Studi pemanfaatan asam lemak sawit sebagai pakan ternak ayam

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan:
1.

Asam lemak sawit (ALS) yang banyak terdapat di Indonesia, memiliki kandungan energi cukup
tinggi dapat digunakan sebagai bahan pakan ayam. Karena bentuk dari asam lemak sawit adalah
cair akan lengket bila digunakan sebagai pakan ayam. Agar dapat digunakan dalam jumlah
banyak maka dapat dibuat dalam bentuk kalsium asam lemak sawit (Ca-ALS) yang lebih mudah
meramu dalam ransum kurang berbau dan dapat sebagai sumber energi dan kalsium.

2.

Penggunaan asarn lemak sawit (ALS) yang semakin meningkat dalam ransum, menurunkan
kecernaannya sehingga hanya dapat digunakan sampai 10% untuk menghasilkan performans
pertumbuhan lebih baik pada ayam pedaging. Sedangkan Ca-ALS dapat digunakan sampai 15%
untuk meningkatkan performans ayam pedaging.

3.


Pemanfaatan Ca-ALS dapat dicerna dan dimanfaatkan lebih baik pada ayam petelur sarnpai 15%,
dan akan lebih baik lagi bila ditambahkan dengan kalsium 3.00% sehingga dapat menghasilkan
performans produksi seperti produksi telur harian , bobot telur, konversi ransum , nilai Haugh
Unit dan tebal kerabang telur ayam petelur lebih baik dibanding dengan 20% dan 25% Ca-ALS

4.

Penggunaan kombinasi Ca-ALS dan Ca dapat digunakan sampai 15% sebagai sumber energi dan
kalsium untuk ayarn petelur dapat meningkatkan kekuatan

90

kerabang telur pada masa awal bertelur baik pada pengukuran posisi vertikal maupun
horizontal.
5.

Income overfeed cost per ekor ayam yang terbaik dan lebih ekonomis selama periode 20
minggu produksi, didapatkan oleh ayam petefur dengan pertakuan kombinasi (10% CaALS dan 3.25% kalsium).

SARAN

1.

Penggunaan kalsium asam lemak sawit (Ca-ALS) dapat disarankan sebagai sumber
energi dan kalsium dalam ransum ayam pedaging sampai IO% .

2.

Penggunaan CA-ALS pada ayam petelur umur 42 minggu dapat digunakan sampai
15% dan penggunaan kombinasi CA-ALS dan Ca dalam ransum ayam petelur umur 22
dapat digunakan sampai 15%, tetapi kurang menguntungkan dari segi ekonomi.

3.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pencernaan CA-ALS dalam
saluran pencemaan ayam dengan menggunakan kalsium atau asam lemak yang berlabel.

TlNJAUAN PU STAKA

Taksonomi Tanaman Kelapa Sawit


Tanaman kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacquin) bukan merupakan
tananaman asli Indonesia Dalam susunan taksonominya menurut Hartley (1970),
Surbakti, (1982)

tergolong ke dalam Divisio: Sprmatophyta, Klassis :

Moi~ocotyIIeabnOrdo :Palmales, Familia :PuImae, Genus : EIaeis,

Spesies :

EIueis guirleensisJacg.
Kelapa sawit merupakan salah satu

jenis

tanaman palrnae yang

dapat menghasilkan minyak. Berasal dari Guinea dan menyebar ke Af?h Barat, Asia
Tenggara dan Amerika Latin. Di Indonesia pertama kali ditanam pada tahun 1848
sebagai tanaman koleksi Kebun Raya Bogor. Menurut Ketaren (1986) disebarkan ke

Jawa Barat, Sumatra Utara, Aceh, Riau dan Lampung.
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang tumbuh baik di daerah tropis,

masih dapat tumbuh dan berbuah pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut.
Menurut Ketaren (1986) dan Cottrell (1991) secara ekonomis sebaiknya ditanam di
bawah ketinggian 500 m dari permukaan laut. Iklim yang baik dan cocok untuk
tanaman ini adalah dengan curah hujan 1500 mm per tahun dan suhu rata-rata sekitar
25' C sarnpai 32' C.

Potensi Produksi Kelapa Sawit

Kelapa sawit sebagai tanaman liar akan berbuah pertama kali pada umur
sepuluh tahun, sedangkan sebagian tanaman budidaya akan berbuah pertama kali
pada umur 2.5 tahun sarnpai dengan 5 tahun. Tanaman ini menghasilkan buah

sepanjang tahun, dengan masa produktif sekitar 40 sampai 50 tahun dan umur
ekonomis 20 sampai 25 tahun. Puncak produksi kelapa sawit dicapai pada umur 8-10
tahun (Corley, 1975).
Sejak tahun 1911 perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang,
dengan luas areal 170 ribu hektar. Dari tahun ke tahun luas areal penanaman kelapa

sawit dan hasil produksiiya terus bertarnbah. Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia
(1996) bahwa, luas areal penanaman kelapa sawit 1 869 ribu hektar dan produksi
minyak kelapa sawit sebanyak 3 675 ribu ton.
Peningkatan produksi minyak kelapa sawit kasar, akan menyebabkan limbah
yang dihasillcan dari industri pengolahan kelapa sawit juga akan meningkat. Menurut
PT. Bimoli (1995) bahwa selama proses pengolahan minyak kelapa sawit kasar
menjadi minyak sawit, asam lemak sawit yang dihasilkan sebesar 3-5%. Melihat hasil
produksi kelapa sawit kasar yang didapat oleh Biro Pusat Statistik Indonesia (1996)
sebesar 3 675 ribu ton, bila diperkirakan asam lemak sawit adalah sebesar 3-5%, akan

d i i i sebesar 110.25- 183.75 ribu ton asam lemak sawit.

Hasil Samping Pengolahan Kelapa Sawit
Pengolahan kelapa sawit berdasarkan bahan baku adalah sebagai berikut:
(1) pengolahan buah kelapa sawit akan menghasihn

kasar /crude palm oil (CYO),

minyak


kelapa

sawit

inti kelapa sawit, serabut daging kelapa sawit (palmoil

fibre) dan lumpur kelapa sawit (palm oil sludge), (2) pengolahan biji kelapa sawit

fibre) dan lumpur kelapa sawit (palmoil sludge), (2) pengolahan biji kelapa sawit
menghasilkan minyak inti sawit Cpalm kernel ozl) dan limbahnya

yang dapat

menimbulkan pencemaran lingkungan (Suryanata, 1994).
Umurnnya hasil ikutan pengolahan kelapa sawit digsmakan secara tradisional.
Ampas tandan umumnya digunakan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan
sebagai pupuk. Cangkang sering digunakan sebagai bahan bakar untuk memanaskan
ketel perebus tandan buah sebelum diperas, juga digunakan sebagai penutup jalan
tanah di daerah perkebunan (Aritonang, 1984). Namun sebenarnya limbah seperti
bunglul inti sawit, lumpur kelapa sawit dan serabut kelapa sawit dapat dimanfaatkan

sebagai pakan ternak.

.

Menurut Kheiri (1985) dan

Suryanata (1994),

proses pengolahan CPO

menjadi minyak goreng terdiri dari beberapa tahap yaitu: (1) degumming adalah
proses mengh~langkangetah (gum) dan logam-logarn ringan serta pigmen yang ada
dalam CPO menjadi degummed palm oil ( D m ) , (2) bleaching adalah pemucatan

warna, pengambilan pigmen, logam-logam berat dan hasid-hasil oksidasi lainnya
menghasilkan &gummed bleachedpalm oil (DSPO), (3) dkohizing adalah tahap

akhir pengolahan CPO menghilangkan bau, warm dan penurunan free fatty acid
(FFA) menjadi refined bleached deohizedpalrn oil (XBDPO).
Refined bleached deodorized palm oil


digunakan untuk bahan

pembuatan margarin, lernak goreng, shortening, susu kental manis. Sedangkan palm

fatty acid destiffaied (PFAL)), digunakan untuk pembuatan

111%

sabun dan

emulsifiers ( Ogoshi dan Miyawaki, 1985; Suryanata, 1994).
Proses penggunaan buah kelapa sawit-sampai menghasilkan asam lemak sawit
dapat dilihat pada Garnbar 1 sebagai berikut :
PROSESINC: KELAPA SAWIT HINWA
MENGHASILKANASAM LEMAK SAWIT

Tandan Buah Segar

1

Proses ~engslingan(Pabrik)

I

Minyak Kelapa Sawit Kasar

Ipeme~ahandan

PeJjulingan

I

Penyulrngan

n

I

Shortening
Vanaspati


Cooking
Shorrening
Margain

ILq
Sabun

Gambar 1. Gunbar Prosesing Kelapa Sawit mtuk MengbneilkPn Asam Lemak
Sawit dimbU dmi Kopot (lW4).

Lemak dan Asam Lemak

Lemak atau minyak diklas-lkan

ke dalam golongan lipid, yaitu lipid

netral yang terdiri dari trighserida campuran yang merupakan ester dari ghserol dan

asam-asamlemak rantai panjang (Ketaren, 1986). Bentuk fisik lemak tergantung dari


jenis asam lemak yang berikatan. Kebanyakan asarn lemak jenuh lebih banyak
ditemukan pada lernak, sedangkan asam lemak tidak jenuh lebih banyak ditemukan
pada minyak (Wiseman dan Blanch, 1994).
Menurut Lehninger (1990) dan Muchtadi (1994) asam lernak adalah unsur
pokok dari lernak atau rninyak. Asam lemak yang ditemukan di alam biasanya asamasam monoghserida dengan rantai yang tidak mengandung ikatan rangkap dan
-I

mempunyai jumlah atom karbon genap. Lemak yang ditemukan di alam merupakan
campuran asam lemak jenuh dan asam lernak tak jenuh. Perbedaannya terletak pada
jumlah ikatan rangkapnya, serta bentuk molekul keseluruhan. Asam lemak tidak jenuh
biasanya terdapat dalam bentuk Cis dan molekulnya akan bengkok pada ikatan
rangkapnya.
Asam lemak menurut Lehninger (1990) dikelompokkan ke dalam : (1) asam

lemak rantai pendek yaitu asam-asam lemak yang mempunyai jumlah atom karbon 2
sampai 6, (2) asam lemak rantai sedang (medium) yaitu asam-asam lemak yang
mempunyai jumlah atom karbon 7 sampai 11, (3) asam lemak rantai panjang yaitu
asam-asam lemak yang mempunyai jumlah atom karbon 12 atau lebih. Asam lemak
jenuh mempunyai titik cair yang lebih tinggi dari pada asam lemak talc jenuh. Asam
stearat (C 18:0), mempunyai titik cair 69.6"C, sedangkan asam oleat (C 18:l)
mempunyai titik cair 13.4"C (Wirahadikusumah, 1985).
Asam lemak tidak jenuh rantai panjang seperti linoleat, linolenat

adalah

esensial untuk ternak. Asam-asam lemak tidak jenuh ini harus disediakan dalam

ransum, karena ternak tidak dapat mensintesis asam-asam ini. Asam lemak esensial
penting, karena ternak mendapatnya dari berbagai sumber lemak pakan yang diberikan.
Ikatan lemak pada bahan pakan berpengaruh nyata terhadap karakteristik dan kualitas
produksi ternak yang dihasilkan. Pada ternak yang memakan lemak dari sumber bahan
pakan yang berbeda akan menghasilkan pola asam l e d yang berbeda pula pada
lemak tubuh ternak (Pinchasov dan Nir,1992 ; Scaife et a/., 1994). Lemak abdomen
dan intramuskular pada unggas dipengaruhi oleh lemak ransum (Ajuyah et al., 1991).
Asarn lemak esensial pakan berpengaruh pada daging ayam broiler yang dihasilkan.

Daging ayam dapat sebagai sumber asam lemak esensial untuk tubuh manusia
(Chanrnugam et a/.,1992).
Asam-asam lemak dalam ransum ayam petelur sangat dibutuhkan selama

berproduksi. Kebutuhan fisiologi untuk asam linoleat diperkirakan dengan mempelajari
turnovernya. Pada dasarnya, Balnave (1971) mengestirnasi kebutuhan ayam petelur

adalah sebesar 0.9% dari ransum. Beberapa lemak dan minyak, dapat digunakan
sebagai bahan pakan sumber asam lemak seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Bahan yang berasal dari berbagai macam minyak dan

lemak, memiliki

kandungan profil asam lemak yang berbeda-beda. Kekurangan asam-asam lemak
esensial akan menimbulkan gangguan pertwnbuhan, hati berlemak dan daya tahan
tubuh berkurang. Beberapa peneliti

membuktik& bahwa defisiensi asam lemak

esensial akan menyebabkan kekacauan metabolik mtehead, 1984). Pada ayam yang
sedang berproduksi digunakan untuk produksi telur dan apabila ransum kekurangan

asarn linoleat

akan menghasilkan telur berukuran kecil-kecil dan produksi akan

menurun (Wiseman, 1984)
Tabel 1. Profd Asam Lemak dari Berbagai Lemak dan Minyak

Asam Lemak
--

Posisi dari
Ikatan
Rangkap

Lemak Lemak
Minyak
Sapi Babi Zaitun Maize Bunga Rami
Matahari

............................
- -

14:O
Miristat
34
16:O
Palmitat
18:O
37
Stearat
Palmitoleat
3
16.1
2
5
18: 1
Oleat
Linoleat
1
18:2n-6
Linolenat
18:3n3
Sumber : Whitehead (1984), *

(%)

---------------em--------

-

-

7
5
12
3
3
3
1
2
1
83
13
27
7
56
77
18
1
53
: Yeong dan Mukherjee (1983)
28
20
2
41
9

6
4

Sawit*
'---

-----

1.25
43.4
4.4
39.4

-

11.05

Pencernaan dan Penyerapan Lemak
Pencernaan

Setelah melewati tembolok, proventrikulus dan ventrikulus bahan rnakanan
masuk ke dalam duodenum. Pada usus kecil partikel lemak dipecah dari molekul
lemak yang besar kedalam bagian-bagian yang sangat kecil, sehingga dapat diabsorpsi
dari usus dan ditransportasi ke dalarn sistim limfe atau sistem vena porta. Lipase
pankreas dapat menghldrolisnya pada posisi 1 dan 3 sehingga terbentuk monogitserida
dan asam-asam lemak (Wiseman, 1984). Selanjutnya cairan empedu dengan
monogitserida dan asam lemak membentuk agregat poiikuler, bersifat negatif yang
disebut dengan m i d , dan berukuran kira-kira 50 angstrom dan dapat menembus
mukosa usus kecil. Setelah itu asam lemak bebas, monoghserida, digitserida bahkan

trigliserida akan diabsorpsi (Arora, 1989). Sebagian lemak yang masuk ke dalam usus
halus tidak akan dirombak ke dalam asam lemak dan ghserol akan tetapi langsung
diserap dalam bentuk emulsi lemak yang sangat kecil.

Penyerapan

Penyerapan dirnulai dari penembusan yang dilakukan oleh misel terhadap
dinding usus kecil. Misel berhubungan dan berdisintegrasi dengan mikrovili dinding
usus, sehingga memungkinkan diferensiasi dan penarikan misel dan komponennya ke

dalam sel-sel mukosa membran usus. Secara diisi, monogherida dan asam lernak
memasuki retikulum endoplasma berubah menjadi trigliserida setelah mengalami
esterifikasi. Selanjutnya ada dua jalur proses resintesis trigliserida dalam mukosa usus,
yaitu jalur monoghserida yang melibatkan asilasi monoghserida yang d i a l c t i i oleh

asam lemak bebas dan jalur lainnya melalui jalur alpha ghserofosfat. Jalur terakhir ini
melalui proses asilasi ghserofosfat yang membentuk asam fosfatidat dan seterusnya
asam ini mengalami defosforilasi menjadi dighserida yang pads gilirmya berubah

menjadi trighserida setelah mengalami proses asilasi. Aktivitas enzim dalam b ini
pada dasarnya bekerja terhadap asam lemak berantai panjang dan golongan asam
lemak ini terdapat pada duktus torasikus, sedangkan asam lemak yang berantai pendek
dan sedang terikat pada albumin yang bersirkulasi pada porta hepatis. Pada an& ayam
telah didemonstrasikan, uptake asarn lemak diantarai oleh formasi asam lemak,carier
protein komplek (Sklan dan Hurwitz, 1980). Penyerapan lemak dengan ukuran

partikel lebih kecil antar permukaan rnikrofili sebesar 2 4 0 nm.Secara umum antar
spesies ada perbedaan. Sebagian besar, penyerapan lemak pada babi dan ayam terjadi
pada jejenum. Sedangkan pada unggas, uptake lernak juga dapat berlangsung pada
ileum dan pada duodenum (Hurwitz et al., 1973)

Transportasi
Transport asarn-asam lemak dari sel mukosa usus sebagai kilomikron lewat
sistim iimfatik. Transport asam lernak rantai pendek secara langsung ke dalam sel
melalui sistim darah porta, sebagai albumin terikat dengan asam lemak bebas. Lernak
rantai medium (C 8 - C12) asam lemak ditransport pada limfa ( sebagai khilomikron)
atau pada darah portal lain (Wseman, 1984). Transport lemak memperlihatkan
pemindahan trigliserida sebagai hasil olahan di dalam retikulum, endoplasma dan
aparatus golgi. Masih dalam organela in4 trighserida mengalami pemekaran molekd
akibat bertemu dengan pelarut air dan bergabung dengan kilomikron dan VLDL (very
low density lipoprotein). Kilomikron dan VLDL ( intestinal lipoproteins)
meninggalkan sel mukosa usus setelah mengalami proses kebalikan pinositosis rnuncul
dalam saluran W e yang selanjutnya berada pada sirkulasi darah.
Pada ayam petelur sistim lipoprotein pada hati sangat aktii VLDL hadir pada
serum darah dengan konsentrasi yang sangat tin& (Husbans, 1971) dan terlihat
menjadi prekursor untuk sintesis kuning telur.

Skema yang menggambarkan integrasi proses pencernaan, penyerapan dan
transport lemak pada babi dan ayam dapat & i t pada Gambar 2,

Sel h4ukosa

fl

(6)

TG

I

(7)

Gambar 2. Skema Menggambarkan Integrasi Proses Pencemaan, Penyerapan dan
Transport dari Lemak. (1) Emulsifikasi dan lipolisis lemak; (2) Masuk kradalam
Edse misel; (3.4) Transfer dari misel lemak lewat UnstirredLayer dan penetrasi
dari membran mukosa sel ;(5) Resintesis triglkrida; (6) Khilomikmn (Babi)
atau VLDL (Ayam); (7) Transport asam lemak rantai pendek langsung ke
vena porta; (8) Transport VLDL dan khilomikronpada vena porta (ayam)
atau langkah sistem Limfatik ( Freeman dalam Wiseman, 19114).

Penggunaan Protected Fat atau Garam Kalsium pada Ruminansia

Pada ternak nuninansia penambahan lernak

dalam pakan telah banyak

dilakukan, guna mendapatkan pakan yang tinggi akseptabilitasnya serta kandungan

energinya. Penambahan lemak pada pakan nrminansia sebanyak 6 sampai 8% masih
dapat ditoleransi.
Menurut Palmquist (1984) bahwa keuntungan penggunaan lemak dalam pakan
adalah: asam lernak rantai panjang (C16 - C22) dapat digunakan secara efisien karena

asam lemak tersebut dapat langsung dipindahkan (ditransfer) pada lemak sum, dapat
memperbaiki performans reproduksi, mengurangi terjadinya keiosis dan dapat
memperpanjang masa laktasi.
Menurut Johnson et al. (1974) total asam lemak yang diabsorbsi pada usus
kecil domba yang diberi ransum normal kira-kira 20% pada awal jejunum (pH 3.64.2) dan kira-kira 60% diabsorbsi pada pertengahan dan akhir jejunum (pH 4.7-7.6).
Protectedfat dapat dibuat dari minyak atau lernak jenuh rantai panjang seperti

biji rami, biji bunga matahari, atau minyak jagung dibuat dalam bentuk kapsul dan
dibungkus, &dungi

dengan kaseii formaldehid. Dibuat dalam bentuk kapsul, untuk

melindungi lemak dari hidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Lemak yang
dilindungi, bila dihidrogenasi di bawah kondisi asam pada abomasum, lemak akan
dicerna lepas dari kasein formaldehid kemudian di serap seluruhnya pada usus kecil
(Lloyd et al., 1978)
Ruminansia yang mengkonsumsi protected fat, mengkat sebagian besar asam
lemak rantai panjang yang tidak jenuh mas& ke dalam trigliserida plasma, susu dan
depot lemak. Proporsi asam lemak rantai panjang tidak jenuh pada lemak susu, akan
dijumpai merungkat dari 2-3% pada susu normal dan yang diberi protected fat

meningkat 20-30%. Pengaruh dari protected fat pada komposisi asam lemak susu
nampak antara 1-2 hari setelah mengkonsumsi pakan (Lloyd et a/., 1978) .
Bentuk protected fat lain adalah berupa garam kalsium, atau sabun kalsium
merupakan formula kombinasi asam lemak dan kalsium. Garam kalsium yang
dikonsumsi oleh ternak ruminansia, akan lewat Aolos dengan utuh ke dalam rumen
pa& kondisi asam (pH = 6.2). Selanjutnya pada kondisi pH 4 (lambung) atau
pH = 2.0 (abomasum), cabang atau ikatan garam kalsium akan pecah menjadi asam
lemak dan kalsium yang lebih mudah diserap (Lloyd et a!., 1978 ).
Adapun fbngsi dari memberikan garam kalsium atau sabun kalsium pada ternak
rumhami* untuk meningkatkan konsumsi energi, mengbasdkan daging berlemak

tidak jenuh atau memproduksi susu (Scneider, 1988). Menurut Jenkins and Palmquist
(1984) sabun kalsium efektif sebagai sumber lemak ddam pakan ternak sedang laktasii
sebab fermentasi rumen tetap normal, kecernaan asam lemak tinggi.
Garis besar proses fisiologi pencernaan ternak rumimmia yang diberi sabun
kalsium yaitu: pen,guraian sabun kalsium di dalam abomasum , dilanjutkan dengan
penyerapan kalsium di dalam duodenum dan penyerapan asam lemak pada jejenum dan
ileum (Davison dan Woods, 1963 ).
Menurut Jenkins dan Palmquist (1982) bahwa faktor- hktor yang membatasi
sabun kalsium dapat terpecah di daiam nunen menjadi asam lemak dan kalsium adalah
tipe dan jumlah kalsium yang ditambahkan, tipe lemak serta pH nunen.

Kalsium Asam Lemak Sawit dan Struktur Kimianya

Telah diketahui bahwa penggunaan lemak dalam bentuk protectedfat pada
ternak rumhamiti dilakukan oleh Jenkins dan Palmquist (1982), serta Palmquist
(1984). Had yang diharapkan adalah untuk memgkatkan produksi sum maupun
produksi daging.
Penggunaan lemak dalam ransum ternak unggas telah banyak dilakukan,
namun penggunaan lemak sebagaiproteciedfal belum pernah dilakukan.

Apabila

analogi ini diambil dan diterapkan pada ternak unggas,terutama ternak ayam pedaging
maupun petelur, dapatkah hal ini menghasillcan suatu performans produksi daging
ataupun telur yang baik seperti pada ternak nuninansi menjadi suatu hal yang
menarik untuk diteliti.

Apabila di telusuri lebih jauh protectedfadapat dibuat dari bermacam-macam
jenis lemak, seperti yang dikatakan oleh Jenkins clan Palmquist (1982). Dalam ha1 ini

asam lemak sawit yang diambil dari PT. Bimoli,

masih mengandung asam- asam

lemak yang cukup tinggi. Bahan ini dapat, digunakan sebagai bahan pembuatan
kalsium asam lemak sawit (Ca-ALS).
Cara membuat kalsium asam lemak sawit

(Ca-ALS), adalah

dengan

menambahkan kaustik soda (NaOH) pada asam lemak sawit untuk membentuk sabun
natrium. Sabun natrium direaksikan dengan kalsium klorida (CaC12) untuk
menghasllkan kalsium asam lemak sawit (Ca-ALS). Produk kalsium asam lemak

sawit (Ca-ALS) berbentuk tepung menyerupai

tepung terigu, warnanya putih

kekuningan. Cara pemberiannya adalah dengan mencampurkan beberapa bagian dalam
susunan ransum ternak ayarn.

Cara Pembuatan Kaisium Asam Lemak Sawit (Ca-ALS)
Cara pembuatan kalsium asam lemak sawit

ini sesuai dengan yang

direkomendasikan oleh Santoso (1993). Adapun cara pembuatannya adalah sebagai
befit:
Asam lemak sawit (cair)

+

Sabun Na ( Na- asam lemak)

NaOH

+

Sabun Na ( Na- asam lemak )

+ CaCIz + Kalsium -asam lemak sawit

(Ca-ALS)

Susunan Kimianya sebagai berikut:

R-C, yo
OH

+ Na0j-J

-----+

hidrolisis dengan basa

Asam lemak bebas

R -C

b
\

+

CaCh

+

H20

Sabun Na

-

ONa

Sabun Na

P

R- C
b ~ a

Kalsium Clorida

//

R- C

\OCa

Air

+

Kalsium Asam Lemak

NaCl

Garam

Rumus kimia organik kalsium asam lemak (linoleat):

HH
H
H
HHHHHHH
0
1I
1
1
1 1 1 1 1 1 I//
H-C-C-C=C-C-C=C-C-C=C-C-C-C-C-C-C-C-C
1 1 1 111 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

HHH HHH HHH HHHHHHHH

\

OCa

Kalsium Asam Lemak (Linoleat)

Sesuai yang dikemukakan Davison dan Woods (1963) penyerapan pada ternak
ruminansia sangat baik , bila digunakan pada ternak unggas apakah hal yang sama
dapat terjadi. Adapun kemungkinan yang terjadi apabila ternak ayam mengkonsumsi
kalsium asam lemak sawit (Ca-ALS), adalah Ca-ALS yang ada dalam saluran
pencernaan akan lewat langsung ke dalam usus. Hal ini disebabkan karena Ca-ALS
dalam bentuk terikat. Setelah sampai pada usus halus, dengan suasana pH 4 -5
kalsium asam lemak akan terpecah menjadi ion kalsium Ca " dan asam iemak sawit.
Ion-ion kalsium dan asam lernak sawit akan diserap pada duodenum dan jejunum
kemudian masuk ke dalam

aliran darah . Darah mengangkut ion-ion kalsium dan

asam lemak ke bagian-bagian lain tub& d i i dibutuhkan dan digunakan untuk
memelihara fbngsi-hgsi tubuh yang n o d .

K A L S l U M

Distribusi dan Fungsi

Dalam tubuh kalsium merupakan mineral anorganik terbanyak dibandingkan
elemen anorganik lainnya. Pada ternak dewasa, kandungannya bervariasi antara 1.251.50% dari berat basah, atau 354.0% dari berat kering dan 26-30% dari berat abu
(Georgievskii et al, 1981). Sebagian besar kalsium (90%) terdapat dalam struktur
tulang dan dideposisikan dalam matrix sebagai phase non-kristal atau amorph pada
ternak muda, dan phase kristal hidroksiapatit (Calo (Po& (0H)z ) pada ternak
dewasa ( Maynard et al. 1983, Nasoetion dan Karyadi,l988).
Kalsium berakumulasi dalam tulang dan

berlangsung lebih intensif pada

periode awal ontogeni. Menurut Georgievskii el al. (1981) pada ayam kalsium dan
phospor akan rnemgkat dengan cepat dan mencapai 80% dalam satu bulan pertama
kehidupan. Pada ayam pedaging proses ini telah mencapai laju yang maksimal pada

umur 10-14 hari.
Kandungan kalsium yang tinggi dalam tulang, memberi petunjuk tentang
perannya sebagai penyangga (buffer) dalam rangka mempertahankan konsentrasi
kalsiurn ekstra sel relatif tetap. Sehubungan dengan hngsi tersebut, tidak kurang dari

1% kalsium yang terdapat dalam tulang berada dinamis saling bertukar dengan kalsium
cairan ekstra sel ( Potts dan Deflos, 1974).
Fungsi kalsium dengan konsentrasi yang dipertahankan relatif tetap dalam

sirkulasi darah serta kehadiran kalsium dalam jaringan-jaringan ekstra tulang kecil
adalah: (1) mempertahankan koagulasi normal
perkembangan dan pertumbuhan normal

dari darah, (2) memelihara

dari mudigah dalam telur,

(3)

mempertahankan ritme n o d dari jantung, (4) mengatur eksitabiiitas normal dari
otot dan syaraf, (5) mempertahankan aktivitas normal dari banyak enzim, (6)
pengaturan permeabilitas normal dari membran, (7) produksi dan daya tetas telur.

Penyerapan pada Saluran Pencemaan

Sumber kalsium pada ternak biasanya berasal dari ransuml palcan. Salah satu
faktor esensial yang menentukan tingkat absorbsi kalsium dari saluran pencernaan
adalah diperlukannya suasana asam (pH < 7). Menurut Freeman (1984) absorbsi
kalsium dari lumen usus ke dalam sel-sel mukosa dan dari sel-sel mukosa ke aliran
darah berlangsung lebih intensif pada duodenum di bandmgkan dengan bagian usus
lainnya, jejunum dan ileum. Suasana asam pada usus disebabkan karena asam lambung,
asam dalam makanan dan asam amino hasil degradasi protein. Dipandang dari segi

fisiko kimia, keadaan asam ini diperlukan karena garam-garam kalsium dalam saluran
pencernaan menjadi lebih melarut dalam suasana asam dibanding suasana netral atau
basa dan kalsium yang diabsorbsi itu adalah dalam bentuk terionisasi.
Substansi yang d i p e r l h dalam absorbsi komponen kalsium adalah asam
empedu yaitu asam cholat dan deoxycholat, membentuk kompleks dengan garamgaram kalsium dari asam lemak, rnisel dan terdispersi dengan baik dalam medium

cair. Hal ini rnempermudah kelarutan garam-garam kalsium dari asam lemak d m
meningkatkan absorbsinya menyeberangi dinding sel dengan melepaskan asam-asam
lemak (Wasserman, 1970).
Transport kalsiurn menyeberangi sel-sel mukosa usus dapat berlangsung
transeluler atau para seluler (Wasserman, 1970 dan Fulmer, 1983) dan bervariasi dari
satu bagian usus ke bagian usus lainnya (Bikle el al. 1981). Pada keadaan konsentrasi
kalsium dalam lumen rendah (-SmM), absorbsi kalsium berlangsung transeluler secara
aktif, sedangkan pada konsentrasi kalsium lebih tinggi maka transport kalsium secara
difbsi pasif baik transeluler maupun paraseluler meningkat (Wasserman dan Fullmer ,
1983).
Mekanisme transport aktif kalsium transeluler berlangsung melalui 3 tahap
yang berumtan: (1) transport kalsium melintasi brush border ke dalam sitoplasma sel-

"

sel usus, merupakan peristiwa difbsi pasif ( 10 M ca2"

+

l ~ -M
' ca2' ; A \I, cr:

30 MV, negatif di bagian dalam) yang tidak memerlukan energi ( Bikle et al. 1981).
Kehadiran metabolit 1,25-di (Omkholekalsiferol mengubah sifat dan struktur brush

border atau membran mikrovili, sehingga meningkatkan pemasukan kalsium ke dalam
sel, (2) transport kalsium intra sel, dari bagian apikal sel yang berhadapan dengan

brush border ke membran basolaterd yang memisahkan sd dengan cairan serosa

(plasma), mengandallcan CaBP sebagai protein penght kalsium yang sintesanya
diinduksi metabolit 1,25-di (Omkholekalsiferol. Sejalan dengan suasana yang lebih

asam pada duodenum dibandingkan dengan bagian usus lainnya, absorbsi kalsium lebih

intensif pada duodenum, (3) transport kalsium menyeberangi membran basolateral,
yang merupakan transport aktif yang memerlukan energi dalarn hal ini, kehadiran
pompa kalsiwn yang identik dengan CaATP-ase yang terdapat dalam membran
tersebut, memperantarai h g s i transport kalsium.
Kalsium otot disirnpan dalam retikulum sarkoplasma, suatu jaringgan kantung
membran yang halus, oleh suatu sistirn transpor aktif yang menggunakan protein
pengikat ca2' yang disebut kalsekuestrin (Harpr et al., 1992). Menurut Ghijsen et al.
(1980) pada tikus,metabolit 1,25-di (0H)z kholekalsiferol berpengaruh meningkatkan
aktititas enzim CaATP-ase dan transport kalsium menyeberangi membran basolateral.
Sebaliknya aktivitas enzim tersebut dihambat sepenuhnya oleh phenothiazine (suatu
inhibitor aktivitas kalmodulin) dan transport kalsium jadi menurun @e Jonge et al.
1981).

Ion kalsium mengakt-

kalmodulin. Di samping pompa Ca,

pompa kalsium dengan diperantarai oleh
kehadiran Na' pada membran basolateral

memasuki cairan serosa.

Keadaan dalam Darah
Kalsium yang diabsorbsi masuk aliran vena porta menuju hati dimana terjadi
perombakan dan pembentukan kembali komponen kalsium yang baru, kemungkinan
dengan protein (Georgevskii et a/.,1981). Seperti kation lain, kalsium tetap tinggal

dalam hati untuk beberapa lama, agar laju lintasnya dalam sirMasi darah perifer relatif
seragam.

Menurut Djojosoebagio (1990) bahwa kalsium dalam serum darah terdapat
dalam dua fiaksi utama yaitu: (1) kalsium yang dapat berdifksi melaiui ultrafiltrasi
(dfisible), f 65% dari total kalsium , sebagian besar terdapat dalam bentuk ion

Cd' k 15% lain terdapat dalam bentuk kompleks dengan bikarbonat phosphat dan
sitrat, (2) kalsium tidak dapat berdifbsi melalui ultrafiltrasi (nondiffusible), kalsium
terikat dalam protein plasma, albumin (0.65 mmoVlt)

globulin (0.17 mmol/lt).

Konsentrasi Ca dalam serum broiler antara 7-1 1 mg/100ml.Pada ayam petelur 17-38
mg/lOO ml (Swenson, 1970).
Kalsium yang terionisasi amat penting untuk memenuhi kebutuhan berbagai
fbngsi faal dan reaksi biokimia dalam tubuh. Perubahan konsentrasi ion Ca dapat
menimbulkan perubahan-perubahan iritabilitas neuromuslrular dan W t a s dari banyak
enzim. Penurunan konsentrasi ion kalsium dalam sirkulasi darah, memberi rangsangan
terhadap kelenjar parathyroid untuk meningkatkan sekresi hormonnya (McDonald et
al., 1980). Pada ayam petelur, fiaksi ini arnat menentukan suplai kalsium untuk

pembentukan kerabang telur (Strurkie, 1970).
Kalsium yang ada dalam sirkulasi darah membentuk kompleks dengan ion
phospat hanya sedikit, akan tetapi ion phosphat yang bebas terdapat dalam darah
berperan penting mempertahankan konsentrasi kalsium dan laju deposisinya ke dalam
tulang dan jaringan-jaringan

lainnya. Sebaliknya ion phosphat mempengaruhi

pelarutan kalsium tulang dan laju pengambilannya ke cairan extra sel (Potts dan
Defios,

1974). Peningkatan konsentrasi phosphat berpengaruh menurunkan

konsentrasi kalsium darah dan deposisinya kedalam tulang serta jaringan-jaringan
lunak.
Afinitas pengikatan kalsium oleh protein plasma, tergantung pada keadaan pH,
pengdcatan maksimum dicapai pada pH

=

7 (netral) sedangkan pH asam, atinitas

penghtan jadi menurun, dan kompleks kalsium-protein berdisosiasi membentuk
kalsium-organik (Potts dan Deffos, 1974 ).
Konsentrasi kalsium dalam darah dengan yang terdapat dalam tulang, selalu
berbeda dalam keseimbangan yang dinamis, diatur oleh kelenjar endokrin, keadaan
pakan dan kesehatan ternak, serta hukum-hukurn kimia tisik yang berlaku dalam
reaksi-reaksi biologi.

Mekanisme Ekskresi

Pada keadaan normal, kalsium diekskresikan dari tubuh melalui urine, feces
dan pada ayam petelur bersama telur. Pada berbagai kondisi, misdnya keadaan

hiperkalsemia, ekskresi kalsium endogen melalui saluran pencernaan relatif tidak
berubah dibandingkan keadaan normal. Keadaan hiperthyroid

pada mamalia,

menyebabkan penurunan absorbsi kalsium dari lumen duodenum, tetapi ekskresi
kalsium dari cairan serosal bagian usus tidak menunjukkan perubahan yang nyata,
dilain pihak menyebabkan peningkatan resorbsi kalsium dari tulang (Nasoetion dan
Karyadi , 1988). Dengan perkataan lain bahwa keadaan hiperthyroid menyebabkan
ekskresi kalsium melalui feses meningkat. Disamping itu pada enzim saluran

pencernaan dan garam-garam empedu mengandung kalsium dan sebagian dari padanya
akan dieksresikan bersama feces (Hays dan Swenson, 1984).

Konsumsi Ransum

Faktor

-

faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah besar tubuh

ayam, aktivitas tubuh sehari-hari, suhu hgkungan, kualitas dan kuantitas ransum
(NRC, 1994). Menurut Scott et al. (1982) konsumsi ransum dipengaruhi pula oleh

kandungan energi ransum, bentuk ransum, kesehatan, lingkungan, zat-zat makanan,
kecepatan pertumbuhan atau produksi telur dan stress.
Banyaknya makanan yang dikonsumsi perhari oleh ayam petelur dipengaruhi
oleh banyaknya telur yang dihasilkan, dan tampak berhubungan dengan banyaknya
kalsium yang dibutuhkan untuk membentuk kulit telur (Souver dan Mongin, 1974).
Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhannya akan energi.
Kandungan energi ransum menentukan banyaknya ransum yang dikonsumsi. Menurut
Carew et al. (1980) bahwa makin tinggi tin,gkat energi dalam ransum, konsumsi
ransum makin berkurang.
Bolton et al. (1970) mengemukakan bahwa ayam tipe medium mengkonsumsi
ransum lebih banyak dibandingkan dengan ayam tipe ringan, disebabkan tipe medium
memerlukan energi dan protein lebih banyak untuk hidup pokoknya.

Pada tingkat produksi telur 75%, ayam mengkonsumsi ransum 128
grdekorlhari (Ivy dan Gleaves, 1976). Sedangkan menurut Byerley et a/. (1980)

ayam White Leghorn pada tingkat produksi telur 75 % mengkonsumsi ransum sebesar
105 gram,ekor/hari.

Pada ayam petelur yang diberi ransum mengandung tingkat lemak dan tingkat
kalsium yang berbeda, tidak berpengaruh pada performan konsumsi ransum (Atteh dan
Leeson, 1985). Selanjutnya Atteh dan Leeson ( 1985) memberikan ransum dengan
suplementasi campuran asam palmitat dan oleat dengan berat yang sama, menurunkan
konsumsi ransum relatif untuk ransum kontrol dan suplementasi hanya dengan asam
palmitat.

Produksi Telur

Ada dua tahap produksi pada ayam petelur yang lebih terkenal sebagai phase
produksi, yaitu fase produksi satu diawali pada umur 22 minggu dan phase produksi
dua pada umur 42 minggu ( NRC.,1994).
Ayam ras tipe medium, mulai bertelur pada umur 20 - 22 minggu dengan lama

produksi sekitar 15 bulan. Selanjutnya puncak produksi dicapai pada umur 28 - 30
minggu dan mengalami penurunan dengan perlahan lebih h a n g pada umur 12 bulan
produksi, kemudian siap untuk d i i ( Scott et al., 1982). Masa produksi mulai
dihitung sejak ayam mencapai 5% hen day dan dipengaruhi oleh kualitas ransum,
strain ayam serta cara pemeliharaan (NRC, 1994).
Ousterhaut (1981) mengemukakan bahwa pada petelur yang diberi ransum
dengan tingkat protein 15, 16, 17 dan 18% dengan tingkat energi sama, tidak

berpengaruh nyata terhadap produksi telur. Selanjutnya petelur White Leghorn yang
dipelihara dalam kandang sistirn sangkar, pemberian tingkat protein 15 dan 17% dalam
ransum tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur (Hamilton, 1978).
Produksi telur pada unggas sangat bervariasi setiap individu selama periode
bertelur. Menurut Koops dan Grosman (1991) ada hubungan yang erat antara jumlah
telur yang dihasilkan dengan periode bertelur. Puncak produksi telur pada siklus kedua
lebih tinggi dari produksi siklus pertama.Tetapi puncak produksi telur pada siklus
kedua kira-kira 10% lebih rendah dari siklus pertama. Pada h e kedua produksi akan
menurun terus setelah melewati umur 60 minggu (Bell dan Adams, 1991)

Konversi Ransum

Perkiraan terbaik untuk mengetahui mutu ransum, adalah dengan melihat
efisiensi penggunaannya atau konversinya. Menurut NRC (1994) konversi ransum
merupakan hubungan antara jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu
satuan bobot atau produksi telur.
Konversi ransum penting apabila ditinjau dari segi ekonomi karena
berpengaruh terhadap biaya produksi. Biaya produksi persatuan bobot badan
meningkat dengan meningkatnya angka konversi ransum. Titus dan Fritz (1971)
menyatakan bahwa semakin rendah angka konversi ransum sernakin baik, karena lebih
efisien dalam penggunaannya.

bobot telur pada ayam tipe medium. Pada hasil penelitian Ruhyat (1982) galur Shaver
dengan pemberian ransum pada tingkat energi 2850 kkal EMkg ransum nyata (P<
0.05) memproduksi telur lebih berat dari pada tingkat energi 2650 kkal EMIkg ransum

Pemberian protein dalam ransum juga dapat

meningkatkan bobot telur.

Menurut Hamilton (1978) bahwa dengan memgkatnya pemberian protein dalam
ransum dari 15 sampai 17 persen, tidak berpenganrh nyata terhadap bobot telur, tetapi
bobot telur cendmg naik dengan penambahan tingkat protein.
Tingkat Ca dalam ransum ayam petelur mempengaruhi bobot telur yang
dihasilkannya. Makin tinggi -t

Ca'dalam ransum ayam petelur, sernakin rendah

bobot telurnya. Ousterhout (198 1) menyatakan bahwa bobot telur berbanding terbalik
dengan kadar kalsium, bila kadar kalsium dalam ransum di atas 3.75%.

Kerabang Telur

Kualitas kerabang telur ditentukan oleh tebal dan struktur kerabang telur
tersebut. Untuk memgkatkan kekuatan kerabang telur dapat dilalcukan dengan
meningkatkan kadar kalsium dalam ransum. Menurut Keshavarz (1987) dan Roland
(1988), bahwa pemberian kalsium dalam jumlah yang optimal dapat mencegah

kerabang telur tipis dan juga dapat menjaga kekuatan kerabang telur.
Penelitian yang dilakukan Summers et a/.(1976) memberikan hasil bahwa
W t a s kerabang telur ayam menurun dengan penurunan kadar kalsium ransum dari
2.96 menjadi 1.56.

Watkin et a/.(1977) melaporkan bahwa ransum yang berkadar

kalsium 1.75% menghasilkan kekuatan kerabang telur ayam lebih rendah dari pada
ransum dengan kadar kalsium 2.5 dan 3.25%.
Menurut Kodra et al. (1968) ayam yang diberi ransum dengan kandungan lernak
tinggi berpengaruh baik terhadap tebal kerabang, tin@ albumen ,tinggi kuning telur,
bobot telur dan Haugh Unit. Menurut Roland et al. (1985) bahwa tipisnya kerabang
telur pada ayam tua disebabkan adanya pembesaran telur tetapi tidak diikuti oleh
penambahan bahan kerabang sehingga kualitas kerabang menurun.
Kelcurangan kalsium menyebabkan

kemunduran produksi telur dan

menurunnya tebal kerabang telur. Menurut Mountney (1976) tebal kerabang telur yang
kurang dari 0.33 m m sulit dipertahankan keutuhannya dalam penanganan selama dalam
pemasaran.
Kualitas kerabang telur, ditentukan pula oleh umur ayam. Kualitas kerabang
telur menurun selaras dengan meningkatnya umur ayam, genetik, pakan terutama
imbangan Ca dan P (Roland, 1986), faktor pemeIiharaan terutama lama penggunaan
cahaya (Tri-Yuwanta dan Nys, 1990), berat ayam (Tri-Yuwanta et al., 1992).
Menurut NRC (1994) apabila Ca tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
pembentukan kerabang, maka Ca diambil dari tubuh yang dishpan dalam tulang.
Menurut Mongin dan Sauveur (1974) bahwa proses pembentukan kerabang dan
mobilisasi Ca biasanya terjadi pada malam hari, sekitar pukul 22.00 sampai pukul
06.00. Berat jenis telur mempunyai korelasi positif dengan tebal kerabang telur yang
diceminkan dengan kekuatan kerabang telur (Harmset al., 1990).

Kualitas Telur (Haugh Unit)
Kualitas telur segar dapat dibagi menjadi dua yaitu kualitas bagian dalarn dan
kualitas bagian luar. Kualitas bagian dalam meliputi keadaan kantung udara, putih
telur dan kuning telur. Kualitas bagian luar meliputi keadaan kerabang, keutuhan,
kebersihan, warm kerabang dan bentuk telur.
Cara yang digunakan untuk mengukur kualitas telur bagian dalam adalah
dengan mengetahui nilai Haugh Unit telur tersebut. Haugh Unit adalah

satuan

kualitas telur yang ditentukan berdasarkan hubungan logaritma pengukuran tinggi
albumen (mm)dan berat telur (g) (Izat et al., 1986). Menurut Izat et al. (1986) bahwa
semakin tinggi Haugh Unit berarti kekentalan putih telurnya semakin tinggi.
Haugh Unit yang nilainya tinggi menunjukkan nilai kualitas telur tinggi. Unit

ini sudah dikupas secara luas, standar pengukuran kualitas dari telur sudah digunakan
oleh industri unggas ( w ' i , 1992).
Menurut Stadelman dan Cotterill (1973), bahwa Haugh Unit ditemukan oleh
Raymond Haugh pada tahun 1937 dengan rumus yang telah disederhanakan sebagai
berikut :

HU = IOOlog(H+7.57 - 1.7wo")
Keterangan :

HU = Haugh Unit
H = Tinggi putih telur kental (mm)

W=Bobot telur (g)

Menurut Stadelman dan Cotterill (1973) bahwa menurunnya nilai Haugh Unit
dapat disebabkan karena menurunnya kekentalan putih telur akibat penyimpanan
telur yang terlalu lama. Nilai Haugh Unit dapat menurun juga disebabkan karena
bertambahnya umur unggas, mengakibatkan menurunnya kemampuan fbngsi fisiologis
alat reproduksi (Polin dan Sturkie, 1974 ;Izat.et al., 1986).
Stadelman dan Cotterill (1973) menganjurkan bahwa tingginya putih telur
sudah cukup untuk mengukur Haugh Unit telur segar dari suatu peternakan ayam
petelur.
Kualitas telur menurut standar USDA, sebagaimana dinyatakan oleh Mountney
(1976) dapat dikelompokkan

berdasarkan nilai Haugh Unit: kualitas C : < 31 ;

W t a s B: 31- 60 ; kualitas A : 60 - 72 dan W t a s AA: > 72.

Kekuatan Kerabang Telur dan Alat Pengukur Instron

Kerabang telur merupakan komponen telur yang secara alami sangat mudah
mendapat serangan dari mikro organime perusak. Kerabang yang retak dan pecah,
disebabkan oleh variasi Wor-faktor yang mempengaruhi W t a s telur. Kekuatan
kerabang telur
telur yang

harus diperhatikan dalam produksi telur. Hal ini disebabkan karena

mempunyai kerabang kurang kuat dapat menunrnkan nilai ekonomis

(income) dari suatu usaha peternakan. Penghltungan kerugian akibat dari kerabang
telur yang retak dan pecah telah banyak dilakukan. Carter (1971) dan Hamilton (1982)
menghitung kehilangan $ 5 juta dan $ 110juta untuk negara Kanada dan Amerika.

Menurut Ahmad et a/. (1976), terdapat hubungan yang sangat nyata antara
berat jenis telur dan tebal kulit telur, dan tebal tebal kulit telur dapat dijadikan
indikator dari kekuatan kerabang.
Berbagai cara yang dilakukan untuk menghtung kekuatan kerabang telur.
Simon (197 1) menggunakan transmisi dan scaning mikroskop elektron untuk
menghitung elektron micrograph dari seluruh komponen kerabang telur. Menggunakan
prosedur Quasi Static Compression lest, telur dipres di antara plat permukaan
paralel, sampai mencapai rata-rata yang tetap. Kecepatan optimum untuk kompresi
adalah ZOcmImenit, juga tersedia fiekuensi kecepatan yang lebih tinggi (Voisey dan
Hunt, 1974).
Cara lain untuk mengetahui kekuatan kerabang telur dengan menggunakan
alat yang disebut imtron. Mesin imtron awalnya digunakan untuk menguji material
dalam bidang teknik. Pada th 1966 dilaporkan instron pertama kali digunakan untuk
mengukur tekstur makanan (Ranggana.1986).
Menurut Ranggana (1986) menggunakan iizstron Model 1140 terdiri dari alat
: mengontrol kecepatan yang tepat, pengukuran gaya secara elektronis yang sensitif,

kekerasan struktural, dan perekam grafik batang secara integral dengan

graWcrossheeady yang proporsional. Sistem penggerak dikendalikan secara sinkron,
untuk mengevaluasi perilaku viskositas material rnakanan. Kecepatannya berkisar dari
.

1 hmgga 10, dapat dipilih dengan gigi yang dapat diubah bergantian dan pilihan

berkisar 1:100 atau 1: 1000. Keanekaragaman fbngsi ini memungkinkan tingkat
analisa dan sensitivitas material diuji dibuat pada tingkat yang lebih tepat .
Penggabungan beban listrik yang dibebani dengan alat penguhr regangan sel
membuat gaya yang terjadi selama deformasi sampel lebih akurat. Gaya-gaya ini
direkam pada perekarn yang telah terpasang pada mesin yang menghasilkan plot
lengkap mengenai perilaku bahan yang diuji. Sistem reaksi pengukuran dan pembacaan
yang tinggi ini mampu mendeteksi perubahan mendadak pada sampel. Plot resultan
menyediakan data deformasi sepanjang sumbu diagram yang sangat sesuai dengan
deformasi sarnpel.

instron mengukur fbngsi gaya-jarak-waktu, dan sangat berguna untuk
mengukur tegangan, tekanan dan kelenturan yang dibutuhkan untuk menerangkan sifat
mendasar material. lnstron digunakan secara luas untuk mengukur tekstur buah,
sayuran dan makanan yang diproses (Ranggana, 1986).
Mengukur kekuatan kerabang telur juga dapat mengikuti cara instron. Selama
kompresi telur yang rnasih utuh diletakkan di atas pelat permukaan yang datar pada
instron . Perubahan bentuk telur dimulai dengan memberikan sedikit tekanan yang
menyebabkan peningkatan tajam pada gaya hingga A seperti pada Gambar 3 .

Kom presi
Gambar 3. Plot Gaya-Jarak uatuk fiompresi Sebuah Telur Utuh pada
hlesin Instron.

Tidak ada kentsakan & i

yans tampak pada telur hingga titik A. Namun pembelokan

yang tarnpak jelas pada kurva di titik A menunjukkan beberapa kerusakan pada telur
meskipun tak terlihat secara fisk.
Pemberian t e b lebih besar memecahkan seluruh telur. Bagian CD pada
kurva menunjukkan fase ini.Peningkatan gaya dari titik D hingga E adalah gaya
pemecah yang dibutuhkan untuk menghancurkan kerabang telur. Gaya ini menurun
hingga no1 ketika crosshead dibdikkan ketitik E (Ranggana, 1986).

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan:
1.

Asam lemak sawit (ALS) yang banyak terdapat di Indonesia, memiliki kandungan energi cukup
tinggi dapat digunakan sebagai bahan pakan ayam. Karena bentuk dari asam lemak sawit adalah
cair akan lengket bila digunakan sebagai pakan ayam. Agar dapat digunakan dalam jumlah
banyak maka dapat dibuat dalam bentuk kalsium asam lemak sawit (Ca-ALS) yang lebih mudah
meramu dalam ransum kurang berbau dan dapat sebagai sumber energi dan kalsium.

2.

Penggunaan asarn lemak sawit (ALS) yang semakin meningkat dalam ransum, menurunkan
kecernaannya sehingga hanya dapat digunakan sampai 10% untuk menghasilkan performans
pertumbuhan lebih baik pada ayam pedaging. Sedangkan Ca-ALS dapat digunakan sampai 15%
untuk meningkatkan performans ayam pedaging.

3.

Pemanfaatan Ca-ALS dapat dicerna dan dimanfaatkan lebih baik pada ayam petelur sarnpai 15%,
dan akan lebih baik lagi bila ditambahkan dengan kalsium 3.00% sehingga dapat menghasilkan
performans produksi seperti produksi telur harian , bobot telur, konversi ransum , nilai Haugh
Unit dan tebal kerabang telur ayam petelur lebih baik dibanding dengan 20% dan 25% Ca-ALS

4.

Penggunaan kombinasi Ca-ALS dan Ca dapat digunakan sampai 15% sebagai sumber energi dan
kalsium untuk ayarn petelur dapat meningkatkan kekuatan

90

kerabang telur pada masa awal bertelur baik pada pengukuran posisi vertikal maupun
horizontal.
5.

Income overfeed cost per ekor ayam yang terbaik dan lebih ekonomis selama periode 20
minggu produksi, didapatkan oleh ayam petefur dengan pertakuan kombinasi (10% CaALS dan 3.25% kalsium).

SARAN
1.

Penggunaan kalsium asam lemak sawit (Ca-ALS) dapat disarankan sebagai sumber
energi dan kalsium dalam ransum ayam pedaging sampai IO% .

2.

Penggunaan CA-ALS pada ayam petelur umur 42 minggu dapat digunakan sampai
15% dan penggunaan kombinasi CA-ALS dan Ca dalam ransum ayam petelur umur 22
dapat digunakan sampai 15%, tetapi kurang menguntungkan dari segi ekonomi.

3.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pencernaan CA-ALS dalam
saluran pencemaan ayam dengan menggunakan kalsium atau asam lemak yang berlabel.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M. M., G. W. Froning and F. B. Mather. 1976. Relationships of egg specific
gravity and shell thickness to quasi static compression test. Poult. Sci. 55:
f 282 - 1289.

k

Ajuyah, A. O., K.H. Lee, R. T. Hardin, and J.S. Sim. 1991. Changes in the yield and
in the fatty acid composition of whole carcass and selected meat portions of
broiler chickens fed fU-fat oil seeds. Poult. Sci. 70:2304 - 2314.
Aritonang, D. 1984. Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit dalam Ransum Babi
yang Sedang Bertwnbuh. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB.

. .

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Atteh, J. 0 . and S. Leeson . 1984. Effects of dietary saturated or unsaturated fatty
acids and calcium levels on performance and mineral metabolism of broiler
chicks. Poult. Scz. 63: 2252 - 2260.

Balnave, D. 1971. The contribution of absorbed linoleic acid to the metabolism of
the mature laying hen. Comparative Biochem. and Physiol. 40 A: 1097-1105.
Bartov, I. and A. Bar-Zur, 1995. The nutritional value of high-oil corn for broiler
chicks. Poult. Sci. 74:517-522.
Bell, D.D. and C. J. Adams. 1991. First and second cycle egg production
characteristics in commercial table egg flocks. Poult. Sci. 65:448-459.
Bimoli, 1995. PT. Bimoli Minyak Goreng. Pluit, Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1996. Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 1996. Depatemen
Pertanian. Jakarta.
Bolton, W., R Blair and B.W. Knight. 1970. Egg production of light and medium
hybrids given diets varying in energy level during the chick rearing and laying
stage. Brit. Poul. Sci. 11: 53-56.

Bikle, D. D., R. L. Morrissey, D. T. Zolock and H. Rasmussen. 1981. The intestinal
respons to vitamin D. Rev. Physzol. Biochem. P m a c . 89: 63-142.
Brake, J. and P. Thaxton, 1979. Physiological changes in caged layers during aforced
molt. 2. Gross changes in organs. Poult. Scz. 58: 707-716.
Byerley, T. C., J. W. Kessler, R. M. Gous and 0. P. Thomas.
requirements for egg production. Poult. Sci. 59: 2500 - 2507.

1980. Feed

Carew, L. B., D. C. Foss and D. E. Bee. 1976. Effect of dietary energy
concentration on performans of heavy egg type hens of various densities in
cages. Poult. Sci. 55: 1057-1066.

. 1980. Dietary energy concentration effect
on performance of white leghorn hens at various densities in cages. Poult. Sci.
59: 1080-1098.

Carter, T. C. 1971. The hen's egg : Shell cracking at oviposition in battery cages and
its inheritance. Brit. Poult. Sci. 12: 259-278.
Chanmugam, P., M. Boudreau, T. Boutte, R.S. Park, J. Hebert, L. Berrio and D. H.
Hwang. 1992. Incorporation of different type of n-3 fatty acids into tissue
lipids of poultry. Poult. Sci. 71: 516-521.
Corley, R.H.V. 1975. Oil Palm Research. Elsevier Scientific Pub. Company,
Netherlands.
Cottrell, R. C. 1991. Introduction: Nutrition aspects of palm oil. Am. J. Clzn. Nutr.
53: 989-1009.

Davison, K. L. and W. Woods. 1963. Effect of calcium and magnesium upon
digestibility of ration containing corn oil by lambs. J. Anim. Sci. 22: 27-33.
De Jonge, H.R., W.E.J. Ghijsen, and C. H. Vanos. 1981. Phosphorelated
intermediatetes of ca2+ ATPase and alkaline phosphatase in plasma
membranes tkom rats duodenum epithelium. Biochem. Biophys. Acta, 647 :
140.

Doran, B. H., J. H. Quisenberry, W. F. Krueger and J. W. Radley. 1980. Response
of thrty egg-type stocks to four layers diets differing in protein and caloric
levels. Poult. Sci. 59 :1082 - 1089.

Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Vol. I. Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat Institut pertanian Bogor.
Fletcher, D. L. 1980. An evaluation of the A.O..A.C. method of yolk colour analysis.
Poult, Sci. 59: 1059-1066.

Freeman.C. P. 1984. The digestion, absorption and transport of fat - Non Ruminants.
in : Fats in Animal Nutrition. J. Wiseman, ed. Butterworths, London, UK.
Georgievskii , V. I., B. N. Annenkov and V. T. Samokhin. 1981. Mineral Nutrition
of Animals. Butterworths, London.
Ghijisen, W.E.J., M.D. De Jonge, and Vanos. 1980. Association between CaATPase
and alkaline phosphatase activities in plasma membranes of rat duodenum.
Biochem. Biophys. Acta, 599 :538.
G r i f E h , L.,S. Leeson and J.D. Summer. 1977. Muence of energy system and level

of various fat sources on performance and carcass composition of broiler.
Poult. SCZ.56: 1018-1026.

Guerther