Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

5

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan,
mempunyai peranan fungsi multi guna baik jasa biologis, ekologis maupun
ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan
penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan, serta mampu menahan sampah
yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui sistem perakarannya. Jasa
biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan gelombang,
memperlambat arus pasang surut, menahan serta menjebak besaran laju
sedimentasi dari wilayah atasnya. Selain itu komunitas mangrove juga merupakan
sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan
bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa
mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah oksigen lebih besar dibanding
dengan tetumbuhan darat (Waryono, 2009).
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya.Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa
Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove
sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan menjadi

‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay,
yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’. Mangrove
adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan
daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Irwanto, 2006).
Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang terdiri dari
gabungan komponen daratan dan komponen laut, dimana termasuk didalamnya

Universitas Sumatera Utara

6

flora dan fauna yang hidup saling bergantung satu dengan yang lainnya. Ekosistem
mangrove dikenal sebagai hutan yang mampu hidup beradaptasi pada lingkungan
pesisir yang sangat ekstrim, tapi keberadaannnya rentan terhadap perubahan
lingkungan. Perubahan lingkungan tersebut disebabkan adanya tekanan ekologis
yang berasal dari alam dan manusia. Bentuk tekanan ekologis yang berasal dari
manusia umumnya berkaitan dengan pemanfaatan mangrove seperti konversi lahan
menjadi pemukiman, pertambakan, pariwisata dan pencemaran (Pratiwi, 2009).
Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, baik dalam siklus biologi,
ekologis, fisik, maupun sosial kemasyarakatan. Peranan hutan mangrove sebagai

ekosistem antara lain pelindung garis pantai, tempat asimilasi bahan buangan,
sebagai penggumpal lumpur dan pembentuk lahan. Mangrove merupakan produsen
primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari seresah daun dan
dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi berbagai
biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut Hutan mangrove
juga berperan sebagai habitat alami satwa liar dan merupakan daerah asuhan
beberapa binatang akuatik. Fungsi ekosistem mangrove sebagai feeding ground,
spawning ground, dan nursery ground akan membuat ikan-ikan berkumpul dan
menjadi habitat yang cocok bagi ikan (Redjeki, 2013).

Kepiting Bakau
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau
Menurut Rosmaniar (2008), klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata)
adalah sebagai berikut :
Kingdom

:

Animalia


Universitas Sumatera Utara

7

Filum

:

Arthropoda

Kelas

:

Crustacea

Subkelas

:


Malacostraca

Ordo

:

Decapoda

Subordo

:

Branchyura

Famili

:

Portunidae


Subfamili

:

Lipilinae

Genus

:

Scylla

Spesies

:

Scylla serrata Forsskal

Ciri – ciri kepiting bakau (Scylla serrata) adalah sebagai berikut: Karapas
sedikit berwarna kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat sembilan duri tajam, dan

pada bagian depan diantara kedua tangkai matanya terdapat enam buah duri, sapit
kanannya lebih besar dari sapit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya,
mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu pasang kaki perenang yang terdapat
pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi alat pendayung, karapas
berbentuk cembung dan halus, lebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk
alur H antara gastric dan cardiac jelas, empat gigi triangular pada lengan bagian
depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas –
ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga sedang pada yang
betina sedikit membulat (Mulya, 2000).

Universitas Sumatera Utara

8

Karapas pipih atau agak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi.
Bentuk ukuran bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatan, tepi anterolateral
bergigi lima sampai sembilan buah. Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut
intra orbital, bergigi dua sampai enam buah, sungut kecil (antennulae) terletak
melintang atau menyerong, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai
dayung, terutama ruas terakhir dan mempunyai tiga pasang kaki jalan (Rosmaniar,

2008).

Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Robertson, 1989).
Keterangan : a. lebar karapas, b. kaki jalan, c. panjang karapas, d. karapas,
e. merus, f. basi ischium, g. kaki renang, h. carpus, i. propodus,
j. dactylus, k. mata

Universitas Sumatera Utara

9

Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan
mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya kecil,
sedangkan pada betina lebih besar dari jantan. Perut kepiting betina berbentuk
lonceng (stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod
yang terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod
berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya
telur (Gambar 3) (Moosa, dkk., 1985).

Gambar 3. Abdomen Kepiting Jantan dan Kepiting Betina (Moosa dkk., 1985).


Karakteristik Lingkungan Kepiting Bakau
Parameter fisika dan kimia adalah faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, diantaranya adalah salinitas, suhu,
pH,pasang surut, serta substrat dasar. Secara umum laju pertumbuhan suatu
organisme akan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu. Pertumbuhan kepiting
bakau ditunjang oleh suhu perairan karena kepiting bakau bersifat poikilothermic.
Suhu akan mempengaruhi aktivitas,nafsu makan, konsumsi oksigen, pertumbuhan,

Universitas Sumatera Utara

10

konsumsi pakan, tingkah laku, reproduksi, kecepatan detoksifikasi, bioakumulasi,
untuk mempertahankan hidup, dan laju metabolisme kepiting bakau. Suhu
optimum untuk kepiting bakau adalah 25-35ᴼC. Suhu air yang rendah di bawah
20ᴼC akan mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun
secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan akan terhenti walaupun kepiting masih
tetap hidup (Millaty, 2014).
Salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap fase kehidupan kepiting bakau,

terutama pada saat berganti kulit.Kepiting bakau tumbuh optimal pada salinitas 1535 ppt.Kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan
dengan salinitas 16-20% dan kemudian beruaya ke perairan laut dalam untuk
memijah (Kordi, 1997).
Menurut Siahainenia (2008) bahwa perairan yang memiliki kisaran pH 6,57,5 dikategorikan perairan yangcukup baik bagi kepiting bakau, sedangkan perairan
dengan kisaran pH 7,5 -9 dikategorikan sangat baik untuk pertumbuhan kepiting
bakau.
Menurut Kordi (1997), kepiting bakau dapat hidup pada kandungan oksigen
terlarut lebih besar dari 4 mg/l. Kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan maksimal
kepiting bakau adalah >5 mg/l, namun juga dinyatakan bahwa kepiting bakau
memiliki toleransi terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang rendah atau lebih
kecil dari angka tersebut.

Siklus Hidup kepiting Bakau
Kepiting bakau termasuk hewan nokturnal, keluar dari persembunyiannya
beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama
untuk mencari makan, kemudian akan membenamkan dirinya kembali pada saat

Universitas Sumatera Utara

11


matahri akan terbit. Jenis crustacea yang biasa didapatkan didaerah hutan
mangrove adalah Kelomang (Paguridae) dan Ketam (Brachyura). Kepiting bakau
dewasa yang siap melakukan perkawinan ukuran lebar karapasnya biasanya
mencapai 120 mm. Perkawinan hanya terjadi pada kepiting betina dan jantan yang
sudah matang kelamin. Mula – mula kepiting betina yang sudah matang telur disela
– sela bagian karapasnya mencari tempat yang sunyi, aman, dan terlindung.
Kemudian kepiting jantan membuntuti dan mendekati kepiting betina. Kepiting
jantan naik keatas kepiting betina. Dengan posisi perrut keduanya menghadap
bawah (Chairunisa, 2004).
Pertumbuhan pada kepiting bakau dicirikan oleh perubahan bentuk dan
ukuran yang disebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan dari bagian-bagian
tubuh yang berbeda. Sebagai hewan yang mempunyai rangka luar (eksoskeleton),
maka pertumbuhan pada kepiting ditandai dengan rangkaian pergantian kulit.
Besarnya pertumbuhan yang dialami oleh kepiting tergantung pertambahan
panjang dan berat setiap kepiting berganti kulit. Frekuensi ganti kulit bervariasi
dipengaruhi oleh ukuran dan stadia kepiting. Secara umum frekuensi pergantian
kulit lebih sering terjadi pada stadia muda dibandingkan dengan stadia dewasa
(Suryani, 2006).
Kepiting bakau (Scylla sp.) terjadi beberapa fase dalam pertumbuhannya,

antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan selanjutnya kepiting dewasa.
Selain itu, jenis kepiting ini juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit
(moulting). Setiap proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama
siklus hidupnya kepiting bakau menempati dua macam habitat yaitu air payau masa
juvenile (kepiting muda) sampai dewasa, dan air laut masa pemijahan sampai

Universitas Sumatera Utara

12

megalova. Berdasarkan daur hidup kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya
diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Kepiting muda yang baru
berganti kulit dari megalova yang memasuki muara sungai dapat mentolelir
salinitas air yang rendah. Tingkat zoea berlangsung lebih kurang 3-4 hari berganti
kulit sebelum menjadi tingkat selanjutnya (Rosmaniar, 2008).

Gambar 4. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Soim, 1995).
Distribusi Kepiting Bakau
Pola distribusi tergantung pada beberapa faktor antara lain : musim
pemijahan, tingkat kelangsungan hidup dari tiap-tiap umur serta hubungan antara
kepiting dengan perubahan lingkungan. Kepiting bakau biasanya terdapat pada
dasar perairan lumpur berpasir, keberadaan mangrove dan masukan air laut sampai
sungai. Secara ekosistem, penyebaran kepiting bakau di bagi dua daerah, yaitu
daerah pantai dan daerah perairan laut. Pada perairan pantai yang merupakan
daerah nursery ground dan feeding ground kepiting bakau berada pada stadia

Universitas Sumatera Utara

13

muda; menjelang dewasa; dan dewasa, sedangkan diperairan laut merupakan
spawning ground, kepiting bakau berada pada stadia dewasa (matang gonad), zoea
sampai megalops (Suryani, 2006).
Kepiting bakau tersebar pada perairan berkonsi tropis. Daerah sebarannya
meliputi wilayah Indo-Pasifik, mulai dari pantai Selatan dan Timur Afrika Selatan.
Mozambik, terus ke Iran, Pakistan, India, Srilanka, Bangladesh, pulau-pulau di
Lautan Hindia, Negara-negara ASEAN, Kamboja, Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan,
dan Philipina. Juga ditemukan di Lautan Pasifik mulai dari kepulauan Hawai di
Utara sampai ke Selandia Baru dan Australia di Selatan (Rosmaniar, 2008).

Perilaku dan Kebiasaan Makan
Kepiting bakau dapat hidup pada berbagai ekosistem. Sebagian besar siklus
hidupnya berada di perairan pantai meliputi muara atau estuaria, perairan bakau
dan sebagian kecil di laut untuk memijah. Jenis Scylla spp. ini biasanya lebih
menyukai tempat berlumpur dan berlubang-lubang di daerah ekosistem mangrove.
Beberapa jenis kepiting yang dapat dimakan ini juga ditemukan hidup melimpah di
perairan estuaria dan kadang-kadang terlihat hidup bersama dengan portunidae
(kepiting perenang) lainnya dalam satu kawasan (Kasry, 1991)
Kepiting bakau merupakan spesies yang khas ekosistem mangrove yang
sebagian besar aktivitasnya dilakukan pada ekosistem ini. Kepiting bakau keluar
dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak
sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Ketika matahari akan terbit
kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan
hewan malam (nocturnal). (Soim, 1995)

Universitas Sumatera Utara

14

Kepiting bakau muda dan dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan
bangkai (omnivorous scavanger). Sedangkan larva kepiting bakau bersifat
pemakan plankton di antaranya jenis diatom, tetraselmis, klorela, rotifera, larva
ekinodermata, larva berbagai moluska, cacing, dan sebagainya. Larva kepiting
bakau menyukai makanan berupa hewan-hewan planktonik hidup yang bergerak
daripada berupa tumbuhan (fitoplankton) atau yang mati dan diam (Kordi, 1997).
Kepiting bakau lebih suka bergerak dengan cara merangkak daripada
berenang untuk berpindah dan mencari makanan. Kepiting bakau lebih menyukai
makanan alami yang cenderung mudah dicacah berupa algae, bangkai hewan dan
hewan bertubuh lunak (Soim, 1995)

Alat Tangkap
Secara umum definisi bubu lipat adalah alat penangkap ikan yang di pasang
secara tetap di dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan
masuk dan mempersulit keluarnya. Alat ini biasanya dibuat dari bahan alami,
seperti bambu, kayu, atau bahan buatan lainya seperti jaring. Alat tangkap bubu
sifatnya pasif sehingga dibutuhkan pemikat atau umpan agar ikan yang akan
dijadikan target tangkapan mau memasuki bubu (Amtoni dkk, 2010).
Bubu merupakan alat penangkap ikan yang bersifat pasif, yakni memudahkan ikan untuk masuk namun sulit untuk meloloskan diri. keberhasilan
penangkapan menggunakan bubu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
konstruksi bubu, lama perendaman (soaking time) dan umpan (Septiyaningsih dkk,
2013).

Universitas Sumatera Utara

15

Salah satu alat tangkap yang dominan digunakan dalam penangkapan
kepiting bakau adalah bubu lipat. Bubu lipat merupakan alat tangkap yang
berbentuk perangkap dan kontruksinya dapat dilipat sehingga mudah disimpan
pada saat tidak dipakai dalam operasi penangkapan. Bubu umumnya dioperasikan
dengan menggunakan umpan untuk menarik perhatian kepiting agar mendekati dan
masuk ke dalam bubu (Tiku, 2004).
Subani dan Barus (1989), menyatakan bahwa Bentuk dari bubu bermacammacam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang,
segitiga memanjakan (kubus), atau segi banyak, bulat setengah lingkaran dan lainlainnya. Secara garis besar bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb
dan pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut
bubu (funnel) berbentuk corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi
tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan bagaian temapat pengambilan hasil
tangkapan. Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan dengan dua cara. Cara
pertama, bubu dipasang secara terpisah (umumnya bubu berukuran besar), satu
bubu dengan satu pelampung. Cara kedua dipasang secara bergandengan
(umumnya bubu ukuran kecil sampai sedang) dengan menggunakan tali utama,
sehingga cara ini dinamakan “longline trap”. Untuk cara kedua ini dapat
dioperasikan beberapa bubu sampai puluhan bahkan ratusan bubu. Biasanya
dioperasikan dengan menggunakan kapal yang bermesin serta dilengkapi dengan
katrol. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau
diantara pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau
diantara karang-karang atau bebatuan.

Universitas Sumatera Utara

16

Gambar 5. Alat Tangkap Bubu
Umpan
Umpan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan
suatu operasi penangkapan ikan, khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu
dan pancing. Alat tangkap bubu biasanya menggunakan umpan alami berupa ikan
rucah karena harganya murah, mudah diperoleh dan masih memiliki kesegaran
yang baik (Septiyaningsih dkk, 2013).
Penempatan umpan di dalam bubu pada umumnya diletakkan di tengahtengah bubu baik di bagian bawah, tengah atau di bagian atas dari bubu dengan
cara diikat atau digantung dengan atau tanpa pembungkus umpan (Amtoni dkk,
2010).
Selain umpan, waktu penangkapan yang tepat juga menentukan keberhasilan
penangkapan kepiting dengan bubu. Penggunaan umpan yang tepat dan
pengoperasian bubu pada waktu yang sesuai akan meningkatkan efisiensi
penangkapan (Subani dan Barus, 1889)

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

5 20 112

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 6

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 22

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 4

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 3

Jenis Umpan dan Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

0 0 10