PERMASALAHAN PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTA1

14. Perubahan fungsi dan status kawasan hutan untuk pembangunan di luar kehutanan melalui proses penelitian terpadu dan persetujuan DPR, membutuhkan waktu yang relatif lama. 15. Areal pengganti, relokasi fungsi dan tukar menukar kawasan hutan belum maksimal dilaksanakan di daerah dengan pertimbangan luas, letak dan ekologis belum sesuai ketentuan teknis. 16. Pola penggunaan lahan di dalam dan sekitar kawasan hutan semakin meningkat sehingga pengelolaan kawasan hutan mengalami benturan kepentingan dengan pemilik ulayat setempat. 17. Desentralisasi kewenangan sesuai semangat otonomi khusus Provinsi Papua belum mendukung kelancaran pembangunan kehutanan di daerah, sedangkan pembangunan yang dilaksanakan tetap mengakomodir kewenangan pusat dan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, ekonomi dan sosial. 18. Keberadaan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua selaku instansi vertikal kehutanan bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dalam melaksanakan kegiatan bidang planologi di daerah.

II. PERMASALAHAN

1. Penunjukan kawasan hutan di Provinsi Papua dilakukan secara makro sehingga penunjukan fungsi kawasan hutan tidak sesuai dengan kondisi fisik di lapangan. 2. Kawasan hutan yang telah dikukuhkan belum mengakomodir keberadaan masyarakat pemilik ulayat setempat dan kepentingan instansi lainnya sehingga terjadi tumpang tindih kepentingan. 3. Dalam kawasan hutan yang telah dikukuhkan ditunjuk dan atau ditetapkan terdapat aktifitas masyarakat, pemukiman penduduk dan pembangunan lainnya yang sudah ada sebelum penunjukan kawasan sehingga menimbulkan klaim keberatan terhadap pengelolaan kawasan. 4. Upaya pemeliharaan, pengawasan dan pengelolaan hutan belum intensif dilaksanakan oleh instansi kehutanan sehingga kerawanan gangguan terhadap keberadaan hutan semakin meningkat. 5. Penataan batas kawasan hutan belum sepenuhnya mendapat pengakuan dari masyarakat setempat sehingga tanda batas yang terpancang di lapangan tidak aman terganggu selanjutnya kegiatan rekonstruksi mengalami hambatan di lapangan. 6. Penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan yang berdampak luas, bernilai penting dan strategis semakin meningkat yang membutuhkan areal cukup luas dan terletak pada alokasi fungsi hutan yang bukan diperuntukkan bagi kepentingan di luar sektor kehutanan. 7. Perubahan status dan fungsi kawasan hutan melalui prosedur yang cukup rumit dan waktu yang cukup lama sementara kegiatan proyek yang akan dilaksanakan pada kawasan hutan untuk mendukung kepentingan pembangunan daerah belum sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah. 8. Areal pengganti, relokasi fungsi, tukar menukar kawasan hutan dalam rangka pelepasan kawasan hutan sulit dipenuhi sesuai ketentuan teknis mengingat ketersediaan areal sesuai kriteria terbatas. 9. Kegiatan tambang nikel di Pulau Gag dan tambang minyak di TN. Lorentz terhenti karena perubahan status dan fungsi hutan belum terealisasi dan menunggu hasil penelitian terpadu yang dikoordinir pusat namun belum terlaksana sampai saat ini. Sementara proses pelepasan LNG Tangguh belum tuntas karena penyelesaian areal pengganti belum rampung. 10. HPH dan perkebunan yang diterbitkan melalui SK Menteri Kehutanan banyak yang tidak aktif, melebihi batas luas maksimal dan menyebabkan lahan terlantar. Pemohon IUPHHK HPH Perkebunan di daerah semakin bertambah dan menunjukkan kesungguhan untuk berpartisipasi dalam pembangunan di daerah tetapi areal yang tersedia terbatas. 11. Pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum sebagian besar terletak dalam kawasan konservasi dan hutan lindung cenderung bersifat segera dan mendesak, sedangkan untuk memenuhi persyaratan membutuhkan waktu yang cukup lama. 12. Masih terdapat 98 unit kawasan hutan yang telah ditata batas tetapi belum memperoleh SK Penetapan dari Menteri Kehutanan dan terdapat 32 BA tata batas yang sementara diproses di Pusat. 13. Pemberdayaan peran masyarakat pemilik ulayat di dalam dan sekitar hutan belum optimal dan terjadi klaim tuntutan masyarakat sehingga pengelolaan kawasan hutan terganggu. 14. Potensi, luas, jenis dan penyebaran hasil hutan kayu dan non kayu belum diketahui pasti sehingga data dan informasi mengenai hasil hutan tersebut belum akurat dan terbatas. 15. Peta dasar JOGRBIfTOP, citra landsat dan peta vegetasi untuk cakupan Provinsi Papua mencakup jumlah, jenis dan kualitas belum tersedia di setiap instansi kehutanan di daerah menyebabkan perencanaan kegiatan mengalami perubahan pergeseran di lapangan. 16. Desentralisasi kehutanan belum menunjang otonomi khusus dan terkesan sentralistik, mengakibatkan komunikasi dan koordinasi lintas instansi pemerintah belum terlaksana dengan baik dan terjadi tumpang tindih kepentingan. belum didukung dengan infrastruktur yang memadai. 18. Keberadaan instansi kehutanan vertikal BPKH dalam melaksanakan tugas di daerah belum menyesuaikan dengan tugas, fungsi dan kewenangan Dinas Kehutanan sehingga koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan tugas belum terlaksanan dengan baik.

III. SARAN TINDAK LANJUT