3
JURNAL PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA
PERBANKAN DITINJAU DARI PASAL 46 AYAT 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7
TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN
Penulis : Anton Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
anton.napitupuluymail.com
Abstract
This law research en
titled “Corporate Criminal Responsibility In Banking Criminal Acts
Reviewed From Article 46 Verse 2 Law No. 101998 About Amendment On Law No. 71992 About
Banking.” Corporate criminal responsibility in banking criminal acts hasn’t been regulated explicitl
y so required an assessment of the system of corporate criminal responsibility in the crime of bank
which regulated specifically in Law No. 101998 About Amendment On Law No. 71992 About Banking.
This research use normative legal research method. Normative legal research method is a method which laying the law as a norm system construction. Normative legal research method
focusing on legal instrument regulating about corporate criminal responsibility. After doing legal research, writer earn a conclusion ba sed on vicarious liability doctrine and
needed to be reaffirmed and be cleared about formulation for corporate criminal responsibility in banking criminal acts.
Keyword : Corporate, Criminal Responsibility, Banking Criminal Acts.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan
negara yang sedang giat dalam melakukan pembangunan dalam berbagai sektor bidang.
Beberapa bentuk dan perkembangan di berbagai sektor bidang dapat dilihat sekarang
ini, seperti sektor perekonomian, teknologi maupun sosial, dan sebagainya. Wujud
perkembangan
dan pembangunan
perekonomian di Negara Republik Indonesia secara luas akan menimbulkan berbagai
dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif.
Adanya perkembangan dan pembangunan yang pesat dalam sektor perekonomian
terkhusus pada dunia usaha dapat dilihat dari segi cara masyarakat dalam menjalankan
aktifitas usaha yang sudah tidak lagi sederhana seperti pada masa dahulu. Misalnya seperti
masa dahulu orang melakukan usaha atau bisnis
secara sendiri-sendiri,
sedangkan kegiatan usaha yang dilakukan secara orang-
perorangan sudah tidak dapat digunakan secara meluas di era saat ini. Adanya
kebutuhan dari
orang-perorangan untuk
melakukan kerjasama dalam melakukan usaha supaya kegiatan usaha tersebut semakin
meluas. Adanya bentuk kerjasama yang dilakukan
oleh orang-perorangan
akan melahirkan suatu tatanan baru, yakni tatanan
yang membentuk suatu perkumpulan dari orang-perorangan
dengan menggabungkan
modalnya masing-masing menjadi satu modal yang besar untuk melakukan usaha dalam
rangka memperoleh keuntungan yang lebih besar. Perkumpulan yang dilakukan oleh
beberapa
orang-perorangan inilah
yang nantinya dinamakan sebagai Badan Usaha atau
Perusahaan. Dalam kesehariannya, Badan Usaha atau
Perusahaan di kalangan masyarakat saat ini telah dibagi dalam beberapa bentuk, yakni
badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Adapun
badan usaha yang berbadan hukum terdiri dari Perseroan Terbatas dan Koperasi. Sedangkan
badan usaha yang tidak berbadan hukum terdiri dari Firma Fa dan Persekutuan
Komanditer CV. Bentuk pengaturan dari
4 badan-badan usaha tersebut diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang KUHD. Disamping itu, ada suatu badan hukum lain,
yaitu Yayasan yang bercirikan kegiatan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan dan karenanya
tidak dianggap sebagai badan usaha. seluruh Badan Usaha, baik yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum disebut sebagai Korporasi
1
. Keberadaan Korporasi dalam bidang usaha
di berbagai sektor ekonomi juga menimbulkan dampak secara negatif seperti halnya kegiatan
usaha yang dilakukan oleh orang-perorangan yang juga dapat melakukan kejahatan. Apabila
ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, tentu telah diatur bahwa
orang-perorangan melakukan suatu kejahatan pastinya akan ada sanksi pidana padanya.
Demikian pula dengan keberadaan Korporasi dalam bidang usaha di berbagai sektor yang
terkhusus dalam bidang perbankan dalam skripsi ini. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana KUHP pun belum mengatur adanya sanksi
pidana bagi
korporasi apabila
melakukan suatu tindak pidana. Permasalahan tentang adanya Korporasi ini yang disebut
sebagai subjek hukum pidana seperti layaknya orang-perorangan tidaklah lepas dari aspek
hukum perdata. Apabila ditinjau dari aspek hukum perdata yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer, Korporasi juga disebutkan sebagai subjek
hukum layaknya orang-perorangan. Hal ini karena Korporasi sebagai subjek hukum juga
memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum seperti yang dilakukan oleh orang-
perorangan. Pandangan keberadaan Korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHPer berbeda dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP yang hanya
mengenal orang-perorangan sebagai subjek hukum. Hal ini selaras dengan keberadaan dari
asas
“Universitas Delinquere Non Potest” yakni badan hukum tidak dapat melakukan
suatu tindak pidana
2
. Adapun Pasal 59 Kitab
1
Hasbullah F. Sjawie, 2013, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Korporasi,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2
2
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggunglangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum ,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 21.
Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berbunyi :
“Dalam hal
-hal dimana
karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota-anggota
badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran tindak dipidana”. Perkembangan yang terjadi di masa
sekarang ini telah membuat korporasi muncul sebagai subjek hukum pidana yang dapat
melakukan tindak
pidana dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
Pembangunan hukum sebagai upaya dalam menegakkan
keadilan, kebenaran
dan ketertiban dalam Negara Republik Indonesia
yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
UUD RI
1945, diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin
penegakkan, pelayanan dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang
mengabdi pada
kepentingan nasional.
3
Keberadaan korporasi di masa sekarang ini juga menjadi suatu realita bahwa korporasi
telah berkembang dan semakin memegang peranan
penting dalam
kehidupan bermasyarakat yang terkhusus pada bidang
perekonomian, seperti halnya dalam bidang perbankan. Diperlukan suatu perubahan dalam
hukum pidana mengenai pengenaan sanksi- sanksi pidana terhadap kejahatan atau tindak
pidana
dengan memperhatikan
dan mengkategorikan Korporasi sebagai subjek
hukum pidana yang juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila telah melakukan suatu
tindak pidana.
Berkaitan dengan keberadaan korporasi sebagai subjek hukum yang juga dapat
melakukan tindak pidana, maka tentu juga akan
terjadi perkembangan
kejahatan- kejahatan di bidang perekonomian itu sendiri,
seperti halnya korporasi dapat melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme,
tindak pidana pencucian uang dan bahkan tindak pidana perbankan. Adapun keberadaan
tindak pidana perbankan di Indonesia dewasa ini masih tidak banyak terungkap dan tidak
banyak dijerat oleh hukum. Sehubungan
3
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Kencana Media Group, Jakarta, hlm. 12
5 dengan tindak pidana perbankan itu sendiri,
hukum seolah-olah hanya sebagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak
bertaring dan tidak dapat ditegakkan. Hal ini karena tindak pidana perbankan merupakan
tindak pidana kerah putih
white collar crime
yang bersifat terorganisasi
organized crime
dan bersifat luar biasa
extra ordinary crime
dengan dimensi kejahatan-kejahatan yang baru
new dimention
of crime
dengan menggunakan
teknologi-teknologi modern
yang sangat canggih. Sebagai konsekuensi dari perkembangan tersebut, maraknya tindak
pidana di Indonesia yang di jalankan dan dilakukan
oleh korporasi
sulit untuk
didekteksi, sulit untuk diungkap dan sulit untuk dibuktikan. Hal ini diperparah dengan
kurangnya pengetahuan dari aparatur penegak hukum akan ketentuan peraturan perundang-
undangan
yang mengatur
secara tegas
mengenai tindak pidana perbankan dan bagaimana
mengaplikasikan ketentuan
peraturan perundang-undangan
tersebut terhadap kasus konkrit yang terjadi dalam
masyarakat. Dengan demikian, hukum harus segera
mengambil perannya sebagai instrument dalam rangka
memberikan perlindungan,
menciptakan ketertiban, kesejahteraan dan keadilan serta menciptakan suatu aturan dan
sistem yang dapat mencegah dan memberantas maraknya tindak pidana yang terjadi dewasa
ini. Hal ini penting untuk diperhatikan dan diimplementasikan
karena sangat
terkait dengan tujuan diselenggarakannya Negara
Republik Indonesia atau tujuan nasional bangsa
Indonesia, yaitu
sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke-4 yang menyatakan
bahwa tujuan nasional bangsa Indonesia adalah :
“melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadialan sosial”.
4
Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Dasar Republik
4
Kristian Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan
, Nuansa Aulia, hlm. 3
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa perlindungan dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang salah
satunya adalah
melindungi masyarakat dari tindak pidana perbankan sebagaimana dimaksud dalam
skripsi ini. Dalam rangka untuk memenuhi tujuan
Negara sebagaimana dimaksud diatas, maka Negara
perlu untuk
menjaga tingkat
perekonomian nasional tetap stabil atau bahkan
untuk melahirkan
tingkat perekonomian yang semakin hari semakin
berkembang dan meningkat dengan cara menjaga
arus perputaran
uang dalam
masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Negara perlu untuk membentuk suatu
lembaga keuangan yang mampu berperan aktif, efektif dan efisien dalam rangka
melaksanakan seluruh tugas dan kewajibannya sehingga kestabilan perekonomian dapat
tercapai. Lembaga keuangan yang dimaksud dalam hal ini adalah bank. Pendirian bank di
Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan
nasional dalam
rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan
ekonomi dan
stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan
pertimbangan yang dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
5
. Bank merupakan
pilar penopang
suatu perekonomian suatu bangsa dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga diatur secara tegas dalam Pasal 1
Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang apabila dilihat dari
jenis usaha yang dilakukan oleh bank, bank berfungsi
menarik uang
dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali pada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak
6
. Fungsi bank yang begitu penting tersebut
tidak jarang akan menimbulkan tindak pidana, karena adanya bank dalam hal ini bank
merupakan korporasi sebagai subjek hukum dapat melakukan suatu tindak pidana atau
5
Ibid.
6
Ibid, hlm 5.
6 menggunakan
kebijakan-kebijakan yang
menyimpang dalam hukum pidana dengan tujuannya semata-mata hanya keuntungan
belaka tanpa memperhatikan kepentingan publik. Selain itu, mengenai tindak pidana
yang dilakukan bank itu sendiri ini juga perlu untuk ditegaskan kembali pertanggungjawaban
pidananya dalam ruang lingkup tindak pidana perbankan, hal ini dikarenakan bank yang
merupakan korporasi juga dianggap sebagai subjek hukum pidana.
Korporasi sebagai subjek hukum dapat melakukan tindak pidana perbankan, namun
demikian beberapa penegak hukum dan ahli hukum masih belum menerima kenyataan
bahwa korporasi sudah seharusnya dijadikan sebagai subjek hukum pidana yang dapat
melakukan tindak pidana terkhusus tindak pidana perbankan. Hal ini terlihat dengan
beberapa pendapat yang menyatakan sulitnya untuk menjerat dan menjadikan korporasi
sebagai subjek hukum pidana. Korporasi hanyalah sebuah badan yang tidak bisa
melakukan segala sesuatu secara mandiri seperti halnya subjek hukum yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP.
Selain itu,
mustahil untuk
menghadirkan korporasi ke dalam ruang sidang pengadilan dengan wujud fisik yang
nyata dan duduk di kursi terdakwa untuk diadili. Penulis untuk melakukan penulisan
hukum ini guna menambah wawasan dan keyakinan dari para pihak yang berperan
dalam bidang hukum pidana untuk secara bersama-sama meyakini bahwa korporasi
sangatlah pantas untuk dijadikan sebagai subjek hukum pidana.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah yang
dikemukakan dalam penulisan hukum ini,yaitu Bagaimana
pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam tindak pidana perbankan ditinjau dari Pasal 46 Ayat 2 ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan? Tujuan
Dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini, penulis memiliki tujuan yang ingin
dicapai, yakni untuk memperoleh data tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
Pasal 46 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Tinjauan Pustaka 1.
Tinjauan Mengenai
Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana
Berbicara tentang korporasi maka kita tidak bisa melepaskan pengertian tersebut
dari aspek hukum perdata. Korporasi itu sendiri merupakan istilah yang biasa
digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut sesuatu
yang dimaksud dalam bidang hukum lain, terkhusus dalam bidang hukum perdata
sebagai badan hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai
rectpersoon
, sedangkan dalam bahasa inggris disebut
sebagai
legal person
atau
legal body
7
.
Secara etimologis tentang korporasi Belanda:
Corporatie,
Inggris:
Corporation
, Jerman:
Korporation
berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Seperti halnya dengan kata-
kata lain yang berakhir dengan “tio”,
maka
corporation
sebagai kata benda
substantivum
, berasal dari kata kerja
corporare
, yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau
sesudah itu.
Corporare
sendiri berasal dari kata
“corpus” Indonesia: badan, yang berarti
memberikan badan
atau membadankan.
Dengan demikian,
corporatio
itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan
badan yang dijadikan sebagai orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia
sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam
8
.
Apabila suatu hukum memungkinkan perbuatan manusia untuk menjadikan
badan itu di samping manusia, dengan mana ia samakan, maka itu berarti bahwa
kepentingan masyarakat
membutuhkannya, yakni untuk mencapai sesuatu yang oleh para individu tidak
dapat dicapai atau amat susah untuk dicapai.
Begitu pun
manusia itu
menggunakan
iluminasi
, bila
lumen
7
H. Setiyono, 2005, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Pusblishing, Malang, hlm. 2
8
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 23
7 cahaya dari bintang dan bulan tidak
mencukupi atau tidak ada.
Berdasarkan uraian tersebut di atas ternyata korporasi adalah suatu badan hasil
ciptaan hukum. Badan yang diciptakan itu terdiri dari
corpus
, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukan unsur
animus
yang membuat
badan itu
mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan
hukum, maka
kecuali penciptanya,
kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum
9
.
Menurut Wirjono
Prodjodikoro,
korporasi adalah
suatu perkumpulan
orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-
orang yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota mana juga memiliki
kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa
rapat anggota
sebagai alat
kekuasaan yang tertinggi dalam peratran korporasi
10
.
Sedangkan Soerjono Soekanto dan Purnadi
Purbacaraka berpendapat
mengenai istilah badan hukum, yakni :
“Dalam menerjemahkan
zedelick lichaam
menjadi badan hukum, maka
lichaam
itu benar terjemahannya badan,
tetapi hukum
sebagai terjemahan
zedelick
itu salah, karena arti sebenarnya dari kata tersebut
adalah susila. Oleh karena itu, istilah
zedelick lichaam
dewasa ini sinonim dengan
rechtspersoon
, maka lebih baik kita gunakan pengertian itu
dengan terjemahan pribadi hukum.
11
Pengertian Korporasi di dalam hukum pidana sebagai
ius constituendem
dapat dijumpai
dalam Pasal
182 Konsep Rancangan KUHP Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Baru Buku I Tahun 2004- 2005 yang menyatakan bahwa korporasi
adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang danatau kekayaan baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dengan melihat pendapat-pendapat diatas sebagai berikut, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa ternyata pengertian
9
Ibid, hlm. 24
10
Ibid, hlm. 27
11
Ibid, hlm. 28
tentang korporasi dalam hukum pidana lebih luas apabila di bandingkan dengan
pengertian korporasi
dalam hukum
perdata. Sebab korporasi dalam hukum pidana adalah badan hukum atau non
– badan hukum, sedangkan dalam hukum
perdata adalah hanyalah berbentuk badan hukum.
Pengertian korporasi apabila ditinjau dari peraturan perundang-undangan di luar
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seperti dalam Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi, dinyatakan
bahwa :
Ayat 1 : Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasa
n, maka …..
dan seterusnya”
Sedangkan pengertian korporasi dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme adalah :
“kumpulan orang danatau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan
hukum” Selain itu, pengertian korporasi dalam
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah “kumpulan orang
dan atau
kekayaan yang
terorganisasi baik
merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum”.
Pengertian Korporasi menurut Pasal 1 Angka 3 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme adalah “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.”
Perkembangan terhadap perundang- undangan khusus di luar KUHP Kitab
Undang-Undang Hukum
Pidana, terkhusus mengenai subyek hukum pidana,
yakni korporasi, perumusannya lebih luas apabila dibandingkan dengan pengertian
korporasi menurut hukum perdata, karena menurut
hukum pidana
pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum
atau tidak.
8
2. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana