Hantu Topeng Kelono Hantu Burung Kasuari

HANTU TOPENG KELONO, HANTU BURUNG KASUARI DAN HANTU NGUNG NGUNG NGUNG CAKCAKCAK: TIGA HANTU TARI YANG BERGENTAYANGAN DALAM NARASI IDENTITAS KEBUDAYAAN NASIONAL i

Brigitta Isabella

Kunci Cultural Studies Center brigitta.isabella@yahoo.com

ABSTRACT

This paper performs a re-reading of three dances by Indonesian artists by using the metaphor of ghost as its conceptual framework. The paper aims at presenting a critique to the construction of national cultural identity in the period between the 1940s until the 1970s. Through the spectre of Topeng Kelono from Kelono dance play (1916) by Raden Mas Jodjana (1893-1972), the spectre of Kasuari bird from Tari Merak (1964) by

Irawati Durban Ardjo (1943 - ) and the spectre of ngung ngung ngung cakcakcak from Cak Tarian Rina (1972) by Sardono Waluyo Kusumo (1945 - ), the paper assesses the

complex relationship between tradition and modernity under the forces of orientalism, postcolonial nationalism and Orde Baru’s developmentalism, that have played dominant roles in the construction of Indonesian identity. These three dances will be demonstrated as haunting spectres, because the confl ict and controversy that surrounded them in their respective period of existence show ontological anxieties inside the discourse of national identity claimed by dominant cultural stakeholders.

Keywords: Indonesian dance history, national identity, orientalism, postcolonialism

ABSTRAK

Tulisan ini melakukan pembacaan ulang terhadap tiga karya tari seniman Indonesia dengan menggunakan metafora hantu sebagai kerangka konseptual kajian sosial budaya untuk mengkritik struktur pembentukan identitas kebudayaan nasional era 1940-an sampai 1970-an. Melalui Kelono karya (1916) Raden Mas Jodjana (1893-1972), Tari Merak (1964) gubahan Irawati Durban Ardjo (1943 - ) dan koreografi Cak Tarian Rina (1972) karya Sardono Waluyo Kusumo (1945 - ) akan diurai kompleksitas relasi antara

tradisi dan modernitas serta kaitannya dengan struktur produksi identitas Indonesia yang diciptakan oleh jalinan wacana orientalisme, wacana nasionalisme Negara pascakolonial dan wacana ideologi pembangunan Orde Baru. Tiga tari yang menjadi fokus tulisan ini didemonstrasikan sebagai hantu-hantu yang bergentayangan oleh karena konfl ik dan kontroversi yang mengiringinya menunjukkan suatu kegelisahan

ontologis dalam narasi keutuhan identitas nasional yang dijunjung pemangku otoritas kebudayaan pada masing-masing masa hadirnya tari-tari tersebut.

Kata kunci: sejarah tari Indonesia, identitas nasional, orientalisme, pascakolonialisme

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017: 111-135

PENGANTAR

dikatakan bahwa memanggil hantu berarti Hantu ialah sosok yang dianggap

menafsir ulang mereka yang terlupakan mengganggu, mengancam, menakutkan.

atau ingin dilupakan, dihapuskan, Kemunculannya biasa membuat lutut

diasingkan dan dibuat tak tampak oleh gemetar atau minimal bulu kuduk

pemangku kuasa pengetahuan. Hantu- merinding. Dalam konstruksi narasi

hantu harus terus dipanggil untuk cerita-cerita horor pada umumnya, hantu

mengganggu kestabilan dan keutuhan muncul ketika ada suatu masalah yang

suatu bangunan pengetahuan. belum terselesaikan. Biasanya hantu

Tiga hantu yang akan saya yang bergentayangan ialah mereka yang

ketengahkan dalam tulisan ini adalah menjadi korban pembunuhan misterius,

sosok hantu-hantu tari yang kehadirannya tabrak lari atau pemerkosaan yang

saya baca sebagai gangguan bagi pelaku atau penyebabnya tidak kunjung

narasi keutuhan identitas nasional. ketahuan. Hantu terus mengganggu

Hantu Topeng Kelono adalah hantu sebab masalah yang ia representasikan

tari Kelono yang diciptakan Raden Mas terus direpresi atau ditutup-tutupi.

Jodjana (1893-1972), seorang penari Namun demikian, membicarakan

yang berkarier dan menghabiskan hantu tidak harus selalu berhubungan

sebagian besar hidupnya di Eropa. Pada dengan peristiwa-perisitwa traumatis

masanya, karya-karya Jodjana dipuja dan berbau kekerasan. Hantu boleh

sekaligus dikecam oleh masyarakat juga dibayangkan sebagai makhluk

seni di Eropa dan di Indonesia karena halus yang mengusik suatu tatanan

mencampuradukkan warisan ekspresi pengetahuan karena keberadaannya

tari tradisi dengan bahasa visual yang tidak dapat dikategorikan dalam sistem

ditemukannya di Eropa. “normal” (atau yang dianggap normal

Hantu kedua adalah Hantu Burung oleh penguasa).

Kasuari yang berasal dari tari Merak Hantu sebagai sebuah metafora

gubahan Irawati Durban Ardjo (1943 - ) yang menuntun cara berpikir, dan

diciptakan pada tahun 1960-an, ketika memanggil hantu sebagai sebuah metode

Irawati aktif terlibat dalam lintasan penelitian dalam kajian sosial budaya

panggung internasional diplomasi berguna untuk memahami bagaimana

kebudayaan Indonesia. Tari Merak struktur produksi pengetahuan yang

diramu Irawati berdasar kosa gerak hegemonik bekerja serta membaca

tari Sunda dan Bali. Sekaligus pula ia relasi kuasa yang ada dalamnya. Ia

meminjam langkah anggun tari ballet dapat berfungsi sebagai pendekatan

dan gerak rancak tari Kasuari Afrika untuk menulis sejarah alternatif yang

Selatan sebagai bahan baku tari kreasi tidak terepresentasikan dalam narasi

barunya. Tari Merak kini populer diklaim dominan (Gordon, 2008). Hantu-hantu

sebagai tarian asli ikon Jawa Barat. yang bergentayangan merupakan ekses

Hantu terakhir adalah Hantu ngung dari konstruksi narasi dominan. Bisa

ngung ngung cakcakcak yang berasal dari

112

Brigitta Isabella, Hantu Topeng Kelono, Hantu Burung Kasuari dan Hantu Ngung Ngung

koreografi Cak Tarian Rina, diciptakan Sardono Waluyo Kusumo (1945 - )

pada tahun 1971. Cak Tarian Rina merupakan pembacaan ulang Sardono atas tari kecak dengan mengambil inspirasi dari denyut hidup sehari-hari penduduk di sebuah desa kecil di Bali, yang juga dilibatkan sebagai penari dalam koreografi ini. Saat tarian ini akan ditampilkan di Jakarta, beberapa pejabat seni Bali mengeluarkan larangan karena

Cak Tarian Rina dianggap menyimpang jauh dari tradisi dan merusak kesakralan tari kecak. Beberapa tahun berikutnya kelak, Cak Tarian Rina berhasil dibawa Sardono ke sebuah festival seni di Iran tahun 1976.

Tiga tari ini hadir pada periode waktu yang berbeda dan berhadapan dengan konteks masalah yang berbeda pula. Saya merangkai kembali cerita mereka di sini bukan sekedar untuk memanggil kembali hantu dari masa lampau tapi juga memikirkan mengapa mereka masih bergentayangan. Salah satunya, saya beranggapan bahwa kita masih tak juga selesai berurusan dengan wacana identitas nasional, yang semakin hari semakin ajaib dimistifi kasi dalam kurungan “mitos harga mati” keutuhan NKRI. Dalam artikel ini, saya akan mendiskusikan upaya-upaya pemurnian identitas kebudayaan oleh pemangku otoritas kebudayaan yang terobsesi dengan keaslian dan kepemilikan budaya Indonesia. Konstruksi keaslian dan kepemilikan tersebut melibatkan tegangan antara tradisi dan modernitas dalam situasi sosial- politik era pascakolonial (khususnya dalam tari Kelono dan

tari Merak) serta ekonomi pariwisata neoliberal pada ideologi pembangunan Orde Baru (khususnya dalam Cak Tarian Rina). Sebelum “memanggil kembali” masing-masing tiga hantu tari yang telah disebutkan di atas, pada bagian selanjutnya saya akan menyampaikan landasan teori yang membantu saya mengungkap ‘kekuatan- kekuatan negarawi’ yang mengkonstruksi narasi identitas kebudayaan nasional. Kekuatan-kekuatan ini adalah bangunan kuasa pengetahuan yang paling terusik dengan kehadiran para hantu-hantu tari.

PEMBAHASAN Kegelisahan Ontologis dalam Kebudayaan Nasional Indonesia

Salah satu aspek yang menyamakan hantu Topeng Kelono, hantu Burung Kasuari dan hantu ngung ngung ngung

cakcakcak ialah karakter hibrid tarinya yang mencampuradukkan beragam pengaruh kebudayaan dunia dengan warisan tradisi lokal, Jawa, dalam hal ini. Karakter hibrid ini sesungguhnya tidak unik dimiliki atau dipraktikkan oleh tiga hantu kita. Posisi geografis Indonesia yang menjadi rute perdagangan maritim antara India dan Tiongkok menghasilkan pola-pola kebudayaan dari zaman kuno yang bersifat hibrid dan tidak pernah lepas dari pengaruh- pengaruh eksternal. Artinya, hibriditas bukanlah hal yang asing dalam sejarah

perwujudan kebudayaan di Indonesia (Foulcher dan Day, 2002: 13-14).

Hibriditas merupakan salah satu kata kunci dalam kajian kebudayaan perspektif

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017:

111-135

poskolonial. Konsep hibriditas melihat kebudayaan sebagai situs perjumpaan antara yang asli dan asing atau yang lama dan yang baru. Dalam perkembangan teoretis konsep hibriditas di ranah studi poskolonial sejak 1990-an (Bhabha 1994, Hall 1992, 1997, Gilroy 1993, Spivak 1999), para akademisi telah menginterpretasikan konsep ini sebagai strategi negosiasi sekaligus resistensi dalam relasi kuasa antara yang dijajah dan yang terjajah. Perspektif poskolonial memberi terang dalam melihat perubahan signifi kan relasi kuasa dalam proses percampurbauran budaya. Dominasi kolonialisme telah mengubah lokasi sosial dan historis interaksi budaya sebab hibriditas budaya di bawah bayang-bayang kolonialisme dihasilkan dalam relasi kuasa yang berbeda-beda dan lebih sering timpang merugikan kaum yang terjajah (Bhabha, 1994).

Dalam konteks pelanggengan kekuasaan kolonial, hibriditas baik yang organik maupun yang intensional dilihat sebagai ancaman yang dapat merusak superioritas budaya penjajah. Rasa takut ini dipandang Bhabha sebagai kegelisahan kolonialisme yang begitu ingin mempertahankan hierarki antara kebudayaan penjajah dengan kebudayaan kaum yang dijajah. Ann Stoler (2009) yang secara spesifik membicarakan kasus penjajahan Belanda di Indonesia juga mewacanakan soal kegelisahan atas ketidakmampuan pemerintah Hindia Belanda mengendalikan posisi orang- orang kreol (atau orang-orang “ hibrid” hasil kawin campur Indonesia-Belanda) dalam stratifi kasi sosial kolonial. Stoler

menyebut kegelisahan yang bersumber dari hasrat untuk mempertahankan kualitas ras Barat secara esensialis sebagai “kegelisahan ontologis.” ii

Kegelisahan terhadap fenomena hibriditas tidak berhenti atau eksklusif berlangsung dalam praktik kolonialisme. Bhabha berpandangan bahwa salah satu efek dari pencerabutan budaya kaum terjajah dalam proses kolonisasi menyebabkan munculnya kegelisahan bagi subjek poskolonial yang paranoid ingin merebut kembali keaslian tradisi dan budayanya. Keberlanjutan dan konsistensi tradisi menjadi semacam syarat bagi kestabilan nasionalisme untuk melindungi diri dari pemaksaan budaya kolonial (Bhabha, 2010/1994: 38). Sederhananya, dikotomi esensialis antara Barat dan Timur yang dipraktikkan rezim kolonialisme untuk menjaga hierarki sosial diadaptasi sekaligus dibalikkan oleh subjek poskolonial untuk mengklaim identitasnya sebagai kelompok yang merdeka dari penjajahan. Hasrat tersebut mendapat momen ikoniknya di Indonesia pada masa perang dingin dalam sebuah pidato Sukarno yang gagah menggugat “rock- ’n-’roll-rock’n’rollan, dansi-dansian a la cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak- ngik-ngek gila-gilaan” sebagai bentuk imperialisme kebudayaan. Dalam pidato tahun 1959 tersebut Sukarno berikrar bahwa, “Pemerintah akan melindungi kebudayaan nasional dan membantu berkembangnja kebudayaan nasional” (Soekarno, 1961: 39).

Meski demikian, oposisi biner antara yang terjajah dan yang dijajah dalam

Brigitta Isabella, Hantu Topeng Kelono, Hantu Burung Kasuari dan Hantu Ngung Ngung

kondisi poskolonial tidak sehegemonik Pertama, tidak ada kejelasan praktik kolonialisme. Manuver strategi

yang menggambarkan relasi antara budaya Indonesia pascakolonial

kebudayaan daerah dan kebudayaan menunjukkan ambivalensi, yakni

nasional. Apakah kebudayaan bangsa kemenduaan yang di satu sisi terbuka

terdiri dari kebudayaan-kebudayaan pada budaya asing dan di sisi lain tetap

daerah? Atau apakah kebudayaan bangsa berambisi mengklaim budaya asli milik

terdiri dari kebudayaan daerah dan bangsanya. Saya menyebut yang terakhir

kebudayaan nasional (yaitu kebudayaan ini sebagai hasrat narsistik kesaktian

yang mulai ada setelah ide Indonesia Pancasila. Ambivalensi tersebut tertera

sebagai persatuan bangsa muncul di jelas dalam pasal 32 UUD 1945 yang

abad 20)? Kedua, ketidakjelasan ini mengatur soal definisi dan peran

juga mengaburkan persoalan apakah pemerintah dalam kebudayaan nasional,

kebudayaan daerah selalu hanya sebagai berikut:

berkarakter lama dan asli, sementara kebudayaan nasional adalah kebudayaan

Kebudayaan bangsa ialah yang dapat menerima bahan-bahan baru kebudayaan yang timbul sebagai

dari kebudayaan asing. Padahal, banyak buah usaha budinya Rakyat

Indonesia seluruhnya. Kebudayaan jenis kebudayaan daerah lama juga lama dan asli yang terdapat sebagai

menerima bahan-bahan dari kebudayaan puncak-puncak kebudayaan di

asing. Hubungannya dengan poin ketiga; daerah-daerah di seluruh Indonesia,

terhitung sebagai kebudayaan tidak ada defi nisi yang jelas tentang apa

bangsa. Usaha kebudayaan harus itu ‘puncak-puncak kebudayaan.’ Istilah menuju ke arah kemajuan adab,

‘puncak’ juga menyiratkan bahwa budaya budaya dan persatuan, dengan

yang terhitung sebagai milik bangsa tidak menolak bahan-bahan

adalah budaya tinggi yang bersifat statis baru dari kebudayaan asing yang

dapat memperkembangkan atau dan bukan budaya yang berkembang di memperkaya kebudayaan bangsa

seluruh lapisan masyarakat (Yampolsky, sendiri, serta mempertinggi derajat

1995: 703-705).

kemanusiaan bangsa Indonesia.

iii iv

Ketidakjelasan definisi Negara tentang kebudayaan menggambarkan

Natur alamiah teritori bangsa kemenduaan yang di satu sisi produktif,

Indonesia yang mencakup beragam sebab mengindikasikan kenyataan bahwa

ekspresi budaya lokal membuatnya garis pisah antara yang asing dan asli

berhadapan bukan hanya dengan serta yang baru dan lama memang sangat

ambivalensi antara yang disebut sebagai kabur. Di sisi lain, ketidakjelasan ini jadi

kebudayaan asing dan kebudayaan asli bermasalah karena kekaburan dikotomi

tapi juga antara kebudayaan daerah dan tersebut memunculkan kegelisahan

kebudayaan nasional. Phillip Yampolsky ontologis bagi kebutuhan Negara yang

telah mengidentifi kasi ambiguitas yang ingin menstabilkan representasi narasi

terkandung dalam pasal di atas. identitas budaya bangsa Indonesia

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017: 111-135

dalam kurungan wacana keaslian Jodjana, yang hantu tarinya telah identitas Indonesia dan wacana moral

mengusik ketentraman budaya Jawa ‘budaya Ketimuran,’ khususnya ketika

ini? vi

Negara ingin hadir sebagai pengawal Jodjana lahir di Yogyakarta tahun dan pelindung kebudayaan nasional.

1893. Ia adalah anak dari seorang Artikulasi identitas yang enggan terkurung

patih yang memiliki status jabatan dalam dua wacana tersebut direpresi oleh

tinggi di kalangan elit Jawa. Tumbuh di para pemangku otoritas kebudayaan,

lingkungan keraton, Jodjana terbiasa sebagaimana akan ditampakkan oleh

melihat dan mendengar kesenian Jawa hantu-hantu tari yang bergentayangan

yang hidup di sekitarnya. Ketertarikan dalam tulisan ini.

awalnya pada seni datang dari kedekatan Jodjana dengan kakaknya, seorang

Hantu Kelono dan Modernisme Serba

amatir berbakat yang menyukai seni

Salah

musik, tari dan wayang. Jodjana tidak Dalam sebuah rapat yang diadakan

pernah menempuh pendidikan seni Badan Penyelidik Usaha Persiapan

formal. Ia malah sempat beberapa bulan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI) tanggal

mengecap pendidikan hukum di Batavia, 10-14 Juli 1945, masalah kebudayaan

sebelum akhirnya memutuskan untuk nasional bukan perkara genting

melanjutkan studi bisnis di Rotterdam dibanding dengan soal-soal ekonomi,

pada tahun 1914.

politik dan ketatanegaraan dalam usaha Di negeri penjajah, Jodjana pembentukan negara Indonesia. v Akan

bergabung dengan Asosiasi Indies, tetapi, pada rapat tersebut salah seorang

sebuah komunitas pelajar Indonesia di anggota BPUPKI, BKPH Suryohamijoyo

Belanda yang telah berdiri sejak 1908. dari Keraton Surakarta, sempat

Asosiasi ini kerap mengadakan acara menyinggung kegelisahannya tentang

malam kesenian Indies menampilkan perkembangan arah kebudayaan nasional

pertunjukan- pertunjukan kesenian dalam menyongsong. Suryohamijoyo

daerah yang dibawa para pelajar Indonesia dengan sengit menggugat sosok Raden

dalam koper kebudayaan mereka. Acara Mas Jodjana –seorang penari kelahiran

seperti malam kesenian Indies memang Jawa yang melanglang buana di Eropa

bukan kali pertama kesenian Indonesia dan tak pernah pulang sejak perjalanan

dipentaskan di Eropa. Tercatat bahwa studinya ke Belanda pada usia 21 tahun.

sejak akhir abad ke 19, sudah beberapa Menurutnya, Jodjana adalah contoh

kali bunyi gamelan dan tari-tarian Jawa pribadi seni yang telah memerosotkan

mengalun dan mengayun di Eropa. citra budaya asli Indonesia karena

Akan tetapi, pertunjukan- pertunjukan kesenangannya mencampuradukkan

ini dipentaskan untuk melayani agenda warisan budaya tradisional dengan

kolonial dalam kerangka peristiwa ‘World pengaruh asing dari modernisme Barat

Exhibition’ (misalnya di Amsterdam (Cohen, 2010: 137). Siapakah gerangan

tahun 1883, dan di Paris tahun 1889).

Brigitta Isabella, Hantu Topeng Kelono, Hantu Burung Kasuari dan Hantu Ngung Ngung

Para penari dan pemusik hanyalah personalnya dengan mengangkat sosok boneka-boneka kolonial yang dipajang

Kelono sebagai manusia yang bernasib untuk memamerkan kepemilikan

tragis karena tak dapat mengontrol negara Hindia Belanda atas budaya

hasratnya (R.M. Jodjana, 1927: 7 via daerah jajahannya (Bloembergen, 2006).

Cohen, 2010: 116).

Pertunjukan seni para pelajar Indonesia Menurut pengamatan sejarawan di malam kesenian Indies berbeda

dan etnolog, Claire Holt (1981 [1967]: karena pada kesempatan ini mereka

166), karakter dari ekspresi wajah-wajah merupakan subjek otonom yang dapat

penari dalam wayang wong tradisional menentukan sendiri bagaimana ekspresi

biasanya menekankan pada konsistensi kebudayaannya harus ditampilkan

emosi. Terobosan dalam karya dramatari (Cohen, 2010: 111).

Jodjana justru mengandalkan ekspresi Dalam acara-acara malam

wajah untuk menyalurkan tensi dalam kesenian Indies, kesadaran kebangsaan

jalan cerita, sebab ia memperlakukan sudah mulai tampak dalam kemasan

karakter-karakter wayang untuk berbagai macam kesenian dari etnis

menampilkan interpretasi personalnya Jawa, Bugis, Padang dan Sulawesi yang

atas mitologi. Jodjana menyebut bentuk dinarasikan sebagai kesatuan untuk

pertunjukannya sebagai gedanstee menggambarkan keragaman budaya

toneelspel, yaitu dramatari minim dialog Indonesia. Tahun 1916, Jodjana bermain

yang mengandalkan ekspresi wajah dan gamelan dan menampilkan satu-satunya

gerak tubuh.

karya tari solo pada sebuah acara Jodjana juga merancang sendiri malam kesenian, dengan judul Kelono.

kostum pertunjukannya. Rancangannya Apabila kebanyakan pelajar Indonesia

keluar dari pakem kostum tari tradisional mementaskan kebudayaan daerahnya

untuk melengkapi interpretasi visual untuk merepresentasikan identitas

Jodjana atas penekanan karakter kolektif sebagai bangsa Indonesia modern;

pada tiap-tiap tokoh. Ia menyesuaikan penampilan karya tari solo Jodjana bisa

kostumnya dengan konsep spasialitas dilihat sebagai proyeksi individualnya

Barat, misalnya dengan memodifi kasi sebagai seorang seniman modern.

tutup kepala yang ia gunakan untuk Kelono merupakan nomor tari yang

dramatari Arjuna. Menurut Jodjana, paling sering dipentaskan Jodjana dalam

tutup kepala kostum tari tradisional dekade awal perjalanan karirnya. Tokoh

Jawa memiliki karakter dua dimensional Kelono berasal dari cerita Panji yang

yang dipengaruhi oleh wayang kulit digambarkan sebagai seorang raja kejam

(Gambar 1a dan 1b). Dalam pakem yang ingin mendapatkan tunangan

tradisi, seorang penari hanya dapat Panji, Candra Kirana. Dalam Kelono,

melakukan gestur putaran 180 derajat Jodjana tidak sekedar menarasikan

untuk mengimitasi karakter wayang kulit Kelono sebagai seorang tokoh cerita

yang permukaannya datar. Tutup kepala Panji. Ia membubuhkan interpretasi

yang dirancang Jodjana, “mengikuti

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017: 111-135

Gambar 1 & 2. Foto Jodjana yang dipublikasikan dalam leafl et pertunjukan tahun 1937. Sumber foto dari arsip Pierre Estève di Paris, arsip digital dapat diakses di

http://gamelan.free.fr/Jodjaned.htm, terakhir diakses 19 Agustus 2017.

karakter realitas yang plastis dan Jodjana pada tahun 1920. Sebelumnya, menjalin harmoni dengan gerakan dari

Moes sempat belajar piano di Den Haag berbagai sudut ruangan” ( Jodjana, 1927

dan mendalami musik India di bawah via Cohen, 2010: 122).

bimbingan Hazrat Inayat Khan (Cohen, Untuk unsur musik dalam

2010: 118-119).

pertunjukannya Jodjana diketahui Dari kompleksitas hibriditas budaya kerap berkolaborasi dengan musisi,

dalam karya-karya tarinya, dapat salah satunya dengan seorang musisi

dikatakan bahwa tubuh tari Jodjana Sufi bernama Khorshed de Ravalieu.

bukan lagi sekadar media penyampai Dalam suatu kesempatan kolaborasi,

mitologi Jawa yang disakralkan oleh

de Ravalieu mengalunkan lagu-lagu pakem keraton, melainkan situs Asia Selatan bergantian dengan Jodjana

terciptanya identitas hibrid yang terdiri yang menyanyikan tembang-tembang

dari unsur-unsur Jawa, India dan Eropa. Jawa. Pengaruh unsur-unsur ajaran

Hasrat menjadi modern dalam tubuh mistik India dalam alam koreografi

tari Jodjana adalah keinginan untuk Jodjana sangat mungkin dipengaruhi

mewadahi pertemuan antara warisan kuat oleh pemikiran-pemikiran sufi stik

budaya kolektif dengan pengalaman istrinya, Raden Mas Ayou Jodjana,

dan pengetahuan yang ia serap dari seorang perempuan Belanda yang lahir

lingkungan barunya di Belanda. dengan nama Elizabeth Pop. Moes, begitu

Dalam lokasi sosio- historis lintasan panggilan akrab dari suaminya, bertemu

hidup dan karya Jodjana, hibriditasnya

Brigitta Isabella, Hantu Topeng Kelono, Hantu Burung Kasuari dan Hantu Ngung Ngung

yang bersifat intensional (bukan organik 125-126). Pandangan ini merupakan seperti hibriditas budaya di zaman

ciri khas kolonialisme yang patronistik. kuno) menjadi suatu gangguan yang

Jarang terdengar tuntutan semacam mengancam gelora kesadaran anti-

ini diajukan kepada seniman-seniman kolonial, di mana dunia Indonesia dan

modernis Eropa yang mencomot unsur- dunia Belanda dipisahkan secara tegas

unsur oriental untuk karya-karyanya. sebagai dua kutub yang berlawanan.

Di kepala sebagian besar kritikus Kegelisahan ontologis yang menjangkiti

konservatif Eropa kala itu, Barat dianggap BKPH Suryohamijoyo terhadap Jodjana

sebagai kebudayaan yang dinamis dapat dijelaskan sebagai efek dari

sementara Timur dianggap statis. Praktik keinginan kuat untuk mengontrol

percampuran kebudayaan yang dilakoni pembedaan dikotomis antara yang

Jodjana dipandang sebagai upaya untuk tradisional dan yang modern, yang

menghidupkan kembali tradisi yang Barat dan Timur, yang menjajah dan

hampir mati dan hanya modernisme yang ingin merdeka. Di sini, sentimen

Barat yang dapat menyelamatkanya. nasionalis dioperasikan sebagai sikap

Akar pandangan seperti ini berasal keberpihakan penuh terhadap bangsa

dari pandangan sejarah yang bersifat Indonesia (seperti pernyataan ‘right or

teleologis (memiliki awal dan akhir). wrong it’s my country’) sehingga pada

Dalam kerangka pikir yang diamini baik masa hidupnya, karya-karya ‘blasteran’

oleh Suryohamijoyo maupun kritikus Jodjana yang tidak memihak Barat

konservatif Eropa, menjadi modern maupun Timur dianggap tidak memiliki

berarti menjadi ‘kebarat-kebaratan’ dan kontribusi terhadap perkembangan

konsekuensinya, modernisme seolah- budaya Indonesia.

olah adalah sistem tunggal milik Barat. Sementara itu, kegelisahan ontologis

Efeknya, artikulasi modernisme Jodjana yang serupa juga tercetak dalam tubuh

hanya dianggap sebagai modernisme yang pemikiran kebanyakan kritikus Belanda

ikut-ikutan Barat, bukan suatu agensi yang konservatif-tradisionalis. Mirip

subyek yang berhasil menciptakan dialog dengan pandangan Suryohamijoyo,

antara seni tradisi dan seni modern. mereka juga menganggap bahwa karya

Pada tahun 1930-an, walaupun tari Jodjana tidak representatif dalam

nama Jodjana sudah ngetop di Eropa, di menggambarkan Jawa yang ‘asli’. Meski

Indonesia sosoknya tidak begitu dikenal demikian, mereka memberikan apresiasi

kecuali oleh segelintir kalangan elit yang tinggi, walau tujuannya hanya untuk

pernah belajar di Eropa. Sekitar tahun menjastifi kasi superioritas budaya Barat.

1950-an namanya baru mulai dibicarakan, Salah seorang kritikus berpendapat

atau tepatnya diperdebatkan di kalangan bahwa karya semacam yang dihasilkan

intelektual ibukota. vii Debat tentang Jodjana hanya mungkin dihasilkan

Jodjana membuahkan pertanyaan- oleh orang yang memiliki pengalaman

pertanyaan penting tentang relasi antara kosmopolit hidup di Barat (Cohen, 2010:

tradisi dan modernitas. Apakah inovasi

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017: 111-135

tari Jodjana memberi sumbangan bagi bolak balik melintasi dan menerobos perkembangan kebudayaan Indonesia

budaya Timur dan Barat terlalu cepat, atau justru telah merusaknya karena

membuat orang-orang yang ingin menjaga interpretasinya yang terlalu kebarat-

kestabilan dua kutub kebudayaan ragu baratan? Apakah budaya Jawa adalah

untuk menempatkannya dalam kategori artefak budaya yang harus dilestarikan

tertentu. Alhasil, tak ada tempat untuk dan dijaga terus kesakralannya? Ataukah

Jodjana baik di Indonesia maupun di kebudayaan merupakan sesuatu yang

Eropa.

hidup dan terus berubah dalam diri orang Setelah kemerdekaan, kegelisahan Jawa? Jika kebudayaan dapat berubah,

ontologis mulai merayapi Jodjana sampai dimanakah batas perubahan

yang kesulitan menaksir lokasi akar itu dapat dimaklumi? Mungkinkah

identitasnya. Dalam sebuah percakapan modernitas akan menyebabkan hilangnya

dengan Sitor Situmorang, Jodjana warisan tradisi Jawa sama sekali?

menyatakan bahwa ia ingin hidup, Pertanyaan-pertanyaan ini sebetulnya

menari dan mengajar di Indonesia. Akan sudah dimulai sejak polemik kebudayaan

tetapi, kepada lawan bicaranya ia juga tahun 1930-an yang ditandai oleh

merenung dalam sebuah pertanyaan perdebatan antara Sanusi Pane dan

retoris, “Menurut pendapatmu, tempat apa Sutan Takdir Alisjahbana. Pada tahun

yang masih tersisa untukku di Indonesia 1950-an perdebatan-perdebatan serupa

hari ini?” (Situmorang via Cohen, 2010: tak juga mencapai konsensus di kalangan

38). Jodjana tak pernah pulang ke intelektual. viii Kegelisahan yang tersirat

tanah kelahirannya. Ia terasingkan dalam debat antar intelektual ibukota

oleh kemajuan bangsanya sendiri yang mengenai estetika modernisme Jodjana

sudah merdeka, dan barangkali situasi berasal dari ketidakmampuan untuk

ini justru membuatnya gelisah dengan melayani wacana anti-kolonialisme yang

identitasnya sendiri. Ia tahu Belanda digaungkan negara.

bukan rumahnya, tapi juga tak merasa Perjalanan karir Jodjana meredup

akan menemukan tempat di Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia. Di

baru. Hantu Kelono bergentayangan, Eropa, menghidangkan penampil dari

tak punya tempat untuk pulang setelah negara bekas jajahan yang baru saja

puluhan tahun dalam pengembaraan merdeka dan masih dalam suasana

mencari identitas yang entah pernah ia perang terasa tidak tepat secara politis.

temukan.

Sementara, di Indonesia, Jodjana tak pernah diundang tampil mungkin karena

Hantu Burung Kasuari dari Pentas

sentimen nasionalis konservatif yang

Dunia dan Estetika Modern Negara

memandangnya karya-karyanya secara

Merdeka

negatif (Cohen, 2010: 136). Pada masanya, Kesempatan perjalanan ke luar modernisme Jodjana membuatnya

negeri pada era kolonial cenderung berada pada posisi serba salah. Ia

terbatas dinikmati oleh orang-orang yang

Brigitta Isabella, Hantu Topeng Kelono, Hantu Burung Kasuari dan Hantu Ngung Ngung

memiliki koneksi dengan Belanda atau berorientasikan Islam (Nordholt, 2011: oleh segelintir pemuda elit dari kalangan

keraton seperti Jodjana . Kebanyakan Bukan hanya pengalaman dari luar pertunjukan- pertunjukan seni dari

negeri yang berguna. Seperti yang dicatat Indonesia yang ditampilkan di luar

Jennifer Lindsay, para penari dari Solo, negeri ditentukan oleh sokongan agen-

Bandung, Makassar, Medan dan Padang agen kebudayaan kolonial. Situasi ini

juga berkesempatan untuk saling melihat segera berubah ketika Indonesia meraih

dan mempelajari budaya daerah ketika kemerdekaan dari belenggu penjajahan

berpartisipasi dalam misi kebudayaan Belanda. Pertunjukan seni dan budaya di

(2012: 193). Pengalaman-pengalaman panggung internasional merupakan salah

ini kemudian memberi pengaruh bagi satu kanal diplomasi pemerintah untuk

modifikasi dan inovasi dalam karya memperkenalkan Indonesia sebagai

tradisi. Proses kurasi tradisi yang berada bangsa baru yang sudah merdeka.

dalam suasana mobilitas dan kecepatan Pertama kali Indonesia mengirim

ini merupakan salah satu pokok dalam delegasinya ke luar negeri ialah untuk

mendefinisikan pengalaman modern ikut serta dalam pameran Kolombo di

tubuh-tubuh tari Indonesia yang sudah Sri Lanka tahun 1952, dengan semangat

ter-desakralisasi. Contoh desakralisasi untuk “mendapat kedudukan serta

ini misalnya, untuk dapat menjadi penghargaan dari dunia.” ix Selanjutnya

tontonan yang menghibur di dunia pada tahun 1950an sampai 1960an

internasional banyak tarian-tarian yang diketahui bahwa pemerintah sangat aktif

dipotong durasi pertunjukkan atau mengirim delegasi seniman dan penari

dikurangi jumlah penarinya karena Indonesia ke penjuru dunia.

persoalan logistik perjalanan. Perjalanan para seniman Indonesia

Pengayaan khazanah inovasi tari ke luar negeri sebagai manusia merdeka

yang berlangsung dalam pertunjukan memungkinkan mereka lebih leluasa

misi kebudayaan terbaca dalam biografi untuk melihat atau mengenal kebudayaan

tari Merak karya Irawati Durban Ardjo dari tempat-tempat yang dikunjungi.

(Gambar 3). Perempuan kelahiran Sumber referensi untuk pengembangan

Bandung tahun 1943 ini merupakan kebudayaan lantas menjadi lebih kaya.

salah satu penari yang kerap mengikuti Dari rute-rute diplomasi budaya yang

rombongan tari dalam misi kebudayaan dilintasinya, seniman-seniman Indonesia

tahun 1950-an - 1960-an. Sewaktu menjumpai beragam model modernitas

kecil, ia belajar tari ballet dari seorang yang diserap untuk menciptakan

guru Italia bernama Gina Meloncelli. identitas Indonesia modern. Eropa

Sementara pelajaran awal tari Sunda sebagai pusat digantikan oleh Amerika,

ia dapat dari siaran Radio Republik sementara Tiongkok menjadi model

Indonesia yang memutarkan rekaman alternatif modernitas sosial dan Mesir

instruksi tari diiringi lantunan gamelan. menawarkan model modernitas yang

Irawati kemudian memperdalam seni tari

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017: 111-135

tari Merak dengan mengambil kosa gerak yang terpengaruh dari beragam jenis seni tari. x Misalnya, langkah keupat dalam tari Sunda Sulintang dicampurkan dengan gerakan menyerupai burung yang diambil dari tari Sunda, Bali dan ballet sehingga tercipta langkah keupat merak. Irawati juga menambahkan gerakan yang rancak dari tari Kaswari yang dilihatnya di Paviliun Afrika Selatan saat ia turut berpartisipasi sebagai delegasi tari dalam New York Fair tahun 1964 (Ardjo, 2012: 414). Tari Merak Irawati agaknya menubuhkan klaim seniman-seniman penandatangan Surat

Kepercayaan Gelanggang tahun 1950 yang memproklamirkan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia.”

Selain Tari Merak yang menyerap Gambar 3. Irawati Durban Ardjo dalam

berbagai kosa gerak dari perjalanan kostum tari Topeng Koncaran di Hotel

misi kebudayaan, menurut Irawati Savoy Homann, Bandung 1958. Sumber

foto dari koleksi Irawati Durban Ardjo, Durban Ardjo (2005: 418), banyak dicuplik dari ilustrasi dalam artikelnya

juga tarian-tarian kreasi baru yang “New Sundanese dance for new stages”

dalam Jennifer Lindsay (eds.), Heirs To dibuat dengan tema ‘rakyat’ dan ‘kerja,’

World Culture. Leiden: KITLV Press, 2012, antara lain karena kedekatan beberapa hlm. 404.

sanggar dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). xi Dapat dikatakan bahwa pada Raden Tjetje Soemantri di Badan

formasi identitas budaya nasional yang Kesenian Indonesia (Ardjo, 2012: 399).

dikonstruksi dalam kerangka mobilitas Tari Merak pertama kali diciptakan

misi kebudayaan Indonesia bukanlah Tjetje Soemantri. Gerak alamiah merak

penampilan kesenian yang sudah jelas jantan yang mengembangkan bulu

dan pasti bentuknya. Ia melainkan, ekornya untuk menarik perhatian merak

“merupakan suatu proses aktual yang betina merupakan inspirasi Tjetje dalam

menempa dan mengeskpresikan identitas menciptakan tarian ini. Irawati, meski

yang nasional sekaligus internasional” kagum dan hormat pada gurunya,

(Lindsay, 2012: 198).

merasa bahwa koreografi Tjetje belum Kita dapat menyebut inovasi-inovasi mampu menangkap inti gerak burung

dalam tari tradisi yang dibuat untuk merak. Ia kemudian menciptakan ulang

misi- misi kebudayaan 1950-an sebagai

Brigitta Isabella, Hantu Topeng Kelono, Hantu Burung Kasuari dan Hantu Ngung Ngung

reinkarnasi rumit dari modernitas karya- mencerminkan kebudayaan Indonesia karya Jodjana yang akhirnya mendapat

baru. Fokus Depdikbud lebih ditujukan restu dalam kerangka nasionalisme.

pada kebudayaan daerah, dengan Semangat kebaruan yang terpendam

program-program inventarisasi seni dalam koreografi modern Jodjana dulu

dan pembinaan yang menjangkau level dianggap mengganggu kemapanan

propinsi sampai desa (Yampolsky, 1995: budaya Jawa otentik. Sebaliknya, tari

701-702).

Merak ciptaan Irawati Durban Ardjo Dalam misi- misi kebudayaan era mendapat apresiasi tinggi dan menjadi

Orba, Rachmi Diyah Larasati, seorang salah satu tari unggulan dalam misi-

sarjana tari yang juga pernah ikut misi kebudayaan Indonesia. Oleh karena

dalam rombongan tari misi kebudayaan sangat populer, tari Merak banyak

Indonesia, mengamati bahwa jenis ditampilkan sebagai hiburan dalam

tarian yang ditampilkan pada panggung acara pernikahan. Tahun 2006, Dinas

diplomasi kebanyakan berasal dari tradisi Kebudayaan dan Pariwisata bahkan

keraton Jawa dan Bali. Tidak ada lagi menobatkan tari Merak sebagai ikon

inovasi tari-tari yang mengambil inspirasi pariwisata Jawa Barat (Ardjo, 2012:

dari kehidupan sehari-hari sebagaimana 415).

yang banyak terjadi pada tahun 1960-an. Persoalan muncul ketika kini dalam

Menurut Rachmi, penampilan jenis-jenis pencarian informasi di Internet tari

tarian yang berjarak dengan keseharian Merak lebih umum disebut sebagai

hidup masyarakat Indonesia dipilih tari tradisional. Wacana keaslian yang

untuk melanggengkan simbol otentik digaungkan oleh pemerintah juga

status kekuasaan ‘monarki’ Suharto. membuat unsur-unsur asing tak pernah

Selain itu, Rachmi berpendapat bahwa terurai terang-terangan dalam narasi

karakter tarian-tarian keraton memang resmi biografi tari Merak. Keabaian

lebih spektakuler (baca: eksotik) secara pengetahuan umum atas sejarah tari

visual sehingga berkesuaian dengan Merak telah melucuti modernitas

tujuan negara yang ingin menarik yang melekat dalam biografi tari ini.

perhatian turis untuk mengunjungi Kebijakan pemerintah Orde Baru sejak

Indonesia indah (2013: 41-45). Dalam Repelita 1974 yang gencar menggali,

hal ini, tari Merak berakhir masuk dalam memupuk, membina, melestariken, dan

token kekayaan budaya daerah yang menyelamatken kebudayaan daerah

spektakuler ala estetika Orba karena dengan basis mantra kesaktian

keindahan gerak dan kostum yang Pancasila semakin melanggengkan

ditampilkannya.

salah kaprah pemahaman umum Dengan visi kebijakan Depdikbud tentang tari tradisional. Yampolsky

era Orde Baru, kebudayaan kembali mencatat bahwa program-program

disakralkan dan dijadikan statis agar Depdikbud pada era Orde Baru kurang

dapat dilestarikan dan direplikasi. mendorong penciptaan karya seni yang

Tepat seperti yang ditulis Benedict

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017: 111-135

Anderson tentang miniaturisasi budaya dari Ubud. Kala itu, jumlah penduduk dalam Taman Mini Indonesia Indah,

di Banjar Teges hanya sekitar 75 kepala imajinasi ke-Indonesia-an Orde Baru,

keluarga yang semuanya berasal dari “dirancang untuk menyingkap esensi

kasta sudra. Berbeda dengan Denpasar dan keberlanjutan budaya, bukan

yang sudah mulai dieksploitasi oleh untuk menampilkan rekaman nyata

industri pariwisata, Banjar Teges masih dan perubahan yang terjadi di dalamnya”

“murni,” dalam pengertian bahwa (Anderson, 1990: 182). Dalam kurungan

kebanyakan orang di sana bekerja sebagai visi kebijakan semacam inilah hantu

buruh tani dan rata-rata buta huruf. burung Kasuari dari Afrika Selatan mulai

Saking miskinnya, selama kira-kira 30 bergentayangan. Kompleksitas biografi

tahun tidak ada aktivitas kesenian di tari Merak disederhanakan secara

Teges. Baru pada tahun 1967, I Wayan esensialis sebagai tarian asli dari Jawa

Sudra—semacam ketua RT di banjar itu Barat. Hantu burung Kasuari ngedon

berinisiatif meminjam gamelan dari Puri di dalam tubuh tradisi yang megap-

Peliatan untuk menghidupkan kembali megap minta dilestarikan. Kehadirannya

kesenian di Teges (Massardi: 1978: 39). menghantui kemurnian kisah epik

Narasi dalam Cak Tarian Rina lahirnya tari burung Merak.

mengambil kisah pertempuran Subali dan Sugriwa dalam epos Ramayana.

Hantu ngung ngung ngung cakcakcak

Rina adalah nama salah seorang bocah

dan Moralisme Pancasila, I love you

berusia 4 tahun yang ikut menari. Ketika

full

Cak Tarian Rina akan diboyong Sardono Represi esensialisme yang

untuk pentas di Jakarta tahun 1972, mengurung hantu burung Kasuari

sebuah badan seni tertinggi di Bali, dalam wacana identitas nasional tidak

Listibya, tiba-tiba mengeluarkan surat sedahsyat yang harus dialami hantu

larangan yang tidak mengizinkan Cak ngung ngung ngung cakcakcak. Suara

Tarian Rina keluar dari Bali. Larangan asing ngung ngung ngung cakcakcak

ini bisa jadi disebabkan karena beberapa saya pinjam dari cerpen Danarto yang

hari sebelumnya terbit sebuah berita di judulnya berupa tulisan ngung dan

Bali Post berjudul “Eksperimen Kecak cak sebanyak tujuh kali pada sebuah

Telanjang” yang memancing kemarahan paranada notasi Barat. Akan saya

masyarakat Bali. Artikel tersebut memberi jelaskan di belakang bagaimana cerpen

kesan bahwa puluhan orang menari cak Danarto ini seperti bersahut-sahutan

sembari telanjang, meski kenyataannya dengan Cak Tarian Rina.

hanya Badung dan Rina (Gambar 4), dua Cak Tarian Rina merupakan karya

anak kecil yang belum sekolah, menari koreografi yang diciptakan Sardono

telanjang seperti laiknya sehari-hari Waluyo Kusumo tahun 1972. Lokus

anak kecil di desa (Kusumo, 2004: 2-3). inspirasi tarian ini berasal dari Banjar

Di sini, hantu Topeng Kelono seperti Teges Kanginan yang terletak 2 kilometer

bergentayangan mengitari Sardono.

Brigitta Isabella, Hantu Topeng Kelono, Hantu Burung Kasuari dan Hantu Ngung Ngung

tari kecak gubahan Limbak dan Spies menjadi atraksi turis yang populer ketika seorang pengusaha bernama I Nengah Murdaya dari desa Bona membentuk kelompok tari Kecak-nya sendiri dan menjajakan pertunjukannya ke agen- agen pariwisata (Steputtat, 2012: 51, 57). Pada era Orde Baru, seiringan dengan dibangunnya bandar udara Ngurah Rai pada tahun 1969 untuk mendorong

industri turisme Bali, tari Kecak menjadi ikon pariwisata populer yang sekaligus dinyatakan sebagai ‘tarian sakral’ oleh Lembaga Kesenian Bali. Jika menilik secara kritis biografi tari Kecak, tidak jelas kesakralan mana yang tengah dilindungi para pengamat seni Bali ketika menolak

Gambar 4. Anak-anak Teges, dari kiri ke kanan: Ateng, Rina, Badung dan Nyoman.

Cak Tarian Rina. Bisa dibilang bahwa Sumber foto dicuplik dari dalam buku

dalam kasus pelarangan Cak Tarian Rina Sardono W. Kusumo, Hanuman, Tarzan,

para pemangku otoritas kebudayaan Homo Erectus. Jakarta: Ku/bu/ku, 2004,

hlm, 28 bersembunyi di balik wacana moralitas ketimuran ortodoks yang abai sejarah.

Sumber keberatan para pengamat Antipati para pejabat seni Bali yang seni ini serupa berasal dari keabaian

konservatif tak menghentikan Sardono pengetahuan umum atas biografi

untuk mencari sumber inspirasi di khazanah tari Indonesia yang diklaim

Teges. Tahun 1974, ia menggarap salah sebagai “ tradisi.” Kebanyakan akademisi

satu episode dalam cerita Calon Arang bersepakat bahwa tari kecak sebagai

untuk koreografi Dongeng Dari Dirah sebuah genre pertunjukan berakar

yang akan dipentaskan di Paris. Saat dari tarian ritual Sanghyang Dedari

itu, Sardono memegang surat dari Duta yang dipertunjukkan di pura untuk

Besar Indonesia untuk Perancis yang menangkal bala (Steputtat, 2012: 50).

menjamin tidak akan ada pelarangan Pada tahun 1930-an, I Wayan Limbak

lagi dari pejabat seni di Bali. Namun dari desa Bedulu bekerja sama dengan

untuk menghindari suasana sensitif yang pelukis Jerman kelahiran Rusia Walter

disebabkan pelarangan Cak Tarian Rina, Spies yang tinggal di Bali sejak tahun

Sardono memindahkan lokasi latihan di 1927, mulai bereksperimen dengan pola-

desa Kerambitan, kecamatan Tabanan pola kecak untuk menciptakan sebuah

(Sardono, 2004: 24-26). Dongeng Dari pertunjukan baru yang lepas dari tari

Dirah berhasil dipentaskan keliling ke ritual Sanghyang Dedari. Eksperimen

beberapa kota di Eropa dan mampir pula

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017: 111-135

ke Teheran, Iran. Sejak itu nama Sardono tidak ada satupun di antara mereka yang mulai menanjak sebagai koreografer

pernah pakai sendal atau sepatu, sebab penting di Indonesia, dan pamornya ini

memang tidak penting bagi orang-orang melunakkan hati para kritikus konservatif

yang sehari-hari bekerja sebagai buruh yang mencintai tradisi Bali-nya dengan

tani (1978: 116). Sebaliknya, Palgunadi semena-mena. Dapat dilihat demikian

yang orang kota kegirangan belari-lari mengenaskannya, watak inlander kritikus

tanpa sepatu di pematang sawah sekitar konservatif yang membutuhkan lisensi

Teges untuk memuaskan dahaga kakinya tepuk tangan dari luar negeri untuk

yang kering melangkah steril di kemajuan mengapresiasi karya seorang seniman

jalan beraspal ibukota. Kerinduan pada dari bangsanya sendiri.

alam yang belum diperkosa modernitas Tahun 1976, kali ini dengan restu

barangkali juga dirasakan Sardono yang para ‘pemegang tanggung jawab kulturiil’

mengaku merasa seperti “orang kota Bali, Sardono kembali ke Banjar Teges

yang tak lagi utuh” (Kusumo, 2004: 4). untuk mempersiapkan pentas Cak Tarian

Perasaan Palgunadi dan Sardono Rina yang akan dibawakan dalam Festival

bisa dibilang serupa dengan simptom Seni Shiraz-Persepolis di Iran. xii Hal yang

yang melahirkan wacana Orientalisme sangat menarik, cerita tentang perjalanan

dalam perkembangan modernisme rombongan Cak Tarian Rina ke Iran

Perancis. Hal tersebut adalah “suatu didokumentasikan secara intim dalam

ketakutan terhadap homogenitas dan novel Ding Dong (1978) karya Yudhistira

pengalaman teralineasi yang dirasakan Ardi Noegraha Moelyana Massardi. xiii Oleh

orang-orang Eropa yang hidup di kota- karena keunikan novel yang menurut

kota industrial” (Mackenzie, 1995: 62). saya sayang untuk dilewatkan, saya

Perasaan semacam ini membuat orang- akan menghadirkan Palgunadi, tokoh

orang yang hidup di dunia modern rekaan Massardi dalam Ding Dong sebagai

menengok ke Timur; suatu situs pemancar pengimbang analisis dan pembacaan saya

fantasi ketentraman masa lampau yang atas Sardono dan Cak Tarian Rina.

mereka rindukan. Bali merupakan situs Palgunadi diceritakan sebagai

untuk menyalurkan fantasi itu. Bukan seorang wartawan hidung belang yang

hanya oleh turis-turis asing tapi juga diajak Sardono untuk meliput perjalanan

turis-turis lokal seperti Palgunadi atau Cak Tarian Rina ke Iran. xiv Dua bulan

Sardono, yang belakangan pertama kali sebelum keberangkatan 70 warga Teges

datang ke Teges dalam rangka study tour ke Iran, Palgunadi diajak Sardono ke Bali

bersama mahasiswa LPKJ tahun 1971. untuk mencatat dari dekat kelangsungan

Namun demikian, Palgunadi masih seluruh proses pertunjukan. Di sana,

mampu melihat secara kritis bagaimana Palgunadi dibuat terharu oleh kepolosan

fantasi Orientalis mengeksploitasi Bali. warga Teges yang belum terjamah oleh

Fantasi Orientalis ini diproduksi industri modernitas. Warga desa yang akan

pariwisata yang didukung Negara dan berangkat dibuatkan selop kulit karena

dikonsumsi massal oleh gerombolan

Brigitta Isabella, Hantu Topeng Kelono, Hantu Burung Kasuari dan Hantu Ngung Ngung

turis-turis. Di Banjar Teges, Palgunadi . . . sementara peradaban meyaksikan dari dekat bagaimana

modern menuntut perbaikan dan peningkatan tata-kehidupan,

industri cenderamata menciptakan sementara itu pula orang-orang

eksploitasi antar kelas. Para pengrajin Barat atau orang-orang puritan desa membuat patung- patung kayu

menghendaki agar tata-kehidupan dengan upah yang hanya cukup untuk

masyarakat Bali tidak terganggu, alias tidak boleh berubah. Harus

membeli rokok, sementara para pengijon tetap seperti sediakala. Primitif dan

menjualnya dengan harga berlipat-lipat miskin serta feodalistis. Bagaimana (1978: 61). Begini kata Palgunadi pada

ini? (1978: 73)

seorang gadis bule yang sedang memilih- milih batik untuk oleh-oleh:

Kritik Palgunadi dijuruskan bukan hanya pada orientalisme yang

Nanti, kalau kamu sudah kembali bergandengan tangan dengan kapitalisme ke negaramu, katakan pada ibu

industri pariwisata. Ia juga menyentil atau kenalan-kenalanmu di sana.

Katakanlah, ini kebudayaan sikap pemerintah Orde Baru terhadap Indonesia. Harganya murah.

“luar negeri” yang sangat terbuka di Khusus untuk turis, bisa dibanting

bidang ekonomi, tapi sangat tertutup di serendah-rendahnya. Sebagai

bidang kebudayaan. Menurut Palgunadi: promosi! Supaya mereka mengenal

kebudayaan negeri ini dan ingin dalam Pancasila kekuatan asing boleh saja ke mari. Soalnya, negeri ini kan

dimanfaatkan, selama menguntungkan memang mengalami kesulitan untuk

terutama dalam “sektor jas dan dasi” memperkenalkan diri pada dunia.

serta “sektor humus dan fulus” (1978: Satu-satunya jalan, ialah dengan

menjualnya. (1978: 72) 216). Dalam hal kebudayaan, kita tahu bahwa kebijakan Orba sibuk memoles-

Seperti yang dilontarkan Palgunadi moles kesenian daerah agar tetap terjaga dengan sarkastik, Sardono dalam bahasa

keeksotikannya.

yang lebih bijak menyebut Teges sebagai Dirinya sendiri pun tidak lolos dari desa yang “kalah perang, terkurung serta

kritik. Palgunadi sinis terhadap posisinya terjepit” (2004: 24). Ia juga mengkritik

sendiri, dan mungkin juga terhadap perkembangan kecak yang semakin

posisi Sardono sebagai golongan kelas komersil dan semakin genit, misalnya

menengah yang datang ke Bali membawa dengan tata kostum yang berlebihan,

bagasi pengetahuan ala “intelektuil” luar masuknya unsur-unsur ornamentik

negeri. Palgunadi mengakui bahwa ia yang melemahkan ekspresi dan gerak-

masih menggandrungi imajinasi menjadi gerak yang cenderung terlalu naratif

modern yang diproyeksikannya sebagai sehingga menghilangkan unsur magis

bentuk kemajuan ala peradaban bangsa (2004: 23).

Barat. Ia sangat bersemangat pergi ke Palgunadi merefleksikan semua

luar negeri. Luar negeri dalam fantasinya kontradiksi yang dilihatnya di Bali

adalah “Pusat peradaban. Simbol dengan nada gusar:

kemajuan. Kegagahan. Kecermelangan.

Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 02, April 2017: 111-135

Kemewahan. Kemakmuran. Demokrasi serentetan teknik, berputar-putar dan.......” (1978: 14-15). Luar negeri

pada perfeksi unsur-unsur tapi terus lupa akan estetik totalitas.

pula, yang menurut Palgunadi ironisnya (Kayam, 1974: 4)

telah membikin “blingsatan rakyat- rakyat negeri terbelakang” dengan

Di mata Sardono, Eropa tak yang ““Modern”, “Kontemporer”, “Avant

menawarkan kemajuan estetik. Estetika Garde”, “Intelektuil”, dst. dst.” Gongnya

yang total, menurutnya adalah yang kata Palgunadi, “Preklah itu!” (1978:

seni yang polos, langsung datang dari 10).

kehidupan. Ia tidak melihatnya ada Berbeda dengan Palgunadi yang

pada kesenian Eropa yang serba analitis ceritanya belum pernah menginjak Eropa

dan teknis. Seni yang langsung dari dan masih norak membayangkan luar

kehidupan, menurut Sardono, juga negeri, Sardono sudah puas sekaligus

bukan seni happening yang kala itu kecewa dengan semua yang modern,

mutakhir di Eropa Barat dan Amerika kontemporer dan avant-garde di luar

Serikat. Bagi Sardono, seni happening negeri. Selepas mementaskan Dongeng

merupakan pencetusan dangkal yang Dari Dirah di Eropa dan Iran, Umar

tidak menunjukkan kecukupan pergulatan Kayam berbincang dengan Sardono dalam

estetik. Kepolosan total dalam pengertian sebuah kesempatan. Kayam masih ingat,

Sardono ialah strategi penceritaan kembali pertama kali ia bertemu Sardono muda

kehidupan sehari-hari dengan tidak dua belas-tiga belas tahun sebelumnya

mengada-ada (Kayam, 1974: 4). di kamar penyair W.S. Rendra di New

Cak Tarian Rina memungut York. Sardono, dalam ingatan Kayam,

kewajaran gerak hidup sehari-hari di “[M]asih sangat muda, matanya berkilat, Banjar Teges sebagai bahan koreografi tangannya meng-gapai2 ingin meraih

tarinya. Cerita pertarungan Subali Martha Graham” (Kayam, 1974: 4).

dan Sugriwa disuguhkan berbarengan Deskripsi Kayam tentang pribadi Sardono

dengan kewajaran gerak tari anak-anak muda menggambarkan bagaimana

kecil, yang mengingatkan Palgunadi pada dulu sang koreografer masih takjub

gerakan menangkap belut di sawah (1978: dengan kanon-kanon Barat. Akan tetapi,

205). Sesudah Subali mati, kehidupan sepulang dari Eropa, ketakjuban itu

Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN BUDIDAYA "AIR LIUR" SARANG BURUNG WALET ANTARA TEKNIK MODERN DAN TEKNIK KONVENSIONAL (Studi Pada Sarang Burung Burung Walet di Daerah Sidayu Kabupaten Gresik)

6 108 9

“Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang dalam Pelestarian Kesenian Budaya Lokal Topeng Malangan” ( Studi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang )

1 13 38

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

PENGENDALIAN BIAYA PRODUKSI BERBASIS AKTIVITAS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR (Studi Kasus Pada Perusahaan Kopi Burung Jalak di Malang)

2 15 17

UNSUR PORNOGRAFI DALAM FILM HOROR INDONESIA (Analisis Isi Film “Pacar Hantu Perawan” Karya Yoyok Dumprink)

1 22 41

Efisiensi Biaya Usaha Budidaya Sarang Burung Walet di Kabupaten Gresik Tahun 2000

2 8 63

Analisis Merkuri dalam Kosmetik Krim Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphago) yang Diperoleh Melalui Internet

7 46 92

Peranan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Subang Dalam Melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Sarang Burung Walet

0 5 1

Perancangan Kampanye Sosial Dalam Memberikan Informasi Akan Dampak Negatif Pertunjukan Topeng Monyet di Persimpangan Jalan

1 16 50

Pesan nonverbal dalam gerak Tarian Topeng Klana Cirebon : (studi dekskriptif kualitatif mengenai pesan nonverbal dalam geraka Tarian Topeng Klana Cirebon pada pneari di Sanggar Seni Sekar Pandan Kota Cirebon)

0 13 1