PENDAHULUAN SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN DITINJAU DARI PASAL 46 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

3 JURNAL PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN DITINJAU DARI PASAL 46 AYAT 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN Penulis : Anton Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta anton.napitupuluymail.com Abstract This law research en titled “Corporate Criminal Responsibility In Banking Criminal Acts Reviewed From Article 46 Verse 2 Law No. 101998 About Amendment On Law No. 71992 About Banking.” Corporate criminal responsibility in banking criminal acts hasn’t been regulated explicitl y so required an assessment of the system of corporate criminal responsibility in the crime of bank which regulated specifically in Law No. 101998 About Amendment On Law No. 71992 About Banking. This research use normative legal research method. Normative legal research method is a method which laying the law as a norm system construction. Normative legal research method focusing on legal instrument regulating about corporate criminal responsibility. After doing legal research, writer earn a conclusion ba sed on vicarious liability doctrine and needed to be reaffirmed and be cleared about formulation for corporate criminal responsibility in banking criminal acts. Keyword : Corporate, Criminal Responsibility, Banking Criminal Acts.

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan negara yang sedang giat dalam melakukan pembangunan dalam berbagai sektor bidang. Beberapa bentuk dan perkembangan di berbagai sektor bidang dapat dilihat sekarang ini, seperti sektor perekonomian, teknologi maupun sosial, dan sebagainya. Wujud perkembangan dan pembangunan perekonomian di Negara Republik Indonesia secara luas akan menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Adanya perkembangan dan pembangunan yang pesat dalam sektor perekonomian terkhusus pada dunia usaha dapat dilihat dari segi cara masyarakat dalam menjalankan aktifitas usaha yang sudah tidak lagi sederhana seperti pada masa dahulu. Misalnya seperti masa dahulu orang melakukan usaha atau bisnis secara sendiri-sendiri, sedangkan kegiatan usaha yang dilakukan secara orang- perorangan sudah tidak dapat digunakan secara meluas di era saat ini. Adanya kebutuhan dari orang-perorangan untuk melakukan kerjasama dalam melakukan usaha supaya kegiatan usaha tersebut semakin meluas. Adanya bentuk kerjasama yang dilakukan oleh orang-perorangan akan melahirkan suatu tatanan baru, yakni tatanan yang membentuk suatu perkumpulan dari orang-perorangan dengan menggabungkan modalnya masing-masing menjadi satu modal yang besar untuk melakukan usaha dalam rangka memperoleh keuntungan yang lebih besar. Perkumpulan yang dilakukan oleh beberapa orang-perorangan inilah yang nantinya dinamakan sebagai Badan Usaha atau Perusahaan. Dalam kesehariannya, Badan Usaha atau Perusahaan di kalangan masyarakat saat ini telah dibagi dalam beberapa bentuk, yakni badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Adapun badan usaha yang berbadan hukum terdiri dari Perseroan Terbatas dan Koperasi. Sedangkan badan usaha yang tidak berbadan hukum terdiri dari Firma Fa dan Persekutuan Komanditer CV. Bentuk pengaturan dari 4 badan-badan usaha tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD. Disamping itu, ada suatu badan hukum lain, yaitu Yayasan yang bercirikan kegiatan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan dan karenanya tidak dianggap sebagai badan usaha. seluruh Badan Usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum disebut sebagai Korporasi 1 . Keberadaan Korporasi dalam bidang usaha di berbagai sektor ekonomi juga menimbulkan dampak secara negatif seperti halnya kegiatan usaha yang dilakukan oleh orang-perorangan yang juga dapat melakukan kejahatan. Apabila ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, tentu telah diatur bahwa orang-perorangan melakukan suatu kejahatan pastinya akan ada sanksi pidana padanya. Demikian pula dengan keberadaan Korporasi dalam bidang usaha di berbagai sektor yang terkhusus dalam bidang perbankan dalam skripsi ini. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP pun belum mengatur adanya sanksi pidana bagi korporasi apabila melakukan suatu tindak pidana. Permasalahan tentang adanya Korporasi ini yang disebut sebagai subjek hukum pidana seperti layaknya orang-perorangan tidaklah lepas dari aspek hukum perdata. Apabila ditinjau dari aspek hukum perdata yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer, Korporasi juga disebutkan sebagai subjek hukum layaknya orang-perorangan. Hal ini karena Korporasi sebagai subjek hukum juga memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum seperti yang dilakukan oleh orang- perorangan. Pandangan keberadaan Korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer berbeda dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP yang hanya mengenal orang-perorangan sebagai subjek hukum. Hal ini selaras dengan keberadaan dari asas “Universitas Delinquere Non Potest” yakni badan hukum tidak dapat melakukan suatu tindak pidana 2 . Adapun Pasal 59 Kitab 1 Hasbullah F. Sjawie, 2013, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Korporasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2 2 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggunglangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum , Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 21. Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berbunyi : “Dalam hal -hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak dipidana”. Perkembangan yang terjadi di masa sekarang ini telah membuat korporasi muncul sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Pembangunan hukum sebagai upaya dalam menegakkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 UUD RI 1945, diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakkan, pelayanan dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. 3 Keberadaan korporasi di masa sekarang ini juga menjadi suatu realita bahwa korporasi telah berkembang dan semakin memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat yang terkhusus pada bidang perekonomian, seperti halnya dalam bidang perbankan. Diperlukan suatu perubahan dalam hukum pidana mengenai pengenaan sanksi- sanksi pidana terhadap kejahatan atau tindak pidana dengan memperhatikan dan mengkategorikan Korporasi sebagai subjek hukum pidana yang juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila telah melakukan suatu tindak pidana. Berkaitan dengan keberadaan korporasi sebagai subjek hukum yang juga dapat melakukan tindak pidana, maka tentu juga akan terjadi perkembangan kejahatan- kejahatan di bidang perekonomian itu sendiri, seperti halnya korporasi dapat melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencucian uang dan bahkan tindak pidana perbankan. Adapun keberadaan tindak pidana perbankan di Indonesia dewasa ini masih tidak banyak terungkap dan tidak banyak dijerat oleh hukum. Sehubungan 3 Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Media Group, Jakarta, hlm. 12 5 dengan tindak pidana perbankan itu sendiri, hukum seolah-olah hanya sebagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak bertaring dan tidak dapat ditegakkan. Hal ini karena tindak pidana perbankan merupakan tindak pidana kerah putih white collar crime yang bersifat terorganisasi organized crime dan bersifat luar biasa extra ordinary crime dengan dimensi kejahatan-kejahatan yang baru new dimention of crime dengan menggunakan teknologi-teknologi modern yang sangat canggih. Sebagai konsekuensi dari perkembangan tersebut, maraknya tindak pidana di Indonesia yang di jalankan dan dilakukan oleh korporasi sulit untuk didekteksi, sulit untuk diungkap dan sulit untuk dibuktikan. Hal ini diperparah dengan kurangnya pengetahuan dari aparatur penegak hukum akan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur secara tegas mengenai tindak pidana perbankan dan bagaimana mengaplikasikan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut terhadap kasus konkrit yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum harus segera mengambil perannya sebagai instrument dalam rangka memberikan perlindungan, menciptakan ketertiban, kesejahteraan dan keadilan serta menciptakan suatu aturan dan sistem yang dapat mencegah dan memberantas maraknya tindak pidana yang terjadi dewasa ini. Hal ini penting untuk diperhatikan dan diimplementasikan karena sangat terkait dengan tujuan diselenggarakannya Negara Republik Indonesia atau tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke-4 yang menyatakan bahwa tujuan nasional bangsa Indonesia adalah : “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadialan sosial”. 4 Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Dasar Republik 4 Kristian Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan , Nuansa Aulia, hlm. 3 Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa perlindungan dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang salah satunya adalah melindungi masyarakat dari tindak pidana perbankan sebagaimana dimaksud dalam skripsi ini. Dalam rangka untuk memenuhi tujuan Negara sebagaimana dimaksud diatas, maka Negara perlu untuk menjaga tingkat perekonomian nasional tetap stabil atau bahkan untuk melahirkan tingkat perekonomian yang semakin hari semakin berkembang dan meningkat dengan cara menjaga arus perputaran uang dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Negara perlu untuk membentuk suatu lembaga keuangan yang mampu berperan aktif, efektif dan efisien dalam rangka melaksanakan seluruh tugas dan kewajibannya sehingga kestabilan perekonomian dapat tercapai. Lembaga keuangan yang dimaksud dalam hal ini adalah bank. Pendirian bank di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan pertimbangan yang dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan 5 . Bank merupakan pilar penopang suatu perekonomian suatu bangsa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga diatur secara tegas dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang apabila dilihat dari jenis usaha yang dilakukan oleh bank, bank berfungsi menarik uang dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali pada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak 6 . Fungsi bank yang begitu penting tersebut tidak jarang akan menimbulkan tindak pidana, karena adanya bank dalam hal ini bank merupakan korporasi sebagai subjek hukum dapat melakukan suatu tindak pidana atau 5 Ibid. 6 Ibid, hlm 5. 6 menggunakan kebijakan-kebijakan yang menyimpang dalam hukum pidana dengan tujuannya semata-mata hanya keuntungan belaka tanpa memperhatikan kepentingan publik. Selain itu, mengenai tindak pidana yang dilakukan bank itu sendiri ini juga perlu untuk ditegaskan kembali pertanggungjawaban pidananya dalam ruang lingkup tindak pidana perbankan, hal ini dikarenakan bank yang merupakan korporasi juga dianggap sebagai subjek hukum pidana. Korporasi sebagai subjek hukum dapat melakukan tindak pidana perbankan, namun demikian beberapa penegak hukum dan ahli hukum masih belum menerima kenyataan bahwa korporasi sudah seharusnya dijadikan sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana terkhusus tindak pidana perbankan. Hal ini terlihat dengan beberapa pendapat yang menyatakan sulitnya untuk menjerat dan menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Korporasi hanyalah sebuah badan yang tidak bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri seperti halnya subjek hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Selain itu, mustahil untuk menghadirkan korporasi ke dalam ruang sidang pengadilan dengan wujud fisik yang nyata dan duduk di kursi terdakwa untuk diadili. Penulis untuk melakukan penulisan hukum ini guna menambah wawasan dan keyakinan dari para pihak yang berperan dalam bidang hukum pidana untuk secara bersama-sama meyakini bahwa korporasi sangatlah pantas untuk dijadikan sebagai subjek hukum pidana. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dikemukakan dalam penulisan hukum ini,yaitu Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perbankan ditinjau dari Pasal 46 Ayat 2 ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan? Tujuan Dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini, penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai, yakni untuk memperoleh data tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 46 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Mengenai Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana Berbicara tentang korporasi maka kita tidak bisa melepaskan pengertian tersebut dari aspek hukum perdata. Korporasi itu sendiri merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut sesuatu yang dimaksud dalam bidang hukum lain, terkhusus dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai rectpersoon , sedangkan dalam bahasa inggris disebut sebagai legal person atau legal body 7 . Secara etimologis tentang korporasi Belanda: Corporatie, Inggris: Corporation , Jerman: Korporation berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Seperti halnya dengan kata- kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka corporation sebagai kata benda substantivum , berasal dari kata kerja corporare , yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” Indonesia: badan, yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan sebagai orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam 8 . Apabila suatu hukum memungkinkan perbuatan manusia untuk menjadikan badan itu di samping manusia, dengan mana ia samakan, maka itu berarti bahwa kepentingan masyarakat membutuhkannya, yakni untuk mencapai sesuatu yang oleh para individu tidak dapat dicapai atau amat susah untuk dicapai. Begitu pun manusia itu menggunakan iluminasi , bila lumen 7 H. Setiyono, 2005, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Pusblishing, Malang, hlm. 2 8 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 23 7 cahaya dari bintang dan bulan tidak mencukupi atau tidak ada. Berdasarkan uraian tersebut di atas ternyata korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakan itu terdiri dari corpus , yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptanya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum 9 . Menurut Wirjono Prodjodikoro, korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang- orang yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota mana juga memiliki kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peratran korporasi 10 . Sedangkan Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka berpendapat mengenai istilah badan hukum, yakni : “Dalam menerjemahkan zedelick lichaam menjadi badan hukum, maka lichaam itu benar terjemahannya badan, tetapi hukum sebagai terjemahan zedelick itu salah, karena arti sebenarnya dari kata tersebut adalah susila. Oleh karena itu, istilah zedelick lichaam dewasa ini sinonim dengan rechtspersoon , maka lebih baik kita gunakan pengertian itu dengan terjemahan pribadi hukum. 11 Pengertian Korporasi di dalam hukum pidana sebagai ius constituendem dapat dijumpai dalam Pasal 182 Konsep Rancangan KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru Buku I Tahun 2004- 2005 yang menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang danatau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan melihat pendapat-pendapat diatas sebagai berikut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata pengertian 9 Ibid, hlm. 24 10 Ibid, hlm. 27 11 Ibid, hlm. 28 tentang korporasi dalam hukum pidana lebih luas apabila di bandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Sebab korporasi dalam hukum pidana adalah badan hukum atau non – badan hukum, sedangkan dalam hukum perdata adalah hanyalah berbentuk badan hukum. Pengertian korporasi apabila ditinjau dari peraturan perundang-undangan di luar KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seperti dalam Pasal 15 Undang- Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi, dinyatakan bahwa : Ayat 1 : Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasa n, maka ….. dan seterusnya” Sedangkan pengertian korporasi dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme adalah : “kumpulan orang danatau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” Selain itu, pengertian korporasi dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Pengertian Korporasi menurut Pasal 1 Angka 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Perkembangan terhadap perundang- undangan khusus di luar KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terkhusus mengenai subyek hukum pidana, yakni korporasi, perumusannya lebih luas apabila dibandingkan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, karena menurut hukum pidana pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum atau tidak. 8

2. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana

Dokumen yang terkait

Pengangkatan Dewan Komisaris dan Direksi Bank menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan

0 38 105

Akuisisi Pada Perusahaaan Perbankan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroaan Terbatas Dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

1 50 150

Perlindungan Hukum Atas Data Pribadi Nasabah dalam Penyelenggaraan Layanan Internet Banking Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

0 3 11

TESIS PROSPEK PEMBENTUKAN BANK INDUSTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

0 3 13

PENDAHULUAN PROSPEK PEMBENTUKAN BANK INDUSTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

0 3 19

TINJAUAN PUSTAKA PROSPEK PEMBENTUKAN BANK INDUSTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

0 4 43

PENUTUP PROSPEK PEMBENTUKAN BANK INDUSTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

0 2 5

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK.

0 0 1

Pengangkatan Dewan Komisaris dan Direksi Bank menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan

0 0 31

ABSTRAK AKUISISI PADA PERUSAHAAAN PERBANKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAAN TERBATAS DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 JUNCTO UNDANG-UNDANG No.10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN

0 0 10