STUDI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FUNGSIONALISASI PENGAWAS SMA DI KABUPATEN NATUNA.

(1)

STUDI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FUNGSIONALISASI PENGAWAS

SMA DI KABUPATEN NATUNA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Administrasi Pendidikan

Oleh: KODIRIN NIM: 8136132068

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


(2)

(3)

(4)

i

ABSTRAK

Kodirin, Studi Implementasi Kebijakan Fungsionalisasi Pengawas SMA di Kabupaten Natuna. Tesis. Medan : Sekolah Pacasarjana Universitas Negeri Medan, 2015.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memperoleh data profil pengawas sekolah jenjang SMA di Kabupaten Natuna; (2) memperoleh deskripsi mengenai pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pengawas sekolah di Kabupaten Natuna; (3) memperoleh gambaran faktor dominan yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan fungsionalisasi pengawas sekolah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010; dan (4) memperoleh gambaran mengenai desain pengembangan pengawas sekolah yang harus disusun sebagai upaya menjadikan pengawas sekolah jenjang SMA di kabupaten Natuna sebagai pengawas yang professional.

Penelitian, ini menggunakan pendekatan kualitatif dan termasuk penelitian fenomenologis yang bersifat khusus (spesifik) dan menyeluruh (holistic). Bersifat khusus karena subyek penelitian adalah birokrat (pelaku kebijakan) dan implementator di bidang kepengawasan. Holistic atau menyeluruh karena dalam kajian ini bukan hanya menyangkut aspek kepengawasan, tapi juga administrasi publik. Untuk mengumpulkan data peneliti menggunakan tekhnik observasi, wawancara dan studi dokumentasi.

Temuan penelitian ini adalah : (1) Profil pengawas SMA di Kabupaten Natuna, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif belum memadahi. Indikatornya dapat dilihat dari tidak terpenuhinya rasio ideal seperti yang diamanatkan dalam Permenegpan RB No 21 Tahun 2010; (2) Kabupaten Natuna belum memiliki pengawas rumpun mata pelajaran Bahasa, IPS, OLahraga dan Seni Budaya; (3) Jarak geografis, alat transportasi dan kecilnya biaya operasional menjadi kendala utama pengawas SMA dalam menjalankan tupoksinya sesuai yang ada dalam Permenegpan RB No 21 Tahun 2010; (4) pelaksanaan pengawasan masih terfokus di pulau Bunguran Besar sedangkan Pulau Midai, Subi, Serasan Induk, Serasan Timur dan Pulau Laut hanya dilakukan supervisi selama 1 tahun sekali; (5) aparat pelaksana belum memahami isi, maksud dan tujuan kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010. Hasil analisis implementasi Kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 tentang fungsionalisasi pengawas SMA di Kabupaten Natuna belum berjalan dengan efektif dan efisien dikarenakan belum ada pemangku kebijakan yang peduli dan serius untuk memberdayakan pengawas sekolah dalam tugasnya meningkatkan mutu dan manajemen pendidikan. Selanjutnya, penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) mendorong pelaksanaan standar kualifikasi dalam pengangkatan pengawas sesuai permendiknas; (2) penyusunan operasional teknis fungsionalisasi pengawas SMA berdasar pada kondisi wilayah; (3) optimalisasi dan pembentukan tim koordinasi pengangkatan pengawas sebagai pelaksana tugas yang bekerja secara efektif dan efisien; (4) mendorong peningkatan biaya operasional dan kesejahteraan pengawas daerah khusus; (5) penguatan sistem teknologi informasi yang meliputi pemetaan kebutuhan pengawas, pengembangan karir dan pemberdayaan.


(5)

ii ABSTRACT

Kodirin, Study Implementation Supervisory functionalizing High School in Natuna. Thesis. Terrain: School Pacasarjana Medan State University, 2015.

This study aims to: (1) obtaining profile data superintendent of schools at the high school level Natuna regency; (2) to obtain a description of the main tasks and functions of the superintendent of schools in the District Natuna; (3) obtain a picture that is becoming the dominant factor supporting and policy implementation functionalization school superintendent in accordance with the Regulation of Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No. 21 of 2010; and (4) to obtain an overview of the design development of school inspectors should be organized as an effort to make school superintendent in the district Natuna high school level as a professional supervisor.

The research, using a qualitative approach and including phenomenological research that is specific and overall (holistic). Are special because the study subjects were bureaucrats (stakeholders) and implementer in the supervisory field. Holistic or comprehensive as in this study not only involves supervisory aspect, but also the public administration. To collect the data the researchers used the techniques of observation, interviews and documentation.

The findings of this study are: (1) profile high school superintendent in Natuna regency, in terms of both quantitative and qualitative inadequate. The indicators can be seen from the non-fulfillment of the ideal ratio as mandated in the Regulation of Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No. 21 of 2010; (2) the district superintendent Natuna not have a clump of subjects Language, Social Studies, Sport and Cultural Art; (3) the geographical distance, means of transportation and small operating costs become a major obstacle in the high school supervisor running the appropriate duties and functions that exist in the Regulation of Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No. 21 of 2010; (4) the implementation of supervision are still focused on the island of Great Bunguran while Midai Island, Subi, Serasan Induk, East Serasan and Laut Island is only done once supervision for 1 year; (5) executive officers do not understand the content, intent and purpose of the Regulation policy Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No. 21 of 2010. The results of the analysis of the implementation of Regulatory Policy Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No. 21 of 2010 on the functioning of the supervisory high school in the District Natuna yet work effectively and efficiently because there is no policy makers who are concerned and serious to empower school superintendent in his duty to improve the quality and management of education. Furthermore, this study recommends the following matters: (1) encourage the implementation of qualification standards in the appointment of supervisors in accordance Permendiknas; (2) the preparation of technical operations supervisor functionalization of Senior High School based on the conditions of the region; (3) the optimization and establishment of a coordination team appointment as acting superintendent that work effectively and efficiently; (4) encourage increased operating costs and welfare supervisor particular area; (5) strengthening the information technology system which includes mapping the needs of supervisors, career development and empowerment.


(6)

(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam serta nikmat kesehatan, sehingga nikmat-nikmat tersebut melahirkan kekuatan, kemampuan dan kemudahan bagi saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Syaiful Sagala, M. Pd sebagai Pembimbing I dan kepada Prof. Dr. Sri Milfayetty, MS. Kons sebagai Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingannya dalam penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Medan, Bapak Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd 2. Direktur Program PascaSarjana Universitas Negeri Medan, Bapak Prof. Dr.

Abdul Muin Sibuea, M.Pd

3. Ketua Prodi Administrasi Pendidikan Bapak Dr. Darwin, M. Pd

4. Kepada narasumber bapak Prof. Dr. Zainudin, M.Pd, Bapak Dr. Arif Rahman, M.Pd dan Bapak Dr. Darwin, M.Pd. yang memberikan banyak masukan untuk kesempurnaan tesis ini.

5. Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan khususnya P2TK DIKMEN yang telah memberi bantuan beasiswa hingga terselesainya program ini.

6. Pemerintah Kabupaten Natuna provinsi Kepulauan Riau khususnya kepada Dinas Pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna yang telah mendukung dan memberi izin untuk mengikuti program tugas belajar.


(8)

ii

7. Koordinator Pengawas Bapak Ahmad Yani dan segenap pengawas SMA Kabupaten Natuna Bapak Azmar Nasution, M.Si, Bapak Elfis, S.Pd dan ibu Raja Haryanti, S.Pd yang telah membantu dan mendukung hingga terselesainya tesis ini.

8. Keluarga tercinta, kedua orangtua saya atas kasih sayang dan do’a beliau yang tak pernah putus untuk kakak, teteh, adik tercinta dan keluarga besar di Mojokerto serta Bali special for my lovely Dwi Yanuar Faranita Pramesuary yang telah memberi semangat dan doa.

9. Rekan-rekan mahasiswa administrasi pendidikan konsentrasi kepengawasan Angkatan II terima kasih atas kebersamaan yang kalian berikan selama ini. 10. Rekan-rekan Nurul Fikri Medan dan Banda Aceh antara lain Rahmat Hidayat,

Tengku Rajab, Raju Renaldy Handika, Abdullah Mutaqin, Jaka Prasetya, Pak Iqbal dll. Terimakasih untuk kesempatan 2 tahun menimba ilmu dan karir. Dalam penulisan tesis ini disadari banyak terdapat kekurangan dan kesalahan yang berasal dari kelemahan diri saya sebagai penulis. Namun saya berharap, tesis ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk yang lain.

Medan, 24 Juni 2015 Penulis


(9)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Permasalahan penelitian ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Implementasi Kebijakan Publik ... 17

1. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik ... 17

2. Model Implementasi Kebijakan Publik ... 21

a. Model Kebijakan Publik Grindle ... 22

b. Model implementasi Kebijakan Van Meter dan Van horn Van ... 27

c. Model implementasi yang dikembangkan oleh George C. Edward III ... 31

3. Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan ... 33

4. Konsep Pengawas SMA ... 36

a. Pengertian Pengawas SMA ... 36

b. Dasar Yuridis Pengawas SMA ... 36

c. Tujuan Pengawas Sekolah di SMA ... 37

d. Peran, Fungsi, dan Tugas Pengawas SMA ... 37

B. Implementasi kebijakan Fungsionalisasi Pengawas SMA ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis penelitian ... 51

1. Lokasi Penelitian ... 52

2. Waktu Penelitian ... 53

3. Fokus Penelitian ... 53

4. Penentuan Informan ... 55

B. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 55


(10)

iv

2. Selama di Lokasi Penelitian ... 56

3. Pengumpulan Data ... 56

C. Prosedur analisis Data ... 58

1. Reduksi Data ... 58

2. Penyajian Data (Data Display) ... 59

3. Penarikan Kesimpulan... 59

D. Keabsahan Hasil Penelitian ... 60

1. Derajat Kepercayaan ... 60

a) Penggunaan Bahan Referensi ... 61

b) Mengadakan “member check” ... 61

c) Triangulasi ... 61

2. Transferabilitas ... 62

3. Dependabilitas ... 63

4. Konfirmabilitas... 63

E. Mekanisme Penelitian ... 64

F. Definisi Konsep ... 65

BAB IV PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN A. Paparan Data... 67

1. Gambaran Umum ... 67

2. Implementasi Kebijakan Fungsionalisasi Pengawas SMA di Kabupaten Natuna ... 73

a. Profil Pengawas SMA Berdasarkan Kualifikasi, Pengalaman Kerja, Jabatan Fungsional, Penyebaran dan Rasio Kebutuhan Pengawas SMA di Kabupaten Natuna. ... 73

b. Tugas Pokok Dan Fungsi Pengawas SMA di Kabupaten Natuna ... 78

c. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 Tentang Fungsionalisasi Pengawas SMA. ... 89

d. Desain Implementasi Kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 Tentang Fungsionalisasi Pengawas SMA di Kabupaten Natuna ... 110

B. Pembahasan Hasil Penelitian... 124

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 137


(11)

v

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Teori Tupoksi Pengawas SMA ... 38

2.2 Kerangka Teori ... 48

4.1 Komposisi Etnis Kabupaten Natuna pada tahun 2010 ... 69

4.2 Kondisi Akses Transportasi Kabupaten Natuna Tahun 2015 ... 70

4.3 Jumlah Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Natuna Tahun 2015 ... 71

4.4 Jumlah Guru Mapel dan Rumpun Mapel di Kabupaten Natuna Tahun 2015 ... 72

4.5 Profile Pengawas Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Natuna Tahun 2015 ... 73


(12)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 2.1 Diagram Implementasi Kebijakan Berdasarkan Isi dan Konteks

Implementasinya ... 21

2.2 Diagram Model The Implementation Process ... 25

2.3 Diagram Model Edward III Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik ... 30

2.4 Diagram Kerangka Pikir Implementasi Kebijakan Fungsionalisasi Pengawas SMA di Kabupaten Natuna ... 50

3.1 Diagram Mekanisme Penelitian ... 64

4.1 Peta Kabupaten Natuna ... 68

4.2. Struktur Pembinaan Pengawas Sekolah ... 107

4.3 Oraganigram Konteks Institusi Pendidikan Yang Memfasilitasi Penyelenggara Satuan Pendidikan Menengah ... 112

4. 4. Organisasi Model Struktur Tata Kerja Organisasi Pendidikan Dalam Implementasi Kebijakan Fungsionalisasi Pengawas SMA .... . 115

4.5. Desain Implementasi Pemenuhan Kebutuhan Pengawas Tahun Berbasis Kultural Kewilayahan ... 118

4.6 Desain Implementasi Kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 Tentang Fungsionalisasi Pengawas SMA di Kabupaten Natuna (Desain Deseminasi Perwujudan Pengembangan dan Pemberdayaan Pengawas SMA di Kabupaten Natuna ... 120

4.7 Desain Implementasi Kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 Tentang Fungsionalisasi Pengawas SMA di Kabupaten Natuna (Desain Deseminasi Perwujudan Pengembangan dan Pemberdayaan Pengawas SMA Di Kabupaten Natuna ... 123


(13)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 : Lembar Wawancara ... 157

2 : Lembar Dokumentasi ... 162

3 : Lembar Dokumentasi 2 ... 164

4 : Pedoman Observasi ... 166

5 : Catatan Lapangan... 167

6 : Lembar Perhitungan Kebutuhan Pengawas ... 173

7 : Foto Kegiatan Penelitian ... 175


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pengawas pendidikan mempunyai kedudukan yang strategis dan penting dalam membina dan mengembangkan kemampuan profesional guru dan kepala sekolah dengan tujuan agar sekolah yang dibinanya dapat meningkatkan mutu pendidikan. Pengawas sekolah yang merupakan jabatan fungsional berlaku dalam lingkungan pendidikan formal. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 tahun 2010, pasal 1 ayat 2 menyebutkan pengawas sekolah adalah pegawai negeri sipil (guru) yang diberi tugas dan tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melaksanakan pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan.

Sagala, (2012: 138) mendefinisikan pengawas sekolah adalah tenaga kependidikan professional yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dalam bidang akademik (tekhnis pendidikan) maupun bidang manajerial (pengelolaan sekolah). Oleh karena itu pengawas sekolah sangat berperan memberi informasi kualitas pendidikan dan tata kelola sekolah yang dibinanya yang selanjutnya akan menjadi acuan pemerintah daerah dalam memperbaiki kualitas pendidikan di daerahnya.

Mustofa, (2012: 5) mengemukakan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan adalah seseorang yang melaksanakan tugas supervisi bukan inspeksi dan juga seseorang yang melaksanakan kontrol. Oleh sebab itu pengawas


(15)

2

sekolah disebut supervisor pendidikan yang bermakna melakukan pembinaan. Sedangkan inspeksi diartikan sebagai kepatuhan kepada peraturan kelembagaan dan kontrol diartikan sebagai pemeriksaan terhadap program-program tersebut dilaksanakan atau tidak. Dengan demikian ketiga istilah tersebut yakni supervisi, inspeksi dan kontrol memiliki perbedaan yang esensi walaupun ada kesamaan yakni adanya unsur pemeriksaan dan unsur pengawasan.

Pengawas sekolah berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang pengawasan akademik dan manajerial pada sejumlah satuan pendidikan yang ditetapkan. Merujuk pada satuan pendidikan, maka kemudian jabatan pengawas dibedakan menjadi pengawasan TK, pengawasan SD, pengawasan SMP, pengawasan SMA, dan pengawasan SMK (Sudjana, 2012a: 31-33). Tugas pokok pengawas sekolah adalah melaksanakan pengawasan akademik (memberikan bantuan profesional kepada guru agar dapat meningkatkan kualitas pembelajarannya) dan pengawasan manajerial (memberikan bantuan profesional kepada kepala sekolah dan tenaga kependidikan di sekolah untuk meningkatkan kualitasnya dalam hal tata kelola sekolah).

Melalui kegiatan supervisi tanggung jawab yang diemban oleh pengawas sekolah adalah tercapainya mutu pendidikan di sekolah yang dibinanya. Sebagai dampak adanya pengawasan akademik dan pengawasan manajerial. Mutu pendidikan sekolah tidak hanya dilihat dari jumlah dan kualitas lulusan, melainkan diukur dari tercapainya delapan standar nasional pendidikan. Pengawas sekolah bertanggung jawab atas keterlaksanaan delapan standar di semua sekolah binaannya sebagai kriteria minimal mutu pendidikan. Dengan kata lain pengawas sekolah adalah penjamin mutu pendidikan pada sekolah yang dibinanya (Sudjana,


(16)

3

2012b: 29). Pengawas sekolah mempunyai tugas pokok untuk melaksanakan pengawasan akademik dan pengawasan manajerial serta melakukan pembimbingan dan profesionalisme guru dan kepala sekolah. Oleh sebab itu pengawas sekolah harus memiliki kemampuan akademik yang lebih tinggi dari guru dan kepala sekolah agar tugas pengawasan bisa mencapai hasil yang optimal.

Berdasarkan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 maka kegiatan yang dilakukan oleh pengawas baik itu pengawasan akademik maupun pengawasan manajerial, kegiatan yang harus dilakukan pengawas sekolah antara lain:

1. menyusun program kerja kepengawasan untuk setiap semester dan setiap tahunnya pada sekolah yang dibinanya.

2. melaksanakan penilaian, pengolahan dan analisis data hasil belajar/bimbingan siswa dan kemampuan guru.

3. mengumpulkan dan mengolah data sumber daya pendidikan, proses pembelajaran, lingkungan sekolah yang berpengaruh terhadap perkembangan hasil belajar/bimbingan siswa.

4. melaksanakan analisis komprehensif hasil analisis berbagai faktor sumber daya pendidikan sebagai bahan untuk melakukan inovasi sekolah.

5. memberikan arahan, bantuan dan bimbingan kepada guru tentang proses pembelajaran/bimbingan yang bermutu untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar/ bimbingan siswa.

6. melaksanakan penilaian dan monitoring penyelenggaran pendidikan di sekolah binaannya mulai dari penerimaan siswa baru, pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan ujian sampai kepada pelepasan lulusan/pemberian ijazah.


(17)

4

7. menyusun laporan hasil pengawasan di sekolah binaannya dan melaporkannya kepada dinas pendidikan, komite sekolah dan stakeholder lainnya.

8. melaksanakan penilaian hasil pengawasan seluruh sekolah sebagai bahan kajian untuk menetapkan program kepengawasan semester berikutnya.

9. memberikan bahan penilaian kepada sekolah dalam rangka akreditasi sekolah. 10. memberikan saran dan pertimbangan kepada pihak sekolah dalam

memecahkan masalah yang dihadapi sekolah berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.

Kesepuluh kegiatan di atas saling terkait satu sama lain sehingga menjadi rangkaian kegiatan kerja pengawas sekolah melaksanakan tugas pengawasan. Diawali dengan penyusunan program pengawasan diakhiri dengan pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan pada kurun waktu satu semester.

Sejalan dengan tugas-tugas sebagaimana dikemukakan diatas ditetapkan sejumlah kewajiban utama pengawas menurut Sudjana (2012a: 19) adalah; (1) melaksanakan tugas pengawasan akademik dan manajerial serta melakukan pembimbingan/pelatihan kemampuan profesional guru dan (2) meningkatkan kemampuan profesionalismenya melalui peningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi yang harus dikuasainya secara berkelanjutan. Rincian dua kewajiban utama pengawas tersebut menurut Sudjana, (2012b: 29) adalah sebagai berikut: 1. menyusun program pengawasan, melaksanakan program pengawasan,

melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan serta membimbing dan melatih kemampuan profesional guru.


(18)

5

2. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni.

3. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, nilai agama, dan etika.

4. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Mencermati empat butir kewajiban di atas terlihat ada dua kewajiban utama pengawas sekolah yakni (a) melaksanakan tugas pengawasan akademik dan manajerial serta melaksanakan pembimbingan/pelatihan kemampuan profesionalisme guru dan (b) meningkatkan kemampuan profesionalismenya melalui peningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi yang harus dikuasainya secara berkelanjutan. Kedua kewajiban tersebut saling terkait satu sama lain.

Berbeda persoalanya, pada penelitian yang dilaksanakan oleh Ali Sudin (2008: 5) menunjukan pelaksanaan supervisi pembelajaran di kabupaten Sumedang baru sebatas cukup dengan skor sebesar 6.967 (45,27%) dari skor ideal yang seharusnya 15.390 artinya sebanyak 54,3% supervisi pembelajaran belum dilaksanakan dengan baik. Hal itu relevan dengan penelitian Zaman Hurri di kabupaten Nagan Raya propinsi Aceh (2013: 22) menemukan bahwa: Pengawas sekolah dalam menyusun dokumen program kepengawasan, baik program tahunan maupun program semester yang memuat kegiatan supervisi akademik dan manajerial dalam usaha membina profesional guru dan manajemen kepala sekolah, dari 29 pengawas sekolah yang di survei sebanyak 24 (87,76%) pengawas belum menyusun program kepengawasan tersebut secara lengkap.


(19)

6

Hasil penelitian di atas diperkuat oleh Nafiul Lubab (2012: 45) dalam penelitianya tentang kinerja pengawas SMA PAI di Kota Semarang Tahun 2012. Hasil analisis data menunjukkan kinerja 15 pengawas SMA dalam pelaksanaan program pengawasan 8 standar pendidikan berhasil kurang baik. Pelaksanaan program pengawasan untuk 8 standar pendidikan pada program tahunan (Prota) dan program semester (Promes), dari 15 pengawas pengawas yang berhasil melaksanakan program pengawasan 7 standar pendidikan sebanyak 2 pengawas; 3 standar pendidikan sebanyak 3 pengawas, 2 standar pendidikan sebanyak 1 pengawas; dan ada 4 pengawas yang tidak melaksanakan program pengawasan untuk 8 standar pendidikan. Untuk program Rencana Kepengawasan Akademik (RKA) semua pengawas belum melaksanakan program. Kemudian, pelaksanaan dari pembimbingan, pelatihan, dan pengembangan profesionalitas guru, pembinaan dan pemantauan pelaksanaan standar pendidikan, dan PKG SMA juga masih kurang baik.

Berbagai penelitian di atas relevan dengan hasil uji kompetensi (UK) yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2012, kompetensi pengawas paling rendah dibandingkan guru-guru yang mereka awasi. Rata-rata nilai ujian para pengawas yang ikut dalam UKA 32,58, sedangkan rata-rata nasional 42,25. Rata-rata-rata Guru TK 58,9; guru SD 36, guru SMP 46, dan guru SMA 51,35. Uji kompetensi (UK) pengawas merupakan alat ukur penguasaan ilmu pengetahuan pengawas sebagai dasar untuk melaksanakan tugasnya. Jika tingkat penguasaan pengetahuan yang mendasari pekerjaan rendah, maka kinerjanya juga rendah.


(20)

7

Hadiyat Soetopo dan Wasty Soemanto (1984: 62) mengindikasikan ada tiga hambatan dalam pelaksanaan pengawasan, diantarnya pertama, faktor

organisasi karena kurangnya pengenalan dan kesadaran tentang tanggungjawab pengawas serta kegagalan dalam menetapkan wewenang dan tanggungjawab pengawas. Kedua, dipihak pengawas, yang kurang dipersiapkan menjadi

pengawas, pengalaman belajar yang diperoleh di saat “pre-service education”

belum menjadi bekal yang cukup untuk melaksanakan tugas pengawasan. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan pengawas daripada kepala sekolah dan pemimpin-pemimpin pendidikan lainya, akan menghambat pelaksanaan pengawasan pendidikan. Serta, ketiga dari sikap-sikap guru terhadap pengawas

merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pengawasan. Kesan guru terhadap pengawas yang kurang demokratis pernah terjadi di masa lalu. Karena prosedur pengawasan yang kurang memenuhi harapannya.

Dari data penelitian tersebut ada sejumlah permasalahan terkait dengan pengawas sekolah yaitu pengawas sekolah belum menyusun dokumen program kepengawasan secara lengkap, pemahaman pengawas sekolah masih terbatas pada tugas inspeksi, kompetensi pengawas sekolah yang masih rendah, rasio yang tidak seimbang antara jumlah pengawas dengan sekolah yang diawasi, sistem rekrutmen yang tidak melalui fit and proper test, kurangnya dukungan dan penghargaan yang diberikan oleh pemerintah daerah dan dinas pendidikan setempat maupun pihak satuan pendidikan kepada pengawas sekolah untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengawas satuan pendidikan. Problematika klasik tersebut juga nampak pada studi pendahuluan oleh peneliti melalui wawancara dengan guru dan kepala sekolah di SMA Negeri 1


(21)

8

Bunguran Timur pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB ditemukan gambaran masalah pengawas sekolah pendidikan menengah (Dikmen) di kabupaten Natuna antara lain adalah:

Pertama, beberapa kenyataan menunjukan masih ada pengawas sekolah di bidang mata pelajaran (pelaksana supervisi mata pelajaran) yang memahami supervisi masih identik dengan kegiatan inspeksi kepada guru dan kepala sekolah. Hal ini karena dalam praktek supervisinya mereka cenderung mengawasi apa yang dikerjakan oleh guru dengan mencari kekurangan dan kesalahan, dari kekurangan dan kesalahan itulah yang diangkat sebagai temuan untuk menjadi bahan laporan.

Kedua, para pengawas sekolah kurang memahami hakikat dan substansi pembelajaran di SMA. Mereka tidak faham tentang bagaimana melaksanakan pembelajaran yang seharusnya. Sehingga para pengawas tidak memberi arahan, contoh, bimbingan dan agar pelaksanaan proses pendidikan yang dilaksanakan disekolah lebih baik dari sebelumnya.

Ketiga, pelaksanaan supervisi tidak lebih hanya sekedar menjalankan fungsi administrasi, mengecek apa saja ketentuan yang telah dilaksanakan dan yang belum dilaksanakan, oleh karena itu bobot kegiatanya masih bersifat administratif. Hasil kujungan itulah yang kemudian disampaikan sebagai laporan berkala misalnya laporan bulanan, semester dan tahunan yang ditujukan pada atasannya.

Keempat, berdasarkan data yang diperoleh dari kepala bidang pendidikan menengah (Kabid Dikmen) kabupaten Natuna tahun 2013 ditemukan bahwa; (1) belum terpenuhinya jumlah rasio ideal pengawas sekolah satuan pendidikan dan


(22)

9

rumpun mata pelajaran di kabupaten Natuna, hal itu dibuktikan dari jumlah 4 orang pengawas sekolah; 2 orang berlatar belakang pendidikan Matematika, 1 orang belatar pendidikan Bimbingan Konseling (BK) dan 1 orang berlatar belakang pendidikan Kimia, sehingga untuk kebutuhan pengawas di Kabupaten Natuna yang baru terpenuhi adalah mata pelajaran rumpun IPA, Matematika, BK dan terjadi kekurangan pengawas sekolah untuk rumpun mata pelajaran IPS, Olah Raga, Seni Budaya, TIK dan Bahasa; (2) empat orang pengawas sekolah di kabupaten Natuna semua hanya 1 memiliki kualifikasi pendidikan S2 hal ini bisa dipahami karena faktor geografis yang merupakan wilayah terpencil dan perbatasan menjadi kendala bagi pengawas sekolah untuk meningkatkan kualifikasi akademiknya apalagi kalau hal itu harus ditempuh melalui izin belajar bukan tugas belajar; (3) usia pengawas sekolah pendidikan menengah di kabupaten Natuna rata-rata sudah di atas 50 tahun dan merupakan guru senior yang ditugaskan menjadi pengawas sekolah; (4) proses pengangkatan pengawas sekolah belum melalui uji kompetensi / fit and proper test tetapi hanya melalui penunjukan secara langsung kepada guru senior yang dipandang memenuhi kriteria kepangkatan dan pengalaman mengajar lebih.

Kelima, kompetensi pengawas sekolah pendidikan menengah di kabupaten Natuna masih rendah dibuktikan dari hasil uji kompetensi (UK) tahun 2012 rata-ratanya adalah 32,28 berada dibawah rata-rata nasional yaitu 42,25 dan dibawah nilai rata-rata uji kompetensi guru SMA yaitu 51,35. Uji kompetensi (UK) pengawas merupakan alat ukur penguasaan ilmu pengetahuan pengawas sebagai dasar untuk melaksanakan tugasnya. Jika tingkat penguasaan pengetahuan yang mendasari pekerjaan rendah, maka kinerjanya dapat di pastikan rendah.


(23)

10

Berdasarkan pembacaan di atas, muara dari berbagai persoalan yang muncul adalah (1) mengapa pengawas sekolah masih memahami supervisi identik dengan kegiatan penilaian atau inspeksi?; (2) mengapa pelaksanaan supervisi di kabupaten Natuna masih sekedar menjalankan fungsi administrasi bukan pembinaan terhadap guru dan kepala sekolah?; (3) mengapa kompetensi pengawas sekolah di kabupaten Natuna masih rendah?; (4) bagaimanakah proses penetapan pengawas sekolah di kabupaten Natuna?; (5) apakah penetapan kebutuhan pengawas berdasarkan jumlah sekolah?; (6) apakah penetapan kebutuhan pengawas sekolah berdasarkan banyaknya guru rumpun mata pelajaran?; (7) bagaimanakah program penyiapan ketenagaan pengawas sekolah di kabupaten Natuna?; (8) bagaimanakah program peningkatan kompetensi pengawas sekolah di kabupaten Natuna?; (9) bagaimana program pengembangan kuantitas dan kualitas pengawas sekolah di Kabupaten Natuna?.

Disinilah kajian implementasi kebijakan fungsionalisasi pengawas dituntut untuk selalu dilakukan dari tahun ke tahun. Dengan mengkaji implementasi kebijakan standar kinerja pengawas pada kurun waktu tertentu akan mengetahui kelemahan, keberhasilan, dan kegagalan seorang pengawas secara keseluruhan pada periode tertentu. Dengan demikian persoalan tidak berhasilnya harapan dari tercapainya tujuan pengawasan di SMA ini akan menjadi feedback

atau solusi ke depan dalam upaya menentukan desain pengembangan supaya tercapai kinerja pengawas ideal sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Kabupaten Natuna merupakan bagian dari provinsi Kepulauan Riau secara geografis Kabupaten Natuna dikelilingi oleh Laut Cina Selatan dan berbatasan laut dengan Negara Malaysia, Thailand, China dan Vietnam. Dengan


(24)

11

kondisi geografisnya berupa kepulauan dimana jarak antara pulau satu dengan pulau yang lain membutuhkan waktu minimal 3 jam dengan sarana transportasi dan telekomunikasi yang terbatas tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para pengawas sekolah di kabupaten Natuna untuk melaksanakan tugas supervisinya sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dengan tantangan geografis, komunikasi, rentang kendali birokrasi dan sumberdaya tersebut tentunya diperlukan desain pengembangan pengawas SMA di masa mendatang yang sesuai dengan profil kabupaten Natuna. Sehingga pengawas sekolah SMA di kabupaten Natuna akan mampu menghadapi tantangan-tantangan tersebut dan para pengawas sekolah dapat melaksanakan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya secara optimal. Keinginan kuat untuk melakukan perubahan dan kondisi objektif diatas sebagai “alasan” kuat bagi peneliti untuk melakukan penelitian tentang “ Studi Implementasi Kebijakan Fungsionalisasi Pengawas SMA di Kabupaten Natuna.

B. Fokus Permasalahan penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut fokus penelitian mendasar dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Fungsionalisasi Pengawas Sekolah SMA di Kabupaten Natuna”. Bertitik tolak pada fokus masalah tersebut selanjutnya dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Profil pengawas SMA berdasarkan kualifikasi, pengalaman kerja, jabatan fungsional, kompetensi, kinerja, penyebaran dan rasio kebutuhan pengawas SMA di Kabupaten Natuna?


(25)

12

2. Bagaimanakah pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pengawas SMA di Kabupaten Natuna?

3. Apakah faktor dominan yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan fungsionalisasi pengawas SMA di Kabupaten Natuna mengacu pada teori Edward III?

4. Bagaimanakah desain pengembangan pengawas sekolah yang harus disusun sebagai upaya menjadikan pengawas SMA di kabupaten Natuna sebagai pengawas yang professional, mengacu pada kebijakan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah penelitian, secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi deskriptif secara jelas mengenai Implementasi kebijakan fungsionalisasi pengawas SMA sebagai pengawas professional di kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh data profil pengawas SMA berdasarkan latar belakang pendidikan, jurusan, kualifikasi, pengalaman kerja, jabatan fungsional dan penyebaran serta rasio kebutuhan pengawas SMA masa mendatang di Kabupaten Natuna.

2. Memperoleh deskripsi mengenai pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pengawas sekolah di Kabupaten Natuna.


(26)

13

3. Memperoleh gambaran faktor dominan yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan fungsionalisasi pengawas sekolah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010.

4. Memperoleh gambaran mengenai desain pengembangan pengawas sekolah yang harus disusun sebagai upaya menjadikan pengawas SMA di kabupaten Natuna sebagai pengawas yang profesional, setelah diberlakukannya kebijakan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Bagi Pengawas Sekolah

a. Mengelola sistem informasi pengawasan berupa profil pengawas, kinerja pengawas sekolah dan rasio penyebaran yang dapat digunakan sebagai input dalam melakukan pemetaan, pembinaan, promosi, dan pengembangan karir pengawas sekolah pendidikan tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

b. Mengembangkan analisis kekuatan dan kelemahan proses dan hasil pelaksanaan tugas pengawas sekolah sebagai dasar pengembangan dan perbaikan mutu profesi pengawas sekolah.

2. Manfaat Bagi Kepala Dinas Pendidikan.

a. Proses analisis pelaksanaan kebijakan fungsionalisasi pengawas ini dapat dijadikan dasar pembinaan pengawas sekolah, khususnya sebagai analisis


(27)

14

kebutuhan, peningkatan kompetensi dan profesionalisme pengawas melalui program pendidikan.

b. Dapat menjadi acuan dalam melakukan pengembangan profesi dan perekrutan pengawas dimasa yang akan datang sesuai dengan rasio kebutuhan.


(28)

137 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Merujuk pada pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya yang berdasar pada fenomena-fenomena esensial di lapangan, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Profil pengawas SMA di Kabupaten Natuna, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif belum memadahi. Indikatornya dapat dilihat dari spesialisasi latarbelakang pendidikan, usia, golongan dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, rasio antara jumlah Pengawas Sekolah dengan jumlah sekolah.

Jumlah Pengawas SMA 3 orang dengan rincian 2 pengawas bidang studi Matematika dan 1 pengawas bidang studi bimbingan dan konseling (BK), tingkat pendidikan 2 orang S1, dan 1 orang berpendidikan S2, rata-rata 3 pengawas umurnya di atas 50 tahun dan golongan pengawas rata-rata pengawas madya.

Mengenai rasio jumlah pengawas sekolah dengan jumlah sekolah yang harus diawasi beserta penyebarannya, rasio pengawas di kabupaten Natuna adalah 1:12. Kondisi tersebut lebih memprihatinkan karena belum ada pengawas mata pelajaran Bahasa, IPS, TIK, OLahraga dan Seni Budaya. Untuk mengatasi kekurangan jumlah pengawas SMA, sebenarnya ada 14 guru/ kepala sekolah di Kabupaten Natuna yang potensial untuk diangkat menjadi pengawas sekolah. Pertimbangan yang harus diperhatikan agar pengangkatannya, tidak menimbulkan kekurangan guru, artinya harus diimbangi dengan pengangkatan guru baru setiap tahunnya.


(29)

138

Berdasarkan berbagai fakta mengenai profil pengawas sekolah tersebut, akan menjadi hambatan dalam upaya peningkatan kinerja guru dan hasil belajar

siswa, sebagai hasil dari kinerja pengawas sekolah. Demikian pula hambatan

tersebut akan menjadikan tantangan dalam upaya menjadikan pengawas

profesional sebagai penjamin kualitas. Selain itu jarak rentang kendali dan

kendala geografis yang berupa kepulauan, pengawas di Kabupaten Natuna dalam melakukan pelaksanaan pengawasan menjadi kurang intensif dan hanya terfokus di Pulau Bunguran Besar atau sekitar kota Ranai, sementara pulau-pulau yang lain seperti Midai, Subi, Serasan Induk, Serasan Timur dan Pulau Laut hanya dilakukan supervisi selama satu kali dalam satu tahun.

2. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pengawas SMA selama ini dapat dikategorikan dalam temuan yang belum memuaskan. Tercermin dari indikator sebagai berikut: (1) penyusunan program pengawasanpara pengawas masih berpandangan bahwa Prota, Promes, dan RKA masing-masing pengawas pada dasarnya adalah sama, sehingga mereka menyamakan persepsi penyusunan program tersebut. (2) proses pelaksanaan program kepengawasan berlangsung tidak maksimal disebabkan dalam pembuatan program pengawasan Prota, Promes, dan RKA SMA ada pengawas yang baru membuatnya di tengah proses pelaksanaan program pengawasan, dan ada pengawas yang belum sama sekali membuat program kepengawasan; (3) motivasi penyelesaian tugas program pengawasan lebih disebabkan sebagai prasyarat mendapatkan tunjangan sertifikasi. Sehingga targetnya hanya untuk penambahan gaji, pengawas bukan kewajiban untuk menyelesaikan tugas pokok perencanaan.


(30)

139

Selanjutnya pada pelaksanaan program pengawasan tidak berjalan dengan baik karena beban kerja yang overload antara waktu yang tersedia dengan beban wilayah sekolah dan jumlah guru. Akibatnya kegiatan supervisi sekolah hanya dilakukan dalam sebulan sekitar 6 sekolah yang bisa dikunjungi. Kurangnya perhatian pendataan dokumentasi pelaksanaan program pengawasan SMA. Persoalan ini tampak pada daftar kunjungan pengawas SMA ke sekolah SMA atau kegiatan MGMP serta penilaian kinerja guru yang masih kosong baik pada semester gasal dan semester genap. Hal ini mengindikasikan menjadi titik kelemahan pengawas ke depan yang berimbas pada tidak berjalannya penyusunan data laporan pengawas. Kalaupun ada laporan pengawas, sifatnya pada tataran deskriptif pelaksanaan, belum pada dataran analisis.

Sementara itu pada pelaporan kegiatan pengawasan problemnya pada belum ada presentasi hasil kepengawasan/pertanggungjawaban dari masing-masing pengawas terhadap hasil kepengawasannya, yang berupa rapat dinas tetap. Sifat laporan lebih ke titik administratif belaka, belum menyentuh aspek penilaian yang bersifat mengoreksi kinerja pengawas selama masa tertentu. Dalam laporan bulanan ini tidak ada skema penulisan laporan yang sesuai dengan aturan analisis penilaian untuk perencanaan bulan-bulan ke depan. Namun hanya sebatas laporan kunjungan ke sekolah/madrasah wilayah binaan pengawas bidang studi SMA masing-masing.

Pada kegiatan pelaporan semester bukan laporan analisis yang dipakai dalam semester yang telah berjalan, untuk kemudian sebagai strategi perencanaan semester ke depan. Begitu juga, bukan laporan pengawas yang menyampaikan informasi komprehensif tentang keterlaksanaan, hasil yang


(31)

140

dicapai, serta kendala yang dihadapi pengawas yang bersangkutan dalam menjalankan tupoksi pada semua guru SMA binaannya. Akibatnya kegiatanpelaporannya hanya bersifat administratif bukan analisis permasalahan supervisi dan strategi perencanaan untuk kegiatan supervisi selanjutnya.

Untuk hal tersebut dapat dipertimbangkan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan kinerja penyusunan program pengawasan proses implementasi kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 tentang fungsionalisasi pengawas SMA di Kabupaten Natuna melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) memberikan beban tugas proporsional kepada pengawas, sesuai dengan batas normal penghitungan beban kerja pengawas satuan pendidikan madrasah/sekolah dan guru binaannya. sehingga tidak overload terhadap beban kerja pengawas; (2) penambahan sistem imbalan, berupa insentif dan lainnya untuk mendorong kinerja pengawas lebih berdaya guna dan tepat guna.; (3) pemegang kebijakan pendidikan menengah agar mengeluarkan kebijakan strategis dan jangka panjang, terutama dalam rekrutmen dan separasi pengawas tepat pada waktunya. Sehingga tidak mengganggu berjalannya manajemen pelaksanaan pengawasan secara efektif dan efesien, sehingga dapat memberikan yang terbaik kepada masyarakat pendidikan; (4) penilaian kinerja pengawasan oleh atasan dilakukan oleh kepala Kepala dinas pendidikan dengan tim di dalamnya dari Kabid Dikmen dan Kasi Pendidikan SMA bagi pengawas SMA harus dilakukan betul-betul mengacu pada standar kinerja yang ada. 3. Faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan Permenegpan RB

No 21 Tahun 2010 tentang fungsionalisasi pengawas SMA di Kabupaten Natuna mengacu pada Teori Edward III, juga dihadapkan dengan berbagai


(32)

141

faktor pendukung dan penghambat, baik dari lingkungan internal maupun eksternal, seperti:

Faktor dominan yang menjadi pendukung adalah; a. Komunikasi dan Sosialisasi

Ditengah keterbatasan akses informasi dan geografis aparatur

pelaksana kebijakan mampu menjalankan fungsi sosialisasi dan

komunikasi kebijakan walaupun belum optimal.

b. Sumber daya

Adanya bantuan insentif dan bantuan operasional pengawas sekolah sebagai bentuk dukungan dan tidak lanjut dari kebijakan Permenegpan RB No 21Tahun 2010.

c. Disposisi (Karakteristik badan pelaksana dan sikap aparat pelaksana) Hadirnya kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 tentang fungsionalisasi pengawas telah menuai dukungan positif dari pengawas sekolah di Kabupaten Natuna.

d. Struktur organisasi/birokrasi

Fungsionalisasi pengawas sekolah di Kabupaten Natuna telah memperoleh dukungan penuh dari pemerintah pusat baik secara financial maupun fasilitas.

Faktor dominan yang menjadi penghambat adalah; a. Komunikasi dan Sosialisasi

1) Tidak efektifnya sosialisasi kebijakan baik kepada aktor-aktor pelaksana maupun kepada pengawas selaku kelompok sasaran, sehingga tidak optimal dalam membentuk sikap untuk berprilaku mendukung dan


(33)

142

meningkatkan minat partisipasi bagi sebagian pengawas sekolah pada setiap kluster kewilayahan.

2) Belum optimalnya koordinasi komunikasi antar lembaga dan dinas teknis terkait pengelola kebijakan. Dimana BKD sebagai actor pemetaan kebutuhan pengawas dan dinas pendidikan sebagai penyedia SDM. Hal tersebut telah mengakibatkan kabupaten Natuna mengalami defisit pengawas SMA.

3) kondisi wilayah di Kabupaten Natuna yang terdiri dari kepulauan, lautan, dan perbatasan yang terpencil menyebabkan akses informasi dan komunikasi cendrung lamban.

4) Belum tersedianya sistem informasi yang memadai dalam memanajemen proses implementasi kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 tentang fungsionalisasi pengawas SMA.

b. Sumber daya

1) kondisi faktual berdasarkan profil pengawas sekolah rumpun mata pelajaran baik kuantitas maupun kualitas belum memadai.

2) belum ada tim ahli yang memiliki kualifikasi yang tepat dalam menangani secara khusus dalam pengembangan dan pemberdayaan pengawas sekolah

3) kelemahan dalam penyediaan dan pembagian potensi sumber daya, baik finansial, ketenagaan, prasarana dan teknologi dalam implementasi kebijakan, telah berdampak terhadap lemahnya atau rendahnya kinerja dinas dan lembaga teknis terkait dalam mencapai sasaran kebijakan pengawasan di Kabupaten Natuna.


(34)

143

c. Disposisi (Karakteristik Badan Pelaksana dan Sikap Aparat Pelaksana) 1) kebijakan pendidikan di Kabupaten Natuna belum secara menyeluruh

mendukung kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 tentang fungsionalisasi pengawas, yakni belum adanya usaha memenuhi jumlah ideal pengawas dan rekrutment pengawas secara professional. 2) masih banyak aparat pelaksana yang belum memahami isi, maksud

dan tujuan kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 dan apa saja yang harus dilaksanakan

d. Struktur organisasi/birokrasi

1) fungsi pengawasan dan kontrol internal dari atasan langsung aparat pelaksana pada dinas dan lembaga teknis terkait belum optimal, sehingga banyak peluang yang dapat dikembangkan dalam upaya modifikasi di lapangan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan sesaat atau pelaksanaan tugas yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya seperti yang telah digariskan oleh kebijakan.

2) aktor atau pelaksana kebijakan telah memahami mengenai, maksud, tujuan dan sasaran kebijakan fungsionalisasi pengawas SMA tersebut, namun pemahaman tersebut belum ditindak lanjuti dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagaimana yang diharapkan, misalnya koordinasi yang diharapkan terbangun hingga ke tingkat kecamatan.


(35)

144

3) belum adanya petunjuk teknis dan desain implementasi kebijakan yang sesuai kebutuhan dan yang sebaiknya dilakukan di kabupaten Natuna yang menunjang implementasi kebijakan fungsionalisasi pengawas 4. Desain implementasi kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 sebagai

upaya pengembangan dan pemberdayaan pengawas SMA di Kabupaten Natuna. Desain implementasi Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 tentang fungsionalisasi pengawas SMA di Kabupaten Natuna dirangkai dengan memperhatian berbagai variabel. Variabel yang paling krusial adalah aktivitas dan komunikasi antar organisasi yang harus mengintegrasikan perpaduan sinergis diantara 5 (lima) aktivitas kebijakan, yaitu(a) mendorong pelaksaaan standar kualifikasi dalam pengangkatan pengawas sesuai permendiknas; (b) Penyusunan operasional teknis fungsionalisasi pengawas SMA berdasar pada kondisi wilayah; (c) optimalisasi dan pembentukan tim koordinasi pengangkatan pengawas sebagai pelaksana tugas yang bekerja secara efektif dan efisien; (d) mendorong peningkatan biaya operasional dan kesejahteraan pengawas daerah khusus; (e) penguatan sistem teknologi informasi dan pemetaan kebutuhan pengawas, pengembangan karir dan pemberdayaan.

Kemudian untuk melihat hasil kinerja pengembangan dan pemberdayaan pengawas SMA dari aktivitas implementasi yang ada maka hal-hal atau variabel lain harus diperhatikan adalah ukuran dan tujuan pengawasan, karakteristik badan pelaksana, sikap aparat pelaksana, sumber daya, kondisi wilayah, baik dari sosial, ekonomi, politik maupun cultural kewilayahan. Keseluruhan dari variabel desain implementasi harus terpadu secara sinergis


(36)

145

untuk memberikan hasil yang maksimal dalam mencapai tujuan yang diharapkan dalam implementasi kebijakan.

B. Implikasi

Penelitian ini telah menunjukan bahwa pemenuhan jumlah ideal pengawas SMA baik secara kuantitas dan kualitas seperti yang dipersyaratkan dalam Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 pasal 6 ayat 1-3 sangat mutlak diperlukan untuk dapat melakukan tugas pokok dan fungsinya secara profesional. Dalam pemenuhan pengawas sekolah rumpun mata pelajaran dapat dilakukan dengan mengacu standar kualifikasi pengawas SMA yang tertuang dalam Permendiknas No 12 Tahun 2007.

Hasil penelitian ini memberikan beberapa implikasi, antara lain: (1) implikasi terhadap perencanaan dan pengembangan kebutuhan pengawas SMA di Kabupaten Natuna, (2) program kegiatan pengembangan kualifikasi pengawas SMA, (3) implikasi terhadap pengembangan karir, (4) implikasi pengembangan kesejahteraan (5) implikasi terhadap pengembangan Diklat/Bintek, (6) implikasi terhadap pengembangan dalam bentuk penghargaan dan perlindungan dan (7) implikasi terhadap pemberdayaan dan kerjasama.

1. Perencanaan dan pengembangan kebutuhan pengawas SMA hendaknya

dirancang dengan cermat, disesuaikan dengan kondisi wilayah. Strategi perencanaan dan pengembangan pengawas SMA di Kabupaten Natuna harus mencakup lima komponen program yaitu (a) penyusunan pedoman perencanaan kebutuhan pengawas sekolah, (b) penyusunan Permendiknas pengangkatan guru dalam jabatan fungsional pengawas, (c) penyusunan


(37)

146

pelaksanaan penyiapan calon pengawas sekolah, (d) penyusunan pedoman pengangkatan pengawas sekolah dan (e) penyusunan pedoman pelaksanaan tugas pokok pengawas sekolah dan pengawasan program kesetaraan.

2. Program kegiatan pengembangan kualifikasi pengawas SMA. Untuk

mewujudkan pengawas sekolah yang profesional strategi penerapan kualifikasi yang yang dapat dilakukan adalah (a) memberikan beasiswa S-2 kepengawasan di PTN, (b) memberikan bantuan pendidikan bagi pengawas SMA yang sedang mengikuti pendidikan S-2, (c) penyusunan standar pengawas BK, (d) pemberian lisensi pengawas sekolah dalam jabatan melalui uji kompetensi, (e) lokakarya penyususnan kurikulum S-2 kepengawasan dan (f) memberikan Diklat materi pengawas dan kepengawasan bagi mahasiswa S-2 kepengawasan pendidikan.

3. Implikasi terhadap pengembangan karir. Pengembangan karir pengawas yang

harus diupayakan oleh dinas pendidikan Kabupaten Natuna meliputi 6 aspek yang harus diprioritaskan yaitu (a) penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan angka kredit jabatan fungsional pengawas, (b) penyusunan pedoman pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), (c) penilaian angka kredit jabatan pengawas, (d) pemberian biaya penyusunan karya tulis ilmiah berbasis penelitian, (e) penyusunan pedoman penilaian kinerja pengawas.

4. Implikasi pengembangan kesejahteraan. Pengembangan kesejahteran

pengawas sekolah yang harus diupayakan oleh dinas pendidikan dan pemerintah daerah Kabupaten Natuna mencakup beberapa item yaitu (a) pengajuan tunjangan profesi pendidik bagi pengawas sekolah, (b) pengajuan


(38)

147

tunjangan fungsional pengawas sekolah, (c) pengajuan tunjangan lisensi pengawas sekolah dan (d) penerbitan jurnal kepengawasan.

5. Pengembangan Diklat/Bintek. Implikasi kegiatan pengembangan diklat/bintek pengawas yang harus dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Natuna adalah (a) melaksanakan diklat/bintek PKB, (b) melaksanakan diklat/bintek penyusunan KTI, (c) pelaksanaan diklat/bintek perhitungan angka kredit jabatan fungsional pengawas sekolah, (d) pelaksanaan diklat fungsional calon pengawas sekolah, (e) bintek bagi koordinator pengawas SMA, (f) bintek pengawas sekolah SNBI dan (g) melakukan sosialisasi regulasi pengawas sekolah.

6. Implikasi terhadap pengembangan dalam bentuk penghargaan dan

perlindungan. Upaya yang dilakukan oleh dinas pendidikan kabupaten Natuna adalah (a) melakukan evaluasi kriteria dan pelaksanaan pemilihan pengawas sekolah teladan, (b) penyusunan pedoman pemilihan pengawas sekolah teladan, (c) melaksanakan pemilihan pengawas teladan, (d) membentuk dewan kehormatan pengawas sekolah bekerjasama dengan APSI dan (e) melakukan studi banding di dalam dan luar negeri untuk melihat perbandingan dan mencari contoh model pengembangan pengawas sekolah yang terbaik.

7. implikasi terhadap pemberdayaan dan kerjasama. Pemberdayaan dan

kerjasama pengawas sekolah di kabupaten Natuna dapat diwujudkan apabila ada 7 aspek program yang harus dijalankan yaitu (a) menyususn pedoman pelaksanaan beban kerja dan penetapan sekolah binaan, (b) penyusunan panduan tugas pengawas sekolah (buku saku pengawas), (c) pengembangan program dan kegiatan APSI, (d) pembentukan Tim Penilai Angka Kredit jabatan pengawas sekolah bekerjasama dengan APSI, (e) penetapan tugas


(39)

148

MKPS dan Korwas, dan (e) melakukan review kode etik pengawas sekolah bekerjasama dengan APSI.

Pengembangan pengawas sekolah pendidikan SMA diharapkan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan profesional pengawas sekolah menengah atas di masa mendatang lebih terencana dan berkesinambungan.

C. Rekomendasi

Berdasarkan penelitian ini ditemukan berbagai permasalahan yang tentunya perlu dilakukan langkah antisipasi untuk mengatasi setiap permasalah yang muncul dalam implementasi kebijakan Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 tentang fungsionalisasi pengawas SMA dan sebagai upaya mewujudkan pengembangan dan pemberdayaan pengawas di Kabupaten Natuna. Adapun rekomendasi penelitian ini sebagai berikut :

1. Dinas pendidikan Kabupaten Natuna perlu segera merekrut pengawas baru dengan standar kualifikasi seperti yang di amanahkan dalam Permendiknas No 12 Tahun 2007 guna menurunkan angka rasio pengawas SMA yang masih 1: 12 menjadi sekurang-kurangnya 1:5 sesuai dengan karakter wilayah Kabupaten Natuna yang merupakan daerah khusus.

2. Di Kabupaten Natuna masih ada kekurangan pengawas rumpun mata pelajaran Bahasa, IPS, OLahraga dan Seni Budaya untuk itu dinas pendidikan Kabupaten Natuna pada tahun 2016 perlu segera memenuhi angka kebutuhan pengawas rumpun mata pelajaran tersebut dengan rincian untuk rumpun mata pelajaran IPS sebanyak 2 pengawas, Bahasa sebanyak 2 pengawas, Olah Raga 1 pengawas dan Seni Budaya 1 pengawas jadi total ada 6 pengawas baru yang


(40)

149

perlu di rekrut pada tahun 2016. Kriteria standar kualifikasi pengawas yang harus diangkat adalah:

a. Memiliki pendidikan minimum magister (S2) kependidikan dengan basis sarjana (S1) dalam rumpun mata pelajaran yang relevan pada perguruan tinggi yang terakreditasi.

b. Guru SMA/MA/SMK bersertifikat pendidik sebagai guru dengan pengalaman kerja minimal 8 tahun dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMA/MA/SMK atau kepala sekolah SMA/MA/SMK dengan pengalaman kerja minimum 4 tahun,

c. Memiliki pangkat minimum III/C, berusia setinggi-tingginya 50 tahun sejak diangkat sebagai pengawas satuan pendidikan,

d. Memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas pada lembaga yang ditetapkan pemerintah.

e. Lulus seleksi pengawas satuan pendidikan.

3. Jarak geografis, alat transportasi dan kecilnya biaya operasional yang hanya 1,5 Juta dengan wilayah yang luas menjadi kendala utama pengawas SMA dalam menjalankan tupoksinya sesuai yang ada dalam Permenegpan RB No 21 Tahun 2010 terutama di daerah yang berada di luar pulau Bunguran Besar. Dinas pendidikan kabupaten Natuna perlu menerapkan aturan Permenegpan No 21 tahun 2010 pasal 6 ayat 3 dimana untuk daerah khusus seperti Pulau Midai, Subi, Serasan Induk, Serasan Timur dan Pulau Laut pengawas sekolah diangkat dan ditempatkan pada masing-masing pulau tersebut dengan sekolah


(41)

150

binaan terfokus dalam satu pulau secara lintas satuan pendidikan sehingga akan mengefektifkan supervisi tanpa ada terkendala faktor geografis..

4. Perlu adanya upaya dan komitmen dari dinas pendidikan Kabupaten Natuna untuk pengembangan kemampuan profesional pengawas sekolah yang pendanaannya tidak terlalu mengantungkan diri dari proyek-proyek pemerintah pusat dan propinsi. Melalui bagian-bagian terkait seperti Subid Dikmen pada dinas pendidikan Kabupaten Natuna, untuk segera menyusun program pelatihan yang khusus bagi pengawas sekolah secara berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan pengawas sekolah dan perkembangan pendidikan dan kepengawasan..

5. Dalam aktivitas implementasi kebijakan fungsionalisasi pengawas SMA dinas pendidikan perlu mengintegrasikan dan berkomitmen untuk melakukan perpaduan sinergis diantara 5 (lima) aktivitas kebijakan, yaitu; (a) pelaksaaan standar kualifikasi dalam pengangkatan pengawas sesuai Permendiknas; (b) penyusunan operasional teknis fungsionalisasi pengawas SMA berdasar pada kondisi wilayah; (c) optimalisasi dan pembentukan tim koordinasi pengangkatan pengawas sebagai pelaksana tugas yang bekerja secara efektif dan efisien; (d) mendorong peningkatan biaya operasional dan kesejahteraan pengawas daerah khusus; (e) penguatan sistem teknologi informasi yang memuat pemetaan kebutuhan pengawas, pengembangan karir dan pemberdayaan.


(42)

153

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 1991. Analisis Kebijakan dari formulasi ke implementasi kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Abdul Wahab, Solichin. 1997. Evaluasi Kebijakan Publik. Malang: Penerbit FIA. Universitas Brawijaya dan IKIP. Malang.

Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Alwasilah, A.C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang Dan

Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. New York: Holt, Rinehartand Winston

.

Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Aneka Cipta: Jakarta.

Binti, Maunah. 2009. Landasan Pendidikan, Yogyakarta: Penerbit Teras.

Bogdan, R.C., Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research For Education: An Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Bogdan & Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif; suatu pendekatan fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu sosial. Diterjemahkan oleh Arief Furcha. Surabaya: Usaha Nasional.

Brynard, Petrus A. 2005. Policy Implementation for service delivery (paper of 27th in Zambia AAPIA. Annual Rountable conference.

Burhanudin. 1990. Analisis Administrasi Manajemen Dan Kepemimpinan

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Catherine Marshall & Gretchen B. Rossman. 2006. Designing Qualitative Research. Thousands Oaks: Sage Publication.

Creswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. California: Sage Publications,Inc.

Dharma, Agus. 2004. Manajemen Supervisi: Petunjuk Praktis Bagi Para

Supervisor. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dunn, W. N. 2004. Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.


(43)

154

Dye, Thomas R. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall. Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC:

Congressional Quarterly Press.

Erwan, Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi kebijakan public konsep dan implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.

Faisal, Sanapiah. 1990. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Fatah, Syukur NC. 2012. Sejarah Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Gibson, James L, John M. Ivancevich dan James H. Donnelly Jr. 2000. Organizations: Behaviour, Structure and Process, McGraw-Hill Companies Inc, Boston.

Goggin, Malcolm L et al. 1990. Implementation, Theory and Practice: Toward a Third Generation, Scott, Foresmann and Company, USA.

Grindle, Merilees. 1980. Politic and policy implementation In the Third World. New Jersey: Princeston University Press.

Imawan, Riswandha. 2000. Pembangunan Politik, Demokratisasi dan integrasi nasional.Yogyakarta. Pustakan Pelajar.

Keban, Yeremias T. 2007. Pembangunan Birokrasi di Indonesia: Agenda

Kenegaraan yang Terabaikan, Pidato Pengukuran Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Komara, Moeslihat. 2008. Memodifikasi Model Tersebut Menjadi Desain

Implementasi Diseminasi. Bandung: Desertasi UPI.

Kusumah Wijaya dan Dwitagama Dedi. 2011. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Indeks .

Lincoln&Guba. 1984. Naturalistic Inquiry. London: Sage Publications.

Makinde, Taiwo. 2005. Problems of policy implementation in developing Nitions: The Nigerian Experience. Journal of social science, 11 (10:63-69. Nigeria: Kamla-Ra.

Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy, New York: HarperCollins.


(44)

155

Masyhud, Sulthon dan Moh. Khusnurdilo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren,

Jakarta: Diva Pustaka.

Meter, Donald Van, dan Carl Van Horn. 1975. The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework Administration and Society 6. London: Sage.

Miles, MB, dan Huberman A.M. 1984. Qualitative Data Analysis. Beverly Hills. Sage Publications.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Lubab, Nafiul. 2011. TesisKinerja Pengawas PAI SMA di Kota Semarang Tahun 2012. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Nasir, Moh. 2009. Metode Penelitian cetakan ketujuh. Bandung: Ghalia

Indonesia.

Nasrudin. 2007. Implementasi kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Sarana dan Prasarana pendidikan pasca Tsunami di Banda Aceh. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta; Magister Publik Universitas Gajah Mada.

Nasution. 1998. Metode Research. Bandung: Jemmars.

Nugroho, Riant Dwijowijoto. 2004. Komunikasi pemerintahan. Jakarta: Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia.

Ofsted. 2003. Inspecting schools Framework for inspecting schools. London: Office for Standards in Education.

Potton, M.Q. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods (3rd).

Thousands Oaks, CA: Sage.

Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.). 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSI.

Quade, E.S. 1984. Analysis For Public Decisions. New York: Elsevier Science Publishers.

Ripley, Ronald Band Grace A. Franklin. 1986. Policy Implementation and Bereaucracy. Chicago: Dorsey Press.


(45)

156

Sabatier, Paul. 1986. “Top down and Bottom up Approaches to Implementation Research”. Journal of Public Policy 6.

Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sagala, Syaiful. 2012. Supervisi Pembelajaran dalam profesi pendidikan.

Bandung: Alfabeta.

Sahertian, P.A. 2000. Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasioanal.

Satori Djam’an, Komariah Aan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Soemanto, Wasty dan Hendyat Soetopo. 1984. Dasar Teori Pendidikan Dunia: Tantangan Bagi Para Pemimpin Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional

.

Soemantri, Manap. 1999. Model Implementasi Penuntasan Dan Pemerataan

Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Berbasis Kultural Kewilayahan. Bandung: Desertasi UPI.

Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Sudarmanto. 2009. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM Teori, Dimensi

dan Implementasi dalam Organisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudin, Ali. 2008. Implementasi Supervisi Akademik Terhadap Proses

Pembelajaran di Sekolah Dasar Se Kabupaten Sumedang. “ Jurnal, Pendidikan Dasar Nomor: 9 - April 2008

Sudjana, Nana. 2012a. Pengawas dan Kepengawasan: Memahami Tugas Pokok,

Fungsi, Peran dan Tanggung Jawab Sekolah. Bekasi: Binamitra Publishing.

Sudjana, Nana. 2012b. Supervisi Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya bagi Pengawas Sekolah. Bekasi: Binamitra Publishing.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suparno. 2014. Implementasi Kebbijakan Ketahanan Pangan di Kabupaten


(46)

157

Surya Dharma dan Nana sujana. 2013. Menyusun program pengawasan. Jakarta:

Bina Mitra Publishing.

Swandi & Basori. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Pubik. Bandung: AIPI.

Tjiptono, F& Diana, A. 1995. Total Quality Management,Yogyakarta: Andi Offset.

Triton, PB. 2006. SPSS 13.0 Terapan: Riset Statistik Parametik.Yogyakarta : Andi.

Warun, 1103505085. 2007. Implementasi Supervisi Manajerial Pengawas Tk / Sd

Dalam Meningkatkan Kemampuan Profesional Kepala SD. Master thesis, Universitas Negeri Semarang. http://lib.unnes.ac.id/16728.

Winardi. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media

Pressindo.

Wibawa, Samudra. 1992. Studi Implementasi Kebijakan Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Yudhoyono. 2001. OtonomiDaerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Zaman, Hurri. 2013. Implementasi Tugas Pengawas Sekolah Dalam

Meningkatkan Profesional Guru MI di Lingkungan Kementerian Agama Kabupaten Nagan Raya. Master Thesis. Universitas Negeri Semarang.

Jurnal, Pendidikan Dasar Nomor: 9–April 2008“ Implementasi Supervisi

Akademik Terhadap Proses Pembelajaran di Sekolah Dasar Se-Kabupaten Sumedang.

Permendiknas. 2007. Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi

Pengawas Sekolah. Jakarta: Kemendikbud.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi

Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010. Tentang Jabatan Fungsional Pengawas

Sekolah Dan Angka kreditnya. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.


(47)

158

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118 Tahun

1996. Tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah Dan Angka


(1)

153 kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Abdul Wahab, Solichin. 1997. Evaluasi Kebijakan Publik. Malang: Penerbit FIA. Universitas Brawijaya dan IKIP. Malang.

Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Alwasilah, A.C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang Dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. New York: Holt, Rinehartand Winston.

Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Aneka Cipta: Jakarta.

Binti, Maunah. 2009. Landasan Pendidikan, Yogyakarta: Penerbit Teras.

Bogdan, R.C., Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research For Education: An Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Bogdan & Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif; suatu pendekatan fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu sosial. Diterjemahkan oleh Arief Furcha. Surabaya: Usaha Nasional.

Brynard, Petrus A. 2005. Policy Implementation for service delivery (paper of 27th in Zambia AAPIA. Annual Rountable conference.

Burhanudin. 1990. Analisis Administrasi Manajemen Dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Catherine Marshall & Gretchen B. Rossman. 2006. Designing Qualitative Research. Thousands Oaks: Sage Publication.

Creswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. California: Sage Publications,Inc.

Dharma, Agus. 2004. Manajemen Supervisi: Petunjuk Praktis Bagi Para Supervisor. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dunn, W. N. 2004. Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.


(2)

Dye, Thomas R. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall. Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC:

Congressional Quarterly Press.

Erwan, Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi kebijakan public konsep dan implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.

Faisal, Sanapiah. 1990. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Fatah, Syukur NC. 2012. Sejarah Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Gibson, James L, John M. Ivancevich dan James H. Donnelly Jr. 2000. Organizations: Behaviour, Structure and Process, McGraw-Hill Companies Inc, Boston.

Goggin, Malcolm L et al. 1990. Implementation, Theory and Practice: Toward a Third Generation, Scott, Foresmann and Company, USA.

Grindle, Merilees. 1980. Politic and policy implementation In the Third World. New Jersey: Princeston University Press.

Imawan, Riswandha. 2000. Pembangunan Politik, Demokratisasi dan integrasi nasional.Yogyakarta. Pustakan Pelajar.

Keban, Yeremias T. 2007. Pembangunan Birokrasi di Indonesia: Agenda Kenegaraan yang Terabaikan, Pidato Pengukuran Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Komara, Moeslihat. 2008. Memodifikasi Model Tersebut Menjadi Desain Implementasi Diseminasi. Bandung: Desertasi UPI.

Kusumah Wijaya dan Dwitagama Dedi. 2011. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Indeks .

Lincoln&Guba. 1984. Naturalistic Inquiry. London: Sage Publications.

Makinde, Taiwo. 2005. Problems of policy implementation in developing Nitions: The Nigerian Experience. Journal of social science, 11 (10:63-69. Nigeria: Kamla-Ra.

Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy, New York: HarperCollins.


(3)

Masyhud, Sulthon dan Moh. Khusnurdilo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.

Meter, Donald Van, dan Carl Van Horn. 1975. The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework Administration and Society 6. London: Sage.

Miles, MB, dan Huberman A.M. 1984. Qualitative Data Analysis. Beverly Hills. Sage Publications.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Lubab, Nafiul. 2011. TesisKinerja Pengawas PAI SMA di Kota Semarang Tahun 2012. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Nasir, Moh. 2009. Metode Penelitian cetakan ketujuh. Bandung: Ghalia Indonesia.

Nasrudin. 2007. Implementasi kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Sarana dan Prasarana pendidikan pasca Tsunami di Banda Aceh. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta; Magister Publik Universitas Gajah Mada.

Nasution. 1998. Metode Research. Bandung: Jemmars.

Nugroho, Riant Dwijowijoto. 2004. Komunikasi pemerintahan. Jakarta: Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia.

Ofsted. 2003. Inspecting schools Framework for inspecting schools. London: Office for Standards in Education.

Potton, M.Q. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods (3rd). Thousands Oaks, CA: Sage.

Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.). 1996. Pemberdayaan: Konsep,

Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSI.

Quade, E.S. 1984. Analysis For Public Decisions. New York: Elsevier Science Publishers.

Ripley, Ronald Band Grace A. Franklin. 1986. Policy Implementation and Bereaucracy. Chicago: Dorsey Press.


(4)

Sabatier, Paul. 1986. “Top down and Bottom up Approaches to Implementation Research”. Journal of Public Policy 6.

Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sagala, Syaiful. 2012. Supervisi Pembelajaran dalam profesi pendidikan.

Bandung: Alfabeta.

Sahertian, P.A. 2000. Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasioanal.

Satori Djam’an, Komariah Aan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Soemanto, Wasty dan Hendyat Soetopo. 1984. Dasar Teori Pendidikan Dunia: Tantangan Bagi Para Pemimpin Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional

.

Soemantri, Manap. 1999. Model Implementasi Penuntasan Dan Pemerataan

Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Berbasis Kultural Kewilayahan. Bandung: Desertasi UPI.

Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Sudarmanto. 2009. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM Teori, Dimensi dan Implementasi dalam Organisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudin, Ali. 2008. Implementasi Supervisi Akademik Terhadap Proses Pembelajaran di Sekolah Dasar Se Kabupaten Sumedang. “ Jurnal, Pendidikan Dasar Nomor: 9 - April 2008

Sudjana, Nana. 2012a. Pengawas dan Kepengawasan: Memahami Tugas Pokok, Fungsi, Peran dan Tanggung Jawab Sekolah. Bekasi: Binamitra Publishing.

Sudjana, Nana. 2012b. Supervisi Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya bagi Pengawas Sekolah. Bekasi: Binamitra Publishing.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suparno. 2014. Implementasi Kebbijakan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang. Semarang: Desertasi Universitas Diponegoro


(5)

Surya Dharma dan Nana sujana. 2013. Menyusun program pengawasan. Jakarta: Bina Mitra Publishing.

Swandi & Basori. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Pubik. Bandung: AIPI.

Tjiptono, F& Diana, A. 1995. Total Quality Management,Yogyakarta: Andi Offset.

Triton, PB. 2006. SPSS 13.0 Terapan: Riset Statistik Parametik.Yogyakarta : Andi.

Warun, 1103505085. 2007. Implementasi Supervisi Manajerial Pengawas Tk / Sd Dalam Meningkatkan Kemampuan Profesional Kepala SD. Master thesis, Universitas Negeri Semarang. http://lib.unnes.ac.id/16728.

Winardi. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media

Pressindo.

Wibawa, Samudra. 1992. Studi Implementasi Kebijakan Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Yudhoyono. 2001. OtonomiDaerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Zaman, Hurri. 2013. Implementasi Tugas Pengawas Sekolah Dalam Meningkatkan Profesional Guru MI di Lingkungan Kementerian Agama Kabupaten Nagan Raya. Master Thesis. Universitas Negeri Semarang. Jurnal, Pendidikan Dasar Nomor: 9–April 2008“ Implementasi Supervisi

Akademik Terhadap Proses Pembelajaran di Sekolah Dasar Se-Kabupaten Sumedang.

Permendiknas. 2007. Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Pengawas Sekolah. Jakarta: Kemendikbud.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010. Tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah Dan Angka kreditnya. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.


(6)

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118 Tahun 1996. Tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah Dan Angka Kreditnya. Jakarta.