Firman Septiadi, 2015 Pengaruh Penerapan Model Collaborative Learning Teknik Jigsaw Terhadap Keterampilan Kata Siswa
Dalam Ekstrakurikuler Karate Di Smp Negeri 1 Cibadak Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Pembelajaran adalah proses, cara,
perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Definisi sebelumnya menyatakan bahwa seorang manusia dapat melihat perubahan terjadi tetapi tidak
pembelajaran itu sendiri. Konsep tersebut adalah teoritis, dan dengan demikian tidak secara langsung dapat diamati.
Pembelajaran menurut kamus bahasa Indonesia adalah proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Kegiatan belajar dan pembelajaran
dalam konteks pendidikan formal disekolah, merupakan fungsi pokok guna mewujudkan tujuan institusional suatu lembaga. Dalam pelaksanaan fungsi dan tugas
institusional itu, guru menempati kedudukan sebagai figur formal. Tugas dan tanggung jawab guru sebagai pendidik adalah untuk membantu peserta didik
melakukan kegiatan belajar, dalam hal ini disebut dengan pembelajaran. Melihat perkembangan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan pada dasarnya
pendidikan jasmani merupakan aktivitas fisik yang dilakukan melalui pembelajaran yang diarahkan dan mendorong kepada pendidik agar seluruh potensi peserta didik
tumbuh dan berkembang untuk mencapai suatu tujuan secara utuh dan menyeluruh. Menurut Saputra dkk 2008, hlm. 40 bahwa:
“pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas fisik sebagai media utama untuk
mencapai tujuan ” . Selain itu, menurut Mahendra. 2008, hlm. 3 menjelaskan bahwa
“pendidikan jasmani pada hakekatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktifitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu baik
dalam hal fisik, mental, serta emosional. ”
Firman Septiadi, 2015 Pengaruh Penerapan Model Collaborative Learning Teknik Jigsaw Terhadap Keterampilan Kata Siswa
Dalam Ekstrakurikuler Karate Di Smp Negeri 1 Cibadak Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Dewasa ini pendidikan jasmani mendapat perhatian yang cukup besar baik untuk meningkatkan kualitas manusia dalam kesegaran jasmani maupun untuk
pencapaian prestasi. Salah satu tempat dimana siswa dapat melakukan aktivitas olahraga ialah di sekolah, selain sebagai tempat kegiatan belajar, kegiatan
olahragapun dapat dilakukan di luar jam sekolah yaitu dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler olahraga berguna untuk meningkatkan
kualitas kesegaran jasmani siswa dan dapat memperluas wawasan atau kemampuan olahraga, peningkatan dan penerapan nilai pengetahuan siswa. Ekstrakurikuler
olahraga merupakan kegiatan olahraga yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka dilaksanakanan di sekolah atau di luar sekolah untuk memperluas wawasan
atau kemampuan, peningkatan dan penerapan nilai pengetahuan serta kemampuan olahraga”. Salah satu ektrakurikuler yang terdapat di sekolah yaitu ekstrakurikuler
karate. Zaman modern sekarang ini olahraga beladiri karate sudah dikenal oleh masyarakat luas. Gichin Funakoshi dalam Suntoda, 2012, hlm. 8 bahwa
“seni beladiri ini pertama kali disebut Tote yang berarti seperti Tangan Cina kemudian
Sensei Gichin Funakoshi mengubah kanji Okinawa Tote : Tangan Cina dalam kanji Jepang m
enjadi “Karate” Tangan Kosong”. Dalam olahraga karate terdapat 3 hal yang harus dipelajari, yaitu kihon, kata
dan kumite. Kata merupakan seni dalam olahraga karate yang membutuhkan kerjasama dalam mempelajarinya. Dalam seni beladiri karate terdapat tiga teknik
yang harus dikuasai, salah satu diantaranya adalah teknik bermain kata. Kata dalam istilah kita adalah jurus, dalam karate bersifat baku yaitu gerakan dan alur gerakan
sudah ditetapkan sehingga tidak dapat dirubah atau di modifikasi sesuai keinginan kita. Pertandingan olahraga karate pun sudah dapat kita jumpai setiap tahunnya di
setiap daerah di Indonesia. Olahraga karate yang di bawa dari Cina ke Jepang oleh
Gichin Funakoshi ini sudah popular dan masuk ke dalam dunia pendidikan jasmani.
Dalam olahraga karate apabila seseorang yang ingin mempelajarinya membutuhkan ketekunan dan keseriusan untuk menguasai olahraga karate tersebut. Dan yang paling
Firman Septiadi, 2015 Pengaruh Penerapan Model Collaborative Learning Teknik Jigsaw Terhadap Keterampilan Kata Siswa
Dalam Ekstrakurikuler Karate Di Smp Negeri 1 Cibadak Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
penting adalah memahami filosofi olahraga karate itu sendiri. Tapi yang terjadi saat ini adalah titik jenuh dalam pembelajaran karate. Yang pada akhirnya berdampak
pada cara berfikir mereka, bahasa, perilaku dan pergaulan mereka yang memandang olahraga karate adalah olahraga yang membosankan. Terkadang mengenal atau
sekedar mencari tahu saja tidak mau. Bisa disebut peminatnya sedikit, sehingga siswa malas untuk mempelajarinya. Banyaknya model yang belum diterapkan oleh pengajar
sehingga berpengaruh terhadap gerak dasar karate khususnya keterampilan kata yang membutuhkan kerjasama. Dengan banyaknya model-model pembelajaran, inovasi
dapat diterapkan pada proses pembelajaran, salah satu model pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran kolaboratif. Sebagaimana dikemukakan
oleh Barkley dalam Barkley 2012, hlm. 4 bahwa “pembelajaran kolaboratif berarti
belajar melalui kerja kelompok, bukan belajar dengan bekerja sendirian”. Menurut Matthews dalam Barkley dkk, 2012, hlm. 8 mengemukakan bahwa:
Pembelajaran kolaboratif bisa berlangsung apabila pelajar dan pengajar bekerja sama menciptakan pengetahuan… Pembelajaran kolaboratif adalah sebuah
pedagogi yang pusatnya terletak dalam asumsi bahwa manusia selalu menciptakan makna bersama dan proses tersebut selalu memperkaya dan
memperluas wawasan mereka
Dalam collaborative learning terdapat teknik pembelajaran kolaboratif yang dapat diterapkan, salah satunya teknik jigsaw. Hal ini didukung oleh pendapat
Barkley 2012, hlm. 236 bahwa: “…siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk membangun pengetahuan tentang
sebuah topic dan merumuskan cara-cara efektif untuk mengajarkannya pada orang lain. Kelompok-kelompok pakar ini kemudian dipecah, dan siswa
membentuk kelompok-kelompok jigsaw yang baru, dimana setiap kelompok terdiri atas siswa yang sudah membangun keahlian dalam beberapa macam
subtopik ”
Firman Septiadi, 2015 Pengaruh Penerapan Model Collaborative Learning Teknik Jigsaw Terhadap Keterampilan Kata Siswa
Dalam Ekstrakurikuler Karate Di Smp Negeri 1 Cibadak Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Berdasarkan dikemukakannya teori-teori di atas sudah sangat jelas bahwa model pembelajaran kolaboratif teknik jigsaw dapat diterapkan dalam pembelajaran
beladiri, salah satunya olahraga beladiri karate. Karena dalam olahraga beladiri karate nomor kata siswa dituntut untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran,
salah satunya untuk dapat menguasai materi dalam pembelajaran olahraga beladiri karate ini yang diberikan oleh gurunya. Kuranya interaksi pun disebut-sebut sebagai
salah satu faktor penyebab sulitnya dalam menghafal dan menguasai kata. Karena kata
merupakan rangkaian gerakan dari beberapa teknik dasar dalam olahraga karate. Dengan diterapkannya model pembelajaran kolaboratif teknik jigsaw adalah salah
satu cara yang dapat meningkatkan keterampilan kata. Pada pembelajaran kolaboratif teknik jigsaw ini setiap siswa menjadi anggota dari 2 kelompok, yaitu
“kelompok jigsaw
” dan “kelompok pakar”. Dalam model jigsaw versi Barkley ini, Pertama siswa diberikan materi kata
heian shodan yang kemudian pada pertemuan selanjutnya dilakukan tes awal
penampilan kata. oleh guru untuk memperkenalkan pembelajaran karate terlebih dahulu. Siswa yang sudah membentuk kelompok yang terediri dari empat sampai
enam orang ini ditugaskan untuk mempelajari materi salah satu rangkaian gerakan kata
yang diberikan oleh guru guna untuk menguasai rangkaian tersebut dan diajarkan kepada teman dikelompok jigsaw. Menurut Edward 1989 dalam Isjoni,
2012, hlm. 55 bahwa “kelompok yang terdiri dari empat orang terbukti sangat efektif”. Sedangkan
Sudjana 1989 dalam Isjoni, 2012, hlm. 55 mengemukakan bahwa “ beberapa siswa dihimpun dalam satu kelompok dapat terdiri 4-6 orang
siswa”. Kemudian perwakilan dari kelompoknya masing-masing bertemu dengan
perwakilan anggota dari kelompok lain dikelompok jigsaw untuk mempelajari serta memahami setiap masalah yang dijumpai dalam masing-masing rangkaian gerakan
kata yang telah dipelajari dari setiap rangkaian gerakan dikelompok pakar
sebelumnya. Setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menggabungkan setiap rangkaian gerakan kata yang berbeda-beda hingga utuh pada kelompok jigsaw,
Firman Septiadi, 2015 Pengaruh Penerapan Model Collaborative Learning Teknik Jigsaw Terhadap Keterampilan Kata Siswa
Dalam Ekstrakurikuler Karate Di Smp Negeri 1 Cibadak Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
maka masing-masing perwakilan kembali ke kelompok asalnya kelompok pakar dan mulai menjelaskan dan mempraktikkan materi kata kepada teman satu
kelompoknya dengan tujuan untuk menyempurnakan dari setiap rangkaian gerakan kata
. Jadi, dalam teknik jigsaw ini siswa bekerja kelompok selama dua kali, yaitu dalam kelompok jigsaw dan dalam kelompok pakar. Disini siswa akan menemui
permasalahan yang tahap kesukarannya bervariasi. Pengalaman seperti ini sangat penting terhadap perkembangan mental siswa tersebut dan secara tidak langsung rasa
tanggung jawab terhadap kelompoknya pun akan ikut berkembang. Piaget 1991 dalam Isjoni, 2012, hlm. 56 menyatakan bahwa “…bila menginginkan
perkembangan mental maka lebih cepat dapat masuk ketahap yang lebih tinggi., supaya ana
k diperkaya dengan banyak pengalaman”. Kemudian siswa diberikan tes akhir berupa penampilan kata oleh masing-
masing kelompok dengan penilaian tetap individu. Karena skor individu menentukan skor kelompoknya masing-masing. Disini akan terjadi persaingan positif antara
diantara kelompok dan anggotanya masing-masing. Sehingga para siswa akan berusaha untuk menampilkan kata dengan baik dan benar. Kegiatan seperti ini secara
tidak langsung akan memberikan motivasi pada siswa untuk saling berinteraksi untuk dapat menghafal kata yang baik dan benar pada pembelajaran kata dikelompoknya
masing-masing sebelum tes dilaksanakan. Peran pengajar disini sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa untuk belajar mandiri dalam kelompoknya serta
mengembakan kerja sama antara anggota dalam setiap kelompoknya sehingga dapat meningkatnya keterampilan kata. Mereka dapat berinteraksi dengan teman sebayanya
untuk menyelesaikan setiap kesulitan yang dihadapi pada saat pembelajaran berlangsung. Dalam model pembelajaran lain pengajar menjadi pusat kegiatan kelas,
akan tetapi pada model pembelajaran kolaboratif teknik jigsaw ini meskipun pengajar tetap mengendalikan aturan, pengajar tidak lagi menjadi pusat kegiatan kelas, tetapi
siswa yang menjadi pusat kegiatan kelas. Karena pengajar sudah memberikan materi kata
pada siswa untuk dipelajari kembali oleh masing-masing anggota pada
Firman Septiadi, 2015 Pengaruh Penerapan Model Collaborative Learning Teknik Jigsaw Terhadap Keterampilan Kata Siswa
Dalam Ekstrakurikuler Karate Di Smp Negeri 1 Cibadak Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
kelompoknya dikelompok pakar dan diajarkan dikelompok pakar untuk menggabungkan rangkaian gerakan secara utuh. Pembagian kelompok diadakan
setelah tes awal, kemudian di ranking agar siswa tidak dapat bebas membuat kelompok sendiri, karena biasanya siswa akan memilih teman-teman yang
diharapkannya, misalnya sama dalam kemampuannya. Indikator peserta didik itu
saling berinteraksi adalah dengan saling memperbaiki setiap gerakan yang salah dengan komunikasi dan demonstrasi yang dilakukan oleh peserta didik sesuai yang
diberikan oleh pengajarnya. Ini menjadi dasar pemikiran penulis untuk meningkatkan keterampilan kata dengan menerapkan model collaborative learning teknik jigsaw
kepada siswa yang mengikuti ekstrakurikuler karate di SMP Negeri 1 Cibadak tahun 2014-2015.
Sikap egois yang tinggi dikalangan siswa akan berdampak berdampak pada kurangnya interaksi dalam pembelajaran karate tersebut. Alasan penulis
menggunakan model pembelajaran kolaboratif adalah karena pembelajaran kolaboratif menggalakan sikap kerja sama agar siswa dapat saling berinteraksi satu
sama lain. Dengan model collaborative learning teknik jigsaw siswa mau tidak mau akan berinteraksi dengan “kelompok pakar” dan “kelompok jigsaw” untuk
menyampaikan materi yang telah diberikan oleh pengajar. Pengulangan setiap gerakan dalam kata tanpa tersadari akan terus berulang hingga hafal, karena pada
teknik jigsaw ini nilai individu menentukan nilai kelompok. Dari pemaparan di atas
maka penulis mengambil judul “pengaruh penerapan model collaborative learning teknik jigsaw terhadap keterampilan kata siswa dalam
ekstrakurikuler karate di SMP Negeri 1 Cibadak Kabpaten Sukabumi “.
1.2. Identifikasi Masalah