hak atas kewajiban Advokat kepadanya, apalagi jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku.
Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan Pasal 11 Ayat 1 Kode Etik Advokat Indonesia, yaitu:
a. Klien.
b. Teman sejawat advokat
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota masyarakat.
e. Dewan Kehormatan PusatCabangDaerah dari organisasi profesi dimana
Teradu menjadi anggota. Dewan Kehormatan Advokat berwenang memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran Kode Etik Profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat Pasal 26 Ayat 5 dan Pasal 10 Ayat 1 Kode Etik Advokat Indonesia. Pemeriksaan suatu pengaduan Pasal 10 Ayat 2 Kode
Etik Advokat Indonesia, dapat dilakukan melalui 2 dua tingkat, yaitu: a.
Tingkat Dewan Kehormatan CabangDaerah tingkat pertama. b.
Tingkat Dewan Kehormatan Pusat tingkat terakhir.
E. Tinjauan Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini tedapat
dalam “WvS” Belanda dengan demikian juga “WvS” Hindia Belanda KUHP,
tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” itu.
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur-literatur hukum:
1. Tindak Pidana;
2. Peristiwa pidana;
3. Delik;
4. Pelanggaran Pidana;
5. Perbuatan yang boleh dihukum;
6. Perbuatan yang dapat dihukum;
7. Perbuatan Pidana.
“Strafbaar feit”, terdiri dari 3 kata, yakni “straf”, “baar” dan “feit”. “Straf” diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan “baar”
diterjemahkan dengan kata dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata “feit” diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Dalam menjelaskan mengenai pengertian dan unsur-unsur “strafbaar feit”, ada dua pandangan aliran atau menurut beberapa orang sarjana hukum.
Yakni pandangan aliran monistis atau mayoritas para sarjana hukum pidana dan pandangan aliran dualistis atau minoritas para sarjana hukum pidana.
Maka dalam hal ini penulis akan menguraikan pandangan aliran dualistis saja. Dalam pandangan dualistis atau minoritas sarjana hukum pidana yang
dianut oleh Moeljatno, Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin. Memilih pengertian “straafbaar feit” sebagai perbuatan dengan alasan bahwa
secara “literlijk” istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai terjemahan “feit”, seperti dalam perbendaharaan ilmu hukum, misalnya istilah
“materieele feit” atau “formeele feit”. Demikian juga istilah “feit” dalam banyak rumusan norma-norma tertentu dalam “Wvs” Belanda demikian
juga “Wvs” Hindia Belanda. Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai oleh
beliau sebagai istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari “strafbaarfeit”
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.
“Adapun istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya adalah: • Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya perbuatan manusia,
yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan pada perbuataannya. Sedangkan
ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya. • Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan dengan ancaman
pidana yang ditujukan pada orangnya ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan berupa keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
• Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang
menunjuk pada kedua keadaan kongkrit yaitu: pertama adanya kejadian tertentu perbuatan dan kedua adanya orang yang berbuat
atau yang menimbulkan kejadian itu.”
90
Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya, menampakkan bahwa
beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini
sering disebut pandangan dualistik dualistis. Pandangan Moeljatno ini mengikuti teori Herman Kantorowicz,
Kantorowicz berpendapat, bahwa kesalahan seseorang bukanlah sifat perbuatan, tetapi sifat orang yang melakukan perbuatan itu. oleh karena itu
beliau menyarankan pendirian yang “Subjektif Schuld”. “Handlung” adalah perbuatan, yang dilarang atau diperintahkan untuk dilakukan, sedangkan
kesalahan yang merupakan bagian pertanggungjawaban menyangkut dapat dipidananya strafbaarheid pembuat delik. Yang harus diteliti oleh hakim
ialah perbuatan lebih dahulu, kalau telah terbukti barulah ia melangkah meneliti terbukti atau tidaknya pertanggungjawaban dan semuanya terbukti
hakim menetapkan sanksi hukum pidana ketiganya merupakan syarat-syarat pemidanaan.
90
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit PT Bima Akasara, 1983, Hlm. 54.
Menurut Kantorowicz, Strafbaare Handlung perbuatan pidana terdapat bilamana “die handlung its also Rechtsfertigungsgrund fint”. Suatu
perbuatan yang dirangkum oleh rumus undang-undang dan yang tidak dibenarkan oleh alasan pembenar. Jadi dalam pengertian perbuatan pidana
tidaklah lagi dimasukkan sikap batin pembuatnya. Dibedakan antara perbuatan pidana dengan syarat-syarat pemidanaan.
Pompe, yang merumuskan bahwa suatu “straafbaar feit” itu sebenarnya adalah tindak pidana lain daripada suatu “tindakan yang menurut
sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”
91
“Vos, merumuskan bahwa “straafbaar feit” adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”
92
“R.Tesna, walaupun menyatakan sangat sulit untuk merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga beliau
menarik definisi, yang menyatakan bahwa, “peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.
Dalam rumusan itu tidak memasukkan unsur atau anasir yang berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya dalam peristiwa pidana itu
mempunyai syarat-syarat, yaitu:
91
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Penerbit Sinar Baru, 1990, Hlm. 174.
92
Martiman, P, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1996, Hlm. 16.
1 Harus ada suatu perbuatan manusia;
2 Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan
hukum; 3
Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;
4 Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
5 Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam
undang-undang.” Dari uraian syarat-syarat peristiwa pidana tersebut maka dapat
digambarkan sebagai berikut yang mengacu pada ajaran Kantorowicz: “Strafbare Handlung” SH + “Schuld” S = “Strafvoraussetzungen”
SV “Strafbare Handlung” mensyaratkan adanya suatu “Tat”
Perbuatannya, “Tatbestandmaszigkeit” hal mencocoki rumusan undang- undang, dan tidak adanya alasan pembenar Fehlen von
Rechtfertigungsgrunden. “Handeling” pembuat mensyaratkan adanya “Schuld” dan tidak adanya alasan pemaaf strfauschlieszungsgrunden.
Pembedaan antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling
berhubungan. Untuk dapat dipidananya pembuat harus ada hubungan psychis. Perbuatan hanya dapat dilarang atau diperintahkan, tetapi pembuatlah yang
harus dihukum. Perbuatan melawan hukum menurut von Liszt adalah “das unwerturteil uber”, sedangkan dapat dipidananya pembuat Schudhaftigkeit,
“das uber das tater” hal dapat dipidananya pembuat.
“Maka menurut Moeljatno, apabila dikaitkan dengan syarat penjatuhan pidana, maka seseorang dapat dijatuhi pidana apabila terpenuhi 2
dua syarat, yakni telah melakukan tindak pidana dan mempunyai kesalahan, karena kendatipun telah terbukti melakukan tindak pidana apabila tidak
terpenuhi syarat yang lain yang berupa adanya kesalahan maka seseorang tidak dapat dipidana.”
93
F. Pengertian dan Ruang Lingkup Malpraktek Advokat