Analisishukum Pidana Hak Imunitas Advokat Dalam Melaksanakan Profesinya Sebagai Penegak Hukum Di Indonesia

(1)

ANALISIS HUKUM PIDANA HAK IMUNITAS ADVOKAT DALAM MELAKSANAKAN PROFESINYA SEBAGAI PENEGAK HUKUM DI

INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

RENDI RUMAPEA NIM : 110200229

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis hukum pidana hak imunitas advokat dalam melaksnakan profesinya sebagai penegak hukum di Indonesia”

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Dalam pembuatan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

ii

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof.Dr.Edi Warman,S.H,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing, mengarahkan dan mendukung penulis selama masa penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Dr.Edi Yunara,S.H,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membimbing, mengarahkan, dukungan, ide, waktu dan sarannya selama penulisan skripsi ini.

9. Seluruh keluarga tercinta yang telah mendukung dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini, terkhusus kepada kedua orang tua saya B.Rumapea dan R.br. Simbolon yang saya sangat cintai terimakasih buat kasih sayang, pengorbanan, dan perhatian yang sangat banyak diberikan kepada penulis.

Penulis


(4)

iii

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAKSI ... iii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan masalah ... 6

C. Tujuan dan manfaat penulisan ... 6

D. Keaslian penulisan ... 8

E. Tinjauan kepustakaan ... 8

1. Pengaturan Bantuan Hukum dan Hak Imunitas Advokat ... 8

2. Pengertian Advokat dan Etika Profesi Advokat Indonesia ... 14

3. Kebijakan Hukum Pidana ... 22

F. Metode Penelitian ... 34

G. Sistematika Penulisan ... 37

BAB II. PENGATURAN HUKUM TENTANG PELAKSANAAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA ... 39

A. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana . 39 B. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... 43

C. Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat ... 49

BAB III. HAMBATAN DALAM MELAKSANAKAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA ... 55


(5)

iv

A. Pelanggaran Advokat terhadap Ketentuan Undang-undang

No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat ... 55

B. Pelanggaran Advokat terhadap Ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia ... 61

C. Ketidak Harmonisan Hubungan antara Advokat dengan Klien ... 70

D. Ketidaktahuan dan Arogansi Para Penegak Hukum Lainnya ... 75

BAB IV. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MELAKSANAKAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA ... 79

A. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) ... 79

B. Kebijakan Non Penal (Penal Policy) ... 88

C. Analisis Kasus Reg.No. 684 K/Pid.Sus/2009 ... 91

1. Posisi kasus ... 91

2. Pertimbangan Hukum ... 95

3. Putusan ... 99

4. Analisis Hukum ... 102

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

1. Kesimpulan ... 106

2. Saran ... 107


(6)

v

ABSTRAK Rendi Rumapea *

Ediwarman** Edi Yunara***

Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Advokat merupakan penegak hukum, yang kedudukannya sejajar dengan polisi, jaksa, dan hakim. Advokat memiliki kekebalan (hak imunitas) dalam menjalankan tugasnya, hak imunitas adalah kebebasan advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat dihukum sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya. Namun pada prakteknya masih banyak aparat penegak hukum dan masyarakat yang tidak mengerti kedudukan advokat dan sulit membedakan sejauh mana hak imunitas melekat pada advokat.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu, bagaimana pengaturan pelaksanaan hak imunitas advokat, hambatan advokat dalam melaksanakan hak imunitasnya, dan kebijakan hukum pidana terhadap hak imunitas advokat. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penelitian ini menggunakan studi pustaka (library research) dengan pendekatan normatif

yuridis yaitu dengan menggali pengaturan hak imunitas advokat dan unsur-unsur

dalam penerapannya.

Berdasarkan hasil penelitian, hak imunitas advokat tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahkan dalam peraturan hukum pidana yakni Undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Advokat juga memiliki batasan dalam menggunakan hak imunitasnya untuk menerapkan tugas profesinya, karena hak imunitas tidak semata-mata lahir dari undang-undang namun karena hubungan yang baik antara advokat dengan aparat penegak hukum dan juga klien.


(7)

v

ABSTRAK Rendi Rumapea *

Ediwarman** Edi Yunara***

Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Advokat merupakan penegak hukum, yang kedudukannya sejajar dengan polisi, jaksa, dan hakim. Advokat memiliki kekebalan (hak imunitas) dalam menjalankan tugasnya, hak imunitas adalah kebebasan advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat dihukum sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya. Namun pada prakteknya masih banyak aparat penegak hukum dan masyarakat yang tidak mengerti kedudukan advokat dan sulit membedakan sejauh mana hak imunitas melekat pada advokat.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu, bagaimana pengaturan pelaksanaan hak imunitas advokat, hambatan advokat dalam melaksanakan hak imunitasnya, dan kebijakan hukum pidana terhadap hak imunitas advokat. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penelitian ini menggunakan studi pustaka (library research) dengan pendekatan normatif

yuridis yaitu dengan menggali pengaturan hak imunitas advokat dan unsur-unsur

dalam penerapannya.

Berdasarkan hasil penelitian, hak imunitas advokat tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahkan dalam peraturan hukum pidana yakni Undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Advokat juga memiliki batasan dalam menggunakan hak imunitasnya untuk menerapkan tugas profesinya, karena hak imunitas tidak semata-mata lahir dari undang-undang namun karena hubungan yang baik antara advokat dengan aparat penegak hukum dan juga klien.


(8)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Peran dan fungsi advokat meliputi pekerjaan baik yang dilakukan dipengadilan tentang masalah hukum pidana atau perdata, seperti mendampingi klien dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan (di kejaksaan atau kepolisian) atau beracara dimuka pengadilan. Advokat mempunyai kualifikasi dan otorisasi untuk berpraktek di pengadilan dalam memberikan nasihat hukum dan mendampingi serta membela kliennya dalam persoalan hukum, sehingga kebebasan profesi advokat sangat penting manfaatnya bagi masyarakat yang memerlukan jasa hukum (legal services) dan pembelaan (litigation) dari seorang advokat. Sehingga seorang anggota masyarakat yang perlu dibela akan mendapat jasa hukum dari seorang advokat independen, yang dapat membela semua kepentingan kliennya tanpa ragu-ragu.1

Setiap advokat memiliki kekebalan (hak imunitas) dalam menjalankan tugasnya. Yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan dari advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat dihukum sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah terhadap dan karena tindakannya tersebut, terhadap para advokat dan kliennya tidak

1

Frans Hendra Winarta, Advokat IndonesiaI, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995), hlm.36-37.


(9)

2

dilakukan tekanan, ancaman, hambatan, ketakutan, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat.2 Dalam pasal 16 undang-undang No 18 Tahun 2003 dikatakan bahwa “advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana didalam menjalankan tugas profesinya dengan

itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien”. Artinya bahwa advokat itu mempunyai hak imunitas untuk tidak dapat dituntut, dan arti etikad baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.

Untuk itu hak imunitas ini perlu dipahami tidak hanya oleh advokat, tujuannya agar semua pihak mengerti kedudukan advokat. Hal ini perlu karena beberapa advokat pernah dipanggil polisi untuk menjadi saksi, dengan istilah

“terlapor”. Bahkan, polisi pernah memperlakukan advokat secara kasar di pengadilan. Asas hukum equality before the law berarti bahwa kesetaraan dihadapan hukum tetap dijunjung dan dipertahankan sebagai patokan umum dalam penegakan hukum (law enforcement). Namun perlu diperhatikan juga bahwa asas equality before the law tetap harus mengindahkan hak imunitas. Hak imunitas dan asas hukum tersebut perlu mendapat perhatian, berkaitan dengan status advokat sebagai penegak hukum yang sejajar dengan hakim, jaksa dan polisi, dengan tugas masing-masing pihak yang berbeda-berbeda sesuai dengan fungsi utama masing-masing. Tugas-tugas advokat dijabarkan dalam Undang-undang advokat. Namun dalam kenyataannya, dapat terjadi bahwa perlakuan terhadap advokat terbukti tidak sesuai dengan undang-undang tersebut karena

2


(10)

3

suatu masalah semata-mata dilihat dari hukum acara pidana. Hal tersebut dapat saja terjadi karena ketidaktahuan polisi atau karena arogansi status.3

Seperti halnya dalam kasus korupsi pada proyek pembangunan jalan di Mentawai dengan tersangka A.Ambarita (Kejaksaan Negeri Tuat Pejat) ex pasal 21 Undang-Undang No.31 tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo undang-undang No.22 tahun 2001. Dalam kasus tersebut, advokat Manatap Ambarita, S.H. telah bertindak sebagai kuasa tersangka yang sebelum perkara pokok berjalan, pihak Kejaksaan Negeri Padang, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat telah memperlakukan advokat Manatap Ambarita,S.H. sebagai tersangka yang diikuti penahanan secara langsung dengan tuduhan menghalangi proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan jalan di Mentawai. Hal ini menunjukkan adanya proses penegakan hukum korupsi yang cenderung menyingkirkan immunity right telah terjadi di Pengadilan Negeri Padang.4

Advokat tidak bisa diidentifikasikan dengan kliennya karena advokat pada prinsipnya hanyalah pemegang kuasa/agen dari kliennya, ketak identikan antara advokat dan kliennya tersebut sesuai dengan hukum keagenan, bahwa agen hanya bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya. Selama agen menjalankan tugas sesuai dengan tugas yang didelegasikan kepadanya dan dilakukan secara professional, advokat tersebut tidak dapat menjadi tanggung gugat, tetapai principal lah yang harus bertanggung jawab secara hukum. Seperti halnya pada pasal 18 ayat (2) dari undang-undang Advokat menentukan dengan gamblang

sebagai berikut: “advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya dalam

3

V.Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga,2011), hlm. 120.

4


(11)

4

membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan atau masyarakat”.

Advokat berhak untuk membela siapapun kliennya, termasuk penjahat kelas kakap yang telah dihujat oleh banyak orang dan tetap melaksanakan prinsip yakni setiap orang berhak untuk mendapatkan pembelaan hukum secara wajar, yang memang diakui oleh setiap hukum yang modern di dunia ini, termasuk hukum Indonesia. Jika advokat membela kliennya yang merupakan penjahat besar misalnya, advokat tersebut tidak boleh dikucilkan atau dihujat seperti mengucilkan dan menghujat kliennya. Seperti telah disebutkan bahwa sekali advokat memegang suatu perkara, meskipun kliennya tidak popular dan penjahat yang dicaci maki oleh masyarakat, advokat tetap harus memberikan jasa hukum sebaik mungkin sesuai prinsip-prinsip professional, intelektualitas, dan emosional. Disamping itu setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, meskipun orang tersebut merupakan penjahat besar, berdasarkan prinsip hak setiap orang untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut tidak dapat dipersalahkan.

Bagaimana jika advokat diperiksa oleh polisi? Sepanjang pemeriksaan itu terkait dengan pekerjaan atau profesinya, maka polisi baru bisa bertindak jika sebelumnya telah meminta keterangan dari organisasi advokat tentang sah atau tidaknya pekerjaan seorang advokat. Misalnya advokat diadukan menipu kliennya sehingga kliennya kalah. Yang pertama sebelum polisi memeriksa advokat ia mesti meminta organisasi advokat tersebut menjelaskan apakah yang dilakukan seorang advokat tersebut sesuai standar profesi atau tidak. Sehingga perbuatan tersebut termasuk kategori penipuan atau pelanggaran etika profesi. Misalnya advokat diadukan karena memberikan janji bahwa perkara yang ditangani sudah pasti menang. Jika advokat yang bersangkutan sudah diperiksa dewan etik atau


(12)

5

dewan kehormatan advokat dan ditemukan kesalahannya maka hukumannya dua. Oleh organisasi advokat bisa dijatuhi sanksi administrasi bahkan dipecat dan memperoleh sanksi pidana dari penegak hukum. Namun jika tidak ditemukan bukti dalam pemeriksaan dewan kehormatan tentang apa yang diadukan, maka ia tidak bisa diproses pidana. Terkecuali pada hal-hal yang jelas dalam kesalahannya yang telah diatur dalam UU yang sudah ada seperti advokat mabuk, nyabu, menggelapkan uang klient dengan dalih untuk menyogok hakim atau advokat melakukan tindak pidana di luar profesinya. Terlibat pencurian, transaksi barang-barang haram, jelas itu semua bukan pelanggaran etika tetapi pidana biasa. Tetapi advokat yang menjadi penasihat hukum koruptor atau teroris kemudian laptopnya ikut disita karena dianggap bersekongkol jelas itu pelecehan terhadap profesi advokat. Karena perbuatan kliennya bukanlah tanggungjawab advokat.5

Kewajiban Advokat membela kliennya dengan semaksimal mungkin dimaksudkan agar advokat mencari semua jalan dan jalur hukum yang tersedia yang memberi keuntungan bagi kliennya dengan segala kerugikan kliennya meskipun upaya, mencurahkan segenap tenaga, intelegensi, kemampuan, keahlian dan komitmen pribadi dan komitmen pribadi dan komitmen profesinya. Dalam hal ini seorang advokat memikul kewajiban untuk tidak merugikan kliennya meskipun hal tersebut tidak menyenangkan atau bertentangan dengan suara hati advokat itu sendiri atau membuat advoak itu sendiri menjadi tidak populer malah bahkan dibenci oleh masyarakat, sama dengan masyarakat memebensi kliennya itu yang mungkin saja memang benar kliennya itu adalah seorang bajingan (penjahat sadis). Untuk itu advokat harus memberikan komitmen yang penuh

5


(13)

6

dengan dedikasi yang tinggi dan mengambil seluruh langkah apapun yang tersedi yang menguntungan kepeentingan kliennya. Ketika kepentingan kliennya bertentangan dengan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan advokat pribadi, kepentingan klien lah yang harus dimnangkan tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang lebih didahulukan berlakunya6.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik menulis skripsi dengan judul “Analisis hukum pidana hak imunitas advokat dalam melaksanakan profesinya sebagai penegak hukum di Indonesia”

B. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan hukum tentang pelaksanaan hak imunitas advokat di Indonesia?

b. Bagaimana hambatan dalam melaksanakan hak imunitas advokat di Indonesia?

c. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan hak imunitas advokat di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

6


(14)

7

1. Untuk mengetahui pengaturan dan perlindungan mengenai hak imunitas profesi advokat di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kedudukan dan kekuatan seorang advokat dalam menggunakan hak imunitas profesinya.

3. Untuk mengetahui batasan-batasan profesi advokat dalam menggunakan hak imunitasnya.

4. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan hak imunitas advokat di Indonesia.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini terbagi atas dua yaitu secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

Penulisan ini bermanfaat untuk memeberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah pengetahuan pembaca dalam bidang pengetahuan ilmu hukum profesi advokat pada umumnya dan tentang hak imunitas advokat dalam melindungi kepentingan klien dalam lingkup hukum pidana. Sehingga skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan menjadi kajian ilmiah bagi para mahasiswa hukum maupun praktisi hukum di Indonesia.

2. Secara praktis

Secara praktis penulisan ini ditujukan kepada semua kalangan penegak hukum lainnya, baik polisi, jaksa, dan hakim supaya mengerti kedudukan serta hak imunitas advokat dalam memberikan perlidungan terhadap klien, sehingga advokat dapat memberikan bantuan hukum yang maksimal kepada setiap masyarakat pencari keadilan, dan juga dapat memberikan jasa hukum serta pembelaan terhadap semua kepentingan kliennya tanpa ragu-ragu.


(15)

8 D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Analisis hukum pidana hak imunitas advokat dalam melaksanakan profesinya sebagai penegak hukum di Indonesia”

adalah hasil buah pikir penulis sendiri juga ditambah literatur-literatur lain baik buku milik penulis sendiri maupun buku- buku dari perpustakaan serta sumber-sumber lain yang menunjang penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini murni penulis sendiri yang mengerjakannya dimana topik yang penulis bahas dalam skripsi ini belum pernah dibahas oleh orang lain yang dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada di perpustakaan fakultas hukum USU. Bila ternyata terdapat judul yang sama sebelum skripsi ini dibuat maka penulis bertanggungjawab sepenuhmya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengaturan Bantuan Hukum dan Hak Imunitas Advokat

a. Pengaturan Bantuan Hukum

Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum untuk kaum miskin dan buta huruf. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat, oleh sebab itu Advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk membantu orang miskin yang membutuhkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma atau probono. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban saja namun harus dipandang pula sebagai bagian dari


(16)

9

kontribusi dan tanggung jawab sosial (social kontribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi advokat, undang-undang No.18 tahun 2003 tentang advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban suatu advokat untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma sebagai bagai dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma oleh advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari organisasi profesi.

Bantuan hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama pada lapisan termiskin rakyat kita. Orang kaya sering tidak butuh bantuan hukum sebetulnya pada dasarnya hukum itu dekat dengan orang kaya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering juga tidak melestarikan ketidak adilan hukum antara sikaya dan simiskin. Kesalahan gerakan bantuan hukum di Indonesia selama ini adalah karena gerakan bantuan hukum kita terlalu individual dan urban. pelanggaran HAM adalah masyarakat miskin dari struktural bawah yang hidup di rural. Pada bagian lain sudah diungkapkan banyakanya insiden perlakuan yang tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan yang yang merendahkan martabat manusia terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang advokat (penasehaet hukum) profesional. Dalam keadaan seperti inilah bantuan hukum diperlukan untuk membela orang miskin agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak hukum. Lembaga bantuan hukum sebagai salah satu sub sistem dari sistem peradilan pidana dapat memegang peranan penting dalam


(17)

10

membela dan melindungi hak-hak tersangka. Untuk itu diperlukan suatu proses hukum yang adil (due process of law) melalui suatu acara hukum nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.7

Sama halnya bentuk kebijakan bantuan hukum gratis yang diberikan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Selatan diatur dalam keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan Nomor 10/KPTS/III/2009 tentang pedoman Penyelenggaraan Pemberian Bantuan Hukum gratis kepada masyarakat miskin Sumatera selatan. Bantuan hukum gratis hanya diberikan kepadapemerintah setempat serta masyarakat miskin tersebut betul-betul mempertahankan hak atau kepentingan hukumnya.8

Ada beberapa aturan hukum yang mengatur tentang bantuan hukum di Indonesia, diantaranya:

1. Pengaturan bantuan hukum berdasarkan UUD 1945

Dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat (1) telah memberikan pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang tanpa membedakan suku, agama atau kedudukan derajat hidupnya. Pengakuan dan jaminan ini dipertegas lagi dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Hal itu dapat diartikan bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia harus dianggap sebgai hak konstitusional warga negara. Kendatipun tidak secara eksplisit diatur dan dinyatakan dalam UUD 1945, namun negara wajib untuk memenuhinya karena akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak

7

Frans Hendra Winarta, Suatu Hak Asasi Manusia Belas Kasihan Manusia, (Jakarta: gramedia), hlm.63-64

8

YLBHI, Bantuan Hukum Bukan Hak Yang di Beri, (Jakarta:Yayasan lembaga bantuan Hukum Indonesia,2013), hlm. 20.


(18)

11

untuk diadili secara adil merupakan salah satu ciri Negara hukum. Artinya Negara berkewajiban menjamin segala hak masyarakat yang berhubungan dengan hukum, termasuk jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum ini bukan tanpa dasar.

Selain itu dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, setiap warga Negara mempunyai hak untuk dibela (access to legal counsel), hak diperlakukan sama dimuka hukum (equality before of the law) dan hak untuk mendapatkan keadilan (access to justice)

2. Pengaturan bantuan hukum berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 dan PP No.83 Tahun 2008

Pada tanggal 31 Desember 2008, pemerintah telah mensahkan peraturan pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma. Peraturan pemerintah ini merupakan pelaksanaan pasal 22 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat yang isinya sebagai berikut:

Ayat (1)”Advokat wajib memberikan bantun hukum secar Cuma-Cuma

kepada para pencari keadilan yang tidak mampu”, ayat (2) “ketentuan persyaratan

dan tata cara pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma sebagaimana disebut pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah yang menginsyaratkan Advokat wajib membemberikan bntuan hukum secara Cuma-Cuma kepada

pencari keadilan yang tidak mampu.”9

Kewajiban bagi para Advokat untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan di dalam Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2008 terdapat dalam pasal-pasal yang isinya adalah “Advokat wajib

9


(19)

12

memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pecari keadilan”. Serta mengenai pelarangan bagi advokat untuk menolak permohonan bantuan secara Cuma-Cuma bagi pencari keadilan terdapat pada pasal 12 ayat (1) yang isinya:

“advokat dilarang menolak permohonan bantuan hukum secara

Cuma-Cuma”, ayat (2) dalam hal terjadi penolakan permohonan pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) permohonan dapat mengajukan keberatan organisasi advokat atau lrmbaga bantuan hukum yang bersangkutan.

a. Pengertian hak imunitas

Istilah imunitas berasal dari bahasa latin yaitu immuniteit yang memiliki arti kekebalan atau hal atau keadaan yang tidak dapat diganggu gugat. Istilah imunitas tersebut apabila dikaitkan dengan hak imunitas advokat maka dapat diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam melakukan profesinya dalam rangka membela kepentingan kliennya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Advokat yang pada pokoknya menjelaskan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugasprofesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien.

Dengan demikian yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan dari advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan atau tidak mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat di hukum sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya. 10

Hak kekebalan (immuniteit) untuk tidak dapat dituntun baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan

10


(20)

13

pembelaan kilen dalam sidang pengadilan. Dengan penyandang status sebagai penegak hukum, peran advokat memiliki kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Artinya, eksistensi advokat bukan lagi hanya sekedar profesi memberikan jasa hukum, tanpa jaminan kemandirian yang dilindungi undang-undang, tetapi sudah menjadi salah satu perangkat keadilan dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan, bebas dari tekanan, ancaman, hambatan, dan rasa takut atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesinya. 11

Dalam menjalankan profesinya, hak imunitas juga telah dijamin oleh Undang-undang, yaitu dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Advokat, yang secara tegas menyatakan, bahwa Advokat bebas untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam Sidang Pengadilan. Maksud dari kata bebas dalam hal ini adalah tanpa adanya tekanan, ancaman, hambatan, tanpa adanya rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat. Selain itu pula Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada Kode Etik Profesi dan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu seorang Advokat tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana dalam menjalankan tugas profesinya yang didasarkan pada itikad baik untuk kepentingan pembelaan Kliennya. Maksud Itikad baik disini adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk

11

H.zulkifli,Eksistensi Pasal 19 UU Advokat dan Kaitannya dengan Upaya Paksa Penyitaan yang Dimiliki oleh Penyidik,( Medan: Kantor Hukum Zulkifli Nasution & Rekan, 2006), hlm.1-2.


(21)

14

membela kepentingan Kliennya dalam setiap tingkat peradilan di semua lingkungan peradilan. Selain itu berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Advokat, bahwa Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang atau oleh masyarakat.

Advokat sebagai profesi mulia atau officium nobile memiliki kebebasan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kepentingan publik.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak sebagai pembela hak asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan hak-hak publik.Akibat dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada pada status profesinya maka advokat memiliki lima dimensi perjuangan ideal yaitu dimensi kemanusiaan, dimensi pertanggungjawaban sosial, dimensi kebebasan, dimensi pembangunan negara hukum dan dimensi pembangunan demokrasi. 12

3. Pengertian Advokat dan Etika Profesi Advokat Indonesia

a. Pengertian Advokat

Akar kata advokat, apabila didasarkan pada kamus latin-Indonesia, dapat ditelusuri dari bahasa Latin, yaitu advocatus, yang berarti orang yang membantu

12

http://www.m2s-consulting.com/index.php/publikasi/artikel-hukum/22-kajian, di kases pada tanggal 29 November 2014.


(22)

15

seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan. Sedangkan, menurut Black’s

Law Dictionary, kata advokat juga berasal dari kata Latin, yaitu advocare suatu

kata kerja berarti to defend,to call one’s aid, to vouch to warrant. Kata tersebut berarti:

“one who assits, defends, or pleads for another.one who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal. A person learned in the law and duly admitted to practice, who assits his client with advice, and pleads for him in open court. An assistant, advicer, plead for causes.”13

Artinya seorang yang membantu, mempertahankan, membela orang lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan berbicara untuk orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari hukum dan telah diakui untuk berpraktek, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara untuk yang bersangkutan dihadapan pengadilan. Seseorang asisten, penasihat, atau pembicara untuk kasus-kasus.14

Sedangkan menurut Assosiasi Advokat Indonesia (“AAI”), pada Bab I, pasal 1(1) Anggaran Dasar AAI yang berbunyi:

Advokat adalah termasuk penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek, dan

para konsultan hukum”.

Tapi jika kita coba menganalisis pragraf berikutnya, yaitu ayat 2 pragraf kedua yang berbunyi:

Profesi advokat, penasehat hukum, pengacara, pengacara praktek adalah

profesi yang dijalankan para sarjana hukum lulusan Universitas negeri atau yang dipersamakan, bukan pegawai negeri / Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I. atau oleh Ketua Pengadilan Tinggi setempat yang menjalankan praktek profesinya diluar dan dimuka pengadilan.”15

13

V.Harlen Sinaga, op.cit., hlm. 2.

14

Ibid.,

15

Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2001), hlm. 13.


(23)

16

Dalam kamus hukum, pengertian advokat diartikan sebagai pembela, seorang (ahli hukum) yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar sidang pengadilan. Sedangkan menurut UU Advokat Indonesia pasal 1 ayat 1 menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini.

Pengertian advokat secara istilah, adalah seorang yang melaksanakan kegiatan advokasi yaitu suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan seseorang atau kelompok orang untuk memfasilitasi dan memperjuangkan hak-hak, maupun kewajiban klien seseorang atau kelompok berdasarkan aturan yang berlaku.

Menurut undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat, dalam pasal 1 angka (1) dikatakan:

“advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan

ketentuan Undang-Undang ini.”16

Berdasarkan uraian diatas, pengertian advokat memberikan penekanan pada pekerjaan yang berkaitan dengan pengadilan. Sedangkan dalam undang-undang No.8/2003, sudah ditegaskan bahwa advokat adalah orang yang melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Sehingga cakupan advokat meliputi mereka yang melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun diluar pengadilan, sebagaimana diatur undang-undang advokat. Pendapat Purnadi purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dari sudut ilmu hukum, cakupan advokat tersebut sebagai politik hukum(legal policy). Poitik hukum yang dimaksud disini adalah mencari kegiatan untuk memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai-nilai.17

16

Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.

17


(24)

17

Pengertian-pengertian yang diberikan terhadap istilah advokat ini di Indonesia terus berkembang secara cepat seiring dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi manusia. Akan tetapi penting untuk dipahami dengan baik bahwa pengertian profesi (profession) advokat tersebut berbeda dari pengertian pekerjaan (job/occupation). Menurut Milerson, yang membedakan kaum professional dari pekerjaan yang lain adalah:

1. Keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoritis; 2. Penyediaan latihan dan pendidikan;

3. Pengujian kemampuan anggota; 4. Organisasi;

5. Kepatuhan kepada suatu aturan main professional; dan 6. Jasa/pelayanan yang sifatnya altruistik.

Advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Nilai-nilai (value) di atas merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disini adalah pembentukan undang-undang (pemerintah dan dewan perwakilan rakyat) yang mewujudkan aspirasi masyarakat, yang dalam hal ini antara sehukum yang dulu terkotak-kotak (advokat/pengacara dan konsultan hukum) kiranya dapat bersatu dan dihimpun dalam wadah (organisasi) yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas advokat dan menjadi profesional yang disegani pada masa mendatang.

Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim


(25)

18

mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).

b. Pengertian Etika Profesi Advokat

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa latin yaitu”Mos” Dan dalam

bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup

seseorang dengan melakukan perbuatn yang baik (kesusilaan) dan menghindari dari hal-hal tindakan yang buruk.18

Etika adalah suatu nilai-nilai positif yang menuntun perilaku atau tindak tanduk manusia. Etika dapat diciptakan dan diberlakukan menurut luas dan sempitnya. Etika diciptakan dan diberlakukan dalam arti luas adalah etika yang nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila. Sedangkan etika yang diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit adalah etika yang ditujukan untuk suatu golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat. Dengan demikian etika yang diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit inilah yang disebut dengan etika profesi.19

Menurut William Lilie, dalam bukunya An Intoduction to Ethics, Barnes Noble, 1957, New York, USA yaitu

18

Rosady Ruslan, Etika kehumasan “Konsep dan Aplikasi”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 29.

19


(26)

19

The normative science of conduct of human beings living in societis is a

science which judge this conduct tobe right or wrong, tobe good or bad, or in some similiar way. This definition says, first of all, that ethics is a science may be defined as a systematic and more or less complete body of knomledge about a particular set of related event or object”.

Pengertian dan defenisi etika daripada filsuf atau ahli tersebut di atas, yaitu saling berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

a. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak.

b. Pedoman perilaku yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia.

c. Ilmu watak yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. d. Merupakan ilmu suatu kewajiban.20

Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian/ keterampilan tertentu. Suatu profesi tidak akan mempunyai citra, wibawa, serta harkat dan martabat jika tidak diletakkan dengan nillai-nilai etika. Etika profesi adalah peraturan yang ditujukan kepada perseorangan yang menyandang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan tertentu.21

Mengenai pengaturannya hanya ada satu kode etik profesi advokat yang diberlakukan untuk seluruh advokat. Dalam pasal 33 Undang-undang No.18 Tahun 2003 diatur kode etik advokat sebagai berikut:

“kode etik dan ketentuan dewan kehormatan profesi advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia(AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan PasarModal (HKPM), pada tanggal 25 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis

mutandis menurut Undanng –Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang

dibuat advokat.”

20

Rusady Ruslan, op.cit., hlm. 31.

21


(27)

20

Selain itu, pengaturan dalam pasal tersebut tampak sejalan dengan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat yang menginginkan agar hanya ada suatu organisasi advokat. Oleh karena itu apabila seorang advokat telah dinyatakan bersalah, lalu dia melakukan banding diluar organisasi diluar Peradi, tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum yang tidak memahami Undang-undang Advokat.22

Jika ingin mempertajam pembahasan tentang etika profesi khususnya etika profesi advokat maka kita akan menjumpai defenisinya menurut Mohamad Sanusi, yaitu:

“Kode etik profesi advokat adalah ketentuan atau norma yang mengatur sikap, perilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang advokat dalam menjalankan kegiatan profesinya, baik sewaktu berbicara di muka

pengadilan maupun diluar pengadilan”.23

Dari defenisi diatas, maka fungsi dari kode etika profesi advokat dapat dikelompokkan :

1. Kode etik dalam hubungan dengan kepribadian advokat umumnya. 2. Kode etik dalam hubungan advokat dengan klien.

3. Kode etik dalam hubungan dengan sejawat. 4. Kode etik dalam bertindak menangani perkara.

5. Kode etik dalam hubungan advokat terhadap hukum atau undang-undang kekuasaan umum, dan para pejabat pegadilan.24

Khusus pengembangan profesi advokat, sang advokat harus selalu berpegang teguh kepada usaha untuk merealisasikan keterlibatan dan kepastian hukum yang berkeadilan. Khusus bahan renungan bagi para advokat, yang

22

Vharlen Sinaga.op.cit.,hlm.78

23

Yudha Pandu, op.cit.,hlm.25.

24


(28)

21

dikutipkan dari tulisan Samuel S.Leibowitz, Quentin Reynolds ( seorang advokat yang kemudian menjadi hakim ) dalam kata pengantar bukunya Court Romm sebagai berikut: dalam cerita sandiwara ini, Kingsley menciptakan tokoh Endicott Sims, seorang advokat yang mengkhususkan diri dalam bidang-bidang perkara pidana. Seorang detektif yang sadis ( Letnan Kames McLeod ) yang telah menganiaya seorang tersangka yang menjadi klien Sims. Tersangka yang dianiaya itu hampir mati. Sims mengatakan kepada detektif itu bahwa dia beruntung karena ia tidak menghadapi tuduhan pembunuhan berat.

McLeod : Saya selalu dapat meminta anda untuk membela saya.

Sims : Dan saya mungkin akan melakukannya. Itu adalah pekerjaan saya. McLeod : Selama anda memperoleh hononarium anda?

Sims : Saya telah sering membela orang atas biaya saya sendiri. Setiap orang memiliki hak untuk didampingi advokat (memperoleh bantuan hukum), betapapun ia tampak bersalah bagi anda atau bagi saya. Setiap orang berhak untuk tidak dihakimi secara sewenang-wenang, khususnya oleh orang-orang yang memiliki wewenang; tidak oleh anda, tidak oleh kongres, bahkan tidak oleh presiden Amerika Serikat.

McLeod : Ia bersalah! Anda pun mengetahui sama seperti saya.

Sims : Saya tidak mengetahui hal itu, saya bahkan tidak akan mengijinkan saya sendiri berspekulasi tentang ketidak bersalahannya atau kebersalahannya. Pada saat saya melakukan hai itu saya melakukan tindakan menghakimi, dan bukan tugas saya


(29)

22

untuk menghakimi. Tugas saya adalah untuk membela klien saya, bukan untuk menghakiminya. Hal itu tugas dari pengadilan.

Dari sinopsis Detective story tersebut, terlihat bahwa advokat Smis memiliki komitmen yang kokoh terhadap etika profesi, sebab dia tidak mau berspekulasi tentang ketidak bersalahan dan kebersalahan seseorang (menghakimi) kalaupun si terdakwa tersebut nyata bersalah. Sikap seperti ini tentunya adalah merupakan gambaran seorang penasehat hukum yang memiliki sikap etis dalam mengemban profesinya secara bermartabat.25

Oleh karena itu demi menjunjung kebenaran, keadilan, dan hati nurani penasehat hukum dapat menjaga citra, wibawa, harkat serta martabat dalam menjalankan profesinya.

4. Kebijakan Hukum Pidana

a. Kebijakan Penal

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy”. Istilah dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.26

25

Suhrawardi K.Lubis, Etika Profesi Hukum, (Medan: Sinar grafika, 1993), hlm.28-29.

26


(30)

23

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.27 Selanjutnya dinyatakan olehnya:

diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis, di satu pihak dan

studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerjaya yang terikat dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana

yang realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat”.

Dengan kata pengantar diatas, ingin ditegaskan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dari berbagai disiplin sosisal lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.28

Selanjutnya Marc Ancel, Penal Policy (Politik Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

27

Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana “Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP

Baru”, (Jakarta:Fajar Interpratama Offset,2008), hlm. 19.

28

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,( Bandung:Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 23.


(31)

24

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.29

Ada suatu pertanyaan yang krusial yang dapat muncul yaitu, mungkinkah pemidanaan dapat dijadikan sebagai instrumen pencegahan kejahatan? Persoalan ini muncul karena selama ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi jutru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi.

Upaya mencari jawaban atas persoalan diatas, maka pembahasan harus diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah kemana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka substansi hukum pidana dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai philosopis dan akan menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.

Usaha menemukan alas philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini. Pembabakan pada tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, gabungan, treatment, social defence.30

A. Teori Retributif

Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.

29

M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, ( Medan:Grafindo Persada, 1996), hlm. 20.

30


(32)

25

Para pakar penganut teori ini, antara lain:

a. Immanuel Kant

Immanuel Kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri , yang telah menimbulkan pederitaan pada orang lain, sedang hukuman merupakan tuntutan yang mutlak dari hukum kesusilaan. Disini hukum itu merupakan suatu pembalasan yang etis.

b. Hegel

Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan kemerdekaan. Oleh karena itu, kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vrgelding.31

Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap pembenaran suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral teretntu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum sipelaku.32

Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831) adalah keyakinan mutlak akan keniscahayaan pidana, sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan di arahkan pada

31

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 105.

32


(33)

26

masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan.

Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri. 33

B. Teori Detterence

Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence”. Terminologi

“deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. 34

Hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukum itu, yakni memperbaiki ketidak puasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.35

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (... the justification for penalazing offences is that

this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan

dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk sipelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan

33

Ibid., hlm. 70.

34

Ibid., hlm.72.

35


(34)

27

pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;

2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential

imitators) dalam hal ini memnerikan rasa takut orang lain yang

potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.

3. Perbaikan sipelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran sipelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana.

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.36

C. Teori Gabungan (Teleoligical retributivist)

Menurut teori teleological retributivist, tujuan pemidanaan adalah bersifat plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis. Teori teological

retributivist ini dikenal dengan teori gabungan, teori gabungan ini lahir karena

adanya kelemahan yang terdapat baik pada teori absolut maupun teori relatif.37

36

Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm.72.

37


(35)

28

Vos dalam Bambang Poernomo menyebutkan, bahwa dalam teori gabungan terdapat tiga aliran, yaitu:

1. Teori gabungan yang menitik beratkan pembalasan tetapi dengan maksud sifat pembalasan itu untuk melindungi ketertiban umum. Grotius di dalam Andi Hamza disebutkan telah mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat.

2. Teori gabungan yang menitik beratkan kepada perlindungan ketertiban masyarakat. Teori ini dianut oleh Simons yang mempergunakan jalan pikiran, bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya, dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki dan membinasakan, serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus diseseuaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat.

3. Teori gabungan yang menitik beratkan sama antara pembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat, penganutnya adalah De Pinto. Vos juga menerangkan, karena pada umumya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa.38

D. Teori Treatment

Treatmen sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksud oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan

(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

Argumen alasan ini dilandasi pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan perbaikan.39

Dalam kajian yang dibuat oleh Yong Ohoitimur, kejahatan dianggap sebagai Simptom disharmony mental atau ketidak seimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, conseling, latihan-latihan spritual dan sebagainya. Lagi pula karena pemidanaan lebih dipandang sebagai proses terapai atas penyakit

38

Ibid., hlm. 48-49.

39


(36)

29

yang ada, bukan lagi sebagai penjeraan atau penangkalan dalam proses detterence. Dalam pandangan detterence pelaku adalah orang yang bersalah yang harus dijerakan supaya tidak mngulangi lagi tindak pidananya, sementara rehabilitasi memandang seorang pelaku tindak pidana justru merupakan orang yang perlu ditolong.40

Hart berpendapat bahwa seseorang dapat dapat dikenakan pemidanaan jika seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang secara moral bersalah. Pemidanaan yang dijatuhkan harus sesuai dengan tingkat kejahatan dari perbuatan tersebut. Pembenaran pemidanaan disandarkan pada argumen bahwa pembalasan penderitaan kepada moral seseorang yang jahat dilakukan secara sukarela, yang pada dasarnya pelaku tersebut mempunyai moral yang baik.41

Herbert L.Packer tidak seperti Hart yang mengusulkan pentingnya kembali paham retributif dalam hal pemidanaan, Packer lebih cenderung untuk kembali mengkaji aliran klasik dengan tujuan detterence karena menurutnya lebuh berguna sebagai starting pointi untuk mengkaji secara kejahatan dan pemidanaan secara rasional serta lebih integral.42

E. Teori Sosial Defence (perlindungan sosial)

Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II

dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatica. Pandangan social defence ini terpecah menjadi dua aliran, aliran yang rdikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis).

40

Eva Achjani Zulfa., op.cit., hlm. 57.

41

Mahmud Mulyadi, op.cit., hlm. 86.

42


(37)

30

Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatdica, yang berpendapat bahwa: hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlidungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.

Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancle yang menamakan alirannya sebgai defence social nouvelle. Menurut Marc Ancle tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.43

Velinka dan Ute menyatakan bahwa resosialisasi adalah proses yang mengakomodasikan dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan kebutuhan sosialnya. Kebutuhan sosial yang dmaksud pada dasarnya adalah kebutuhan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat.44 Dalam dekade 30 tahun terakhir, teori telah mengusung pelaku masuk dalam bentuk pemidanaan yang manusiawi dan lebih menghargai hak asasi manusia, teori ini banyak memperoleh kritik karena teori ini hanya dapat dipakai dan jelas terlihat sebagai sarana diakhir masa hukuman untuk mempersiapkan diri memasuki masa kebebasan.45

b. Kebijakan Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau biasa dikenal dengan istilah

“politik Kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P.

Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

43

Ibid., hlm.88.

44

Eva Achjani Zulfa, op.cit., hlm. 58.

45


(38)

31

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/ mass media).46

Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai crime Trends and Crime

Prevention Strategis, antara lain:

1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang

2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan

3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejatahatan diberbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk. Berdasarkan pertimbangan diatas, dihimbau kepada semua kongres ke-6 PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, deskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk ketimpangan sosial.47

Kondisi sosial yang diterangi sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang sulit

46

Barda Nawawi Arif, op.cit., hlm. 39-40.

47


(39)

32

dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah pemecahan masalah diatas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without

punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat

(community plaining mental healthy), social worker and child welfare

(kesejahteraan anak dan pekerjaan sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi.48

Upaya penanggulangan non-penal dapat dilakukan dengan cara: 1. Upaya yang bersifat preventif

Upaya preventif adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan jauh sebelum terjadinya kejahatan itu. Karena mencegah kejahatan jauh lebih baik daripada mendidik. Usaha melenyapkan seluruh kejahatan agaknya tidak mungkin dilakukan, namun bukan berarti kita mendiamkan kejahatan itu terjadi, kita dituntut untuk berupaya mengurangi kejahatan, baik dari kuantitas maupun kualitas. Uapaya preventif dalam arti luas adalah pencegahan yang mungkin timbul jauh sebelum kejahatan itu terjadi.49

2. Upaya bersifat Represif

Upaya represif merupakan tindakan yang dilakukan dalam menanggulangi kejahatan. Uapaya ini diambil sesudah atau pada saat terjadinya kejahatan . usaha ini dilakukan dengan tujuan agar kejahatan tidak terulang lagi atau paling tidak dapat memperkecil angka kejahatan tersebut. Usaha menindak pelanggaran

48

Ibid., hlm. 57.

49

Daud Rianto Purba, Perilaku Seks Bebas Pada Anak Jalanan dalam Perspektif Kriminologi, (Medan: USU, 2012), hlm. 54.


(40)

33

norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan dengan mengadakan hukuman bagi setiap perbuatan pelanggarannya. Kejahatan akan selalu ada selama manusia itu ada. Akan tetapi walaupun demikian kita harus berusaha untuk mencegah tindak pidana tersebut dan menanggulanginya.50

Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi-umum dan prevensi-khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya. Serentetan pendapat dan hasil penelitian berikut ini kiranya mendapat perhatian:

a. Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

b. Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan didalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

c. Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kita.

50


(41)

34

d. Wolf Middendorft menyatakan, bahwa sangat sulit lah untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari “general detterence” karena mekanisme pencegahan itu tidak diketahui.

e. Donald R. Taft dan Ralph W.England menyatakan, bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial.

f. R. Hood dan R. Sparks menytakan, beberapa aspek lain dari

“general prevention”, seperti “reinforcing social value”,

“strenghening the common conscience”, “alleviating fear” dan “providing a sense of communal security” sulit untuk diteliti.

Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian diatas, cukup beralasan kiranya untuk terus menerus menggali, memanfatkan dan mengembangkan upaya-upaya non penal untuk mengimbangi kekurangan dan keterbatasan sarana penal.51

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan norma-norma positif dan sistem perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

2. Data dan sumber data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil

51


(42)

35

penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Penulisan hukum yang bersifat normatif selalu menitik beratkan pada data sekunder.52

Dalam penelitian ini, bersumber pada data sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan hak imunitas advokat.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, seperti dokumen-dokumen yang merupakn informasi dan artikel-artikel yang berkaitan dengan hak imunitas advokat dalam melaksanakan profesinya sebagai penegak hukum di Indonesia melalui jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan Hukum Tertier

Yakni bahan yang memberikan petunjuk penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa inggris, kamus istilah komputer, kamus hukum, makalah, jurnal ilmiah, dan

52

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum normatifSuatu Tinjauan Singkat”,( Jakarta: PT RajaGrafindo Parsada, 2003), hlm. 29.


(43)

36

bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam skripsi ini antara lain berasal dari sumber bacaan seperti peraturan peraturan perundang-undangan, buku-buku baik dari koleksi pribadi maupun dari perputakaan, makalah dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif.53 Data sekunder diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

53

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah


(44)

37 G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dari skrpsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II: PENGATURAN HUKUM TENTANG PELAKSANAAN HAK

IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA

Bab ini akan membahas tentang pengaturan pelaksanaan hak imunitas seorang advokat sebagai penegak hukum di Indonesia yang ditinjau dari UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, UU No.4 tahun 1964 tentang Peraturan Hukum pidana, dan UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB III: HAMBATAN DALAM MELAKSANAKAN HAK IMUNITAS

ADVOKAT DI INDONESIA

Bab ini akan membahas tentang hambatan-hambatan seorang advokat dalam menjalankan hak imunitasnya sebagai penegak hukum, mulai dari akibat ketidaktaatan advokat itu sendiri terhadap

sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalis.


(45)

38

pengaturan tentang advokat, Kode Etik Advokat, arogansi para penegak hukumnya, dan juga karena ketidakharmonisan antara klien dengan Advokat yang telah dipercayakan.

BABIV : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM

MELAKASANAKAN HAK IMUNITAS DI INDONESIA

Bab ini akan membahas tentang kebijakan-kebijakan hukum pidana dalam penaggulangan kejahatan, yakni kebijakan hukum pidana, kebijakan non penal (pidana).

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan bab ini memberikan saran-saran dari penulis berkaitan dengan masalah yang dibahas.


(46)

39 BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PELAKSANAAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DI INDONESIA

A. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

Pekerjaan advokat tidak hanya terdiri atas pemberian nasehat, advokat untuk kepentingan kliennya mengatur berbagai urusan dengan instansi-instansi pemerintah atau pihak ketiga lain, berusaha mendamaikan perselisihan-perselisihan diluar pengadilan, dan dalam perkara pidana membela tertuduh.54

Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengatur hak-hak advokat diantaranya hak-hak kekebalan hukum (imunitas), kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) juga mengatur tentang hal itu, yakni terdapat di dalam pasal 50 KUHP salah satu pasal yang memuat tentang alasan pengecualian hukuman.

Pasal 50 KUHP berbunyi:

barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan

undang-undang, tidak dipidana.”

Pasal ini menetukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karna dilakukan berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan perbuatannya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi pelaku.55

54

Ko Tjay Sing, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, (Jakarta: Gramedia,1978), hlm. 36.

55

H.M.Hamdan,Hukum dan Pengecualian Hukum Menurut KUHP dan KUHAP ,(Medan: USU Press, 2010).hlm.71


(47)

40

Pasal ini sangat berkaitan erat dengan pasal 15 UU Advokat, yang berbunyi:

Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara

yang menjadi tanggungjawabnya dengan tetap berpegang pada profesi dan

peraturan perundang-undangan”.56

Artinya bahwa selama advokat menjalankan tugas profesinya dalam hal membela kepentingan klien maka advokat diberikan kebebasan oleh undang-undang. Arti bebas adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, rasa takut atau perlakuan yang merendahkan martabat, dan kebebasan itu harus tetap dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi. Dari pengaturan tersebut terlihat bahwa asas kebebasan diberikan kepada advokat, yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaannya, sehingga avokat tidak dapat dituntut dan dihukum dalam melaksankan tugasnya.

Dalam kedudukannya sebagai advokat ketika berhubungan dengan masyarakat umum mengenai hal-hal yang disampaikan kepadanya, advokat mempunyai kewajiban hukum untuk menyimpan atau merahasiakannya. Sama seperti perintah Undang-undang No.18 Tahun 2003 pasal 19 ayat (2)

menentukan:”Advokat berhak merahasiakan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan akan berkas perkara dan dokumen terhadap penyitaan dan pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektonik

advokat”.

Perintah KEAI diatur bahwa advokat wajib memegang rahasia jabatan atas hal-hal yang didapatkan dari kliennya. Dalam pasal 4 huruf h KEAI

ditentukan:”Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberikan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu

56


(48)

41

setelah berakhirnya hubungan antara advokat dan klien itu”.57 Dimana seorang advokat dalam merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh dari kliennya, termasuk perlindungan atas berkas perkara dan dokumen terhadap penyitaan dan perlindungan terhadap penyadapan komunikasi elektronik advokat, yang mana di dalam melakukan penyitaan, penyidik berwenang memerintahkan pada orang yang menguasai benda yang dapat disita itu untuk kepentingan pemeriksaan, demikian pula surat atau tulisan lain supaya diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan padanya atau diperuntukkan baginya atau jika benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana ( pasal 42 KUHAP).

Dalam hal advokat tidak mau memeberikan persetujuan atas penyitaan dari tangannya, boleh saja penyidik meminta izin khusus kepada ketua pengadilan Negeri setempat, hal ini menujukkan bahwa izin yang dimintakan penyidik memerlukan proses pemeriksaan tersendiri dengan menyampaikan alasannya, yakni apa relevansi dan urgensinya penyitaan itu perlu tidaknya dilakukan. Dengan mengingat pasal 43 KUHAP penyitaan surat atau tulisan dari mereka yang berkewajiban merahasiakan menurut undang-undang, hanya dapat dilakukan:

1. Tidak menyangkut rahasia Negara 2. Atas persetujuan mereka yang berhak.

3. Dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat. 4. Undang-undang menentukan lain.

57


(49)

42

dan penyidik juga tidak dapat menuntut advokat dengan tuduhan mencegah atau menghalang-halangi proses penyidikan sesuai dengan pasal 216 KUHP, karena advokat didalam menjalankan fungsinya berkewajiban untuk mengupayakan peradilan yang adil bagi kliennya, termasuk sejak tahap penyidikan, maka dengan pertimbangannya bisa saja tetap akan berpegang teguh pada haknya yang dilindungi hukum untuk tidak menyerahkan berkas dan dokumen kliennya sebagai barang sitaan penyidik, sampai hal itu diperlukan untuk dibuka dalam persidangan dipengadilan.

Tindakan advokat ini dapat dibenarkan mengingat bahwa kedudukan undang-undang lebih tinggi dari penetapan izin Ketua Pengadilan, selain itu perlu dicatat bahwa tinadakan advokat itu dilindungi hukum sesuai pasal 50 KUHP

yang menyebutkan “barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan

ketentuan undang-undang, tidak dipidana.” Yang dimaksud “melaksanakan ketentuan undang-undang” terdapat yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Hoge

Raad 26 Juni 1899 menyebutkan”ketentuan undang-undang adalah setiap peraturan, yang dikeluarkan oleh setiap penguasa yang berwenang menurut undang-undang, bukan saja peraturan yang dikeluarkan oleh atau berdasarkan undang-undang negara.

Dengan diundangkannya Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai lex specialis yang mengatur fungsi dan peran advokat dan

sekaligus menjamin hak dan kewajiban advokat, maka “kecualai undang-undang

menentukan lain” yang disebutkan dalam pasal 43 KUHAP saat ini sudah tidak

relevan lagi, sebaliknya kalaupun terdapat ketentuan-ketentuan lain yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang No.18 Thaun 2003, yang harus


(1)

104

dilakukan dengan cara ancaman senjata yang membuat terdakwa merasa tertekan dan stres. Terlihat bahwa penyidik tidak mengerti akan kedudukan seorang advokat dalam melindungi kepentingan kliennya, dimana seharusnya advokat bebas bertindak dan melakukan perlindungan kepada kliennya sepanjang tidak bertentangan dengan etikad baik. Penyidik dalam hal ini tidak mencerminkan etika profesi hukum.

Pasal 5 berbunyi Advokat adalah penegak hukum, penjelasan resmi pasal 14 menentukan Advokat bebas tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi .

Penjelasan pasal 16 yaitu yang dimaksud dengan itikad baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya . Pasal 16 berbunyi Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien, dimana dalam hal ini Terdakwa melaksanakan tugas profesinya sebagai penasehat hukum.

Tindakan Advokat meminta alat bukti dan permohonan supaya klien terdakwa tidak ditahan adalah suatu tindak profesi advokat yang benar untuk mempelajari alat-alat bukti yang berhubungan dengan perkara klien. Jadi apa yang dilakukan advokat tersebut dalam kasus ini masih dalam ruang lingkup yang wajar untuk dilakukan seorang advokat.

Jika advokat benar-benar terbukti tidak tunduk, dan tidak mematuhi kode etik profesi advokat, maka seharusnya penyidik melaporkan perbuatan advokat tersebut ke Dewan Kehormatan Organisasi Advokat supaya dilakukan pemeriksaan dan pengadilan terhadap pelanggaran kode etik profesi advokat,


(2)

105

sesuai dengan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat ini tidak menghilangkan tanggungjawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi advokat memgandung unsur pidana, bukan seperti halnya yang terdapat dalam kasus ini dimana penyidik langsung melakukan penahanan kepada advokat tersebut tanpa berkoordinasi terlebih dahulu ke Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.

Dalam kasus ini penulis menyimpukan bahwa hakim Pengadilan Negeri lalai dalam memberikan kebijakan hukum, karena tidak menerapkan Undang- Undang No.18 tahun 2003 tentang advokat , Pasal 1 ayat (1) Advokat yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam Pengadilan maupun di luar Pengadilan, pasal 17 dalam menjalankan profesinya, advokat (Terdakwa) berhak mendapatkan informasi, data dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang diperlukan untuk membela kepentingan kliennya, pasal 18 ayat (2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang. Profesi Advokat adalah mulia, Advokat mempunyai hak imunitas dan tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana karena membela kliennya . Tindakan Penyidik dalam perkara ini secara hukum telah melawan hukum karena melakukan penangkapan terhadap Terdakwa tanpa surat perintah penangkapan adalah batal demi hukum. Penahanan, dakwaan, tuntutan Penuntut Umum terhadap Terdakwa adalah batal demi hukum, karena bertentangan dengan Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat yang menjamin dan melindungi Terdakwa melaksanakan profesinya sebagai Advokat.

Dari pertimbangan tersebut seharusnya terdakwa dapat dibebaskan dari dakwan itu.


(3)

106 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Pengaturan tentang pelaksanaan hak imunitas (kekebalan) Advokat diatur dalam:

a. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yakni terdapat dalam pasal 14 hingga pasal 19 Undang-Undang No.18 Tahun 2003, tepatnya bab IV tentang hak dan kewajiban.

b. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yakni terdapat dalam pasal 50 KUHP salah satu pasal yang memuat tentang alasan pengecualian hukuman,

c. Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni terdapat dalam pasal 120 KUHAP dan pasal 170 KUHAP, advokat tersebut wajib menyimpan rahasia karena pekerjaan, jabatan, atau harkat, martabat dan mempunyai verschon-ingsrecht dari pemberian keterangan kesaksian dan keahlian.

2. Ada tiga faktor penghambat seorang advokat tidak dapat menggunakan hak imunitasnya, antara lain:

a. Faktor dari advokat itu sendiri yakni ketidak taatan advokat terhadap peraturan (hak dan kewajiban) yang terdapat dalam Undang-Undang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI).

b. Faktor dari penegak hukum lainnya yakni ketidaktahuan dan sifat arogansi para penegak hukum terhadap hak imunitas seorang advokat.


(4)

107

c. Faktor dari klien yakni hilangnya rasa kepercayaan seorang klien terhadap advokat.

3. Konsep kebijakan hukum pidana mencakup kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan non-pidana (non-penal policy). Kebijakan hukum pidana adalah upaya penanggulangan kejahatan yang menggunakan sarana pidana. Sedangkan kebijakan non pidana adalah merupakan bagian dari kebijakan kriminal dan kebijakan kriminal itu sendiri merupakan bagian kebijakan penegakan hukum yang mempunyai tujuan akhir perlindungan mayarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

B. Saran

1. Pengaturan tentang hak imunitas advokat harus lebih ditegaskan di dalam setiap peraturan perundang-undangan khususnya di dalam Undang-Undang Advokat itu sendiri, supaya setiap pihak lebih mengerti dan lebih menghargai kedudukan advokat.

2. Advokat harus lebih mengerti tentang apa yang menjadi hak dan kewajibannya di dalam bertindak, dan juga harus menjaga integritas dan etika profesi advokat supaya mendapat kepercayaan dari masyarakat dan aparat hukum lainnya.

3. Advokat adalah penegak hukum yang sejajar dengan hakim, jaksa dan polisi, dengan masing-masing tugas yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi utama masing-masing, maka tidak seharusnya ada yang superioritas pilar yang satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan penegakan hukum.


(5)

108

DAFTAR PUSTAKA A. Buku:

Abdussalam, H.R. 2005. Prospek Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Restu Agung.

Adji. 1991. Etika Profesional Dan Hukum”Profesi Advokat”.Jakarta: Erlangga. Arif. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya

Bakti.

Hamdan, M. 1996. Politik Hukum Pidana. Medan:Grafindo Persada.

Hamdan. 2010. Hukum dan Pengecualian Hukum Menurut KUHP dan KUHAP. Medan: USU Press.

Hatta, Moh. 2008. Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Yokyakarta: Galang Press. Lev, Daniel S. 2001. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi. Jakarta: Pusat Studi

Hukum dan Kebijakan Indonesia.

Lubis,Suhardi.K. 1993. Etika Profesi Hukum. Medan: Sinar Grafika. Marbun, Rocky. Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum. Visi Media.

Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Mulyadi, Mahmud. 2008. Crimal Policy. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Nawawi, Barda. 2008. Kebijakan Hukum Pidana “Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”.Jakarta:Fajar Interpratama Offset.

Pandu, Yudha. 2001. Klien dan Penasehat Hukum. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing.

Panggabean, H.P. 2010. Manajemen Advokasi. Jakarta: P.T.Alumni.

Pangaribuan, Luhut M. 2002. Hukum Acara Pidana. Jakarta: PT.Ikrar Mandiri Abadi.

PERADI. 2007. Kitab Advokat Indonesia. Bandung: P.T Alumni.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1982. Penasehat dan Bantuan hukum Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.


(6)

109

Ruslan, Rosady. 2001. Etika kehumasan “Konsep dan Aplikasi”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Salam, Moch.Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Prakrek. Bandung: Mandar Maju.

Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana dan Sirkus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sing, Ko Tjany. 1978. Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat. Jakarta: Gramedia.

Sinaga,V.Harlen. 2011. Dasar-Dasar Profesi Advokat. Jakarta: Erlangga. Sugandhi,R. 1980. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Winarta. 1995. Advokat Indonesia” Citra, Idealisme, dan Keprihatinan ”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Winarta, Frans Hendra. Suatu Hak Asasi Manusia Belas Kasihan Manusia. Jakarta: Gramedia.

Winarta. 1995. Advokat IndonesiaI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

YLBHI.2013. Bantuan Hukum Bukan Hak Yang di Beri. Jakarta:Yayasan lembaga bantuan Hukum Indonesia.

Zulkifli,H. 2006. Eksistensi Pasal 19 UU Advokat dan Kaitannya dengan Upaya Paksa Penyitaan yang Dimiliki oleh Penyidik. Medan: Kantor Hukum Zulkifli Nasution & Rekan.

B. Skripsi:

Purba, Daud Rianto. 2012. Perilaku Seks Bebas Pada Anak Jalanan dalam Perspektif Kriminologi.Medan: USU.

C. Website

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d9eb43b0bef4/siapa-yang-berhak-dampingi-tersangka-atau-saksi? Diakses pada hari Jumat, 30 januari 2015, pukul; 11.04 WIB.

J Asshiddiqie - 2007 - jimly.com, diakses pada hari senin 16 Februari 2015, pukul 14.16 WIB