Hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis.

(1)

viii ABSTRAK

Agustin Tri Susilowati (2006). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Orangtua dari Anak Autis. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis. Penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu Skala Dukungan Sosial SDS) dan Skala Tingkat Stres (STS) yang masing-masing terdiri dari 50 item. Pengujian validitas alat ukur menggunakan profesional judgement dan uji reliabilitasnya dengan Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas Skala Dukungan Sosial (SDS) sebesar 0,970 dan Skala Tingkat Stres (STS) sebesar 0,962.

Metode pengambilan sampel penelitian adalah purpose sampling. Sampel diambil sebanyak 50 subyek yang berasal dari orangtua anak autis dimana anaknya sekolah di SLB Citra Mulia Mandiri atau SLB Negeri 1 Wonosari.

Uji hipotesis penelitian ini menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan program SPSS versi 12.0 for windows. Hasil uji hipotesis diperoleh koefisien korelasi -0,607. Hipotesis penelitian ini diterima dan signifikan. Nilai negatif koefisien korelasi menunjukkan hubungan negatif. Jadi, ada hubungan negatif antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua anak autis. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka semakin rendah tingkat stres yang dirasakan dan sebaliknya.


(2)

ix ABSTRACT

Agustin Tri Susilowati (2006). The Relationship between Social Supports and the Stress Level from Parents of Children with Autisms. Faculty of Psychology Sanata Dharma University.

This research is a correlation research, which has purpose to know whether there is a relation between social supports and stress level from parents of children with autisms or not. This research using 2 scales those are: Social Supports Scale and the Stress Level scale, which each of scale has 50 items. Validation test scale use professional judgment and the reliability test with Alpha Cronbach. The Reliability of Social Supports Scale is 0, 970 and the Stress Level scale is 0, 962.

This research using purpose sampling method. There were 50 subjects who are parents of children with autisms that are studying in SLB Citra Mulia Mandiri or SLB Negeri 1 Wonosari.

Hypothesis test this research using correlation technique Person Product Moment with SPSS version 12.0 program for windows. Hypothesis test resulted -0,607 for correlation coefficient. Hypothesis of this research was accepted and significantly. The negative score in this correlation showed that there is a negative relationship between social supports and stress level from parents of children with autisms. The higher social supports will be, the lower stress level will be, or on its contrary.

The keywords are: social supports, stress level, and parents of children with autisms.


(3)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN

TINGKAT STRES ORANGTUA DARI ANAK AUTIS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Program Psikologi

Oleh:

Agustin Tri Susilowati NIM : 019114031

FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007


(4)

(5)

(6)

iv

Skripsi ini saya persembahkan untuk

Bapak, Ibu, Kakakku Unyil & Noi,

Adikku Thonkie & Wenny, dan seluruh

anak istimewa yaitu anak-anak Autis.


(7)

v

”Akan lebih menarik apabila salah melakukan sesuatu ketimbang selalu

benar-kesalahan membuatmu mencari lebih jauh, dan belajar lebih

banyak”

-haward buten-


(8)

vi

Samubarang kabeh katitahake endah ing wayah kang wus kapesthekake,

mlah atine padha kaparingan kalenggahan, nanging manungsa ora biasa

nyumurupi pakaryaning Allah wiwit-wiwitan nganti wekasan

-Kohelet 3:

11-Mulane aja padha sumelang ing bab dina sesuk, amarga dina sesuk iku

kadunungan kasusahan dhewe, kasusahan sadina, wus cukup kanggo

sadina ((

-mateus 6:34-.

Padha bungaha sajroning pengarep-arep, disabar sajroning karupekan,

dimantep anggomu ndedonga! ((


(9)

vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memeuat karya atau bagian karya orang laian, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Januari 2007 Penulis


(10)

viii ABSTRAK

Agustin Tri Susilowati (2006). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Orangtua dari Anak Autis. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis. Penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu Skala Dukungan Sosial SDS) dan Skala Tingkat Stres (STS) yang masing-masing terdiri dari 50 item. Pengujian validitas alat ukur menggunakan profesional judgement dan uji reliabilitasnya dengan Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas Skala Dukungan Sosial (SDS) sebesar 0,970 dan Skala Tingkat Stres (STS) sebesar 0,962.

Metode pengambilan sampel penelitian adalah purpose sampling. Sampel diambil sebanyak 50 subyek yang berasal dari orangtua anak autis dimana anaknya sekolah di SLB Citra Mulia Mandiri atau SLB Negeri 1 Wonosari.

Uji hipotesis penelitian ini menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan program SPSS versi 12.0 for windows. Hasil uji hipotesis diperoleh koefisien korelasi -0,607. Hipotesis penelitian ini diterima dan signifikan. Nilai negatif koefisien korelasi menunjukkan hubungan negatif. Jadi, ada hubungan negatif antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua anak autis. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka semakin rendah tingkat stres yang dirasakan dan sebaliknya.


(11)

ix ABSTRACT

Agustin Tri Susilowati (2006). The Relationship between Social Supports and the Stress Level from Parents of Children with Autisms. Faculty of Psychology Sanata Dharma University.

This research is a correlation research, which has purpose to know whether there is a relation between social supports and stress level from parents of children with autisms or not. This research using 2 scales those are: Social Supports Scale and the Stress Level scale, which each of scale has 50 items. Validation test scale use professional judgment and the reliability test with Alpha Cronbach. The Reliability of Social Supports Scale is 0, 970 and the Stress Level scale is 0, 962.

This research using purpose sampling method. There were 50 subjects who are parents of children with autisms that are studying in SLB Citra Mulia Mandiri or SLB Negeri 1 Wonosari.

Hypothesis test this research using correlation technique Person Product Moment with SPSS version 12.0 program for windows. Hypothesis test resulted -0,607 for correlation coefficient. Hypothesis of this research was accepted and significantly. The negative score in this correlation showed that there is a negative relationship between social supports and stress level from parents of children with autisms. The higher social supports will be, the lower stress level will be, or on its contrary.

The keywords are: social supports, stress level, and parents of children with autisms.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan karunia serta pertolonganNya yang telah diberikan, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baiak.

Selama penyusunan skripsi ini penulis telah menerima banyak masukkan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena ini pada kesempatan ini penulis mengucapakan banyak terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini:

1. Ibu ML. Anantasari, S.Psi. M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberi bimbingan dan petunjuk dari awal hingga terselesainya skripsi ini. 2. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi dan bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi sekalu dosen

penguji skripsi yang telah membantu saya untuk lebih memahami hasil penelitian saya.

3. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si selaku dekan fakultas Psikologi yang telah mengizinkan penelitian ini berlangsung.

4. Direktur & Pengurus Diklat RSJD Soejarwadi Klaten yang telah mengizinkan mengadakan ujicoba alat tes. Bu Eko, Bu Harmi (bimbingannya), Bapak Wayan, Bu Anik, Bu Ulfa, Bapak Muchlis, Bapak Haryono, Bu Santi & Bu Pras Terimakasi atas keramahan dan informasinya.

5. Ibu Maryani, Bapak Eko & PakDhe, Bu Ninis dan seluruh Staf pengajar, Bapak Samidi terimakasih atas dukungan dan partisipasinya. Orangtua anak autis yang telah berpartisipasi dan membantu saya mengenal lebih jauh tentang anak autis. Mama Ilham, Mama & Mapa Josua, Mama Mario, Mama Aji, Mama Putri, Papa e Rian dan seluruh orangtua yang gak bisa aku sebut satu persatu. Anak-anak istimewa yang tak kan pernah kulupakan: Roy (kamu ramah sekali), puput, Sarah, Henry, Josua, Ilham, Aji, Mario, Wira, Antonie (makasi pelukannya), Bagas, Rian, & Jefri.

6. Bu Eni & Staf pengajar SLB Citra Mulia Mandiri Yogyakarta.. Terimakasih sudah diizinkan untuk melakukan penelitian, keramahan, dan informasinya. Seluruh orangtua yang berperanserta dalam penelitian ini.


(13)

xi

7. Bu Tri, Bu Susi, Bu Prita dan seluruh Guru SLB Negeri 1 Wonosari….. Terimakasih sudah diizinkan untuk melakukan penelitian, keramahan, dan informasinya. Mama Ihsan makasih informasinya. Seluruh orangtua yang berperanserta dalam penelitian ini.

8. My family: Bapak&Ibu Terimakasih atas segala pengorbanan yang diberikan kepadaku. Terimakasih atas limpahan kasih sayang yang telah membentukku menjadi sekarang ini I love you…….. saudara-saudaraku yang cantik dan cakep: mb. Sulis (Unyil), mb. Tina (Nokieman), Caturrrrrr (Thonkiecie) dan adik kecilku yang tlah hilang Wenny (Kucrut) I love u all.

9. Sikung (alm) & Mbah Uti terimakasi atas doa-danya dan wejangannya. Bu’D Sri, P’D Mul, P’D Hanono & Bu’D Tegal, P’D Haryadi & Bu’D Warni, Om Agus & Bulik Dayan, Lik Hesti & Lik Mardi, Lik Titik & Lik Tamir, Lik Doso & mb Yayuk (he..he..he.. akhirnya aku bisa, matur nuwun gih). Buat sepupu-sepuku yang cantik & cakep (Trah Sastro):mb Siwi & Joko Gedek, mb Nunuk & m’ Agung “Jumingun ‘, m’ Joko “Jokek” & mb Nur, m’Nungku “Nungkek” & mb Nana, mb Yayan & m’ Eko “Lemot”, m’Caryo “Kngacir” & mb Melta, m’Wida, m’Rio “Kasino”, Rian, Gayuh “Momo”, Rut “Gondut”, Fredi “Kompret”, Beta “Kobet” (makasi ya dah nganter-nganter aku kemana-mana), Ida “Idut”, Adi “Tison” (Alm.), Wisnu “Nonot”, Ari “ Olive” dan Dwi ”Klinting”. (he…he..he.. kalian tu berharga banget buat hidupku dan sumber inspirasiku. I love u all). Keponakanku yang cuakep dan cuantik: Praz “Manthuk”, Ian “Ichunk”, Arin “G. Ampel”, Fanny “G. Tegal”, Mirecle “Etel gretel” & Ngacir Jr. Bravo Trah Sastro Suyono…Sing rukun ya.. (he..he..he..).

10.Dnee & MASlow (makasi ya dah menemani aku di saat suka & duka). Dyna pembimbing spiritualku yang selalu mendoakanku disetiap waktu. Dewi (aneh ya wi kita kok bisa ketemu lagi), Evi (inget ma taruhan kita yang dulu ye…), Nining (kapan kita bisa diskusi lagi). Ita & Elis (akhirnya aku bisa nyusul kalian he..he..he..).

11. Temen-temen kos: Ci Anol, mb. Dewi, Yanti & m’Doni, mb. Hebi, mb. Tutik & dedeknya, mb icha, Tiwi, Wiwin, mb Tutik& mb Utri, mb. Pipit, mb Sari &


(14)

xii

mb Een, mb Yanti &Tutik, mb Lia. Makasi dah ngisi hari-hariku di Yogya…. Fajar (makasi dukungan & informasinya). Otir (makasi dah nganter ke SLB ya).

12.M’Muji (kenapa kalo ketemu ngledek trus. But makasi dah bri semangat dari ledekannya), m’Doni terimakasih dah mo photokopiin bahanku yang seabrek. m’ Gandung & mb. Nanik makasi banyak ya. Special buat p’ gie, makasih ya atas keramahnya dan bantuanya.

13.Teman-teman KKN: Anita “Nyit-nyit”, Dessy “Gapuro”, Ilko “Ilce”, Ngadiono “Ngat-ngat”, Uun “Paman Dolit”, & Maria “Putri Balsem”. He…he…he.. akhirnya aku bisa nyusul kalian…

14.Anak-anak kelas A: Eli, Etik, Farah (yang telah mau menemani belu ketika mo ujian makasie ya). Tias (bogor), Sisca, Sapti, Rani, Dewi, Yuni, Nopek, Lina, Wilis, Nina, Silva, Anas, Lala, Dedy, Tyo, Adi, Kris, Eko, Kobo, Pati, Jule, Vera, Agus, Fedriyan, Andre, Diana, Tari, Vinda, Nana, Selly, Ela, Mansya, Via, Uul, Anita, Chintia, Tias, Awan, Ariska, Bayu, Tejo, Debby, Nuke, Yayak, Hastin, Lintang, Merlin, & Ita. (Maaf kalo ada yang kelewatan) Makasi dukungan dan saya sangat menikmati perjuangan kita dulu. Teman-teman beda kelas: Icha, Rani, Ninik, Iin, Lia, Anes, mb Ajeng, Dhini, dan lain-lain. Pokoknya yang kenal sama Belu Berarti itu temanku he....he...he... 15. Teman-temen Gerejaku: Ika, Endah, m’ Aan & mb Sari, m Aga, m Wawan,

Noel, Bom-Bom, Fafan, Lia, m’Ujup & mb Lia, Adit, Adit Puguh & Bagus, Ijub, Fajar, Adi, Anggun, Lukas, Natalia, Gama dll. Abiz banyak banget. Temen Komselku: Kak Ina, Vera, Kak Lisbet, & Ci Dessy. Terimakasi doa-doanya.

16. Pihak SMP Kristen 1 Klaten yang telah memberi saya kelonggaran untuk menyelesaikan kuliah saya dan yang telah mendukung saya.

17. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan.


(15)

x DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……….. i

Halaman Persetujuan Pembimbing... ii

Halaman Pengesahan.………... iii

Halaman Persembahan... iv

Halaman Moto... v

Pernyataan Keaslian Karya... vii

Abstrak... viii

Abstract... ix

Kata Pengantar... x

Daftar Isi... xiii

Daftar Gambar... xvi

Daftar Tabel ... xvii

Daftar Lampiran... xviii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang...………. 1

B. Rumusan Masalah.……….…. 6

C. Tujuan Penelitian.……….…….. 6

D. Manfaat Penelitian………... 6

BAB II. LANDASAN TEORI………. 9

A. Stres……….. 9

1. Pengertian Stres………. 9

2. Indikator Stres ……….………….. 11

3. Penilaian Kognitif terhadap Stres …………...………. 14


(16)

xi

B. Orangtua……….. 17

1. Pengertian Orangtua………. 17

2. Penyesuaian Diri Orangtua………... 17

C. Autis……… 21

1. Pengertian Autis……… 21

2. Penyebab Autis………. 22

3. Kriteria Autis………... 24

D. Faktor Penyebab Stres Orangtua dari Anak Autis…….…...……… 25

E. Dukungan Sosial……….. 31

1. Pengertian Dukungan Sosial………. 31

2. Aspek Dukungan Sosial ……….... 32

3. Sumber Dukungan Sosial ……….... 33

4. Manfaat Dukungan Sosial ………..………. 34

F. Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Orangtua dari Anak Autis……... 34

G. Hipotesis…...……… 38

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……… 41

A. Jenis Penelitian………. 41

B. Variabel Penelitian………... 41

C. Subyek Penelitian dan Pengambilan……… 42

D. Definisi Operasional………... 42

1. Dukungan Sosial…...………... 43

2. Stres….…...………... 44

E. Metode Pengumpulan Data……….…... 45

1. Dukungan Sosial…...………... 45

a Penyusunan Butir Pernyataan…...………..…... 45

b Pemberi Skor…..………... 46

2. Tingkat Stres…..……...………... 47

a Penyusunan Butir Pernyataan………... 47


(17)

xii

F. Pengujian Validitas dan Reliabilitas…..………... 49

1. Uji Validitas…..………... 49

2. Uji Analisa Data…..……….…………... 50

3. Uji Reliabilitas…..………... 50

G. Metode Analisis Data…..………... 51

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…..………... 53

A. Persiapan Penelitian…..………... 53

1. Perizinan…..……….…... 53

2. Pelaksanaan Uji Coba Penelitian…..……..………... 53

3. Skala Dukungan Sosial…..………... 54

4. Skala Tingkat Stres…..…….………... 55

B. Pelaksanaan Penelitian…..…..………... 57

C. Hasil Penelitian…..………... 57

1. Uji Asumsi…..………... 57

a Uji Normalitas…..…………..………... 57

b Uji Linearitas…..………... 58

2. Uji Hipotesis…..………... 59

D. Pembahasan…..………...…... 60

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…..………... 66

A. Kesimpulan…..………... 66

B. Saran…..………... 67

Daftar Pustaka…..………...………... 69


(18)

xiii

DAFTAR GAMBAR


(19)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Sebelum Uji Coba Skala Dukungan Sosial... 46

Tabel 2. Spesifikasi item Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba... 46

Tabel 3. Penskoran Item Favorabel dan Unfavorabel …..………... 47

Tabel 4. Blue Print Sebelum Uji Coba Skala Tingkat Stres…………... 48

Tabel 5. Spesifikasi item Skala Tingkat Stres Sebelum Uji Coba …... 48

Tabel 6. Penskoran Item Favorabel dan Unfavorabel.………... 49

Tabel 7. Nomor-Nomor Item yang Sahih dan Gugur Skala Dukungan Sosial 54

Tabel 8. Blue Print Skala Dukungan Sosial (Setelah Uji Coba)....…... 55

Tabel 9. Nomor-Nomor Item yang Sahih dan Gugur Skala Tingkat Stres... 55

Tabel 10. Blue Print Skala Tingkat Stres (Setelah Uji Coba)....…... 56


(20)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skala Uji Coba..………….………... 74

2. Data Uji Coba…..…...……….…………... 83

3. Uji Beda dan Reliabilitas Item…..…..………... 114

a. Uji Beda dan Reliabilitas Item Skala Dukungan Sosial…..……….. 115

b. Uji Beda dan Reliabilitas Item Skala Dukungan Sosial……..…….. 123

4. Skala Penelitian…..………...…………... 132

5. Data Penelitian…..………... 140

6. Uji Asumsi…..………..…………... 162

a. Uji Normalitas…..………... 163

b. Uji Linearitas…..………... 164

7. Uji Hipotesis…..………... 165


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orangtua pasti bahagia bila anak mereka lahir dengan selamat, sehat tanpa kekurangan apapun. Mereka mengharapkan anaknya berkembang sempurna, akan tetapi tidak semua dapat berkembang sempurna. Ada anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan, salah satunya autis.

Istilah autis diperkenalkan oleh seorang Psikolog Austria, yang bernama Leo Kanner pada tahun 1943 (Attwood, 2005). Autis merupakan ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, mengalami gangguan berbahasa yang ditunjukan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan kuat dan keinginan obsetif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungan. Autis digolongkan dalam gangguan pervasif atau Pervasive Developmental Disorders (Safaria, 2005).

Autismemiliki ciri-ciri seperti berikut ini: menghindari kontak mata, tidak suka dipeluk, mengisolasi diri, tidak menyukai suara tertentu, menyukai kegiatan yang rutin dan bila terjadi perubahan sedikit akan membuatnya merasa gelisah, cemas dan tantrum. Anak menyukai gerakan yang ritmik, seperti berputar, melompat, flapping, melihat benda yang berputar dan lain-lain, serta mengalami


(22)

2

ganguan dalam bahasa, mereka tidak mampu memahami arti bahasa verbal maupun nonverbal (Coleman & Broen, 1997).

Orangtua kadang kurang peka dengan gangguan perkembangan ini. Mereka menganggap gangguan ini sebagai keterlambatan perkembangan biasa. Namun, ketika perkembangan anak tidak menunjukkan kemajuan bahkan mengalami kemunduran mereka baru sadar bahwa anaknya mengalami gangguan dalam perkembangan. Orangtua melakukan banyak pemeriksaan pada anaknya (Danuadmaja, 2003).

Orangtua mengalami syok bercampur perasaan sedih, takut, kuatir, cemas, dan marah ketika mendengar hasil pemeriksaan yang menyatakan anaknya mengalami gangguan autis. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami autis kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosa dokter terdahulu, bahkan sampai berulang kali berganti dokter. Mereka dihadapkan pada fakta yang objektif dari beberapa sumber. Mereka merasa terpukul dan terpaksa menerima kepahitan yang menimpa anaknya. Bagaimana tidak, jika anak yang mereka sangat cintai menderita gangguan yang menyebabkan tidak berkembang secara kognitif, emosi, dan sosial seperti anak-anak yang lain (Safaria, 2005).

Reaksi emosional orangtua yang muncul ketika pertama kali mengetahui anak memiliki gangguan autis adalah hal yang wajar. Setiap orangtua yang menghadapi diagnosis autis bagi anaknya pasti menunjukkan reaksi emosi yang kuat, karena ini merupakan persoalan yang sangat sulit bagi orangtua dan terpaksa


(23)

harus diterima. Bila orangtua tidak memahami dan menyadari emosi-emosi dalam dirinya, akan membuat mereka tidak mampu mengendalikan reaksi emosinya. Mereka terjebak dalam lingkaran gejolak emosi-emosi, sehingga mereka mengalami banyak dampak negatif, baik fisik maupun psikologis. Mereka mengalami depresi, kecemasan, kekuatiran, perasaan putus asa, atau stres yang dapat menimbulkan pengaruh secara fisik dengan memunculkan penyakit stres seperti maag, migran, stroke, lesu, dan letih (Safaria, 2005).

Puspita (2005) mengutarakan hal yang sama tentang kondisi psikologis dari orangtua dari anak autis. Setiap orangtua mengalami proses yang sangat sulit untuk dapat menerima kenyataan. Banyak orang yang sebelum sampai pada tahap penerimaan diri mengalami ketidak berdayaan, depresi, dan sering berkembang menjadi stres berkepanjangan ataupun sakit secara fisik.

Proses penerimaan diri orangtua membutuhkan waktu yang relatif lama, bahkan dapat berlangsung bertahun-tahun. Orangtua mengalami jatuh bangun untuk menyelesaikan tiap-tiap tahap. Mereka merasakan perasaan yang tidak menyenangkan sehingga mereka sering merasa sangat lelah dan stres. Penelitian ini menggunakan subjek orangtua yang memiliki masa pendampingan terhadap anaknya antara 1 sampai 6 tahun, sebab orangtua masuk pada fase awal dari penerimaan diri. Orangtua dipenuhi perasaan cemas, takut, kecewa, marah, sedih, gelisah, merasa bersalah, dan perasaan negatif lain yang campur aduk. Perasaan negatif yang campur aduk membuat mereka terkena stres.


(24)

4

Sarafino (dalam Smet, 1994) berpendapat stres adalah suatu kondisi hasil transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.

Dampak dari stres dapat dikurangi dengan cara menciptakan lingkungan yang mendukung. Dukungan dari keluarga dan teman akan menciptakan suasana yang menyenangkan. Dukungan sosial menurut Johson dan Johson (dalam Taifur, 2003) adalah keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk dimintai bantuan, dorongan, dan penerimaan apabila individu mengalami kesulitan atau masalah.

Dukungan sosial sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan individu, mengingat individu adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan satu sama lain. Kurang atau tidak tersedianya dukungan sosial akan menjadi individu merasa tidak berharga dan terisolasi. Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya berbagai masalah dalam kehidupan. Sebaliknya dukungan sosial akan memberi pengalaman pada individu bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan diperhatikan (Neizel, dkk, 1998).

Dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, instrumental, informatif dan penghargaan/penilaian (Smet, 1994). Dukungan sosial dari lingkungan di sekitar akan memberi pengaruh positif bagi diri individu. Sarason (dalam Taifur, 2003) menemukan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial tinggi akan memiliki harga diri yang tinggi dan konsep diri yang baik, sehingga mereka


(25)

memiliki pandangan yang optimis terhadap kehidupan. Dukungan sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri (Balimulia, 2003) dan kepuasan hidup (Tavipamartiwi, 2002). Potensi di atas sangat dibutuhkan oleh individu menghadapi kondisi yang stressful.

Taylor (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa tingkat stres dapat mempengaruhi kondisi kesehatan. Orang yang tingkat stres tinggi memiliki kemungkinan mengalami ganguan fisik maupun psikologis, sedang dukungan sosial memiliki hubungan secara tidak langsung dengan tingkat stres. Adanya dukungan sosial dapat membantu orangtua menghadapi persoalan, sehingga memberi pengaruh positif dengan kondisi kesehatannya.

Penelitian ini memilih dukungan sosial sebagai variabel bebas karena peneliti ingin membuktikan dukungan sosial masih berfungsi bagi orangtua anak autis dalam menghadapi stressor. Orangtua anak autis mengalami masalah yang terlalu berat dan sering membuat mereka menjadi stres, sehingga dukungan sosial belum tentu cukup membantu mereka dalam mengatasi stres.

Penelitian ini menggunakan subjek orangtua anak autis, karena mereka sangat rentan terkena stres. Stres dapat disebabkan oleh masalah-masalah mereka yang belum terselesaikan dan masalah-masalah baru, sehingga mereka membutuhkan dukungan sosial dari orang disekitarnya untuk menopang mereka dalam mengatasi masalah. Dukungan sosial sebagai faktor eksternal dapat membantu mereka untuk bertahan hidup dalam dunia yang penuh dengan problematika.


(26)

6

Stres dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orangtua anak autis. Orangtua yang tingkat stresnya tinggi memiliki kemungkinan terkena penyakit fisik maupun psikis. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi diri sendiri maupun anak autis, karena anak autis sangat membutuhkan perhatian dan energi yang ekstra. Perhatian yang ekstra ini hanya terjadi bila orangtua memiliki kondisi yang prima. Permasalahan di atas menunjukkan pentingnya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis.

B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang di atas, peneliti membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut: Adakah hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat stres orangtua dari anak autis?

C. Tujuan Penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis.


(27)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Menambah wacana yang terkait dengan ilmu psikologi, yang berfokus pada pembahasan tentang dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis.

b. Penelitian ini seyogyanya dapat digunakan sebagai literatur dalam pelaksanaan penelitian yang relevan di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti

Penulis dapat mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis.

b. Bagi orangtua dari anak autis.

Jika penelitian ini terbukti, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran orangtua dari anak autis untuk saling mendukung sehingga dapat membantu mengurangi tekanan yang dihadapi dan mencari pemecahan masalahnya.

c. Bagi masyarakat

Jika penelitian ini terbukti, diharapkan kesadaran masyarakat untuk memberi dukungan sosial kepada orangtua dari anak autis meningkat.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres

1. Pengertian stres

Stres adalah situasi yang menuntut seseorang di luar batas kemampuannya untuk beradaptasi (Handoyo, 2001). Pendapat senada disampaikan oleh Robbins (2003) stres adalah kondisi dinamik yang didalamnya individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala (constraints) atau tuntutan (demands) yang terkait dengan apa yang sangat diinginkan hasilnya, dan dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Halonen dan Santrock (1999) menyatakan stres merupakan respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang mengancam (stressor) dan menganggu kemampuan koping.

Sarafino (1997) mendefinisikan stres menurut 3 sudut pandang antara lain sebagai berikut:

a. Stres sebagai stimulus

Individu melihat dalam referensi orang terhadap sumber atau penyebab kegelisahan dan tekanan sebagai kejadian atau keadaan yang menyebabkan stres. Keadaan atau kejadian yang membuat kita merasa terancam atau terganggu, sehingga menghasilkan perasaan tertekan disebut stressor.


(29)

b. Stres sebagai respon

Sarafino memfokuskan pada reaksi terhadap stressor. Individu secara cepat akan merespon stimulus yang diterimanya. Respon yang dihasilkan dapat berupa fisik, seperti: jantung berdebar, mulut kering, perut mual, berkeringat, maupun psikologi berupa perilaku, kognitif, dan emosional.

Cannon dalam teori Fight or flight menyatakan bahwa tubuh melakukan reaksi untuk melawan tekanan yang berbahaya. Tubuh secara cepat terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf simpatik dan endorin, sehingga individu selalu merespon setiap stimulus yang diterimanya. Respon dapat berupa menghindar (flight) atau menghadapi (fight) (Sarafino, 1997).

Pendapat senada disampaikan oleh Selye tahun 1936 (dalam Sarafino, 1997) menyatakan bahwa oragnisme dihadapkan stressor akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan. Usaha diatur oleh kelenjar adrenalin yang akan mengaktifkan sistem saraf simpatik. Selye membagi 3 tahap yang disebut General Adaption System (GAS), yaitu: (1) Tahap reaksi alarm (alarm reaction) merupakan upaya mempersiapkan diri untuk melawan stres. (2) Tahap resisten (resistance reaction) merupakan tahap tubuh melakukan penyesuaian pada keadaan yang menimbulkan stres. (3) Tahap kelelahan (exhoustion reaction) terjadi ketika tubuh sudah tidak mampu lagi untuk memberi respon dalam melawan keadaan stres (Sarafino, 1997).


(30)

11

Jadi dapat disimpulkan stres merupakan reaksi individu terhadap stimulus yang mengancam. Respon yang dilakukan disebut dengan ketegangan (strain).

c. Stres sebagai transaksi

Stres adalah hubungan antara individu dengan lingkungan yang merupakan kelanjutan dari interaksi dan penyesuaian diri. Stres tidak hanya stimulus atau respon, namun sebuah proses yang mana individu sebagi agen aktif yang dapat mempengaruhi dampak dari stressor terhadap perilaku, kognitif, dan emosional.

Sarafino (1997) menyimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi hasil transaksi orang atau lingkungan membawa individu merasa ketidaksesuaian-nyata atau tidak-dengan tuntutan dari situasi dan sumber daya biologis, psikologi atau sistem sosial.

Pengertian stres yang digunakan dalam penelitian ini adalah suatu keadaan yang menuntut dan membebani individu baik secara fisiologis maupun psikologis yang menimbulkan tegangan, sehingga membuat individu berusaha untuk mengatasi.

2. Indikator stres

Indikator stres menurut Robbins (2003) adalah sebagai berikut. a. Fisiologis yang berupa sakit kepala, tekanan darah naik, sakit liver. b. Psikologis yang berupa gelisah, depresi penurunan kepuasan. c. Perilaku yang berupa produktifitas, perpindahan, tidak hadir.


(31)

Cox (dalam Handoyo, 2001; Gibson, 1984) mengemukakan indikator stres adalah sebagai berikut.

a. Fisiologis yaitu menyebabkan gangguan pada kesehatan fisik yang berupa penyakit yang sudah diderita sebelumnya atau memicu timbulnya penyakit tertentu.

b. Kognitif yaitu ketidakmampu mengambil keputusan, kurang kosentrasi dan peka terhadap ancaman.

c. Perilaku yaitu peningkatan konsumsi alkohol dan rokok, tidak nafsu makan/makan berlebihan, penyalahgunaan obat-obatan, menurun semangat untuk berolahraga yang berakibat pada pola diet dan timbulnya beberapa penyakit. Stres dapat meningkatkan intensitas kecelakaan baik di rumah, di tempat kerja, dan di jalan.

d. Psikologi yaitu kegelisahan, kelesuan, kebosanan, depresi, kelelahan, kekecewaan, kehilangan kesabaran, harga diri yang rendah dan agresi.

Sarafino (1997) memecahan gejala psikologi menjadi lebih spesifik lagi menjadi gejala emosional. Ia membagi 4 tanda individu mengalami stres antaralain sebagai berikut:

a. Fisiologis yaitu detak jantung dan pernafasan rata-rata meningkat dengan segera, gemetar terutama pada kaki dan tangan. migran, sakit kepala, pegal di leher, darah tinggi, gangguan makan dan kebiasaan tidur.


(32)

13

b. Emosional yaitu marah-marah, sedih, cemas, phobia, depresi, tidak bahagia, mood (suasana hati) yang buruk, putus asa, tampak lesu dan pasif, konsep diri rendah serta suka menyalahkan diri.

c. Kognitif yaitu ganguan dalam pola berpikir.

d. Interpersonal yaitu sikap permusuhan, menarik diri, tidak ramah, mudah tersinggung, acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan menurun, mudah mengingkari janji, senag mencari kesalahan orang lain, menutup diri, agresif, dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.

Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa indikator stres yaitu sebagai berikut:

a. Fisiologis berupa sakit kepala, migran, detak jantung meningkat, tekanan darah naik, pucat, pernafasan rata-rata meningkat (terengah-engah), gemetar pada kaki dan tangan, berkeringat, pegal pada leher dan punggung, insomnia, lelah, dan gangguan pencernaan.

b. Emosional berupa gelisah, cemas, kuatir, kecewa, panik, bosan, lesu, marah, sedih, mood (suasana hati) yang buruk, depresi, putus asa, tidak sabar, menyalahkan diri, dan rendah diri.

c. Kognitif berupa gangguan dalam pola berpikir, susah kosentrasi, terfokus pada satu hal saja sehingga susah diajak berpikir yang lain, mudah lupa, pola berpikir yang kaku, dan tidak mampu mengambil keputusan.


(33)

d. Perilaku berupa peningkatan konsumsi alkohol, rokok, obat-obatan, tidak nafsu makan, makan berlebihan, menarik diri, penurunan semangat olahraga, sukar tidur, banyak tidur, malas, dan penurunan produktifitas.

e. Interpersonal berupa sikap permusuhan, menarik diri, tidak ramah, mudah tersinggung, acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan menurun, mudah mengingkari janji, senag mencari kesalahan orang lain, menutup diri, agresif, dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.

3. Penilaian kognitif terhadap stres

Penilaian terhadap stres terjadi pada proses kognitif dari individu, biasanya disebut sebagai penilaian kognitif (appraisal cognitive). Penilaian kognitif (appraisal cognitive) merupakan transaksi yang menggeneralisasikan dari kondisi stres yang meliputi penafsiran. Penilaian kognitif (appraisal cognitive) mengandung 2 unsur penting yaitu tuntutan yang mengancam dan sumberdaya yang ada untuk menghadapi tuntutan (Sarafino, 1997).

Penilaian kognitif (appraisal cognitive) terdiri dari 2 jenis penilaian yaitu penilaian awal (primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal). Penilaian awal (primary appraisal) terjadi ketika individu menghadapi lingkungan baru atau berubah. Proses ini merupakan proses individu memberi arti kejadian atau situasi tersebut. Situasi atau kejadian mungkin memiliki efek yang positif atau netral ataupun negatif. Situasi yang memberi efek positif disebut eustress sedang yang bersifat negatif disebut distres. Setelah penilaian awal terhadap hal-hal yang memiliki potensi terjadi stres, penilaian sekunder


(34)

15

(secondary appraisal) dilakukan. Penilaian sekunder (secondary appraisal) merupakan penafsiran/pengukuran terhadap kemampuan koping dan sumber-sumbernya, serta apakah mereka akan dapat/tidak menghadapi kerusakan, ancaman, dan tantangan terhadap kejadian (Taylor, 1999).

Sarafino (1997) menyatakan penilaian kognitif sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor personal dan situasi. Faktor personal dapat berupa kemampuan intelektualitas, motivasi, kepribadian, dan konsep diri. Sedang, faktor situasi berupa tuntutan, masa transisi, ambigusitas, terkontrol, dan desirability.

Penilaian di atas mempengaruhi individu dalam menghadapi stressor. Individu memiliki banyak cara dalam merespon stres meliputi fisiologis, kognitif, emosional dan perilaku. Perbedaan respon individu dalam menghadapi stres tergantung dari pengalaman, usia, jenis kelamin, pendidikan, latar belakang etnik, tingkat sosial ekonomi dan status perkawinan dari individu tersebut (Perimutter, dkk, 1992).

Penilaian kognitif memberi pengaruh sangat besar pada diri individu, karena penilaian tersebut secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kondisi psikologisnya.

4. Sumber stres

Keadaan atau situasi yang dapat menjadi sumber stres disebut stressor. Rice (1992) menggolongkan macam stressor sebagai berikut:


(35)

a. Stressor individu merupakan sumber stres yang berasal dari faktor internal, seperti kepribadian, sikap terhadap stres, dan faktor kognitif (penilaian terhadap stres).

b. Stressor interpersonal adalah sumber stres yang berhubungan dengan proses interaksi dengan orang lain. Proses ini akan menimbulkan masalah yang menyebabkan terjadi ketegangan secara fisik, sehingga memicu sekresi hormon stres dalam tubuh, seperti adrenalin, noradrenalin, dan cortisol.

c. Stressor sosial merupakan sumber stres yang berasal dari kehidupan sosial, seperti perubahan sosial yang cepat, kepadatan penduduk, kepadatan pemukiman, keramaian, kemacetan, pertikaian antara kelompok masyarakat, kerusuhan, kenaikan biaya hidup, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan sebagai kaum minoritas.

d. Stressor lingkungan fisik merupakan sumber stres yang disebabkan oleh kondisi lingkungan fisik disekitar individu. Stressor ini sering dialami oleh individu, sehingga mereka mampu beradaptasi dan melakukan koping stres. Stressor ini, seperti bencana alam, banjir, cuaca, temperatur, kecepatan angin, kebisingan, polusi, dan bencana yang berasal dari teknologi.

e. Stressor organisasi merupakan sumber stres terjadi pada setting khusus yaitu organisasi atau perusahaan. Jenis stressor yang timbul dapat bersifat struktural maupun kultural, seperti stres pada pekerjaan, jadwal kerja padat, struktur tugas berat, kebijakan perusahan yang negatif, dan budaya organisasi yang destruktif.


(36)

17

B. Orangtua

1. Pengertian orangtua

Arti kata orangtua dalam kamus Psikologi dan Psikoanalitik karya Haracebenglish (1958) adalah organisme yang menghasilkan keturunan atau ayah dan ibu. Sedang dari Kamus Bahasa Indonesia karya Salim (1991) mendifinisikan orangtua sebagai ayah dan ibu kandung.

Utama (Nafaola, 2004; Kartono, 1992) berpendapat orangtua adalah seorang pria dan wanita yang berjanji kepada Tuhan untuk hidup bersama sebagai pasangan suami-istri, dan bersedia memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak yang akan dilahirkan. Perjanjian ini terikat dalam perkawinan.

Kesimpulan, orangtua merupakan individu yang memiliki tanggung jawab sebagai ayah atau ibu terhadap kesejahteraan anak-anaknya.

2. Penyesuaian diri orangtua

Perubahan yang terjadi dalam hidup sering menyebabkan orang menjadi stres. Perubahan status dari lajang menjadi menikah dan memiliki anak merupakan tantangan cukup berat. Tidak jarang orang menjadi stres, karena mereka kurang mampu melakukan penyesuaian diri terhadap statusnya sebagai orangtua.

Status orangtua menuntut individu untuk melakukan perubahan yang dramatis. Perubahan yang terjadi dalam diri mereka adalah perubahan sikap, peran, dan nilai. Perubahan ini membuat mereka mengorbankan kebahagiaan dan kepuasan mereka (Hurlock, 1990). Santrock (2002) menambahkan bahwa


(37)

kesuksesan menjadi orangtua dapat dicapai bila memiliki komitmen waktu menjadi orangtua dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan perkembangan anaknya.

Tugas orangtua adalah membina dan mengatur kehidupan anak-anaknya. Kehidupan anak menjadi tanggung jawab orangtua. Tanggung jawab menurut Mangunsong (dalam Sumampouw dan Setiasih, 2003) memiliki beberapa bentuk keterlibatan antara lain yaitu, (a) Orangtua bertanggung jawab sebagai pengambil keputusan. Orangtua memiliki hak dan tanggung jawab mengambil keputusan tentang hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan anak-anaknya. (b) Orangtua bertanggung jawab sebagai orangtua. Tanggung jawab ini meliputi penyesuaian diri orangtua, sosialisasi anak, dan memperhatikan hubungan antar anak-anaknya. (c) Orangtua bertanggung jawab sebagai guru. Proses pendidikan anak tidak hanya terjadi di sekolah saja, namun terjadi rumah juga. Orangtua bertanggung jawab untuk membina dan mendidik anak-anaknya di rumah. (d) Orangtua bertanggung jawab sebagai advokat. Orangtua bertanggung jawab dalam memberi pembelaan bagi anak-anaknya, terutama bagi anaknya yang memiliki keterbatasan. Keterbatasan anak sering membuat posisi anak dirugikan, sehingga orangtua bertanggung jawab membela kepentingan anaknya.

Pekerjaan menjadi orangtua bukan pekerjaan yang mudah karena pekerjaan ini menyita banyak waktu dan tenaga mereka. Penyesuaian diri sangat dibutuhkan oleh orangtua. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dapat menyebabkan orangtua mengalami gangguan kesehatan baik fisik maupun psikis.


(38)

19

Penyesuaian diri orangtua memiliki pengaruh terhadap kondisi psikologis orangtua. Banyak faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri orangtua antara lain:

a. Sikap pada masa kehamilan.

Penyesuaian ini dipengaruhi oleh sikap calon ayah seperti penerimaan dan pemahaman suami terhadap perubahan biologis dan psikologis istri. Kehamilan merupakan pelaksanaan fungsi biologis secara normal, namun fase ini terjadi ketidakseimbangan psikologis. Ketidakseimbangan psikologis sering dibarengi perasaan bimbang, ragu, suasana hati yang labil, tertekan, dan cemas. Efek ketidakseimbangan psikologis kadang belum hilang setelah anaknya lahir.

Penyesuaian diri wanita sangat dipengaruhi oleh kondisi kehamilannya. Wanita hamil mengalami kondisi menyenangkan dan dapat menerima perubahan peran cenderung mudah menyesuaian diri dibanding dengan wanita hamil yang mengalami kesusahan dan menolak perannya. Wanita ini tidak jarang berperilaku menyimpang seperti merokok, tidak mau dekat dengan anak dan lain-lain (Mappiare, 1983).

b. Sikap terhadap peran

Sikap ini terkait dengan tingkat usia orangtua dan konsep peran yang dianut. Orangtua muda cenderung mengambil keputusan secara mudah, sedang orangtua yang lanjut usia cenderung mengutamakan tanggung jawab dan memiliki keinginan untuk mengarahkan anak-anak mereka. Penyesuaian


(39)

diri dengan anak-anak mereka cendrung lebih mudah daripada orangtua yang agak lanjut usia. Penyesuaian diri orangtua yang menganut konsep modern cenderung lebih mudah dibanding dengan orangtua yang menganut konsep konservatif, karena konsep keluarga modern terjalin kerja sama antar anggota keluarga (Mappiare, 1983).

c. Harapan orangtua

Harapan orangtua terkait dengan jenis kelamin, penampilan fisik, sikap dan budi perkerti, kecakapan, bakat, minat, dan segala hal yang dinilai baik. Orangtua akan cenderung mudah beradaptasi jika ciri-ciri anak mendekati konsep ideal (Mappiare, 1983).

d. Perasaan-perasaan layak sebagai orangtua

Perasaan tidak layak menjadi orangtua sering menghantui orangtua saat menghadapi persoalan anak. Penyebab orangtua merasa kurang layak menjadi orangtua antara lain karena kurang latihan atau pengalaman dalam menjalankan perannya, bingung menentukan cara mendidik anak, dan kondisi anak yang mengalami hambatan mental. Kondisi ini mempengaruhi dalam keberhasilan penyesuian diri. Bila orangtua tidak berhasil melakukan penyesuaian diri akan menyebabkan mereka depresi, frustasi, dan stres yang berkepanjangan (Mappiare, 1983).

e. Sikap terhadap perubahan peran

Sikap terhadap perubahan peran memberi pengaruh dalam pencapaian penyesuaian orangtua. Menjadi orangtua merupakan masa kritis, yang


(40)

21

memaksa terjadinya perubahan struktur dan peran dalam keluarga. Perubahan yang radikal sering membuat orangtua diliputi rasa, cemas, takut, gelisah, kuatir, dan lama-kelamaan berkembang menjadi stres. Perasaan negatif ini sangat mengganggu proses penyesuian diri dari orangtua (Mappiare, 1983).

Dari urai di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyesuian diri sangat terkait dengan tingkat stres. Orangtua yang mampu melakukan penyesuaian diri akan terbebas dari stres. Sebaliknya, orangtua yang kurang mampu menyesuaikan diri akan mudah terkena stres.

C. Autis

1. Pengertian Autis

Autisdiambil dari kata Yunani autos yang artinya aku. Mönk (dkk, 1989) mengemukakan autis adalah suatu hambatan perkembangan yang sudah nampak pada tahun-tahun pertama, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sejak lahir mempunyai kontak sosial yang terbatas, perhatian terpusat pada benda mati, tenggelam pada penghayatan taktil kinestetis, ingatan yang baik namun tegar dan fantasi kurang. Kurang sosial menurut Wurst (Mönk, dkk, 1989) disebabkan karena kecemasan, tidak terlindung, keraguan, terasing, dan ketidakmampuan mengarti kondisi sosial.

Autis merupakan ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, mengalami gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, aktivitas bermain yang repetitif


(41)

dan stereotipik, rute ingatan kuat, dan keinginan obsetif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungan. Autis digolongkan dalam gangguan pervasif atau Pervasive Developmental Disorders (Safaria, 2005). Autis merupakan gangguan pervasif yang mencakup gangguan dalam komunikasi verbal dan non verbal, interaksi sosial, perilaku dan emosi (Sugiarto, Prambahan, & Pratitis, 2004).

Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang mencakup gangguan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, berperilaku, dan emosi. Gangguan ini mulai muncul pada tiga tahun pertama kehidupan dan memiliki kecenderungan menetap. Gangguan ini tidak dapat hilang sepenuhnya, namun hanya dapat diminimalisir dengan terapi-tarapi yang ada.

2. Penyebab Autis

Berikut ini dugaan penyebab autis dan diagnosa medisnya adalah sebagai berikut:

a. Gangguan susunan saraf.

Ditemukan pada otak penderita autis mengalami kelainan pada otak. Ada tiga lokasi di otak mengalami kelainan neuro-anatomis. Kelainan itu muncul pada Lobus Patietalis, Cerebellum dan Sistem Limbik. 43% penyandang autis mengalami kelainan Patietalis yang menyebabkan anak bersikap cuek pada lingkungan (Handojo, 2001).

Kelainan yang terjadi di Cerebellum (otak kecil) terutama pada Lobus VI dan VII. Tugas dari Cerebellum adalah bertanggung jawab dalam proses sensoris, daya ingat, berpikir belajar, dan proses atensi. Bila bagian ini


(42)

23

mengalami kelainan dapat menghambat dalam proses kognitifnya. Cerebellum anak ditemukan jumlah sel Purkinye yang sedikit sehingga terjadi gangguan keseimbangan Serotonim dan Dopamin. Ketidakseimbangan Serotonim dan Dopamin menyebabkan kekacauan lalu-lintas impuls otak (Handojo, 2001).

Kelainan dalam Sistem Limbik ( Hippocampus dan Amygdala) dapat menyebabkan ganggauan fungsi emosi, gangguan pada rangsang sensoris, gangguan dalam fungsi belajar dan daya ingat, sehingga membuat kesulitan dalam menyimpan informasi baru (Handojo, 2001).

b. Gangguan pencernaan.

Seorang pasien autis bernama Parker Beck mengeluh gangguan pencernaan pada tahun 1997. Anak tersebut diperiksa dan ditemukan bahwa ia mengalami kekurangan enzim Sekretin. Setelah ia mendapat suntikan enzim Sekretin, ia mengalami kemajuan (Danuatmaja, 2003).

c. Peradangan dinding usus.

Hasil pemerikasaan endoskopi sejumlah anak autis yang mengalami pencernaan buruk, ditemukan peradangan usus. Peradangan tersebut diduga disebabkan virus campak. (Danuatmaja, 2003).

d. Faktor genetik.

Peneliti menemukan 20 gen yang terkait dengan autis. Namun, gejala ini muncul jika terjadi kombinasi dari banyak gen (Danuatmaja, 2003).

Hasil penelitian ditemukan bahwa pada saudara sekandung anak autis mempunyai kemungkinan sekitar 3% dinyatakan autis. Para peneliti juga


(43)

menemukan bahwa peluang anak laki-laki untuk menyandang autis lebih besar dibanding anak perempuan (Coleman & Broen, 1997).

e. Keracunan logam berat.

Hasil tes laboratorium dari rambut dan darah anak autis ditemukan kandungan logam berat dan beracun. Logam berat yang terdapat dalam tubuh anak autis seperti Arsenik (As), Antimoni (Sb), Kadmium (Cd), air raksa (Hg), dan timbal (Pb). Logam-logam ini merupakan racun otak yang sangat berat.

Selain penyebab di atas masih ada penyebab lainnya seperti yang diutarakan oleh Kamphaus dan Frick (1996). Mereka berpendapat bahwa pendarahan, infeksi pada saat hamil, penggunaan obat-obatan pada saat hamil, berat badan yang sedikit pada usia gestational, hyperbilirubinemia, dan genetik sebagai faktor penyebab autis.

3. Kriteria Autis

Autis merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada usia 2 tahun pertama kehidupan. Kriteria autis menurut The Diagnostic and Statistical manual of Mental disoder IV (DSM-IV) sebagai berikut:

a). Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok (1), (2), dan (3) yang meliputi paling sedikit dua pokok dari kelompok (a), paling sedikit satu pokok dari kelompok (b) dan paling sedikit satu pokok dari kelompok (c).

1). Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua di antara yang berikut ini:

(a). Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku non verbal (bukan lisan) seperti kontak mata, ekspresi wajah, gestur, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi sosial.

(b). Ketidakmampuan membina hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

(c). Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain.

(d). Kekurangmampuan dalam berhubungan emosional secara timbal balik dengan orang lain.


(44)

25

2). Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit salah satu yang berikut ini:

(a).Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gestur atau mimik muka sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi).

(b). Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana.

(c). Penggunaan bahasa yang repetitif (diulang-ulang) atau stereotip (meniru-niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh).

(d). Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangan.

3). Pola minat perilaku yang terbatas, repetitif, dan stereotip seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut ini:

(a). Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih minat yang terbatas atau stereotip yang bersifat abnoramal baik dalam intensitas maupun fokus.

(b). Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang nonfungsional (tidak berhubungan dengan fungsi).

(c). Perilaku gerakkan stereotip dan repetitif (seperti terus menerus membuka membuka-menutup genggaman, memuntir jari atau tangan atau menggerakkan tubuh dengan cara kompleks).

(d). Keasyikan yang terus menerus terhadap bagian-bagian dari sebuah benda.

b). Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia 3 tahun seperti ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu dari bidang-bidang berikut ini: (1) interaksi sosial, bahasa yang digunakan dalam perkembangan sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.

c). Sebaiknya tidak disebut dengan istilah Gangguan Rett, Gangguan Intergratif kanak-kanak, atau sindrom Asperger.

D. Faktor penyebab stres orangtua dari anak autis

Stres adalah respon individu terhadap keadaan dan kejadian yang mengancam (stressor) dan menganggu kemampuan koping (Halonen dan Santrock, 1999). Holmes dan Rahe (Taylor, 1999) membuat rating stressor. Mereka menemukan bahwa perubahan kondisi kesehatan dan perilaku anggota keluarga menempati peringkat kesebelas dalam mempengaruhi orang untuk stres. Ini berarti bahwa anak autis dapat menyebabkan orangtua mereka mengalami stres.


(45)

Anak autis memberi pengaruh yang besar bagi orangtua baik kondisi fisik dan psikologisnya. Orangtua sering merasa tertekan dan tak jarang berkembang menjadi stres yang berkepanjangan (Puspita, 2005).

Hal-hal yang terkait antara anak autis dan kondisi mental orangtua akan dijelaskan sebagai berikut ini

1. Gangguan fungsi

Autis adalah gangguan perkembangan anak yang mencakup gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Ketiga hal ini merupakan modal hidup dalam lingkungan sosialnya. Orang yang mengalami gangguan tersebut otomatis tidak dapat hidup di lingkungan sosialnya. Ini yang menyebabkan orangtua merasa pesimis akan masa depan anaknya, sehingga menyebabkan mereka sangat tertekan.

2. Perilaku anak yang liar

Anak autis sering berperilaku yang liar dan tak terkendali. Anak autis sering mengamuk tanpa ada sebab yang jelas. Perilakunya biasa muncul kapan saja dan dimana saja, sehingga orangtua kehilangan kesabaran, marah, jengkel, dan sedih. Perasaan ini berlangsung terus-menerus, sehingga orangtua merasa kelelahan dan sangat stres menghadapi kondisi anaknya tersebut. 3. Masa depan anak autis

Orangtua sering kuatir dengan masa depan anaknya. Mereka diliputi perasaan kuatir, takut, cemas, dan gelisah. Mereka takut anaknya nanti tidak dapat hidup secara layak. Mereka takut anaknya ditolak dalam masyarakat


(46)

27

karena keterbatasan anaknya. Mereka kuatir dengan kondisi anaknya tersebut ketika mereka tidak dapat lagi disamping anaknya. Perasaan negatif ini dapat menggerogoti kesehatan fisik dan psikologis orangtua. Orangtua menjadi mudah marah, sedih, sensitif, rendah diri, dan tak jarang mereka mengalami penurunan kesehatan. Mereka mengalami depresi dan stres (Puspita, 2005). 4. Persepsi yang salah tentang autis

Banyak orangtua anak autis tidak mendapat informasi yang benar tentang gangguan autis, sehingga mereka salah langkah dan tidak jarang mereka menyalahkan diri mereka. Kurangnya informasi dapat membuat orangtua memiliki persepsi yang negatif dengan keadaan anaknya. Pesepsi orangtua yang negatif memperburuk kondisi psikisnya, karena persepsi negatif akan menyebabkan orangtua merasa cemas, depresi, frustasi, dan stres (Safaria, 2005).

Persepsi masyarakat terhadap anaknya juga memberi kontribusi memicu stres orangtua anak autis. Persepsi yang berkembang dalam masyarakat adalah autis disebabkan oleh kurang hangatnya orangtua dan kesalahan pola asuh orangtua (Handojo, 2001). Persepsi ini semakin memojokkan posisi orangtua. Masyarakat beranggapan anak autis adalah anak nakal, kurang diajar, dan bersikap sinis terhadap anak autis. Perilaku ini dapat membuat orangtua terpukul dan tertekan, karena orangtua merasa kurang mendapat dukungan dari orang disekitarnya. Meskipun orangtua mengetahui


(47)

bahwa penyebab sikap masyarakat seperti itu karena kurangnya informasi tentang autis.

5. Harapan orangtua terhadap anak

Setiap orangtua memiliki harapan besar kepada buah hatinya. Harapan orangtua dapat berupa harapan untuk memiliki anak berjenis kelamin tertentu, sehingga orangtua akan berusaha keras dan tak jarang mereka menambah jumlah anak demi memenuhi harapan mereka. Harapan yang tidak dapat terpenuhi sering membuat orangtua merasa frustasi dan tertekan (Mappiare, 1983).

Harapan orangtua tentang kondisi anak ideal memberi pengaruh besar pada kondisi orangtua. Konsep ideal terkait dengan penampilan fisik, sikap dan budi perkerti, kecakapan, bakat, minat, dan segala hal yang dinilai baik (Mappiare, 1983). Namun, pada kenyataan anak mereka didiagnosa autis. Anak mereka mengalami keterbatasan dalam emosi, kognitif, dan sosial membuat orangtua mengalami reaksi emosinal negatif dan berkembang menjadi stres (Safaria, 2005).

6. Masalah keuangan

Kondisi keuangan merupakan salah satu sumber ketahanan terhadap stres. Kondisi keuangan sangat mempengaruhi orang dalam menghadapi stres, karena uang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, seperti pangan, sandang, papan, pemelihara kesehatan, hiburan, dan lain-lain (Sheridan dan Radmacher, 1992).


(48)

29

Forman (1993) mengemukakan bahwa beban biaya hidup yang besar ini memberi tekanan yang besar. Sekarang ini biaya hidup semakin meningkat. Orangtua dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan masih harus mencari biaya tambahan untuk membiayai terapi anaknya. Terapi yang ada saat ini relatif mahal, sehingga orangtua merasa tertekan.

7. Perasaan-perasaan tidak layak

Perasaan tidak layak mejadi orangtua muncul ketika orangtua mulai menyalahkan diri mereka. Mereka berpikir bahwa merekalah yang menyebabkan gangguan autis. Dalam benak mereka dipenuhi pertanyaan-pertanyaan seperti, mengapa saya?, salah siapa?, apa dosa saya?, dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat orangtua anak autis semakin merasa bersalah dan tidak layak menjadi orangtua. Perasaan-perasaan akan memberi efek negatif dengan kondisi emosional orangtua, sehingga mereka sering merasa depresi dan stres (Puspita, 2005).

8. Proses penerimaan diri

Orangtua masih dalam proses menuju penerimaan diri. Fase ini diawali dengan perasaan syok. Perasaan syok muncul ketika orangtua mengetahui anaknya didiagnosa autis. Perasaan ini menimbulkan dampak fisik, seperti lemas, dingin, dada sesak, mual, dan pingsan. Orang diliputi perasaan negatif yang campur aduk (Safaria, 2005).


(49)

Sesudah perasaan syok mulai teratasi, berganti muncul berbagai rasa di bawah ini.

a). Limbung, tidak tahu harus berbuat apa, merasa tidak berdaya. b).Merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri.

c). Marah pada diri sendiri, pasangan, anak autis tersebut, bahkan kepada Tuhan.

d).Sedih, putus asa yang berkembang menjadi depresi dan stres berkepanjangan.

e). Merasa diperlakukan tidak adil.

f). Tidak percaya pada fakta dan pindah dari dokter satu ke dokter lain untuk menegaskan bahwa dokter itu salah dan terjadi tawar-menawar diagnosa. g).Menolak fakta atau kenyataan dan bersikukuh bahwa anaknya tidak

bermasalah.

h).Menerima kenyataan.

Sebelum sampai fase penerimaan, pada umumnya orangtua mengalami perasaan tak berdaya, depresi dan sering berkembang menjadi stres berkepanjangan (Puspita, 2005).

Proses orangtua dalam menyesuaikan diri dengan kehadiran anak yang sangat istimewa ini menuntut energi yang ekstra besar. Proses ini sering diwarnai dengan reaksi emosional negatif seperti takut, sedih, marah, cemas, gelisah, kuatir, putus asa, dan kecewa. Reaksi emosional ini harus dapat


(50)

31

dikenali dan diatasi. Orangtua yang tidak mampu mengatasinya akan mengalami depresi dan stres (Sarafia, 2005).

Orangtua anak autis memiliki kemungkinan besar terkena stres. Sedang, faktor penyebab stres orangtua anak autis antara lain gangguan fungsi pada anaknya, perilaku liar anak, masa depan anaknya, persepsi yang salah tentang anaknya, harapan yang besar kepada buah hatinya, masalah keuangan, munculnya perasaan tidak layak menjadi orangtua, dan orangtua masih dalam proses penerimaan diri. Tingkat stres yang dimiliki tiap orangtua pasti berbeda tergantung dengan potensi diri mereka dan dukungan sosial yang mereka terima.

E. Dukungan Sosial

1. Pengertian dukungan sosial.

Dukungan sosial adalah keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk dimintai bantuan, dorongan dan penerimaan ketika individu mengalami kesulitan atau masalah (Handoyo, 2001). Sarafino (1997) berpendapat bahwa dukungan sosial menimbulkan perasaan bahagia, nyaman, dihargai, diperhatikan, dicintai, dan merasa terbantu bagi individu yang menerimanya. Menurut Taylor (1999) dukungan sosial mengandung perasaan cinta, perhatiaan, penghargaan, penilaian, dan menjadi bagian dari jaringan komunikasi.

Holenen & Santrock (1999) berpendapat bahwa dukungan sosial merupakan informasi dan umpan balik dari orang lain yang berupa cinta, perhatian, penghargaan, dan penilaian serta termasuk dalam jaringan sosial.


(51)

Senada dengan Holenen dan Santrock, Smet (1994) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan seseorang kepada orang lain, meliputi bantuan material, mendorong adanya ungkapan perasaan ataupun pemberian nasehat.

House (dalam Cooper, dkk, 2001) dukungan sosial merupakan tindakan dari orang lain yang bersifat menolong atau membantu dengan melibatkan aspek dukungan emosional, dukungan penghargaan, bantuan instrumental, dan dukungan informasi yang dapat menyokong individu dalam mengatasi masalahnya.

Pengertian dukungan sosial yang akan digunakan penelitian ini adalah diterimanya bantuan atau pertolongan dari orang sekitar.

2. Aspek dukungan sosial

Dukungan sosial memiliki aspek yaitu.

a. Instrumental adalah bantuan langsung, pinjaman, pertolongan. b. Informatif adalah nasehat, petunjuk, saran, umpan balik.

c. Emosional adalah ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan, misalnya: umpan balik, penegasan.

d. Penghargaan/penilaian adalah ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang tersebut. Dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan/perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain.


(52)

33

3. Sumber dukungan sosial

Taylor (1999) mengemukakan sumber dukungan sosial berasal dari keluarga, teman, kontak sosial dan komunitas.

a. Keluarga

Keluarga adalah kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia. Dalam keluarga akan terjalin ikatan batin antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain. Keluarga dapat dijadikan tempat mengeluh dan bercerita masalah-masalah yang sedang dihadapi, sehingga dapat membantu mengurangi ketegangan akibat masalah yang dihadapi dengan memberikan perhatian emosional dan membantu menyelesaikan masalah.

b. Teman

Teman yang menjadi sumber dukungan adalah teman dekat atau akrab. Orang-orang yang dekat akan membentuk suatu kelompok. Pembentukan kelompok memiliki 3 elemen yaitu kegiatan, interaksi, dan perasaan yang berhubungan satu sama lain. Semakin banyak kegiatan yang dilakukan bersama akan semakin besar perasaan kebersamaan dalam kelompok. Mereka melakukan interaksi tidak hanya karena kedekatan fisik saja, namun untuk mengurangi dan memecahkan masalah.

c. Kontak sosial dan komunitas

Sumber dukungan ini diperoleh individu melakukan interaksi dan menjadi bagian dari kelompok masyarakat. Kelompok ini lebih besar daripada kelompok yang dibuat oleh teman akrab, tetapi memiliki kesamaan yaitu


(53)

interaksi yang terjalin bukan karena kedekatan fisik, tetapi juga untuk mengurangi dan memecahkan masalah dengan memberi dukungan moril maupun material.

4. Manfaat dukungan sosial

Dalam Sarafino (1997) dukungan sosial memiliki manfaat yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk dukungan yang diberikan. Manfaat tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Dukungan instrumental berupa bantuan fisik sehingga dapat mengurangi beban atau kesulitan yang dihadapi.

b. Dukungan informatif dapat membantu individu memperoleh informasi yang dibutuhkan, membantu dalam mencari jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi, dan memperoleh solusi dari kesulitan.

c. Dukungan emosional dapat membuat orang merasa nyaman, tentram, merasa ada dalam lingkungan dan dicintai pada saat menghadapi kondisi stressful. d. Dukungan penghargaan/penilaian dapat membangun harga diri individu,

kompetensi, merasa berharga, meningkatkan kepercayaan diri dan konsep diri.

F. Dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis

Orangtua dari anak autis mengalami banyak masalah, baik masalah pengasuhan anak, pendidikan anak, pekerjaan, keuangan keluarga, dan ditambah masalah yang ditimbulkan lingkungan sosialnya. Masalah-masalah yang dihadapi tak jarang menimbulkan tekanan. Mereka selalu dihadapkan pada kondisi yang


(54)

35

stressful. Tingkat stres orangtua anak autis berbeda satu dengan yang lain. Salah satu faktor yang terkait dengan tingkat stres adalah dukungan sosial yang diterima oleh orangtua anak autis tersebut (Smet, 1994).

Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang, tak terkecuali orangtua dari anak autis. Sumber dukungan sosial orangtua anak autis berasal dari pasangan hidup, keluarga, teman, rekan, masyarakat dan komunitas sosialnya seperti, komunitas pemerhati autis, keagamaan, organisasi, hobi dan lain-lain. Sumber dukungan ini merupakan hasil relasi yang dilakukan oleh orangtua anak autis dengan lingkungan sosialnya. Relasi yang dibina akan memberi kemungkinan untuk memperoleh dukungan yang dapat mereka gunakan ketika menghadapi kesulitan/hambatan.

Dukungan sosial yang diterima orangtua anak autis memiliki aspek antara lain, instrumen, informasi, emosional, dan penghargaan atau penilaian (Fauzisah, dkk, 1999). Aspek-aspek dukungan sosial dapat membantu orangtua anak autis menghadapi problematika hidup.

Aspek instrumental merupakan bantuan langsung, pinjaman, pertolongan (Cooper, dkk, 2001). Bantuan ini dapat membantu menyelesaikan masalah dan dapat menambah waktu rekreasi dan hiburan, sehingga secara langsung membantu orangtua anak autis mereduksi stres (Sheridan dan Radmacher, 1992).

Aspek informatif merupakan bantuan yang berupa nasehat, petunjuk, saran, umpan balik (Cooper, dkk, 2001). Orangtua membutuhkan bantuan ini untuk mengurangi keambiguan situasi. Situasi yang ambigu dan tidak terkontrol


(55)

sering menyebabkan orangtua anak autis mudah terkena stres. Bantuan ini membantu mereka mencari informasi yang dibutuhkan sehingga mereka tidak salah langkah dan tidak timbul masalah baru. Bantuan ini juga membantu mereka mencari jalan keluar/solusi sehingga mempermudah mereka melakukan koping stres. Informasi yang mereka terima akan membuat mereka merasa lebih rileks dan tenang (Sheridan dan Radmacher, 1992).

Aspek emosional merupakan ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan (Cooper, dkk, 2001). Bantuan ini sangat bermanfaat bagi orangtua anak autis, karena mereka sedang dalam proses penerimaan diri. Proses yang dialaminya sering menyebabkan mereka merasa sangat sedih, marah, gelisah, kecewa, marasa bersalah, takut, cemas, tak berdaya, rendah diri, dan perasaan negatif lainnya. Dukungan yang diberikan akan membantu mereka untuk bangkit dari keterpurukan, sebab dukungan ini dapat membuat mereka merasa dicintai, diperhatikan, dikuatkan, dan diterima. Perasaan ini dapat membuat mereka merasa lebih damai, bahagia, nyaman, tentram, merasa ada dalam lingkungan, dan rileks, sehingga ketahanan terhadap stres dan kemampuan koping stresnya meningkat(Sarafino, 1997).

Aspek penghargaan atau penilaian merupakan bantuan yang berupa ungkapan hormat (penghargaan) positif, dorongan maju, persetujuan dengan gagasan/perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain (Cooper, dkk, 2001). Orangtua anak autis membutuhkan dukungan ini, karena mereka marasa terpuruk. Mereka mengalami krisis kepercayaan diri, merasa


(56)

37

tidak mampu, tidak berharga, dan tidak jarang menganggap diri mereka sebagai manusia yang selalu dirundung kemalangan. Dukungan ini sangat bermanfaat untuk mereka, sebab dukungan ini dapat membangun harga diri individu, kompetensi, merasa berharga, meningkatkan kepercayaan diri dan konsep diri (Safarino, 1997). Potensi dalam diri ini membantunya menghadapi situasi yang penuh tekanan.

Sarason (dalam Taifur, 2003) menemukan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial tinggi akan memiliki harga diri yang tinggi dan konsep diri yang baik, sehingga orangtua anak autis memiliki pandangan yang optimis terhadap kehidupan. Sikap optimis menyebabkan mereka terbebas dari pikiran negatif yang dapat menggangu kesehatannya dan mampu menilai tuntutan/hambatan/kesulitan secara lebih positif, sehingga mereaka tidak mudah terkana stres.

Pendapat senada disampaikan oleh Nietzel (2002) menyatakan dukungan sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kepercayaan kepada orang lain. Rasa percaya pada diri sendiri dan orang lain dapat membantu orangtua untuk menghadapi kondisi yang penuh stressful, karena orangtua akan memiliki keyakinan bahwa mereka mampu mengatasi hambatan, tantangan, dan tuntutan dan tentu saja akan menumbuhkan penerimaan diri terhadap apapun yang terjadi pada dirinya. Potensi-potensi yang diterima orangtua dari dukungan sosial dapat digunakan untuk menghadapi situasi yang penuh stressful. Potensi-potensi yang dimiliki oleh orangtua dapat mengurangi dampak stres seperti frustrasi, kecemasan, depresi dan phobia (Taylor, 1999).


(57)

Sarafino (Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial yang tinggi memberi pengaruh positif dalam kesehatan individu, karena dukungan sosial dapat meningkatkan harga diri, konsep diri, kepercayaan diri, dan kepuasan terhadap hidup. Ini dapat menyebabkan orangtua dari anak autis memiliki pikiran yang positif, optimis, dan penuh dengan gairah atau semangat hidup. Potensi yang dimiliki dapat membantu orangtua dalam menghadapi kondisi yang penuh stressor, sehingga mereka memiliki toleransi terhadap stres lebih baik dan membuat tingkat stres mereka lebih rendah dibanding orangtua dengan dukungan sosial yang rendah.

G. Hipotesis

Ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres orangtua dari anak autis.


(58)

39

Gambar 1 Kerangka Alur Pemikiran Penelitian

Dukungan Sosial dari

- Pasangan hidup.

- Keluarga/kerabat

- Teman.

- Orang disekitarnya

Merasa dicintai, diakui, diterima, didukung, dihargai, dan dipercaya, merasa tenang, santai.

Tingkat Stres Rendah

Orangtua dari anak autis yang mendapat dukungan sosial cukup tinggi.

Orangtua dari anak autis Tidak mendapat dukungan sosial.

Merasa tidak dicintai, tidak diakui, ditolak, sendirian, tidak dihargai, dan tidak dipercaya, tegang.

Tingkat Stres Tinggi

- Mendapat bantuan fisik, pertolongan langsung, layanan

- Mendapat informasi, nasehat, saran, petunjuk,

solusi.

- Mendapat perhatian, cinta, penguatan.

- Mendapat pengakuan, penghargaan,

penghormatan.

- Tidak mendapat bantuan

fisik, pertolongan langsung, layanan

- Tidak mendapat informasi, nasehat, saran, petunjuk, solusi.

- Tidak mendapat perhatian, cinta, penguatan.

- Tidak mendapat pengakuan, penghargaan,

penghormatan. Aspek Dukungan Sosial:

-Instrumental -Informatif -Emosional -Penghargaan


(59)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian korelasional, sebab penelitian ini ingin mengetahui sejauhmana satu variabel terkait dengan variabel yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu ada atau tidak hubungan dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis.

B. Variabel penelitian

Variabel merupakan segala sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan penelitian. Variabel yang menjadi obyek dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu: 1. Variabel bebas atau independent variable (x)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial.

2. Variabel tergantung atau dependent variable (y)

Variabel tergantung atau variabel akibat merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah tingkat stres.


(60)

42

C. Subjek penelitian dan pengambilan

Subjek dalam penelitian ini adalah ayah dan atau ibu dari anak autis yang anaknya mengikuti terapi di klinik atau sekolah khusus autis. Subjek yang dipilih adalah ayah dan atau yang telah mendampingi anak autis selama 1-6 tahun. Subjek penelitian diambil dari tempat-tempat terapi autis. Subyek penelitian ini terdiri dari 22 orang ayah dan 28 orang ibu.

Teknik pengambilan sampel (sampling) pada penelitian ini adalah purpose sampling. Purpose sampling adalah pengambilan sampel berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Aswar, 2003).

D. Definisi operasional

Definisi operasional merupakan batasan atau spefisikasi dari variabel-variabel yang secara konkret berhubungan dengan realitas yang diukur dan diamati dalam suatu penelitian.

Definisi operasional harus berdasar pada sifat-sifat dari variabel dan dapat diamati, sehingga memberi peluang bagi peneliti lain untuk melakukan pengujian ulang. Definisi ini juga bertujuan untuk menghindari kesesatan dalam menentukan alat pengumpulan data.

Definisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu, sebagai berikut:


(61)

1. Dukungan sosial

Dukungan Sosial adalah diterimanya bantuan atau pertolongan dari orang sekitar. Dukungan sosial akan diukur dengan menggunakan skala dukungan sosial yang terungkap melalui 4 aspek yaitu.

a). Instrumental adalah bantuan langsung yang berupa bantuan fisik, pinjaman, layanan, dan uang.

b). Informatif berupa nasehat, saran, petunjuk, umpan balik, informasi, dan bimbingan.

c). Emosional berupa empati, kepedulian, perhatian, nasehat yang menyebabkan perasaan nyaman, aman, dan diterima.

d). Penghargaan berupa penghargaan (hormat) positif, dorongan maju, persetujuan, perbandingan dengan individu yang lain terkait dengan kompetensinya, kata-kata yang membesarkan hati (pujian), umpan balik yang positif.

Sumber dukungan sosial masuk dalam pernyataan item skala dukungan sosial. Sumber dukungan sosial yang diterima orangtua anak autis berasal dari pasangan hidup, keluarga/kerabat, teman, dan orang disekitarnya. Dukungan sosial dilihat dari tinggi rendahnya jumlah skor total yang diperoleh dari skor skala. Jumlah skor yang tinggi menunjukkan tingginya dukungan sosial, sebaliknya jumlah skor yang rendah menunjukkan rendahnya dukungan sosial.


(62)

44

2. Stres

Stres adalah suatu keadaan yang menuntut dan membebani individu baik secara fisiologis maupun psikologis yang menimbulkan tegangan, sehingga membuat individu berusaha untuk mengatasi. Tingkat stres akan diukur menggunakan skala tingkat stres yang terungkap melalui indikator yaitu.

a). Fisiologis berupa sakit kepala, migran, detak jantung meningkat, tekanan darah naik, pucat, pernafasan rata-rata meningkat (terengah-engah), gemetar pada kaki dan tangan, berkeringat, pegal pada leher dan punggung, insomnia, lelah, dan gangguan pencernaan.

b). Emosional berupa gelisah, cemas, kuatir, kecewa, panik, bosan, lesu, marah, sedih, mood (suasana hati) yang buruk, depresi, putus asa, tidak sabar, menyalahkan diri, dan rendah diri.

c). Kognitif berupa gangguan dalam pola berpikir, susah kosentrasi, terfokus pada satu hal saja sehingga susah diajak berpikir yang lain, mudah lupa, pola berpikir yang kaku, dan tidak mampu mengambil keputusan.

d). Perilaku berupa peningkatan konsumsi alkohol, rokok, obat-obatan, tidak nafsu makan, makan berlebihan, menarik diri, penurunan semangat olahraga, sukar tidur, banyak tidur, malas, dan penurunan produktifitas. e). Interpersonal berupa sikap permusuhan, menarik diri, tidak ramah, mudah


(63)

mudah mengingkari janji, senag mencari kesalahan orang lain, menutup diri, agresif, dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.

Tingkat stres dilihat dari tinggi rendahnya jumlah skor total yang diperoleh dari skor skala. Jumlah skor yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat stres, sebaliknya jumlah skor yang rendah menunjukkan rendahnya tingkat stres.

E. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data penelitian adalah skala psikologi. Skala merupakan alat ukur yang memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari berbagai bentuk alat pengumpulan data seperti angket (questionaire), daftar isian, inventori, dan lain-lain (Azwar, 2003).

Skala yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam yaitu (1) Skala dukungan sosial dan (2) Skala tingkat stres.

1. Dukungan sosial

a Penyusunan butir pernyataan

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dukungan sosial. Skala ini terdiri dari 70 item yang dikembangkan dari 4 aspek tujuan, yaitu instrumental, informatif, emosional, dan pengahargaan. Skala disusun berdasarkan skala Likert, dengan empat alternatif yaitu “Sangat Sesuai” (SS), “Sesuai” (S), “Tidak Sesuai” (TS), dan “Sangat Tidak Sesuai” (STS). Peneliti hanya mencantumkan empat


(64)

46

alternatif jawaban supaya dapat menghindari kemungkinan subjek memilih jawaban yang netral.

Tabel 1

Blue print sebelum uji coba Item

N o

Aspek

Favorabel Unfavorabel

Total 1 Instrumental 9

(12,85%)

9 (12,85%)

18 (25,7%) 2 Informatif 8

(11,45%)

8 (11,45%)

16 (22,9%) 3 Emosional 9

(12,85%)

9 (12,85%)

18 (25,7%) 4 Penghargaan 9

(12,85%)

9 (12,85%)

18 (25,7%) Jumlah 35

(50%) 35 (50%) 70 (100%) Tabel 2

Spesifikasi item sebelum uji coba Item

N o

Aspek

Favorabel Unfavorabel

Total 1 Instrumental 9; 18; 25; 29; 35;

47; 48; 56; dan 61.

2; 6; 14; 31; 38; 42; 54; 65; dan 68.

18 2 Informatif 1; 10; 19; 22; 39;

43; 53; dan 58.

5; 13; 28; 32; 45; 49; 50; dan 64.

16 3 Emosional 3; 7; 15; 20; 24; 44;

51; 62; dan 67.

11; 17; 26; 34; 36; 40; 57; 59; dan 69.

18 4 Penghargaan 4; 12; 16; 33; 37;

41; 52; 60; dan 70.

8; 21; 23; 27; 30; 46; 55; 63; dan 66

18 Jumlah 70

b Pemberian skor

Skor untuk pernyataan yang bersifat favorabel bergerak dari 4-1 sesuai jawaban subjek, yaitu dari sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai.


(65)

Pernyataan yang bersifat unfavorabel bergerak dari 1-4 sesuai dengan jawaban yang diberikan subjek, yakni dari sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai.

Tabel 3

Penskoran item favorabel dan unfavorabel skor

Alternatif jawaban

Favorabel Unfavorabel

Sangat Sesuai 4 1

Sesuai 3 2

Tidak Sesuai 2 3 Sangat Tidak Sesuai 1 4

2. Tingkat stres

a Penyusunan butir pernyataan

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala tingkat stres. Skala ini terdiri dari item yang dikembangkan dari 5 indikator yang berdasarkan ciri-ciri orang yang tingkat stres tinggi dan tingkat stres rendah. Indikator stres adalah fisiologis, emosional, kognitif, perilaku, dan interpersonal.

Skala disusun berdasarkan skala Likert, dengan empat alternatif yaitu “Selalu” (SL), “Seringkali” (SR), “Kadang-kadang” (KD), dan “Tidak Pernah” (TP). Peneliti hanya mencantumkan empat alternatif jawaban supaya dapat menghindari kemungkinan subjek memilih jawaban yang netral.


(66)

48

Tabel 4

Blue print sebelum uji coba Item

N o

Indikator

Favorabel Unfavorabel

Total 1 Fisiologis 9

(11,25%)

9 (11,25%)

18 (22,5%) 2 Emosional 9

(11,25%)

9 (11,25%)

18 (22,5%) 3 Kognitif 8

(10%)

8 (10%)

16 (20%) 4 Perilaku 7

(8,75%)

7 (8,75%)

14 (17,5%) 5 Interpersonal 7

(8,75%)

7 (8,75%)

14 (17,5%) Jumlah 40

(50%) 40 (50%) 80 (100%) Tabel 5

Spesifikasi item sebelum uji coba Item

N o

Indikator

Favorabel Unfavorabel

Total 1 Fisiologis 6; 11; 22; 34; 38;

48; 52; 61; dan 74.

5; 19; 26; 36; 42; 55; 59; 78; dan 79.

18

2 Emosional 4; 17; 32; 37; 41; 47; 53; 62; dan 70.

7; 12; 21; 25; 27; 39; 58; 75; dan 77.

18

3 Kognitif 8; 13; 31; 35; 40; 51; 63; dan 71.

3; 20; 23; 28; 43; 54; 60; dan 68..

16 4 Perilaku 2; 18; 24; 29; 49;

64; dan 66.

9; 14; 33; 44; 57; 69; dan 72.

14 5 Interpersonal 10; 15; 45; 50; 56;

65; dan 80.

1; 16; 30; 46; 67; 73; dan 76.

14 Jumlah 80


(67)

b Pemberian skor

Skor untuk pernyataan yang bersifat favorabel bergerak dari 4-1 sesuai jawaban subjek, yaitu dari sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai. Pernyataan yang bersifat unfavorabel bergerak dari 1-4 sesuai dengan jawaban yang diberikan subjek, yakni dari sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai.

Tabel 6

Penskoran item favorabel dan unfavorabel skor

Alternatif jawaban

Favorabel Unfavorabel

Selalu 4 1

Seringsekali 3 2 Kadang-kadang 2 3 Tidak pernah 1 4

F. Pengujian validitas dan reliabilitas

Validitas dan reliabilitas merupakan tingkatan mutu dari seluruh proses pengumpulan data dalam penelitian. Pengujian validitas dan reliabilitas perlu dilakukan sebelum suatu alat ukur digunakan dalam suatu penelitian, supaya alat ukur dapat benar-benar mengukur apa yang diukur dan memiliki ketepatan dalam mengukur.

1. Uji Validitas

Validasi adalah ukuran yang melihat sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukuran dalam melakukan fungsinya. Tujuan


(68)

50

pengujian validitas adalah untuk mengetahui skala psikologi menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurannya (Aswar, 2003).

Pengujian validitas dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan validitas diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat profesional judgement. Profesional judgement dalam penelitian ini dilakukan oleh dosen pembimbing.

2. Uji Analisis Item

Uji analisis item digunakan untuk mengetahui seberapa cermat alat ukur dapat melakukan fungsi ukurnya. Prosedur seleksi item berdasar pada data empiris. Kualitas item diukur dengan analisis butir dengan menggunakan parameter daya beda atau daya diskriminasi item. Daya diskriminasi item adalah sejauh mana item mampu membedakan antara individu yang memiliki dan yang tidak memiliki artibut yang diukur (Aswar, 2003).

Pengujian daya diskriminasi item dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan kriteria yang relevan. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi item total (rxy). Syarat yang digunakan seleksi item adalah item-item tersebut menghasikan korelasi positif dan signifikan.

3. Uji Reliabilitas

Reliabilitas mengacu pada konsistensi hasil pengukuran, yaitu keajegan hasil pengukuran skala (Aswar, 2003). Skala dianggap reliabel bila skala tersebut memunculkan hasil yang relatif sama pada subjek yang sama


(1)

14. Saya merasa mampu berbuat sesuatu.

SL SR KD TP 15. Saya merasa otak saya bisa menerima informasi baru.

SL SR KD TP 16. Saya membuka diri kepada lingkungan sosial saya.

SL SR KD TP 17. Saya melamun.

SL SR KD TP 18. Saya suka menyalahkan diri saya.

SL SR KD TP 19. Saya rajin mengerjakan sesuatu.

SL SR KD TP 20. Pikiran saya kacau.

SL SR KD TP 21. Saya menarik nafas teratur.

SL SR KD TP 22. Saya marah-marah.

SL SR KD TP 23. Punggung dan leher saya terasa tegang.

SL SR KD TP 24. Saya merasa sangat bersemangat.

SL SR KD TP 25. Saya merasa otak seperti beku.

SL SR KD TP 26. Saya merasa sedih.

SL SR KD TP 27. Saya dapat tidur nyenyak.

SL SR KD TP 28. Saya menepati janji saya.

SL SR KD TP 29. Saya merasa rendah diri.

SL SR KD TP 30. Nafas saya terengah-engah.

SL SR KD TP 31. Saya malas melakukan apa-apa.

SL SR KD TP 32. Saya susah kosentrasi.

SL SR KD TP 33. Saya sakit kepala.

SL SR KD TP 34. Saya merasa kehilangan kesabaran.

SL SR KD TP 35. Denyut jantung saya normal.

SL SR KD TP 36. Saya sabar menghadapi cobaan.

SL SR KD TP 37. Saya merasa saya mudah mengingat sesuatu.

SL SR KD TP 38. Badan saya terasa pegal-pegal.


(2)

39. Saya merasa gelisah.

SL SR KD TP 40. Saya mudah panik.

SL SR KD TP 41. Saya ingkar janji.

SL SR KD TP 42. Saya bersahabat dengan semua orang.

SL SR KD TP 43. Saya bisa mengontrol gerakan saya.

SL SR KD TP 44. Suasana hati saya mudah berubah.

SL SR KD TP 45. Saya merasa otak saya tidak dapat menerima informasi baru.

SL SR KD TP 46. Saya tidur teratur.

SL SR KD TP 47. Saya ramah pada orang lain.

SL SR KD TP 48. Saya merasa tentram.

SL SR KD TP 49. Saya merasa bahagia.

SL SR KD TP 50. Saya buang air besar secara teratur.

SL SR KD TP

TERIMA KASIH ATAS KERJASAMANYA TUHAN MEMBERKATI


(3)

6.

UJI ASUMSI

a.

UJI NORMALITAS


(4)

a. Uji Normalitas

NPar Tests

N Mean

Std.

Deviation Minimum Maximum

DS 50 151,48 17,604 90 188

TS 50 98,02 21,750 55 154

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

DS TS

N 50 50

Mean 151,48 98,02

Normal

Parameters(a,b) Std. Deviation 17,604 21,750

Absolute ,160 ,149

Positive ,088 ,149

Most Extreme Differences

Negative -,160 -,070

Kolmogorov-Smirnov Z 1,128 1,057

Asymp. Sig. (2-tailed) ,157 ,214

a Test distribution is Normal. b Calculated from data.


(5)

b. Uji Linieritas

Regression

ANOVA(b)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Regressi

on 8538,450 1 8538,450 27,990 ,000(a)

Residual 14642,530 48 305,053

1

Total 23180,980 49

a Predictors: (Constant), DS b Dependent Variable: TS

Coefficients(a)

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Consta

nt) 211,611 21,612 9,791 ,000

1

DS -,750 ,142 -,607 -5,291 ,000

a Dependent Variable: TS

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,607(a) ,368 ,355 17,466


(6)

UJI HIPOTESA

Correlations

DS TS

Pearson

Correlation 1 -,607(**)

Sig.

(1-tailed) . ,000

DS

N 50 50

Pearson

Correlation -,607(**) 1

Sig.

(1-tailed) ,000 .

TS

N 50 50