PENGARUH METIL METSULFURON TERHADAP KERUSAKAN SEL DARAH MERAH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)

(1)

ABSTRACT

THE EFFECTS OF METSULFURON – METHYL TO THE DESTRUCTION OF RED BLOOD CELLS Pangasius hypopthalmus

By

QORIE ASTRIA

Application of herbicide contain active compound of metsulfuron-methyl has potential as a poison to fish cultivated in polyculture system. Metsulfuron-methyl is systemic and selective only for paddy. The study was conducted to determine the effect of metsulfuron methyl to red blood cells and hematocrit percentage of Asian catfish (Pangasius hypopthalmus) which had weight 2,16 ± 0,24 grams. The test results indicate that the determination of the concentration interval herbicide with the active ingredient metsulfuron methyl has a threshold of 100 ppm and below the 1 ppm threshold, which is used to determine the concentration of the definitive test (2.5 ppm, 6.25 ppm, 15.6 ppm; 39 ppm and 97.5 ppm). LC50-96 hour value of 51.4 mg/l basis of a definitive test. The results showed that fish exposed to metsulfuron methyl at a concentration of 15.6 ppm and 39 ppm, lipofuscin is formed in the cell nucleus and seroid that almost covered the surface of the cytoplasm and hematocrit values below 22% which indicates the fish are anemic.

Key words : Pangasius hypopthalmus, Metsulfuron-Methyl, red blood cells, hematocrit


(2)

ABSTRAK

PENGARUH METIL METSULFURON TERHADAP KERUSAKAN SEL DARAH MERAH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)

Oleh

QORIE ASTRIA

Penggunaan herbisida yang tidak efektif berpotensi sebagai racun pada ikan yang dibudidayakan di area persawahan. Herbisida berbahan aktif metil metsulfuron merupakan herbisida sistemik dan selektif untuk tanaman padi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap kerusakan sel darah merah dan persentase hematokrit ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). Pemaparan metil metsulfuron dilakukan pada ikan patin siam dengan berat tubuh 2,16 ± 0,24 gram. Hasil uji penentuan selang konsentrasi menunjukkan bahwa herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron mempunyai batas ambang atas 100 ppm dan batas ambang bawah 1 ppm, yang digunakan untuk menentukan konsentrasi pada uji definitif (2,5 ppm; 6,25 ppm; 15,6 ppm; 39 ppm dan 97,5 ppm). Nilai LC50-96jam sebesar 51,4 mg/l berdasarkan dari uji definitif. Hasil penelitian menunjukkan ikan yang terpapar metil metsulfuron pada konsentrasi 15,6 ppm dan 39 ppm, terbentuk lipofuscin pada inti sel dan seroid yang hampir memenuhi permukaan sitoplasma serta nilai hematokrit dibawah 22% yang menandakan ikan mengalami anemia.

Kata kunci : Pangasius hypopthalmus, metil metsulfuron, sel darah merah, hematokrit.


(3)

PENGARUH METIL METSULFURON TERHADAP KERUSAKAN SEL DARAH MERAH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)

Oleh

Qorie Astria

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PERIKANAN

Pada

Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

PENGARUH METIL METSULFURON TERHADAP KERUSAKAN SEL DARAH MERAH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)

(Skripsi)

Oleh

Qorie Astria

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3 2. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) ... 6 3. Sel darah merah ...

7

4. Struktur Kimia Metil Metsulfuron ... 9 5. Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil Metsulfuron

pada Konsentrasi 0 ppm (K). ... 21

6. Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil

Metsulfuron pada Konsentrasi 15,6 ppm (C) ... 21

7. Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil

Metsulfuron pada Konsentrasi 39 ppm (D). ... 22

8. Perbandingan Nilai Hematokrit ... 22


(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Penelitian ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) ... 5

2.2 Sel Darah Merah pada Ikan ... 7

2.3 Pestisida ... 8

2.4 Herbisida Metil Metsulfuron... 9 2.5 Pengaruh Pestisida terhadap Ikan ...


(8)

3.2 Hewan Uji ... 11

3.3 Alat Penelitian ... 11

3.4 Bahan Penelitian ... 12

3.5 Rancangan Penelitian ... 12

3.6 Persiapan Penelitian ... 13

3.6.1 Wadah Uji ... 13

3.6.2 Media Uji ... 13

3.7 Pelaksanaan Penelitian ... 14

3.7.1 Uji Penentuan Selang Konsentrasi ... 14

3.7.2 Uji Definitif (Toksisitas Akut) ... 15

3.8 Pembuatan Preparat Ulas Darah ... 17

3.8.1 Persiapan Ulas Darah ... 17

3.8.2 Pembuatan Preparat Ulas Darah... 17

3.8.3 Pewarnaan dan Pengamatan Preparat Ulas Darah ... 17

3.9 Metode Mikro Hematokrit ... 18

3.10 Metode Analisis Data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 19


(9)

4.1.5 Pengaruh Metil Metsulfuron terhadap Sel Darah Merah ... 20 4.1.4 Pengaruh Metil Metsulfuron terhadap Nilai Hematokrit ... 22

4.1.3 Kualitas Air ... 23 4.2 Pembahasan ... 24

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 28 5.2 Saran ... 28


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Penelitian ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) ... 5

2.2 Sel Darah Merah pada Ikan ... 7

2.3 Pestisida ... 8

2.4 Herbisida Metil Metsulfuron... 9


(11)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

3.2 Hewan Uji ... 11

3.3 Alat Penelitian ... 11

3.4 Bahan Penelitian ... 12

3.5 Rancangan Penelitian ... 12

3.6 Persiapan Penelitian ... 13

3.6.1 Wadah Uji ... 13

3.6.2 Media Uji ... 13

3.7 Pelaksanaan Penelitian ... 14

3.7.1 Uji Penentuan Selang Konsentrasi ... 14

3.7.2 Uji Definitif (Toksisitas Akut) ... 15

3.8 Pembuatan Preparat Ulas Darah ... 17

3.8.1 Persiapan Ulas Darah ... 17

3.8.2 Pembuatan Preparat Ulas Darah... 17

3.8.3 Pewarnaan dan Pengamatan Preparat Ulas Darah ... 17

3.9 Metode Mikro Hematokrit ... 18

3.10 Metode Analisis Data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 19

4.1.1 Uji Penentuan Selang Konsentrasi ... 19


(12)

4.1.3 Uji Statistik ANOVA dan BNT ... 20

4.1.5 Pengaruh Metil Metsulfuron terhadap Sel Darah Merah ... 20

4.1.4 Pengaruh Metil Metsulfuron terhadap Nilai Hematokrit ... 22

4.1.3 Kualitas Air ... 23

4.2 Pembahasan ... 24

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 28

5.2 Saran ... 28


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kisaran Nilai Parameter Kualitas Media Uji pada Uji Penentuan


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3

2. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) ... 6

3. Sel darah merah ... 7

4. Struktur Kimia Metil Metsulfuron ... 9

5. Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil Metsulfuron pada Konsentrasi 0 ppm (K). ... 21

6. Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil Metsulfuron pada Konsentrasi 15,6 ppm (C) ... 21

7. Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil Metsulfuron pada Konsentrasi 39 ppm (D). ... 22


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Konsentrasi Uji Definitif ... 32

2. Grafik Persentase Mortalitas Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) pada Uji Penentuan Selang Konsentrasi ... 34

3. Grafik Persentase Mortalitas Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) pada Uji Definitif………. ... 34

4. Analisis Probit (LC50-96 jam) Metil Metsulfuron terhadap Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus). ... 35

5. Data Uji Normalitas dan Homogenitas ... 37

6. Data Uji ANOVA ... 38

7. Data Uji Lanjut BNT ... 41


(16)

DAFTAR PUSTAKA

Alabaster, J. and Lloyd. 1980. Water Quality Criteria for Fish. FAO of United Nations European Inland Fisheries Advisor

Angka. 1985. The Pathologi of Walking Catfish, Clarian batrachus, Infected Intraperitoneally with Aeoromonas hydrophilla. AFS

Anonim . 2001 . Metsulfuron Methyl . FAO of The United Nations Anonim. 2008. Fish Haematology. Dikutip dari :

http://www.aqualex.org/elearning. Pada tanggal 17 April 2012, pukul 16.00 WIB.

Bond C.E. 1979. Biology of Fishes. Philadelphia: Saunders Colege Publishing. Hlm 514.

Chinabut S, Limsuwan C, and Kiswatat P. 1991. Histology of The Walking Catfish,Clarias bathracus. Canada :IDRC. Hlm 40-44.

Clarke, E.G.C. and M.L. Clarke. 1975. Veterinary Toxicology Cassell and Collver. Mc Millan Publishers Ltd, London.

Cornell, D.W. dan G.J. Miller. 1995. Chemistry and Ecotoxicology Of Pollution. A Wiley Publ. New York.

Djariah, A.S. 2001. Budidaya Ikan Patin. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 87. Finney. 1971. Probit Analysis. The University Press. Cambridge.

Frank, C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar Asas, Organ sasaran dan Penilaian Risiko. Edisi kedua . Penerjemah Edi Nugroho. UI Press Jakarta Khairuman dan Amri, K. 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Agromedia

Pustaka. Jakarta. Hlm 83.

Lagler, K.F. and J.E. Bardach. 1977. Ichthyology. Jhon Welley and Sond Inc. New York.

Metusala, D. 2006. Studi Waktu Aplikasi dan Dosis Herbisida Campuran Atrazine dan Mesotrione pada Pengendalian Gulma terhadap Hasil dan Kualitas Hasil Jagung (Zea mays). Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta:

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta, Fakultas


(17)

Palangkaraya. Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol. 1. No 1. Juni 2012 Nurchayatun, T. 2007 . PengaruhPemberian Merkuri Klorida Terhadap Struktur

Mikroanatomi Insang Ikan Mas . Universitas Negeri Semarang . Semarang Pirzan, A.M. dan S.Tahe. 1995. Pengaruh Salinitas Terhadap Kelangsungan

Hidup dan Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1(3):67-72

Rudiyanti, S., dan Ekasari, A.D. 2009. Pertumbuhan Dan Survival Rate Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 5, No. 1, 2009 39 – 47.

Roberts R. J. 2001 . Fish Pathology, 3rd ed. W.B. Saunders. Philadelphia, PA. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan, Bina Cipta. Jakarta Santoso, S. 1998. Toksisitas Air Limbah Industri Pulp Proses Soda Terhadap

Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio L). Jurnal Universitas Sudirman 2 (XIV): 5.

Sastroutomo. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia. Jakarta. Hlm 217.

Susanto, H. dan Amri, K. 2002. Budi Daya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm 90.

Steel G.D. and Torrie J.H. 1976. Principles and Procedure of Statistics. A Biometrical Approach, Mc Graw-Hill Inc. New York. Hlm 382. Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta. Hlm 348.

Wudianto, R. 1994. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta. Yudha, I. G. 1999. Tingkat Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Lele Dumbo yang

Dipaparkan Endosulfan Pada Konsentrasi Subletal. Thesis . Program Pascasarjana, IPB.


(18)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Uji Penentuan Selang Konsentrasi

Berdasarkan hasil penelitian pada uji penentuan selang konsentrasi ditetapkan nilai ambang bawah dan ambang atas, masing-masing sebesar 1 ppm dan 100 ppm. Pada perlakuan B (10 ppm) nilai persentase mortalitas sebesar 6,7% dan pada perlakuan C (100 ppm) nilai persentase mortalitas 100% (Lampiran 2). Ikan uji tidak mengalami kematian pada perlakuan K (0 ppm) dan A (1 ppm).

4.1.2 Uji Definitif (Toksisitas Akut)

Uji definitif dilakukan selama 96 jam. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pada perlakuan K (0 ppm), A (2,5 ppm), B (6,25 ppm), dan C (15,6 ppm) ikan uji tidak mengalami mortalitas, sedangkan pada perlakuan D (39 ppm) dan E (97,5 ppm) nilai persentase mortalitas masing-masing sebesar 30% dan 100% (Lampiran 3). Berdasarkan uji definitif yang telah dilakukan, diketahui bahwa nilai LC50-96 jam sebesar 51,4 mg/l dapat dilihat pada Lampiran 4.


(19)

4.1.3 Uji Statistik ANOVA dan BNT

Berdasarkan dari tabel analisis ragam, didapatkan nilai dari F hitung lebih besar daripada F tabel sehingga menolak H0 dan menerima H1 pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil dari uji lanjut BNT, terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan D (39 ppm) dan E (97,5 ppm) terhadap mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

4.1.4 Pengaruh Metil Metsulfuron terhadap Sel Darah Merah

Perlakuan metil metsulfuron terhadap ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dilakukan selama 96 jam dan diamati dampak kerusakannya dengan melakukan metode ulas darah. Berdasarkan hasil pengamatan ulas darah (Gambar 5 dan 6) menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara sel darah merah kontrol (0 ppm) dengan sel darah merah yang telah dipaparkan metil metsulfuron seperti pada perlakuan C (15,6 ppm) dan D (39 ppm). Pada perlakuan kontrol sel darah merah berbentuk oval sampai bundar dengan inti yang kecil dan sitoplasma dalam jumlah yang besar. Setelah dipaparkan metil metsulfuron dengan konsentrasi 15,6 ppm dan 39 ppm, terbentuk lipofuscin pada inti sel dan seroid yang hampir memenuhi

permukaan sitoplasma. Menurut analisis Yudha (1999) mengenai kerusakan sel darah merah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dipaparkan dalam endosulfan menyebabkan inti sel terlihat membesar dan seolah-olah ‘pecah’ dengan permukaan yang tidak rata.


(20)

0 ppm (K)

Gambar 5. Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil Metsulfuron pada Konsentrasi 0 ppm (K).

Keterangan : Inti Sel (A) dan Sitoplasma (B)

15,6 ppm (C)

Gambar 6. Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil Metsulfuron pada Konsentrasi 15,6 ppm (C).


(21)

39 ppm (D)

Gambar 7. Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam yang Terpapar Metil Metsulfuron pada Konsentrasi 39 ppm (D).

Keterangan : Lipofuscin (L) dan Seroid (S).

4.1.5 Pengaruh Metil Metsulfuron terhadap Nilai Hematokrit

Gambar 8. Perbandingan Nilai Hematokrit

29,94%

19,76%

14,80%

0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 35,00%

0 ppm 15,6 ppm 39 ppm

P

er

se

n

tase

Hem

atokrit


(22)

Berdasarkan grafik persentase hematokrit (Gambar 7), pada perlakuan kontrol didapatkan persentase sebesar 29,94%. Persentase rerata nilai hematokrit mengalami penurunan pada perlakuan C (15,6 ppm) yaitu sebesar 19,76% dan perlakuan D (39 ppm)

sebesar 14,80%.

4.1.6 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diuji adalah suhu, pH, dan oksigen terlarut pada uji penentuan selang konsentrasi dan pada uji definitif. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kisaran suhu 25-28oC, nilai pH 7, dan kadar oksigen terlarut 4-8 mg/l. Kisaran nilai parameter kualitas air pada uji penentu selang konsentrasi dan uji definitif yang telah dilakukan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kisaran Nilai Parameter Kualitas Media Uji pada Uji Penentuan Selang Konsentrasi dan Uji Definitif

Parameter Uji Perlakuan

K A B C D E NAB

Suhu (oC) Penentuan

Selang Konsentrasi

25-28 25-28 25-27 25-26 25-30 (*)

Definitif 25-28 25-26 25-27 25-28 25-27 25-28

pH Penentuan

Selang Konsentrasi

7 7 7 7 6,5-8 (**)

Definitif 7 7 7 7 7 7

DO (mg/l) Penentuan

Selang Konsentrasi 5,31-7,42 5,16-8,25 5,08-8,24 7,41-8,33

3-7 (*)

Definitif 5-7,04

5,40-7,24 4,70-7,50 5,18-7,40 5,55-7,20 5,58-5,99 Keterangan:

NAB : Nilai Ambang Batas untuk ikan patin siam * : Berdasarkan Pirzan (1992)


(23)

4.2 Pembahasan

Pada kolam alih fungsi dari area persawahan masih terdapat senyawa herbisida yang dapat menyebabkan gangguan organ penting pada tubuh ikan (sublethal) bahkan kematian pada ikan (lethal). Berdasarkan hasil dari uji penentuan selang konsentrasi dan uji definitif terdapat mortalitas ikan uji, hal tersebut menandakan semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron yang digunakan maka tingkat mortalitas ikan patin siam semakin meningkat. Ikan uji mengalami gejala-gejala keracunan yaitu dengan terlihatnya tingkah laku berenang ikan yang tidak teratur, tubuh ikan berlendir,

berwarna pucat dan gangguan pendarahan pada katup insang serta mulutnya. Menurut Cornell dan Miller (1995), kerusakan pada insang tersebut dapat menyebabkan

terganggunya mekanisme pernapasan yang akhirnya dapat mempengaruhi metabolisme dan laju pertumbuhan ikan uji, luka pada katup dan mulut insang. Berdasarkan uji definitif yang telah dilakukan, diketahui bahwa nilai LC50-96 jam sebesar 51,4 mg/l, yang berarti metil metsulfuron memiliki daya racun sedang. Menurut Komisi Pestisida Departemen Pertanian (1983) dalam Rudiyanti (2009), kriteria daya racun lethal pestisida pada LC50-96 jam sebesar 10-100 mg/L, memiliki daya racun yang sedang.

Berdasarkan dari data uji normalitas dan homogenitas (Lampiran 5) yang telah dilakukan, data menyebar normal dan varian dari beberapa kelompok data adalah sama. Uji BNT dapat dilakukan berdasarkan hasil dari uji ANOVA (Lampiran 6) yang menyatakan bahwa metil metsulfuron memberikan pengaruh yang nyata


(24)

terhadap mortalitas ikan patin siam. Hasil uji BNT (Lampiran 7) menunjukkan bahwa pada perlakuan D (39 ppm) dan E (97,5 ppm) memberikan pengaruh yang nyata terhadap mortalitas ikan patin siam.

Pembuatan preparat ulas darah dan perhitungan persentase hematokrit dilakukan pada perlakuan yang berbeda nyata (39 ppm) dengan perlakuan yang tidak berbeda nyata (15,6 ppm) kemudian dibandingkan dengan ikan uji pada perlakuan kontrol (0 ppm). Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan gambaran bahwa pada perlakuan kontrol inti sel darah merah terletak sentral dengan sitoplasma dan berbentuk oval. Setelah dipaparkan metil metsulfuron dengan konsentrasi 15,6 ppm dan 39 ppm, terbentuk lipofuscin pada inti sel dan seroid yang hampir memenuhi permukaan sitoplasma. Hal tersebut diduga karena adanya sifat dari metil metsulfuron yang dapat menyebabkan timbulnya kelainan pada sitoplasma dan inti sel karena adanya lipofuscin dan seroid. Menurut Azhar dan Tjahjono (1999) dalam Yudha (1999), bahan toksik juga dapat mengakibatkan kerusakan membran sel yang parah dan membahayakan kehidupan sel juga menyebabkan pembentukkan kompleks lipofuscin dan seroid yang besar dan tidak larut, yang semakin lama akan semakin membesar hingga dapat memenuhi seluruh sel.

Gangguan pada sistem sirkulasi ikan yang telah tercemar toksik dapat menimbulkan kerusakan pada sel darah merah serta penurunan nilai hematokrit. Hasil penelitian dan persentase hematokrit (Gambar 8 dan Lampiran 8) yang didapat setelah dilakukan pemaparan metil metsulfuron pada ikan patin siam selama 96 jam yaitu, pada perlakuan kontrol sebesar 29,94 %. Kondisi ini menunjukan bahwa ikan masih


(25)

dalam keadaan baik, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bond (1979) yang mengatakan bahwa nilai hematokrit normal ikan teleostei berkisar antara 20-30 %, dan pada beberapa spesies laut bernilai 42%. Pada perlakuan C (15,6 ppm) dan D (39 ppm) presentase rata-rata nilai hematokrit mengalami penurunan, yaitu masing-masing sebesar 19,76% dan 14,8%. Berdasarkan hasil penelitian diduga pengaruh dari terpaparnya metil metsulfuron pada perlakuan C (15,6 ppm) dan D (39 ppm) menyebabkan ikan patin siam mengalami anemia. Menurut pendapat Angka et al. (1985), bahwa hasil pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu standar untuk menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang dari 22% menunjukkan terjadinya anemia. Menurut pernyataan Robert (2001), bahwa anemia dapat berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ikan, karena rendahnya persentase eritrosit menyebabkan suplai makanan ke sel, jaringan dan organ akan berkurang sehingga proses metabolisme ikan menjadi terhambat. Rendahnya persentase hematokrit juga mempengaruhi jumlah eritrosit menjadi rendah.

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa kisaran suhu, pH, dan DO pada kualitas air uji penentuan selang konsentrasi dan pada kualitas air uji definitif berada pada kisaran yang sesuai untuk pemeliharaan ikan patin siam. Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ikan, karena dapat mempengaruhi nafsu makan ikan uji. Menurut pendapat Pirzan (1992), suhu yang optimal yaitu 25-30oC dan dengan pH 6,5-8. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kisaran suhu 25-28oC dan nilai pH 7, hal tersebut menunjukkan bahwa suhu dan pH pada penelitian sudah optimum. Menurut pendapat Gufron dalam Minggawati (2012), kandungan oksigen


(26)

yang optimal untuk pemeliharaan ikan patin yaitu antara 3-7 mg/l. Keadaan tersebut relatif berbeda dari penelitian yang telah dilakukan memiliki kadar oksigen terlarut 4-8 mg/l, hal tersebut menunjukkan bahwa DO pada penelitian relatif kurang optimal.


(27)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

1. Metil metsulfuron memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). Semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron maka tingkat mortalitas ikan patin siam semakin meningkat.

2. Metil metsulfuron menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel darah merah berupa terbentuknya lipofuscin pada inti sel dan seroid yang hampir memenuhi permukaan sitoplasma serta menurunnya persentase nilai hematokrit yang menandakan ikan terkena anemia.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini, yaitu:

Dapat dilakukan uji lanjut mengenai pengaruh metil metsulfuron terhadap ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) pada organ ginjal dan limpa.


(28)

DAFTAR PUSTAKA

Alabaster, J. and Lloyd. 1980. Water Quality Criteria for Fish. FAO of United Nations European Inland Fisheries Advisor

Angka. 1985. The Pathologi of Walking Catfish, Clarian batrachus, Infected Intraperitoneally with Aeoromonas hydrophilla. AFS

Anonim . 2001 . Metsulfuron Methyl . FAO of The United Nations

Anonim. 2008. Fish Haematology. Dikutip dari : http://www.aqualex.org/elearning. Pada tanggal 17 April 2012, pukul 16.00 WIB.

Bond C.E. 1979. Biology of Fishes. Philadelphia: Saunders Colege Publishing. Hlm 514.

Chinabut S, Limsuwan C, and Kiswatat P. 1991. Histology of The Walking Catfish, Clarias bathracus. Canada :IDRC. Hlm 40-44.

Clarke, E.G.C. and M.L. Clarke. 1975. Veterinary Toxicology Cassell and Collver. Mc Millan Publishers Ltd, London.

Cornell, D.W. dan G.J. Miller. 1995. Chemistry and Ecotoxicology Of Pollution. A Wiley Publ. New York.

Djariah, A.S. 2001. Budidaya Ikan Patin. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 87. Finney. 1971. Probit Analysis. The University Press. Cambridge.

Frank, C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar Asas, Organ sasaran dan Penilaian Risiko. Edisi kedua . Penerjemah Edi Nugroho. UI Press Jakarta

Khairuman dan Amri, K. 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hlm 83.

Lagler, K.F. and J.E. Bardach. 1977. Ichthyology. Jhon Welley and Sond Inc. New York.


(29)

Metusala, D. 2006. Studi Waktu Aplikasi dan Dosis Herbisida Campuran Atrazine dan Mesotrione pada Pengendalian Gulma terhadap Hasil dan KualitasHasil Jagung (Zea mays). Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas

Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta, Fakultas Pertanian, Jurusan

Agronomi. Hlm 100.

Minggawati, I. dan Saptono. 2012. Parameter Kualitas Air untuk Budidaya Ikan Patin (Pangasius pangasius) di Karamba Sungai Kahayan, Kota Palangkaraya. Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol. 1. No 1. Juni 2012

Nurchayatun, T. 2007 . PengaruhPemberian Merkuri Klorida Terhadap Struktur Mikroanatomi Insang Ikan Mas . Universitas Negeri Semarang . Semarang Pirzan, A.M. dan S.Tahe. 1995. Pengaruh Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup

dan Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1(3):67-72

Rudiyanti, S., dan Ekasari, A.D. 2009. Pertumbuhan Dan Survival Rate Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 5, No. 1, 2009 39 – 47.

Roberts R. J. 2001 . Fish Pathology, 3rd ed. W.B. Saunders. Philadelphia, PA. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan, Bina Cipta. Jakarta Santoso, S. 1998. Toksisitas Air Limbah Industri Pulp Proses Soda Terhadap Benih

Ikan Mas (Cyprinus carpio L). Jurnal Universitas Sudirman 2 (XIV): 5. Sastroutomo. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia. Jakarta. Hlm 217.

Susanto, H. dan Amri, K. 2002. Budi Daya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm 90.

Steel G.D. and Torrie J.H. 1976. Principles and Procedure of Statistics. A Biometrical Approach, Mc Graw-Hill Inc. New York. Hlm 382.

Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm 348.

Wudianto, R. 1994. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta. Yudha, I. G. 1999. Tingkat Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Lele Dumbo yang

Dipaparkan Endosulfan Pada Konsentrasi Subletal. Thesis . Program Pascasarjana, IPB.


(30)

(31)

Lampiran 1. Konsentrasi Uji Definitif


(32)


(33)

Lampiran 2. Grafik Persentase Mortalitas Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) pada Uji Penentuan Selang Konsentrasi.

Lampiran 3. Grafik Persentase Mortalitas Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) pada Uji Definitif.

0% 0%

6,70% 100% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

0 ppm 1 ppm 10 ppm 100 ppm

P er se n tase M or talitas Konsentrasi

0% 0% 0% 0%

30% 100% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

0 ppm 2,5 ppm 6,25 ppm 15,6 ppm 39 ppm 97,5 ppm

P er se n tase M or talitas Konsentrasi


(34)

Lampiran 4. Analisis Probit (LC50-96 jam) Metil Metsulfuron terhadap Ikan

Patin Siam (Pangasius hypopthalmus).

d (Konsentrasi ppm) n (∑ hewan uji) r (Mortalitas) D (% mortalitas) X (Log konsentrasi)

X2 Y

(Probit % mortalitas)

XY

2,5 30 0 0 0,397 0,157 0 0

6,25 30 0 0 0,795 0,632 0 0

15,6 30 0 0 1,193 1,423 0 0

39,00 30 9 30 1,591 2,531 4,4756 7,120

97,5 30 30 100 1,989 3,956 8,7190 17,342

Jumlah 5,965 8,699 13,1946 24,462


(35)

( )


(36)

Lampiran 5. Uji Normalitas dan Homogenitas

Uji Normalitas

Unstandardized Residual

N 18

Normal Parametersa,b Mean .0000000

Std. Deviation 1.09722263

Most Extreme Differences Absolute .140

Positive .120

Negative -.140

Kolmogorov-Smirnov Z .596

Asymp. Sig. (2-tailed) .870

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Uji Homogenitas perlakuan

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

10.400 1 13 .07

Keterangan : Data menyebar normal dan memiliki varian beberapa kelompok sampel yang sama, karena memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05.


(37)

Lampiran 6. Data Uji ANOVA (Analysis of Variance)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

K 0 0 0 0 0

A 0 0 0 0 0

B 0 0 0 0 0

C 0 0 0 0 0

D 30 40 20 90 30

E 100 100 100 300 100

Jumlah 130 140 120 390 130

Rata-rata 21,67 23,33 20 21,67

Analisis Ragam

Keterangan : r = perlakuan t = ulangan


(38)


(39)

SK db JK KNT F.Hitung F Tabel

p 5 24.250 4.850 291 5,81

G 12 200 16,67

T 17 24.450

Keterangan : Pada selang kepercayaan 95%, F hitung > F tabel menunjukkan pemaparan metil metsulfuron berpengaruh terhadap tingkat mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).


(40)

Lampiran 7. Data Uji Lanjut BNT

√ √

K

A o

B o o

C o o o

D    

E     

K A B C D E

Keterangan:

 = Berbeda nyata o = Tidak berbeda nyata


(41)

Lampiran 8. Hasil Penelitian dan Persentase Nilai Hematokrit

Hematokrit perlakuan K (0 ppm)

Hematokrit Perlakuan C (15,6 ppm)


(42)

Hematokrit Perlakuan D (39 ppm)


(43)

I. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dan pembuatan preparat ulas darah serta perhitungan hematokrit sel darah merah dilakukan pada bulan Juli 2012 di Laboratorium Perikanan Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

3.2 Hewan Uji

Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) sehat dan berkualitas baik, dengan rerata berat tubuh 2,16 + 0,24 gram. Jumlah ikan uji yang digunakan pada masing-masing wadah adalah 10 ekor dengan tiga kali pengulangan.

3.3 Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian berupa: Akuarium kaca 18 buah, saringan ikan, mikropipet, timbangan, kertas label, baki, ember, masker, sarung tangan, alat tulis, alat ukur kualitas air (termometer, kertas pH, DO meter), lemari pendingin, gelas objek, spuit, mikroskop, tabung kapiler, lilin malam, sentrifus, tabung eppendorf, gelas ukur, dan vortex.


(44)

3.5 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Perlakuan pada uji penentuan selang konsentrasi dengan menggunakan 3 perlakuan dan 1 kontrol, yaitu sebagai berikut:

Perlakuan K : konsentrasi metil metsulfuron 0 ppm (kontrol) Perlakuan A : konsentrasi metil metsulfuron 1 ppm

Perlakuan B : konsentrasi metil metsulfuron 10 ppm Perlakuan C : konsentrasi metil metsulfuron 100 ppm

Pada uji definitif dengan menggunakan 5 perlakuan dan 1 kontrol, adalah sebagai berikut:

Perlakuan K : konsentrasi metil metsulfuron 0 ppm (kontrol) Perlakuan A : konsentrasi metil metsulfuron 2,5 ppm

Perlakuan B : konsentrasi metil metsulfuron 6,25 ppm Perlakuan C : konsentrasi metil metsulfuron 15,6 ppm Perlakuan D : konsentrasi metil metsulfuron 39 ppm Perlakuan E : konsentrasi metil metsulfuron 97,5 ppm


(45)

Wadah yang digunakan dalam pengujian berupa akuarium kaca berukuran 40x40x50 cm3 sebagai wadah untuk uji penentuan selang konsentrasi dan uji definitif. Akuarium kaca merupakan material yang tidak mengurangi konsentrasi melalui penyerapan atau penambahan bahan ke dalam media karena reaksi kimia sehingga tidak berpengaruh pada metil metsulfuron. Sebelum penelitian

dilakukan, wadah pegujian dibersihkan terlebih dahulu dengan air. Media yang digunakan juga harus memiliki kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan ikan patin.

3.6.2 Media Uji

Media uji yang digunakan adalah formulasi metil metsulfuron, yaitu Ally 20 WDG dengan konsentrasi tertentu di dalam air sebanyak 30 liter. Larutan stok 1000 ppm disiapkan terlebih dahulu dengan melarutkan 5 gram Ally 20 WDG dalam satu liter akuades. Larutan stok 1000 ppm kemudian diencerkan sesuai dengan konsentrasi perlakuan yang dibutuhkan.

3.7 Pelaksanaan Penelitian

3.7.1 Uji Penentuan Selang Konsentrasi

Pada uji penentuan selang konsentrasi terlebih dahulu dilakukan pembuatan stok 1000 ppm karena herbisida Ally 20 WDG yang digunakan mengandung bahan aktif metil metsulfuron 20 % maka dengan perhitungan:


(46)

Jadi 5 gram bahan herbisida dilarutkan di dalam 1 liter akuades/air Keterangan:

X% : persentase bahan aktif.

Uji penentuan selang konsentrasi ini bertujuan untuk memperkirakan dosis metil metsulfuron yang menyebabkan mortalitas 100% serta mengetahui ambang atas dan ambang bawah penggunaannya. Lama perlakuan 2 hari (48 jam) dengan menggunakan konsentrasi 0; 1; 10; 100 ppm. Jumlah ikan uji pada setiap wadah adalah 10 ekor dalam 30 liter media uji. Pada uji penentuan selang konsentrasi menggunakan uji statis yaitu tanpa pergantian media uji. Selama uji berlangsung dilakukan pengamatan dan pencatatan mortalitas. Pada setiap pengujian

dilakukan pencatatan data fisika dan kimia media uji, yaitu pada awal pengujian (0 jam), selama pengujian (24 jam) dan pada akhir pengujian (48 jam).

Berdasarkan pada hasil uji penentuan selang konsentrasi tersebut dapat ditentukan konsentrasi herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron untuk digunakan pada uji definitif dengan rumus di bawah ini, Rumus untuk menentukan deret


(47)

Keterangan :

N : konsentrasi ambang atas n : konsentrasi ambang bawah

a : konsentrasi terkecil dalam deret konsentrasi k : jumlah konsentrasi yang diujikan (a,b,c,d,e) Perhitungan konsentrasi :

(Finney, 1971)

3.7.2 Uji Definitif (Toksisitas Akut)

Tujuan dilakukannya uji definitif adalah untuk menentukan konsentrasi bahan uji yang menghasilkan efek merugikan terhadap suatu organisme uji dalam selang waktu pemaparan yang pendek dibawah kondisi terkontrol. Langkah awal yang dilakukan pada uji definitif adalah membagi ikan uji pada wadah sebanyak 10 ekor ikan pada setiap perlakuan. Ikan uji tersebut diberi perlakuan berupa pemaparan metil metsulfuron dengan 6 konsentrasi berbeda yaitu 0; 2,5; 6,25; 15,6; 39; 97,5 ppm (Lampiran 1). Pada perlakuan metode ulas darah dan

perhitungan hematokrit dilakukan pada ikan dengan konsentrasi 0 ppm (K); 15,6 ppm (C); dan 39 ppm (D).

Selama uji definitif berlangsung dilakukan pengamatan dan pencatatan kematian ikan uji. Jumlah ikan uji pada setiap wadah adalah 10 ekor dan 30 liter media uji. Sistem pemaparan yang digunakan yaitu sistem uji statis (tanpa pergantian media). Pada setiap pengujian dilakukan pencatatan data fisika dan kimia media


(48)

Hubungan nilai logaritma konsentrasi uji dengan persentasi mortalitas (dalam probit), merupakan fungsi linier : Y = a + bX. Nilai LC50-96 jam diperoleh unlog m. Nilai m merupakan nilai X pada saat kematian sebesar 50% sehingga fungsi liniernya adalah 5 = a + bX. Untuk menentukan nilai a maupun b digunakan persamaan sebagai berikut:

LC50-96 jam = unlog m Keterangan:

Y = nilai probit mortalitas hewan uji X = logaritma konsentrasi uji

a = konstanta b = slope

m = nilai X pada Y = 5 (nilai probit 50% mortalitas hewan uji) (Finney, 1971)


(49)

3.8.1 Persiapan ulas darah

Pada persiapan ulas darah dilakukan dengan pengambilan darah menggunakan jarum suntik steril pada bagian vena caudalis dekat ekor di antara sisikikan uji. Jarum suntik tersebut sebelumnya telah dibasahi dengan larutan EDTA yang berfungsi sebagai antikoagulan.

3.8.2 Pembuatan Preparat Ulas Darah

Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan menempatkan satu tetes darah pada satu gelas objek, dan gelas objek kedua diletakkan dengan sudut 45° terhadap gelas objek pertama. Kemudian gelas objek kedua digeser hingga menyentuh darah dan darah menyebar merata di antara dua gelas objek tersebut. Selanjutnya gelas objek kedua digeser ke arah berlawanan, sehingga terbentuk lapisan darah yang tipis pada gelas objek pertama. Preparat tersebut kemudian dibiarkan kering udara selama 15 menit dan selanjutnya direndam dalam metanol selama 5 menit.

3.8.3 Pewarnaan dan Pengamatan Preparat Ulas Darah

Preparat dikeringkan untuk kemudian dilakukan pewarnaan dengan cara direndam dalam Giemsa 5% selama 15 menit. Proses pewarnaan dapat memudahkan dalam pengamatan komponen jaringan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati sel darah merah yang rusak pada preparat ulas darah menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dibawah


(50)

3.9 Metode Mikro Hematokrit

Hematokrit adalah persentase volume sel darah merah (eritrosit) dalam darah. Metode pengukuran hematokrit dilakukan dengan cara mengisi tabung kapiler dengan darah yang telah diberi EDTA dan dimampatkan dengan lilin malam pada salah satu ujung tabung. Tabung kapiler tersebut kemudian disentrifus dengan kapasitas putar 3000 rpm selama 10 menit. Pada metode mikro hematokrit

tingginya kolom eritrosit dinyatakan dalam persen dari volume darah pada tabung kapiler tersebut.

3.10 Metode Analisis Data

Data mortalitas yang diperoleh dari uji definitif terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas untuk mengetahui sebaran data. Selanjutnya data dianalisis dengan uji ANOVA (Analysis of Variance) dan jika hasil menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda, maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel and Torrie, 2001). Analisis secara deskriptif dilakukan pada preparat ulas darah dan hematokrit ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus), dengan membandingkan preparat ulas darah dan hematokrit ikan patin siam kontrol dengan yang diberi perlakuan konsentrasi metil metsulfuron.


(51)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

1. ”Berusahalah jangan sampai terlengah walau sedetik saja, karena atas

kelengahan kita tak akan bisa dikembalikan seperti semula”

2. “Jangan berfikir dirimu miskin hanya karena mimpimu tidak terpenuhi, miskin adalah seorang yang dia tidak memiliki impian”

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk:

1. Kedua orangtuaku yang senantiasa memberiku dorongan semangat serta doanya.

2. Keluargaku ombay, alm. datuk, alm. kakek, dan alm. nenek yang sudah memberiku inspirasi agar pantang menyerah dalam menghadapi masalah dan selalu bangkit bila gagal.

3. Kakak-kakakku Atika Hamaisa, Achmad Kardiansyah, dan Muhajir Nugraha yang selalu memberikan masukan dan motivasi.


(52)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Penggunaan pestisida pada usaha pertanian khususnya di area persawahan hingga saat ini semakin meningkat, dan dapat memberi efek negatif pada hewan atau organisme yang terdapat pada area tersebut (Untung, 2006). Pestisida dibagi menjadi beberapa golongan diantaranya

herbisida, yang merupakan salah satu faktor penyumbang dalam meningkatkan hasil pertanian.

Penggunaan herbisida sejenis secara terus-menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan resistensi gulma, kerusakan struktur tanah, dan pencemaran

lingkungan hidup pada area sawah. Senyawa herbisida yang berada di dalam tanah sawah irigasi akibat penyemprotan terus menerus akan tetap tertinggal di dalam tanah melalui proses absorbsi, sehingga berpotensi meracuni semua organisme yang berada pada area tersebut. Permasalahan ini muncul ketika peningkatan kualitas hasil pertanian menjadi sorotan utama bagi masyarakat (Metusala, 2006).


(53)

(Pangasius hypopthalmus) merupakan komoditas yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin

mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk

membudidayakannya, akan tetapi karena kondisi lahan yang kurang memadai maka lahan sawah irigasi dialih fungsikan menjadi kolam. Pemeliharaan ikan patin siam pada kolam alih fungsi yang telah tercemar residu herbisida metil metsulfuron dapat menyebabkan terjadinya efek akut. Efek akut dari terserapnya residu herbisida metil metsulfuron ke dalam tubuh ikan dapat menyebabkan kematian yang ditandai dengan hilangnya pergerakan (khususnya gerak insang pada ikan) dan rusaknya sel darah merah.

1.2 Kerangka Penelitian

Herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron merupakan herbisida sistemik dan bersifat selektif untuk tanaman padi. Metil metsulfuron memiliki beberapa keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan konsentrasi yang rendah, spektrum pengendaliannya luas, dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik. Namun karena banyak petani yang mengaplikasikan metil metsulfuron dengan konsentrasi yang tinggi untuk peningkatan kualitas hasil pertanian, maka tidak baik digunakan untuk program pengendalian hama terpadu pada lahan persawahan.

Pemaparan herbisida dilakukan dengan penyemprotan pada gulma tanaman padi, sehingga herbisida tersebut terabsorbsi dalam tanah dan menyebabkan


(54)

perairan yang terkontrol maupun yang sudah tercemar oleh bahan toksik. Salah satu dampak dari bahan toksik yaitu menyebabkan gangguan organ penting pada tubuh ikan (sublethal) bahkan kematian pada ikan (lethal). Gangguan pada organ penting dalam tubuh ikan patin siam dapat berpengaruh terhadap sistem sirkulasi, pernapasan, reproduksi, pencernaan, dan saraf. Sistem sirkulasi pada darah ikan merupakan salah satu faktor terpenting yang dapat mempengaruhi metabolisme tubuh. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Sistem Sirkulasi Sistem Pernafasan

LC50-96 jam Mortalitas

Herbisida dengan bahan aktif Metil Metsulfuron

Toksisitas Metil Metsulfuron terhadap ikan

Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)

Lethal Sublethal

Sel darah merah (eritrosit)


(55)

Tujuan dari penelitian adalah:

1. Mengetahui pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap tingkat mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

2. Mengetahui pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap kerusakan sel darah merah dan persentase nilai hematokrit ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat maupun peneliti mengenai batas maksimal konsentrasi metil metsulfuron pada perairan yang aman untuk sistem sirkulasi ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha budidaya khususnya pada kolam alih fungsi dari area sawah irigasi.

1.5 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian adalah:

H0 = 0 : tidak terdapat pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap tingkat mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

H1 ≠ 0 : terdapat pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap tingkat


(56)

(57)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Penggunaan pestisida pada usaha pertanian khususnya di area persawahan hingga saat ini semakin meningkat, dan dapat memberi efek negatif pada hewan atau organisme yang terdapat pada area tersebut (Untung, 2006). Pestisida dibagi menjadi beberapa golongan diantaranya

herbisida, yang merupakan salah satu faktor penyumbang dalam meningkatkan hasil pertanian.

Penggunaan herbisida sejenis secara terus-menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan resistensi gulma, kerusakan struktur tanah, dan pencemaran

lingkungan hidup pada area sawah. Senyawa herbisida yang berada di dalam tanah sawah irigasi akibat penyemprotan terus menerus akan tetap tertinggal di dalam tanah melalui proses absorbsi, sehingga berpotensi meracuni semua organisme yang berada pada area tersebut. Permasalahan ini muncul ketika peningkatan kualitas hasil pertanian menjadi sorotan utama bagi masyarakat (Metusala, 2006).


(58)

Penggunaan Herbisida berbahan aktif metil metsulfuron diduga dapat meracuni ikan yang terdapat di kolam alih fungsi dari lahan sawah irigasi. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan komoditas yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin

mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk

membudidayakannya, akan tetapi karena kondisi lahan yang kurang memadai maka lahan sawah irigasi dialih fungsikan menjadi kolam. Pemeliharaan ikan patin siam pada kolam alih fungsi yang telah tercemar residu herbisida metil metsulfuron dapat menyebabkan terjadinya efek akut. Efek akut dari terserapnya residu herbisida metil metsulfuron ke dalam tubuh ikan dapat menyebabkan kematian yang ditandai dengan hilangnya pergerakan (khususnya gerak insang pada ikan) dan rusaknya sel darah merah.

1.2 Kerangka Penelitian

Herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron merupakan herbisida sistemik dan bersifat selektif untuk tanaman padi. Metil metsulfuron memiliki beberapa keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan konsentrasi yang rendah, spektrum pengendaliannya luas, dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik. Namun karena banyak petani yang mengaplikasikan metil metsulfuron dengan konsentrasi yang tinggi untuk peningkatan kualitas hasil pertanian, maka tidak baik digunakan untuk program pengendalian hama terpadu pada lahan persawahan.

Pemaparan herbisida dilakukan dengan penyemprotan pada gulma tanaman padi, sehingga herbisida tersebut terabsorbsi dalam tanah dan menyebabkan


(59)

menjadi kolam budidaya ikan patin siam. Ikan patin siam (Pangasius

hypopthalmus) merupakan ikan yang dapat dibudidayakan baik dalam kondisi perairan yang terkontrol maupun yang sudah tercemar oleh bahan toksik. Salah satu dampak dari bahan toksik yaitu menyebabkan gangguan organ penting pada tubuh ikan (sublethal) bahkan kematian pada ikan (lethal). Gangguan pada organ penting dalam tubuh ikan patin siam dapat berpengaruh terhadap sistem sirkulasi, pernapasan, reproduksi, pencernaan, dan saraf. Sistem sirkulasi pada darah ikan merupakan salah satu faktor terpenting yang dapat mempengaruhi metabolisme tubuh. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Mortalitas

Herbisida dengan bahan aktif Metil Metsulfuron

Toksisitas Metil Metsulfuron terhadap ikan

Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)

Lethal Sublethal

Sel darah merah (eritrosit) LC50-96 jam

Sistem Sirkulasi Sistem Pernafasan


(60)

1.3 Tujuan Penelitian.

Tujuan dari penelitian adalah:

1. Mengetahui pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap tingkat mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

2. Mengetahui pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap kerusakan sel darah merah dan persentase nilai hematokrit ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat maupun peneliti mengenai batas maksimal konsentrasi metil metsulfuron pada perairan yang aman untuk sistem sirkulasi ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha budidaya khususnya pada kolam alih fungsi dari area sawah irigasi.

1.5 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian adalah:

H0 = 0 : tidak terdapat pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap tingkat mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

H1 ≠ 0 : terdapat pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap tingkat


(61)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)

Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies Pangasius hypophthalmus yang hidup di perairan tropis Indo Pasifik. Bentuk tubuh agak memanjang, kepala berbentuk simetris, badan licin tidak bersisik, mulut agak lebar, mempunyai 2 pasang sungut, dan mata terletak agak ke bawah. Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Siluroidei Famili : Schilbeidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypopthalmus (Khairuman, 2002)


(62)

Gambar 2. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Sumber: Saanin (1984)

Patin siam (Pangasius hypothalamus) merupakan ikan introduksi yang masuk ke Indonesia pada tahun 1972 dari Thailand dan sekarang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena ukurannya yang relatif besar jika dibandingkan dengan patin lokal. Menurut Susanto dan Amri (2002), ikan patin bersifat nokturnalatau melakukan aktivitas dimalam hari sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Ikan patin termasuk ikan dasar, hal ini dapat dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah. Ikan ini mampu bertahan hidup pada perairan yang kondisinya buruk dan akan tumbuh normal diperairan yang memenuhi persyaratan ideal sebagaimana habitat aslinya.

Ikan patin siam relatif mudah untuk dibudidayakan dan memiliki laju

pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan patin lokal (Khairuman, 2002). Menurut Djariah (2001), ikan patin memerlukan sumber energi yang berasal dari makanan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Ikan patin merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung ke arah karnivora.


(63)

2.2 Sel Darah Merah pada Ikan

Menurut Chinabut (1991), sel darah merah (eritrosit) berwarna merah kekuningan, berbentuk lonjong, kecil dan berukuran 7-36 mikron. Eritrosit yang matang

berbentuk oval sampai bundar dengan inti yang kecil dan sitoplasma dalam jumlah yang besar. Eritrosit dan retikulosit dibuat di organ ginjal terutama ginjal anterior (pronephros) dan limpa. Inti sel akan berwarna ungu dan dikelilingi oleh plasma berwarna biru tua dengan pewarnaan Giemsa. Fungsi utama darah yaitu transportasi bahan materi yang dibutuhkan bagian tubuh, atau yang tidak

diperlukan dibawa ke organ pembuangan. Darah juga mencegah masuknya bahan penyakit, memperbaiki bahan jaringan yang rusak, mengedarkan nutrisi essensial keseluruh tubuh, dan membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh.

Gambar 3. Sel Darah Merah (Anonim, 2008) Keterangan : Inti Sel (A) dan Sitoplasma (B)


(64)

2.3 Pestisida

Penggunaan pestisida sangat ditentukan oleh aplikasi yang tepat untuk menjamin pestisida tersebut mencapai jasad sasaran yang dimaksud, selain juga oleh faktor jenis dosis, dan saat aplikasi yang tepat. Dengan kata lain tidak ada pestisida yang dapat berfungsi dengan baik kecuali jika diaplikasikan dengan tepat. Aplikasi pestisida yang tepat dapat didefinisikan sebagai aplikasi pestisida yang

semaksimal mungkin terhadap sasaran yang ditentukan pada saat yang tepat, dengan liputan hasil semprotan yang merata dari jumlah pestisida yang telah ditentukan sesuai dengan anjuran dosis (Wudianto, 1994).

Proses masuknya pestisida dalam lingkungan melalui permukaan tanah maupun bawah permukaan tanah dengan waktu paruh 40 hingga 120 hari. Senyawa pestisida masuk ke dalam tanah melalui pola biotransformasi dan bioakumulasi oleh tanaman, proses reabsorbsi oleh akar serta masuk langsung pestisida melalui infiltrasi aliran tanah. Gejala ini akan mempengaruhi kandungan bahan pada sistem air tanah hingga proses pencucian zat pada tahap penguraian baik secara biologis maupun kimiawi di dalam tanah. Proses pencucian bahan-bahan kimia tersebut akan mempengaruhi kualitas air tanah baik setempat maupun secara region dengan berkelanjutan. Penurunan kualitas air tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air merupakan implikasi langsung dari masuknya pestisida ke dalam lingkungan aliran permukaan seperti sungai, danau dan waduk yang tercemar pestisida akan mengalami proses dekomposisi bahan pencemar. Pada tingkat tertentu, bahan pencemar tersebut mampu terakumulasi hingga dekomposit (Frank, 1995).


(65)

2.3.1 Herbisida Metil Metsulfuron

Penggunaan herbisida yang tepat dalam persiapan lahan dapat memberikan manfaat

bagi para petani, antara lain dapat mengendalikan gulma yang tumbuh seawal

mungkin. Beberapa herbisida mampu mengendalikan gulma sejak pertumbuhan awal.

Namun dilain pihak penggunaan herbisida juga dapat menimbulkan perubahan dalam

komposisi jenis gulma dan timbulnya jenis-jenis baru yang tadinya tidak ada menjadi

ada serta timbul gulma-gulma yang toleran terhadap beberapa jenis herbisida

(Sastroutomo, 1990).

Herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron merupakan herbisida sistemik dan bersifat selektif untuk tanaman padi. Herbisida ini dapat digunakan untuk

mengendalikan gulma pra tumbuh dan awal purna tumbuh. Berikut struktur kimia metil metsulfuron dengan rumus molekul C14H15N5O6S (Anonim, 2001).

Gambar 4. Struktur Kimia Metil Metsulfuron (Anonim, 2001) 2.4 Pengaruh Pestisida terhadap Ikan

Clarke (1975) menyatakan pestisida yang masuk dalam tubuh organisme akan mengalami proses-proses yang sama dengan benda-benda asing. Proses-proses tersebut yaitu absorpsi, distribusi, dan akumulasi. Pestisida masuk dalam tubuh ikan dapat melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan dan kulit. Pada saluran pencernaan, pestisida yang ada dalam usus akan mengalami proses absorpsi dan distribusi, dengan adanya proses ini mengakibatkan kerusakan pada jaringan ikan.


(66)

Proses distribusi terjadi dimana pestisida yang ada di usus dibawa oleh peredaran darah vena portal hepatis menuju ke hepar. Di hepar akan terjadi detoksifikasi dan akumulasi racun. Pada saluran pernafasan pestisida dapat menyebabkan

kerusakan pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Alasbaster dan Lloyd (1980) menyatakan kerusakan insang dapat berupa

penebalan lamella, degradasi sel atau bahkan kerusakan dan kematian jaringan insang. Hal tersebut menyebabkan fungsi insang menjadi tidak wajar dan mengganggu proses respirasi, akibatnya mengganggu pernafasan dan akhirnya menyebabkan kematian.

Santoso (1998) mengatakan bahwa, bahan toksik bila terakumulasi dalam tubuh ikan akan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Kandungan bahan toksik yang tinggi berpengaruh letal bagi ikan, namun pada kadar yang masih berada dalam kisaran toleransi akan berpengaruh subletal, berupa gangguan terhadap fisiologis darah ikan sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup dan perkembangannya. Keadaan fisiologis darah ikan sangat bervariasi, bergantung pada stadia hidup, kebiasaan hidup dan kondisi lingkungan (Lagler, 1997).


(67)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dan pembuatan preparat ulas darah serta perhitungan hematokrit sel darah merah dilakukan pada bulan Juli 2012 di Laboratorium Perikanan Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

3.2 Hewan Uji

Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) sehat dan berkualitas baik, dengan rerata berat tubuh 2,16 + 0,24 gram. Jumlah ikan uji yang digunakan pada masing-masing wadah adalah 10 ekor dengan tiga kali pengulangan.

3.3 Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian berupa: Akuarium kaca 18 buah, saringan ikan, mikropipet, timbangan, kertas label, baki, ember, masker, sarung tangan, alat tulis, alat ukur kualitas air (termometer, kertas pH, DO meter), lemari pendingin, gelas objek, spuit, mikroskop, tabung kapiler, lilin malam, sentrifus, tabung eppendorf, gelas ukur, dan vortex.


(68)

3.4 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: pakan benih ikan patin, herbisida ally 20 WDG, aquades, larutan EDTA, metanol, dan larutan giemsa 5%. 3.5 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Perlakuan pada uji penentuan selang konsentrasi dengan menggunakan 3 perlakuan dan 1 kontrol, yaitu sebagai berikut:

Perlakuan K : konsentrasi metil metsulfuron 0 ppm (kontrol) Perlakuan A : konsentrasi metil metsulfuron 1 ppm

Perlakuan B : konsentrasi metil metsulfuron 10 ppm Perlakuan C : konsentrasi metil metsulfuron 100 ppm

Pada uji definitif dengan menggunakan 5 perlakuan dan 1 kontrol, adalah sebagai berikut:

Perlakuan K : konsentrasi metil metsulfuron 0 ppm (kontrol) Perlakuan A : konsentrasi metil metsulfuron 2,5 ppm

Perlakuan B : konsentrasi metil metsulfuron 6,25 ppm Perlakuan C : konsentrasi metil metsulfuron 15,6 ppm Perlakuan D : konsentrasi metil metsulfuron 39 ppm Perlakuan E : konsentrasi metil metsulfuron 97,5 ppm


(69)

3.6 Persiapan Penelitian

3.6.1 Wadah Uji

Wadah yang digunakan dalam pengujian berupa akuarium kaca berukuran 40x40x50 cm3 sebagai wadah untuk uji penentuan selang konsentrasi dan uji definitif. Akuarium kaca merupakan material yang tidak mengurangi konsentrasi melalui penyerapan atau penambahan bahan ke dalam media karena reaksi kimia sehingga tidak berpengaruh pada metil metsulfuron. Sebelum penelitian

dilakukan, wadah pegujian dibersihkan terlebih dahulu dengan air. Media yang digunakan juga harus memiliki kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan ikan patin.

3.6.2 Media Uji

Media uji yang digunakan adalah formulasi metil metsulfuron, yaitu Ally 20 WDG dengan konsentrasi tertentu di dalam air sebanyak 30 liter. Larutan stok 1000 ppm disiapkan terlebih dahulu dengan melarutkan 5 gram Ally 20 WDG dalam satu liter akuades. Larutan stok 1000 ppm kemudian diencerkan sesuai dengan konsentrasi perlakuan yang dibutuhkan.

3.7 Pelaksanaan Penelitian

3.7.1 Uji Penentuan Selang Konsentrasi

Pada uji penentuan selang konsentrasi terlebih dahulu dilakukan pembuatan stok 1000 ppm karena herbisida Ally 20 WDG yang digunakan mengandung bahan aktif metil metsulfuron 20 % maka dengan perhitungan:


(70)

Jadi 5 gram bahan herbisida dilarutkan di dalam 1 liter akuades/air Keterangan:

X% : persentase bahan aktif.

Uji penentuan selang konsentrasi ini bertujuan untuk memperkirakan dosis metil metsulfuron yang menyebabkan mortalitas 100% serta mengetahui ambang atas dan ambang bawah penggunaannya. Lama perlakuan 2 hari (48 jam) dengan menggunakan konsentrasi 0; 1; 10; 100 ppm. Jumlah ikan uji pada setiap wadah adalah 10 ekor dalam 30 liter media uji. Pada uji penentuan selang konsentrasi menggunakan uji statis yaitu tanpa pergantian media uji. Selama uji berlangsung dilakukan pengamatan dan pencatatan mortalitas. Pada setiap pengujian

dilakukan pencatatan data fisika dan kimia media uji, yaitu pada awal pengujian (0 jam), selama pengujian (24 jam) dan pada akhir pengujian (48 jam).

Berdasarkan pada hasil uji penentuan selang konsentrasi tersebut dapat ditentukan konsentrasi herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron untuk digunakan pada uji definitif dengan rumus di bawah ini, Rumus untuk menentukan deret


(71)

Keterangan :

N : konsentrasi ambang atas n : konsentrasi ambang bawah

a : konsentrasi terkecil dalam deret konsentrasi k : jumlah konsentrasi yang diujikan (a,b,c,d,e) Perhitungan konsentrasi :

(Finney, 1971)

3.7.2 Uji Definitif (Toksisitas Akut)

Tujuan dilakukannya uji definitif adalah untuk menentukan konsentrasi bahan uji yang menghasilkan efek merugikan terhadap suatu organisme uji dalam selang waktu pemaparan yang pendek dibawah kondisi terkontrol. Langkah awal yang dilakukan pada uji definitif adalah membagi ikan uji pada wadah sebanyak 10 ekor ikan pada setiap perlakuan. Ikan uji tersebut diberi perlakuan berupa pemaparan metil metsulfuron dengan 6 konsentrasi berbeda yaitu 0; 2,5; 6,25; 15,6; 39; 97,5 ppm (Lampiran 1). Pada perlakuan metode ulas darah dan

perhitungan hematokrit dilakukan pada ikan dengan konsentrasi 0 ppm (K); 15,6 ppm (C); dan 39 ppm (D).

Selama uji definitif berlangsung dilakukan pengamatan dan pencatatan kematian ikan uji. Jumlah ikan uji pada setiap wadah adalah 10 ekor dan 30 liter media uji. Sistem pemaparan yang digunakan yaitu sistem uji statis (tanpa pergantian media). Pada setiap pengujian dilakukan pencatatan data fisika dan kimia media


(72)

uji, yaitu pada selang waktu 0, 48, 72, dan 96 jam. Pencatatan data mortalitas dilakukan pada selang waktu 2, 4, 8, 16, 24, 48, 72 dan 96 jam.

Hubungan nilai logaritma konsentrasi uji dengan persentasi mortalitas (dalam probit), merupakan fungsi linier : Y = a + bX. Nilai LC50-96 jam diperoleh unlog m. Nilai m merupakan nilai X pada saat kematian sebesar 50% sehingga fungsi liniernya adalah 5 = a + bX. Untuk menentukan nilai a maupun b digunakan persamaan sebagai berikut:

LC50-96 jam = unlog m Keterangan:

Y = nilai probit mortalitas hewan uji X = logaritma konsentrasi uji

a = konstanta b = slope

m = nilai X pada Y = 5 (nilai probit 50% mortalitas hewan uji) (Finney, 1971)


(73)

3.8 Pembuatan Preparat Ulas Darah

3.8.1 Persiapan ulas darah

Pada persiapan ulas darah dilakukan dengan pengambilan darah menggunakan jarum suntik steril pada bagian vena caudalis dekat ekor di antara sisikikan uji. Jarum suntik tersebut sebelumnya telah dibasahi dengan larutan EDTA yang berfungsi sebagai antikoagulan.

3.8.2 Pembuatan Preparat Ulas Darah

Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan menempatkan satu tetes darah pada satu gelas objek, dan gelas objek kedua diletakkan dengan sudut 45° terhadap gelas objek pertama. Kemudian gelas objek kedua digeser hingga menyentuh darah dan darah menyebar merata di antara dua gelas objek tersebut. Selanjutnya gelas objek kedua digeser ke arah berlawanan, sehingga terbentuk lapisan darah yang tipis pada gelas objek pertama. Preparat tersebut kemudian dibiarkan kering udara selama 15 menit dan selanjutnya direndam dalam metanol selama 5 menit.

3.8.3 Pewarnaan dan Pengamatan Preparat Ulas Darah

Preparat dikeringkan untuk kemudian dilakukan pewarnaan dengan cara direndam dalam Giemsa 5% selama 15 menit. Proses pewarnaan dapat memudahkan dalam pengamatan komponen jaringan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati sel darah merah yang rusak pada preparat ulas darah menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dibawah


(74)

mikroskop dilihat perubahannya dan membandingkan antara kelompok kontrol dengan perlakuan serta dicatat dan difoto (Yudha, 1999).

3.9 Metode Mikro Hematokrit

Hematokrit adalah persentase volume sel darah merah (eritrosit) dalam darah. Metode pengukuran hematokrit dilakukan dengan cara mengisi tabung kapiler dengan darah yang telah diberi EDTA dan dimampatkan dengan lilin malam pada salah satu ujung tabung. Tabung kapiler tersebut kemudian disentrifus dengan kapasitas putar 3000 rpm selama 10 menit. Pada metode mikro hematokrit

tingginya kolom eritrosit dinyatakan dalam persen dari volume darah pada tabung kapiler tersebut.

3.10 Metode Analisis Data

Data mortalitas yang diperoleh dari uji definitif terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas untuk mengetahui sebaran data. Selanjutnya data dianalisis dengan uji ANOVA (Analysis of Variance) dan jika hasil menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda, maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel and Torrie, 2001). Analisis secara deskriptif dilakukan pada preparat ulas darah dan hematokrit ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus), dengan membandingkan preparat ulas darah dan hematokrit ikan patin siam kontrol dengan yang diberi perlakuan konsentrasi metil metsulfuron.


(75)

Judul Skripsi : Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus).

Nama Mahasiswa : Qorie Astria

Nomor Pokok Mahasiswa : 0814111055

Jurusan/Program Studi : Perikanan/Budidaya Perairan

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Henni Wijayanti M, S.Pi, M.Si. Berta Putri, S.Si, M.Si. NIP. 198101012008012042 NIP. 198109142008122002

Ketua Jurusan Budidaya Perairan

Ir. Siti Hudaidah, M.sc. NIP. 196402151996032001


(76)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Henni Wijayanti M, S.Pi, M.Si. ………

Sekretaris : Berta Putri, S.Si, M.Si. ….….….…

Penguji

Bukan Pembimbing : Eko Efendi, S.T. ….….….…

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M. S. NIP. 196108261987021001


(77)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 20 Agustus 1990, anak keempat dari empat bersaudara dari

pasangan Bapak Kosasih Achyar dan Ibu Asmiati. Jenjang pendidikan formal yang ditempuh penulis adalah Taman Kanak-kanak Bina Harapan Palembang diselesaikan pada tahun 1996, Sekolah Dasar Negeri 1 Panjang Selatan Bandar Lampung tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama di SMP Al-Kautsar tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMA YP UNILA pada tahun 2008. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SPMB pada tahun 2008.

Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi HIDRILA (Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Unila) pada tahun 2008-2010. Penulis melaksanakan kegiatan

KKN (Kuliah Kerja Nyata) Tematik Unila dengan tema “Pengembangan Usaha Perikanan Secara Terpadu” di desa Lugu Sari, Kabupaten Pringsewu pada tahun

2011. Penulis juga melaksanakan kegiatan Praktik Umum (PU) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat pada

tahun 2012 dengan judul “Teknik Pembenihan Ikan Nila (Oreochromissp.)”. Penulis menyelesaikan studi di Program Studi Budidaya Perairan Fakultas


(78)

“Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)”.


(79)

SANWACANA

Dengan segala kerendahan hati, penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Sarjana Perikanan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Skripsi ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat sebaik-baiknya oleh berbagai pihak untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan kita mengenai : “Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)”.

Penulis sadar akan kekurangan-kekurangannya sebagai manusia biasa, untuk itu penulis mohon maaf apabila didalam penulisan skripsi ini terdapat kesalahan-kesalahan, karena penulis juga masih dalam proses belajar dalam penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini penulis mendapatkan do’a, dorongan, bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung. 2. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas

Lampung beserta staf.

3. Ir. Siti Hudaidah, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Budidaya Perairan Universitas Lampung.


(80)

4. Wardiyanto, S.Pi, M.P. selaku dosen yang telah memberi izin untuk

pemakaian Laboratorium Budidaya Perikanan dan alat-alat laboratorium serta bahan-bahan kimia sehingga memudahkan dalam penelitian.

5. Henni Wijayanti M, S.Pi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan banyak motivasi, masukan, bimbingan, dan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Berta Putri, S.Si, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan banyak motivasi, masukan, bimbingan, dan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Eko Effendi, S.T. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh dosen dan staf jurusan Budidaya Perairan Unila.

9. Papa dan Mama tercinta terima kasih atas dukungan, perhatian, pengorbanan, kasih sayang, dan do’a-nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Kakak-kakakku Atika Hamaisa, Achmad Kardiansyah, dan Muhajir Nugraha serta kakak-kakak iparku Farid Alkatiri dan Intan yang telah memberikan masukan dan motivasi yang membangun dalam penulisan skripsi ini. 11. Lisa Novalia, Ria Hindra Sari, Rinda Aryani Putri, M. Yusuf Arief, Lagen

Bagus Rolando, dan Rudy Hartono teman-teman terbaikku yang selalu memberikan dorongan agar selalu semangat dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan skripsi.

12. Teman-teman seperjuangan angkatan 2008 yaitu Septi, Selpi, Rum, Nad, Ketrin, Yayu, Eva, Dahlia, Resto, Aldi, Alwan, Manja, Ani, Sri, Rini, Tri,


(81)

Nasyir, Avat, Deni, Agus, Fredi, Hendra, Ajeng, Rosdinar, Nani, Novita, Nindri, Ica, Basis, Ari, dan Suhendra terimakasih buat motivasinya. 13. Kakak-kakak angkatan 2004, 2005, 2006, dan 2007 terima kasih buat

dukungan kalian semua

14. Adik-adik angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012 terima kasih buat dukungan kalian semua.

Semoga Allah SWT melimpahkan berkat dan rahmat-Nya atas semua yang diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bandar Lampung, Januari 2013


(82)

I.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)

Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies Pangasius hypophthalmus yang hidup di perairan tropis Indo Pasifik. Bentuk tubuh agak memanjang, kepala berbentuk simetris, badan licin tidak bersisik, mulut agak lebar, mempunyai 2 pasang sungut, dan mata terletak agak ke bawah. Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Siluroidei Famili : Schilbeidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypopthalmus (Khairuman, 2002)


(83)

Sumber: Saanin (1984)

Patin siam (Pangasius hypothalamus) merupakan ikan introduksi yang masuk ke Indonesia pada tahun 1972 dari Thailand dan sekarang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena ukurannya yang relatif besar jika dibandingkan dengan patin lokal. Menurut Susanto dan Amri (2002), ikan patin bersifat nokturnalatau melakukan aktivitas dimalam hari sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Ikan patin termasuk ikan dasar, hal ini dapat dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah. Ikan ini mampu bertahan hidup pada perairan yang kondisinya buruk dan akan tumbuh normal diperairan yang memenuhi persyaratan ideal sebagaimana habitat aslinya.

Ikan patin siam relatif mudah untuk dibudidayakan dan memiliki laju

pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan patin lokal (Khairuman, 2002). Menurut Djariah (2001), ikan patin memerlukan sumber energi yang berasal dari makanan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Ikan patin merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung ke arah karnivora.


(84)

Menurut Chinabut (1991), sel darah merah (eritrosit) berwarna merah kekuningan, berbentuk lonjong, kecil dan berukuran 7-36 mikron. Eritrosit yang matang

berbentuk oval sampai bundar dengan inti yang kecil dan sitoplasma dalam jumlah yang besar. Eritrosit dan retikulosit dibuat di organ ginjal terutama ginjal anterior (pronephros) dan limpa. Inti sel akan berwarna ungu dan dikelilingi oleh plasma berwarna biru tua dengan pewarnaan Giemsa. Fungsi utama darah yaitu transportasi bahan materi yang dibutuhkan bagian tubuh, atau yang tidak

diperlukan dibawa ke organ pembuangan. Darah juga mencegah masuknya bahan penyakit, memperbaiki bahan jaringan yang rusak, mengedarkan nutrisi essensial keseluruh tubuh, dan membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh.

Gambar 3. Sel Darah Merah (Anonim, 2008) Keterangan : Inti Sel (A) dan Sitoplasma (B)


(85)

Penggunaan pestisida sangat ditentukan oleh aplikasi yang tepat untuk menjamin pestisida tersebut mencapai jasad sasaran yang dimaksud, selain juga oleh faktor jenis dosis, dan saat aplikasi yang tepat. Dengan kata lain tidak ada pestisida yang dapat berfungsi dengan baik kecuali jika diaplikasikan dengan tepat. Aplikasi pestisida yang tepat dapat didefinisikan sebagai aplikasi pestisida yang

semaksimal mungkin terhadap sasaran yang ditentukan pada saat yang tepat, dengan liputan hasil semprotan yang merata dari jumlah pestisida yang telah ditentukan sesuai dengan anjuran dosis (Wudianto, 1994).

Proses masuknya pestisida dalam lingkungan melalui permukaan tanah maupun bawah permukaan tanah dengan waktu paruh 40 hingga 120 hari. Senyawa pestisida masuk ke dalam tanah melalui pola biotransformasi dan bioakumulasi oleh tanaman, proses reabsorbsi oleh akar serta masuk langsung pestisida melalui infiltrasi aliran tanah. Gejala ini akan mempengaruhi kandungan bahan pada sistem air tanah hingga proses pencucian zat pada tahap penguraian baik secara biologis maupun kimiawi di dalam tanah. Proses pencucian bahan-bahan kimia tersebut akan mempengaruhi kualitas air tanah baik setempat maupun secara region dengan berkelanjutan. Penurunan kualitas air tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air merupakan implikasi langsung dari masuknya pestisida ke dalam lingkungan aliran permukaan seperti sungai, danau dan waduk yang tercemar pestisida akan mengalami proses dekomposisi bahan pencemar. Pada tingkat tertentu, bahan pencemar tersebut mampu terakumulasi hingga dekomposit (Frank, 1995).


(86)

Penggunaan herbisida yang tepat dalam persiapan lahan dapat memberikan manfaat

bagi para petani, antara lain dapat mengendalikan gulma yang tumbuh seawal

mungkin. Beberapa herbisida mampu mengendalikan gulma sejak pertumbuhan awal.

Namun dilain pihak penggunaan herbisida juga dapat menimbulkan perubahan dalam

komposisi jenis gulma dan timbulnya jenis-jenis baru yang tadinya tidak ada menjadi

ada serta timbul gulma-gulma yang toleran terhadap beberapa jenis herbisida

(Sastroutomo, 1990).

Herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron merupakan herbisida sistemik dan bersifat selektif untuk tanaman padi. Herbisida ini dapat digunakan untuk

mengendalikan gulma pra tumbuh dan awal purna tumbuh. Berikut struktur kimia metil metsulfuron dengan rumus molekul C14H15N5O6S (Anonim, 2001).

Gambar 4. Struktur Kimia Metil Metsulfuron (Anonim, 2001) 2.4 Pengaruh Pestisida terhadap Ikan

Clarke (1975) menyatakan pestisida yang masuk dalam tubuh organisme akan mengalami proses-proses yang sama dengan benda-benda asing. Proses-proses tersebut yaitu absorpsi, distribusi, dan akumulasi. Pestisida masuk dalam tubuh ikan dapat melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan dan kulit. Pada saluran pencernaan, pestisida yang ada dalam usus akan mengalami proses absorpsi dan distribusi, dengan adanya proses ini mengakibatkan kerusakan pada jaringan ikan.


(87)

akumulasi racun. Pada saluran pernafasan pestisida dapat menyebabkan

kerusakan pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Alasbaster dan Lloyd (1980) menyatakan kerusakan insang dapat berupa

penebalan lamella, degradasi sel atau bahkan kerusakan dan kematian jaringan insang. Hal tersebut menyebabkan fungsi insang menjadi tidak wajar dan mengganggu proses respirasi, akibatnya mengganggu pernafasan dan akhirnya menyebabkan kematian.

Santoso (1998) mengatakan bahwa, bahan toksik bila terakumulasi dalam tubuh ikan akan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Kandungan bahan toksik yang tinggi berpengaruh letal bagi ikan, namun pada kadar yang masih berada dalam kisaran toleransi akan berpengaruh subletal, berupa gangguan terhadap fisiologis darah ikan sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup dan perkembangannya. Keadaan fisiologis darah ikan sangat bervariasi, bergantung pada stadia hidup, kebiasaan hidup dan kondisi lingkungan (Lagler, 1997).


(88)

(89)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

1. Metil metsulfuron memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). Semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron maka tingkat mortalitas ikan patin siam semakin meningkat.

2. Metil metsulfuron menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel darah merah berupa terbentuknya lipofuscin pada inti sel dan seroid yang hampir memenuhi

permukaan sitoplasma serta menurunnya persentase nilai hematokrit yang

menandakan ikan terkena anemia.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini, yaitu:

Dapat dilakukan uji lanjut mengenai pengaruh metil metsulfuron terhadap ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) pada organ ginjal dan limpa.


(1)

2.2 Sel Darah Merah pada Ikan

Menurut Chinabut (1991), sel darah merah (eritrosit) berwarna merah kekuningan, berbentuk lonjong, kecil dan berukuran 7-36 mikron. Eritrosit yang matang

berbentuk oval sampai bundar dengan inti yang kecil dan sitoplasma dalam jumlah yang besar. Eritrosit dan retikulosit dibuat di organ ginjal terutama ginjal anterior (pronephros) dan limpa. Inti sel akan berwarna ungu dan dikelilingi oleh plasma berwarna biru tua dengan pewarnaan Giemsa. Fungsi utama darah yaitu transportasi bahan materi yang dibutuhkan bagian tubuh, atau yang tidak

diperlukan dibawa ke organ pembuangan. Darah juga mencegah masuknya bahan penyakit, memperbaiki bahan jaringan yang rusak, mengedarkan nutrisi essensial keseluruh tubuh, dan membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh.

Gambar 3. Sel Darah Merah (Anonim, 2008) Keterangan : Inti Sel (A) dan Sitoplasma (B)


(2)

2.3 Pestisida

Penggunaan pestisida sangat ditentukan oleh aplikasi yang tepat untuk menjamin pestisida tersebut mencapai jasad sasaran yang dimaksud, selain juga oleh faktor jenis dosis, dan saat aplikasi yang tepat. Dengan kata lain tidak ada pestisida yang dapat berfungsi dengan baik kecuali jika diaplikasikan dengan tepat. Aplikasi pestisida yang tepat dapat didefinisikan sebagai aplikasi pestisida yang

semaksimal mungkin terhadap sasaran yang ditentukan pada saat yang tepat, dengan liputan hasil semprotan yang merata dari jumlah pestisida yang telah ditentukan sesuai dengan anjuran dosis (Wudianto, 1994).

Proses masuknya pestisida dalam lingkungan melalui permukaan tanah maupun bawah permukaan tanah dengan waktu paruh 40 hingga 120 hari. Senyawa pestisida masuk ke dalam tanah melalui pola biotransformasi dan bioakumulasi oleh tanaman, proses reabsorbsi oleh akar serta masuk langsung pestisida melalui infiltrasi aliran tanah. Gejala ini akan mempengaruhi kandungan bahan pada sistem air tanah hingga proses pencucian zat pada tahap penguraian baik secara biologis maupun kimiawi di dalam tanah. Proses pencucian bahan-bahan kimia tersebut akan mempengaruhi kualitas air tanah baik setempat maupun secara region dengan berkelanjutan. Penurunan kualitas air tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air merupakan implikasi langsung dari masuknya pestisida ke dalam lingkungan aliran permukaan seperti sungai, danau dan waduk yang tercemar pestisida akan mengalami proses dekomposisi bahan pencemar. Pada tingkat tertentu, bahan pencemar tersebut mampu terakumulasi hingga dekomposit (Frank, 1995).


(3)

2.3.1 Herbisida Metil Metsulfuron

Penggunaan herbisida yang tepat dalam persiapan lahan dapat memberikan manfaat bagi para petani, antara lain dapat mengendalikan gulma yang tumbuh seawal

mungkin. Beberapa herbisida mampu mengendalikan gulma sejak pertumbuhan awal. Namun dilain pihak penggunaan herbisida juga dapat menimbulkan perubahan dalam komposisi jenis gulma dan timbulnya jenis-jenis baru yang tadinya tidak ada menjadi ada serta timbul gulma-gulma yang toleran terhadap beberapa jenis herbisida

(Sastroutomo, 1990).

Herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron merupakan herbisida sistemik dan bersifat selektif untuk tanaman padi. Herbisida ini dapat digunakan untuk

mengendalikan gulma pra tumbuh dan awal purna tumbuh. Berikut struktur kimia metil metsulfuron dengan rumus molekul C14H15N5O6S (Anonim, 2001).

Gambar 4. Struktur Kimia Metil Metsulfuron (Anonim, 2001)

2.4 Pengaruh Pestisida terhadap Ikan

Clarke (1975) menyatakan pestisida yang masuk dalam tubuh organisme akan mengalami proses-proses yang sama dengan benda-benda asing. Proses-proses tersebut yaitu absorpsi, distribusi, dan akumulasi. Pestisida masuk dalam tubuh ikan dapat melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan dan kulit. Pada saluran pencernaan, pestisida yang ada dalam usus akan mengalami proses absorpsi dan distribusi, dengan adanya proses ini mengakibatkan kerusakan pada jaringan ikan.


(4)

Proses distribusi terjadi dimana pestisida yang ada di usus dibawa oleh peredaran darah vena portal hepatis menuju ke hepar. Di hepar akan terjadi detoksifikasi dan akumulasi racun. Pada saluran pernafasan pestisida dapat menyebabkan

kerusakan pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Alasbaster dan Lloyd (1980) menyatakan kerusakan insang dapat berupa

penebalan lamella, degradasi sel atau bahkan kerusakan dan kematian jaringan insang. Hal tersebut menyebabkan fungsi insang menjadi tidak wajar dan mengganggu proses respirasi, akibatnya mengganggu pernafasan dan akhirnya menyebabkan kematian.

Santoso (1998) mengatakan bahwa, bahan toksik bila terakumulasi dalam tubuh ikan akan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Kandungan bahan toksik yang tinggi berpengaruh letal bagi ikan, namun pada kadar yang masih berada dalam kisaran toleransi akan berpengaruh subletal, berupa gangguan terhadap fisiologis darah ikan sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup dan perkembangannya. Keadaan fisiologis darah ikan sangat bervariasi, bergantung pada stadia hidup, kebiasaan hidup dan kondisi lingkungan (Lagler, 1997).


(5)

(6)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

1. Metil metsulfuron memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). Semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron maka tingkat mortalitas ikan patin siam semakin meningkat.

2. Metil metsulfuron menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel darah merah berupa terbentuknya lipofuscin pada inti sel dan seroid yang hampir memenuhi permukaan sitoplasma serta menurunnya persentase nilai hematokrit yang menandakan ikan terkena anemia.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini, yaitu:

Dapat dilakukan uji lanjut mengenai pengaruh metil metsulfuron terhadap ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) pada organ ginjal dan limpa.