45 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada saat pengujian tekan
sambungan ………... 71
(28)
P E N D A H U L U A N
Latar Belakang
Kekuatan pada suatu struktur bangunan merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam merancang suatu konstruksi, baik konstruksi yang terbuat dari kayu, beton, baja maupun material bangunan yang lain. Simpul-simpul atau biasa disebut sambungan dalam struktur merupakan suatu yang kritis yang mempengaruhi kekuatan. Sambungan pada umumnya menggunakan konektor seperti paku maupun baut. Sambungan yang menggunakan konektor berbahan logam mempunyai kelebihan serta kekurangan. Yap (1964) mengemukakan bahwa kekakuan sambungan-sambungan paku dan pasak tidak mencapai kekakuan yang tinggi seperti sambungan perekat yang mempunyai efisiensi 100% sebagaimana kayu tanpa sambungan. Penggunaan alat-alat sambung lainnya seperti pasak, paku dan baut mempunyai efisiensi masing-masing sebesar 60%, 50% dan 30%. Ghavami dalam Lindholm (2007) telah membandingkan konstruksi bambu dengan baja menunjukkan bahwa pada konstruksi baja membutuhkan energi lebih 50 kali dibandingkan bambu. Bambu merupakan suatu alternatif yang bagus untuk mengantikan baja dalam menerima beban tarik. Hal ini berkaitan bahwa bambu mempunyai 6 kali lebih tinggi dari hasil bagi antara gaya tarik dan berat jenis (BJ) dibanding baja. Pada saat kelembaban meningkat maka sifat fisik dan mekanik juga ikut meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut bambu merupakan sumber daya yang ramah lingkungan
Fakta memperlihatkan bahwa bangunan kuno yang mempunyai konstruksi kayu dengan menggunakan konektor pasak masih berdiri kokoh meskipun telah berusia puluhan tahun. Melihat hal tersebut teknologi yang menghasilkan konektor pasak terus dikembangkan, karena tegangan-tegangan sekundernya lebih rendah. Pasak menurut Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI) (1961) harus menggunakan bahan kayu yang keras, besi atau baja. Besi dan baja merupakan hasil tambang yang tidak terbarukan sehingga pasak berbahan hayati yang terbarukan dapat digunakan sebagai pilihan. Namun demikian, kayu keras dengan mutu tinggi keberadaannya semakin menurun dengan berjalannya waktu, sehingga dimungkinkan dicari alternatif bahan yang dapat menggantikan kayu
(29)
tersebut sebagai bahan pasak. Penggunaan pasak berbahan kayu mempunyai manfaat yaitu konsumsi energi yang rendah dan aman terhadap kondensasi dibanding berbahan logam (Fukuyama, 2008)
Bambu merupakan sumber hayati yang sangat melimpah, dan mudah hidup di segala jenis lahan sehingga keberadaannya sangat mudah kita temui. Beberapa jenis bambu mempunyai potensi sebagai pengganti kayu, meskipun tidak dipungkiri bambu mempunyai banyak kelemahan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya jenis bambu yang mempunyai potensi sebagai komponen bahan bangunan, baik komponen dekoratif maupun struktur. Menurut hasil penelitian Syafi’i (1984) bahwa bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) mempunyai Modulus of Rupture (MOR) dan Modulus of Elasticity (MOE) tertinggi dibanding Gombong, Kuning dan Tali, dengan nilai 1 824 kg/cm2 dan 1 638 kg/cm2 untuk MOE serta 143.21 kg/cm2 dan 131.19 kg/cm2 untuk nilai MOR. Data tersebut menunjukkan bahwa sangat potensial untuk dikembangkan sebagai komponen bahan bangunan. Nuriyatin (2000) telah melakukan penelitian sifat dasar bambu 5 jenis bambu yaitu Andong (Gigantochloa psedoarundinacea), Temen (Gigantochloa atter), Hitam (Gigantochloa atroviolacea), Tali (Gigantochloa apus), dan Betung (Dendrocalamus asper). Hasil penelitian tersebut menunjukkan keteguhan tekan dan kekakuan bambu Betung mempunyai nilai paling tinggi dibanding keempat jenis bambu lainnya, yaitu 206.68 kg/cm2 dan 18.7 x 104 kg/cm2. Berdasarkan sifat mekanis yang dipunyai, maka bambu Betung dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi, tetapi yang harus tetap diperhatikan adalah nilai BJ yang tercermin oleh persentase dan distribusi sklerenkim sebagai karakteristik sifat dasarnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa bambu-bambu mempunyai kekuatan cukup tinggi, sehingga kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja.
Beberapa penelitian telah dilakukan tentang pemanfaatan bambu sebagai pasak atau komponen struktur yaitu pengganti besi atau baja. Subiyanto et al. (2004) telah melakukan penelitian pembuatan pasak dari bambu Betung, Tali dan Gombong dengan menganalisa kekuatan pasak yang dipengaruhi sifat mekanis bambu penyusunnya. Pasak yang terbuat dari bambu Betung mempunyai keteguhan patah tertinggi, dibandingkan bambu Tali dan bambu Gombong.
(30)
Morisco dalam Taurista (2005) telah melakukan penelitian dengan membandingkan tulangan beton dengan baja dengan tulangan bambu. Hasilnya menunjukkan bahwa kuat tarik kulit bambu Ori mempunyai nilai cukup tinggi hampir mencapai 5000 kg/cm2, sedangkan kuat tarik rata-rata bambu Betung juga melebihi tegangan luluh baja. Hal ini digambarkan pada Gambar 1 dibawah.
Gambar 1 Diagram tegangan regangan bambu baja (Morisco 1999). Morisco dalam Helmy, 2009 menyatakan bahwa sebatang bambu dewasa berumur 3-5 tahun memiliki kekuatan tarik hingga 480 MPa (Mega Pascal—satuan tegangan tarik). Hasil itu lebih tinggi dibandingkan baja yang hanya memiliki kekuatan tarik 370 MPa.
Selain memperhatikan alat sambungnya, maka material/bahan struktur yang disambung merupakan bagian dari kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi adalah Laminated Veneer Lumber (LVL). Dibandingkan kayu utuh atau kayu lapis, LVL mempunyai nilai lebih, antara lain meliputi ukuran panjang end-less, dapat dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi, persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku tinggi (Bakar 1996). LVL dapat diproduksi dari kayu cepat tumbuh dengan diameter kecil serta kualitas yang rendah, tetapi dapat menghasilkan produk dengan kekuatan mekanis yang setara dengan kayu utuh.
Dalam penelitian ini telah digunakan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) sebagai bahan pasak
(31)
dengan variasi ukuran dan jumlah pemakaian. LVL sebagai material yang disambung tersusun dari bahan baku yang berasal dari kayu cepat tumbuh (kayu Karet dan Sengon) hasil dari hutan tanaman, sedangkan perekat yang digunakan adalah PF (Phenol Formaldehyde) dan MUF (Melamine Urea Formaldehyde) yang mempunyai kelebihan tahan terhadap air.
Perumusan Masalah
Keberadaan kayu dengan kualitas dan kuantitas yang memadai untuk pemakaian struktur semakin berkurang, sehingga teknologi peningkatan kayu terus dikembangkan guna menghasilkan kayu olahan yang dapat mensubstitusi kebutuhan akan kayu utuh. Pemanfaatan kayu cepat tumbuh dengan diameter kecil sangat efektif sebagai bahan baku pembuatan LVL.
Kekuatan struktur sangat dipengaruhi oleh kondisi sambungan selain dari material strukturnya itu sendiri. Keberadaan alat penyambung berbahan logam dengan mudah dapat ditemui di pasaran, tetapi tidak dipungkiri konektor logam ini mempunyai kelebihan serta kekurangan. Logam merupakan bahan yang tidak terbarukan, sehingga perlu dicari alternatif bahan konektor yang terbarukan guna mengeliminir kekurangannya. Bambu mempunyai kekuatan tarik yang tinggi, sehingga dapat dijadikan bahan baku alternatif dalam pembuatan konektor (pasak). Namun demikian masih diperlukan penelitian untuk mendapatkan pasak bambu yang mempunyai sifat sebanding dengan konektor logam (baut).
Penelitian ini diharapkan dapat mencari optimasi sambungan yang menggunakan pasak sehingga dapat diaplikasi pada konstruksi yang menggunakan LVL. Sasaran dari penelitan ini adalah mendapatkan desain sambungan struktur terbarukan dengan menggunakan pasak pada LVL sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (2002).
Kerangka Pemikiran
Menurut SNI 01-6240-2000, LVL adalah suatu produk yang diperoleh dengan cara menyusun sejajar serat lembaran vinir yang diikat dengan perekat. Berdasarkan penggunaannya LVL dibagi menjadi dua tipe yaitu LVL non struktural dan LVL struktural. LVL struktural adalah yang dalam penggunaannya
(32)
memikul beban dan tebalnya minimal 25 mm. LVL inilah yang dapat menggantikan kayu utuh hasil gergajian.
Penggunaan LVL memerlukan teknologi sambungan yang sesuai sehingga menghasilkan struktur yang kuat. Konektor (fastener) logam seperti besi dan baja telah banyak digunakan pada konstruksi bangunan kayu modern yang mudah didapat dipasaran dan dengan harga yang murah. Namun sebagai bahan tambang, logam dihasilkan dari sumber yang non-renewable. Salah satu cara mengurangi ketergantungan terhadap besi dan baja adalah beralih ke bahan yang lebih terjamin ketersediaannya (Surjokusumo 2003). Penggunaan bahan yang renewable seperti kayu dan bambu sebagai bahan bangunan alternatif merupakan pilihan yang bijak. Penggunaan sambungan dengan pasak bambu mempunyai defleksi paling besar pada saat beban maksimum dibanding sambungan dengan baut dan paku, hal ini menunjukkan bahwa tingkat keselamatan sambungan dengan bambu lebih baik karena membutuhkan waktu yang lebih lama mengalami kerusakan (Subiyanto 2004). Menurut Morisko (2006), bambu mempunyai kekuatan yang cukup tinggi, kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja. Sekalipun demikian kekuatan bambu yang tinggi ini belum dimanfaatkan dengan baik karena biasanya batang-batang struktur bambu dirangkaikan dengan pasak atau tali yang kekuatan lebih rendah.
Penelitian mengenai LVL dengan alat sambung pasak perlu terus dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian aplikasi teknologi yang menggunakan LVL dari kayu tropis sebagai komponen struktur serta pasak bambu sebagai konektornya dengan desain sambungan tertentu.
Tujuan Penelitian
Mendapatkan desain sambungan yang optimal pada struktur LVL dan menganalisis konektor pasak yang terbuat dari bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) berdasarkan variasi diameter dan banyaknya pasak dalam menahan gaya tekan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi teknis tentang teknologi sambungan struktur LVL dengan konektor pasak bambu.
(33)
Hipotesis
Penggunaan pasak bambu laminasi dengan jumlah dan diameter tertentu diduga dapat menghasilkan kekuatan mekanis sambungan pada LVL sebanding dengan kekuatan sambungan pada kayu utuh dengan sebuah baut diameter 10 mm sebagai alat penyambung.
(34)
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Sambungan
Sambungan merupakan suatu yang tidak bisa terelakkan pada saat kita membangun suatu konstruksi, baik konstruksi yang terbuat dari kayu, beton, baja maupun material bangunan yang lain. Sambungan bisa didefinisikan adalah proses penyatuan dua atau lebih unsur atau material dalam rangka menambah suatu panjang atau bidang. Perkuatan utama suatu konstruksi terletak dari kekuatan sambungan pada simpul strukturnya selain dari bahan penyusun struktur tersebut. Desain sambungan didasarkan pada nilai kekuatan pada sebuah alat penyambung yang telah dimodifikasi dengan geometri sambungan dan kondisi penggunaannya (Soltis et al. 1985). Yap (1964) mengemukakan bahwa konstruksi kayu merupakan ilmu yang berkembang dan telah dikenal sejak permulaan abad ke 20 di Jerman, sampai saat ini perkembangannya masih terus dilakukan melalui transisi kajian dari ilmu pengetahuan kayu trandisional menuju ilmu pengetahuan berdasarkan pendekatan matematis yang sudah lama dikenal pada konstruksi baja dan beton.
Sambungan kayu tanpa alat-alat sambungan merupakan cara menyambungkan kayu tertua. Semua gaya disalurkan dari kayu yang satu ke kayu yang lain (Frick et al. 2003). Pada sistem sambungan dengan perekat mempunyai efisiensi 100% sebagaimana kayu tanpa sambungan (Yap 1964). Penggunaan alat-alat sambung lainnya seperti pasak, paku dan baut mempunyai efisiensi berurutan sebagai berikut, yaitu 60%, 50% dan 30%. Baut dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan meskipun mempunyai effisiensi paling rendah dan deformasi yang besar. Sambungan paku dan pasak tidak mencapai kekakuan setinggi pada sambungan perekat, hal ini adalah suatu keuntungan karena tegangan-tegangan sekunder lebih rendah. Perkembangan alat penyambung sampai saat ini merupakan penyempurnaan kekuatan dari alat-alat penyambung sebelumnya. Seperti yang saat ini telah dikenal dengan pelat paku (gang nail), pelat penyambung yang berfungsi sebagai perkuatan dari penggunaan paku sebagai alat penyambung.
(35)
Pasak mempunyai efisiensi terbesar kedua setelah perekat. Material pasak menurut PKKI (1961) harus menggunakan bahan kayu yang keras, besi atau baja. Besi dan baja merupakan hasil tambang yang tidak terbarukan, untuk itu pasak berbahan kayu maupun sejenisnya yang merupakan produk hayati yang terbarukan, pengembangan sampai saat ini masih terus diteliti. Soltis el al. (1987) menuliskan bahwa kekuatan lateral pada suatu sambungan berhubungan erat dengan berat jenis, diameter pasak dan arah pembebanan yang terjadi. Kayu keras dengan mutu tinggi keberadaannya semakin menurun dikarenakan banyak hal, sehingga dimungkinkan dicari alternatif bahan hayati yang dapat menggantikan kayu tersebut sebagai bahan pasak.
Risalah Bambu
Bambu merupakan sumber hayati yang sangat melimpah, dimana sangat mudah hidup di segala jenis lahan dan mempunyai potensi sebagai pengganti kayu. Bambu tidak dipungkiri mempunyai banyak kelemahan, akan tetapi bambu merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan mempunyai banyak manfaat. Bambu merupakan salah satu anggota suku Poaceae atau rumput-rumputan yang berkayu, karena bambu mempunyai karakteristik batang seperti kayu. Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui beberapa jenis bambu yang mempunyai potensi sebagai komponen bahan bangunan, baik komponen struktur maupun non struktur.
Pada saat ini diperkirakan lebih dari 1000 jenis atau spesies bambu yang dimiliki dari kurang lebih 80 genus yang ada di dunia ini, dan sekitar 200 spesies dari 20 genus yang telah ditemukan di Asia Tenggara (Prosea 1995). Bambu terdapat pada daerah tropis, sub-tropik dan daerah yang bersuhu sedang dari semua benua kecuali Eropa dan Asia Barat, mulai dari daerah yang rendah sampai 4000 m diatas permukaan laut. Sekitar separuh jenis bambu berkembang di Asia, utamanya di Indo-Birma. Bambu dapat tumbuh secara berumpun pada daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia, sedangkan pada daerah sub-tropika bambu akan tumbuh secara monopodial. Batangnya yang berlubang mempunyai beberapa ruas dan buku-buku, dimana setiap bukunya tumbuh akar dan cabang baru, sehingga dimungkinkkan pembudidayaan dengan stek batang.
(36)
Genus bambu seperti Dendrocalamus dan Gigantochloa merupakan bambu asli dari Asia (Prosea 1995). Sekitar 29 spesies dari genus Dendrocalamus tumbuh di Asia Tenggara, utamanya terdapat pada dataran rendah dari bagian India sampai Indo-China dan semenanjung Malaysia. D. Asper (Schultes f.) Backer ex Heyne dapat tumbuh disepanjang wilayah, dari dataran yang rendah sampai 1500 m diatas permukaan laut, meskipun asalnya tidak diketahui. Gigantochloa dengan sekitar 24 spesies utamanya mengitari wilayah dari mulai Birma (Myanmar), Indo-China sampai semenanjung Malaysia. Telah dicatat bahwa hanya satu jenis spesies Gigantochloa asli dari Jawa, sedangkan yang lain diyakini telah dikenal di daratan Asia selama migrasi penduduk dari utara.
Bambu merupakan tanaman yang unik. Pada umur kurang lebih empat tahun pertama, bambu belum menampakkan pertumbuhannya yang penting, akan tetapi pada saat itulah akar-akar bambu tumbuh subur. Pada tahun kelima, setelah pertumbuhan akarnya selesai, barulah batang bambu akan muncul. Tumbuh, menjulang ke atas langit. Bambu adalah satu-satunya tanaman di Asia Pasifik yang fungsinya sangat banyak. Berdasar klasifikasinya, bambu tergolong dalam tanaman rumput, tapi bambu adalah rumput spektakuler karena tingginya dapat mencapai 30 meter. Bambu juga merupakan tanaman yang sangat fleksibel. Kita jarang menyaksikan bambu roboh di tengah tumbangnya pohon-pohon lain akibat serangan angin puting beliung, bambu tetap kokoh tak bergeming. Hal tersebut dikarenakan karena selain akarnya yang kuat, juga batangnya yang ikut bergoyang bersama angin. Sementara itu, pohon-pohon lain dengan batang lebih besar, justru tidak kuat menghadapi ganasnya angin. (http://www.hrexcellency.com/ subweb/articles/ articles02.html diunduh pada tahun 2008).
Selain sebagai unsur keindahan alam, bambu sebagai material mempunyai beberapa karakteristik yang sangat menarik dalam hal effisiensi dan nilai ekonomis. Widianto Utomo dalam situsnya www.widiantoutomo.blogspot.com tahun 2007menuliskan beberapa kelebihan bambu, antara lain yaitu :
a. Merupakan tumbuhan cepat tumbuh (dengan siklus pendek);
b. Dapat digunakan sebagai substitusi/menggantikan kayu dan juga kerusakan yang ditimbulkan pada saat pemanfaataannya lebih rendah dibandingkan pada saat menggunakan kayu;
(37)
c. Mempunyai kekuatan seperti kayu, harga yang lebih murah dibanding kayu tetapi mempunyai kelebihan dapat berbagai aplikasi penggunaannya menarik dalam hal efisiensi;
d. Merupakan sumber alam yang dapat diperbaharui; e. Mempunyai nilai ekonomi yang bagus;
f. Membutuhkan biaya yang rendah untuk pembudidayaan, karena tidak diperlukan penanaman ulang;
g. Dapat tumbuh di beberapa jenis tanah;
h. Biaya rendah dalam hal proses produksi dan dapat digunakan berbagai tujuan; i. Tidak diperlukan paku untuk sambungan;
j. Merupakan material yang komplek, hampir semua bagian bambu dapat digunakan (batang, daun dan rebung);
k. Merupakan material yang mempunyai inner-beauty yang belum tampak semuanya.
Bambu selain mempunyai keunggulan material, terdapat pula kelemahan. Kelemahan bambu antara lain diuraikan sebagai berikut :
a. Lama penggunaan material lebih singkat dibanding kayu; b. Lebih komplek dari kayu dalam hal proses dan perawatan; c. Mudah belah sehinga tidak cocok dipaku;
d. Lebih gampang pecah dibanding kayu selama pemrosesan.
Pemanfaatan bambu dapat juga dilihat dalam aspek ekologi maupun tujuan desain pengunaan pada umumnya. Sebagai material desain ekologi bambu adalah bahan baku yang dapat diperbaharui, dapat melindungi habitat alam, dapat di daur ulang dan mudah di buang, mempunyai emisi rendah dan memerlukan energi yang sedikit dalam pemrosesan serta bersahabat dan aman bagi lingkungan. Sedangkan ditinjau dari desain yang berkaitan dengan karakteristiknya, bambu mempunyai sifat antara lain equitability, yaitu dapat mudah diperoleh seseorang tanpa melihat status sosial (murah), mempunyai sifat lentur, yaitu dapat digunakan untuk beberapa aplikasi yang berbeda. Bambu juga mempunyai sifat sederhana dan intuisi, yaitu material sederhana dimana keindahan ditampakkan dari tekstur serta karakteristik alam dari setiap bambu.
(38)
Bambu merupakan bahan baku yang luas dalam penggunaannya, mulai dari mainan sampai dengan alat musik. Penggunaan bambu antara lain sebagai berikut : sebagai alat musik seperti organ bambu, sebagai elemen interior seperti laminasi, vinir, lantai (parquet), dinding, plafon (baik lurus maupun melengkung), furnitur dan lampu. Bambu dapat dikombinasi dengan material lain sebagai produk baru tanpa menghilangkan sifat alaminya, dipergunakan untuk keperluan hidup sehari-hari (pakaian dan produk kebersihan), produk dekoratif dimana mempunyai nilai jual yang bagus ketika mempunyai nilai keindahan sebagai produk seni. Bambu dapat pula digunakan sebagai mainan utamanya untuk anak cacat, khususnya penggunaan tekstur dan kemungkinan mampu menstimulasi pengguna untuk berinteraksi dengan produk tanpa pemandu.
Bambu mempunyai karakter dimana memerlukan pemahaman yang bagus dan interaksi antar bambu, seperti alat, keahlian manusia dalam proses dan produk akhir yang ingin dibuat. Bambu merupakan bahan yang kuat dan juga material lembut dimana diperlukan kehati-hatian dan perhatian untuk menemukan keindahan dibalik produknya (sebagai bahan baku). Di beberapa negara seperti Belanda, Jerman, Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin, bangunan bambu dikenal sebagai bangunan yang eksotik, kuat, tahan lama, dan tahan terhadap pengaruh gempa. Kalau masyarakat Indonesia ingin meniru bangunan bambu di negara-negara maju tersebut, maka bambu yang akan digunakan untuk bahan bangunan dan teknologi konstruksinya harus baik pula (Morisco 2005).
Huichi & Kurz dalam Prosea (1995) menyatakan bahwa bambu yang hadir dengan kekuatannya, kelurusannya, keringanannya, ukurannya yang bervariasi, kemudahan dalam pengerjann dan masa tumbuhnya yang pendek sangat ideal untuk berbagai keperluan meskipun setiap tujuan mempunyai persyaratan tertentu. Hal ini disebabkan potensi/sifat-sifat dasar yang dimiliki setiap jenis bambu berbeda sehingga perlu dievaluasi. McClure dalam Nuryatin (2004) mengungkapkan bahwa batang bambu dalam peranannya sebagai bahan konstruksi mempunyai beberapa karakteristik tertentu yang bersifat membatasi/mengurangi kesesuaian pengunaan namun dapat diminimalkan.
Menurut McClaure, sifat-sifat yang menentukan kegunaan terbaik bambu adalah sebagai berikut :
(39)
1. Rata-rata dimensi bambu; 2. Keruncingan batang; 3. Kelurusan batang;
4. Ukuran dan distribusi cabang; 5. Panjang ruas batang;
6. Bentuk dan proporsi ruas; 7. Ketebalan dinding batang;
8. Proporsi jaringan yang relatif berbeda; 9. Kerapatan dan kekuatan kayu;
10.Kemudahan diserang jamur dan serangga.
Sifat fisik bambu meliputi kadar air, berat jenis, penyusutan akan diuraikan sebagai berikut. Kadar air pada batang bambu mempunyai peranan yang penting dan dapat memberikan pengaruh pada sifat mekaniknya. Kadar air batang pada bambu yang sudah dewasa dan masih segar sekitar 50-90% dan yang belum dewasa antara 80 – 150%, sedangkan bambu yang telah dikeringkan berkisar 12-18%. Kadar air dari bagian bawah menuju ke atas dan pada usia 1-3 akan meningkat, sedangkan pada usia lebih dari 3 tahun kadar airnya akan menurun. Tentunya musim penghujan meningkatkan kadar air dibandingkan musim kemarau. Kerapatan dari bambu berkisar 600-900 kg/m3 pada kadar air 12%. Penyusutan yang terjadi pada bambu tidak seperti pada kayu. Penyusutan pada bambu dimulai setelah proses penebangan tetapi penyusutan yang terjadi tidak seragam. Penyusutan yang terjadi pada ketebalan dinding batang dan diameter (Liese 1985, pada Prosea 1995). Pada bambu dewasa dengan pengeringan sampai kadar air 20%, penyusutan mencapai 4-14% pada tebal dinding dan 3-12% pada diameter. Penyusutan arah radial lebih kecil dibanding arah tangensial, tetapi penyusutan bagian dalam dinding bambu lebih besar dibanding bagian luar.
MOE berhubungan langsung dengan jumlah sklerenkim/vascular bundle, untuk itu pada batang MOE bambu meningkat dengan semakin menurunnya kadar air dan mempunyai korelasi positif dengan berat jenis. MOE merupakan indikasi rasio perbandingan antara tegangan lentur bahan dan deformasi yang disebabkan tegangan lentur tersebut, hasilnya menggambarkan kekakuan dari material yang diuji. Nilai tinggi yang diperoleh akan semakin menurun dari dinding yang terluar
(40)
menuju ke dalam. Bambu dengan kondisi kering udara rata mempunyai MOE sekitar 17 000 – 20 000 N/mm2 dan pada kondisi segar/basah antara 9 000 – 10 100 N/mm2. MOR mengindikasikan tegangan patah/putus pada serat pada saat beban maksimum. MOR batang bambu tanpa buku yang dihasilkan antara 72 - 94 N/mm2, dengan buku berkisar 84 - 129 N/mm2. MOR mempunyai nilai kira-kira 0.14 x berat jenis (dalam kg/m3) untuk kering (kadar air (KA) 12%), dan 0.11 x BJ untuk bambu yang masih segar (Janssen 1990, pada Prosea 1995).Kuat tekan sejajar serat mengindikasikan tegangan yang dikenakan pada arah sejajar serat sampai contoh uji mengalami kerusakan. Nilai kuat tekan berbeda-beda dari bawah sampai atas. Pada bagian bawah berkisar 216 – 388 kg/cm2, bagian tengah antara 266 – 411 kg/cm2 dan bagian atas 310 - 499 kg/cm2. Kuat tekan sejajar serat mempunyai nilai kira-kira 0.094 x berat jenis untuk kondisi kering (KA 12%) dan 0.074 x berat jenis untuk kondisi basah ( KA 60% atau lebih). Bambu mempunyai bentuk yang mengerucut pada sepanjang batang, melingkar pada bidang transversal, bentuk berlubang pada kebanyakan spesies (dimana mengurangi beratnya), sebagai fungsi gradien kekakuan pada penampang melintang untuk menahan lendutan pada arah radial lainnya (Ghavami et al. 2003).
Hakim (2003) telah melakukan penelitian laminasi bambu Andong dengan taraf perlakuan variabel lasan/penguat (baik tunggal maupun ganda) yang terbukti bahwa tidak mempengaruhi MOE. Hal ini dikarenakan adanya lapisan kulit bambu pada lapisan terluar (lasan ke-1 untuk lasan tunggal, lasan ke-2 untuk lasan ganda). Variabel lasan mempengaruhi MOR dimana kekuatan maksimum pada lasan ganda lebih besar daripada lasan tunggal. Beda halnya dengan Hakim, Subiyanto et al. (2004) telah melakukan penelitian pembuatan pasak dari bambu Betung, Tali dan Gombong dengan menganalisa kekuatan pasak yang dipengaruhi oleh sifat mekanis bambu penyusunnya. Pasak yang terbuat dari bambu Betung mempunyai keteguhan patah tertinggi, kemudian diikuti oleh pasak yang terbuat dari bambu Tali dan Gombong. Dengan bambu penyusun yang sejenis, pasak yang berdiameter lebih kecil mempunyai nilai MOE dan MOR lebih baik dibanding dengan diameter yang lebih besar. Berhubungan dengan hal tersebut, sebagai pengganti alat penyambung yang pada umumnya terbuat bahan besi dan baja telah dilakukan beberapa penelitian tentang pemanfaatan bambu sebagai alat
(41)
penyambung yaitu pasak. Pasak dapat dibuat seperti halnya papan laminasi dari bambu.
1. Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes f.)Backer ex Heyne) Bambu Betung mempunyai beberapa sinomim yaitu Bambusa aspera Schultes f. (1830), Dendrocalamus flagelifer Munro (1866), Gigantochloa aspera (Schultes F.) Kurtz (1876), dan Dendrocalamus merrilianus (Elmer) Elmer (1915) (Prosea 1995). Bambu Betung dibeberapa daerah di Indonesia mempunyai nama berbeda, misalnya buluh Batung (Batak), awi Bitung (Sunda), pring Petung, Betho, bulu Jawa (Jawa), awo Petung (Bugis), bambu Swanggi (Papua). Bambu Betung di kawasan Asia disebut buloh Beting, buloh Betong, buloh Panching (Malaysia). Di Philipina disebut Bukawe (Tagalog), Botong (Bikol), Butong (Visaya). Di Negara lainnya disebut rebong China (Singapura), Hok (Laos), Phai-tong (Thailand) dan Manh Tong (Vietnam).
Berdasarkan taxonomi bambu Betung dapat dilihat sebagai berikut (http://www.plantamor.com) :
Klasifikasi
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub-kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Dendrocalamus
Spesies : Dendrocalamus asper Backer
Kerabat dekat: bambu Sembilang, bambu Batu, bambu Taiwan Tinggi bambu Betung dapat mencapai 20-30 m (batang berbulu tebal dan tebal dinding batang 11-36 mm); jarak buku 8-20 cm (10-20 cm di bagian bawah dan 30-50 cm di bagian atas); coklat tua. Pemanenan dapat dimulai setelah tanaman berumur 3 tahun, puncak produksi mulai umur 5-6 tahun. Batangnya digunakan untuk bahan bangunan (perumahan dan jembatan), peralatan memasak, bahkan juga untuk penampung air. Banyak digunakan untuk konstruksi rumah,
(42)
atap dengan disusun tumpang-tindih, dan dinding dengan cara dipecah dibuat pelupuh. Gambaran dari bambu Betung dapat dilihat pada gambar 2 dan 3.
Bambu Betung mempunyai dimensi serat pada batangnya rata-rata dengan panjang 3.78 mm, diameter 19 m, lebar lumen 7 m, tebal dinding 6 m. Kadar air batang pada kondisi segar rata-rata 55% (76% pada bawah dan 36% bagian atas). Batang pada kondisi kering udara mempunyai KA rata-rata 15% (15-17% pada bagian bawah-tengah, dan 13-14% bagian atas). Berat jenis sekitar 0.7. Pada kondisi kering udara, penyusutan arah radial sekitar 5 - 7%, arah tangensial 3.5 - 5%. Pada saat kondisi segar (KA 50%) dan kering udara (KA 12%) bambu
Gambar 2 Tunas/rebung dari bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.)) Backer ex Heyne) (kiri) dan ujung-ujung akar yang masih muda (kanan).
Sumber : http:// www.hrexcellency.com /subweb/articles/articles02.html
Gambar 3 Satu rumpun bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) dengan usia lebih dari 10 tahun.
(43)
Betung mempunyai MOR 816 kg/cm2 dan MOE 1 034 kg/cm2, sedangkan kuat tekan sejajar serat adalah 228 kg/cm2 dan 314 kg/cm2 (Prosea 1995).
Pada penelitian Nuriyatin (2000) penggunaan bambu sebagai bahan konstruksi menunjukkan bahwa bambu Betung, Temen, dan Andong telah memenuhi persyaratan fisik dalam penggunaannya dalam bentuk buluh, namun bambu Tali dan Hitam pada bagian pangkal dapat dipergunakan dalam bentuk buluh sedangkan bagian ujung dalam bentuk bilah.
Kelemahan dari penggunaan bambu sebagai komponen bahan bangunan adalah adanya buku pada buluh bambu, dimana merupakan perlemahan khususnya MOR. Noermalicha (2001) menuliskan bahwa pada bambu Tali dan Betung hasil pengujian MOE tidak dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya buku pada bilah laminasi, sedangkan MOR dipengaruhi oleh keberadaan buku pada bilah laminasi dan menurunkan MOR hingga 50%.
2. Bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro)
Bambu Sembilang mempunyai sinonim yaitu Bambusa gigantea Wallich (1814). Dibeberapa daerah, bambu Sembilang mempunyai nama lokal, antara lain seperti buloh Betong (Malaysia), bambu Sembilang (Semenanjung), Wabo, Ban, Birma (Myanmar) , Russey prey (Kamboja), Po’ (Laos), po (Thailand), Phai-pok (Thailand bagian utara), m[aj]nh t[oo]ng to (Vietnam) (Prosea, 1995). Adapun dari taxonomi bambu Sembilang dapat dilihat sebagai berikut (http://www.plantamor.com) :
Klasifikasi
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub-kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Dendrocalamus
Spesies : Dendrocalamus giganteus
(44)
Keberadaan awal/asal usul dari bambu Sembilang tidak diketahui secara persis. Akan tetapi dapat dimungkinkan di bagian selatan Birma (Myanmar) (Tenasserim) dan barat laut Thailand, serta tanam di daerah Arunachal Pradesh, Assam, Manipur, Nagaland and Bengal Barat, dan ada beberapa bagian di Negara tersebut. Penanaman bambu Sembilang meningkat di Devisi Kurseong pada tahun 1880-1888, dan diperkenalkan pada Coorg antara tahun 1913-1924. Bambu ini umumnya telah dibudidayakan di Srilanka, India, Bangladesh dan bagian selatan China. Di semenanjung Malaysia telah dijumpai beberapa rumpun tua bambu Sembilang yang menyebar di Penang Hills, tetapi tidak diketahui apakah populasi ini merupakan alami atau pembudidayaan. Bambu Sembilang telah dikenalkan dan ditanam pada beberapa kebun konservasi, seperti di Indonesia (1910), Philipina (1990), Indo-China dan Madagaskar (juga diluar kebun konservasi) (Prosea 1995). Bambu sembilang dapat tumbuh baik pada perbukitan maupun dataran yang banyak mengandung tanah liat, serta dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1 200 m diatas permukaan air laut (http://www. inbar. int/publication/txt/tr17/Dendrocalamus/giganteus.htm diunduh pada tahun 2008).
Ketinggian bambu Sembilang mencapai 24-30 m dengan diameter antara 20-30 cm, dan rata-rata tebal dinding batangnya antara 2-2.5 cm. Pada saat muda berwarna hijau pudar, yang dilindungi dengan kulit dengan lilin putih pada saat muda. Jarak antar buku sekitar 30-50 cm dan lebih pendek pada daerah dekat akar atau bagian bawah.
Batang bambu Sembilang banyak digunakan dalam berbagai tujuan, seperti konstruksi, perancah dan rumah di daerah perdesaan, pipa pengairan, keranjang, tiang kapal, tikar, kerai, vas bunga serta ornamen dekoratif lainnya dan industri kertas. Di daerah Siang District of Arunachal Pradesh, Abors dan Mishmis utamanya bambu ini digunakan untuk tempat air (kendi). Kulit batang bambu bagus dibuat sebagai papan bambu, dimana ideal sebagai material dekoratif ruangan dan penggunaan lainnya seperti dinding, plafon, lantai, pintu dan lain-lain. Tunas yang masih muda (rebung) dapat dimakan (lembut dan empuk saat dimasak). Guha et al. (1975) dalam http://www.inbar.int/publication/txt/tr17 /Dendrocalamus/giganteus.htm menuliskan bahwa setelah melaksanakan penelitian tentang pulp menyimpulkan bahwa bahan baku dari bambu Sembilang
(45)
lebih bagus dari pulp kertas dengan bahan baku D. strictus. Penanaman bambu Sembilang dapat sebagai pelindung tanah dalam menahan erosi. Sebagai salah satu spesies bambu yang paling besar mempunyai nilai eksetika yang tinggi sebagai tanaman hias.
Bambu Sembilang mempunyai panjang serat pada batangnya sangat bervariasi yaitu antara 1.4 – 4.6 mm (rata-rata sekitar 2.7 mm), diameter 26 m, diameter lumen 19 m, tebal dinding seratnya 3.9 m. Data ini mengindikasikan bahwa bambu Sembilang berkualitas sebagai bahan kertas. Kadar air (KA) berkisar 19% dengan kerapatan sekitar 900 kg/m3, dan berat jenis (BJ) 0.17. Sifat mekanik bambu Sembilang adalah nilai MOE kurang lebih 140 440 kg/cm2 (Indonesia) dan MOR 1 790 kg/cm2 (Indonesia), 930 kg/cm2 (dengan buku, Brazil) dan 1 240 kg/cm2 (tanpa buku, Brazil). Nilai kuat tekan sejajar serat rata-rata 615 kg/cm2 (Indonesia), 390 kg/cm2 (dengan buku, Brazil), 460 kg/cm2 (tanpa buku, Brazil) (Prosea 1995).
Laminated Veneer Lumber (LVL)
Pada suatu konstruksi hal yang perlu diperhatikan selain alat penyambung tentunya material struktur yang disambung, dimana merupakan bagian dari kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Potensi kayu bermutu tinggi terus Gambar 4 Pertunasan Bambu Sembilang(Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro)
(kiri) dan rumpun yang sudah dewasa (kanan).
(46)
mengalami penurunan, berhubungan dengan hal tersebut teknologi kayu terus dikembangkan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi dikenal dengan Laminated Veneer Lumber (LVL). LVL pertama kali digunakan pada baling-baling pesawat udara dan bagian lain dari pesawat yang mempunyai tegangan yang tinggi, pada masa perang dunia kedua.
Neuvonen et al. (1998) menuliskan bahwa pada periode sebelum tahun 1970-an istilah vinir sedikit banyak mempunyai sinonim dengan plywood. Hal tersebut berubah ketika Troutner dan Herold (di United State of America (USA)) menggunakan laminasi vinir sejajar serta tanpa ada yang melintang dari bagian lapisan teratas dan yang terbawah pada balok I untuk struktur dan memperkenalkan produksinya yang dikenal dengan TJ International (USA) pada awal 1960. LVL sebagai produk olahan mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan kayu utuh. Pada kayu utuh pengaruh cacat-cacat alami kayu sangat mempengaruhi keteguhan kayu, tetapi pada produk LVL, cacat-cacat alami kayu tersebut dapat disebar secara merata diantara lapisan vinir sehingga dapat meminimumkan pengaruh cacat-cacat tersebut terhadap kekuatan LVL. Hasilnya adalah produk serupa kayu gergajian dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan kayu utuh dengan kandungan cacat yang sama (Youngquist dan Bryant 1979).
LVL Pada produksinya dikhususkan untuk bahan baku konstruksi yang menerima beban struktur dengan pola penyusunan diantara vinir adalah arah serat sejajar. Menurut Bakar (1996) dibandingkan kayu utuh atau kayu lapis, papan LVL mempunyai nilai lebih, meliputi ukuran panjang “end-less”, dapat dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi, persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku tinggi. Sebagai perencana suatu struktur bangunan dengan melihat keunggulan LVL dapat menggunakan LVL ini dengan sangat fleksibel dalam berbagai bentuk desain. Oleh sebab itu banyak penelitian yang mendukung terhadap perkembangan LVL.
Pengembangan dan penggunaan LVL mempunyai prospek yang sangat baik dilatarbelakangi oleh menipisnya persediaan kayu berkualitas tinggi untuk penggunaan struktural telah mendorong dimulainya usaha pengambangan LVL
(47)
sebagai produk struktural (Iman 2001). Pada pengujian mekanik dari LVL Muhadi (2005) melakukan penelitian pengujian LVL yang menunjukkan hasil bahwa MOEtrue posisi tegak mempunyai nilai lebih besar dari MOEtrue posisi
baring. Sebaliknya untuk modulus geser posisi baring lebih besar dibanding dengan posisi tegak. Tetapi untuk MOR posisi tegak mempunyai nilai lebih besar daripada posisi baring.
Dalam suatu konstruksi interaksi antara jenis alat sambung dan bentuk sambungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai rata-rata kekakuan lentur atau MOE dan keteguhan patah atau MOR sambungan balok LVL. Pranata (2004) memberikan hasil penelitian sambungan miring dengan menggunakan alat penyambung kayu lapis dan perekat pada posisi pengujian vertikal memiliki kekakuan dan keteguhan yang tertinggi. Sambungan dengan menggunakan alat sambung kayu lapis dan paku memiliki nilai kekakuan dan kekuatan yang paling rendah. Terdapat kecenderungan bahwa keberadaan sambungan akan menurunkan kekakuan dan kekuatan lentur balok LVL.
Potensi LVL yang telah disampaikan diatas perencanaan sambungan dengan menggunakan pasak dari bambu yang mempunyai kekuatan yang dapat disandingkan dengan baja dan potensi LVL yang dapat digunakan sebagai pengganti kayu utuh, perlu dilakukan penelitian optimal dari sambungan dengan menggunakan pasak bambu dengan komponen struktur yang disambung adalah LVL. Hal ini dapat diyakini dengan melihat penelitian yang telah dilakukan Irmon (2005) dimana balok laminasi kayu Sengon berpasak dan dilapisi bambu memiliki nilai kekakuan lebih tinggi daripada balok laminasi bambu saja, tetapi lebih rendah dari nilai kekakuan balok laminasi kayu Sengon tanpa pasak dan dilapisi bambu. Dengan mendapatkan optimasi hasil kekuatan sambungan menggunakan pasak pada struktur LVL tersebut dapat memberingan angin segar dalam bidang pemanfaatan sumber hayati yang telah mengalami krisis.
(48)
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium UPT BPP Biomaterial LIPI Cibinong dan Laboratorium Laboratorium Bahan, Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang PU, Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Pasak menggunankan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang mempunyai umur lebih dari 3 (tiga) tahun. Bambu diambil dari koleksi tananam bambu Kebun Raya Bogor. 2. LVL hasil produksi komersial PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) yang
diproduksi di Balaraja, Serang mempunyai tebal 5 cm dengan tiga 3 (tiga) variasi kombinasi susunan :
a. Vinir dari kayu Karet dengan perekat PF,
b. Vinir dari kombinasi kayu Karet dan Sengon dengan perekat PF, c. Vinir dari kayu Karet dengan perekat MUF.
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Universal Testing Machine (UTM) merk Shimadzu dan Tokyokoki; 2. Alat pemotong dan pembelah bambu;
3. Kempa dingin
4. Alat pembubut pasak; 5. Oven;
6. Kaliper; 7. Waterbath; 8. Neraca analitik.
(49)
Metodologi Penelitian 1. Persiapan bahan
a. Bahan untuk Pasak :
Dua jenis Bambu yaitu bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) dipotong dan dikeringkan kurang lebih tiga minggu hingga mencapai kondisi KA kering udara yaitu ± 12%. Setiap batang bambu dihilangkan kulit dan buku. Ketebalan dinding batang bambu yang diambil adalah ± 3 – 6 mm dari dinding luar yang berhimpit dengan kulit, dengan target BJ lebih dari 0,6.
b. Bahan untuk LVL
LVL dengan 3 komposisi, merupakan produk komersial. Ketiga jenis tersebut dengan spesifikasi sebagai berikut :
1. LVL A yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat PF;
2. LVL B yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 10 vinir Karet dan 12 vinir Sengon dengan perekat PF;
3. LVL C yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat MUF.
2. Pengujian sifat fisik mekanik bahan
a. Sifat fisik bambu yang diuji adalah kadar air (KA) dan kerapatan, berat jenis (BJ). Metode yang dipakai untuk pengujian sifat fisik berdasarkan International Standard Organization (ISO) 22157-1:2004(E) Bamboo-Determination of Physical and Mechanical Properties, Part 1: Requirements. Sifat mekanik diperoleh dengan pengujian bending yang menghasilkan Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan American National Standard ANSI/ASTM D 790-71:1978 Standard Test Methods for Flexural Properties of and Electrical Insulating Materials. Persiapan contoh dilakukan dengan mengambil bangian bambu ± 9 m dari mulai pangkal. Potongan tersebut menjadi tiga bagian untuk mewakili bagian bawah (B), tengah (T) dan atas (A) dengan panjang masing ± 3 m. Dari masing-masing lokasi B, T dan A diambil 2 lokasi sebagai ulangan, sehingga terdapat sebaran enam titik dari bawah sampai atas untuk pengujian sifat fisik mekaniknya. Pembuatan contoh
(50)
uji dilakukan dengan menghilangkan kulit serta bukunya yang selanjutnya disayat setebal ± 1 mm dari luar menuju ke dalam tebal dinding bambu. Semua lapisan akan diuji sifat fisik dan mekaniknya, dengan 3 kali ulangan untuk setiap contoh uji.
1. Pengujian Kadar Air (KA)
Penentuan kadar air bambu dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dengan berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada suhu 100 ± 3oC. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus :
... 1)
Keterangan : KA = Kadar air (%)
m = Berat awal contoh uji (g)
m0 = Berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g)
dengan akurasi 0,01 g 2. Pengujian Berat Jenis (BJ)
Penetapan BJ dilakukan dengan membandingkan kerapatan bambu dengan kerapatan air. Dalam perhitungan kerapatan untuk penentuan berat jenis tersebut, berat contoh uji yang digunakan adalah berat kering oven. Penentuan kerapatan bambu dihitung berdasarkan berat dan volume kering udara dengan menggunakan rumus :
……….. 2)
Keterangan :
ρ = Kerapatan (g/cm3)
m = Berat contoh uji kering udara (g) V = Volume contoh uji kering udara (cm3) 3. Pengujian Modulus of Rupture (MOR)
Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE. Pengujian dilakukan dengan pembebanan terpusat pada bagian tengah contoh uji dengan menggunakan UTM merek Shimadzu dengan
m
ρ = V m – m0
KA = x 100% m0
(51)
kecepatan 0.8 mm/menit. Jarak sangga yang digunakan adalah ±15 x tebal contoh uji. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 5. MOR dihitung dengan menggunakan rumus :
3Pl
MOR = ... 3)
2bh2 Keterangan :
MOR = Modulus of Rupture (kgf/cm2) l = Bentang (cm)
P = Beban maksimum (kgf) h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm)
Gambar 5 Pembebanan pengujian MOR dan MOE.
4. Pengujian Modulus of Elastiscity (MOE)
Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :
b h
b
Contoh uji Beban
L l
L : Panjang contoh uji
l : Bentang (± 15 x tebal (cm)) h : Tebal contoh uji
(52)
Pl3
MOE = ... 4)
4bh3 Y
Keterangan :
MOE = Modulus of Elasticity (kgf/cm2) l = Bentang (cm)
P = Beban sebelum batas proporsi (kgf)
∆Y = Lenturan pada beban P h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm)
b. Pengujian fisik mekanik LVL berdasarkan Standar SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian kadar air, kerapatan, delaminasi struktural dan non struktural, pengujian geser horizontal tegak dan datar, MOE, MOR serta pengujian emisi formaldehide. Contoh uji dipotong sesuai standar dan mempunyai masing-masing 3 ulangan.
1. Pengujian KA dan kerapatan
Pada penentuan KA dan kerapatan ini menggunakan perhitungan seperti dengan formulasi 1) dan 2)
2. Pengujian Delaminasi
Pengujian delaminasi untuk menentukan keteguhan rekat ini dilakukan dua jenis yaitu uji delaminasi non struktural dan struktural. a. Pengujian delaminasi struktural dilakukan dengan merendam
contoh uji ke dalam air dengan suhu 70oC ± 3oC selama 2 jam, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60oC ± 3oC sampai KA contoh uji kurang dari 8%. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan.
b. Pengujian delaminasi non struktural dilakukan dengan merendam contoh uji ke dalam air dingin selama 24 jam, kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60oC ± 3oC selama 24 jam. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan.
(1)
Lampiran 6. Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian pasak bambu versus
KA dan kerapatan
General Linear Model: KA, Kerapatan, versus Jenis Bambu, Diameter Pasak
(ø)
Factor Type Levels Values Jenis Bambu fixed 2 1 2 ø fixed 2 10 15
Analysis of Variance for KA, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Bambu 1 0.1153 0.1153 0.1153 0.44 0.514 ø 1 2.2389 2.2389 2.2389 8.64 0.010 JB*ø 1 0.1153 0.1153 0.1153 0.44 0.514 Error 16 4.1450 4.1450 0.2591
Total 19 6.6145
Analysis of Variance for Density, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Bambu 1 0.003792 0.003792 0.003792 1.42 0.252 ø 1 0.000005 0.000005 0.000005 0.00 0.967 JB*ø 1 0.006367 0.006367 0.006367 2.38 0.143 Error 16 0.042863 0.042863 0.002679
(2)
Lampiran 7 Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian pasak bambu versus
MOE dan MOR
General Linear Model: MOE, MOR versus Jenis Bambu, Diameter Pasak (ø)
Factor Type Levels Values Jenis Ba fixed 2 1 2 ø fixed 2 10 15
Analysis of Variance for MOE, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Bambu 1 386881886 386881886 386881886 0.09 0.778 ø 1 7.2984E+10 7.2984E+10 7.2984E+10 16.06 0.004 JB*ø 1 3524686772 3524686772 3524686772 0.78 0.404 Error 8 3.6366E+10 3.6366E+10 4545729694
Total 11 1.1326E+11
Analysis of Variance for MOR, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Bambu 1 3743 3743 3743 0.11 0.746 ø 1 420476 420476 420476 12.67 0.007 JB*ø 1 3844 3844 3844 0.12 0.742 Error 8 265528 265528 33191
(3)
Lampiran 8 Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian pasak bambu versus
kembang dan susut
General Linear Model: Kembang, Susut versus Jenis Bambu, Diameter
Pasak (ø)
Factor Type Levels Values Jenis Ba fixed 2 1 2 ø fixed 2 10 15
Analysis of Variance for Kembang, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Bambu 1 15.151 15.151 15.151 9.78 0.007 ø 1 8.730 8.730 8.730 5.63 0.030 JB*ø 1 18.554 18.554 18.554 11.97 0.003 Error 16 24.795 24.795 1.550
Total 19 67.231
Analysis of Variance for Susut, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Bambu 1 0.5044 0.5044 0.5044 0.57 0.460 ø 1 10.1986 10.1986 10.1986 11.58 0.004 JB*ø 1 4.4549 4.4549 4.4549 5.06 0.039 Error 16 14.0925 14.0925 0.8808
(4)
Lampiran 9 Hasil perhitungan desain sambungan
Hasil Embeddement Strength
No
Jenis
ø (mm)
P
max(kgf)
T (detik)
Averg P
max1
B.1
10.04
330.853
419.516
2
B.2
9.71
441.576
335.726
3
B.3
9.88
533.042
302.339
435.157
4
S.1
10.15
507.548
300
5
S.2
9.99
412.666
332.258
6
S.3
10.13
474.248
341.129
464.820667
7
B.1
14.95
588.403
420
8
B.2
15.05
841.138
387.742
9
B.3
14.9
754.486
420
728.009
10
S.1
14.91
578.775
420
11
S.2
15.21
836.324
420
12
S.3
14.89
833.917
393.065
749.672
13
Baut 1
11
2212.035
419.516
14
Baut 2
11
2138.512
420
15
Baut 3
11
2199.781
420
2183.44267
ø (d)
Tebal LVL
(t
1)
Tebal LVL
(t
2)
ρ
LVL
Fmax
No
Jenis
cm
cm
cm
g/cm
3kgf
1
Betung
1
2.5
5
0.692
435.157
2
Betung
1.5
2.5
5
0.692
728.009
3
Sembilang
1
2.5
5
0.692
464.821
4
Sembilang
1.5
2.5
5
0.692
749.672
5
Baut
1.1
2.5
5
0.692
2183.443
Moment yield
No
Jenis
kg/cm
2kg/cm
2kgfcm
1
Betung
87.031
-0.001
122.637
1.000
2
Betung
97.068
-0.029
292.371
1.000
3
Sembilang
92.964
-0.001
130.744
1.000
4
Sembilang
99.956
-0.029
326.151
1.000
(5)
Mode I
Mode II
Jenis
Betung ø 10
217.579
217.579
Betung ø 15
364.005
364.005
Sembilang ø 10
232.410
232.410
Sembilang ø 15
374.836
374.836
Baut ø 10
1091.721
1091.721
Mode III
Mode IV
Jenis
Betung ø 10
141.091
6137.130
Betung ø 15
309.292
24477.603
Sembilang ø 10
150.497
6988.839
Sembilang ø 15
339.563
28118.221
(6)
Lampiran 10 Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian sambungan versus P
p,
P
ydan P
uGeneral Linear Model: PD
p, P
y, P
uversus Jenis Bambu, ø, n
Factor Type Levels Values Jenis Ba fixed 2 1 2 ø fixed 2 10 15 n fixed 3 4 6 8
Analysis of Variance for Pp, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Ba 1 288011 288011 288011 5.62 0.026 ø 1 21325924 21325924 21325924 416.12 0.000 n 2 7790637 7790637 3895319 76.01 0.000 Jenis Ba*ø 1 142632 142632 142632 2.78 0.108 Jenis Ba*n 2 43164 43164 21582 0.42 0.661 ø*n 2 1081285 1081285 540643 10.55 0.001 Jenis Ba*ø*n 2 124260 124260 62130 1.21 0.315 Error 24 1229979 1229979 51249
Total 35 32025893
Analysis of Variance for Py, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Ba 1 379251 379251 379251 5.65 0.026 ø 1 23083220 23083220 23083220 343.92 0.000 n 2 9317068 9317068 4658534 69.41 0.000 Jenis Ba*ø 1 297207 297207 297207 4.43 0.046 Jenis Ba*n 2 22066 22066 11033 0.16 0.849 ø*n 2 1203789 1203789 601895 8.97 0.001 Jenis Ba*ø*n 2 144499 144499 72250 1.08 0.357 Error 24 1610820 1610820 67118
Total 35 36057921
Analysis of Variance for Pu, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Jenis Ba 1 177662 177662 177662 0.30 0.589 ø 1 61839875 61839875 61839875 104.28 0.000 n 2 59658389 59658389 29829194 50.30 0.000 Jenis Ba*ø 1 606581 606581 606581 1.02 0.322 Jenis Ba*n 2 652683 652683 326341 0.55 0.584 ø*n 2 1050628 1050628 525314 0.89 0.425 Jenis Ba*ø*n 2 763484 763484 381742 0.64 0.534 Error 24 14233029 14233029 593043
Total 35 138982331