Efek Sekunder Tiga Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield)

EFEK SEKUNDER TIGA RODENTISIDA ANTIKOAGULAN
TERHADAP BURUNG HANTU CELEPUK
(Otus lempiji Horsfield)

ARDIANA MARTADITA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efek Sekunder Tiga
Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (O. lempiji Horsfield)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Febuari 2013
Ardiana Martadita
NIM A34090040

ABSTRAK
ARDIANA MARTADITA. Efek Sekunder Tiga Jenis Rodentisida
Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield).
Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.
Tikus merupakan salah satu hama penting di perkebunan kelapa sawit.
Hama ini sering dikendalikan dengan rodentisida. Alternatif pengendalian adalah
dengan musuh alami, khususnya burung hantu celepuk. Penelitian ini bertujuan
menguji efek sekunder tiga rodentisida antikoagulan terhadap burung hantu
celepuk (O. lempiji). Metode yang digunakan adalah uji tanpa pilihan (no-choice
test) yakni pemberian umpan kepada tikus dan burung hantu celepuk tanpa
memberikan alternatif umpan lain. Dengan demikian tikus dan burung hantu
celepuk tidak mempunyai pilihan umpan lain untuk dikonsumsi. Rodentisida yang
digunakan memiliki bahan aktif yang berbeda yakni flokumafen, bromadiolon,
dan brodifakum. Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsumsi burung hantu

celepuk terhadap tikus putih beracun selalu mengalami penurunan. Burung hantu
celepuk yang mati disebabkan oleh racun yang terakumulasi di dalam tubuhnya,
dan setiap burung hantu celepuk yang mati memiliki dosis letal yang berbeda.
Berdasarkan pengujian ada tiga burung hantu celepuk yang mati pada setiap
rodentisida. Burung yang mati mengonsumsi rodentisida flokumafen sebesar
28.838 mg/kg, bromadiolon 20.873 mg/kg. dan brodifakum 23.675 mg/kg.
Kata kunci: Tikus putih, burung hantu celepuk, flokumafen, bromadiolon, dan
brodifakum

ABSTRACT
ARDIANA MARTADITA. Secondary Effects of Three Types of Anticoagulant
Rodenticides to the scops owls (Otus lempiji Horsfield). Superviced by
SWASTIKO PRIYAMBODO.
Rat is one of the important pests in oil palm plantation. These pests are
controlled by rodenticides. An alternative control is natural enemies, especially
owls. This study aims to examine the secondary effects of three types of
anticoagulant rodenticides to scops owls (O. lempiji). The method used is a test
with no options (no-choice test) by providing feed as bait to rats and owls without
providing another alternative bait. Thus, rats and scops owls do not have another
choice bait for consumption. The rodenticides used have some different active

ingredients such as flocoumafen, bromadiolone, and brodifacoum. The test results
showed that the scops owls consumption to white poisonous rat is always
decreasing. The scops owl died due to the toxins that were accumulated in the
body, and every dead owls has different lethal doses. Based on the test, there are
three dead owls on each rodenticides. The dead birds consumed rodenticide
flocoumafen at 28,838 mg/kg, bromadiolone 20,873 mg/kg and brodifacoum
23,675 mg/kg.
Key words: Rat, scops owls, flocoumafen, bromadiolone, and brodifacoum.

EFEK SEKUNDER TIGA RODENTISIDA ANTIKOAGULAN
TERHADAP BURUNG HANTU CELEPUK
(Otus lempiji Horsfield)

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Pertanian
Pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul Penelitian : Efek Sekunder Tiga Rodentisida Antikoagulan terhadap
Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield)
Nama Mahasiswa: Ardiana Martadita
NIM
: A34090040

Disetujui oleh

Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih,M.Si
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
September hingga November 2012 dengan judul Efek Sekunder Tiga Rodentisida
Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Swastiko Priyambodo,
M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr
sebagai dosen penguji tamu dan Ibu Endang Sri Ratna Ph.D selaku dosen
pembimbing akademik. Tidak lupa pula terimakasih penulis ucapkan kepada
Bapak Irham dan Bapak Parno yang telah membantu penulis dalam membantu
penelitian identifikasi di LIPI dan Bapak Soban yang telah membantu penelitian
di Laboraorium Vertebrata Hama. Ungkapan terimakasih juga disampaikan
kepada Ibunda tercinta Yenita, Ayahanda Siswadi, Adinda Lia serta seluruh
keluarga besar penulis, dan teman-teman tersayang Royhani, Lisa, Meyta, dan
Desi atas bantuan moril maupun materil yang sudah diberikan kepada penulis.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Bogor, Febuari 2013

Ardiana Martadita

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Persiapan Hewan Uji
Identifikasi Burung Hantu Celepuk
Persiapan Rodentisida
Pengujian Rodentisida
Pengujian Lama Pemberian Tikus Beracun terhadap Burung Hantu
Celepuk
Pemberian Tikus sebagai Umpan Burung Hantu Celepuk Pasca
Perlakuan

Konversi Umpan
Peubah yang Diamati
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Burung Hantu Celepuk
Uji Pendahuluan
Tingkat Konsumsi Putih terhadap Tiga Rodentisida dengan Bahan
aktif yang berbeda
Tingkat Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tikus Putih yang
Mengonsumsi Rodentisida
Tingkat Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tiga Rodentisida
Antikoagulan dan Keadaan Setelah Perlakluan
Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tikus Putih Saat
Perlakuan dan Pasca Perlakuan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP


1
1
2
2
3
3
3
4
4
4
5
5
5
6
6
6
6
7
7

7
7
10
12
14
16
16
16
17
19
29

DAFTAR TABEL
1 Konsumsi total tikus putih terhadap tiga jenis rodentisida antikoagulan
2 Konsumsi rerata tikus putih terhadap tiga jenis rodentisida antikoagulan
3 Konsumsi total burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang
mengonsumsi rodentisida antikoagulan
4 Konsumsi rerata burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang
mengonsumsi rodentisida antikoagulan
5 Konsumsi burung hantu celepuk terhadap rodentisida antikoagulan

6 Konsumsi setiap individu burung hantu celepuk terhadap rodentisida
antikoagulan dan keadaan setelah perlakuan
7 Konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih saat perlakuan dan
pasca perlakuan

8
8
10
10
12
13
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

7

Burung hantu celepuk
Tikus putih
Rodentisida
Timbangan digital
Kurungan tikus
Kurungan burung hantu
Burung hantu celepuk yang mati

3
3
3
3
4
4
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida flokumafen dengan perlakuan dua hari
2 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida bromadiolon dengan perlakuan dua hari
3 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida brodifakum dengan perlakuan dua hari
4 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida flokumafen dengan perlakuan tiga hari
5 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida bromadiolon dengan perlakuan tiga hari
6 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida brodifakum dengan perlakuan tiga hari
7 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida flokumafen dengan perlakuan empat hari
8 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida bromadiolon dengan perlakuan empat hari
9 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu
celepuk pada rodentisida brodifakum dengan perlakuan empat hari

20
21
22
23
24
25
26
27
28

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Maret 1991
sebagai anak sulung dari pasangan Bapak Siswadi dan Ibu Yenita. Penulis
menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Rembang pada tahun 2009,
kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2013.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Bina Desa BEM KM IPB (20102012), Penulis juga pernah aktif sebagai staf Departemen Sosial dan Lingkungan
(2010-2011), Ketua Departemen Mitra Desa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Pertanian IPB (2011-2012), Pendamping POSDAYA (2011-2012). Penulis pernah
menjadi asisten praktikum pada matakuliah Vertebrata Hama dan Hama dan
Penyakit Benih Pasca Panen. Pada Bulan Juni-Juli 2012 penulis melaksanakan
magang di Laboratorium Vertebrata Hama, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Penulis juga pernah mengikuti Progam Kreativitas Mahasiswa (PKM P)
pada tahun 2011 dan 2012.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang penting di Indonesia
karena hasilnya yang sangat menguntungkan. Tanaman ini termasuk ke dalam
tanaman perkebunan yang strategis karena multifungsi sebagai bahan dasar
makanan seperti minyak goreng, tidak hanya untuk minyak makan dan oleokimia,
tapi juga sebagai energi. Menurut Kiswanto et al. (2008), permasalahan umum
yang dihadapi dalam perkebunan antara lain rendahnya produktivitas dan mutu
produksinya. Produktivitas kebun sawit rakyat rata-rata 16 ton tandan buah segar
(TBS) per ha, sementara potensi produksi bila menggunakan bibit unggul sawit
bisa mencapai 30 ton TBS/ha. Produktivitas CPO (Crude Palm Oil) perkebunan
rakyat hanya mencapai rata-rata 2.5 ton CPO per ha dan 0,33 ton minyak inti
sawit (PKO) per ha, sementara di perkebunan negara rata-rata menghasilkan 4.82
ton CPO per hektar dan 0.91 ton PKO per hektar, dan perkebunan swasta rata-rata
menghasilkan 3.48 ton CPO per hektar dan 0.57 ton PKO per hektar.
Produksi kelapa sawit menjadi bahan baku pembuatan CPO (crude palm oil)
yang sangat dibutuhkan oleh perdagangan internasional. Menurut Menurut BPS
(2012), total produksi CPO yang dihasilkan oleh kelapa sawit Indonesia sekitar 14
788 270 ton per tahun, namun rata-rata produksi CPO yang dihasilkan masih di
bawah rata-rata produksi Malaysia. Salah satu kendala yang mempengaruhi
rendahnya produksi kelapa sawit adalah Rattus tiomanicus Miller yang dapat
menyebabkan tanaman kelapa sawit rusak berat (Wood 1984).
Berdasarkan hasil analisis isi lambung tikus yang ditangkap di perkebunan
kelapa sawit diketahui bahwa 80% berasal dari buah kelapa sawit dan 15% berasal
dari serangga. Seekor R. tiomanicus dewasa mengonsumsi buah kelapa sawit
5.94–13.7 g/hari. Kehilangan minyak sawit mentah (MSM) berjumlah 327.96962.38 kg/ha/thn. Kerugian ini belum termasuk buah “brondolan” yang dibawa
tikus ke tempat-tempat persembunyiannya. Tandan buah luka yang disebabkan
oleh tikus dapat memacu meningkatnya kadar asam lemak bebas minyak sawit.
Selain itu serangan tikus pada lokasi-lokasi pengembangan tertentu dapat
mengakibatkan kematian tanaman muda sebesar 20-30% (Sipayung dan Lubis
1986).
Tikus merupakan hewan liar dari ordo Rodentia (hewan pengerat), kelas
Mamalia (hewan menyusui) yang sering mengganggu dalam kehidupan manusia.
Hewan ini bersifat omnivora, sering menimbulkan kerusakan dan kerugian dalam
kehidupan manusia antara lain dalam bidang pertanian, perkebunan, permukiman,
dan kesehatan (Meehan 1984). Tikus pohon merupakan salah satu jenis tikus yang
sering ditemukan di pepohonan terutama untuk pohon kelapa dan kelapa sawit.
Pengendalian tikus pohon di perkebunan sering menggunakan umpan
beracun (rodentisida). Rodentisida sering digunakan karena cara aplikasinya yang
mudah dan keefektifan rodentisida dapat dibuktikan secara langsung dengan
terbunuhya sejumlah tikus setelah pengumpanan, namun kandungan bahan kimia
dalam rodentisida dapat membahayakan lingkungan dan terbunuhnya hewan
bukan sasaran (non-target animals). Aplikasi penggunaan rodentisida sebagai
pengendali hama tikus dapat menyebabkan kematian hewan di sekitar perkebunan.
Salah satu alternatif pengendalian yaitu penggunaan musuh alami. Musuh alami

2
dari tikus adalah ular, kucing, musang, anjing, dan burung hantu putih
(Priyambodo 2009).
Burung hantu putih (T. alba) merupakan hewan predator yang sering
digunakan untuk mengendalikan hama tikus di perkebunan. Burung predator ini
mempunyai jenis makanan yang spesifik yaitu jenis-jenis tikus. Seekor burung
dewasa mampu mengonsumsi tikus pohon sebanyak lima ekor per hari dan
menangkap mangsanya lebih dari kebutuhannya. Hasil studi di Malaysia
menunjukkan bahwa burung hantu putih mempunyai potensi yang besar sebagai
pengendali hayati tikus (Sipayung dan Thohari 1994).
Burung predator lain yang dapat digunakan untuk musuh alami tikus adalah
burung hantu celepuk. Burung hantu celepuk termasuk dalam ordo Strigiformes,
famili Strigidae, subfamili Striginae, genus: Otus dan spesies: Otus lempiji
(Suhadi 2007). Pakan utama dari burung hantu celepuk ini terdiri dari serangga
besar seperti kumbang besar, serangga ordo Orthoptera, Lepidoptera, dan
Mantidae. Pakan lain dari burung hantu celepuk adalah burung pipit, anak burung
yang masih di sarang, tikus, dan tokek (Marks, et al. 1999 dalam Lok, et al. 2009).
Keistimewaan burung hantu celepuk dibandingkan burung hantu putih yaitu
harganya yang lebih murah dan populasi di alam masih cukup melimpah.
Penelitian ini menggunakan tikus putih sebagai subtitusi tikus pohon. Tikus
pohon sebagai hewan uji dalam penelitian ini cukup banyak ditemukan khususnya
di perkebunan kelapa sawit, namun tikus pohon tidak bisa diperoleh dalam jumlah
banyak pada saat tertentu. Masalah tersebut merupakan hambatan, oleh karena itu
dalam penelitian ini digunakan tikus putih untuk menggantikan tikus pohon
sebagai hewan uji. Penggantian hewan uji tidak berpengaruh dalam penelitian
karena pada dasarnya anatomi dan fisiologi kedua spesies tikus ini hampir sama.
Tikus putih sering digunakan penelitian karena mudah diperoleh di pasaran.
Penggunaan rodentisida untuk mengendalikan tikus dapat terakumulasi dalam
tubuh tikus, sehingga dapat membahayakan predator tikus di alam termasuk
burung hantu celepuk. Jika rodentisida yang dikonsumsi tikus dapat
membahayakan burung hantu, maka populasinya di alam akan semakin berkurang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian efek sekunder yang terjadi pada
burung hantu celepuk setelah memakan tikus putih yang mengonsumsi tiga
rodentisida antikoagulan dengan bahan aktif yang berbeda. Ketiga rodentisida
yang digunakan untuk penelitian ini yaitu berbahan aktif flokumafen,
bromadiolon, dan brodifakum. Menurut Eadforth et al. (1996), rodentisida
tersebut sering digunakan untuk mengendalikan tikus di permukiman dan lahan
pertanian.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji efek sekunder dari tiga rodentisida
antikoagulan dengan bahan aktif flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum yang
dikonsumsi oleh tikus sebagai mangsa burung hantu celepuk
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di bidang pertanian
sebagai pengendalian hama terpadu serta mengetahui efek sekunder dari tiga
rodentisida antikoagulan dengan bahan aktif yang berbeda sebagai mangsa burung
hantu celepuk.

3

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kemudian
dilanjutkan dengan identifikasi burung hantu celepuk di Laboratorium Ornitologi
(Zoologi), LIPI Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan September hingga
November 2012.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan uji yaitu
burung hantu celepuk (Gambar 1), tikus putih (Gambar 2), rodentisida bahan aktif
flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum masing-masing dengan konsentrasi
0.005% (Gambar 3). Selain itu digunakan mangkok kecil sebagai tempat pakan
dan minum, timbangan elektronik (analytical top loading animal balance)
(Gambar 4), kurungan tikus (Gambar 5), kurungan tunggal (single cage) yang di
dalamnya terdapat kayu sebagai tempat bertengger burung hantu celepuk (Gambar
6), kawat untuk mengambil sisa makanan burung, serta plastik untuk menimbang
burung hantu dan tikus.

Gambar 1 Burung hantu celepuk

Gambar 2 Tikus putih

Gambar 3 Rodentisida

Gambar 4 Timbangan digital

4

Gambar 5 Kurungan tikus

Gambar 6 Kurungan burung hantu

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Newton et al. pada tahun 1996 di Eropa Selatan. Metode yang
digunakan adalah metode tanpa pilihan (no choice test) yaitu pengujian burung
hantu dengan pemberian umpan tikus putih yang telah mengonsumsi rodentisida
pada masa perlakuan, dan pemberian umpan tikus putih yang mengonsumsi gabah
untuk masa pemulihan. Burung hantu celepuk sebagai hewan uji tidak memiliki
alternatif umpan lain. Ada tiga perlakuan yang digunakan dalam pengujian ini
yaitu pemberian tikus putih yang mengonsumsi rodentisida selama dua hari, tiga
hari dan empat hari. Setelah perlakuan, burung hantu celepuk mengalami masa
pemulihan selama tiga belas hari. Pengujian ini menggunakan lima kali ulangan
untuk rodentisida berbahan aktif flokumafen dan bromadiolon serta empat kali
ulangan untuk rodentisida berbahan aktif brodifakum.
Persiapan Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih dan burung hantu celepuk
yang diperoleh dari pasar burung di Jakarta Selatan. Pada pengujian ini digunakan
126 ekor tikus putih untuk perlakuan rodentisida, dan 630 ekor untuk masa
pemulihan sedangkan burung hantu celepuk yang digunakan ada 16 ekor. Dalam
penelitian hanya ada 14 ekor burung hantu celepuk yang diuji karena dua ekor
burung hantu celepuk yang lain mati sebelum perlakuan. Bobot tubuh tikus putih
yang digunakan untuk pengujian berkisar antara 20-30 g.
Burung hantu celepuk yang mengalami perlakuan ditimbang terlebih dahulu
untuk mengetahui bobot awalnya. Setelah itu, burung hantu dimasukkan pada
kurungan tunggal (single cage). Setiap kurungan hanya untuk satu burung dan di
dalam kurungan tersebut ada kayu yang digunakan untuk bertengger. Pada setiap
kurungan diberi label sebagai penanda dan mempermudah dalam melakukan
pengujian.
Identifikasi Burung Hantu Celepuk
Identifikasi dilakukan dengan bantuan ahli burung dan mengacu kepada
beberapa pustaka. Pustaka yang digunakan untuk identifikasi yaitu Dickinson
(2003), Del Hoyo et al. (1999), Konig et al. (1999), dan MacKinnon et al. (1992).

5
Proses identifikasi dilakukan dengan mengamati dan mengukur morfologi burung
hantu celepuk.
Persiapan Rodentisida
Pengujian ini menggunakan tiga rodentisida dengan bahan aktif yang
berbeda, yaitu flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum dengan konsentrasi
masing-masing 0.005%. Rodentisida yang digunakan untuk pengujian merupakan
rodentisida siap pakai yang berbentuk blok berwarna biru. Setiap hari 4 atau
sekitar 12 g rodentisida diberikan kepada tikus putih dan ditimbang dengan
menggunakan timbangan elektronik.
Pengujian Rodentisida
Pengujian pertama yaitu pemberian rodentisida sebagai umpan tikus putih
yang mengalami perlakuan. Pada pengujian ini, tikus putih diberi rodentisida.
Rodentisida yang diberikan merupakan antikoagulan berbahan aktif flokumafen
dan bromadiolon yang diberikan kepada lima ekor tikus putih, sedangkan untuk
rodentisida berbahan aktif brodifakum diberikan kepada empat ekor tikus putih.
Selama masa pengujian ini, tikus putih hanya diberi rodentisida selama dua hari
berturut-turut. Pemberian rodentisida selama dua hari ini berlaku untuk semua
jenis rodentisida (flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum).
Rodentisida diberikan selama 2 x 24 jam dan dihitung jumlah konsumsinya.
Konsumsi tikus putih terhadap rodentisida didasarkan pada jumlah rodentisida
yang diberikan sekitar 12 g dikurangi dengan sisa rodentisida yang tidak
dikonsumsi. Tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dihitung bobot awal dan
akhirnya, lalu diberi label untuk mempermudah dalam pengujian.
Pengujian Lama Pemberian Tikus Beracun terhadap Burung Hantu Celepuk
Tikus yang sudah mengonsumsi racun digunakan sebagai umpan untuk
burung hantu celepuk. Perlakuan yang diberikan pada burung hantu adalah lama
pemberian tikus beracun yaitu dua, tiga, dan empat hari. Perlakuan dua hari
artinya selama dua hari burung hantu diberi tikus putih yang telah memakan racun
masing-masing sebanyak dua hari pemberian. Perlakuan tiga hari, selama tiga hari
burung hantu celepuk diberi makan tikus putih yang telah memakan racun
sebanyak dua hari pemberian. Perlakuan empat hari, selama empat hari burung
hantu celepuk diberi tikus putih yang telah makan racun sebanyak dua hari
pemberian. Antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain, burung hantu
celepuk mengalami masa pemulihan selama 13 hari. Pada pemulihan tersebut
burung hantu celepuk diberi umpan berupa tikus putih yang mengonsumsi gabah
secara melimpah (ad libitum).
Pengujian efek sekunder ini merupakan tindak lanjut dari pengujian
sebelumnya yaitu pemberian umpan rodentisida terhadap tikus putih. Sama halnya
dengan pengujian tikus putih yang mengonsumsi rodentisida, ada lima ekor tikus
putih yang mengonsumsi rodentisida berbahan aktif flokumafen diberikan kepada
lima burung hantu celepuk masing-masing satu ekor. Demikan juga untuk
bromadiolon, sedangkan untuk brodifakum hanya empat ekor tikus putih yang
diberikan kepada empat ekor burung hantu. Hal yang sama diterapkan untuk
perlakuan tiga hari dan empat hari menggunakan rodentisida dengan bahan aktif
yang sama.

6
Sebelum pemberian tikus putih yang mengonsumsi rodentisida kepada
burung hantu, maka tikus putih dimatikan terlebih dahulu. Tikus dimatikan
dengan menggunakan kloroform, kemudian tubuh tikus putih dibelah dengan
tujuan agar bau kloroform cepat menguap. Tikus putih yang sudah terbelah
dibiarkan beberapa jam terlebih dahulu, kemudian ditimbang dan dicatat bobot
tubuhnya lalu diberikan kepada burung hantu. Pengamatan dilakukan setiap hari
terhadap jumlah tikus putih yang dikonsumsi oleh burung hantu celepuk dengan
cara mengurangi bobot tikus putih yang diberikan pada burung hantu celepuk
dengan sisa tikus putih yang tidak dimakan atau tidak dapat dicerna.
Pemberian Tikus sebagai Umpan Burung Hantu Celepuk Pasca Perlakuan
Burung hantu celepuk yang telah mengalami perlakuan mengalami masa
pemulihan selama 13 hari dengan diberi makan tikus putih yang mengonsumsi
gabah secara melimpah (ad libitum). Penggantian umpan burung hantu celepuk
dengan tikus putih yang tidak mengonsumsi rodentisida bertujuan memberikan
masa istirahat pada burung hantu celepuk sekaligus diamati efek sekunder burung
hantu celepuk. Burung hantu celepuk yang tidak mati sampai masa pemulihan
selesai, maka dianggap selamat (escape) dan dilanjutkan dengan perlakuan
berikutnya.
Konversi Umpan
Semua data yang diperoleh dari pengujian tikus putih makan racun, burung
hantu celepuk makan tikus putih racun, dan racun yang dikonsumsi burung hantu
celepuk dikonversi terlebih dahulu terhadap 100 g bobot tikus putih dan burung
hantu celepuk dengan rumus sebagai berikut :
Konversi umpan/
rodentisida pada
tikus putih/ burung
hantu celepuk (g)

= Bobot umpan/rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100
Rerata bobot tikus putih/ burung hantu (g)

Peubah yang diamati
Peubah yang diamati dalam pengujian ini adalah: (a) konsumsi tikus putih
terhadap rodentisida, (b) konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih
yang mengonsumsi rodentisida, (c) konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus
putih pada masa pemulihan selama tiga belas hari, (d) bobot tikus putih dan
burung hantu celepuk sebelum dan sesudah perlakuan, dan (e) kematian burung
hantu celepuk.
Analisis Data
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan
dua jenis hewan uji dan tiga rodentisida serta lima ulangan untuk rodentisida
flokumafen dan bromadiolon, serta empat kali ulangan untuk rodentisida
brodifakum. Perbandingan nilai tengah dan analisis ragam diproses dengan one
way Analysis of Variance. Apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata, maka
dilanjutkan dengan Uji Selang Ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada
taraf α=5% menggunakan bantuan program SAS for Windows Versi 09.1.3.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Burung Hantu Celepuk
Proses identifikasi dilakukan di Laboratorium Ornitologi, Zoologi LIPI
Bogor. Seluruh burung hantu celepuk yang mengalami pengujian dibawa dan
diidentifikasi. Identifikasi dilakukan dengan mengamati ciri-ciri morfologi dari
burung hantu celepuk. Ciri-ciri burung hantu celepuk sebagai berikut : (a) tubuh
burung hantu celepuk dari ujung kepala sampai ujung kaki sekitar 200 mm, (b)
berwarna kecoklatan sampai abu-abu (c) berkas telinga panjang dan jelas (d)
memiliki kerah di belakang leher berwarna pucat (e) tubuh bagian bawah lebih
terang atau coklat atau abu-abu muda (f) terdapat bercak-bercak gelap berbentuk
mata panah atau jajaran genjang (g) suara burung ketika dilakukan pengamtan di
laboratorium vertebrata hama berbunyi “wuuup” dengan nada yang meninggi.
Distribusi burung hantu celepuk ini adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali.
Hasil identifikasi diperoleh bahwa semua burung hantu yang digunakan
dalam pengujian yaitu burung hantu jenis Otus lempiji Horsfield. Burung hantu
celepuk ini termasuk ke dalam dari kelas: Aves, ordo: Strigiformes, famili:
Strigidae, genus: Otus dan spesies: Otus lempiji Horsfield. Identifikasi dilakukan
dengan bantuan ahli burung dan mengacu kepada beberapa pustaka. Pustaka yang
digunakan untuk identifikasi yaitu sebagai berikut Dickinson (2003), Del Hoyo et
al. (1999), Konig et al. (1999), MacKinnon et al. (1992), dan Weick (2006).
Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan selama tiga hari dengan pemberian umpan tikus
putih dengan bobot tubuh antara 20-30 g. Total keseluruhan burung yang diujikan
ada 14 ekor. Semua burung hantu yang diujikan dalam kondisi sehat. Burung
hantu celepuk yang sehat akan memakan umpan tikus tersebut dan tidak
menunjukkan tanda-tanda sakit. Burung hantu celepuk yang telah melewati uji
pendahuluan, dilanjutkan dengan uji perlakuan.
Setiap individu burung hantu celepuk memakan umpan berupa tikus putih
yang mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang berbeda sehingga dosis letal
(lethal dose) dari konsentrasi rodentisida yang termakan dan lama kematian juga
berbeda. Burung hantu celepuk yang telah memangsa tikus putih yang
mengonsumsi rodentisida akan diamati efek sekundernya selama 13 hari. Apabila
selama 13 hari tersebut tidak terjadi kematian, maka burung hantu tersebut
dikatakan selamat (escape).
Tingkat Konsumsi Tikus Putih terhadap Tiga Rodentisida dengan
Bahan Aktif yang Berbeda
Langkah awal dari penelitian pengujian efek sekunder tiga rodentisida
antikoagulan terhadap burung hantu celepuk adalah pemberian rodentisida uji
kepada tikus putih selama dua hari berturut-turut yang akan menjadi mangsa bagi
burung hantu celepuk. Tiga rodentisida yang diberikan berbahan aktif flokumafen,
bromadiolon, dan brodifakum. Konsumsi tikus putih terhadap ketiga rodentisida
dengan bahan aktif yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2

8
Tabel 1 Konsumsi total tikus putih terhadap tiga rodentisida antikoagulan
Rodentisida
Flokumafen
Bromadiolon
Brodifakum
Pr > F
a

2 hari
22.56a
28.80a
28.96a
0.085

Konsumsi pada perlakuan
3 hari
4 hari
(g/100 g bobot tubuh)
25.86a
24.82a
32.37a
33.76a
31.33a
25.73a
0.058
0.027

Jumlah
73.24
94.93
85.11

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan Uji Selang Duncan pada taraf α=5%

Tabel 2 Konsumsi rerata tikus putih terhadap tiga rodentisida antikoagulan
Rodentisida
Flokumafen
Bromadiolon
Brodifakum
a

2 hari
11.28a
14.40a
14.48a

Konsumsi pada perlakuan
3 hari
4 hari
(g/100 g bobot tubuh)
8.62a
6.21a
10.79a
8.44a
10.44a
6.43a

Rerata
8.70
11.21
10.45

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5%

Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi tikus terhadap
tiga jenis rodentisida dengan bahan aktif yang berbeda tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui
bahwa konsumsi total tikus terhadap umpan rodentisida dengan bahan aktif
bromadiolon merupakan yang tertinggi (94.93 g), kemudian diikuti brodifakum
sebesar (85.11 g) dan terakhir flokumafen (73.24 g). Hal ini menunjukkan bahwa
tikus lebih menyukai rodentisida berbahan aktif bromadiolon daripada brodifakum
dan flokumafen karena rodentisida bromadiolon memiliki bau yang lebih khas
sehingga tikus putih lebih menyukai rodentisida ini.
Jumlah konsumsi tikus putih terhadap rodentisida berbahan aktif
flokumafen pada perlakuan dua hari tidak berbeda nyata dengan dengan
rodentisida berbahan aktif bromadiolon dan brodifakum, berdasarkan Uji Duncan
α=5%. Brodifakum merupakan rodentisida yang paling banyak dikonsumsi oleh
tikus putih yaitu (28.96 g), diikuti bromadiolon (28.80 g) dan yang paling rendah
tingkat konsumsinya yaitu flokumafen (22.56 g).
Pengujian selanjutnya, yaitu perlakuan tiga hari tidak menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (Uji Duncan α=5%). Tingkat konsumsi tikus putih terhadap
umpan beracun menunjukkan hasil yang sama. Konsumsi paling tinggi pada tikus
yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon yaitu (32.37 g),
kemudian diikuti brodifakum (31.33 g) dan terakhir flokumafen (25.86 g).
Berdasarkan Uji Duncan α=5% pada perlakuan empat hari menunjukkan
hasil tidak berbeda nyata. Tingkat konsumsi rodentisida paling banyak pada
perlakuan empat hari sama dengan perlakuan tiga hari yaitu bromadiolon.
Rodentisida bromadiolon yang dikonsumsi oleh tikus pada perlakuan ini sebesar
33.76 g, diikuti brodifakum (25.73 g) dan flokumafen (24.82 g).

9
Tingkat konsumsi rodentisida yang paling disukai oleh tikus yaitu
rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon dengan konsumsi rata-rata perlakuan
sebesar 94.93 g. Semua jenis rodentisida yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki bau yang berbeda, namun bau dari rodentisida bromadiolon lebih khas
sehingga tikus putih lebih menyukai rodentisida ini. Rasa curiga tikus terhadap
umpan beracun dengan bahan aktif flokumafen dan brodifakum menyebabkan
konsumsi racun terhadap kedua jenis bahan aktif tersebut lebih sedikit daripada
umpan beracun dengan bahan aktif bromadiolon.
Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat rerata konsumsi tikus putih terhadap
ketiga jenis rodentisida flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum tidak berbeda
nyata (Uji Duncan α=5%). Rerata keseluruhan baik perlakuan dua hari, tiga hari,
dan empat hari pada rodentisida berbahan aktif flokumafen (8.70 g). Tingkat
konsumsi tikus putih terhadap rodentisida selalu mengalami penurunan dari
perlakuan dua hari ke tiga hari, dan empat hari.
Tingkat rerata konsumsi tikus putih terhadap rodentisida bromadiolon
sebesar 11.18 g. Pada penelitian yang pernah dilakukan oleh (Priyambodo 2012
Desember 27, komunikasi pribadi), menunjukkan bahwa tingkat rerata konsumsi
tikus pohon terhadap rodentisida bromadiolon A (5.79 g) dan bromadiolon B
(3.95 g), sedangkan tingkat konsumsi rerata tikus rumah terhadap rodentisida
bromadiolon C (11.01 g). Hasil data tersebut menunjukkan bahwa tingkat
konsumsi tikus putih lebih besar daripada tikus pohon. Hal ini diduga karena tikus
putih tidak mengalami jera umpan sehingga mengonsumsi racun masih cukup
tinggi. Berbeda dengan tikus pohon yang pernah mendapat perlakuan aplikasi
racun, sehingga tikus pohon mengalami jera umpan dan mempengaruhi tingkat
konsumsi terhadap racun.
Pengujian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh (Priyambodo 2012
Desember 27, komunikasi pribadi), terhadap racun dengan nama dagang yang
berbeda dan konsentrasi serta bahan aktif yang sama menunjukkan hasil bahwa
tikus pohon mengonsumsi rodentisida brodifakum A (8.57 g), brodifakum B
(4.52 g), brodifakum C (7.49 g), dan brodifakum D (10.38 g). Tikus putih pada
pengujian ini rata-rata mengonsumsi rodentisida berbahan aktif brodifakum
sebanyak 10.45 g. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi tikus putih dan
tikus hama yang mengonsumsi rodentisida berbahan aktif brodifakum D tidak
berbeda jauh, namun memiliki perbedaan yang jauh dengan rodentisida
brodifakum A, B, dan C. Rodentisida memiliki formulasi yang berbeda meskipun
memiliki bahan aktif yang sama, sehingga tingkat konsumsi tikus juga berbeda.
Pada rodentisida flokumafen, tingkat rerata konsumsi tikus lebih kecil
daripada rodentisida bromadiolon dan brodifakum yaitu (8.70 g). Pengujian yang
dilakukan oleh (Priyambodo 2012 Desember 27, komunikasi pribadi),
menunjukkan bahwa tingkat rerata konsumsi tikus rumah terhadap rodentisida
flokumafen (7.43 g). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat rerata konsumsi tikus
putih terhadap racun flokumafen lebih besar daripada tikus rumah. Namun
perbedaan tingkat rerata konsumsi tikus putih dengan tikus rumah tidak berbeda
jauh, selisih keduanya (1.27 g).
Tikus merupakan hewan yang mudah curiga dan memiliki tingkat kejeraan
yang berbeda-beda. Menurut Meehan (1984), setiap tikus mempunyai sifat yang
mudah curiga terhadap setiap benda yang ditemuinya, termasuk pakannya. Tikus
memiliki sifat tikus enggan memakan umpan beracun yang diberikan karena tidak

10
melalui umpan pendahuluan, sehingga mengalami jera umpan dan jera racun.
Tikus hama sangat peka dan memiliki kecurigaan terhadap umpan beracun
sehingga tingkat konsumsi tikus tersebut terhadap umpan beracun sangat rendah.
Berbeda dengan tikus putih yang tidak pernah mengalami aplikasi racun sehingga
tingkat konsumsi terhadap racun masih cukup tinggi.
Tingkat Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap
Tikus Putih yang Mengonsumsi Rodentisida
Pengujian ini menggunakan metode no-choice test (tanpa pilihan). Pada
perlakuan dua, tiga, dan empat hari burung hantu celepuk diberi umpan tikus putih
yang sebelumnya telah mengonsumsi racun. Tingkat konsumsi total dan rerata
burung hantu terhadap tikus yang mengonsumsi tiga jenis rodentisida dengan
bahan aktif yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3

Konsumsi total burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang
mengonsumsi rodentisida antikoagulan
Konsumsi pada perlakuan
Rodentisida
Jumlah
2 hari
3 hari
4 hari
(g/100 g bobot tubuh)
57.00a
77.89a
74.62a
Flokumafen
209.51
54.85a
72.48a
82.33a
Bromadiolon
209.66
44.01a
59.13a
72.81a
Brodifakum
175.95
0.249
0.207
0.334
Pr > F

a

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil)

Tabel 4

Konsumsi rerata burung hantu celepuk
mengonsumsi rodentisida antikoagulan

Rodentisida

Flokumafen
Bromadiolon
Brodifakum
a

terhadap tikus putih yang

Konsumsi pada perlakuan
2 hari
3 hari
4 hari
(g/100 g bobot tubuh)
28.50a
25.96a
18.65a
27.43a
24.16a
20.58a
22.01a
19.71a
18.20a

Rerata

24.37
24.06
19.97

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil)

Burung hantu celepuk sebagai hewan uji memiliki kecenderungan tinggi
dalam memangsa tikus putih. Berdasarkan Tabel 3, selama perlakuan (dua, tiga,
dan empat hari), burung hantu celepuk mampu memangsa tikus putih yang
mengonsumsi rodentisida berbahan aktif flokumafen sebesar 209.51 g,
bromadiolon sebesar 209.66 g, dan brodifakum sebesar 175.95 g. Sama halnya
dengan pengujian sebelumnya, tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap
tikus putih yang mengandung rodentisida bromadiolon lebih besar daripada
rodentisida flokumafen dan brodifakum.

11
Perlakuan dua hari menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata
pada tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih baik pada
rodentisida berbahan aktif flokumafen, bromadiolon maupun brodifakum. Jumlah
tikus putih yang dikonsumsi burung hantu celepuk sebesar 57.00 g (flokumafen),
selanjutnya diikuti jumlah konsumsi burung hantu celpepuk terhadap tikus putih
yang memakan umpan rodentisida berbahan aktif bromadiolon (54.85 g) dan
brodifakum (44.01 g).
Tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang
mengonsumsi racun pada perlakuan tiga hari tidak berbeda nyata (Uji Duncan
α=5%). Tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif
flokumafen paling banyak dikonsumsi oleh burung hantu celepuk pada perlakuan
tiga hari yaitu (77.89 g), kemudian diikuti bromadiolon (72.48 g), dan brodifakum
(59.13 g).
Pada perlakuan empat hari, tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap
tikus putih yang terakumulasi rodentisida menunjukkan hasil yang sama. Tikus
yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon cukup banyak
dikonsumsi oleh burung hantu celepuk yaitu (82.33 g). Konsumsi burung hantu
pada tikus putih yang mengandung rodentisida dengan bahan aktif flokumafen
mengalami penurunan menjadi 74.62 g. Tikus putih yang mengandung rodentisida
brodifakum dikonsumsi burung hantu celepuk (72.81 g).
Berdasarkan Tabel 4, konsumsi rata-rata tiap burung hantu celepuk berkisar
antara 18-28 g. Burung hantu celepuk memangsa tikus putih yang mengonsumsi
rodentisida flokumafen (24.37 g), diikuti bromadiolon (24.06 g) dan brodifakum
(19.973 g). Tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang
mengandung rodentisida terus mengalami penurunan pada setiap perlakuan. Pada
perlakuan dua hari, tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih
yang memakan rodentisida flokumafen sebesar 28.50 g, dan mengalami
penurunan pada perlakuan tiga hari dan empat hari menjadi 25.96 g dan 18.65 g.
Demikian juga untuk konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang
mengandung racun bromadiolon dan brodifakum.
Menurut Sipayung dan Thohari (1994), tingkat konsumsi T. alba terhadap
tikus pohon bisa mencapai empat ekor per hari atau sekitar 400 g. T. alba dan O.
lempiji merupakan burung hantu sebagai predator tikus. Namun, kedua burung
hantu ini memiliki tingkat konsumsi tikus yang berbeda. T. alba memiliki bobot
tubuh rerata sekitar 500 g, sedangkan O. lempiji hanya berkisar 100 g. Jika
masing-masing bobot tubuh burung hantu ini dikonversi ke 100 g bobot tubuh
maka T. alba memiliki kecendurungan konsumsi terhadap tikus sekitar 80 g dan O.
lempiji sekitar 25 g. Tingkat konsumsi kedua burung hantu ini cukup berbeda, O.
lempiji hanya mampu mengonsumsi tikus 1/3 dari konsumsi T. alba.
Harga T. alba per ekor sebesar 300 000 rupiah samapi 400 000 rupiah per
ekor (BBKP-Surabaya 2012), sedangkan harga O. lempiji sebesar 50 000 rupiah.
Perbedaan harga kedua burung hantu ini cukup jauh. Harga O. lempiji hanya 1/6
dari harga T. alba. Hal ini menjelaskan bahwa untuk menyamakan konsumsi O.
lempiji sesuai dengan T. alba maka diperlukan tiga ekor O. lempiji, sehingga
biaya yang dibutuhkan lebih rendah daripada harga satu ekor T. alba. Jadi dapat
dikatakan bahwa biaya pengendalian hama tikus di perkebunan sawit dengan
menggunakan O. lempiji lebih menguntungkan dibandingkan dengan T. alba.

12
Tingkat Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap
Tiga Rodentisida Antikoagulan dan Keadaan Setelah Perlakuan
Pada pengujian ini burung hantu celepuk hanya diberi umpan berupa tikus
putih. Pada saat perlakuan, burung hantu celepuk diberi umpan tikus putih yang
mengonsumsi rodentisida sedangkan masa pemulihan diberi tikus putih yang
mengonsumsi gabah. Pengujian ini menggunakan metode tanpa pilihan (no-choice
test), yaitu tidak memberikan alternatif pada burung hantu celepuk dalam
mengonsumsi umpan selain tikus. Racun yang dikonsumsi oleh tikus putih
terakumulasi di dalam tubuh burung hantu celepuk. Perhitungan racun yang
terakumulasi dalam tubuh burung hantu celepuk dilakukan setelah semua
perlakuan selesai. Hasil pengujian burung hantu celepuk yang mengonsumsi
rodentisida antikoagulan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Konsumsi burung hantu celepuk terhadap rodentisida antikoagulan
Rodentisida

Flokumafen
Bromadiolon
Brodifakum
Pr > F
a

Konsumsi pada perlakuan
2 hari
3 hari
4 hari
(mg/kg)
6.57a
10.09a
9.96b
7.79a
11.35a
14.76a
6.77a
9.30a
9.51b
0.563
0.392
0.002

Rerata

8.87
11.30
8.53

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil)

Hasil pengujian pada Tabel 5 menunjukkan banyaknya racun yang
dikonsumsi oleh burung hantu celepuk. Konsumsi burung hantu celepuk pada
perlakuan empat hari menunjukkan bahwa rodentisida bromadiolon berbeda nyata
dengan flokumafen dan brodifakum, sementara itu flokumafen tidak berbeda
nyata dengan brodifakum (Uji Duncan α=5%). Hal ini disebabkan tikus putih
mengonsumsi bromadiolon dalam jumlah banyak dibandingkan dengan tikus lain.
Dengan demikian, racun bromadiolon di dalam tubuh burung hantu celepuk akan
semakin banyak pula.
Pada perlakuan dua hari dan tiga hari konsumsi burung hantu celepuk
terhadap racun flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum menunjukkan tidak
berbeda nyata (Uji Duncan α=5%). Pada perlakuan dua hari, rodentisida berbahan
aktif bromadiolon menunjukkan tingkat konsumsi tertinggi (7.79 mg/kg), diikuti
oleh brodifakum (6.77 mg/kg) dan flokumafen (6.57 mg/kg). Demikian juga
dengan perlakuan tiga hari, tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap
rodentisida bromadiolon (11.35 mg/kg), diikuti flokumafen (10.09 mg/kg) dan
brodifakum (9.30 mg/kg). Tingkat konsumsi rata-rata rodentisida berbahan aktif
bromadiolon paling banyak dibandingkan dengan kedua rodentisida lainya. Ratarata burung hantu celepuk mengonsumsi rodentisida bromadiolon (11.30 mg/kg),
flokumafen (8.87 mg/kg), dan brodifakum (8.53 mg/kg).
Setiap individu burung hantu celepuk memiliki tingkat konsumsi yang
berbeda-beda. Tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap umpan beracun
serta keadaan burung hantu celepuk setelah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

13
Tabel 6 Konsumsi setiap individu burung hantu celepuk terhadap rodentisida
antikoagulan dan keadaan setelah perlakuan
Burung Konsumsi Bobot
hantu
racun
tubuh
Rodentisida
Keadaan
Saat kematian
celepuk
(mg/kg)
(g)
Flokumafen
1
27.08
112.8
Hidup
Saat perlakuan
2
28.84
100.27
Mati
empat hari
3
29.52
111.12
Hidup
4
23.29
110.24
Hidup
5
24.36
111.60
Hidup
Bromadiolon
1
30.86
103.58
Hidup
2
42.20
120.75
Hidup
3
28.91
123.79
Hidup
Setelah perlakuan
4
20.87
111.16
Mati
tiga hari
5
31.93
102.70
Hidup
Brodifakum
Setelah perlakuan
1
25.23
89.38
Mati
empat hari
2
27.41
86.92
Hidup
3
23.68
107.79
Hidup
4
25.99
102.71
Hidup
Flokumafen merupakan racun yang memiliki LD50 sebesar 0.25 mg/kg
untuk tikus dan 0.8 mg/kg untuk mencit (Oudejans 1991). Hasil pengujian
menunjukkan bahwa burung hantu celepuk dengan racun flokumafen mengalami
kematian setelah mengonsumsi racun 28.84 mg/kg. Burung hantu celepuk yang
mengonsumsi racun flokumafen mengalami kematian pada saat hari ketiga
perlakuan empat hari. Bobot burung hantu celepuk individu kedua pada
rodentisida flokumafen sebesar 100.27 g.
Bennet (2002), menyebutkan bahwa bromadiolon mempunyai toksisitas oral
yang akut (LD50=1-3 mg/kg) tehadap beberapa spesies hewan, baik yang termasuk
hewan pengerat maupun yang bukan. Pada rodentisida bromadiolon burung hantu
celepuk yang mati adalah individu keempat. Burung hantu celepuk ini mati
setelah mengomsumsi racun sebanyak 20.87 mg/kg dengan bobot tubuh sebesar
111.16 g.
LD50 untuk rodentisida brodifakum pada tikus adalah 0,27 mg/kg
(Priyambodo 2009). Menurut Buckle dan Smith (1994), brodifakum dengan
konsentrasi 0,005% dapat menyebabkan 100% kematian mencit setelah satu hari,
perlakuan baik yang rentan maupun yang kebal terhadap warfarin. Sesuai dengan
pernyataan sebelumnya, dalam penelitian ini lehtal dose brodifakum lebih rendah
dibandingkan dengan flokumafen dan bromadiolon yaitu sebesar 2.80 mg/kg.
Pada rodentisida brodifakum kematian burung hantu celepuk yaitu pada individu
pertama. Racun yang terkandung dalam tubuh rodentisida ini tidak terlalu banyak

14
dibandingkan dengan konsumsi racun oleh individu burung hantu yang lain.
Burung hantu celepuk ini mengalami kematian saat masa pemulihan pada
perlakuan empat hari dengan konsumsi racun sebanyak 25.23 mg/kg dan bobot
tubuh sebesar 89.38 g.
Burung hantu celepuk yang makan tikus putih yang mengonsumsi umpan
beracun ada yang menyebabkan kematian dan ada yang tidak (burung tetap hidup).
Hal ini terjadi karena ada rodentisida yang terakumulasi dalam tubuh burung
cukup banyak, sedangkan burung yang tetap hidup mengonsumsi rodentisida pada
dosis yang tidak mematikan (sub lethal dose). Selain itu, kematian dapat terjadi
karena burung hantu mengalami penurunan fisiologis, sedangkan burung hantu
yang tidak mati memiliki kemampuan bertahan hidup (survival) yang tinggi.
Setiap individu burung hantu celepuk mengonsumsi rodentisida dengan
jumlah yang berbeda sehingga dosis letal (lethal dose) dari konsentrasi racun yang
termakan dan lama kematian juga berbeda. Tikus putih yang telah mengonsumsi
rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami
kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007). Hal yang sama
juga diasumsikan untuk burung hantu celepuk. Faktor lain yang mempengaruhi
kematian burung adalah dosis letal. Berdasarkan pengujian yang sudah dilakukan
burung hantu yang mati memiliki dosis letal yang berbeda pada setiap jenis
rodentisida.

Gambar 7 Burung hantu celepuk yang mati

Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tikus Putih
Saat Perlakuan dan Pasca Perlakuan
Burung hantu celepuk yang telah diberikan perlakuan tikus yang
mengonsumsi rodentisida kemudian mengalami masa pemulihan selama 13 hari.
Masa pemulihan adalah masa dimana burung hantu diberi makan tikus yang
mengonsumsi gabah secara melimpah (ad libitum). Pemberian umpan tikus yang
mengonsumsi gabah bertujuan memberikan masa istirahat pada burung hantu
celepuk sekaligus diamati peracunan yang terjadi di dalam tubuhnya. Konsumsi
burung hantu terhadap tikus saat perlakuan dan pasca perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 7.

15

Tabel 7

Konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih saat perlakuan
dan pasca perlakuan
Konsumsi (g/100 g bobot tubuh)
Jenis
Jenis
Pr > F
Tikus saat
Tikus pasca Perubahan
Perlakuan Rodentisida
perlakuan
perlakuan
konsumsi
0.062
Flokumafen
28.50a
21.36a
-7.14
0.105
Dua hari
Bromadiolon
27.43a
21.48a
-5.95
0.759
Brodifakum
22.01a
21.05a
-0.96
0.166
Flokumafen
25.88a
22.58a
-3.3
0.270
Tiga hari Bromadiolon
24.16a
21.24a
-2.92
0.499
Brodifakum
19.71a
21.84a
+2.13
0.030
Flokumafen
21.77a
17.49a
-4.28
Empat
0.111
Bromadiolon
20.58a
17.89a
-2.69
hari
0.136
Brodifakum
18.20a
14.69a
-3.51

a

Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil)

Hasil pengujian pada Tabel 7 menunjukkan bahwa konsumsi burung hantu
celepuk terhadap tikus putih saat perlakuan dengan pasca perlakuan tidak berbeda
nyata (Uji Duncan =5%). Pada perlakuan tiga hari dengan rodentisida brodifakum
terjadi Kenaikan tingkat konsumsi burung hantu pasca perlakuan. Konsumsi
burung hantu terhadap tikus pasca perlakuan yang mengalami penurunan
menunjukkan pengaruh dari proses peracunan di dalam tubuh burung hantu,
sehingga dapat menurunkan konsumsi burung hantu terhadap tikus.
Konsumsi burung hantu terhadap tikus saat perlakuan mengalami penurunan
berkisar antara 0.96 g sampai 7.12 g. Hal ini dikarenakan kandungan racun di
dalam tubuh burung hantu lebih banyak sehingga palatabilitas burung hantu
terhadap konsumsi tikus selanjutnya semakin menurun. Pada perlakuan tiga hari
dengan rodentisida brodifakum, burung hantu celepuk mengalami peningkatan
konsumsi tikus pasca perlakuan sebesar 2.13 g. Hal ini dikarenakan konsumsi
burung hantu terhadap tikus yang mengandung rodentisida lebih sedikit yaitu
sebesar 19.71 g, sehingga kondisi tubuh burung hantu relatif lebih sehat (tidak
mengalami keracunan) dan membutuhkan konsumsi tikus yang lebih tinggi.

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konsumsi rerata tikus putih terhadap rodentisida flokumafen, bromadiolon,
dan brodifakum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (α=5%) antar semua
perlakuan. Konsumsi rerata burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang
mengonsumsi rodentisida flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum terus
mengalami penurunan dari perlakuan dua hari, tiga hari, dan empat hari. Efek
sekunder tiga jenis rodentisida antikoagulan terhadap burung hantu celepuk adalah
kematian satu ekor burung hantu pada masing-masing rodentisida. Kematian
burung hantu celepuk ini bisa disebabkan oleh kandungan racun yang ada dalam
tubuh burung hantu celepuk yang cukup banyak, dan faktor lain tingkat fisologis
dari burung hantu celepuk yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Tingkat
konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih saat perlakuan dan pasca
perlakuan cenderung mengalami penurunan.
Saran
Pengujian efek sekunder burung hantu celepuk (O. lempiji) ini perlu
dikembangkan lagi dengan memberikan tambahan jenis rodentisida antikoagulan
yang lain. Selain itu, perlu dilakukan pengamatan terhadap fisiologis dan anatomis
dari burung hantu untuk mengetahui secara jelas reaksi fisiologis dan anatomis
burung hantu saat mengonsumsi racun. Konsumsi burung hantu celepuk terhadap
tikus pohon yang mengonsumsi racun perlu dilakukan untuk membandingkan
dengan konsumsi burung hantu celepuk dengan tikus putih.

17

DAFTAR PUSTAKA
[BBKP-Surabaya] Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya. 2012. Burung
Hantu Tyto alba Pengendali Tikus yang Ramah Lingkungan. 2012.
Surabaya (ID): RI.
[BPS] Badan Pusat Statisitik. 2011. Produksi bulanan perkebunan Indonesia.
Jakarta(ID): BPS;