Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L ) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus

(1)

PENGARUH EKSTRAK DAUN KUMIS KUCING (

Orthosiphon

stamineus Benth) DAN BUNGA KENOP (

Gomphrena globosa L.)

TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT TIKUS

ZILFIA NORA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa

L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus adalah karya saya sendiri dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS dan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2007

Zilfia Nora


(3)

ABSTRAK

ZILFIA NORA. Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon

stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) terhadap

Proliferasi Sel Limfosit Tikus. Dibimbing oleh DEDDY MUCHTADI dan NURHENI SRI PALUPI.

Daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan bunga kenop (Gomhprena globosa L) merupakan salah satu tumbuhan berkhasiat obat yang telah dimanfaatkan sejak lama dalam pengobatan tradisional. Selama ini penggunaan daun kumis kucing dan bunga kenop untuk pengobatan dilakukan berdasarkan pengalaman secara empiris selain itu belum banyak penelitian yang dilakukan terhadap dua komoditas tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode pengeringan terbaik dalam pembuatan bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop dan mengetahui pengaruh ekstrak kedua produk ini terhadap proliferasi sel limfosit secara in vivo, in vitro dan in vivo-in vitro.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap; (1) tahap pertama adalah pembuatan bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop, (2) tahap kedua adalah ekstraksi daun kumis kucing dan bunga kenop dengan parameter analisis sifat fisik (warna bubuk dan ekstrak secara visual) dan kimia (total fenol, aktivitas antioksidan dan proksimat), dan (3) tahap ketiga adalah pengujian biologis dengan parameter analisis pengaruh minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop terhadap; (a) Berat badan tikus, (b) Proliferasi sel limfosit secara in vivo, (c) Proliferasi sel limfosit secara in vitro, dan (d) Proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro.

Metode terbaik untuk pengeringan daun kumis kucing adalah pengeringan matahari (2-3 hari) dengan kadar total fenol ekstrak bubuk sebesar 22.74±0.03 mg/g berat kering dan Trolox Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC) sebesar 1364.88±0.01 mM trolox/g berat kering. Sementara metode terbaik untuk pengeringan bunga kenop adalah pengeringan oven 50oC (10-12 jam) dengan kadar total fenol (3.08±0.02 mg/g berat kering) dan TEAC (110.46±0.03 mM trolox/g berat kering) lebih rendah daripada daun kumis kucing. Proses pengeringan ternyata dapat menurunkan kadar total fenol dan aktivitas antioksidan kedua produk tersebut dibandingkan bahan segar.

Kemampuan ekstrak bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop untuk menstimulasi proliferasi limfosit in vivo lebih tinggi daripada kontrol pada semua dosis yang diberikan. Secara in vitro, ekstrak bubuk daun kumis kucing dengan 7 tingkatan dosis (0.6, 1.2, 2.4, 4.8, 9.6, 19.2 dan 38.4 mg/ml medium Roswell Park Memorial Institute (RPMI)-1640, dapat menstimulasi peningkatan proliferasi limfosit dengan indeks stimulasi (IS) berturut-turut sebesar 1.72±0.11, 2.04±0.13, 2.77±0.20, 3.24±0.09, 4.08±0.19, 4.21±0.26 dan 4.71±0.21. Sedangkan ekstrak bubuk bunga kenop hanya dapat menstimulasi peningkatan proliferasi limfosit dari dosis 0.4 sampai 1.6 mg/ml medium RPMI dengan IS sebesar 1.25±0.32, 1.32±0.29 dan 1.32±0.26. Semakin tinggi dosis ekstrak daun kumis kucing semakin tinggi proliferasi sel limfositnya sebaliknya semakin tinggi dosis ekstrak bunga kenop semakin rendah proliferasi sel limfositnya.


(4)

Proliferasi limfosit secara in vivo-in vitro menunjukkan bahwa ekstrak daun kumis kucing dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit tikus, namun respon proliferasi limfosit yang tertinggi ditunjukkan kelompok tikus yang mendapat perlakuan in vivo dosis 0.4 g/ekor/hari. Pemberian ekstrak bubuk daun kumis kucing secara in vitro dari dosis 0.6, 1.2, 2.4, 4.8, 9.6, 19.2 dan 38.4 mg/ml medium RPMI meningkatkan IS sebesar 0.99±0.09, 1.24±0.20, 1.29±0.05, 1.89±0.15, 2.86±0.75, 3.04±0.14 dan 4.47±0.46, sedangkan kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak dosis 0.8 g/ekor/hari peningkatan IS lebih rendah yaitu sebesar 0.92±0.11, 1.02±0.06, 1.12±0.06, 1.30±0.11, 1.74±0.10, 2.26±0.17 dan 3.27±0.12.

Respon proliferasi limfosit pada kelompok tikus yang diberi ekstrak bunga kenop tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Perlakuan in vivo ekstrak bunga kenop dosis 0.6 dan 1.2 g/ekor/hari hanya dapat meningkatkan proliferasi limfosit dari dosis in vitro 0.4 sampai 0.8 mg/ml. Peningkatan dosis ekstrak bunga kenop secara in vitro dari 1.6, 3.2, 6.5, 13.1 dan 26.3 mg/ml justru menekan proliferasi limfosit. Tampaknya daun kumis kucing menga ndung senyawa yang bersifat imunomodulator di mana sampai dosis 38.4 mg/ml medium RPMI masih dapat meningkatkan proliferasi limfosit sedangkan bunga kenop hanya bersifat imunomodulator pada dosis rendah yaitu 0.8 mg/ml medium RPMI.


(5)

PENGARUH EKSTRAK DAUN KUMIS KUCING (

Orthosiphon

stamineus Benth) DAN BUNGA KENOP (

Gomphrena globosa L.)

TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT TIKUS

ZILFIA NORA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

Judul Tesis : Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus

Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus

Nama : Zilfia Nora

NRP : F251030081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul ”Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus” ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 sampai Januari 2006.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS dan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si selaku pembimbing, atas segala bimbingan dan arahannya. Ucapan terimakasih disampaikan juga kepada Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Didah Nur Faridah, M.Si selaku ketua tim Research Grant Hibah Kompetisi B tahun 2005 atas segala bantuannya selama pelaksanaan dan pendanaan penelitian ini.

Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada Papa, Mama, Uni dan adik-adik atas kasih sayang, untaian doa dan dukungannya. Ucapan terimakasih disampaikan kepada “my best friends” (Diah & mas Ropi, Rina, Santi & mas Ari, Bu Epi & keluarga) atas kebersamaan, bantuan dan dorongan semangatnya selama penelitian dan penulisan tesis ini.

Terima kasih juga untuk rekan-rekan di Program Studi Ilmu Pangan khususnya angkatan 2003 atas kebersamaan dan bantuannya selama ini. Semua laboran di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah banyak membantu serta Mbak Bamby, Inggrid dan Andreas (tim kumis kucing dan bunga kenop) atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2007


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tanggal 10 November 1980 dari ayah Fauzi Djalaludin, S.Sos dan Ibu Yusmaniar. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Pendidikan Sarjana ditempuh pada Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Bung Hatta Padang lulus tahun 2003 dan langsung melanjutkan studi pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Botani Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) ... 4

Botani Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) ... 8

Pengeringan Bahan Pangan ... 11

Polifenol sebagai Antioksidan... 13

Respon Imun ... 14

Limfosit ... 15

Proliferasi Limfosit ... 17

Kultur Sel Limfosit ... 19

METODOLOGI PENELITIAN ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 23

Tahap 1 Pembuatan Bubuk Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop ... 23

Tahap 2 Ekstraksi Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop dengan Parameter Analisis Sifat Fisik dan Kimia sehingga Diperoleh Ekstrak Terbaik ... 25

Tahap 3 Pengujian Biologis ... 30

Rancangan Percobaan ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

Karakteristik Fisik Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop ... 40

Karakteristik Kimia Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop ... 44

Karakteristik Biologis Pemberian Ekstrak Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop pada Tikus ... 52


(10)

SIMPULAN DAN SARAN ... 67

Simpulan ... 67

Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi dan jumlah normal sirkulasi masing- masing elemen

seluler pada darah manusia, mencit dan tikus ... 16 2 Bahan-bahan yang ditanam ke dalam kultur sel ... 37 3 Dosis ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop dari

konsumsi normal perhari ... 38 4 Hasil analisa proksimat bubuk daun kumis kucing kering matahari

dan bunga kenop kering oven... 51 5 Jumlah ekstrak yang diminum dari rata-rata jumlah konsumsi


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) ... 5

2 Tanaman bunga kenop (Gomphrena globosa L.) ... 8

3 Struktur kimia komponen gomphrenin dan isogomphrenin ... 10

4 Diagram alir tahapan penelitian ... 24

5 Tahapan pengujian proliferasi sel limfosit secara in vivo, in vitro dan in vivo-in vitro ... 31

6 Ekstrak bubuk minuman perlakuan ... 32

7 Bubuk daun kumis kucing... 40

8 Ekstrak bubuk daun kumis kucing ... 42

9 Bubuk bunga kenop... 43

10 Ekstrak bubuk bunga kenop ... 43

11 Total fenol ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop segar, bubuk kering matahari dan kering oven ... 44

12 Aktivitas antioksidan ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop segar, bubuk kering matahari dan kering oven ... 47

13 Tikus Spraque dawley yang diberi minum ekstrak bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop ... 52

14 Pertambahan berat badan selama masa perlakuan pada setiap kelompok tikus ... 53

15 Peningkatan indeks stimulasi (IS) proliferasi limfosit tikus (in vivo) yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop dengan berbagai dosis selama 8 minggu... 55

16 Peningkatan indeks stimulasi (IS) proliferasi limfosit tikus secara in vitro dengan berbagai dosis ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop. PWM, Con-A dan LPS adalah kontrol untuk stimulasi sel T dan B ... 59

17 Peningkatan indeks stimulasi (IS) proliferasi limfosit tikus setelah perlakuan secara in vivo selama 2 bulan dan secara in vitro dengan berbagai dosis ekstrak daun kumis kucing ... 62

18 Peningkatan indeks stimulasi (IS) proliferasi limfosit tikus setelah perlakuan secara in vivo selama 2 bulan dan secara in vitro dengan berbagai dosis ekstrak bunga kenop ... 64


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Perhitungan dosis dasar jumlah penggunaan daun kumis kucing

dan bunga kenop segar untuk membuat ekstrak ... 78 2 Perhitungan dosis dasar jumlah penggunaan bubuk daun

kumis kucing dan bunga kenop kering matahari dan oven

untuk membuat ekstrak ... 79 3 Komposisi Ransum Tikus ... 80 4 Perhitungan dosis ekstrak bubuk daun kumis kucing sebagai

minuman untuk tikus percobaan ... 81 5 Perhitungan dosis ekstrak bubuk bunga kenop sebagai minuman

untuk tikus percobaan ... 83 6 Konversi dosis antar spesies untuk penetapan dosis pada

suatu spesies hewan/manusia ... 85 7 Komposisi media RPMI-1640 ... 86 8 Perhitungan konsentrasi ekstrak daun kumis kucing dan bunga

kenop yang digunakan dalam kultur sel limfosit tikus ... 87 9 Absorbansi dan kurva standar asam tanat ... 89 10 Absorbansi dan kurva standar trolox ... 90 11a Perbandingan total fenol pada 0 dan 24 jam antara ekstrak daun

kumis kucing segar, pengeringan matahari dan pengeringan oven ... 91 11b Analisis sidik ragam kandungan total fenol ekstrak daun kumis

kucing segar, bubuk kering matahari dan oven selama penyimpanan .... 91 11c Uji beda rataan untuk membandingkan perlakuan lamanya

penyimpanan terhadap total fenol daun kumis kucing ... 91 12a Perbandingan total fenol pada 0 dan 24 jam antara ekstrak

bunga kenop segar, pengeringa n matahari dan pengeringan oven ... 92 12b Analisis sidik ragam kandungan total fenol ekstrak bunga

kenop segar, bubuk kering matahari dan oven selama penyimpanan ... 92 12c Uji beda rataan untuk membandingkan perlakuan lamanya

penyimpanan terhadap total fenol bunga kenop ... 92 13a Perbandingan aktivitas antioksidan pada 0 jam dan 24 jam

antara ekstrak daun kumis kucing segar, pengeringan

matahari dan pengeringan oven ... 93 13b Analisis sidik ragam aktivitas antioksidan daun kumis


(14)

13c Uji beda rataan untuk membandingkan perlakuan lamanya

penyimpanan terhadap aktivitas antioksidan daun kumis kucing ... 93 14a Perbandingan aktivitas antioksidan pada 0 dan 24 jam antara ekstrak

bunga kenop segar, pengeringan matahari dan pengeringan oven ... 94 14b Analisis sidik ragam aktivitas antioksidan bunga kenop selama

penyimpanan ... 94 14c Uji beda rataan untuk membandingkan perlakuan lamanya

penyimpanan terhadap aktivitas antioksidan bunga kenop ... 94 15a Data perhitungan pertambahan berat badan dan jumlah

konsumsi minuman perlakuan pada tikus ... 95 15b Analisis sidik ragam pengaruh konsumsi minuman perlakuan

terhadap pertambahan berat badan tikus ... 96 15c Uji beda rataan untuk membandingkan perlakuan

pemberian minuman terhadap pertambahan berat badan tikus ... 96 16a Jumlah sel limfosit yang diberi perlakuan in vivo selama 8 minggu ... 97 16b Analisis sidik ragam proliferasi sel limfosit secara in vivo ... 97 16c Uji beda rataan perlakuan terhadap absorbansi dan indeks stimulasi

proliferasi sel limfosit secara in vivo ... 97 17a Indeks stimulasi proliferasi sel limfosit in vitro ... 98 17b Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro ... 98 17c Hasil analisis beda Duncan pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro ... 99 17d Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak bunga kenop terhadap

proliferasi sel limfosit secara in vitro ... 99 17e Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi

sel limfosit secara in vitro ... 99 18a Indeks stimulasi proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro

dengan penambahan ekstrak daun kumis kucing pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing

dosis 0.4 dan 0.8 g/ekor/hari ... 100 18b Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun

kumis kuc ing dosis 0.4 g/ekor/hari ... 100 18c Hasil analisis beda Duncan pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun


(15)

18d Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak daun kumis kucing terhadap proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun

kumis kuc ing dosis 0.8 g/ekor/hari ... 101 18e Hasil analisis beda Duncan pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing

dosis 0.8 g/ekor/hari ... 101 18f Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi

sel limfosit in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing

dosis 0.4 g/ekor/hari ... 102 18g Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi

sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing

dosis 0.8 g/ekor/hari ... 102 19a Indeks stimulasi proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro

dengan penambahan ekstrak bunga kenop pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop

dosis 0.6 dan 0.8 g/ekor/hari ... 103 19b Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak bunga kenop terhadap

proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop

dosis 0.6 g/ekor/hari ... 103 19c Hasil analisis beda Duncan pengaruh ekstrak bunga kenop

terhadap proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop

dosis 0.6 g/ekor/hari ... 104 19d Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak bunga kenop terhadap

proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop

dosis 1.2 g/ekor/hari ... 104 19e Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi

sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop

dosis 0.6 g/ekor/hari ... 104 19f Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi

sel limfosit secara in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pentingnya hidup sehat dengan bahan alami mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk-produk yang alami. Hal ini seiring dengan berkembangnya pemikiran “back to nature”. Pengobatan modern mengakibatkan ketergantungan yang tinggi bagi penderita terhadap obat-obat sintetis. Disamping itu mahalnya harga obat sintetis dan bahaya yang ditimbulkannya pada pemakaian dalam jangka panjang membuat banyak orang beralih menggunakan tanaman obat untuk terapi pengobatan penyakit tertentu.

Kondisi tersebut mendorong berkembangnya penelitian terhadap tanaman obat terutama pada segi farmakologi maupun fitokimia berdasarkan penggunaannya oleh sebagian masyarakat dengan khasiat yang teruji secara empiris. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 80% penduduk dunia mengandalkan obat tradisional untuk pertolongan pertama dengan pengobatan menggunakan ekstrak tanaman atau komponen bioaktifnya (Bruneton 1995).

Indonesia memiliki beragam tanaman termasuk didalamnya tanaman yang dapat digunakan untuk pengobatan. Kekayaan sumberdaya hayati Indonesia kedua terbesar di dunia setelah Brazil. Berdasarkan Mahendra dan Fauzi (2005), tercatat sekitar 30.000 jenis tanaman berbunga dan sekitar 9.606 spesies diketahui berkhasiat obat, 940 jenis tanaman obat sudah ditemukan tetapi baru 80 jenis yang sudah diproduksi untuk pembuatan obat.

Salah satu jenis tanaman obat yang dapat digunakan dalam pengobatan tradisional adalah daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan bunga kenop (Gomphrena globosa L). Menurut Dalimartha (2000) daun kumis kucing berkhasiat sebagai peluruh urine (diuretik), antiradang (anti- inflammasi), menghilangkan panas dan lembab, serta menghancurkan batu kandung kemih. Mahendra dan Fauzi (2005) menjelaskan bahwa berdasarkan uji praklinis, tanaman kumis kucing berkhasiat sebagai diuretikum, menurunkan kadar asam urat, hipertensi, diabetes mellitus, rematik, antibakteri dan pelarut batu kalsium. Sedangkan menurut Dalimartha (2000), bunga kenop berkhasiat sebagai obat


(17)

batuk, obat sesak nafas (asma), peluruh dahak (ekspektoran), obat radang mata, disentri, panas pada anak, penambah nafsu makan dan bronkhitis kronis. Bahan-bahan tersebut cukup potensial unt uk dikembangkan menjadi pangan fungsional. Penelitian sebelumnya terhadap beberapa tanaman obat telah membuktikan bahwa beberapa tanaman obat seperti sari jahe, ekstrak cincau hijau, ekstrak tanaman secang memiliki khasiat dalam meningkatkan respon imun tubuh terhadap penyakit. Sari jahe mempunyai potensi menurunkan stres oksidatif dan melindungi sel imun dari stres oksidatif, senyawa oleoresin, gingerol dan shagoal dari rimpang jahe (Zingiber officinale Roscoe) memberi efek proteksi terhadap limfosit (Nurrahman 1998; Tejasari 2000). Pandoyo (2000) melaporkan ekstrak air cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) dan ekstrak heksan akar cenderung memperlihatkan pengaruh imunostimulan pada konsentrasi rendah. Selanjutnya Puspaningrum (2003) menambahkan bahwa ekstrak tanaman secang (Caesalpinia sappan Linn) tidak bersifat toksik terhadap sel limfosit dan sel kanker K-562, bahkan dapat menstimulasi sel pada konsentrasi tinggi.

Daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan bunga kenop (Gomphrena globosa L) merupakan salah satu tumbuhan berkhasiat obat yang banyak terdapat di Indonesia dan telah dimanfaatkan sejak lama dalam pengobatan tradisional. Potensi daun kumis kucing dan bunga kenop dengan senyawa bioaktifnya untuk menstimulasi peningkatan respon imun pada manusia perlu diteliti lebih lanjut. Kemampuan sel imun seperti limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon secara tidak langsung menunjukkan tingkat kekebalan tubuh seseorang terhadap penyakit. Salah satu cara pengujian yang dapat dilakukan adala h dengan mengkultur sel limfosit. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai “Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus ”.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan metode pengeringan terbaik dalam pembuatan bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop dengan melihat pengaruhnya terhadap kandungan senyawa fenolik dan aktivitas antioksidan.


(18)

2. Mengetahui pengaruh ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop terhadap proliferasi sel limfosit tikus secara in vivo, in vitro dan in vivo-in vitro

sehingga diketahui dosis konsumsi yang efektif.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai sifat imunomodulator ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop sehingga berpotensi dikembangkan sebagai minuman yang dapat meningkatkan sistem imun.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Proses pengeringan dapat menurunkan kandungan senyawa fenolik daun kumis kucing dan bunga kenop.

2. Daun kumis kucing dan bunga kenop mempunyai sifat imunomodulator karena dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit tikus.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth)

Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) merupakan salah satu tanaman obat-obatan yang sudah terkenal di dalam dan di luar negeri. Tanaman ini diduga berasal dari daerah Afrika, kemudian menyebar ke wilayah Georgia (Kaukasus), Kuba, Asia dan Australia. Penyebaran kumis kucing di Asia meliputi Indonesia, India, Malaysia, Vietnam dan Thailand (Mahendra dan Fauzi 2005).

De Padua et al (1999) menjelaskan bahwa kumis kucing tumbuh di Pulau Jawa sejak tahun 1928. Selanjutnya tanaman ini menyebar ke pulau-pulau lain seperti Sumatera dan Sulawesi. Sentra produksi kumis kucing yaitu Jawa Tengah (Ambarawa, Kopeng dan Blora), Jawa Barat (Sukabumi dan Bogor), Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan Sulawesi Utara.

Kumis kucing termasuk tanamantahunan yang tumbuh pada ketinggian 100-150 cm. Batang berbentuk persegi empat agak beralur, berwarna hijau keunguan, bercabang dengan akar yang kuat. Sedangkan bentuk daun tunggal, bundar telur, elips atau memanjang, berambut halus, tepi bergerigi, ujung dan pangkal runcing, tipis dengan panjang 2-10 cm, lebar 1-5 cm dan berwarna hijau. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi. Bagian tanaman yang dipanen untuk dimanfaatkan sebagai obat adalah daunnya.

Klon kumis kucing yang ditanam di Indonesia adalah klon berbunga putih dan ungu seperti pada Gambar 1. Menurut Dalimartha (2000) dan Anonim (2005a) bunga kumis kucing berupa tandan yang keluar di ujung cabang, berwarna ungu pucat, putih dan ada juga yang biru, benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Buah berbentuk kotak, bulat telur dan berwarna hijau setelah tua berwarna cokelat. Bijinya kecil dan berwarna hitam.

De Padua et al (1999) menjelaskan bahwa tanaman kumis kucing di berbagai daerah disebut dengan nama yang berbeda-beda, antara lain remujung (Jawa Tengah), kumis ucing (Jawa Barat), kumis kucing (Melayu), soengot koceng (Madura), mau xu cao (Cina), balbasdusa (Filipina), kapen prey (Kamboja) dan java tea (Inggris).


(20)

(a) (b)

Gambar 1 Tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth); (a) Kumis kucing berbunga putih, (b) Kumis kucing berbunga ungu

(Anonim 2005b).

Kandungan Kimia Daun Kumis Kucing

Dalimartha (2000) menjelaskan bahwa daun kumis kucing mengandung banyak komponen bioaktif seperti ortosiphonin glikosida (glikosides orthosiphonins), polifenol (polyphenols), minyak atsiri (atsiri oil), minyak lemak (fat oil), saponin, sapofonin, garam kalium (potassium salt (0.6-3.5%)), mioinositol, dan sinensetin. Ditambahkan oleh de Padua et al (1999), kumis kucing mengandung 12% mineral dengan kandungan paling tinggi potassium (600-700 mg per 100 g daun segar), 0.2% lipophilic flavones, sinensetin, flavonol glicosides, turunan

caffeic acid (terutama rosmarinic acid dan 2,3-dicaffeoyltartaric acid), inositol,

phytosterol-sitosterol), saponin dan 0.7% essential oil.

Olah et al (2003) menemukan komponen utama daun dan ekstrak alkohol kumis kucing adalah senyawa polifenol aktif polymethoxylated flavonoid dan turunan caffeic acid. Identifikasi lebih lanjut menunjukkan adanya kandungan

caffeic acid, cichoric acid, rosmarinic acid, sinensetine dan eupatorin. Menurut Loon et al (2005), penentuan tiga jenis flavonoid dari kumis kucing di dalam plasma mencit dengan metode HPLC dan dideteksi dengan sinar ultraviolet menghasilkan sinensetin, eupatorin dan 3’-hydroxy-5,6,7,4’ tetramethoxyflavone.

Menurut Ohashi et al (2000), komponen kimia yang telah diisolasi dari fraksi larut kloroform atau heksana antara lain benzochromene baru


(21)

(orthochromene A), dua isopimarane baru jenis diterpenes (orthosiphonone A dan

orthosiphonone B) dan dua pimarane baru jenis diterpenes (neoorthosiphol A dan

neoorthosiphol B) serta delapan senyawa lainnya yang telah diketahui dan ditemukannya senyawa utama methylripariochromene dari air rebusan daun kumis kucing. Schmidt dan Bos (1986) menambahkan bahwa minyak essensial (essential oil) dari daun kumis kucing mengandung senyawa β-caryophyllene, β -elemene, α-humulene, β-bourbonene, 1-octen-3-ol dan caryophyllene oxide.

Khasiat Daun Kumis Kucing

Daun kumis kucing berkhasiat sebagai peluruh urine (diuretik), antiradang (anti-inflammasi), menghilangkan panas dan lembab, serta menghancurkan batu kandung kemih (Dalimartha 2000). Menurut Anonim (2000) dalam pengobatan tradisional daun kumis kucing dipercaya memiliki sifat antialergi, antihipertensi, anti-inflammasi dan diuretik serta digunakan juga untuk mengobati gout, diabetes dan rematik.

Van deer Veen et al (1979) melaporkan bahwa senyawa kalium (potassium), inositol dan lipophilic flavones yang terdapat pada daun kumis kucing mempunyai sifat diuretik dan bakteriostatik. Sedangkan de Padua et al (1999) menyatakan sifat diuretik daun kumis kucing diberikan oleh senyawa kalium (potassium), inositol dan 3’-hydroxy-5,6,7,4’ tetramethoxyflavone, sifat anti bakteri karena adanya senyawa turunan caffeic acid dan saponin serta lipophilic flavonoid

sebagai antitumor dan anti- inflammasi yang menghambat proses cyclo-oxygenase

dan lipoxygenase.

Khasiat daun kumis kucing sebagai diuretikum dilaporkan oleh Sari (1985), efek maksimal terhadap sifat diuretikum dari rata-rata 1 ml infus dengan kandungan 5%, 10% dan 20% daun kumis kucing berturut-turut adalah 275.22%; 376.64% dan 646.12%. Penelitian lebih lanjut pada kelinci membuktikan daun kumis kucing dapat mengatasi gangguan saluran urin karena adanya kandungan

kalium yang berfungsi sebagai pelarut batu ginjal dan batu saluran kemih.

Casadebaig-Lafon et al (1989) dan Beaux et al (1999) menjelaskan bahwa ekstrak air dan ekstrak alkohol dari Orthosiphon stamineus Benth juga dapat meningkatkan aktivitas diuretik pada tikus dengan meningkatnya pengeluaran urin


(22)

serta ekskresi sodium dari kandung kemih. Adapun Garnadi (1998) menambahkan bahwa potensi diuretikum daun kumis kucing lebih baik dari pada batangnya dan daun muda lebih efektif sebagai diuretikum dibandingkan daun tua. Selain itu Nirdnoy dan Muangman (1991) menyatakan bahwa penelitian farmakologis yang dilakukan terhadap responden sehat yang meminum teh kumis kucing dapat mencegah asam urat dan terbentuknya batu yang mengandung asam urat dalam kandung kemih.

Anonim (2000) menyatakan bahwa senyawa bioaktif sinensetin pada daun kumis kucing menunjukkan aktivitas antibakteri dengan konsentrasi terendah penghambatan (MIC/ Minimal Inhibitory Concentration) 7.8-23.4 mg/ml. Hal ini didukung oleh Sofiani (2003) yang melaporkan bahwa senyawa sinensetin daun kumis kucing memberikan daya hambat lebih tinggi terhadap bakteri S. epidermis dari pada E. coli. Ditambahkan de Padua et al (1999) bahwa kandungan sinensetin yang tertinggi (0.4%) terdapat dalam daun kumis kucing tua dari bunga berwarna blue-violet dan yang terendah (0.1%) dalam daun kumis kucing muda dari bunga berwarna putih.

Yuvadee et al (1990) melakukan penelitian mengenai toksisitas (LD50) daun

kumis kucing, dimanapemberian dosis 1 g/kg berat badan dapat menjadi lethal untuk tikus dan mencit setelah satu injeksi intraperitoneal, tetapi tidak ditemukan adanya pengaruh yang mematikan atau merugikan dengan pemberian makan sampai 5 g/kg berat badan. Ini memperlihatkan bahwa daun kumis kucing mempunyai toksisitas yang rendah ketika diberikan secara oral pada hewan percobaan. Padilla et al (1996) menyatakan ekstrak air daun kumis kucing tidak toksik pada dosis 2000 mg/kg (2 g/kg). Selanjutnya Anonim (2002) menyatakan bahwa batas toksisitas akut

Orthosiphon stamineus dengan menggunakan dosis 5 g/kg berat badan selama 14 hari menunjukkan semua tikus Spraque Dawley tetap hidup.

Kusumaningrum (2005) menyatakan pemberian minuman seduhan bubuk daun kumis kucing dosis 0.3 dan 0.6 g/kg/hari menunjukkan kadar sitokrom hati tikus semakin meningkat dengan meningkatnya dosis minuman yang diberikan (0.954 dan 1.207 nmol/mg protein) dibandingkan kontrol (0.759 nmol/mg protein). Pemberian minuman seduhan ini pada dosis rendah (0.3 g/kg/ha ri) lebih dapat meningkatkan aktivitas glutation S-transferase (GST) dalam hati sehingga senyawa yang dihasilkan tidak bersifat radikal dan tidak berbahaya bagi tubuh.


(23)

Botani Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.)

Gomphrena globosa merupakan salah satu jenis tanaman yang berasal dari famili Amaranthaceae. Tanaman ini banyak dijumpai di Panama dan Guatemala, tetapi di Indonesia juga telah banyak dibudidayakan. Nama daerah dari bunga kenop adalah bunga kenop, kembang puter, ratnapakaja (Sumatera dan Melayu), bunga kancing, adas-adasan (Jawa), taimantulu (Sulawesi) dan ratna (Bali) (Dalimartha 2000).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2 Tanaman bunga kenop (Gomphrena globosa L.); (a) Bunga kenop putih, (b) Bunga kenop merah jambu, (c) Bunga kenop orange, dan (d) Bunga kenop merah tua keunguan (Anonim 2006).

Bunga kenop berasal dari Amerika tropis dan dapat tumbuh pada ketinggian 1-1300 m dari permukaan laut dan termasuk kedalam tanaman semusim. Batangnya berwarna hijau kemerahan, membesar pada ruas percabangan. Berdaun tunggal, bertangkai pendek dengan bentuk memanjang, ujung meruncing, tepi


(24)

rata, berwarna hijau, berambut kasar yang berwarna putih di permukaan atas dan berambut halus di permukaan bawah. Bunga tunggal dan berbentuk bulat seperti bola dengan beberapa warna seperti putih, merah jambu, orange, dan merah tua keunguan. Sedangkan buahnya kotak berbentuk segitiga yang dibungkus lapisan tipis berwarna putih dan berbiji satu (Gambar 2).

Kandungan Kimia Bunga Kenop

Bunga kenop memiliki kandungan kimia yang khas yaitu Gomphrenin I, Gomphrenin II, Gomphrenin III, Gomphrenin V, Gomphrenin VI, amaranthin, minyak atsiri, flavon, atau saponin (Dalimartha 2000). Cai et al (2001) melaporkan bahwa bunga Amaranthaceae banyak mengandung komponen pigmen alami betasianin. Pada bunga kenop kandungan betasianin sebesar 1.3 mg/g bunga segar. Betasianin ini terdiri dari komponen gomphrenin I (betanidin 6-O-ß-glukosida) sebesar 16.9%, isogomphrenin I (isobetanidin 6-O-ß-glukosida) sebesar 8.8%, gomphrenin II (betanidin 6-O-(6’-O-E-4-coumarooyl)-ß-glukosida) sebesar 11.1%, isogomphrenin II (isobetanidin 6-O-(6’-O-E-4-coumarooyl)-ß-glukosida sebesar 3.5%, gomphrenin III (betanidin 6-O-(6’-O-E-4-feruroyl)-ß-glukosida sebesar 40.8%, isogomphrenin III (isobetanidin 6-O-(6’-O-E-4-feruroyl)-ß-glukosida) sedangkan komponen yang paling sedikit adalah amaranthine. Struktur kimia gomphrenin disajikan pada Gambar 3.

Pigmen betasianin dikenal juga dengan nama betalain. Betalain adalah grup komponen warna yang mendekati warna visual flavono id yaitu kuning dan antosianin yaitu kemerah- merahan. Betalain terdapat juga pada buah kaktus, bunga bougenville dan amaranthus. Lebih kurang 70 jenis betalain yang telah dikenal dan semuanya mempunyai struktur yang sama yaitu 1,7-diazohepta-methyn (Cai etal 2001).

Wettasinghe et al (2002) menjelaskan bahwa betasianin merupakan pigmen alami yang dapat larut di dalam air dan berwarna red-violet. Di dalam tanaman terdapat dalam bentuk glikosida yang membentuk ester dengan monosakarida. Betasianin pertama kali diisolasi dan diidentifikasi dari gula bit (Beta vulgaris) dan sudah dapat dimanfaatkan sebagai pigmen alami pada bahan pangan. Betasianin dari gula bit ternyata dapat menaikkan enzim fase II secara in vitro. Cai et al (2001)


(25)

menambahkan bahwa betasianin merah (betanin dan amaranthin) bersifat tahan terhadap panas dalam sistem buffer, tetapi bersifat tidak stabil pada suhu diatas 40oC dan bersifat lebih stabil pada suhu 40oC tanpa adanya udara dan cahaya.

Gambar 3 Struktur kimia komponen gomphrenin dan isogomphrenin (Cai et al 2001).

Khasiat Bunga Kenop

Bunga kenop berkhasiat sebagai obat batuk, obat sesak nafas (asma), peluruh dahak (ekspektoran), obat radang mata, disentri, panas pada anak, penambah nafsu makan dan bronkhitis kronis (Dalimartha 2000). Bagian yang digunakan dalam pengobatan tradisional adalah bunga atau seluruh herba segar maupun yang telah dikeringkan.


(26)

Stintzing et al (2004) melakukan penelitian terhadap Amaranthus spinosus L., tanaman yang biasa digunakan sebagai obat di Afrika menunjukkan adanya kandungan betalain yang diidentifikasi sebagai amaranthin dan isoamaranthin. Selain itu tanaman ini juga mengandung hidroksisinamat, quersetin dan kaempferol glikosida yang kesemuanya merupakan senyawa fenolik. Kapiszewska et al (2005) melakukan pengujian terhadap kandungan polifenol Amaranthus sp. yang menunjukkan bahwa penambahan ekstrak Amaranthus sp. dengan konsentrasi polifenol sampai dengan 0.2 mug/ml dapat meningkatkan perlindungan terhadap stress oksidatif oleh H2O2 yang menginduksi kerusakan DNA dari limfosit.

Pengujian ekstrak air Amaranthus sp. terhadap sel splenosit mencit BALB/c menunjukkan kemampuan ekstrak ini untuk menstimulasi proliferasi sel splenosit. Sel B yang diisolasi dapat distimulasi juga oleh ekstrak ini. Pemurnian ekstrak air dari Amaranthus sp menghasilkan protein (GF1) dengan berat molekul 313 kDa. GF1 mempunyai aktivitas imunostimulasi 309 kali ekstrak air yang belum dimurnikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air Amaranthus sp

mempunyai aktivitas imunostimulasi yang secara langsung menstimulasi aktivitas proliferasi sel B dan proliferasi sel T secara in vitro (Lin et al 2005).

Pengeringan Bahan Pangan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan menggunakan energi panas. Kandungan air bahan dikurangi sampai batas tertentu dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi pada bahan tersebut. Pengeringan mempunyai keuntungan yaitu bahan menjadi tahan lama disimpan dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan (Muchtadi 1997). Pengembangan daun kumis kucing dan bunga kenop agar nilai ekonomisnya meningkat dapat dilakukan dalam bentuk produk teh daun kumis kumis kucing dan bunga kenop.

Pengeringan juga dapat mempengaruhi retensi zat gizi dalam bahan pangan karena zat gizi dapat terdegradasi oleh panas. Menurut Jayaraman dan Das Gupta (1995) selama proses pengeringan terjadi degradasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun seperti klorofil yang memberi warna hijau pada daun. Sokhansanj dan Jayas (1995) menambahkan bahwa degradasi klorofil tergantung


(27)

pada pH, waktu, kerja enzim, oksigen dan cahaya. Selain itu pengeringan dapat pula meningkatkan kualitas dan nilai nutrisi suatu produk pangan dan pakan seperti rasa yang lebih enak dan daya cerna serta perubahan metabolik yang meningkat.

Berbagai cara pengeringan telah banyak dilakukan dalam proses pengolahan hasil pertanian dan bahan pangan. Salah satu metode pengeringan yang banyak dipakai dinegara berkembang adalah pengeringan matahari. Pengeringan dengan matahari adalah suatu metode pengeringan tradisional yang paling sering dilakukan dan lebih praktis. Metode ini sebagian besar digunakan untuk pengeringan buah-buahan seperti anggur dan prune kering (Jayaraman dan Das Gupta 1995).

Pengeringan daun kumis kucing secara alami dengan bantuan sinar matahari dilakukan dengan mengangin-anginkan daun terlebih dahulu selama 24 jam agar stomata daunnya menutup sehingga tidak terjadi penguapan zat-zat yang terkandung didalamnya, selanjutnya daun kumis kucing di jemur dibawah sinar matahari langsung. Bila matahari bersinar penuh, lama pengeringan sekitar 2-3 hari atau setelah kadar airnya berkisar 7%. Sementara pengeringan dengan oven dapat dilakukan dengan suhu 60oC selama 3-6 jam (Mahendra dan Fauzi 2005).

Masalah yang mungkin timbul pada pengeringan dengan sinar matahari adalah terjadinya hujan atau cuaca mendung, kontaminasi oleh debu, serangga, burung dan binatang lainnya, kurangnya pengawasan sehingga terjadi pengeringan melewati batas dan kemungkinan terjadi pembusukan baik secara kimiawi, enzimatis atau mikrobiologis karena waktu pengeringan yang lama (Jayaraman dan Das Gupta 1995). Selain itu dapat terjadi loss tambahan lainnya selama penyimpanan karena terjadi ketidakseragaman pengeringan (Imre 1995).

Menurut Fellow (1990), ketika udara panas berada di atas suatu produk pangan, panas akan langsung ditransfer pada permukaan produk. Pengeringan makanan merupakan suatu proses yang lambat. Waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeringan dapat mencapai 6 sampai 8 jam bahkan lebih dan ditentukan juga oleh jenis produk (Parker 2002).

Menurut Buckle et al (1987) faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan pangan adalah: (1) Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, kadar air); (2) Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas (seperti nampan untuk


(28)

pengeringan; (3) Sifat-sifat dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban dan kecepatan udara); dan (4) Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas).

De Padua et al (1999) menyatakan bahwa daun kumis kucing yang berkualitas bagus berwarna hijau, mempunyai aroma yang bagus, kadar air dibawah 14%, rasa pahit, kadar abu sekitar 10%, kadar kontaminasi kurang dari 2% dan tidak mengandung serangga atau jamur. Daun kumis kucing yang berwarna kehitam-hitaman disebabkan oleh kelebihan panas selama pengeringan atau terjadinya kontak dengan wadah logam.

Polifenol Sebagai Antioksidan

Halliwell dan Gutteridge (2001) menjelaskan bahwa antioksidan adalah suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif terhadap suatu molekul target. Ditambahkan Pratt (1992) berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi menjadi antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Beberapa contoh antioksidan sintetik seperti Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), Propil Galat (PG) dan Tert-Butil Hidroksi Quinon (TBHQ) sedangkan sumber antioksidan alami banyak terdapat pada tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik atau polifenolik yang berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional yang letaknya tersebar di seluruh bagian tumbuhan baik di kayu, biji, buah, daun, akar, bunga maupun serbuk sari.

Ho et al (1997) menjelaskan flavonoid terdiri atas katekin, proantosianin, flavon, flavonol dan glikosida. Berdasarkan laporan Su et al (2003) flavonoid dikenal mempunyai aktivitas antioksidan dan kemampuan mengikat logam (metal chelating). Aktivitas antioksidan flavonoid meningkat dengan bertambahnya grup hidroksil pada cincin A dan B. Polifenol dan flavonoid merupakan antioksidan yang sangat kuat dan aktivitasnya berhubungan dengan struktur kimianya. Fuhrman (2002) menyatakan bahwa polifenol tumbuhan bersifat multifungsi dan bertindak sebagai senyawa pereduksi, antioksidan pendonor atom hidrogen, penangkap singlet oksigen dan beberapa polifenol juga bertindak sebagai antioksidan penangkap ion logam.

Antioksidan fenolik (PPH) dapat menghambat peroksidasi lipid dengan cara mendonorkan atom hidrogennya dengan cepat pada radikal peroksil (ROO*) yang


(29)

dihasilkan dalam pembentukan hidroperoksida alkil (ROOH) seperti ditunjukkan reaksi berikut :

ROO* + PPH ROOH + PP*

Radikal polifenol fenoksil (PP*) yang dihasilkan dapat distabilkan oleh atom hidrogen donor dan pembentukan quinones, atau oleh reaksi dengan radikal lain termasuk radikal fenoksil lainnya, sehingga dapat memutus inisiasi rantai reaksi yang baru (Fuhrman 2002).

Cai et al (2003) menyatakan aktivitas antioksidan pigmen betalain dari beberapa tanaman yang termasuk famili Amaranthaceae dengan menggunakan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picryhydrazyl) menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang kuat untuk semua tanaman yang diteliti (3.4-8.4 µM). Gomphrenin jenis betasianin (3.7 µM) dan betaxanthin (4.2 µM) menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat kuat, 3-4 kali lebih kuat dari asam askorbat (13.9 µM), rutin (6.1 µM) dan katekin (7.2 µM). Penelitian ini juga mempelajari hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas antioksidan betalain. Aktivitas antioksidan dari betalain biasanya meningkat dengan meningkatnya jumlah gugus hidroksil dan juga tergantung dari posisi gugus hidroksil dan glikosilasi dari aglikon dalam molekulnya. Sejalan dengan pendapat Fukumoto dan Mazza (2000) bahwa aktivitas antioksidan biasanya meningkat dengan adanya peningkatan jumlah gugus hidroksil dan menurun dengan adanya glikosilasi.

Respon Imun

Respon imun merupakan sistem interaktif komplek dari beragam jenis sel imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Semakin baik respon imun tubuh, semakin baik status kesehatan seseorang (Roitt dan Delves 2001).

Respon imun dibedakan dalam respon imun spesifik dan nonspesifik. Respon imun nonspesifik timbul sebagai reaksi terhadap serangan mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis oleh neutrofil dan monosit (makrofag), barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal (lisozim dalam mucus, air mata, laktoperoksidase dalam saliva), protein darah (interferon, sistem kinin dan komplemen) dan sel Natural Killer (NK) (Bellanti 1993).


(30)

Respon imun menjalankan tiga fungsi yaitu pertahanan (defense), homeostatis dan pengawasan (surveillance). Fungsi pertahanan bertujuan untuk melawan invasi mikroorganisme dan senyawa asing lainnya. Fungsi homeostatis untuk mempertahankan dari jenis sel tertentu dan memusnahkan sel-sel yang rusak. Sedangkan fungsi pengawasan bertujuan untuk memonitor jenis-jenis sel yang abnormal atau sel mutan (Bellanti 1993).

Limfosit

Darah adalah suspensi yang terdiri dari sel-sel dan plasma, yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan anorganik. Sel-sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan butir pembeku (platelets) atau trombosit. Sel darah putih atau leukosit (bahasa Yunani leuko = putih) penampakannya bening, tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari sel darah merah akan tetapi jumlahnya kecil. Bellanti (1993) menyatakan jumlah sel darah putih normal sekitar 4000-11.000 sel/µm darah manusia.

Roitt dan Delves (2001) menyatakan leukosit disebut juga sel darah putih yang merupakan salah satu sel dalam sistem pertahanan tubuh dan apabila dibandingkan dengan eritrosit, leukosit memiliki ukuran molekul yang lebih besar dan bergerak bebas. Ditambahkan Baratawidjaja (2002) leukosit terdiri dari 75% sel granulosit dan 25% sel agranulosit yang terbentuk di dalam sumsum tulang belakang. Roitt dan Delves (2001) menjelaskan yang termasuk kelompok agranulosit adalah sel limfosit dan monosit, sedangkan basofil, neutrofil dan eosinofil termasuk dalam kelompok yang granulosit (bergranula). Komposisi dan jumlah normal sirkulasi masing-masing elemen seluler pada darah manusia, mencit dan tikus disajikan pada Tabel 1.

Baratawidjaja (2002) menyatakan limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang berukuran kecil, berbentuk bulat (diameter 7-15 µ m) dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe dan timus. Sel limfosit dibentuk dalam kelenjar timus dan sum-sum tulang belakang dan tidak mempunyai kemampuan bergerak seperti amuba. Sel ini merupakan 20% dari semua sel leukosit yang beredar dalam darah manusia dewasa. Fungsi utama limfosit adalah memberi respon terhadap antigen (benda asing) dengan membentuk antibodi (immunoglobulin/Ig) yang bersirkulasi dalam darah (imunitas humoral) atau


(31)

dalam pengembangan imunitas seluler. Menurut Kresno (1991), sel limfosit mampu mengenal setiap jenis antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstra selular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam tubuh.

Tabel 1 Komposisi dan jumlah normal sirkulasi masing- masing elemen seluler pada darah manusia, mencit dan tikus

Elemen-elemen seluler Manusia Mencit Tikus

Leukosit (total x 109/l) 4.5-11 5-11 6-18

* Limfosit (%) 25-33 63-80 65-83

* Monosit (%) 3-7 1-14 1-4

* Neutrofil (%) 54-62 9-37 14-27

* Eosinofil (%) 1-3 0.3-4 0.1-4

* Basofil (%) 0-0.75 - -

Platelets ( x 109/l) 150-350 250-1500 500-1000 Eritrosit ( x 1012/l) 4.2-6.2 8.8-10.5 6.5-9.0

Sumber: Delves (1994)

Menurut Kresno (1991) sel limfosit berdiferensiasi menjadi sel T dan sel B. Sel T berfungsi dalam imunitas seluler yang sebagian besar terdapat dalam sirkulasi darah, yaitu berjumlah 65-85% dan berasal dari sel hematopoetik di sumsum tulang belakang yang kemudian pindah ke timus dan menjadi dewasa. Pada proses pendewasaannya sel ini berdifferensiasi menjadi sel T-helper (Th) yang berfungsi untuk membantu pembentukan antibodi, sel T-supressor (Ts) menekan pembentukan antibodi dan sel T-cytotoxic (Tc) berfungsi membunuh sel-sel yang terinfeksi patogen intrasel-selular. Roitt dan Delves (2001) menambahkan bahwa sel T dapat berproliferasi menjadi sel T memori dan berbagai sel effektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel NK dan sel lain yang terlibat dalam respon imun.

Limfosit dalam sistem imun mengikat antigen dengan menggunakan protein membran yang bersifat antigen-spesifik, yang disebut reseptor. Reseptor pada sel T atau TCR (T Cell Receptor) memiliki struktur serupa antibodi. Setiap TCR mengikat sebuah epitop antigen, yang merupakan peptida dengan panjang 9-20


(32)

asam amino. Peptida ini akan berikatan dengan molekul protein pada permukaan

Antigen Presenting Cells (APC) yang bertugas mencocokkan dan mempresentasikan antigen kepada sel T, peptida tersebut dikenal sebagai molekul

Major Histocompatibility Complex (MHC). Sel Th berikatan dengan peptida pada MHC kelas II pada APC yang memiliki antigen ekstraselular seperti bakteri, tetapi telah terinternalisasi ke dalam sel. Hal ini membuat sel Th teraktivasi sehingga terjadi sekresi interleukin yang menstimulasi pembelahan dan diferensiasi sel B, sehingga sel B mampu menghasilkan antibodi untuk melawan antigen. Sel Tc

teraktivasi oleh MHC kelas I pada membran sel berinti yang terinfeksi virus. Dengan demikian, sel Tc akan mampu menbunuh sel yang terinfeksi tersebut (Roitt dan Delves 2001).

Proliferasi Limfosit

Tejasari (2000) menjelaskan bahwa proliferasi limfosit merupakan fungsi biologis mendasar limfosit, yaitu proses diferensiasi dan pembelahan (mitosis) sel. Limfosit adalah sel tunggal yang bertahan baik saat dikultur dalam media sederhana dan secara konsisten tetap dalam tahap diam dan tidak membelah sampai ditambahkan mitogen, respon proliferatif kultur limfosit menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Menurut Zakaria et al (1992) Perhitungan jumlah limfosit pada kontrol yang hanya mengandung media dan serum janin sapi saja dan membandingkannya dengan jumlah limfosit media yang diberi bahan uji, maka dapat diketahui aktivitas dari senyawa pemacu proliferasi limfosit yang ada pada bahan uji.

Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel baik sel T maupun sel B dalam persentase yang tinggi. Mitogen merupakan sumber ligan polipeptida yang berperan pada pelepasan sinyal dari tempat yang berdekatan parakrin dan diterima oleh reseptor membran plasma. Beberapa mitogen merupakan faktor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase. Sinyal permulaan oleh mitogen mengakibatkan adanya urutan-urutan sinyal lain yang berpengaruh terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap aktivitas gen di dalam sel (Decker 2001).

Menurut Baratawidjaja (2002) pada umumnya mitogen berasal dari tumbuhan (lektin) atau merupakan gula terikat seperti concanavalin A (Con-A),


(33)

pokeweed (PWM) dan fitohemaglutinin (PHA). Mitogen ini tidak spesifik dan mempunyai daya mengaktifkan sejumlah sel limfosit tanpa memandang reaktifitas antigenik sel-sel yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karena adanya gangguan pada membran yang dirangsang oleh ikatan silang makromolekul sehingga dapat merangsang limfosit untuk membelah.

Bellanti (1993) menyatakan mitogen PHA dan Con-A dapat merangsang transformasi blast subpopulasi sel T. Ditambahkan Kresno (1991) sebanyak 50-60% sel T mampu memberikan respon terhadap stimulasi PHA dan Con-A. Selanjutnya Kuby (1992) menyatakan PWM dapat berikatan dengan di-N-acetylchitobiose dan bersifat mitogenik terhadap sel T dan sel B.

Con-A berasal dari tanaman jack bean (Canavalia ensiformis), PHA berasal dari kacang merah (Phaseolus vulgaris) dan PWM berasal dari tumbuhan pokeweed (Phytolacca americana). Con-A adalah mitogen asal lektin legum yang bersifat sebagai imunomodulator karena dapat merangsang proliferasi limfosit, fungsinya pada sistem biologis adalah sebagai perekam informasi yang diikuti dengan produksi informasi sel. Lektin fitohemaglutinin (PHA) adalah protein non enzimatik yang berikatan dengan karbohidrat secara reversibel. Fungsi biologis dari lektin adalah kemampuan mengenal dan berikatan dengan struktur karbohidrat spesifik, khusus nya berikatan dengan oligosakarida. Lektin terdiri dari enam famili yang telah dikenal antara lain lektin legum, lektin sereal, lektin jenis P, C, S dan pentraxis (Letwin dan Quimby 1987).

Tidak semua mitogen adalah lektin. Lipopolisakarida (LPS) merupakan komponen dinding sel bakteri gram negatif yang dapat juga berfungsi sebagai mitogen sel B. Aktivitas mitogenik LPS berasal dari bagian lipidnya yang berinteraksi dengan membran plasma sehingga menghasilkan aktivasi selular (Kuby 1992).

Menurut Kresno (1991) stimulasi limfosit oleh mitogen berakibat pada serangkaian reaksi biokimia seperti fosforilasi nukleoprotein, sintesa DNA dan RNA serta peningkatan metabolisme lemak. Perubahan yang terjadi adalah transformasi blast yang di tunjukkan dengan pembesaran limfosit karena nukleus juga membesar, retikulum endoplasmik menjadi kasar dan tubulus mikro jelas, serta kecepatan sintesa DNA meningkat menuju mitosis.


(34)

Faridah (1996) melaporkan proliferasi limfosit dapat dilihat dari nilai Indeks Stimulasi (IS) yaitu rasio count per minute (cpm) sel yang dikultur dengan stimulan (mitogen/antigen) terhadap cpm sel yang hanya dikultur dengan medium pertumbuhan saja (tanpa stimulan/kontrol). Nilai IS menunjukkan kemampuan limfosit yang secara tidak langsung menggambarkan respon imunologik seseorang. Semakin tinggi nilai IS semakin tinggi pula respon imunologiknya. Pada kelompok remaja yang banyak mengkonsumsi makanan jajan tercemar dengan status gizi yang rendah ternyata dapat menurunkan respon imunologik yang ditandai dengan nilai IS limfosit yang rendah.

Zakaria et al (1992) menyatakan bila sel dikultur dengan senyawa mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak spesifik. Begitu juga, jika limfosit dikultur dengan antigen spesifik, misalnya kasein susu, maka kemampuan limfosit untuk merespon secara spesifik dapat diukur. Kresno (1991) mengatakan bahwa respon terhadap mitogen dianggap menyerupai respon limfosit terhadap antigen, sehingga uji proliferasi dengan rangsangan mitogen, banyak dipakai untuk menguji fungsi limfosit. Zakaria (1996) melaporkan berbagai jenis bahan pangan seperti jahe, kunyit, bawang putih telah diketahui dan diteliti memiliki aktivitas imunostimulan antara lain meningkatkan kemampuan proliferasi limfosit.

Kultur Sel Limfosit

Doyle dan Griffiths (1997) menyatakan kultur sel limfosit secara in vitro

merupakan suatu cara untuk mengembangbiakkan atau menumbuhkan sel limfosit di luar tubuh hewan atau manusia. Lingkungan dan bahan makanan untuk pertumbuhan sel secara in vitro diusahakan menyerupai keadaan sel secara in vivo. Oleh karena itu diperlukan suatu media pertumbuhan yang berisi asam-asam amino, vitamin, garam- garam anorganik, glukosa dan serum. Menurut Freshney (1994) media pertumbuhan yang digunakan disesuaikan dengan jenis sel yang akan ditumbuhkan namun sampai saat ini media yang paling baik untuk kultur sel limfosit adalah Roswell Park Memorial Institute (RPMI)-1640 yang merupakan media sintetis yang kaya nutrisi.

Freshney (1994) menyatakan penggunaan kultur sel lebih menguntungkan karena lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol dan diatur, seperti pH,


(35)

tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2 sehingga kondisi fisiologis dari kultur

relatif konstan, kultur dapat terekspos secara langsung dengan pereaksi pada konsentrasi rendah, beberapa jenis sel yang dibiakkan dapat disimpan dalam nitroge n cair. Namun teknik ini juga memiliki beberapa kelemahan antara lain (1) Kultur sel harus dilakukan dalam kondisi yang steril karena sel hewan tumbuh lebih lambat dari kontaminan, (2) Untuk pertumbuhan sel dalam kultur dibutuhkan lingkungan yang kompleks seperti di dalam tubuh, (3) Sel yang tumbuh akan mengalami perubahan sifat karena beberapa sifat dari sel akan hilang atau berubah seperti laju pertumbuhan dan kemampuan untuk berdiferensiasi dalam tiap populasi berbeda (sel menjadi tidak stabil).

Serum yang biasa digunakan untuk kultur adalah FetalBovine Serum (FBS). Fungsi dari serum ini adalah sebagai protein pembawa hormon untuk menstimulasi pertumbuhan sel, faktor yang membantu terjadinya pelengketan sel dari jaringan ataupun cairan tubuh. Kultur sel limfosit manusia biasanya menggunakan serum manusia. Komponen serum sebagian besar adalah protein dan komponen lainnya seperti polipeptida, hormon-hormon, mineral dan bahan makanan seperti asam amino, glukosa, lemak, asam keto, etanolamin, fosfoetanol amin dan hasil- hasil metabolit lainnya (Freshney 1994).

Untuk pertumbuhan sel limfosit diperlukan kondisi nilai pH 7.4, gas CO2 5%

dengan suhu 37 + 0.5oC. Penambahan HEPES ( N-2-hydroxyethylpiperazine-N’-2-ethanesulfonic acid) pada media adalah sebagai buffer dan NaHCO3 berfungsi

untuk mempertahankan keseimbangan nilai pH. Kebutuhan gas oksigen sebesar 95% dan ketebalan medium kultur tidak boleh lebih dari 2-5 mm (0.2-0.5 ml/cm2) karena dapat mempengaruhi difusi oksigen kedalam sel (Freshney 1994).

Penambahan antibiotik kedalam media berfungsi untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Menurut pendapat Cartwright dan Shah (1994), faktor utama dalam memilih jenis antibiotik untuk kultur sel adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Agen antibakteri yang terbanyak digunakan adalah campuran penisilin (100 IU/ml) dan streptomisin (50 µg/ml). Gentamisin 50 µg/ml sering juga digunakan untuk mencegah kontaminasi


(36)

mikroba yang daya tahannya lebih besar. Agen antifungi yang banyak digunakan adalah amfoterisin B (2.5 µg/ml) dan nystatin (25 µg/ml).

Doyle dan Griffiths (1997) menyatakan pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan pewarnaan MTT ( 3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyl-tetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi MTT menjadi senyawa formazan yang berwarna ungu oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase dari mitokondria sel hidup yang kemudian diukur absorbansinya dengan Spectrophotometer Microplate Reader. James et al (1994) menjelaskan enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesa oleh semua sel pada mitokondria. Kandungan suksinat dehidrogenase relatif konstan di antara berbagai sel dengan tipe spesifik, sehingga jumlah formazan yang terbentuk proporsional terhadap jumlah sel limfosit yang hidup.

Selain metode MTT, penghitungan sel dapat pula dilakukan dengan metode

tryphane blue. Metode ini menggunakan prinsip penyerapan zat warna melalui membran sel, pewarna tryphane blue hanya dapat mewarnai jika membran sel rusak. Oleh karena itu pewarna tryphane blue dapat digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel mati atau rusak. Sel hidup tidak akan berwarna (terang) dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut (Doyle dan Griffiths 1997).


(37)

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat Bahan

Bahan dasar yang digunakan adalah daun kumis kucing berbunga putih (Orthosiphon stamineus Benth) dan bunga kenop merah tua keunguan (Gomphrena globosa L.) yang diperoleh dari perumahan dosen dan taman bunga Institut Pertanian Bogor, Darmaga. Hewan percobaan yang digunakan untuk pengujian biologis adalah tikus jantan jenis Sprague Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil, ekor lebih panjang dari pada badan dan berumur 1.5 bulan dengan berat rata-rata berkisar antara 150-200 g. Tikus tersebut diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan (BALITBANG-GIZI) Departemen Kesehatan Bogor.

Bahan-bahan yang digunakan pada analisis kimia daun kumis kucing dan bunga kenop adalah HCl (Merck, Jerman), H2SO4 pekat (Kanto Chemical, Jepang), HgO

(Merck, Jerman), K2SO4 (Kanto Chemical, Jepang), NaOH-Na2S2O3 (Merck, Jerman),

H3BO3 (Kanto Chemical, Jepang), heksan, metilen merah (Kanto Chemical, Jepang),

metilen biru (Kanto Chemical, Jepang), etanol 95% (Merck, Jerman), air bebas ion, Folin-ciocalteau (Sigma, USA), Na2CO3 (Merck, Jerman), standar asam tanat (Merck,

Jerman), buffer asetat 100mM (Merck, Jerman), DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl hydrazyl) (Sigma, USA), trolox (Sigma, USA), metanol p.a (Merck, Jerman).

Bahan-bahan kimia yang digunakan pada kultur sel limfosit antara lain bubuk

Roswell Park Memorial Institute (RPMI)-1640 (Gibco, USA) sebagai medium pertumbuhan sel limfosit, antibiotik penicillin-streptomisin (Sigma, USA), mitogen [Concanavalin-A (Con-A), Lipopolisakarida S. thyphosa (LPS), Pokeweed (PWM) (Sigma, USA)] sebagai stimulan, NH4Cl (Merck, Jerman), tryphan blue (Wako,

Jepang), NaHCO3 (Merck, Jerman), aquabidest (Ikapharmindo Putramas, Jakarta),

Phosfat Buffer Saline (PBS) (Sigma, USA), Fetal Bovine Serum (FBS) (Sigma, USA), MTT (3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyl-tetrazolium bromide) (Sigma, USA), isopropanol (Merck, Jerman).


(38)

Alat

Peralatan yang digunakan untuk pengeringan dan ekstraksi daun kumis kucing dan bunga kenop antara lain: oven, hot plate, kertas saring Whatman No. 41, timbangan analitik, saringan vakum, gelas piala dan aluminium foil. Sedangkan untuk keperluan analisis parameter meliputi: tabung reaksi, labu lemak, alat ekstraksi soxhlet, desikator, tanur, stop-watch, cawan petridish, labu Kjeldahl, pH-meter, alat destilasi, freeze drier, spektrofotometer, vorteks, kandang plastik, botol minum dan wadah ransum, gunting, pisau bedah, papan bedah, syringe bervolume 20 ml dan 10 ml.

Adapun alat yang digunakan untuk kultur sel antara lain sentrifus (Kokusan H-26F), laminar flow hood, inkubator (5% CO2, suhu 37oC) [Sanyo]), mikroskop

elektron (Olympus), hemasitometer (Bright-Line), membran milipore 0.20 µm

(Sartorius), tabung sentrifus steril (Nunc), multiplate microwell 96 (Costar), pipet pasteur, mikro pipet, tip biru dan kuning, Spectrofotometric ELISA Plate Reader.

Metode Penelitian

Untuk mencapai tujuan yang dikehendaki maka pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan kegiatan, yaitu: (1) Tahap 1: Pembuatan bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop (2) Tahap 2: Ekstraksi daun kumis kucing dan bunga kenop dengan parameter analisis sifat fisik dan sifat kimia sehingga diperoleh ekstrak terbaik (3) Tahap 3: Pengujian biologis dengan parameter analisis pengaruh minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop terhadap; (a) Berat badan tikus, (b) Proliferasi sel limfosit secara in vivo, (c) Proliferasi sel limfosit secara in vitro, dan (d) Proliferasi sel limfosit secara in vivo-in vitro. Secara ringkas pelaksanaan penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 4.

Tahap 1 Pembuatan Bubuk Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop Pembuatan Bubuk Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop

Daun kumis kucing yang digunakan berumur 14 bulan, batang berwarna hijau kemerahan, daun memanjang dengan pinggiran bergerigi dan bunga berwarna putih. Sedangkan bunga kenop yang digunakan berumur 3 bulan, berbunga tunggal, berbentuk bulat dan berwarna merah keunguan, berdaun tunggal, bertangkai pendek yang letaknya saling berhadapan. Kedua bahan tersebut diperoleh dari taman bunga dan perumahan dosen Institut Pertanian Bogor.


(39)

Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian

Tahap I

Tahap I


(40)

Bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop dibuat dengan mensortasi bahan segar kemudian ditimbang dan dicuci bersih dengan air mengalir sebanyak dua kali, selanjutnya dilakukan pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan dua metode ya itu pengeringan matahari dan oven sampai mencapai kadar air akhir 7%. Nilai ini mengacu pada SNI-01-3836-2000 bahwa kadar air teh kering dalam kemasan adalah maksimal 8%. Pengeringan dengan sinar matahari dilakukan dengan menghamparkan daun kumis kucing dan bunga kenop diatas wadah lebar yang dialasi kertas dan dijemur secara langsung di bawah sinar matahari selama 2-3 hari untuk daun kumis kucing dan 3-4 hari untuk bunga kenop serta dibolak-balik setiap 4 jam sekali agar pengeringan yang dihasilkan lebih merata, sedangkan pengeringan oven dilakukan pada suhu 50oC selama 3-4 jam untuk daun kumis kucing dan 10-12 jam untuk bunga kenop. Daun kumis kucing dan bunga kenop yang telah kering, dihaluskan menggunakan blender menjadi bubuk berukuran 40 mesh.

Tahap 2 Ekstraksi Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop dengan Parameter Analisis Sifat Fisik dan Sifat Kimia sehingga Diperoleh

Ekstrak Terbaik

Ekstraksi Daun Kumis Kucing Dan Bunga Kenop Segar (Aquarini 2006)

Daun kumis kucing dan bunga kenop segar yang dikonversikan kedalam dosis untuk pencegahan penyakit, diekstrak dengan perbandingan produk dan air sebesar 1.1835 g : 220 ml untuk daun kumis kucing (berdasarkan dosis untuk infeksi kandung kemih dan batu dalam kandung kemih) dan 3.6720 g : 80 ml untuk bunga kenop (berdasarkan dosis untuk pengobatan asthma bronchial) (Lampiran 1). Kemudian dihaluskan dengan mortar dan diseduh dengan akuades mendidih selama 5 menit. Selanjutnya disaring menggunakan pompa vakum dengan kertas saring Whatman

no.41 sehingga diperoleh ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop segar.

Ekstraksi Bubuk Daun Kumis Kucing dan Bunga Kenop (Aquarini 2006)

Bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop yang dikonversikan ke dalam dosis untuk pencegahan penyakit, diseduh dengan akuades mendidih dengan perbandingan produk dan air sebesar sebesar 1 g : 257 ml untuk bubuk daun kumis kucing (berdasarkan dosis untuk pencegahan infeksi kandung kemih, kencing batu dan infeksi saluran kemih) dan 0.8667 g : 80 ml untuk bubuk bunga kenop


(41)

(berdasarkan dosis untuk pengobatan asthma bronchial) dan didiamkan selama 5 menit. Hasil seduhan disaring menggunakan pompa vakum dengan kertas saring

Whatman no. 41 sehingga diperoleh ekstrak bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop. Pembuatan ekstrak ini dilakukan dengan perbandingan yang sama, baik untuk bubuk pengeringan oven maupun bubuk pengeringan matahari (Lampiran 2).

Parameter Analisis Analisis Sifat Fisik

Dilakukan secara visual oleh peneliti sendiri dengan membandingkan warna bubuk dan ekstrak hasil pengeringan matahari, pengeringan oven dan bahan segar sebagai kontrol sehingga diperoleh produk terbaik dari kedua metode pengeringan yang memiliki warna bubuk dan warna ekstrak paling bagus.

Analisis Sifat Kimia

Analisis sifat kimia dilakukan dengan pengujian kadar total fenol dan aktivitas antioksidan ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop segar, bubuk kering matahari dan oven pada saat setelah diekstrak (0 jam) dan setelah penyimpanan selama 24 jam di suhu ruang (25oC) pada ruang gelap. Sehingga di peroleh ekstrak terbaik yang memiliki kadar total fenol dan aktivitas antioksidan yang paling tinggi diantara dua metode pengeringan dengan ekstrak segar sebagai kontrol. Selanjutnya ekstrak terbaik dari hasil pengujian sifat fisik dan kimia di uji kadar proksimat bubuknya yang meliputi kadar air, lemak, abu, protein dan karbohidrat dan digunakan untuk pengujian biologis. Prosedur lengkapnya sebagai berikut:

Pengujian Total Fenol dengan Metode Folin-Ciocalteu Colorimetric (Shetty et al 1995)

Sebanyak 1 ml ekstrak sampel (daun kumis kucing/bunga kenop) dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95%, selanjutnya ditambahkan 5 ml air bebas ion dan 0.5 ml Folin-ciocalteu reagent 50%, kemudian divortek dan didiamkan 5 menit selanjutnya ditambahkan 1 ml Na2CO3 5%, lalu divortek dan disimpan dalam ruang gelap selama 60 menit.


(42)

panjang gelombang 725 nm. Kurva standar dipersiapkan dengan menggunakan asam tanat dalam etanol 95%. Larutan standar asam tanat dibuat denga n konsentrasi 5, 10, 25, 50 dan 100 mg/ml air bebas ion. Total fenol dihitung berdasarkan kurva standar asam tanat yang diperoleh pada Lampiran 9.

Pengujian Aktivitas Antioksidan dengan Metode Trolox Equivalent

Antioxidant Capacity (TEAC) (Kubo etal 2002)

Larutan buffer asetat 100 mM (pH 5.5) sebanyak 1,5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 2.805 ml etanol dan 0.15 ml senyawa radikal bebas DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl hydrazyl) 3 mM dalam metanol lalu divortek. Sebanyak 0.045 ml ekstrak sampel (bubuk daun kumis kucing/ bunga kenop) dimasukkan ke dalam tabung reaksi tersebut kemudian di vortek dan disimpan dalam ruang gelap pada suhu kamar (25oC) selama 20 menit. Absorbansi sampel dibaca pada panjang gelombang 517 nm. Untuk blanko digunakan 0.045 ml akuades sebagai pengganti sampel, sedangkan untuk kontrol DPPH diganti dengan metanol dan sampel diganti akuades. Penurunan absorbansi pada larutan yang berisi sampel menunjukkan adanya aktivitas scavenging atau aktivitas antioksidan. Sebagai standar digunakan Trolox (6-hidroxy

-2,5,8-tetramethly chroman-2-carboxylic acid) yaitu sejenis vitamin E yang larut air dengan konsentrasi 0.00, 1.25, 2.50, 5.00 mM. Aktivitas antioksidan dihitung berdasarkan kurva standar trolox yang diperoleh pada Lampiran 10 dan hasil akhir dinyatakan dalam konsentrasi milimolar TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity).

Analisis Proksimat (Apriyantono et al 1989) Kadar Air : Metode Oven

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100-102oC selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit lalu ditimbang (W1). Sampel

ditimbang sebanyak 5 g (W2). Kemudian cawan berisi sampel dikeringkan dalam

oven selama 4-6 jam (sampai beratnya konstan). Setelah itu cawan dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang (W3). Kadar air dihitung dengan rumus:


(43)

100% x W1 -W3 ) W1 -(W3 2 W (%bb) air

Kadar = −

Kadar Protein : Metode Mikro-Kjeldahl

Sampel sebanyak 0.5–3 g dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 1.9 ± 0.1 K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4 pekat, kemudian

didestruksi dengan pemanasan sampai larutan berwarna jernih. Larutan hasil destruksi diencerkan dan didestilasi dengan penambahan 8-10 ml NaOH-Na2S2O3.

Destilat ditampung dalam 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2

bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol). Kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 50 ml destilat dalam erlenmeyer, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Dari hasil titrasi ini total nitrogen dapat diketahui, kadar protein sampel dihitung dengan mengalikan total nitrogen dengan faktor konversi.

100% x (mg) contoh bobot 14.007 x HCl N x blanko) ml HCl (ml (%) Nitrogen Total = 6.25 x (%) nitrogen Total (%bb) protein

Kadar =

100% x %bb) air kadar -(100 (%bb) protein Kadar (%bk) protein

Kadar =

Kadar Lemak : Metode Ekstraksi Soxhlet

Labu lemak dikeringkan dalam oven (110oC selama 1 jam). Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap (Wlabu). Sampel

sebanyak 5 g (Wsampel) di bungkus dengan kertas saring dimasukkan dalam labu

soxhlet, kemudian dipasang alat kondensor diatasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut hexana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran yang digunakan. Selanjutnya dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai beratnya tetap lalu


(44)

didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan labu beserta lemaknya hingga diperoleh bobot yang tetap (Wlemak). Kadar lemak ditentukan dengan rumus:

100% x W W -W (%bb) lemak Kadar sampel labu lemak = 100% x bb) % air kadar -(100 (%bb) lemak Kadar (%bk) lemak

Kadar =

Kadar Abu : Metode Total Abu

Cawan porselin yang sudah diketahui bobot tetapnya (Wcawan) dimasukkan

sampel yang telah ditimbang sebanyak 5 g (Wcawan-sampel awal). Sampel diarangkan

di atas bunsen dengan nyala api kecil hingga asapnya hilang, selanjutnya dimasukkan kedalam tanur pada suhu 500 hingga 600oC sampai menjadi abu yang berwarna putih. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap (Wcawan-abu). Kadar abu

ditentukan dengan rumus:

100% x W -W W -W (%bb) abu Kadar cawan awal sampel cawan cawan abu cawan = 100% x %bb) air kadar -(100 (%bb) abu Kadar (%bk) abu

Kadar =

Kadar Karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar karbohidrat (% bb) =

100% - ( % K.air + % K.abu + % K.protein + % K.lemak) Kadar karbohidrat (% bk) =


(45)

Tahap 3 Pengujian Biologis

Pengujian biologis untuk melihat pengaruh pemberian minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop terpilih terhadap proliferasi sel limfosit secara in vivo, in vitro dan in vivo-in vitro menggunakan limfosit hewan. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan spesies Rattus novergicus strain Sprague-Dawley

berumur kurang lebih 1.5 bulan dengan berat rata-rata antara 150-200 g sebanyak 35 ekor. Kandang yang digunakan adalah kandang pemeliharaan biasa yang ditempatkan dalam ruangan dengan lama masa terang dan gelap masing- masing 12 jam. Komposisi ransum standar yang diberikan berdasarkan AOAC (1990) disajikan pada Lampiran 3. Prosedur pengujian secara rinci dijelaskan pada Gambar 5.

Pelaksanaan kegiatan dimulai dengan mempersiapkan 35 ekor tikus dan dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan dengan masing- masing kelompok berjumlah 7 ekor tikus. Perbedaan berat awal rata-rata tikus antar kelompok tidak lebih dari 5 g dan perbedaan dalam satu kelompok yang sama maksimal 10 g. Perlakuan percobaan dikelompokkan sebagai berikut:

Kelompok I : Tikus yang diberi minum aquades sebagai kontrol

Kelompok II : Tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dosis 0.4 g

Kelompok III : Tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dosis 0.8 g

Kelompok IV : Tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop dosis 0.6 g Kelompok V : Tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop dosis 1.2 g

Sebelum diberi perlakuan, tikus diadaptasikan terlebih dahulu dengan ransum standar dan diberi minum akuades secara ad libitum selama satu minggu. Pengukuran berat badan selama masa adaptasi dilakukan dua kali di awal dan di akhir masa adaptasi.

Percobaan dilakukan selama 8 minggu terhitung sejak selesai masa adaptasi dengan perlakuan minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop. Dosis dasar untuk daun kumis kucing sebesar 6 g/hari/50 kg berat badan (BB) manusia dikonversikan ke dalam 70 kg BB manusia dan dikonversikan ke tikus (dikali 0.018) menjadi 0.15 g/hari/200 g BB. Sedangkan dosis untuk bunga kenop sebesar 9.5 g/hari/50 kg BB manusia yang dikonversikan ke dalam 70 kg BB dan dikonversikan ke tikus menjadi 0.24 g/hari/200 g BB.


(46)

Gambar 5 Tahapan pengujian proliferasi sel limfosit secara in vivo, in vitro dan in vivo-in vitro

Hasil konversi ke tikus kemudian dijadikan dasar untuk membuat minuman perlakuan setiap hari. Dosis bubuk daun kumis kucing dan bunga kenop yang digunakan ada dua, yaitu dosis rendah (diberi kode 1) dan dosis tinggi (diberi kode 2). Bubuk daun kumis kucing dosis rendah sebesar 0.4 g/ekor/hari setara dengan 8.39 g/70 kg BB manusia dan dosis tinggi sebesar 0.8


(1)

Lampiran 17c

Hasil analisis beda Duncan pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro

Perlakuan Subset untuk alfa 0.05

A B C D E F

C1 1.72000

C2 2.03733

C4 2.76767

C8 3.23600

C16 4.07967

C32 4.21033

C64 4.71133

Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α : 0.05)

Lampiran 17d

Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak bunga kenop terhadap

proliferasi sel limfosit secara in vitro

Sumber Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 6 0.617 0.103 1.967 0.139tn

Galat 14 0.732 5.232E-02

Total 20 1.350

Keterangan: (p<0.05), tn = tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%

Lampiran 17e

Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi sel

limfosit secara in vitro

Sumber Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 2 9.060E-03 4.530E-03 0.279 0.766tn

Galat 6 9.748E-02 1.625E-02

Total 8 0.107


(2)

Lampiran 18a

Indeks stimulasi proliferasi sel limfosit secara

in vivo

-in vitro

dengan penambahan ekstrak daun kumis kucing pada kelompok

tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing

dosis 0.4 dan 0.8 g/ekor/hari

Kelompok Perlakuan

Konsentrasi Ekstrak (mg/ml)

Absorbansi Indeks Stimulasi Rata2

IS SD

1 2 3 1 2 3

Kumis Kucing Dosis 0.4 g/ekor/hari

(KK1)

C1 (0.6) 0.331 0.392 0.399 0.880 1.043 1.061 0.995 0.099 C2 (1.2) 0.427 0.554 0.417 1.136 1.473 1.109 1.239 0.203 C4 (2.4) 0.462 0.491 0.497 1.229 1.306 1.322 1.285 0.050 C8 (4.8) 0.645 0.746 0.742 1.715 1.984 1.973 1.891 0.152 C16 (9.6) 0.842 1.392 0.989 2.239 3.702 2.630 2.857 0.757 C32 (19.2) 1.129 1.198 1.097 3.003 3.186 2.918 3.035 0.137 C64 (38.4) 1.866 1.655 1.523 4.963 4.402 4.051 4.472 0.460 Mitogen PWM 0.426 0.527 0.327 1.133 1.402 0.870 1.135 0.266 Con A 0.314 0.422 0.340 0.835 1.122 0.904 0.954 0.150 LPS 0.369 0.552 0.323 0.981 1.468 0.859 1.103 0.322

Kontrol 0.332 0.461 0.335 0.376 1

Kumis Kucing Dosis 0.8 g/ekor/hari

(KK2)

C1 (0.6) 0.439 0.554 0.485 0.818 1.032 0.903 0.917 0.108 C2 (1.2) 0.562 0.563 0.510 1.047 1.048 0.950 1.015 0.056 C4 (2.4) 0.572 0.640 0.596 1.065 1.192 1.110 1.122 0.064 C8 (4.8) 0.663 0.767 0.659 1.235 1.428 1.227 1.297 0.114 C16 (9.6) 0.955 0.976 0.871 1.778 1.818 1.622 1.739 0.103 C32 (19.2) 1.288 1.239 1.109 2.399 2.307 2.065 2.257 0.172 C64 (38.4) 1.785 1.801 1.683 3.324 3.354 3.134 3.271 0.119 Mitogen PKW 0.482 0.493 0.520 0.898 0.918 0.968 0.928 0.036 Con-A 0.481 0.503 0.491 0.896 0.937 0.914 0.916 0.021 LPS 0.415 0.492 0.471 0.773 0.916 0.877 0.897 0.074

Kontrol 0.516 0.529 0.566 0.537 1

Lampiran 18b

Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara

in vivo-in vitro pada

kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis

kucing dosis 0.4 g/ekor/hari

Sumber Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 6 27.945 4.658 34.971 0.000*

Galat 14 1.865 0.133

Total 20 29.810


(3)

Lampiran 18c

Hasil analisis beda Duncan pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara

in vivo-in vitro pada

kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis

kucing dosis 0.4 g/ekor/hari

Perlakuan Subset untuk alfa 0.05

A B C D

C1 0.99467

C2 1.23933

C4 1.28567 1.28567

C8 1.89067

C16 2.85700

C32 3.03567

C64 4.47200

Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α : 0.05)

Lampiran 18d

Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara

in vivo-in vitro pada

kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk daun kumis

kucing dosis 0.8 g/ekor/hari

Sumber Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 6 13.035 2.173 175.610 0.000*

Galat 14 0.173 1.237E-02

Total 20 13.209

Keterangan: (p<0.05), * = berbeda nyata pada taraf nyata 5%

Lampiran 18e

Hasil analisis beda Duncan pengaruh ekstrak daun kumis kucing

terhadap proliferasi sel limfosit secara

in vivo-in vitro yang diberi

minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dosis 0.8 g/ekor/hari

Perlakuan Subset untuk alfa 0.05

A B C D E F

C1 0.91767

C2 1.01500 1.01500

C4 1.12233 1.12233

C8 1.29667

C16 1.73933

C32 2.25700

C64 3.27067


(4)

Lampiran 18f

Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi sel

limfosit

in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi

minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dosis 0.4 g/ekor/hari

Sumber

Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 2 5.613E-02 2.806E-02 0.427 0.671tn

Galat 6 0.394 6.567E-02

Total 8 0.450

Keterangan: (p<0.05), tn = tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%

Lampiran 18g

Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi sel

limfosit secara

in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi

minuman ekstrak bubuk daun kumis kucing dosis 0.8 g/ekor/hari

Sumber

Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 2 9.073E-03 4.536E-03 1.894 0.230tn

Galat 6 0.104E-02 2.396E-03

Total 8 2.345E-02


(5)

Lampiran 19a

Indeks stimulasi proliferasi sel limfosit secara

in vivo

-in vitro

dengan penambahan ekstrak bunga kenop pada kelompok tikus

yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop dosis 0.6 dan 0.8

g/ekor/hari

Kelompok Perlakuan Konsentrasi Ekstrak (mg/ml)

Absorbansi Indeks Stimulasi

Rata2

IS SD

1 2 3 1 2 3

Bunga Kenop Dosis 0.6 g/ekor/hari (BK1)

C1 (0.4) 0.316 0.243 0.331 0.856 0.659 0.897 0.804 0.128 C2 (0.8) 0.296 0.329 0.352 0.802 0.892 0.954 0.883 0.076 C4 (1.6) 0.252 0.253 0.238 0.683 0.686 0.645 0.671 0.023 C8 (3.2) 0.231 0.264 0.263 0.626 0.715 0.713 0.685 0.051 C16 (6.5) 0.222 0.224 0.307 0.602 0.607 0.832 0.680 0.131 C32 (13.1) 0.198 0.258 0.242 0.537 0.699 0.656 0.631 0.084 C64 (26.3) 0.187 0.170 0.124 0.507 0.461 0.336 0.435 0.088 Mitogen PWM 0.338 0.314 0.261 0.916 0.851 0.707 0.825 0.107 Con-A 0.296 0.310 0.266 0.802 0.840 0.721 0.788 0.061 LPS 0.357 0.269 0.194 0.967 0.729 0.526 0.741 0.221

Kontrol 0.484 0.366 0.257 0.369 1

Bunga Kenop Dosis 1.2 g/ekor/hari (BK2)

C1 (0.4) 0.433 0.359 0.220 1.505 1.248 0.765 1.173 0.376 C2 (0.8) 0.241 0.285 0.229 0.838 0.991 0.796 0.875 0.102 C4 (1.6) 0.235 0.235 0.232 0.817 0.817 0.806 0.813 0.006 C8 (3.2) 0.221 0.237 0.216 0.768 0.824 0.751 0.781 0.038 C16 (6.5) 0.223 0.243 0.193 0.775 0.845 0.671 0.764 0.087 C32 (13.1) 0.129 0.283 0.256 0.448 0.984 0.890 0.774 0.286 C64 (26.3) 0.250 0.146 0.211 0.869 0.508 0.733 0.703 0.183 Mitogen

PWM 0.366 0.415 0.278 1.272 1.443 0.966 1.227 0.241 Con-A 0.251 0.405 0.237 0.873 1.408 0.824 1.035 0.324 LPS 0.077 0.393 0.212 0.268 1.366 0.737 0.790 0.551

Kontrol 0.339 0.293 0.231 0.288 1

Lampiran 19b

Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak bunga kenop terhadap

proliferasi sel limfosit secara

in vivo-in vitro pada kelompok

tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop dosis 0.6

g/ekor/hari

Sumber Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 6 0.357 5.953E-02 7.276 0.001*

Galat 14 0.115 8.181E-03

Total 20 0.472


(6)

Lampiran 19c

Hasil analisis beda Duncan pengaruh ekstrak bunga kenop

terhadap proliferasi sel limfosit secara

in vivo-in vitro pada

kelompok tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop

dosis 0.6 g/ekor/hari

Perlakuan Subset untuk alfa 0.05

A B C

C64 0.43467

C32 0.63067

C4 0.67133

C16 0.68033

C8 0.68467

C1 0.80400 0.80400

C2 0.88267

Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α : 0.05)

Lampiran 19d

Hasil analisis ragam pengaruh ekstrak bunga kenop terhadap

proliferasi sel limfosit secara

in vivo-in vitro pada kelompok

tikus yang diberi minuman ekstrak bubuk bunga kenop dosis 1.2

g/ekor/hari

Sumber Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 6 0.433 7.225E-02 1.827 0.165tn

Galat 14 0.554 3.954E-02

Total 20 0.987

Keterangan: (p<0.05), tn = tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%

Lampiran 19e

Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi sel

limfosit secara

in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi

minuman ekstrak bubuk bunga kenop dosis 0.6 g/ekor/hari

Sumber

Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 2 1.063E-02 5.317E-03 0.250 0.787tn

Galat 6 0.128 2.129E-02

Total 8 0.138

Keterangan: (p<0.05), tn = tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%

Lampiran 19f

Hasil analisis ragam pengaruh mitogen terhadap proliferasi sel

limfosit secara

in vivo-in vitro pada kelompok tikus yang diberi

minuman ekstrak bubuk bunga kenop dosis 1.2 g/ekor/hari

Sumber

Keragaman

Derajat

bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P

Perlakuan 2 0.287 0.144 0.923 0.447tn

Galat 6 0.934 0.156

Total 8 1.221


Dokumen yang terkait

Pengaruh pemberian ekstrak etanol 96% herba kumis kucing (orthosiphon stamineus benth) terhadap penurunan kadar kolesterol total pada tikus jantan yang diinduksi pakan hiperkolesterol

3 20 92

Mempelajari Toksisitas Minuman Seduhan Bubuk Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) Terhadap Tikus Percobaan Secara In Vivo

0 15 95

Kajian Keamanan dan Aktivitas Immunomodulator Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Knop (Gomphrena globosa L.)

1 14 198

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus

2 30 248

Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Krim Anti-inflamasi Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

9 41 106

Kajian Keamanan dan Aktivitas Immunomodulator Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Knop (Gomphrena globosa L)

1 3 99

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN

0 3 15

EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus Benth.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR.

9 71 93

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Sebagai Obat Komplementer Terhadap Tekanan Darah Penderita Hipertensi.

0 3 28

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pria Dewasa.

2 6 28