Hubungan kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres lansia

HUBUNGAN KEMANDIRIAN DAN DUKUNGAN
SOSIAL DENGAN TINGKAT STRES LANSIA

INDRI HERYANTI PUTRI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
“Hubungan Kemandirian dan Dukungan Sosial dengan Tingkat Stres Lansia”
adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun di suatu perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya orang lain diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian terakhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011


Indri Heryanti Putri
Nim I24052113

ABSTRACT
INDRI HERYANTI PUTRI. The Relationship between Independency and Social
Support with Stress of Elderly. Under guidance of Diah Krisnatuti.
The main purpose of this research was to observe the relation between
independency and social support with stress level of elderly on married and widowed
status. The method of this research was cross sectional study with 66 samples (33
from each married and widowed). Data was analyzed by sample independent T-test,
Mann-Whitney, Spearman correlation, and regression. This research showed that
sample married males is more than females and sample widowed females is more
than males. Males have better emotional independent than females. Independency
has significant correlation with stress level, in which sample with higher independent
level has lower stress level. Social support has no significant correlation with stress.
Independency and social support of elderly was classified as middle level. The
emotion, instrumental and information support of elderly are mostly came from family.
Mean while the self-esteem support came from friend. Stress level of elderly was
classified as low level and was influenced by quantities of children and diseases,

work status and emotion independent. There is no difference about characteristic,
health and physical condition, social support, independency and stress level between
married and widowed sample. But there is difference about gender, work status,
pattern of residence and emotion independent between them.

Keyword: independency, social support, elderly stress.

RINGKASAN
INDRI HERYANTI PUTRI. Hubungan Kemandirian dan Dukungan Sosial dengan
Tingkat Stres Lansia. Dibawah bimbingan ibu Diah Krisnatuti.
Tujuan umum penelitan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
tingkat kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi karakteristik,
kondisi fisik dan kesehatan responden berstatus menikah dan janda/duda, 2)
Mengidentifikasi tingkat stres, tingkat kemandirian dan dukungan sosial
responden berstatus menikah dan janda/duda, 3) Menganalisis hubungan
karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat stres dan tingkat
kemandirian kedua kelompok responden, 4) Menganalisis hubungan dan
pengaruh tingkat kemandirian dan dukungan sosial terhadap tingkat stres kedua
kelompok responden.

Desain penelitian cross sectional study, lokasi di Kota Bogor. Pemilihan
lokasi secara purposive dengan pertimbangan kemudahan menjangkau
responden dan jumlah penduduk lansia terbanyak di Kelurahan Cilendek Barat
(RW 05 dan 12). Penelitian dilakukan selama bulan Juli sampai Desember 2010.
Responden penelitian adalah seseorang berusia 60 tahun ke atas, bertempat
tinggal di Kelurahan Cilendek Barat Kecamatan Bogor Barat baik pria maupun
wanita yang dibedakan berdasarkan status pernikahan lansia saat ini (menikah
atau janda/duda). Pemilihan responden dari masing-masing RW secara cluster
random sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini 66 orang (33 orang
menikah dan 33 orang janda/duda). Data primer diperoleh melalui wawancara
menggunakan kuisioner meliputi: karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik,
tingkat kemandirian, dukungan sosial serta gejala stres responden. Data
sekunder diperoleh dari studi literatur buku, internet dan penelitian sebelumnya
yang berhubungan dengan topik penelitian. Analisis data yang dilakukan uji
korelasi Spearman, uji T-test dan Mann-Whitney serta uji regresi linear berganda.
Hasil penelitian memperlihatkan proporsi terbesar jenis kelamin
responden berstatus menikah (60,6%) laki-laki dan status janda/duda (87,9%)
perempuan. Lebih dari separuh responden pada kategori lansia awal (60-69
tahun). Sepertiga responden tidak tamat SD. Proporsi terbesar responden tidak
bekerja. Jenis pekerjaan responden berstatus menikah (18,2%) sebagai

pedagang/wiraswasta, sementara itu terdapat kesamaan persentase (12,1%)
untuk pembantu dan berdagang pada status janda/duda. Lebih dari separuh
responden berpendapatan kurang dari lima ratus ribu rupiah/bulan. Proporsi
terbesar responden memiliki sumber pendapatan dari bekerja atau pensiunan.
Responden berstatus menikah memiliki persentase yang sama untuk kategori
keluarga sedang (36,4%) dan kecil (36,4%), sedangkan pada status janda/duda
terkategori keluarga sedang (57,6%). Jumlah anak responden berstatus menikah
terkategori sedang (39,4%) dan banyak (39,4%), sedangkan pada status
janda/duda (39,4%) terkategori banyak. Pola tempat tinggal responden terbanyak
tinggal bersama pasangan dan anak atau anak saja. Proporsi terbesar kondisi
kesehatan yaitu memiliki 2 jenis penyakit dengan jenis penyakit terbanyak
diderita adalah darah tinggi pada responden berstatus menikah (48,5%) serta
darah tinggi dan asam urat pada status janda/duda (masing-masing 45,5%).
Lebih dari separuh responden pada kategori tidak sakit secara fisik. Untuk jenis
sakit fisik yang paling banyak dikeluhkan yaitu kaki agak susah jalan jauh.
Persentase terbesar tingkat kemandirian total (menikah (69,7%) dan
janda/duda (48,5%)), kemandirian aktivitas sehari-hari (menikah (54,6%) dan

janda/duda (39,4%)) dan kemandirian interaksi sosial (masing-masing 57,6%)
pada kategori mandiri. Sementara itu responden berstatus menikah terkategori

mandiri secara ekonomi (39,4%) dan sangat mandiri secara emosi (48,5%),
sebaliknya pada status janda/duda yaitu terkategori sangat mandiri secara
ekonomi (36,3%) dan mandiri secara emosi (39,4%). Dukungan sosial total dan
dukungan emosi responden berstatus menikah (total (54,6%) dan emosi (51,5))
terkategori sedang, sementara pada status janda/duda (total (54,5%) dan emosi
(63,6%)) terkategori baik. Dukungan instrumental pada kategori baik (menikah
(87,9%) dan janda/duda (84,9%)), sedangkan dukungan informasi pada kategori
sedang (menikah (48,5%) dan janda/duda (45,5%)). Dukungan penghargaan diri
(self-esteem) responden berstatus menikah (48,5%) terkategori sedang,
sementara pada status janda/duda memiliki persentase yang sama pada kategori
sedang (42,5%) dan baik (42,5%). Sumber dukungan yang dimiliki untuk aspek
emosi (menikah (42,5%) dan janda/duda (46,1%)), instrumental (menikah
(81,2%) dan janda/duda (76,6%)) dan informasi (menikah (46,1%) dan
janda/duda (42,6%)) terbanyak dari keluarga. Sementara sumber dukungan
penghargaan diri, responden berstatus menikah (42,4%) terbanyak dari keluarga
dan teman atau dengan kata lain dari semua pihak, sedangkan pada status
janda/duda (48,5%) sumber dukungan terbanyak diperoleh dari teman. Tingkat
stres responden berstatus menikah (100%) dan berstatus janda/duda (100%)
pada kategori ringan.
Tingkat kemandirian total dan ekonomi lebih baik pada responden

berstatus bekerja. Sementara itu semakin tua responden maka tingkat
kemandirian total, aktivitas sehari-hari dan emosi semakin rendah. Semakin
banyak anak dan sumber pendapatannya dari anak maka tingkat kemandirian
total dan ekonomi semakin rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka
kemandirian emosi semakin baik, responden laki-laki memiliki kemandrian emosi
lebih baik. Semakin buruk kondisi kesehatan dan semakin tua usia responden
maka semakin tinggi tingkat stresnya.
Dari hasil uji hubungan diketahui pula bahwa kemandirian berhubungan
nyata dan negatif dengan tingkat stres, sedangkan tidak terdapat hubungan
nyata antara dukungan sosial dengan tingkat stres responden. Tingkat stres
dalam penelitian ini dipengaruhi kemandirian emosi, jumlah anak, status
pekerjaan dan jumlah penyakit. Jumlah anak dan kemandirian emosi
berpengaruh nyata dan negatif dengan tingkat stres. Status pekerjaan dan
jumlah penyakit berpengaruh nyata dan positif dengan tingkat stres responden.
Hasil T-test dan Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata
antara responden berstatus menikah dan janda/duda dari segi karakteristik,
kondisi kesehatan dan fisik, tingkat kemandirian, dukungan sosial dan tingkat
stres, hanya terdapat perbedaan pada status pekerjaan, jenis kelamin, pola
tempat tinggal dan kemandirian emosi responden.
Berdasarkan hasil penelitian maka diharapkan untuk dilakukan

pemberdayaan lansia dengan membentuk kelompok pelatihan usaha mandiri dan
upaya preventif kesehatan (olah raga dan penyuluhan gizi lansia) oleh para
kader POSBINDU dan instansi pemerintah terkait guna menjadikan lansia yang
mandiri dan sejahtera.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan
suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

HUBUNGAN KEMANDIRIAN DAN DUKUNGAN SOSIAL
DENGAN TINGKAT STRES LANSIA


INDRI HERYANTI PUTRI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Sains pada
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

: HUBUNGAN KEMANDIRIAN DAN DUKUNGAN SOSIAL

DENGAN TINGKAT STRES LANSIA

Nama Mahasiswa : Indri Heryanti Putri
Nim

: I24052113

Menyetujui :
Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS.
NIP. 19601007 198503 2 001

Mengetahui :
Ketua Departemen IKK,

Dr. Ir. Hartoyo, MSc
NIP. 19630714 198703 1002

Tanggal Ujian :


Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dalam
kehidupan ini yang telah memberikan segala kenikmatan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “ Hubungan Kemandirian dan
Dukungan Sosial dengan Tingkat Stres Lansia” dapat terselesaikan dengan
baik. Skripsi ini disusun guna melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh
gelar sarjana S-1 Jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Disadari dalam penulisan skripsi ini banyak kesulitan yang dihadapi,
namun dengan adanya bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan keluarga atas semua
dorongan dan semangat yang telah diberikan. Penulis juga ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ir. M.D. Djamaludin, M.Sc selaku Dosen pembimbing akademik yang
selama tiga tahun di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan motivasi

kepada saya.
2. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS selaku Dosen pembimbing skripsi yang
bersedia

meluangkan

waktunya

selama

masa

perkuliahan

untuk

membimbing saya.
3. Dr.Ir. Herien Puspitawati MSc, MSc dan Alfiasari, SP, MSi selaku Dosen
penguji atas saran dan masukan yang diberikan.
4. Tin Herawati, SP., M. Si selaku pembimbing seminar yang bersedia untuk
meluangkan waktunya memandu seminar sehingga dapat berjalan
dengan baik.
5. Seluruh staf pengajar IKK atas segala ilmu dan bantuannya selama
perkuliahan dan seluruh staf pegawai Fakultas Ekologi Manusia IPB yang
telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam
penyelesaian skripsi ini.
6. Mardiana Rusman dan Elfi Kusumaardiati yang telah membantu dan
membimbing, juga memberi saran-saran serta kesabaran kepada saya
dalam merampungkan penelitian ini hingga selesai.

7. Rekan-rekan IKK 42, Dini, Tika, Anne, Sri, Endah, Asroheni, Eka WL dll,
yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu disini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan segala kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan skripsi
penelitian ini menjadi lebih baik lagi. Atas perhatian serta kritik dan saran yang
diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Maret 2011
Penulis

Indri Heryanti Putri

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat pada Tanggal 9 Agustus
1987. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga bapak
Boy Ahmad Biran dan Ibu Wahyu Handayani. Pendidikan dasar (SD) pada tahun
1993 hingga tahun 1996 di SD Angkasa 2 Bogor dan melanjutkan lagi di SDN
Cideng 09 pagi Cilamaya Jakarta Pusat dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun
yang sama, tahun 1999 penulis melanjutkan lagi sekolahnya ke jenjang
pendidikan tingkat menengah pertama di SLTP Negeri 94 Jakarta sampai tahun
2002. Setelah itu penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di
SMU Negeri 2 Bogor sampai dengan tahun 2005. Penulis diterima sebagai
mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi
Manusia pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis diterima menjadi mahasiswa
Departemen Ilmu Kleuarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI. ................................................................................................

v

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................

ix

PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................
Perumusan Masalah .......................................................................
Tujuan Penelitian ............................................................................
Kegunaan Penelitian .......................................................................

1
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Kemandirian ....................................................................................
Dukungan Sosial .............................................................................
Stres ...............................................................................................
Lansia . ............................................................................................

7
10
15
21

KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................

27

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu ............................................................
Cara Pemilihan Contoh....................................................................
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................
Pengolahan dan Analisis Data.........................................................
Definisi Operasional.........................................................................

31
31
32
33
37

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................
Karakteristik Responden..................................................................
Kondisi Kesehatan dan Fisik ..........................................................
Tingkat Kemandirian ........................................................................
Dukungan Sosial..............................................................................
Tingkat Stres....................................................................................
Hubungan Antar Variabel ................................................................

39
40
47
51
55
61
63

KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................

71

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

73

LAMPIRAN. .................................................................................................

77

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data primer dan data sekunder serta cara pengumpulannya .................. 32
2 Data hasil uji reliabilitas ............................................................................. 33
3 Data dan cara pengolahannya................................................................... 33
4 Data sebaran responden berdasarkan jenis kelamin ................................ 40
5 Data sebaran responden berdasarkan usia............................................... 41
6 Data sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ........................ 42
7 Data sebaran responden berdasarkan status pekerjaan .......................... 43
8 Data sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan ............................. 43
9 Data sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan....................... 44
10 Data sebaran responden berdasarkan sumber pendapatan ..................... 45
11 Data sebaran responden berdasarkan besar keluarga ............................ 46
12 Data sebaran responden berdasarkan jumlah anak .................................. 46
13 Data sebaran responden berdasarkan pola tempat tinggal ....................... 47
14 Data sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan penyakit............... 48
15 Data sebaran responden berdasarkan jenis penyakit ............................... 49
16 Data sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan fisik ...................... 50
17 Data sebaran responden berdasarkan jenis keluhan fisik ......................... 51
18 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian aktivitas sehari-hari .. 52
19 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian ekonomi ................... 52
20 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian emosi ....................... 53
21 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian interaksi sosial ......... 54
22 Data sebaran responden berdasarkan kemandirian total .......................... 55
23 Data sebaran responden berdasarkan dukungan emosi ........................... 56
24 Data sebaran responden berdasarkan dukungan instrumental ................. 57
25 Data sebaran responden berdasarkan dukungan informasi ...................... 57
26 Data sebaran responden berdasarkan dukungan self-esteem .................. 58
27 Data sebaran responden berdasarkan dukungan sosial total ................... 59
28 Data sebaran responden berdasarkan sumber dukungan ........................ 60
29 Data sebaran responden berdasarkan gejala stres ................................... 62
30 Data sebaran responden berdasarkan tingkat stres .................................. 63
31 Data hubungan karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat
kemandirian responden ............................................................................. 64
32 Data hubungan karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat

stres responden ......................................................................................... 65
33 Data hubungan tingkat kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat
stres responden ......................................................................................... 66
34 Data pengaruh tingkat kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat
stres responden ......................................................................................... 68

vii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Model stres ABC-X Hill .............................................................................. 19
2 Model stres resiliensi McCubbin ................................................................ 20
3 Kerangka pemikiran ................................................................................... 29
4 Kerangka pengambilan contoh .................................................................. 31

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Data sebaran responden berdasarkan sumber dukungan sosial per item
stres responden ........................................................................................... 79
2 Data uji hubungan ....................................................................................... 81

ix

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lansia adalah orang berusia lanjut yang dalam beberapa referensi belum
disepakati batasan umurnya. Menurut Connidis (2010), Lansia adalah seseorang
yang berusia sekitar 60 sampai 65 tahun atau lebih. Sementara itu Burnside
(1979) diacu dalam Anitasari (1993) mengatakan batasan lansia didasarkan pada
usia kronologisnya yaitu : young-old (60-69 tahun), middle-age-old (70-79 tahun),
old-old (80-89 tahun) dan very-old-old (lebih dari 90 tahun). Undang-Undang No.
13 tahun 1998 diacu dalam Widyantari (2003) mendefinisikan lanjut usia sebagai
seseorang yang telah mencapai usia 60 (enampuluh) tahun keatas.
Peningkatan pelayanan kesehatan dan membaiknya keadaan ekonomi
pada akhir abad ini membawa dampak pada peningkatan harapan hidup,
sehingga bertambah banyak orang yang akan mencapai usia lanjut (Oswari
1985). Menurut Menkokesra (tanpa tahun), jumlah penduduk lansia di Indonesia
pada tahun 1980 berjumlah 7.998.543 jiwa atau 5,45 persen dari total penduduk
dengan usia harapan hidup sekitar 52,2 tahun, pada tahun 1990 berjumlah
11.277.557 jiwa atau sekitar 6,29 persen dari total penduduk dengan usia
harapan hidup 59,8 tahun, pada tahun 2000 berjumlah 14.439.967 jiwa atau
sekitar 7,18 persen dari total penduduk dengan usia harapan hidup 64,5 tahun,
pada tahun 2006 berjumlah kurang lebih 19 juta jiwa atau 8,9 persen dengan
usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta
atau 9,77 persen dari total penduduk dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan
pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta atau 11,34 persen dengan usia
harapan hidup 71,1 tahun.
Sementara

itu

Sugiri

(2009)

peningkatan jumlah penduduk lanjut usia

berpendapat,

bersamaan

dengan

tersebut membawa implikasi pada

berbagai aspek kehidupan, baik berkeluarga maupun bermasyarakat. Salah
satunya adalah masalah yang berkaitan dengan kehidupan penduduk lansia,
yaitu

beban

ketergantungan

(dependency

ratio)

semakin

besar. Setiap

penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia
lanjut. Wirakartakusuma dan Anwar (1994) diacu dalam Suhartini (2009a)
memperkirakan angka ketergantungan usia lanjut pada tahun 1995 adalah 6,93%
dan tahun 2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa pada tahun 1995 sebanyak
100 penduduk produktif harus menyokong tujuh orang usia lanjut yang berumur

2

65 tahun ke atas sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk produktif
harus menyokong sembilan orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas.
Menjadi tua merupakan suatu proses yang senantiasa mengiringi
kehidupan setiap manusia. Proses menua merupakan proses alami yang pasti
dialami oleh semua makhluk hidup tanpa terkecuali semenjak ia dilahirkan
sampai ia meninggal. Lahir, tumbuh dan menjadi tua merupakan siklus
kehidupan yang wajar dialami manusia, namun dalam proses tersebut terutama
pada usia lanjut diiringi dengan terjadinya perubahan-perubahan kearah
kemunduran.
Kemunduran yang paling pertama dirasakan oleh lansia umumnya adalah
dalam hal fisik. Oswari (1985) mengatakan bahwa pada umur empat puluhan,
biasanya orang masih dapat membaca dengan mata biasa, tetapi setelah itu
sebagian besar orang memerlukan kacamata untuk membaca. Pada umur kirakira 50 tahun alat pengecap mulai pula kehilangan rasa, sedangkan alat pencium
berkurang pada umur kira-kira 60 tahun. Pada umur 60 tahun seseorang hanya
mempunyai 50 persen dari kekuatan otot masa remajanya.
Penurunan kondisi fisik lanjut usia berpengaruh pada kondisi psikis.
Dengan berubahnya penampilan, menurunnya fungsi panca indra menyebabkan
lanjut usia merasa rendah diri, mudah tersinggung dan merasa tidak berguna
lagi. Kondisi kesehatan mental lanjut usia di Kecamatan Badung Bali
menunjukkan bahwa pada umumnya lanjut usia di daerah tersebut tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari. Lansia merasa tidak senang dan bahagia dalam
masa tuanya, karena berbagai kebutuhan hidup dasar tidak terpenuhi, dan
merasa sangat sedih, sangat kawatir terhadap keadaan lingkungannya. Dalam
sosialisasi terkait urusan di masyarakat kurang aktif (Suryani 1999 diacu dalam
Suhartini 2009a).
Berbagai kemunduran yang dialami lanjut usia dalam proses menuju tua
menjadikan lansia menjadi terbatas dalam melakukan aktifitasnya dan cenderung
tergantung

dengan

orang

lain.

Hurlock

(1980)

mengatakan

bahwa

ketergantungan lansia pada orang lain membuat lansia menjadi merasa tidak
berguna dan terbatas segala aktivitasnya, sehingga akan dapat mendatangkan
beban metal tersendiri bagi lansia. Untuk lansia yang tidak dapat menyesuaikan
diri dengan berbagai kondisi dalam proses menuanya ini, lambat laun akan
menyebabkan stres. Stres itu sendiri merupakan gejala yang timbul akibat

3

kesenjangan (gap) antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan,
antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi (Utomo 2009).

Perumusan Masalah
Lansia merupakan tahap terakhir kehidupan manusia. Pada tahap ini
pertumbuhan yang terjadi mengarah pada kemunduran. Sesuai Hurlock (1980)
yang mengatakan bahwa perkembangan pada lansia berbeda dengan
perkembangan pada tahap usia lainnya yaitu pada lansia perkembangan yang
terjadi lebih mengarah pada kemunduran.
Disisi lain terjadi perubahan struktur supportif dari lansia dengan mulai
banyaknya perempuan yang umumnya menjadi pengasuh bagi lansia mulai turun
ke dunia kerja sehingga lansia menjadi terabaikan. Oswari (1985) juga
mengatakan perkembangan lansia paling pesat terjadi di negara-negara
berkembang yang umumnya lansia memiliki ekonomi kurang. Suhartini (2009a)
mengatakan bahwa sebagian besar lanjut usia di Kecamatan Jambangan
Surabaya memiliki penghasilan yang rendah.
Sementara itu masih banyak lansia terlantar di Indonesia yang umumnya
tidak memiliki rumah dan pekerjaan. Sementara kebijakan negara berupa ramah
lansia masih kurang dapat menyentuh semua lansia yang ada khususnya bagi
lansia yang masih memiliki keluarga. Karena kebijakan yang ada lebih berfokus
pada lansia-lansia terlantar dan tidak punya sanak saudara. Mundiharno (1994)
diacu dalam Latifah (2000) mengatakan bahwa selama ini perhatian pemerintah
terhadap lanjut usia masih kurang. Hal ini terlihat dari kebijakan pembangunan
yang lebih tertuju pada lanjut usia bermasalah. Karena itu penting kiranya unuk
melihat bagaimana lansia dalam melalui hari-harinya terutama bagi lansia yang
masih memiliki keluarga.
Selain itu permasalahan terbesar yang menimpa lansia adalah masalah
kesehatan, penurunan kondisi fisik dan kesepian. Sehingga penting kiranya
melihat kepemilikan dukungan sosial lansia guna membantu lansia dalam
menyesuaikan diri dengan kondisi tuanya. Menurut Kuntjoro (2002) dukungan
sosial merupakan bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orangorang tertentu dalam kehidupannya dan berada pada lingkungan sosial tertentu
yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai.
Sementara berdasarkan kepada berbagai kemunduran yang dialami
lansia maka penting juga untuk mengetahui tingkat kemandirian lansia merujuk

4

pada kemunduran dan keterbatasan yang dimiliki lansia. Kemandirian sendiri
menurut Mu’tadin (2002) merupakan kemampuan seseorang untuk tidak
tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang
dilakukannya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penting kiranya bagi peneliti untuk
melakukan penelitian terkait dengan :
1. Bagaimana karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik lansia?
2. Bagaimana tingkat kemandirian, kepemilikan dukungan sosial dan tingkat
stres lansia seiring dengan terjadinya berbagai kemunduran yang
menyertai proses penuaannya?
3. Apakah hubungan karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik lansia
terhadap kemandirian dan tingkat stresnya pada lansia?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat stres lansia?

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Adapun tujuan umum dari penelitan ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara kemandirian dan kepemilikkan dukungan sosial dengan tingkat
stres pada lanjut usia.

Tujuan Khusus :
1. Mengidentifikasi karakteristik, kondisi kesehatan dan fisik responden yang
berstatus menikah dan berstatus janda/duda.
2. Mengidentifikasi

kemandirian,

dukungan

sosial

dan

tingkat

stres

responden yang berstatus menikah dan berstatus janda/duda.
3. Menganalisis hubungan karakteristik dan kondisi kesehatan serta fisik
terhadap kemandirian dan tingkat stres kedua kelompok responden.
4. Menganalisis hubungan dan pengaruh kemandirian dan dukungan sosial
terhadap tingkat stres kedua kelompok responden.

Kegunaan Penelitian
1. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran kepada
masyarakat mengenai tingkat kemandirian lansia, dukungan sosial yang
diterima lansia dan tingkat stres pada lansia. Selain itu juga hubungan

5

dari tingkat kemandirian, dukungan sosial yang diterima dengan tingkat
stres lansia. Sehingga diharapkan bagi para keluarga yang memiliki
anggota lansia dapat menjadi sumber informasi untuk melakukan upaya
preventif dan promotif kesejahteraan dan kebahagian lansia.
2. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan lansia khususnya terkait kemandirian,
dukungan sosial dan tingkat stres lansia. Ataupun sebagai rujukkan bagi
penelitian lanjutan dengan mengembangkan variabel-variabel yang sudah
diteliti.
3. Bagi pemerintah dan instansi terkait
Diharapkan juga penelitian ini akan dapat memberikan informasi kepada
pemerintah sebagai referensi dalam penentuan kebijakan selanjutnya
dalam permasalahan lansia mengingat Indonesia saat ini sedang
memasuki negara berstrukstur lanjut usia.

TINJAUAN PUSTAKA
Kemandirian
Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Assocciation)
menemukan bahwa salah satu dari empat kebutuhan psikologis tergantung yang
membuat manusia bahagia adalah autonomy atau kemandirian, yaitu rasa bahwa
apa yang dikerjakan adalah pilihan dan diperjuangkan oleh diri sendiri (Agussabti
2002, diacu dalam Priana 2004). Budi (2008) mendefinisikan kemandirian
sebagai kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri
atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan
kapasitasnya. Mandiri menurut Mu’tadin (2002) merupakan kemampuan
seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas
apa yang dilakukannya.
Dari pendapat beberapa ahli, Ruhidawati (2005) mengartikan kemandirian
merupakan suatu keadaan dimana seorang individu memiliki kemauan dan
kemampuan berupaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya secara
sah, wajar dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya,
namun demikian tidak berarti bahwa orang yang mandiri bebas lepas tidak
memiliki kaitan dengan orang lain. Mu’tadin (2002) juga mengatakan bahwa
untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan
dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat mencapai
otonomi atas diri sendiri
Kemandirian pada lansia menurut Snowdon et al. (1989) dapat
dipengaruhi oleh pendidikan lansia, dipengaruhi juga oleh gangguan sensori
khususnya penglihatan dan pendengaran (Raina et al. 2004), dipengaruhi oleh
penurunan dalam kemampuan fungsional (Verbrugge et al. 1997, diacu dalam
Mathieson et al. 2002), dan dipengaruhi pula oleh kemampuan fungsi kognitif
lansia yang juga menurun (Greiner et al. 1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa
dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan mampu mempertahankan
hidupnya lebih lama dan bersamaan dengan itu dapat mempertahankan
kemampuan fungsional/kemandiriannya juga lebih lama karena cenderung
melakukan pemeliharaan dan upaya pencegahan pada kesehatannya (Snowdon
et al. 1989; (Pinsky et al. 1987; Haug et al. 1987; Willey et al. 1987; National
Center for Health Statistics 1981, 1988), diacu dalam Snowdon et al. 1989).

8

Raina et al. (2004) dalam penelitiannya mendefinisikan kemandirian
fungsional pada lansia dengan mengukur keterbatasan aktivitas instrumental
sehari-hari (IADL: instrumental activity daily living), kesejahteraan emosi lansia
dan persepsi terhadap kontrol pengambilan keputusan sehari-hari. Sementara itu
Verbrugge et al. (1997) diacu dalam Mathieson et al. (2002) mengatakan bahwa
lansia sering mengalami penurunan dalam kemampuan fungsional dan
mengalami kesulitan yang lebih besar dalam melakukan tugas sehari-hari.
Mathieson et al. (2002) dalam penelitiannya mengukur kemandirian lansia
dengan melihat kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari berupa
aktivitas dasar (BADLs/ basic activities of daily living), aktivitas dalam
berpindah/bergerak (MADLs/ mobility activities of daily Living) dan dalam hal
penggunaan alat-alat (IADLs/ instrumental activities of daily Living).
Setiati (2000) diacu dalam Suhartini (2009b) juga mengatakan bahwa
kualitas hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari. Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) menurut Setiati
(2000) ada 2 yaitu AKS standar dan AKS instrumental. AKS standard meliputi
kemampuan merawat diri seperti makan, berpakaian, buang air besar/kecil,dan
mandi. AKS instrumental meliputi aktivitas yang komplek seperti memasak,
mencuci, menggunakan telepon, dan menggunakan uang. Salah satu kriteria
orang mandiri adalah dapat mengaktualisasikan dirinya (self actualized) tidak
menggantungkan kepuasan-kepuasan utama pada lingkungan dan kepada orang
lain. Mereka lebih tergantung pada potensi-potensi mereka sendiri bagi
perkembangan dan kelangsungan pertumbuhannya.
Selain itu Greiner et al. (1996) dalam penelitiannya mengatakan bahwa
terjadi peningkatan resiko kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari (ADL) pada lansia dengan fungsi kognitif yang menurun. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kehilangan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari dapat
diantisipasi dan dicegah dengan mekanisme dukungan sosial dan pelatihan
secara fisik (Greiner et al. 1996).
Adapun kriteria orang yang mandiri menurut Koswara (1991) diacu dalam
Suhartini (2009) adalah mempunyai (1) kemantapan relatif terhadap pukulanpukulan, goncangan-goncangan atau frustasi, (2) kemampuan mempertahankan
ketenangan jiwa, (3) kadar arah yang tinggi, (4) agen yang merdeka, (5) aktif
dan, (6) bertanggung jawab. Lanjut usia yang mandiri dapat menghindari diri dari

9

penghormatan, status, prestise dan popularitas kepuasan yang berasal dari luar
diri mereka anggap kurang penting dibandingkan dengan pertumbuhan diri.
Havighurst (1972) diacu dalam Mu’tadin (2002) menjelaskan bahwa
kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu:


Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan
tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain.



Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi
dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.



Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi.



Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari
orang lain.
Aktivitas sehari-hari dalam penelitian Greiner et al. (1996) meliputi

aktivitas kekamar mandi (bathing), mengenakan pakaian (dressing), berjalan
(walking), berdiri (standing), kekamar kecil (toileting) dan pemberian makanan
(feeding). Sementara itu Hurlock (1980) mengatakan bahwa ketergantungan
orangtua dalam hal ekonomi khususnya bagi lansia pria merupakan pil pahit
yang harus diterima lansia dan akan membuat gerak lansia menjadi terbatas baik
secara fisik maupun ekonomi.
Suhartini (2009c) dalam penelitiannya mengukur kemandirian lansia
dengan melihat kemampuan lansia dalam beraktivitas sehari-hari, kemampuan
lansia secara ekonomi dan kemampuan lansia dalam berinteraksi dengan orang
lain dan lingkungan. Sementara itu dalam penelitian ini berdasarkan beberapa
sumber diatas mengukur kemandirian lansia dari empat aspek yaitu kemandirian
aktivitas sehari-hari, kemandirian secara emosi, kemandirian secara ekonomi
dan kemandirian dalam interaksi sosial lansia.
Steinberg (1993) diacu dalam Aspin (2007) mengemukakan pendapat
yang didasari oleh toeri Ann Freud (1958), bahwa kemandirian adalah
permasalahan sepanjang rentang kehidupan, tetapi perkembangan kemandirian
sangat dipengaruhi oleh perubahan fisik yang dapat memacu perubahan
emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara
berpikir yang mendasari tingkah laku dan juga perubahan nilai dalam peran
sosial serta aktivitas.

10

Dukungan Sosial

Hubungan dengan orang lain merupakan kunci yang mendasari
dukungan sosial sebagai pemenuhan semua kebutuhan sosial ((Bowlby 1969;
Weiss 1974), diacu dalam Cutrona 1996). Dukungan sosial didefinisikan sebagai
jalan masuk untuk hubungan yang mempertemukan bebagai macam kebutuhan
dasar interpersonal ((Kaplan et al. 1977; Lin 1986), diacu dalam Cutrona 1996).
Sementara Kaplan et al. (1977) diacu dalam Cutrona (1996) mengatakan definisi
dari dukungan sosial menunjukan kepuasan seseorang terhadap persetujuan,
penghargaan dan pertolongan oleh seseorang yang berarti. Lebih lanjut Cobb
(1979) diacu dalam Cutrona (1996) menjelaskan mengenai konsep dukungan
sosial sebagai petunjuk seseorang untuk percaya bahwa dirinya diperhatikan dan
dicintai, dihargai dan memiliki jaringan yang saling memenuhi kewajibannya.
Cobb (1979) diacu dalam Cutrona (1996) juga mempercayai bahwa relationship
dapat menimbulkan kepercayaan positif masyarakat untuk memulai langkah yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah mereka atau menerima keadaan yang
tidak dapat berubah dengan dapat meminimalisasi kehilangan terhadap
penghargaan dirinya.
Seberapa banyak dukungan sosial anggota keluarga diterima ketika krisis
tergantung pada seberapa banyak dukungan yang mereka berikan dari satu
orang ke orang lain terutama ketika krisis. Pasangan yang memberikan lebih
banyak

dukungan

kepada

anak

mereka

selama

proses

pengasuhan

mendapatkan lebih banyak bantuan ketika mereka tua (Lee et al. 1994, diacu
dalam Galvin et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa komunikasi merupakan
jalan penting untuk berbagi dan menerima kesenangan/kenyamanan hidup
(Galvin et al. 2003), serta merupakan cara untuk mendapatkan dukungan dari
anggota kelompok (Cawyer et al. 1995, diacu dalam Galvin et al. 2003).

Komponen dukungan sosial
Weiss (1974) diacu dalam Cutrona (1996) mengajukan enam fungsi
berbeda dari hubungan dengan sesama manusia yang disebut “the social
provision scale” , yaitu:
1. Attachment
Hubungan dekat/karib yang menyediakan perlindungan dan keamanan.

11

2. Social integration
Perasaan saling memiliki dalam kelompok atau masyarakat dengan
kesamaan ketertarikan dan perhatian.
3. Reassurance of worth
Pengenalan terhadap keahlian dan kecakapan seseorang.
4. Guidance
Penyediaan nasehat dan informasi.
5. Reliable alliance
Pengetahuan bahwa orang lain akan menawarkan bantuan tanpa syarat
ketika dibutuhkan.
6. Opportunity to provide nurturing
Perasaan dibutuhkan untuk kesejahteraan orang lain.

Peran dukungan sosial
Bee (1996) diacu dalam Chandra (2003) mengatakan bahwa dukungan
sosial dapat mengurangi pengaruh negatif dari pengalaman yang menyebabkan
stres diantara para lansia. Murrell et al. (1992) diacu dalam Hertamina (1996)
menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan sumber penting bagi lanjut usia
tidak hanya untuk mencegah melawan stres, tetapi juga untuk meningkatkan
kehidupan lansia. Dukungan sosial juga dapat mengatasi rasa kesepian yang
umumnya dirasakan lansia (Hertamina 1996). Antonnucci (2001) menambahkan
bahwa seseorang yang merasa banyak memiliki dukungan lebih baik dalam
penanggulangan terhadap sakit, stres dan pengalaman yang menyulitkan
lainnya.
Peran dukungan sosial dalam kehidupan seseorang dapat dijelaskan
melalui 2 model (Cutrona 1996; Cohen & Syme 1985), yaitu Main effect model
dan Stress buffering effect model.
1. Main Effect Model
Dukungan sosial dalam model ini tidak berhubungan secara khusus dengan
situasi krisis tetapi merupakan konsep mengenai peningkatan kualitas hidup
untuk terlepas dari tingkat kesulitan. Perspektif ini menekankan dengan
tingginya kualitas dukungan sosial seseorang maka ia akan lebih santai
secara fisik dan mental dalam menghadapi tingkat kesulitan baik rendah
maupun tinggi (Cutrona 1996). Cohen dan Syme (1985) menambahkan
bahwa model ini melihat fungsi dukungan sosial terhadap kesejahteraan dan

12

kesehatan dengan mengabaikan tingkat stres. Dukungan dinilai dari derajat
yang menghubungkan seseorang dengan jaringan sosial.
2. Stres-Buffering Model
Dukungan sosial dalam model ini menekankan pemenuhan kebutuhan yang
muncul sebagai akibat pengalaman hidup (life event) yang penuh stres atau
kejadian yang merugikan. Manfaat utama dari pendekatan ini melindungi
penerima dukungan sosial dari terjadinya kemunduran kesehatan dan
kesejahteraan yang disebabkan oleh tekanan (baru terjadi maupun secara
terus menerus terjadi) atas kejadian yang penuh stres (Cutrona 1996). Dalam
model ini Cohen dan Syme (1985); Cohen dan McKay (1988) mengatakan
dukungan sosial melindungi seseorang dari efek pathogenic untuk kejadian
penuh stres, dengan melibatkan dua point utama yaitu mencegah seseorang
untuk

menginterpretasikan

bahwa

suatu

kejadian

penuh

stres

dan

menanggulangi dampak dari stres yang sudah terjadi dengan mengurangi
atau menghilangkan stres. Manfaat dukungan menggunakan kehadiran dari
stres. Dukungan dinilai dari tersedianya sumber daya sebagai bantuan
kepada seseorang dalam merespon kejadian penuh stres.

Bentuk dukungan sosial
Terdapat empat bentuk dukungan sosial antara lain yaitu emotional
support, esteem support, tangible/instrumental support dan informational support
(Cutrona 1996). Dibawah ini akan dijelaskan setiap dukungan tersebut:
1. Emotional Support (Dukungan Emosi)
Dukungan emosi meliputi ekspresi dari cinta, empati dan perhatian
terhadap individu (Cutrona 1996). Cobb (tanpa tahun) diacu dalam Cohen
dan McKay (1988) mengatakan bahwa dukungan emosi mengurangi stres
melalui perasaan seseorang terhadap kepemilikan cinta dan atau
perasaan dicintai.
2. Esteem Support (Dukungan Penghargaan)
Dukungan penghargaan terbentuk melalui pengakuan terhadap kualitas
seseorang, kepercayaan terhadap kemampuan seseorang, pengakuan
terhadap gagasan seseorang berupa perasaan atau tindakan (Cutrona
1996). Cohen dan McKay (1988) menekankan dukungan ini pada
evaluasi dan perasaan seseorang tentang diri mereka sendiri
3. Informational Support (Dukungan Informasi)

13

Dukungan informasi meliputi memberikan masukan mengenai beritaberita faktual, nasehat, informasi atau perkiraan-perkiraan terhadap
situasi yang terjadi (Cutrona 1996).
4. Instrumental Support (Dukungan Instrumental)
Dukungan instrumental diwujudkan dalam bentuk bantuan atau arahan
dalam mengerjakan tugas atau juga berupa sumber-sumber fisik seperti
uang, barang-barang atau tempat tinggal (Cutrona 1996) atau disebut
juga sumberdaya materi (Cohen dan McKay 1988).

Sumber-sumber dukungan sosial
Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tetapi
mereka memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian bahwa
dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan
masalah seseorang. Hal ini karena individu merupakan bagian dari keluarga,
teman sekolah atau kerja, kegiatan agama ataupun bagian dari kelompok lainnya
(Nursalam 2009).
Sumber-sumber dukungan sosial, antara lain:
1. Keluarga
Keluarga memegang peranan besar dalam pemberian dukungan bagi
individu. Hal ini juga didukung oleh Smolak (1993) diacu dalam Jauhari (2003)
mengatakan bahwa jaringan sosial lansia memiliki porsi yang besar pada
anggota keluarga dan lebih lanjut dikemukakan Antonucci (1985) diacu dalam
Hertamina (1996) bahwa sumber dukungan utama bagi lansia adalah anak-anak
mereka, terutama anak perempuan.
Selain itu pasangan seringkali menjadi orang pertama yang memberikan
dukungan ketika keadaan krisis (( Beach et al. 1993; Blood & Wolfe 1960; Burke
& Weir 1977), diacu dalam Cutrona 1996). Lebih lanjut Antonucci (2001)
mengatakan bahwa pasangan merupakan penyedia dukungan yang istimewa.
Laki-laki maupun perempuan, keduanya merasa lebih nyaman dengan dukungan
dari pasangan mereka. Dukungan dari pasangan lebih disukai untuk dukungan
emosi dan insrumental ((Cantor 1979; Cantor et al. 1994), diacu dalam Antonucci
2001).
Saudara (kakak atau adik) menjadi penyedia penting untuk dukungan
sosial, dan sering kali mereka didorong untuk menjadi penyedia dukungan
instrumental, khususnya bagi lansia yang tidak menikah (Antonucci 2001).

14

Hubungan persaudaraan pada usia tua sangatlah penting karena saudara
merupakan perawat yang potensial (Chappell & Badger 1987, diacu dalam
Connidis 2010), terutama dalam ketiadaan pasangan atau anak sebagai
penyedia bantuan (Cicirelli 1992, diacu dalam Connidis 2010). Lebih lanjut
Connidis (2010) mengatakan saudara perempuan terutama yang tinggal
berdekatan dipandang mempertinggi anggapan bahwa saudara merupakan
sumber bantuan yang potensial.
Saudara secara umum lebih disukai untuk dukungan emosi dan
instrumental pada lansia perempuan dibandingkan pada lansia laki-laki
((Campbell et al. 1999; Minner & Uhlenberg 1997), diacu dalam Connidis 2010).
Minner dan Uhlenberg (1997) diacu dalam Connidis (2010) juga mengatakan
bahwa saudara lebih aktif dalam menyediakan dukungan emosi dibandingkan
dukungan instrumental.
Berbagai faktor membuat keluarga merupakan tempat yang terbaik untuk
peran dukungan, yaitu: keluarga menghargai kelanjutan hidup dari anggota
keluarga yang berusia lanjut. Anggota keluarga yang tua memiliki sejarah
biopsikososial dari fungsi, kepribadian dan kesehatan. Diatas semua itu, keluarga
lebih dapat menghargai kelanjutan dari kebiasaan, tingkah laku khas, kesukaan
dan rutinitas sehari-hari yang dilakukan lansia dari pada orang lain yang bukan
keluarga. Disamping itu keluarga juga mengetahui latar belakang cara berpikir,
ketertarikan intelektual dan kemampuan dari anggota keluarga yang berusia
lanjut (Eyde dan Reich 1983, diacu dalam Hertamina 1996).

2. Teman atau sahabat
Teman secara umum menunjukkan peran unik dan penting dalam
kehidupan lansia (Adams & Blieszner 1994, diacu dalam Antonucci 2001).
Hubungan

dengan

teman

sebaya

bersifat

tidak

mengikat

dan

teman

menyediakan dukungan pada semua usia, tetapi terutama sekali lansia dalam
bentuk umpan balik positif dan saling menghargai ((O’Connor 1995; Lansford
2000), diacu dalam Antonucci 2001).
Wortman dan Lottus (1992) diacu dalam Hertamina (1996) mengatakan
bahwa the sense of support yang kita peroleh lebih penting dibandingkan dari
siapa kita memperoleh dukungan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh
Antonucci dan Kahana (tanpa tahun) diacu dalam Smolak (1993) diacu dalam
Jauhari (2003) menunjukkan bahwa lansia yang tinggal dengan kelompok umur

15

yang sama (lansia) cenderung untuk memiliki interaksi sosial yang lebih luas
dibandingkan bila ia tinggal dengan kelompok umur yang lain. Hal ini dapat
disebabkan karena lansia lebih menyukai bila ia ditemani oleh orang-orang yang
seumur dengan mereka dan lansia cenderung berpikir bahwa orang muda tidak
ingin berhubungan dengan mereka.

Stres
Menurut Atkinson et al. (2000) stres terjadi jika orang dihadapkan pada
peristiwa yang mereka rasakan dapat mengancam kesehatan fisik atau
psikologinya.

Dengan

kata

lain

stres

merupakan

hasil

dari

hubungan

(relationship) antara individu dengan lingkungannya.
Salah satu ciri yang paling jelas tentang pengalaman stres adalah
kuatnya pengaruh psikologis. Orang menunjukkan perbedaan individual yang
besar dalam reaksi mereka terhadap stresor. Bahkan respon fisiologis terhadap
peristiwa yang sulit dapat dipengaruhi oleh proses psikologis (Atkinson et al.
2000). Lebih lanjut stres didefinisikan sebagai respon atau keadaan tegang yang
dihasilkan oleh stressors atau tuntutan (nyata ataupun persepsi) dan tidak dapat
dikendalikan ((Antonovsky 1979; Burr 1973), diacu dalam Friedman et al. 2003).
Burgess (1978) diacu dalam Friedman et al. (2003) mengartikan stres sebagai
ketegangan pada diri seseorang atau sistem sosial (seperti keluarga) dan
merupakan reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan.
Menurut Selye (1956) stres dibatasi sebagai respon non spesifik pada
tubuh terhadap berbagai jenis tuntutan. Sindrom Adaptasi Umum (General
Adaption Syndromel /GAS) adalah konsep yang dikemukakan oleh Selye yang
menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan
pada tubuh tersebut. GAS terdiri dari tiga tahap, yaitu :
1.

Peringatan (alarm reaction), tahap pengenalan terhadap stres dimana terjadi
shock bersifat sementara (pertahanan terhadap stres di bawah normal) dan
mencoba dihilangkan. Tahap ini berlangsung singkat, jika stres berlanjut
maka individu akan ke tahap selanjutnya.

2.

Perlawanan (resistance), pertahanan terhadap stres menjadi semakin
intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap ini,
tubuh dipenuhi hormon stres; tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan
pernafasan meningkat. Bila upaya yang dilakukan gagal dan stres tetap ada,
akan masuk ke tahap selanjutnya.

16

3.

Kelelahan (exhausted), kerusakan pada tubuh semakin meningkat dan
kerentanan terhadap penyakit pun meningkat.

Secara spesifik stres merupakan gejala psikologis yang menurut Lazarus
(tanpa tahun) diacu dalam Utomo (2009), sebagai sebuah hubungan khusus