Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).
i
PEMBERIAN BERBAGAI JENIS MADU DENGAN RASIO PENGENCERAN
BERBEDA SETELAH MASA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
SPERMA IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)
FAHMI HASAN
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemberian berbagai jenis
madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap
kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus)” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Fahmi Hasan
NIM C14090044
ii
ABSTRAK
FAHMI HASAN. Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda
setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus). Dibimbing oleh HARTON ARFAH dan MIA SETIAWATI.
Benih yang baik dapat dihasilkan oleh induk yang unggul, untuk menghasilkan
induk unggul diperlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Masalah lain yang
terjadi pada industri pembenihan patin adalah sifat ikan patin waktu ovulasi telur 9-15
jam setelah penyuntikan, sehingga dibutuhkan waktu tunggu untuk sperma selama 6
jam agar seluruh telur dapat terbuahi dengan maksimal. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh pemberian berbagai jenis madu yaitu madu kelengkeng, madu
leci dan madu randu terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus) dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan yang
meliputi skor motilitas, persentase motilitas, viabilitas dan morfologi sperma serta
persentase fertilisasi dan persentase penetasan. Perlakuan terbaik didapatkan pada
peemberian madu kelengkeng sebagai sebagai pengencer sperma dengan rasio
pengenceran 1:50. Ukuran kepala sperma mencapai 4,29±0,51 µm dan panjang ekor
mencapai 27,22±1,54 µm. Skor motilitas sperma yang didapatkan 5,00±0,00aA, motilitas
sperma 87,67±0,58aC%, viabilitas sperma 96,33±0,58aB%, persentase fertilisasi
97,10±0,70cC% dan persentase penetasan 93,44±2,39cC%. Selain itu, rasio fertilisasi
1mL sperma segar dan jumlah butir telur mencapai 1:125000.
Kata kunci: ikan patin Pangasius hypopthalmus, madu, rasio pengenceran sperma.
ABSTRACT
FAHMI HASAN. Aplication various types of honey with different dilution ratios after
a period of storage on sperm quality Siamese catfish (Pangasius hypopthalmus).
Supervised by HARTON ARFAH and MIA SETIAWATI.
Good seed can be produced by a good broodstock, to produce a good
broodstock would takes a long time and high cost. A problem that usually occurs in
catfish hatchery industry was time ovulation of catish eggs for 9-15 hours after
injection. So it takes time for the sperm waiting for 6 hours for the whole egg can be
fertilized well. The purpose of this study was to determine the effect of various types of
honey (longan honey, lychee honey, and cottonwoods honey) on sperm quality Siamese
catfish (Pangasius hypopthalmus) with different dilution ratios after the storage period
which includes scores motility, percentage motility, viability and morphology of sperm,
fertilization rate, and hatching rate. The best treatment was obtained on the aplication of
longan honey as a sperm diluent 1:50 dilution ratio. Size of sperm head reached
4,29±0,51µm and a long tail 27,22±1,54µm. Sperm motility scores obtained
5,00±0,00aA, sperm motility 87,67±0,58aC%, sperm viability 96,33±0,58aB%, the
fertilization rate 97,10±0,70cC% and hatching rate 93,44±2,39cC%. In addition, the ratio
of fresh sperm fertilization 1mL and the number of eggs reaches 1:125000.
Keywords: catfish Pangasius hypophthalmus, honey, sperm dilution ratio.
iv
PEMBERIAN BERBAGAI JENIS MADU DENGAN RASIO PENGENCERAN
BERBEDA SETELAH MASA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
SPERMA IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)
FAHMI HASAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi: Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda
setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam
(Pangasius hypopthalmus).
: Fahmi Hasan
Nama
NIM
: C14090044
Disetujui oleh
Ir. Harton Arfah, M.Si.
Pembimbing I
Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si.
Pembirnbing II
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
1e JUll0l3
v
Judul Skripsi : Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda
setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam
(Pangasius hypopthalmus).
Nama
: Fahmi Hasan
NIM
: C14090044
Disetujui oleh
Ir. Harton Arfah, M.Si.
Pembimbing I
Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si.
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Pemberian berbagai
jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap
kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus)” dapat diselesaikan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai April 2013 bertempat di di
Laboratorium Kolam Percobaan Babakan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ayahanda Drs. H. Rahmat Asy’ari dan Ibunda Sa’idah, serta Adik-adik Muhib
Alawi dan Nala Aunillah atas doa, kasih sayang dan dukungannya.
2. Ir. Harton Arfah, M.Si. selaku Pembimbing I dan Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si.
selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis sampai menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA selaku dosen penguji.
4. Ir. Dadang Shafruddin, M.Si. selaku komisi program studi atas arahan dan
koreksinya.
5. Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan semangat dan motivasi kepada penyusun.
6. Pak Ranta, Mas Rahman, Mita, Arif, Ayi, Uus, Imam, ka Fikri, ka Maya dan
Babakan’ers (Yadin, Hilmi dan Deki) yang telah membantu penulis menyelesaikan
penelitian
7. Teman teman kontrakan Badoneng ujung.
8. Keluarga besar BDP 48, BDP 47, BDP 45 dan khususnya BDP 46 terimakasih atas
bantuan dan kerjasamanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para pembaca
untuk melakukan usaha budidaya pendederan ikan patin.
.
Bogor, Agustus 2013
Fahmi Hasan
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
METODE
Materi Uji
Madu
Penyuntikan induk
Penampungan sperma
Evaluasi spermatozoa segar
Kualitas sperma segar ikan patin siam
Pengenceran sperma
Penyimpanan sperma
Evaluasi kualitas sperma
Pembuahan dan penetasan telur
Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Madu Randu, Madu Leci dan Madu Kelengkeng
Morfologi Sperma
Skor Motilitas
Motilitas Sperma
Viabilitas Sperma
Persentase Fertilisasi (FR)
Persentase Penetasan (HR)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vii
vii
1
1
2
2
2
2
3
3
3
4
4
5
5
6
7
7
7
8
10
11
11
13
14
16
16
16
17
19
27
viii
DAFTAR TABEL
1. Hasil pengujian kimia berbagai jenis madu
2. Kualitas sperma segar ikan patin siam
3. Perlakuan pengenceran 0,6% madu dalam NaCl
4. Perbandingan volume sperma dan pengencer pada perlakuan
5. Kriteria skor motilitas sperma
6. Hasil pengukuran ukuran kepala dan panjang ekor sperma
7. Pengukuran skor motilitas sperma ikan patin siam
8. Persentase motilitas sperma ikan patin siam
9. Persentase viabilitas sperma ikan patin siam
10. Persentase FR telur ikan patin siam
11. Persentase HR telur ikan patin siam
2
4
5
5
5
8
10
11
12
14
15
DAFTAR GAMBAR
1. Pengukuran morfologi sperma
9
2. Morfologi kepala sperma Acanthopagrus australis (gambar A; Gwo et al.
2005) Epinephelus bruneus (gambar B; Kim et al. 2013), Paraupeneus
spilurus (gambar C; Gwo et al. 2004)
9
3. Perbedaan sperma hidup dan sperma mati
12
4. Perbedaan telur terbuahi dan telur tidak terbuahi
13
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pembuatan larutan 0,6% madu dalam NaCl fisiologis
2. Penyuntikan induk ikan patin siam dan sptripping sperma
3. Pengamatan mikroskopik kualitas sperma
4. Pengamatan FR dan HR telur ikan patin
5. Pengujian Anova dan uji lanjut Tukey
19
19
20
20
21
ix
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan patin menjadi salah satu andalan dalam peningkatan produksi komoditas
budidaya saat ini. Produksi ikan patin diproyeksikan mencapai 1.883.000 ton pada
tahun 2014 dengan peningkatan 1.420% dari 132.600 ton pada tahun 2009. Sedangkan
produksi benih ikan patin wilayah Bogor pada tahun 2007-2010 rata-rata produksinya
hanya mencapai 49.106.000 benih/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat
2011). Peningkatan produksi ini berdampak langsung pada peningkatan permintaan
benih ikan patin di wilayah Bogor dan sekitarnya. Penyediaan benih yang bermutu baik
dalam jumlah cukup dan kontinyu merupakan faktor penting dalam upaya
pengembangan budidaya ikan konsumsi dan ikan ekonomis. Benih yang baik dapat
dihasilkan oleh induk yang unggul, untuk menghasilkan induk unggul diperlukan waktu
yang lama dan biaya yang mahal, oleh karena itu keberadaan induk unggul harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Beberapa usaha yang dapat dilakukan diantaranya
adalah peningkatan penggunaan induk-induk ikan unggul, mempercepat pemijahan
dengan hypofisasi, peningkatan derajat pembuahan telur dengan teknik pembuahan
buatan, penetasan telur secara terkontrol, pengendalian kualitas dan kuantitas air,
pengembangan teknik kultur massal cacing untuk makanan hidup larva dan pemurnian
varietas induk ikan (Mar’ati 2007).
Masalah lain yang terjadi adalah sifat ikan patin yang memijah tidak dalam
waktu yang sama. Pada industri pembenihan ikan patin, seringkali induk betina dan
jantan yang dilakukan pemijahan buatan, mengalami waktu ovulasi tidak bersamaan.
Akibat hal tersebut, ada penurunan kualitas sperma yang distripping terlebih dahulu
untuk menunggu telur ovulasi. Sperma dapat dipertahankan dalam media isotonik
selama menunggu seluruh induk betina patin ovulasi. Selang waktu yang digunakan
untuk menunggu telur ovulasi adalah 9-15 jam setelah penyuntikan. Sehingga
dibutuhkan waktu tunggu untuk sperma selama 6 jam agar seluruh telur dapat terbuahi
dengan maksimal. Bahan yang sering digunakan untuk pengenceran semen yaitu
larutan NaCl. Larutan NaCl memberi sifat buffer, mempertahankan pH sperma dalam
suhu kamar, bersifat isotonis dengan cairan sel, melindungi spermatozoa terhadap
coldshock dan penyeimbangan elektron yang sesuai. Tetapi penyimpanan semen
dengan larutan pengencer NaCl fisiologis hanya bisa digunakan tidak lebih dari 60
menit setelah penampungan karena kurang mengandung sumber energi yang
dibutuhkan oleh spermatozoa (Isnaini dan Suyadi 2000). Untuk itu perlu tambahan
bahan lain yang bersifat memberikan energi atau nutritif sehingga dapat
memperpanjang waktu spermatozoa untuk bertahan hidup dan mempertahankan
pergerakan spermatozoa dalam media penyimpanan.
Bahan pengencer yang digunakan untuk mengencerkan sperma harus isotonik,
mengandung nutrisi sebagai sumber energi, adanya pelarut pelindung terhadap cold
shock, menjamin bebas kuman, bersifat buffer dan tidak beracun bagi spermatozoa
(Hardjopranjoto 1991). Effendy (1997) menyatakan bahwa kemampuan normal
spermatozoa untuk hidup setelah keluar dari testis dan terpapar air tawar adalah hanya
berkisar antara 1 – 2 menit. Sedangkan, Rustidja (1985) dalam Saputra (2010)
mengemukakan bahwa penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea
dapat mempertahankan daya hidup sperma sampai dengan antara 20–25 menit.
Sedangkan viabilitas sperma dapat diperpanjang sampai dengan 5 menit dengan
melarutkan sperma pada larutan fisiologis yang isotonik terhadap tubuh ikan.
2
Energi tambahan yang dibutuhkan oleh spermatozoa, dapat disediakan oleh gula
sederhana (monosakarida) seperti fruktosa dan glukosa. Penambahan fruktosa atau
glukosa dalam pengencer berguna untuk mendukung daya hidup spermatozoa pasca
pengenceran. Monosakarida yang dibutuhkan oleh spermatozoa untuk menjaga
kelangsungan hidupnya terkandung dalam madu. Indonesia menghasilkan berbagai
jenis madu. Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), madu
mengandung 38% fruktosa; 31% glukosa; 17,1% air; 7,2% maltose; 4,2% trisakarida
dan beberapa polisakarida, 1,5% sukrosa, 0,5% mineral, vitamin dan enzim. Madu
sebagai penambah bahan energi/nutrisi dari pengencer NaCl fisiologis diharapkan dapat
mendukung daya hidup dan pergerakan spermatozoa dalam proses penyimpanan. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Rahardhianto et al. (2012) terdapat interaksi antara
pemberian madu 0,6% terhadap NaCl sebagai larutan pengencer dan lama penyimpanan
yang memberikan hasil persentase motilitas dan viabilitas yang tinggi. Persentase
motilitas spermatozoa ikan patin adalah sebesar 83,7% dan persentase viabilitas
spermatozoa ikan patin adalah 94,5% pada pengamatan 6 jam setelah pengenceran.
Penambahan bahan pengencer dalam sperma diduga akan meningkatkan volume
sperma dan meningkatkan kualitas sperma sehingga memungkinkan cukup banyak ikan
betina yang dapat dipijahkan. Selain itu, penambahan pengencer juga diduga dapat
mengetahui titik optimasi perbandingan telur dan sperma dalam pembuahan, sehingga
dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sperma. Pada ikan Atlantic croaker diketahui
bahwa perbandingan volume sperma (mL) dan telur (buah) adalah 1:5000, pada ikan
turbot adalah 1:2000, pada ikan kakap adalah 1:2000 (Gwo et al. 1991; Sequet et al.
1995; Fauvel et al. 1999 dalam Sequet et al. 2000).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai
jenis madu yaitu madu kelengkeng, madu leci dan madu randu dengan rasio
pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin
siam (Pangasius hypopthalmus) yang meliputi skor motilitas, persentase motilitas,
viabilitas dan morfologi sperma serta persentase fertilisasi dan persentase penetasan
telur.
METODE
Materi Uji
Madu
Madu merupakan cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu berasal dari
sumber nektar (SNI 01-3504-2004). Madu yang diproduksi lebah madu sebenarnya
adalah makanan koloni lebah yang ketersediaannya melimpah saat musim berbunga
dan disimpan dalam sel sarang sebagai persediaan makan pada musim panceklik. Lebah
memproduksi madu dengan bahan nektar yang merupakan cairan mengandung gula
yang disekresikan oleh kelenjar nektar tanaman (Sihombing 1997). Nektar memiliki
kandungan kimia yang berbeda-beda antara satu tanaman dengan tanaman lainnya.
Kadar gula nektar bervariasi antara 5%-80% (Siregar 2002). Madu biasanya
digolongkan menurut sumber nektarnya. Apabila sumber nektar didominasi oleh satu
jenis tanaman (bunga), maka madu yang dihasilkan adalah madu monoflora. Madu
jenis ini diantaranya adalah madu randu, leci, kelengkeng, karet, rambutan, mangga,
3
bunga matahari dan kaliandra. Sedangkan madu yang bersumber dari beberapa jenis
nektar adalah madu multiflora. Madu jenis ini diantaranya adalah madu hutan,
Nusantara, Sumba, dan Kalimantan. Perbedaan sumber tersebut mempengaruhi
kandungan dan karakteristik madu yang dihasilkan. Pada penelitian yang dilakukan,
madu yang digunakan berasal dari Pusat Perlebahan Nasional (Pusbahnas), Parung
Panjang, Bogor. Madu yang digunakan adalah madu monoflora yang meliputi madu
randu, madu leci dan madu kelengkeng. Tabel berikut ini adalah hasil pengujian kimia
madu monoflora yang dianalisis oleh Agro Based Industri Calibration and Analitycal
Laboratories (ABICAL), Balai Besar Industri Agro, Bogor.
Tabel 1. Hasil pengujian kimia berbagai jenis madu monoflora
Parameter
Aktifitas Enzim Diastase (DN)
Hidroksi Metil Fulfural (mg/kg)
Air (%)
Gula Pereduksi (%)
Sukrosa (%)
Keasaman (mL NaOH1N/kg)
Abu (%)
Madu
Randu
5,54
0,00
19,00
70,50
1,12
50,10
0,20
Jenis Madu
Madu
Madu
Leci
Kelengkeng
9,58
11,50
0,00
0,00
19,00
19,40
78,80
77,80
0,00
2,31
17,50
14,7
0,12
0,13
Syarat Madu
berdasarkan SNI 013545-2004
Min. 3
Maks. 50
Maks. 22
Min. 65
Maksimal 5
Maks. 50
Maks. 0,5
Penyuntikan induk
Induk patin yang digunakan berasal dari pembudidaya ikan di Dramaga. Induk
betina yang telurnya berkembang diseleksi lalu diambil 1 ekor dengan bobot 2,6 kg,
kemudian dipisahkan dan disuntik dengan menggunakan chorulon dengan kandungan
dominan HCG 500 IU/kg, setelah 24 jam dilakukan penyuntikan dengan hormon
ovaprim 0,6 mL/kg yang mengandung LHRHa dan anti dopamin, 12 jam berikutnya
dilakukan stripping. Untuk induk jantan, diambil 3 ekor dengan bobot masing-masing
2,5 kg; 2,8 kg dan 2,6 kg kemudian disuntik dengan hormon ovaprim 0,3 mL/kg, 12
jam berikutnya dilakukan stripping.
Penampungan sperma
Sperma ditampung menggunakan botol film. Segera setelah ditampung,
dilakukan penilaian secara makroskopis meliputi: bobot jantan, volume, warna,
konsistensi (kekentalan), dan pH. Sedangkan pemeriksaan mikroskopis meliputi:
gerakan massa dan konsentrasi sperma. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk melihat
kelayakan sperma untuk proses selanjutnya.
Evaluasi spermatozoa segar
Evaluasi spermatozoa sebelum penyimpanan dilakukan secara makroskopis
maupun mikroskopis. Evaluasi makroskopis meliputi:
a. Volume: Volume dihitung menggunakan pipet volumetrik (0-10 mL).
b. Warna: Warna sperma dinilai secara visual.
c. Kekentalan/Konsistensi: Konsistensi diamati dengan cara memiringkan tabung
reaksi dan dikembalikan ke tempat semula. Kriteria penilaian, encer, sedang
sampai kental.
d. pH: pH ditentukan dengan menggunakan pH special indicator paper.
Sedangkan evaluasi mikroskopis meliputi penghitungan konsentrasi spermatozoa yang
dilakukan dengan menggunakan kamar hitung haemocytometer Neubauer.
4
Semen diencerkan dengan perbandingan 1 μL semen dan 99 μL larutan NaCl,
larutan dihomogenkan dan dimasukan pada kotak hitung Neubauer yang telah
diberi cover glass, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran
400 X dan di hitung spermatozoa yang tersebar pada 4 kotak di sudut dan 1
kotak di bagian tengah kamar hitung Neubauer. Rumus menghitung jumlah sel
sperma per mL:
Jumlah spermatozoa/mL = N x 5 x DF x 10 000
Keterangan:
Kotak hitung 1 + kotak hitung 2 = N / 2
N
: adalah jumlah rata-rata sel yang dihitung setiap kotak hitung
DF
: adalah faktor pengenceran. Faktor pengenceran yang digunakan
pada penghitungan konsentrasi sperma kucing adalah 100 dari
pengernceran 1 μL semen dan 99 μL larutan NaCl
5
: adalah faktor koreksi yang dibutuhkan karena hanya 5 dari 25
kotak dalam chamber yang dihitung (25/5).
10.000
: adalah faktor koreksi yang dibutuhkan karena volume setiap
penghitungan di bawah cover slip adalah 0.0001 mL per chamber.
Kualitas sperma segar ikan patin siam
Pemeriksaan awal kualitas dan kuantitas sperma dan telur ikan patin siam
dilakukan untuk mengetahui kondisi awal sperma dan telur yang akan dilakukan pada
penelitian. Pemeriksaan awal penting dilakukan untuk menentukan apakah sperma yang
digunakan layak atau tidak untuk digunakan sebagai stok sperma yang akan disimpan.
Hasil pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis terhadap sperma segar dari ikan patin
siam ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Kualitas sperma segar ikan patin siam
Kriteria
Bobot Jantan (kg)
Volume (mL)
Warna
Kekentalan/Konsistensi
Konsentrasi (109 sel/mL)
Derajat Keasaman (pH)
Hasil
2,68±0,16
6,00±0,26
Putih Susu
Kental
41,12±4,51
7,50
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis sperma segar
ikan patin tersebut yaitu masih layak dijadikan sampel penyimpanan sperma. Karena
volume sperma yang dihasilkan 2 ml – 16 ml, dengan konsentrasi spermatozoanya
berada diatas 9,4x109 sel sperma/ml, motilitasnya 70% - 99%. pH sperma yang dapat
digunakan untuk penyimpanan adalah sperma yang memiliki pH 7,14-7,85 (Fujaya
2002)
Pengenceran sperma
Setelah diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis, sperma yang memenuhi
syarat akan dilakukan pengenceran. Persyaratan yang ditetapkan sebelumnya adalah
motilitas > 70%, skor motilitas 4 atau 5. Pengenceran sperma dilakukan dengan
menambahkan bahan-bahan pengencer yaitu madu Randu 0,6% dalam NaCl fisiologis,
madu Leci 0,6% dalam NaCl fisiologis, dan madu Kelengkeng 0,6% dalam NaCl
fisiologis lalu dilakukan pengenceran 1:10 dimana 1 bagian sperma berbanding dengan
10 bagian larutan totak, serta 1:50, 1:90 dan 1:130 menggunakan mikropipet 200µL
5
yang kemudian dibagi kedalam mikrotub 1,5 mL. Tabel berikut adalah tabel perlakuan
pengenceran 0,6% madu dalam NaCl
Tabel 3. Perlakuan pengenceran 0,6% madu dalam NaCl
Rasio pengenceran
Kontrol
Madu randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Madu leci
Madu kelengkeng
K
R1
R2
R3
R4
L1
L2
L3
L4
K1
K2
K3
K4
Sebagai kontrol adalah sperma segar dengan pengenceran 1:2 dengan pengencer NaCl
fisiologis tanpa dilakukan penyimpanan. Tabel berikut adalah perbandingan volume
sperma dan pengencer pada perlakuan.
Tabel 4. Perbandingan volume sperma dan pengencer pada perlakuan
Perlakuan
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Vol. Pengencer (mL)
0,500
0,900
0,980
0,989
0,992
Vol. Sperma (mL)
Vol. Total (mL)
0,500
1,000
0,100
1,000
0,020
1,000
0,011
1,000
0,008
1,000
Penyimpanan sperma
Penyimpanan sperma dilakukan setelah sperma dicampur dengan pengencer
sesuai dengan perbandingan perlakuan. Setelah itu, sperma disimpan didalam ruang
pendingin bersuhu 4o C selama 6 jam untuk kemudin dilakukan pengamatan.
Evaluasi kualitas spermatozoa
Untuk mengetahui keberhasilan perlakuan dilakukan evaluasi skor motilitas,
persentase motilitas, persentase viabilitas, dan morfologi sperma yang seluruh
perhitungannya dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 200X
yang terhubung dengan kamera dan software OptiLab Viewer, serta persentase
fertilisasi dan persentase penetasan telur dilihat langsung ke kaca objek.
a. Skor motilitas: Penentuan skor motilitas sperma dilakukan dengan cara
meletakkan satu tetes semen pada objek gelas dan ditutup dengan cover glass.
Untuk mengaktifkan sperma, diteteskan akuabides dengan menggunakan tusuk
gigi pada sperma yang akan diamati. Penentuan skor motilitas sperma
didasarkan pada kriteria yang dibuat oleh Guest et al. (1976) dalam tabel berikut
Tabel 5. Kriteria skor motilitas sperma
Angka Motilitas
5
4
3
2
1
0,75
0,50
Kriteria
Semua sperma bergerak sangat cepat dengan pergerakan ekor bervariasi
Banyak sperma bergerak sangat cepat dengan pergerakan ekor cepat,
beberapa sperma memperlihatkan getaran yang kuat di tempat
Banyak sperma bergerak cepat dan yang lain bergetar di tempat
Banyak sperma bergetar dengan sedikit memperlihatkan pergerakan cepat
Banyak sperma bergetar tetapi sangat sedikit yang bergerak cepat
Banyak sperma tidak bergerak dan sangat sedikit sekali sperma yang
bergetar dengan gerakan lemah
Banyak sperma tidak bergerak dan sangat sedikit sekali sperma yang
6
0,25
0
bergetar, kadang-kadang terlihat bergerak melemah
Banyak sperma tidak bergerak, kadang-kadang terlihat bergerak melemah
Semua sperma tidak bergerak dan bergetar
b. Persentase motilitas spermatozoa: Penilaian persentase motilitas spermatozoa
dilakukan secara subjektif kuantitatif, dengan cara meletakkan satu tetes semen
pada objek gelas yang hangat dan ditutup dengan cover glass. Untuk
mengaktifkan sperma, diteteskan akuabides dengan menggunakan tusuk gigi
pada sperma yang akan diamati. Persentase motilitas dinilai dengan
membandingkan jumlah spermatozoa yang bergerak progresif dengan
spermatozoa yang tidak progresif, dibawah mikroskop dengan 200X pada lima
lapang pandang berbeda. Penilaian diberikan dari 0 (mati semua) sampai 100%
(motil semua).
c. Persentase spermatozoa hidup (viabilitas): Satu tetes semen diletakkan pada satu
buah gelas objek, ditambah dengan 4 tetes larutan eosin 2% kemudian
dihomogenkan. Spermatozoa hidup, ditandai dengan kepala yang tidak
menyerap warna/transparan, sedangkan spermatozoa yang telah mati menyerap
warna kemerahan dari eosin 2%. Spermatozoa dihitung dari 5 lapang pandang
yang berbeda secara acak.
x 100%
d. Morfologi sperma: pengamatan morfologi sperma dilakukan dengan cara
melakukan pengukuran terhadap ukuran kepala dan panjang ekor sperma.
Pengamatan dilakukan dengan cara meletakkan satu tetes semen pada objek
gelas yang hangat dan ditutup dengan cover glass. Setelah itu dilakukan
pemotretan terhadap preparat dibawah mikroskop. Lalu dilakukan pengukuran
sampel sperma menggunakan software Image Raster.
Pembuahan dan penetasan telur
a. Pembuahan: Pembuahan dilakukan setelah campuran sperma disimpan selama 6
jam. Rasio perbandingan sperma:telur adalah 1 mL: 2 gr (±2500 telur). Setelah
pembuahan dilakukan, telur ditempelkan pada kaca pengamatan berukuran
7,5X7,5 cm yang didalamnya terdapat 25 bidang pandang yang masing-masing
berukuran 1,5X1,5 cm. Kaca tersebut kemudian dimasukkan ke dalam akuarium
yang berukuran 20X20X20 cm yang sebelumnya telah berisi air yang telah
dicampur Methylen Blue kemudian diberi aerasi kuat.
b. Persentase fertilisasi (FR): dihitung setelah 9 jam pencampuran sperma dengan
telur, dapat dihitung menggunakan rumus
x 100%
c. Persentase penetasan: dihitung setelah telur yang dibuahi menetas menjadi larva
setelah 24 jam pencampuran telur dengan sperma, dapat dihitung menggunakan
rumus:
x 100%
7
Analisis data
Penelitian ini memiliki 2 perlakuan yaitu perlakuan jenis madu dan rasio
pengenceran masing-masing 3 ulangan. Rancangan yang digunakan yaitu RAL
(Rancangan Acak Lengkap) berpola Faktorial dengan faktor pertama adalah rasio
pengenceran dan faktor kedua adalah jenis madu. Selanjutnya diuji menggunakan
Analisis Ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan Uji Tukey. Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik menggunakan Microsoft Excel 2010 dan
dianalisis menggunakan SPSS 16.0 (ANOVA dan dilanjutkan uji Tukey) pada selang
kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Madu Randu, Madu Leci dan Madu Kelengkeng
Pada percobaan yang dilakukan, sperma diuji dengan penambahan madu
monoflora dengan jenis madu randu, leci dan kelengkeng. Pemilihan ketiga madu
tersebut didasarkan dari sumber nektar pada madu yang dihasilkan sejenis, sehingga
kandungan dan karakteristik madu dapat stabil pada setiap musim panennya. Komposisi
kimia madu dipengaruhi oleh dua hal, yakni komposisi nektar yang dihasilkan dan yang
berhasil dikumpulkan oleh lebah serta faktor eksternal, seperti cuaca dan iklim. Selain
itu banyak tidak bunga, derajat kematangan madu serta cara ekstraksi juga turut
mempengaruhi komposisinya (Wahyuni 2005).
Pada hasil pengujian yang didapatkan, aktifitas enzim diastase terbesar
didapatkan pada madu kelengkeng (11,50 DN) dan yang terendah didapatkan pada
madu randu (5,54 DN). Aktifitas enzim diastase yang berbeda-beda tersebut
menunjukkan adanya perbedaan dalam pemecahan karbohidrat dengan rantai kompleks
(oligosakarida) menjadi karbohidrat dengan rantai yang lebih sederhana
(monosakarida). Pada pengujian Hidroksi Metil Fulfural (HMF), hasil pengujian yang
didapatkan adalah sama, yaitu 0,00 mg/kg. HMF merupakan hasil dekomposisis
glukosa, fruktosa dan monosakarida lain yang memiliki enam atom C dalam suasana
asam dan dipercepat dengan bantuan panas. Reaksi selanjutnya menghasilkan asam
format dan levulinat. Nilai HMF yang menunjukkan angka 0,00 mg/kg menunjukkan
bahwa madu tidak mengalami proses pemanasan dan penambahan gula (Wahyuni
2005). Pada pengujian kadar air, hasil tertinggi didapatkan pada madu kelengkeng
(19,40%), sedangkan pada madu randu dan leci didapatkan hasil pengujian yang sama
(19%). Kadar air madu akan mempengaruhi viskositas dari madu. Peningkatan 1%
kadar air akan menurunkan viskositas madu secara nyata (Wahyuni 2005). Madu
kelengkeng menunjukkan viskositas yang lebih rendah dibandingkan madu lainnya
karena memiliki kadar air yang lebih tinggi. Pada pengujian gula pereduksi dalam hal
ini dianggap sebagai karbohidrat monosakarida (glukosa dan fruktosa), hasil tertinggi
didapatkan pada madu leci (78,80%) dan hasil terendah didapatkan pada madu randu
(70,50%). Karbohidrat dalam bentuk gula tersebut merupakan komponen utama dalam
madu. Kandungan karbohidrat monosakarida ini yang nantinya akan berperan penting
dalam proses pemberian nutrisi pada sperma yang disimpan. Penambahan fruktosa atau
glukosa dalam pengencer berguna untuk mendukung daya hidup spermatozoa pasca
pengenceran. Gula pereduksi (monosakarida) yang dibutuhkan oleh spermatozoa untuk
menjaga kelangsungan hidupnya terkandung dalam madu. Dalam spermatozoa terdapat
empat bahan organik yang dapat dipakai secara langsung maupun tidak langsung oleh
spermatozoa sebagi sumber energi untuk kelangsungan hidup dan motilitas
8
spermatozoa, bahan-bahan tersebut adalah fruktosa, serbitol, GPC (glyceryl phosphoryl
choline) dan plasmalogen. Plasmalogen atau lemak aldehidrogen terdapat di bagian
leher, badan dan ekor spermatozoa yang dipergunakan untuk respirasi endogen
(Zenichiro 2002). Fruktosa adalah substrat energi utama di dalam plasma semen yang
telah diproduksi kelenjar vesikularis. Selain itu fruktosa merupakan turunan karbohidrat
yang dapat dijadikan sumber energi untuk pergerakan (motilitas) dan ketahanan
spermatozoa (Marawali et al.. 2001).
Pada pengujian sukrosa, hasil tertinggi didapatkan pada madu kelengkeng
(2,31%) dan hasil pengujian terendah didapatkan pada madu leci (0,00%). Kandungan
sukrosa yang lebih tinggi pada madu kelengkeng, menunjukkan tingkat kemanisan pada
madu. Sukrosa biasa digunakan dalam industri makanan sebagai bahan pemanis
tambahan dalam bentuk kasar maupun cair (Wahyuni 2005). Sukrosa tidak termasuk
dalam gula pereduksi karena tidak mempunyai gugus hidroksil bebas seperti yang
terdapat pada glukosa dan fruktosa. Pada pengujian keasaman, hasil tertinggi
didapatkan pada madu randu (50,10 mL NaOH1N/kg) dan hasil terendah didapat pada
madu kelengkeng (14,70 mL NaOH1N/kg). Kandungan keasaman madu randu yang
melebihi batas maksimal, menunjukkan madu tersebut kurang layak dikonsumsi
manusia. Nilai keasaman tersebut menunjukkan banyaknya ml NaOH1N yang
digunakan untuk menetralkan asam yang terkandung dalam madu. Nilai keasaman
tertinggi (madu randu) mengindikasikan tingginya total asam yang terkandung dalam
madu randu terhadap madu lainnya. Pada pengujian abu, hasil tertinggi didapatkan pada
madu randu (0,20%) dan hasil terendah didapatkan pada madu leci (0,12%). Kadar abu
pada madu menunjukkan kadar mineral yang dikandungnya. Semakin tinggi kadar abu
maka semakin tinggi pula kadar mineral yang terkandung. Madu memiliki kadar abu
yang berkisar antara 0,2% sampai 1%. Mineral yang dominan terdapat dalam madu
adalah fosfor, kalium, kalsium, besi dan natrium (Suhardjo et al. 1985)
Morfologi Sperma
Morfologi sperma dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu kepala, bagian tengah dan
ekor. Berikut ini adalah ukuran kepala (kepala dan leher) dan panjang ekor sperma
(flagel) ikan patin siam pada perlakuan yang telah dilakukan. Hasil pengukuran tersaji
pada Tabel 6. berikut:
Tabel 6. Hasil pengukuran ukuran kepala dan panjang ekor sperma
Rasio pengenceran
Ukuran kepala (µm)
Panjang Ekor (µm)
Kontrol
4,86±0,30
27,20±1,21
Perlakuan/ Jenis madu
Randu
Leci
Kelengkeng
3,85±0,34
3,98±0,06
4,29±0,51
26,50±1,11
27,00±1,13
27,22±1,54
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, terdapat perbedaan pada panjang
ekor sperma dan ukuran kepala sperma. Panjang ekor sperma ikan patin adalah
26,50µm-27,22µm. Sedangkan ukuran kepala sperma ikan patin adalah 3,85µm4,89µm. Kepala sperma ikan patin siam berbentuk oval. Pengukuran didasarkan pada
bagian terpanjang dari kepala sperma.
9
Gambar 1. Pengukuran morfologi sperma
Pada bagian kepala sperma terdapat nukleus yang dilindungi oleh membran sel
yang didalamnya terdapat cairan pelindung sitoplasma. Pada nukleus inilah terdapat
informasi genetika yang akan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Selain itu
pada bagian ini juga terdapat bagian leher yang merupakan bagian yang
menghubungkan ekor dengan kepala. Bagian ini disusun oleh mikrotubulkus yang
mengandung substansi fiber yang disusun oleh protein dinein. Protein dinein ini sangat
penting karena mempunyai aktivitas ATP-ase yang berfungsi menyediakan energi
untuk pergerakan sperma. Gambar berikut ini adalah beberapa bentuk kepala sperma
dan beberapa bahan penyusunnya.
B
C
Gambar 2. Morfologi kepala sperma Acanthopagrus australis (gambar A; Gwo et
al. 2005) Epinephelus bruneus (gambar B; Kim et al. 2013), Paraupeneus spilurus
(gambar C; Gwo et al. 2004)
Penurunan ukuran kepala sperma perlakuan dibandingkan kontrol diduga karena
adanya perbedaan nilai osmolaritas larutan. Belum diketahui secara pasti akibat yang
ditimbulkan akibat penyusutan ukuran tersebut karena pada penelitian tidak dilakukan
pemeriksaan sperma secara ultrastruktur. Tetapi pada pengukuran panjang ekor, hasil
perlakuan tidak menunjukkan perbadaan terhadap kontrol. Bagian ini berfungsi sebagai
alat gerak sperma untuk berenang menuju telur. Panjang dan pendeknya ukuran ekor
sperma tidak dapat menentukan keaktifan sperma dalam bergerak. Keaktifan
pergerakan sperma bergantung pada ketersediaan energi sperma. Kerusakan pada
bagian ekor akan menyebabkan abnormalitas gerakan pada sperma sehingga peluang
untuk berhasil membuahi telur mengecil (Affandi dan Tang 2004).
10
Skor Motilitas
Rough (2003) mengutarakan bahwa ada dua jenis gerakan sperma yaitu motil
dan tidak motil. Gerakan motil sendiri dibagi menjadi dua yaitu sperma yang bergerak
progresive dan sperma yang bergerak tidak progresif. Pergerakan progresif sperma
dibagi menjadi pergerakan progresif cepat dimana sperma bergerak maju ke depan
dengan kecepatan tinggi dan pergerakan progresif lambat dimana sperma bergerak
maju kedepan dengan pergerakan lambat (Hidayaturrahmah 2007). Rough (2003)
mengutarakan bahwa sperma disebut motil tidak progresif saat sperma itu bergerak
tetapi tidak maju. Gerakan yang ditimbulkan sperma motil tidak progresif bisa
bermacam-macam, misalnya gerakan berputar-putar ditempat. Berbagai macam metode
telah dikembangkan dalam mengukur kualitas sperma ikan. Pada perlakuan, digunakan
metode mengukur kualitas sperma menurut Guest et al. (1976) menggunakan sistem
skor 1–5. Tabel 7. berikut adalah pengukuran skor motilitas sperma berdasarkan rasio
pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan
Tabel 7. Pengukuran skor motilitas sperma ikan patin siam
Rasio pengenceran
Kontrol
Randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Leci
Kelengkeng
5,00±0,00
4,67±0,58aA
4,67±0,58aA
5,00±0,00aA
4,67±0,58aA
5,00±0,00aB
5,00±0,00aB
5,00±0,00aB
5,00±0,00aB
5,00±0,00aC
5,00±0,00aC
5,00±0,00aC
5,00±0,00aC
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk
baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0,05) skor motilitas antara rasio pengenceran sperma yang berbeda. Hal ini
ditandai dengan superscript (a) yang sama pada setiap perlakuan. Sedangkan hasil uji
Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P0,05).
Sedangkan hasil terendah didapatkan pada madu randu yang pada setiap rasio
pengencerannya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Menurut Danang
(2012) yang menyatakan bahwa penyimpanan yang lebih lama pada suhu 5ºC sampai
dengan 10º C sel spermatozoa yang terkena kejutan dingin akan lebih cepat mati. Hal
ini disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlah spermatozoa yang rusak dan mati
akibat suhu dingin, ketersediaan energi dalam bahan pengencer makin berkurang, dan
meningkatnya tingkat keasamaan (pH) semen. Energi yang dibutuhkan oleh
spermatozoa ini disediakan oleh gula sederhana (monosakarida) seperti fruktosa dan
glukosa. Penambahan fruktosa atau glukosa dalam pengencer berguna untuk
mendukung daya hidup spermatozoa pasca pengenceran. Karena proses pembentukan
Adenosin Trifosfat (ATP) dan Adenosin Difisfat (ADP) harus terus dilakukan agar
motilitas dapat terus berlangsung. Hal inilah yang diduga membuat perlakuan dengan
penambahan madu leci dan kelengkeng menjadi lebih baik dibandingkan dengan
penambahan dengan madu randu, karena kandungan gula pereduksi dalam betuk
11
fruktosa maupun glukosa (78,80% dan 77,80%) lebih tinggi dibandingkan kandungan
gula pereduksi pada madu randu (70,50%).
Motilitas Sperma
McMaster (1992) menyempurnakan metode yang digunakan Guest et al. (1976)
dengan menggunakan presentase sebagai acuan yang akan mengurangi subyektifitas
dalam pemberian skor. Rentang skor yang diberikan adalah mulai dari 5 yang berarti
80-100% sperma bergerak progresif, sampai dengan 1 yang berarti hanya 0 – 20%
sperma bergerak progresif. Kelemahan metode ini adalah sangat sulit memberikan
penilaian yang obyektif dalam rentang waktu pengamatan motilitas yang sangat singkat.
Tetapi menurut Rahardhianto (2012), motilitas spermatozoa ikan ditentukan dari
banyaknya jumlah spermatozoa yang bergerak dari suatu lapang pandang. Dalam
penelitian ini kategori pergerakan spermatozoa diabaikan, artinya semua jenis kategori
pergerakan spermatozoa pada saat pengamatan dihitung dan dipersentasekan. Tabel 8.
berikut adalah persentase motilitas sperma ikan patin siam berdasarkan rasio
pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada perlakuan
Tabel 8. Persentase motilitas sperma ikan patin siam
Rasio pengenceran
Kontrol
Randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Leci
Kelengkeng
97,33±0,47
82,67±1,15aA
83,00±1,73aA
83,00±2,65aA
83,33±1,15aA
83,67±2,08aA
84,33±0,58aA
86,33±0,58aA
86,67±0,58aA
86,67±1,53aA
87,67±0,58aA
87,67±1,53aA
88,00±1,73aA
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk
baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0,05) presentase motilitas antara rasio pengenceran sperma yang berbeda
maupun jenis madu yang berbeda. Hal ini ditandai dengan superscript (a/A) yang sama
pada setiap perlakuan.
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, nilai persentase motilitas pada
seluruh perlakuan masih lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga
karena pada saat pengukuran persentase motilitas, sperma masih beradaptasi dengan
kenaikan suhu yang cukup drastis (suhu 4° C ke suhu ruang 20° C) sehingga nilai yang
diberikan belum maksimal. Hal ini didukung oleh pendapat Danang et al. (2012) yang
menyatakan bahwa proses pendinginan yang berlangsung dapat juga menyebabkan
menurunnya motilitas sel spermatozoa karena adanya sel spermatozoa yang mengalami
cold shock.
Viabilitas Sperma
Persentase viabilitas merupakan salah satu indikator untuk menentukan baikburuknya kualitas spermatozoa dan mengetahui banyaknya spermatozoa tersebut hidup
(viable) atau tidak hidup (unviable) yang pada penampakan spermatozoa tidak bergerak
atau imotil dalam proses penyimpanan dengan penambahan larutan pengencer.
12
Gambar 3. Perbedaan sperma hidup dan sperma mati
Spermatozoa yang imotil belum tentu spermatozoa tersebut sudah mati.
Persentase spermatozoa yang hidup ditentukan berdasarkan penyerapan zat warna eosin
yang dicampurkan pada sperma. Apabila spermatozoa mati, akan menyerap zat warna
yang ada disekitarnya sedangkan yang hidup tidak menyerap zat warna. Tabel 9.
berikut adalah persentase viabilitas sperma ikan patin siam berdasarkan rasio
pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada perlakuan
Tabel 9. Persentase viabilitas sperma ikan patin siam
Rasio pengenceran
Kontrol
Randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Leci
Kelengkeng
95,00±1,00
92,33±1,15aA
93,00±1,00aA
90,33±1,53aA
92,33±0,58aA
95,00±1,00aB
95,33±1,15aB
95,33±0,58aB
96,33±0,58aB
96,00±1,00 aB
96,33±0,58aB
96,33±0,58aB
95,33±0,58aB
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk
baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0,05) viabilitas sperma antara rasio pengenceran sperma yang berbeda. Hal ini
ditandai dengan superscript (a) yang sama pada setiap perlakuan. Sedangkan hasil uji
Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P0,05) pada madu leci dan kelengkeng.
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, pemberian madu randu
memberikan hasil yang terendah dan pemberian madu kelengkeng memberikan hasil
yang tertinggi. Rendahnya persentase viabilitas yang dihasilkan oleh perlakuan
pemberian madu randu diakibatkan oleh kurangnya cadangan nutrisi (monosakarida)
pada media pengencer rendah, yaitu hanya 70,50% dan kandungan enzim diastasenya
5,54DN sehingga persentasenya menjadi rendah. Berkurangnya jumlah nutrisi
spermatozoa disebabkan oleh penggunaan energi untuk aktivitas mekanik (gerak) dan
kimiawai (biosintesa). Sesuai dengan pendapat Danang et al.. (2012) bahwa semakin
berkurangnya cadangan makanan, dan ketidakseimbangan cairan elektrolit akibat
metabolisme spermatozoa dapat menyebabkan kerusakan membran sel spermatozoa.
Kerusakan ini sebagai akibat adanya pertukaran larutan intraseluler dan ekstraseluler
antara bahan pengencer dengan spermatozoa karena adanya perbedaan konsentrasi.
Proses pengenceran semen dapat menyebabkan rusaknya membran plasma serta
13
menurunkan motilitas. Kerusakan membran sel spermatozoa akan berdampak pada
membran yang pada awalnya mempunyai sifat semipermeabel tidak lagi mampu
menyeleksi keluar masuknya zat, sehingga pada saat dilakukan uji warna eosin zat
tersebut masuk ke dalam plasma. Sehingga sperma yang mati tersebut akan menyerap
warna merah dari eosin. Sedangkan sperma yang diberi penambahan nutrisi madu
kelengkeng pada bahan pengencernya memberikan persentase viabilitas yang tinggi.
Hal ini diduga karena sperma yang diberi penambahan madu kelengkeng dengan
kandungan monosakarida 77,80% dan kandungan enzim diastase 11,50DN pada bahan
pengencernya dapat memberikan nutrisi yang cukup dalam bentuk gula pereduksi dan
mampu mencegah kerusakan membran sel spermatozoa. Nilai tersebut tidak berbeda
dengan yang dilakukan oleh Rahardhianto (2012), viabilitas sperma ikan patin
(Pangasius pangasius) yang dilakukan penyimpanan selama 6 jam dengan penambahan
madu mencapai 94,5%.
Persentase Fertilisasi (FR)
Persentase fertilisasi (FR) merupakan salah satu indikator keberhasilan penentu
kualitas sperma. FR adalah persentase dari jumlah telur yang berhasil dibuahi sperma
dibagi dengan jumlah total telur yang diamati.
Gambar 4. Perbedaan telur terbuahi dan telur tidak terbuahi
Nilai FR yang dihasilkan, ditentukan oleh kualitas spermatozoa. Untuk
meningkatkan FR, perlu diberikan berbagai bahan tambahan sebagai nutrisi pada bahan
pengencernya. Pada perlakuan, dilakukan pencampuran 1mL sperma yang dicampurkan
dengan 2gram telur (±2500 butir). Tabel 10. berikut ini adalah persentase FR telur ikan
patin siam berdasarkan rasio pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada
perlakuan
14
Tabel 10. Persentase FR telur ikan patin siam
Rasio pengenceran
Kontrol
Randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Leci
Kelengkeng
72,75±8,20
92,73±2,42cA
93,48±0,42cA
75,81±8,40bA
19,16±15,31aA
92,15±1,26cB
87,90±7,35cB
84,38±9,14bB
75,58±3,07aB
96,14±1,54cC
97,10±0,70cC
90,44±5,26bC
92,89±2,32aC
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk
baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata
(P0,05) pada pengenceran 1:10 dengan
1:50, hal ini ditandai dengan superscript (c) yang sama pada kedua perlakuan tersebut.
Sedangkan hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
nyata (P 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata
(P0,05) pada pengenceran 1:10 dengan
1:50, hal ini ditandai dengan superscript (c) yang sama pada kedua perlakuan tersebut.
Sedangkan hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
nyata (P
PEMBERIAN BERBAGAI JENIS MADU DENGAN RASIO PENGENCERAN
BERBEDA SETELAH MASA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
SPERMA IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)
FAHMI HASAN
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemberian berbagai jenis
madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap
kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus)” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Fahmi Hasan
NIM C14090044
ii
ABSTRAK
FAHMI HASAN. Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda
setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus). Dibimbing oleh HARTON ARFAH dan MIA SETIAWATI.
Benih yang baik dapat dihasilkan oleh induk yang unggul, untuk menghasilkan
induk unggul diperlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Masalah lain yang
terjadi pada industri pembenihan patin adalah sifat ikan patin waktu ovulasi telur 9-15
jam setelah penyuntikan, sehingga dibutuhkan waktu tunggu untuk sperma selama 6
jam agar seluruh telur dapat terbuahi dengan maksimal. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh pemberian berbagai jenis madu yaitu madu kelengkeng, madu
leci dan madu randu terhadap kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus) dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan yang
meliputi skor motilitas, persentase motilitas, viabilitas dan morfologi sperma serta
persentase fertilisasi dan persentase penetasan. Perlakuan terbaik didapatkan pada
peemberian madu kelengkeng sebagai sebagai pengencer sperma dengan rasio
pengenceran 1:50. Ukuran kepala sperma mencapai 4,29±0,51 µm dan panjang ekor
mencapai 27,22±1,54 µm. Skor motilitas sperma yang didapatkan 5,00±0,00aA, motilitas
sperma 87,67±0,58aC%, viabilitas sperma 96,33±0,58aB%, persentase fertilisasi
97,10±0,70cC% dan persentase penetasan 93,44±2,39cC%. Selain itu, rasio fertilisasi
1mL sperma segar dan jumlah butir telur mencapai 1:125000.
Kata kunci: ikan patin Pangasius hypopthalmus, madu, rasio pengenceran sperma.
ABSTRACT
FAHMI HASAN. Aplication various types of honey with different dilution ratios after
a period of storage on sperm quality Siamese catfish (Pangasius hypopthalmus).
Supervised by HARTON ARFAH and MIA SETIAWATI.
Good seed can be produced by a good broodstock, to produce a good
broodstock would takes a long time and high cost. A problem that usually occurs in
catfish hatchery industry was time ovulation of catish eggs for 9-15 hours after
injection. So it takes time for the sperm waiting for 6 hours for the whole egg can be
fertilized well. The purpose of this study was to determine the effect of various types of
honey (longan honey, lychee honey, and cottonwoods honey) on sperm quality Siamese
catfish (Pangasius hypopthalmus) with different dilution ratios after the storage period
which includes scores motility, percentage motility, viability and morphology of sperm,
fertilization rate, and hatching rate. The best treatment was obtained on the aplication of
longan honey as a sperm diluent 1:50 dilution ratio. Size of sperm head reached
4,29±0,51µm and a long tail 27,22±1,54µm. Sperm motility scores obtained
5,00±0,00aA, sperm motility 87,67±0,58aC%, sperm viability 96,33±0,58aB%, the
fertilization rate 97,10±0,70cC% and hatching rate 93,44±2,39cC%. In addition, the ratio
of fresh sperm fertilization 1mL and the number of eggs reaches 1:125000.
Keywords: catfish Pangasius hypophthalmus, honey, sperm dilution ratio.
iv
PEMBERIAN BERBAGAI JENIS MADU DENGAN RASIO PENGENCERAN
BERBEDA SETELAH MASA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
SPERMA IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)
FAHMI HASAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi: Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda
setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam
(Pangasius hypopthalmus).
: Fahmi Hasan
Nama
NIM
: C14090044
Disetujui oleh
Ir. Harton Arfah, M.Si.
Pembimbing I
Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si.
Pembirnbing II
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
1e JUll0l3
v
Judul Skripsi : Pemberian berbagai jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda
setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin siam
(Pangasius hypopthalmus).
Nama
: Fahmi Hasan
NIM
: C14090044
Disetujui oleh
Ir. Harton Arfah, M.Si.
Pembimbing I
Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si.
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Pemberian berbagai
jenis madu dengan rasio pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap
kualitas sperma ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus)” dapat diselesaikan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai April 2013 bertempat di di
Laboratorium Kolam Percobaan Babakan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ayahanda Drs. H. Rahmat Asy’ari dan Ibunda Sa’idah, serta Adik-adik Muhib
Alawi dan Nala Aunillah atas doa, kasih sayang dan dukungannya.
2. Ir. Harton Arfah, M.Si. selaku Pembimbing I dan Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si.
selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis sampai menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA selaku dosen penguji.
4. Ir. Dadang Shafruddin, M.Si. selaku komisi program studi atas arahan dan
koreksinya.
5. Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan semangat dan motivasi kepada penyusun.
6. Pak Ranta, Mas Rahman, Mita, Arif, Ayi, Uus, Imam, ka Fikri, ka Maya dan
Babakan’ers (Yadin, Hilmi dan Deki) yang telah membantu penulis menyelesaikan
penelitian
7. Teman teman kontrakan Badoneng ujung.
8. Keluarga besar BDP 48, BDP 47, BDP 45 dan khususnya BDP 46 terimakasih atas
bantuan dan kerjasamanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para pembaca
untuk melakukan usaha budidaya pendederan ikan patin.
.
Bogor, Agustus 2013
Fahmi Hasan
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
METODE
Materi Uji
Madu
Penyuntikan induk
Penampungan sperma
Evaluasi spermatozoa segar
Kualitas sperma segar ikan patin siam
Pengenceran sperma
Penyimpanan sperma
Evaluasi kualitas sperma
Pembuahan dan penetasan telur
Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Madu Randu, Madu Leci dan Madu Kelengkeng
Morfologi Sperma
Skor Motilitas
Motilitas Sperma
Viabilitas Sperma
Persentase Fertilisasi (FR)
Persentase Penetasan (HR)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vii
vii
1
1
2
2
2
2
3
3
3
4
4
5
5
6
7
7
7
8
10
11
11
13
14
16
16
16
17
19
27
viii
DAFTAR TABEL
1. Hasil pengujian kimia berbagai jenis madu
2. Kualitas sperma segar ikan patin siam
3. Perlakuan pengenceran 0,6% madu dalam NaCl
4. Perbandingan volume sperma dan pengencer pada perlakuan
5. Kriteria skor motilitas sperma
6. Hasil pengukuran ukuran kepala dan panjang ekor sperma
7. Pengukuran skor motilitas sperma ikan patin siam
8. Persentase motilitas sperma ikan patin siam
9. Persentase viabilitas sperma ikan patin siam
10. Persentase FR telur ikan patin siam
11. Persentase HR telur ikan patin siam
2
4
5
5
5
8
10
11
12
14
15
DAFTAR GAMBAR
1. Pengukuran morfologi sperma
9
2. Morfologi kepala sperma Acanthopagrus australis (gambar A; Gwo et al.
2005) Epinephelus bruneus (gambar B; Kim et al. 2013), Paraupeneus
spilurus (gambar C; Gwo et al. 2004)
9
3. Perbedaan sperma hidup dan sperma mati
12
4. Perbedaan telur terbuahi dan telur tidak terbuahi
13
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pembuatan larutan 0,6% madu dalam NaCl fisiologis
2. Penyuntikan induk ikan patin siam dan sptripping sperma
3. Pengamatan mikroskopik kualitas sperma
4. Pengamatan FR dan HR telur ikan patin
5. Pengujian Anova dan uji lanjut Tukey
19
19
20
20
21
ix
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan patin menjadi salah satu andalan dalam peningkatan produksi komoditas
budidaya saat ini. Produksi ikan patin diproyeksikan mencapai 1.883.000 ton pada
tahun 2014 dengan peningkatan 1.420% dari 132.600 ton pada tahun 2009. Sedangkan
produksi benih ikan patin wilayah Bogor pada tahun 2007-2010 rata-rata produksinya
hanya mencapai 49.106.000 benih/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat
2011). Peningkatan produksi ini berdampak langsung pada peningkatan permintaan
benih ikan patin di wilayah Bogor dan sekitarnya. Penyediaan benih yang bermutu baik
dalam jumlah cukup dan kontinyu merupakan faktor penting dalam upaya
pengembangan budidaya ikan konsumsi dan ikan ekonomis. Benih yang baik dapat
dihasilkan oleh induk yang unggul, untuk menghasilkan induk unggul diperlukan waktu
yang lama dan biaya yang mahal, oleh karena itu keberadaan induk unggul harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Beberapa usaha yang dapat dilakukan diantaranya
adalah peningkatan penggunaan induk-induk ikan unggul, mempercepat pemijahan
dengan hypofisasi, peningkatan derajat pembuahan telur dengan teknik pembuahan
buatan, penetasan telur secara terkontrol, pengendalian kualitas dan kuantitas air,
pengembangan teknik kultur massal cacing untuk makanan hidup larva dan pemurnian
varietas induk ikan (Mar’ati 2007).
Masalah lain yang terjadi adalah sifat ikan patin yang memijah tidak dalam
waktu yang sama. Pada industri pembenihan ikan patin, seringkali induk betina dan
jantan yang dilakukan pemijahan buatan, mengalami waktu ovulasi tidak bersamaan.
Akibat hal tersebut, ada penurunan kualitas sperma yang distripping terlebih dahulu
untuk menunggu telur ovulasi. Sperma dapat dipertahankan dalam media isotonik
selama menunggu seluruh induk betina patin ovulasi. Selang waktu yang digunakan
untuk menunggu telur ovulasi adalah 9-15 jam setelah penyuntikan. Sehingga
dibutuhkan waktu tunggu untuk sperma selama 6 jam agar seluruh telur dapat terbuahi
dengan maksimal. Bahan yang sering digunakan untuk pengenceran semen yaitu
larutan NaCl. Larutan NaCl memberi sifat buffer, mempertahankan pH sperma dalam
suhu kamar, bersifat isotonis dengan cairan sel, melindungi spermatozoa terhadap
coldshock dan penyeimbangan elektron yang sesuai. Tetapi penyimpanan semen
dengan larutan pengencer NaCl fisiologis hanya bisa digunakan tidak lebih dari 60
menit setelah penampungan karena kurang mengandung sumber energi yang
dibutuhkan oleh spermatozoa (Isnaini dan Suyadi 2000). Untuk itu perlu tambahan
bahan lain yang bersifat memberikan energi atau nutritif sehingga dapat
memperpanjang waktu spermatozoa untuk bertahan hidup dan mempertahankan
pergerakan spermatozoa dalam media penyimpanan.
Bahan pengencer yang digunakan untuk mengencerkan sperma harus isotonik,
mengandung nutrisi sebagai sumber energi, adanya pelarut pelindung terhadap cold
shock, menjamin bebas kuman, bersifat buffer dan tidak beracun bagi spermatozoa
(Hardjopranjoto 1991). Effendy (1997) menyatakan bahwa kemampuan normal
spermatozoa untuk hidup setelah keluar dari testis dan terpapar air tawar adalah hanya
berkisar antara 1 – 2 menit. Sedangkan, Rustidja (1985) dalam Saputra (2010)
mengemukakan bahwa penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea
dapat mempertahankan daya hidup sperma sampai dengan antara 20–25 menit.
Sedangkan viabilitas sperma dapat diperpanjang sampai dengan 5 menit dengan
melarutkan sperma pada larutan fisiologis yang isotonik terhadap tubuh ikan.
2
Energi tambahan yang dibutuhkan oleh spermatozoa, dapat disediakan oleh gula
sederhana (monosakarida) seperti fruktosa dan glukosa. Penambahan fruktosa atau
glukosa dalam pengencer berguna untuk mendukung daya hidup spermatozoa pasca
pengenceran. Monosakarida yang dibutuhkan oleh spermatozoa untuk menjaga
kelangsungan hidupnya terkandung dalam madu. Indonesia menghasilkan berbagai
jenis madu. Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), madu
mengandung 38% fruktosa; 31% glukosa; 17,1% air; 7,2% maltose; 4,2% trisakarida
dan beberapa polisakarida, 1,5% sukrosa, 0,5% mineral, vitamin dan enzim. Madu
sebagai penambah bahan energi/nutrisi dari pengencer NaCl fisiologis diharapkan dapat
mendukung daya hidup dan pergerakan spermatozoa dalam proses penyimpanan. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Rahardhianto et al. (2012) terdapat interaksi antara
pemberian madu 0,6% terhadap NaCl sebagai larutan pengencer dan lama penyimpanan
yang memberikan hasil persentase motilitas dan viabilitas yang tinggi. Persentase
motilitas spermatozoa ikan patin adalah sebesar 83,7% dan persentase viabilitas
spermatozoa ikan patin adalah 94,5% pada pengamatan 6 jam setelah pengenceran.
Penambahan bahan pengencer dalam sperma diduga akan meningkatkan volume
sperma dan meningkatkan kualitas sperma sehingga memungkinkan cukup banyak ikan
betina yang dapat dipijahkan. Selain itu, penambahan pengencer juga diduga dapat
mengetahui titik optimasi perbandingan telur dan sperma dalam pembuahan, sehingga
dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sperma. Pada ikan Atlantic croaker diketahui
bahwa perbandingan volume sperma (mL) dan telur (buah) adalah 1:5000, pada ikan
turbot adalah 1:2000, pada ikan kakap adalah 1:2000 (Gwo et al. 1991; Sequet et al.
1995; Fauvel et al. 1999 dalam Sequet et al. 2000).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai
jenis madu yaitu madu kelengkeng, madu leci dan madu randu dengan rasio
pengenceran berbeda setelah masa penyimpanan terhadap kualitas sperma ikan patin
siam (Pangasius hypopthalmus) yang meliputi skor motilitas, persentase motilitas,
viabilitas dan morfologi sperma serta persentase fertilisasi dan persentase penetasan
telur.
METODE
Materi Uji
Madu
Madu merupakan cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu berasal dari
sumber nektar (SNI 01-3504-2004). Madu yang diproduksi lebah madu sebenarnya
adalah makanan koloni lebah yang ketersediaannya melimpah saat musim berbunga
dan disimpan dalam sel sarang sebagai persediaan makan pada musim panceklik. Lebah
memproduksi madu dengan bahan nektar yang merupakan cairan mengandung gula
yang disekresikan oleh kelenjar nektar tanaman (Sihombing 1997). Nektar memiliki
kandungan kimia yang berbeda-beda antara satu tanaman dengan tanaman lainnya.
Kadar gula nektar bervariasi antara 5%-80% (Siregar 2002). Madu biasanya
digolongkan menurut sumber nektarnya. Apabila sumber nektar didominasi oleh satu
jenis tanaman (bunga), maka madu yang dihasilkan adalah madu monoflora. Madu
jenis ini diantaranya adalah madu randu, leci, kelengkeng, karet, rambutan, mangga,
3
bunga matahari dan kaliandra. Sedangkan madu yang bersumber dari beberapa jenis
nektar adalah madu multiflora. Madu jenis ini diantaranya adalah madu hutan,
Nusantara, Sumba, dan Kalimantan. Perbedaan sumber tersebut mempengaruhi
kandungan dan karakteristik madu yang dihasilkan. Pada penelitian yang dilakukan,
madu yang digunakan berasal dari Pusat Perlebahan Nasional (Pusbahnas), Parung
Panjang, Bogor. Madu yang digunakan adalah madu monoflora yang meliputi madu
randu, madu leci dan madu kelengkeng. Tabel berikut ini adalah hasil pengujian kimia
madu monoflora yang dianalisis oleh Agro Based Industri Calibration and Analitycal
Laboratories (ABICAL), Balai Besar Industri Agro, Bogor.
Tabel 1. Hasil pengujian kimia berbagai jenis madu monoflora
Parameter
Aktifitas Enzim Diastase (DN)
Hidroksi Metil Fulfural (mg/kg)
Air (%)
Gula Pereduksi (%)
Sukrosa (%)
Keasaman (mL NaOH1N/kg)
Abu (%)
Madu
Randu
5,54
0,00
19,00
70,50
1,12
50,10
0,20
Jenis Madu
Madu
Madu
Leci
Kelengkeng
9,58
11,50
0,00
0,00
19,00
19,40
78,80
77,80
0,00
2,31
17,50
14,7
0,12
0,13
Syarat Madu
berdasarkan SNI 013545-2004
Min. 3
Maks. 50
Maks. 22
Min. 65
Maksimal 5
Maks. 50
Maks. 0,5
Penyuntikan induk
Induk patin yang digunakan berasal dari pembudidaya ikan di Dramaga. Induk
betina yang telurnya berkembang diseleksi lalu diambil 1 ekor dengan bobot 2,6 kg,
kemudian dipisahkan dan disuntik dengan menggunakan chorulon dengan kandungan
dominan HCG 500 IU/kg, setelah 24 jam dilakukan penyuntikan dengan hormon
ovaprim 0,6 mL/kg yang mengandung LHRHa dan anti dopamin, 12 jam berikutnya
dilakukan stripping. Untuk induk jantan, diambil 3 ekor dengan bobot masing-masing
2,5 kg; 2,8 kg dan 2,6 kg kemudian disuntik dengan hormon ovaprim 0,3 mL/kg, 12
jam berikutnya dilakukan stripping.
Penampungan sperma
Sperma ditampung menggunakan botol film. Segera setelah ditampung,
dilakukan penilaian secara makroskopis meliputi: bobot jantan, volume, warna,
konsistensi (kekentalan), dan pH. Sedangkan pemeriksaan mikroskopis meliputi:
gerakan massa dan konsentrasi sperma. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk melihat
kelayakan sperma untuk proses selanjutnya.
Evaluasi spermatozoa segar
Evaluasi spermatozoa sebelum penyimpanan dilakukan secara makroskopis
maupun mikroskopis. Evaluasi makroskopis meliputi:
a. Volume: Volume dihitung menggunakan pipet volumetrik (0-10 mL).
b. Warna: Warna sperma dinilai secara visual.
c. Kekentalan/Konsistensi: Konsistensi diamati dengan cara memiringkan tabung
reaksi dan dikembalikan ke tempat semula. Kriteria penilaian, encer, sedang
sampai kental.
d. pH: pH ditentukan dengan menggunakan pH special indicator paper.
Sedangkan evaluasi mikroskopis meliputi penghitungan konsentrasi spermatozoa yang
dilakukan dengan menggunakan kamar hitung haemocytometer Neubauer.
4
Semen diencerkan dengan perbandingan 1 μL semen dan 99 μL larutan NaCl,
larutan dihomogenkan dan dimasukan pada kotak hitung Neubauer yang telah
diberi cover glass, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran
400 X dan di hitung spermatozoa yang tersebar pada 4 kotak di sudut dan 1
kotak di bagian tengah kamar hitung Neubauer. Rumus menghitung jumlah sel
sperma per mL:
Jumlah spermatozoa/mL = N x 5 x DF x 10 000
Keterangan:
Kotak hitung 1 + kotak hitung 2 = N / 2
N
: adalah jumlah rata-rata sel yang dihitung setiap kotak hitung
DF
: adalah faktor pengenceran. Faktor pengenceran yang digunakan
pada penghitungan konsentrasi sperma kucing adalah 100 dari
pengernceran 1 μL semen dan 99 μL larutan NaCl
5
: adalah faktor koreksi yang dibutuhkan karena hanya 5 dari 25
kotak dalam chamber yang dihitung (25/5).
10.000
: adalah faktor koreksi yang dibutuhkan karena volume setiap
penghitungan di bawah cover slip adalah 0.0001 mL per chamber.
Kualitas sperma segar ikan patin siam
Pemeriksaan awal kualitas dan kuantitas sperma dan telur ikan patin siam
dilakukan untuk mengetahui kondisi awal sperma dan telur yang akan dilakukan pada
penelitian. Pemeriksaan awal penting dilakukan untuk menentukan apakah sperma yang
digunakan layak atau tidak untuk digunakan sebagai stok sperma yang akan disimpan.
Hasil pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis terhadap sperma segar dari ikan patin
siam ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Kualitas sperma segar ikan patin siam
Kriteria
Bobot Jantan (kg)
Volume (mL)
Warna
Kekentalan/Konsistensi
Konsentrasi (109 sel/mL)
Derajat Keasaman (pH)
Hasil
2,68±0,16
6,00±0,26
Putih Susu
Kental
41,12±4,51
7,50
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis sperma segar
ikan patin tersebut yaitu masih layak dijadikan sampel penyimpanan sperma. Karena
volume sperma yang dihasilkan 2 ml – 16 ml, dengan konsentrasi spermatozoanya
berada diatas 9,4x109 sel sperma/ml, motilitasnya 70% - 99%. pH sperma yang dapat
digunakan untuk penyimpanan adalah sperma yang memiliki pH 7,14-7,85 (Fujaya
2002)
Pengenceran sperma
Setelah diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis, sperma yang memenuhi
syarat akan dilakukan pengenceran. Persyaratan yang ditetapkan sebelumnya adalah
motilitas > 70%, skor motilitas 4 atau 5. Pengenceran sperma dilakukan dengan
menambahkan bahan-bahan pengencer yaitu madu Randu 0,6% dalam NaCl fisiologis,
madu Leci 0,6% dalam NaCl fisiologis, dan madu Kelengkeng 0,6% dalam NaCl
fisiologis lalu dilakukan pengenceran 1:10 dimana 1 bagian sperma berbanding dengan
10 bagian larutan totak, serta 1:50, 1:90 dan 1:130 menggunakan mikropipet 200µL
5
yang kemudian dibagi kedalam mikrotub 1,5 mL. Tabel berikut adalah tabel perlakuan
pengenceran 0,6% madu dalam NaCl
Tabel 3. Perlakuan pengenceran 0,6% madu dalam NaCl
Rasio pengenceran
Kontrol
Madu randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Madu leci
Madu kelengkeng
K
R1
R2
R3
R4
L1
L2
L3
L4
K1
K2
K3
K4
Sebagai kontrol adalah sperma segar dengan pengenceran 1:2 dengan pengencer NaCl
fisiologis tanpa dilakukan penyimpanan. Tabel berikut adalah perbandingan volume
sperma dan pengencer pada perlakuan.
Tabel 4. Perbandingan volume sperma dan pengencer pada perlakuan
Perlakuan
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Vol. Pengencer (mL)
0,500
0,900
0,980
0,989
0,992
Vol. Sperma (mL)
Vol. Total (mL)
0,500
1,000
0,100
1,000
0,020
1,000
0,011
1,000
0,008
1,000
Penyimpanan sperma
Penyimpanan sperma dilakukan setelah sperma dicampur dengan pengencer
sesuai dengan perbandingan perlakuan. Setelah itu, sperma disimpan didalam ruang
pendingin bersuhu 4o C selama 6 jam untuk kemudin dilakukan pengamatan.
Evaluasi kualitas spermatozoa
Untuk mengetahui keberhasilan perlakuan dilakukan evaluasi skor motilitas,
persentase motilitas, persentase viabilitas, dan morfologi sperma yang seluruh
perhitungannya dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 200X
yang terhubung dengan kamera dan software OptiLab Viewer, serta persentase
fertilisasi dan persentase penetasan telur dilihat langsung ke kaca objek.
a. Skor motilitas: Penentuan skor motilitas sperma dilakukan dengan cara
meletakkan satu tetes semen pada objek gelas dan ditutup dengan cover glass.
Untuk mengaktifkan sperma, diteteskan akuabides dengan menggunakan tusuk
gigi pada sperma yang akan diamati. Penentuan skor motilitas sperma
didasarkan pada kriteria yang dibuat oleh Guest et al. (1976) dalam tabel berikut
Tabel 5. Kriteria skor motilitas sperma
Angka Motilitas
5
4
3
2
1
0,75
0,50
Kriteria
Semua sperma bergerak sangat cepat dengan pergerakan ekor bervariasi
Banyak sperma bergerak sangat cepat dengan pergerakan ekor cepat,
beberapa sperma memperlihatkan getaran yang kuat di tempat
Banyak sperma bergerak cepat dan yang lain bergetar di tempat
Banyak sperma bergetar dengan sedikit memperlihatkan pergerakan cepat
Banyak sperma bergetar tetapi sangat sedikit yang bergerak cepat
Banyak sperma tidak bergerak dan sangat sedikit sekali sperma yang
bergetar dengan gerakan lemah
Banyak sperma tidak bergerak dan sangat sedikit sekali sperma yang
6
0,25
0
bergetar, kadang-kadang terlihat bergerak melemah
Banyak sperma tidak bergerak, kadang-kadang terlihat bergerak melemah
Semua sperma tidak bergerak dan bergetar
b. Persentase motilitas spermatozoa: Penilaian persentase motilitas spermatozoa
dilakukan secara subjektif kuantitatif, dengan cara meletakkan satu tetes semen
pada objek gelas yang hangat dan ditutup dengan cover glass. Untuk
mengaktifkan sperma, diteteskan akuabides dengan menggunakan tusuk gigi
pada sperma yang akan diamati. Persentase motilitas dinilai dengan
membandingkan jumlah spermatozoa yang bergerak progresif dengan
spermatozoa yang tidak progresif, dibawah mikroskop dengan 200X pada lima
lapang pandang berbeda. Penilaian diberikan dari 0 (mati semua) sampai 100%
(motil semua).
c. Persentase spermatozoa hidup (viabilitas): Satu tetes semen diletakkan pada satu
buah gelas objek, ditambah dengan 4 tetes larutan eosin 2% kemudian
dihomogenkan. Spermatozoa hidup, ditandai dengan kepala yang tidak
menyerap warna/transparan, sedangkan spermatozoa yang telah mati menyerap
warna kemerahan dari eosin 2%. Spermatozoa dihitung dari 5 lapang pandang
yang berbeda secara acak.
x 100%
d. Morfologi sperma: pengamatan morfologi sperma dilakukan dengan cara
melakukan pengukuran terhadap ukuran kepala dan panjang ekor sperma.
Pengamatan dilakukan dengan cara meletakkan satu tetes semen pada objek
gelas yang hangat dan ditutup dengan cover glass. Setelah itu dilakukan
pemotretan terhadap preparat dibawah mikroskop. Lalu dilakukan pengukuran
sampel sperma menggunakan software Image Raster.
Pembuahan dan penetasan telur
a. Pembuahan: Pembuahan dilakukan setelah campuran sperma disimpan selama 6
jam. Rasio perbandingan sperma:telur adalah 1 mL: 2 gr (±2500 telur). Setelah
pembuahan dilakukan, telur ditempelkan pada kaca pengamatan berukuran
7,5X7,5 cm yang didalamnya terdapat 25 bidang pandang yang masing-masing
berukuran 1,5X1,5 cm. Kaca tersebut kemudian dimasukkan ke dalam akuarium
yang berukuran 20X20X20 cm yang sebelumnya telah berisi air yang telah
dicampur Methylen Blue kemudian diberi aerasi kuat.
b. Persentase fertilisasi (FR): dihitung setelah 9 jam pencampuran sperma dengan
telur, dapat dihitung menggunakan rumus
x 100%
c. Persentase penetasan: dihitung setelah telur yang dibuahi menetas menjadi larva
setelah 24 jam pencampuran telur dengan sperma, dapat dihitung menggunakan
rumus:
x 100%
7
Analisis data
Penelitian ini memiliki 2 perlakuan yaitu perlakuan jenis madu dan rasio
pengenceran masing-masing 3 ulangan. Rancangan yang digunakan yaitu RAL
(Rancangan Acak Lengkap) berpola Faktorial dengan faktor pertama adalah rasio
pengenceran dan faktor kedua adalah jenis madu. Selanjutnya diuji menggunakan
Analisis Ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan Uji Tukey. Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik menggunakan Microsoft Excel 2010 dan
dianalisis menggunakan SPSS 16.0 (ANOVA dan dilanjutkan uji Tukey) pada selang
kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Madu Randu, Madu Leci dan Madu Kelengkeng
Pada percobaan yang dilakukan, sperma diuji dengan penambahan madu
monoflora dengan jenis madu randu, leci dan kelengkeng. Pemilihan ketiga madu
tersebut didasarkan dari sumber nektar pada madu yang dihasilkan sejenis, sehingga
kandungan dan karakteristik madu dapat stabil pada setiap musim panennya. Komposisi
kimia madu dipengaruhi oleh dua hal, yakni komposisi nektar yang dihasilkan dan yang
berhasil dikumpulkan oleh lebah serta faktor eksternal, seperti cuaca dan iklim. Selain
itu banyak tidak bunga, derajat kematangan madu serta cara ekstraksi juga turut
mempengaruhi komposisinya (Wahyuni 2005).
Pada hasil pengujian yang didapatkan, aktifitas enzim diastase terbesar
didapatkan pada madu kelengkeng (11,50 DN) dan yang terendah didapatkan pada
madu randu (5,54 DN). Aktifitas enzim diastase yang berbeda-beda tersebut
menunjukkan adanya perbedaan dalam pemecahan karbohidrat dengan rantai kompleks
(oligosakarida) menjadi karbohidrat dengan rantai yang lebih sederhana
(monosakarida). Pada pengujian Hidroksi Metil Fulfural (HMF), hasil pengujian yang
didapatkan adalah sama, yaitu 0,00 mg/kg. HMF merupakan hasil dekomposisis
glukosa, fruktosa dan monosakarida lain yang memiliki enam atom C dalam suasana
asam dan dipercepat dengan bantuan panas. Reaksi selanjutnya menghasilkan asam
format dan levulinat. Nilai HMF yang menunjukkan angka 0,00 mg/kg menunjukkan
bahwa madu tidak mengalami proses pemanasan dan penambahan gula (Wahyuni
2005). Pada pengujian kadar air, hasil tertinggi didapatkan pada madu kelengkeng
(19,40%), sedangkan pada madu randu dan leci didapatkan hasil pengujian yang sama
(19%). Kadar air madu akan mempengaruhi viskositas dari madu. Peningkatan 1%
kadar air akan menurunkan viskositas madu secara nyata (Wahyuni 2005). Madu
kelengkeng menunjukkan viskositas yang lebih rendah dibandingkan madu lainnya
karena memiliki kadar air yang lebih tinggi. Pada pengujian gula pereduksi dalam hal
ini dianggap sebagai karbohidrat monosakarida (glukosa dan fruktosa), hasil tertinggi
didapatkan pada madu leci (78,80%) dan hasil terendah didapatkan pada madu randu
(70,50%). Karbohidrat dalam bentuk gula tersebut merupakan komponen utama dalam
madu. Kandungan karbohidrat monosakarida ini yang nantinya akan berperan penting
dalam proses pemberian nutrisi pada sperma yang disimpan. Penambahan fruktosa atau
glukosa dalam pengencer berguna untuk mendukung daya hidup spermatozoa pasca
pengenceran. Gula pereduksi (monosakarida) yang dibutuhkan oleh spermatozoa untuk
menjaga kelangsungan hidupnya terkandung dalam madu. Dalam spermatozoa terdapat
empat bahan organik yang dapat dipakai secara langsung maupun tidak langsung oleh
spermatozoa sebagi sumber energi untuk kelangsungan hidup dan motilitas
8
spermatozoa, bahan-bahan tersebut adalah fruktosa, serbitol, GPC (glyceryl phosphoryl
choline) dan plasmalogen. Plasmalogen atau lemak aldehidrogen terdapat di bagian
leher, badan dan ekor spermatozoa yang dipergunakan untuk respirasi endogen
(Zenichiro 2002). Fruktosa adalah substrat energi utama di dalam plasma semen yang
telah diproduksi kelenjar vesikularis. Selain itu fruktosa merupakan turunan karbohidrat
yang dapat dijadikan sumber energi untuk pergerakan (motilitas) dan ketahanan
spermatozoa (Marawali et al.. 2001).
Pada pengujian sukrosa, hasil tertinggi didapatkan pada madu kelengkeng
(2,31%) dan hasil pengujian terendah didapatkan pada madu leci (0,00%). Kandungan
sukrosa yang lebih tinggi pada madu kelengkeng, menunjukkan tingkat kemanisan pada
madu. Sukrosa biasa digunakan dalam industri makanan sebagai bahan pemanis
tambahan dalam bentuk kasar maupun cair (Wahyuni 2005). Sukrosa tidak termasuk
dalam gula pereduksi karena tidak mempunyai gugus hidroksil bebas seperti yang
terdapat pada glukosa dan fruktosa. Pada pengujian keasaman, hasil tertinggi
didapatkan pada madu randu (50,10 mL NaOH1N/kg) dan hasil terendah didapat pada
madu kelengkeng (14,70 mL NaOH1N/kg). Kandungan keasaman madu randu yang
melebihi batas maksimal, menunjukkan madu tersebut kurang layak dikonsumsi
manusia. Nilai keasaman tersebut menunjukkan banyaknya ml NaOH1N yang
digunakan untuk menetralkan asam yang terkandung dalam madu. Nilai keasaman
tertinggi (madu randu) mengindikasikan tingginya total asam yang terkandung dalam
madu randu terhadap madu lainnya. Pada pengujian abu, hasil tertinggi didapatkan pada
madu randu (0,20%) dan hasil terendah didapatkan pada madu leci (0,12%). Kadar abu
pada madu menunjukkan kadar mineral yang dikandungnya. Semakin tinggi kadar abu
maka semakin tinggi pula kadar mineral yang terkandung. Madu memiliki kadar abu
yang berkisar antara 0,2% sampai 1%. Mineral yang dominan terdapat dalam madu
adalah fosfor, kalium, kalsium, besi dan natrium (Suhardjo et al. 1985)
Morfologi Sperma
Morfologi sperma dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu kepala, bagian tengah dan
ekor. Berikut ini adalah ukuran kepala (kepala dan leher) dan panjang ekor sperma
(flagel) ikan patin siam pada perlakuan yang telah dilakukan. Hasil pengukuran tersaji
pada Tabel 6. berikut:
Tabel 6. Hasil pengukuran ukuran kepala dan panjang ekor sperma
Rasio pengenceran
Ukuran kepala (µm)
Panjang Ekor (µm)
Kontrol
4,86±0,30
27,20±1,21
Perlakuan/ Jenis madu
Randu
Leci
Kelengkeng
3,85±0,34
3,98±0,06
4,29±0,51
26,50±1,11
27,00±1,13
27,22±1,54
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, terdapat perbedaan pada panjang
ekor sperma dan ukuran kepala sperma. Panjang ekor sperma ikan patin adalah
26,50µm-27,22µm. Sedangkan ukuran kepala sperma ikan patin adalah 3,85µm4,89µm. Kepala sperma ikan patin siam berbentuk oval. Pengukuran didasarkan pada
bagian terpanjang dari kepala sperma.
9
Gambar 1. Pengukuran morfologi sperma
Pada bagian kepala sperma terdapat nukleus yang dilindungi oleh membran sel
yang didalamnya terdapat cairan pelindung sitoplasma. Pada nukleus inilah terdapat
informasi genetika yang akan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Selain itu
pada bagian ini juga terdapat bagian leher yang merupakan bagian yang
menghubungkan ekor dengan kepala. Bagian ini disusun oleh mikrotubulkus yang
mengandung substansi fiber yang disusun oleh protein dinein. Protein dinein ini sangat
penting karena mempunyai aktivitas ATP-ase yang berfungsi menyediakan energi
untuk pergerakan sperma. Gambar berikut ini adalah beberapa bentuk kepala sperma
dan beberapa bahan penyusunnya.
B
C
Gambar 2. Morfologi kepala sperma Acanthopagrus australis (gambar A; Gwo et
al. 2005) Epinephelus bruneus (gambar B; Kim et al. 2013), Paraupeneus spilurus
(gambar C; Gwo et al. 2004)
Penurunan ukuran kepala sperma perlakuan dibandingkan kontrol diduga karena
adanya perbedaan nilai osmolaritas larutan. Belum diketahui secara pasti akibat yang
ditimbulkan akibat penyusutan ukuran tersebut karena pada penelitian tidak dilakukan
pemeriksaan sperma secara ultrastruktur. Tetapi pada pengukuran panjang ekor, hasil
perlakuan tidak menunjukkan perbadaan terhadap kontrol. Bagian ini berfungsi sebagai
alat gerak sperma untuk berenang menuju telur. Panjang dan pendeknya ukuran ekor
sperma tidak dapat menentukan keaktifan sperma dalam bergerak. Keaktifan
pergerakan sperma bergantung pada ketersediaan energi sperma. Kerusakan pada
bagian ekor akan menyebabkan abnormalitas gerakan pada sperma sehingga peluang
untuk berhasil membuahi telur mengecil (Affandi dan Tang 2004).
10
Skor Motilitas
Rough (2003) mengutarakan bahwa ada dua jenis gerakan sperma yaitu motil
dan tidak motil. Gerakan motil sendiri dibagi menjadi dua yaitu sperma yang bergerak
progresive dan sperma yang bergerak tidak progresif. Pergerakan progresif sperma
dibagi menjadi pergerakan progresif cepat dimana sperma bergerak maju ke depan
dengan kecepatan tinggi dan pergerakan progresif lambat dimana sperma bergerak
maju kedepan dengan pergerakan lambat (Hidayaturrahmah 2007). Rough (2003)
mengutarakan bahwa sperma disebut motil tidak progresif saat sperma itu bergerak
tetapi tidak maju. Gerakan yang ditimbulkan sperma motil tidak progresif bisa
bermacam-macam, misalnya gerakan berputar-putar ditempat. Berbagai macam metode
telah dikembangkan dalam mengukur kualitas sperma ikan. Pada perlakuan, digunakan
metode mengukur kualitas sperma menurut Guest et al. (1976) menggunakan sistem
skor 1–5. Tabel 7. berikut adalah pengukuran skor motilitas sperma berdasarkan rasio
pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan
Tabel 7. Pengukuran skor motilitas sperma ikan patin siam
Rasio pengenceran
Kontrol
Randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Leci
Kelengkeng
5,00±0,00
4,67±0,58aA
4,67±0,58aA
5,00±0,00aA
4,67±0,58aA
5,00±0,00aB
5,00±0,00aB
5,00±0,00aB
5,00±0,00aB
5,00±0,00aC
5,00±0,00aC
5,00±0,00aC
5,00±0,00aC
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk
baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0,05) skor motilitas antara rasio pengenceran sperma yang berbeda. Hal ini
ditandai dengan superscript (a) yang sama pada setiap perlakuan. Sedangkan hasil uji
Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P0,05).
Sedangkan hasil terendah didapatkan pada madu randu yang pada setiap rasio
pengencerannya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Menurut Danang
(2012) yang menyatakan bahwa penyimpanan yang lebih lama pada suhu 5ºC sampai
dengan 10º C sel spermatozoa yang terkena kejutan dingin akan lebih cepat mati. Hal
ini disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlah spermatozoa yang rusak dan mati
akibat suhu dingin, ketersediaan energi dalam bahan pengencer makin berkurang, dan
meningkatnya tingkat keasamaan (pH) semen. Energi yang dibutuhkan oleh
spermatozoa ini disediakan oleh gula sederhana (monosakarida) seperti fruktosa dan
glukosa. Penambahan fruktosa atau glukosa dalam pengencer berguna untuk
mendukung daya hidup spermatozoa pasca pengenceran. Karena proses pembentukan
Adenosin Trifosfat (ATP) dan Adenosin Difisfat (ADP) harus terus dilakukan agar
motilitas dapat terus berlangsung. Hal inilah yang diduga membuat perlakuan dengan
penambahan madu leci dan kelengkeng menjadi lebih baik dibandingkan dengan
penambahan dengan madu randu, karena kandungan gula pereduksi dalam betuk
11
fruktosa maupun glukosa (78,80% dan 77,80%) lebih tinggi dibandingkan kandungan
gula pereduksi pada madu randu (70,50%).
Motilitas Sperma
McMaster (1992) menyempurnakan metode yang digunakan Guest et al. (1976)
dengan menggunakan presentase sebagai acuan yang akan mengurangi subyektifitas
dalam pemberian skor. Rentang skor yang diberikan adalah mulai dari 5 yang berarti
80-100% sperma bergerak progresif, sampai dengan 1 yang berarti hanya 0 – 20%
sperma bergerak progresif. Kelemahan metode ini adalah sangat sulit memberikan
penilaian yang obyektif dalam rentang waktu pengamatan motilitas yang sangat singkat.
Tetapi menurut Rahardhianto (2012), motilitas spermatozoa ikan ditentukan dari
banyaknya jumlah spermatozoa yang bergerak dari suatu lapang pandang. Dalam
penelitian ini kategori pergerakan spermatozoa diabaikan, artinya semua jenis kategori
pergerakan spermatozoa pada saat pengamatan dihitung dan dipersentasekan. Tabel 8.
berikut adalah persentase motilitas sperma ikan patin siam berdasarkan rasio
pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada perlakuan
Tabel 8. Persentase motilitas sperma ikan patin siam
Rasio pengenceran
Kontrol
Randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Leci
Kelengkeng
97,33±0,47
82,67±1,15aA
83,00±1,73aA
83,00±2,65aA
83,33±1,15aA
83,67±2,08aA
84,33±0,58aA
86,33±0,58aA
86,67±0,58aA
86,67±1,53aA
87,67±0,58aA
87,67±1,53aA
88,00±1,73aA
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk
baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0,05) presentase motilitas antara rasio pengenceran sperma yang berbeda
maupun jenis madu yang berbeda. Hal ini ditandai dengan superscript (a/A) yang sama
pada setiap perlakuan.
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, nilai persentase motilitas pada
seluruh perlakuan masih lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga
karena pada saat pengukuran persentase motilitas, sperma masih beradaptasi dengan
kenaikan suhu yang cukup drastis (suhu 4° C ke suhu ruang 20° C) sehingga nilai yang
diberikan belum maksimal. Hal ini didukung oleh pendapat Danang et al. (2012) yang
menyatakan bahwa proses pendinginan yang berlangsung dapat juga menyebabkan
menurunnya motilitas sel spermatozoa karena adanya sel spermatozoa yang mengalami
cold shock.
Viabilitas Sperma
Persentase viabilitas merupakan salah satu indikator untuk menentukan baikburuknya kualitas spermatozoa dan mengetahui banyaknya spermatozoa tersebut hidup
(viable) atau tidak hidup (unviable) yang pada penampakan spermatozoa tidak bergerak
atau imotil dalam proses penyimpanan dengan penambahan larutan pengencer.
12
Gambar 3. Perbedaan sperma hidup dan sperma mati
Spermatozoa yang imotil belum tentu spermatozoa tersebut sudah mati.
Persentase spermatozoa yang hidup ditentukan berdasarkan penyerapan zat warna eosin
yang dicampurkan pada sperma. Apabila spermatozoa mati, akan menyerap zat warna
yang ada disekitarnya sedangkan yang hidup tidak menyerap zat warna. Tabel 9.
berikut adalah persentase viabilitas sperma ikan patin siam berdasarkan rasio
pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada perlakuan
Tabel 9. Persentase viabilitas sperma ikan patin siam
Rasio pengenceran
Kontrol
Randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Leci
Kelengkeng
95,00±1,00
92,33±1,15aA
93,00±1,00aA
90,33±1,53aA
92,33±0,58aA
95,00±1,00aB
95,33±1,15aB
95,33±0,58aB
96,33±0,58aB
96,00±1,00 aB
96,33±0,58aB
96,33±0,58aB
95,33±0,58aB
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk
baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0,05) viabilitas sperma antara rasio pengenceran sperma yang berbeda. Hal ini
ditandai dengan superscript (a) yang sama pada setiap perlakuan. Sedangkan hasil uji
Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P0,05) pada madu leci dan kelengkeng.
Berdasarkan perlakuan yang telah dilakukan, pemberian madu randu
memberikan hasil yang terendah dan pemberian madu kelengkeng memberikan hasil
yang tertinggi. Rendahnya persentase viabilitas yang dihasilkan oleh perlakuan
pemberian madu randu diakibatkan oleh kurangnya cadangan nutrisi (monosakarida)
pada media pengencer rendah, yaitu hanya 70,50% dan kandungan enzim diastasenya
5,54DN sehingga persentasenya menjadi rendah. Berkurangnya jumlah nutrisi
spermatozoa disebabkan oleh penggunaan energi untuk aktivitas mekanik (gerak) dan
kimiawai (biosintesa). Sesuai dengan pendapat Danang et al.. (2012) bahwa semakin
berkurangnya cadangan makanan, dan ketidakseimbangan cairan elektrolit akibat
metabolisme spermatozoa dapat menyebabkan kerusakan membran sel spermatozoa.
Kerusakan ini sebagai akibat adanya pertukaran larutan intraseluler dan ekstraseluler
antara bahan pengencer dengan spermatozoa karena adanya perbedaan konsentrasi.
Proses pengenceran semen dapat menyebabkan rusaknya membran plasma serta
13
menurunkan motilitas. Kerusakan membran sel spermatozoa akan berdampak pada
membran yang pada awalnya mempunyai sifat semipermeabel tidak lagi mampu
menyeleksi keluar masuknya zat, sehingga pada saat dilakukan uji warna eosin zat
tersebut masuk ke dalam plasma. Sehingga sperma yang mati tersebut akan menyerap
warna merah dari eosin. Sedangkan sperma yang diberi penambahan nutrisi madu
kelengkeng pada bahan pengencernya memberikan persentase viabilitas yang tinggi.
Hal ini diduga karena sperma yang diberi penambahan madu kelengkeng dengan
kandungan monosakarida 77,80% dan kandungan enzim diastase 11,50DN pada bahan
pengencernya dapat memberikan nutrisi yang cukup dalam bentuk gula pereduksi dan
mampu mencegah kerusakan membran sel spermatozoa. Nilai tersebut tidak berbeda
dengan yang dilakukan oleh Rahardhianto (2012), viabilitas sperma ikan patin
(Pangasius pangasius) yang dilakukan penyimpanan selama 6 jam dengan penambahan
madu mencapai 94,5%.
Persentase Fertilisasi (FR)
Persentase fertilisasi (FR) merupakan salah satu indikator keberhasilan penentu
kualitas sperma. FR adalah persentase dari jumlah telur yang berhasil dibuahi sperma
dibagi dengan jumlah total telur yang diamati.
Gambar 4. Perbedaan telur terbuahi dan telur tidak terbuahi
Nilai FR yang dihasilkan, ditentukan oleh kualitas spermatozoa. Untuk
meningkatkan FR, perlu diberikan berbagai bahan tambahan sebagai nutrisi pada bahan
pengencernya. Pada perlakuan, dilakukan pencampuran 1mL sperma yang dicampurkan
dengan 2gram telur (±2500 butir). Tabel 10. berikut ini adalah persentase FR telur ikan
patin siam berdasarkan rasio pengenceran sperma dan jenis madu yang digunakan pada
perlakuan
14
Tabel 10. Persentase FR telur ikan patin siam
Rasio pengenceran
Kontrol
Randu
1:2
1:10
1:50
1:90
1:130
Perlakuan/ Jenis madu
Leci
Kelengkeng
72,75±8,20
92,73±2,42cA
93,48±0,42cA
75,81±8,40bA
19,16±15,31aA
92,15±1,26cB
87,90±7,35cB
84,38±9,14bB
75,58±3,07aB
96,14±1,54cC
97,10±0,70cC
90,44±5,26bC
92,89±2,32aC
*Kelompok dengan superscript yang sama tipe kecil (a) untuk kolom dan jenis besar (A) untuk
baris pada setiap parameter yang secara signifikan tidak berbeda (p> 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata
(P0,05) pada pengenceran 1:10 dengan
1:50, hal ini ditandai dengan superscript (c) yang sama pada kedua perlakuan tersebut.
Sedangkan hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
nyata (P 0,05)
Hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata
(P0,05) pada pengenceran 1:10 dengan
1:50, hal ini ditandai dengan superscript (c) yang sama pada kedua perlakuan tersebut.
Sedangkan hasil uji Tukey pada α 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
nyata (P