Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara
7
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata) menurut Motoh (1979) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Ordo
: Decapoda.
Famili
: Portunidae
Genus
: Scylla
Species
: Scylla serrata
MenurutKathirvel dan Srinivasagam (1992) kepiting bakau berwarna
dasarhijau-merah-kecoklatan. Jenis ini ditemukan meliang di daerahmangrove.
Kepiting bakau memiliki ukuran tubuhyang relatif recil serta hanya memiliki
satuduri yang tumpul pada sisi terluar cheliped carpus. Kepiting bakau memiliki
warna karapas coklatkehitam-hitamandengan bentuk alur “H”tidak dalam dan
tidak memiliki corak pada pleopodnya.
MenurutSiahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau jenis ini
memiliki warna karapas coklatmerah seperti karat dengan bentuk alur H pada
karapas tidak dalam,memiliki bentukduri depan (frontal margin) tumpul, serta
tidak memiliki duri pada fingerjoint (duripada cheliped carpus) yang berubah
menjadi vestigial.
Universitas Sumatera Utara
8
Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin
bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih,
dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain
terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya
besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan
sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung
(Karim, 1998).
Sedangkan ciri kepiting bakau secara khusus menurut Sulistiono, dkk.,
(1992), adalah: karapaks berbentuk cembung dan halus, lebar karapaks satu
setengah dari panjangnya; bentuk alur yang menyerupai huruf H antara area
pencernaan (gastric area) dan area jantung (cardiac area) jelas; empat duri
berbentuk segitiga pada bagian dahi berukuran sama, serta memiliki orbit yang
lebar dengan dua celah.
Kepiting bakau menurut Siahainenia (2008) memiliki bentuk karapas yang
agak bulat, memanjang, pipih, sampai agak cembung. Perbandingan ukuran lebar
karapas kurang lebih dua per tiga dari ukuran lebar. Secara umum, karapas
kepiting bakau terbagi atas empat area, yakni: area pencernaan (gastric region),
area jantung (cardiac region), area pernapasan (branchial region) dan area
pembuangan (hepatic region). Pada tepi antero lateral kiri dan kanan karapas, atau
pada branchial region, terdapat sembilan buah duri dengan bentuk dan ketajaman
yang bervariasi. Pada bagian depan karapaks atau pada gastric region, tepat di
antara kedua tangkai mata terdapat enam buah duri kokoh pada bagian atas dan
dua duri kokoh pada bagian bawah kiri dan kanan. Sepasang duri pertama pada
bagian antero lateral kiri dan kanan karapas, serta dua pasang duri pada bagian
Universitas Sumatera Utara
9
atas dan bawah karapas berada dalam posisi mengelilingi rongga mata dan
berfungsi melindungi mata. Duri-duri pada bagian depan karapas memiliki bentuk
dan ketajaman yang bervariasi antar jenis, sehingga menjadi salah satu faktor
pembeda dalam identifikasi jenis kepiting bakau.
Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan
mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya kecil,
sedangkan pada betina lebih besar dari jantan. Perut kepiting betina berbentuk
lonceng (stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod
yang terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod
berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya
telur (Gambar 2) (Moosa, dkk., 1985)
Gambar 2. Abdomen kepiting jantan dan kepiting betina (Moosa dkk., 1985)
Universitas Sumatera Utara
10
Gambar 3. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Robertson, 1989)
Keterangan : a. lebar karapas, b. kaki jalan, c. panjang karapas, d. karapas,
e. merus, f. basi ischium, g. kaki renang, h. carpus, i. propodus,
j. dactylus, k. mata
Daur Hidup Kepiting Bakau
Proses
percumbuan
kepiting
bakau
ditujukkan
dengan
naiknya
kepiting jantang di atas kepiting betina dengan cara mendekap tubuh kepiting
betina dengan kaki dan ini dapat berangsung sampai 4 hari. Dalam proses
percumbuan tersebut terjadi proses moulting pada betina dan cangkang betina
lunak dapat berlangusng selama 48 jam. Pada saat cangkang lunak, maka kepiting
jantan mengubah betina ke posisi tegak di bawahnya dan melakukan pembuahan
(proses kopulasi) dan ini berlangsung antara 7 – 18 jam dan kepiting bakau jantan
tetap mendekap si betina hingga beberapa hari sampai cangkang mengeras
(Phelan dan Grubert, 2007)
Universitas Sumatera Utara
11
Sekitar 12 hari setelah pemijahan, telur menetas melalui fase larva yang
berbentuk planktonik yang disebut dengan zoea, yaitu sebagai larva tingkat I(Zoea
I) dengan ukuran ± 0,3 mm dan terus menerus berganti kulit, sambil
terbawa arus ke perairan pantai, hingga mencapai Zoea V. Dari Zoea I –V
berlangsung proses sebanyak 5 kali moulting selama 15-18 hari. Kemudian
berganti kulit (moulting) menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip
dengan kepiting dewasa namun masih memiliki bagian ekor yang panjang yang
berlangsung 7-9 hari. Mouting 1 dari megalopa mejadikepiting muda memiliki
ukuran ± 4 mm(Warner, 1977).
Untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan pergantian kulit
kuranglebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung
relatifcepat, yaitu sekitar 3-4 hari tergantung pada kemampuan tubuhnya.
Pergantiankulit tersebut juga tergantung pada faktor umur, pakan dan habitat.
Pada tingkatzoea terjadi ± 5 kali pergantian kulit untuk menjadi megalopa
(Afrianto danLiviawaty, 1993).
Setelah megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasukifase
kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkanperkawinan
pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalamfase
kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapaslebih
kurang 99 mm (Phelan dan Grubert, 2007).
Perkiraan waktu ini didasarkan pada informasi bahwa proses intermoult
dari tahap zoea I – crab I memerlukan waktu 23-25 hari. Perkembangan tingkat
zoea seluruhnya memerlukan waktu minimal 18 hari, dan dari tingkat megalopa
ke tingkat kepitingmuda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari, hal ini pada
Universitas Sumatera Utara
12
salinitas 31±2 ppt, jikadilakukan pada salinitas antara 21-27 ppt diperlukan waktu
hanya 7-8 hari.Ukuran lebar karapas megalopa adalah sekitar 1.52 mm, sedangkan
rekruitmen kepiting bakau terjadi pada juvenil berukuran >40 mm, sehinggawaktu
yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmenadalah sekitar 2-3 bulan
(Quinitio, 2001).
Menurut La Sara (2010) kepiting bakau pada fase juvenil memiliki lebar
karapas 5 mg/L, namun juga dinyatakan bahwa kepiting bakau
memiliki toleransiterhadap konsentrasi oksigen terlarut yang rendahatau lebih
kecil dari angka tersebut.
Menurut
Kasry
(1996)
tekstur
substrat
dasar
yang
baik
bagi
kehidupankepitingbakau terdiri dari lempung berpasiratau tanah lempung liat
berpasir dan tidak bocor (porous) yang berfungsi untuk menahan air.Substrat
lempungberpasir dan lempung liat berpasir termasuk kategori mudah digali oleh
kepiting
bakau
untuk
membuatliang
atau
lubang
yang
digunakan
Universitas Sumatera Utara
16
untukmembenamkan diri, bersembunyi, mempertahankan diri agartetap dingin
selama air surutdan melindungi diri dari predator.
Salah satukomponen kimia bahan organik yang sering digunakan sebagai
indikatorkeberadaan bahan organik di tanah atau sedimen adalah C-organik.
Kandungan bahan organik dalam substrat sangatdiperlukan oleh kepiting bakau
untuk kebutuhan makannya, karena jenis kepitingbakau mengambil makanan
bukan hanya dari bahan makanan yang terkandung dalamair, tetapi jugabahan
organik yang terkandung dalam substrat. Ketersediaan bahan organik disubstrat,
pakan
alami
akan
indikatorkesuburan
tersedia
dan
faktor
dengan
baik
pula.
C-organik
penentupertumbuhanpada
merupakan
kepiting
bakau
(Schumacher, 2002).
Rendahnya C-organik disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah
lama penggenangan dipengaruhi oleh tambaktumpang sari di sekitarnya. Semakin
lama waktu panen tambak maka semakinlama pula lokasi sekitarnya tergenang.
Secara rata-rata, panen tambak dilakukansetelah 3-4 bulan. Waktu yang panjang
tersebut menyebabkan cukup lama tanahdi lokasi sekitarnya jenuh air dan
mengakibatkan proses dekomposisi berjalanlambat, sehinggamemiliki kadar Corganik yang rendah (Susantodan Murwani, 2006)
Kandungan tekstur substrat sangat berpengaruh terhadap kandunganCorganik.Lempung berpasir dan lempung liat berpasir didominasi oleh fraksi pasir.
Substrat berpasir memungkinkan oksidasi yang baik,sehingga C-organik cepat
habisdikarenakan pori pada pasir yang besar dan tidak dapat mengikat
karbondengan baik. Tingginya pori makro akanmenyebabkan kondisi aerob yang
selanjutnya akan mendorong oksidasi bahanorganik menjadi mineral-mineral
Universitas Sumatera Utara
17
tanah. Rendahnya kandungan C-organik pada tekstur substrat mangrovepenyebab
lainnya adalah alihfungsi lahanyang dijadikan sebagai tambak, pemukiman dan
aktivitaslain
yang
berdampak
terhadap
penurunan
karbon
di
substrat
mangrove(Schumacher, 2002).
Siklus bulan mempengaruhi pasang surut. Ada dua macam pasang akibat
siklus bulan, yakni pasang purnama dan pasang perbani. Pasang purnama adalah
peristiwa terjadinya pasang naik dan pasang surut tertinggi. Pasang tertinggi
terjadi pada tanggal 1 dan pada tanggal 14 (saat bulan purnama). Pada kedua
tanggal tersebut posisi bumi-bulan-matahari berada pada satu garis sehingga
kekuatan gaya tarik bulan dan matahari berkumpul menjadi satu menarik
permukaan bumi. Permukaan bumi yang menghadap ke bulan mengalami pasang
naik tertinggi. Pasang perbani adalah peristiwa terjadinya pasang naik dan pasang
surut terendah. Pasang kecil ini terjadi pada tanggal 7 dan 21. Pada kedua tanggal
tersebut posisi matahari-bulan-bumi membentuk sudut 90ᴼ. Gaya tarik bulan dan
matahari berlawanan arah sehingga kekuatannya menjadi berkurang (saling
melemahkan) dan terjadilah pasang terendah (Dronkers, 1964)
Selain mempengaruhi pasang surut, siklus bulan juga mempengaruhi
aktivitas moulting kepiting. Pada kepiting bakau, moulting umumnya terjadi
sebelum dan sesudah bulan purnama atau bulan gelap. Pada bulan purnama dan
bulan gelap aktivitas molting menurun seiring dengan terjadinya pasang. Bulan
purnama dan bulan mati yang terkait dengan pasang tinggi berpengaruh terhadap
menurunnya aktivitas moulting, sebaliknya pada saat bulan setengah yang terkait
dengan pasang rendah rendah atau pasang perbani aktivitas moulting kepiting
meningkat (Zimecki, 2006)
Universitas Sumatera Utara
18
Pertumbuhan Kepiting Bakau
Kepiting bakau tidak memiliki bagian tubuh keras yang permanen
sebagaiindikator pelacak umur, sehingga metode interpretasi ukuran tubuh
yangdigunakan adalah lebar karapas. Populasi kepiting bakau secara khas
berasosiasi dengan hutan mangrove yang masih baik, sehingga hilangnya habitat
akan memberikan dampak yang serius pada populasi kepiting. Biologi populasi
kepiting bakau dikaji dengan melihat pola pertumbuhan dan faktor kondisi
(Wijaya dkk., 2010).
Faktor kondisi (indeks ponderal) merupakan indeksyang dapat digunakan
untuk
menunjukkan
kondisiatau
keadaan
baik
organisme ditinjau
dari
segikapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Nilai faktor kondisi yang tinggi
dipengaruhi ketersediaan dan kemudahan untuk mendapatkan makanan di
perairan. Ketersediaan makanan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor fisika
dan kimia di perairan. Selain ketersediaan makanan, faktor kondisi ikan juga
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad (Effendi, 2002).
Rendahnyanilai faktor kondisi tersebut dapatdisebabkan karena kepiting
baku yang masihmuda belum mempunyai kemampuan hidupyang baik di tempat
hidupnya
dan
dapatdiduga
pula
karena
kalah
bersaingmendapatkan
makanandengan kepiting bakau yanglebih tua (Pandu, 2011).
Faktor
kondisi
yang
tinggimenunjukkan
kepiting
dalam
perkembangangonad, sedangkan faktor kondisiyang rendah menunjukkankepiting
kurang mendapat asupanmakanan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung
pada jenis kelamin, musimatau lokasi penangkapan serta oleh tingkat kematangan
gonad dan jugakelimpahan makanan (King, 1995).
Universitas Sumatera Utara
19
Menurut
Effendi
(1997)
bahwa
pengaruh
ukuran
panjang
dan
bobottubuhsangatbesar terhadap nilai b yang diperoleh sehingga secara tidak
langsung
faktor – faktor yangberpengaruh terhadap ukuran tubuh ikan akan
mempengaruhi pola variasi dari nilai b. Ketersediaanmakanan, tingkat
kematangan
gonad,
dan
variasi
ukuran
tubuh
kepiting
bakau
dapat
menjadipenyebab perbedaan nilai b tersebut.
Perbedaan koefisien a dan b diduga dipengaruhioleh jenis kelamin,tingkat
kematangan gonad,musim dan ketersediaan makanan. Nilai b cenderungbersifat
tetap selama satu tahun atau satu periodepada lingkungan yang berbeda,
sedangkan nilai acenderung berubah secara musiman, antara waktudan habitat.
Perubahan nilai b dapat terjadi padasaat moulting (ganti kulit), pertamakali
matang gonad dan perubahan kondisi lingkungan(Bagenal dan Tesch, 1978).
Menurut
Hartnoll
(1982)
hubungan
lebarkarapas-berat
pada
kepitingdipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Kepiting bakau betina
memilikipola pertumbuhan allometrik negatifdisebabkan karena asupan makanan
lebihbanyak digunakan untuk moulting danproses pematangan gonad (bertelur).
Pertumbuhan
kepiting
betina
cenderung
lebih
ke
arah
lebar
karapas
karenakepiting betina akan moulting setiap akan melakukan proses kopulasi.Pada
kepiting bakau jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanancenderung
digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit),yang berperan
penting pada proses perkawinan.Ukuran capit yangbesar pada kepiting bakau
jantan dewasa kelamin sangat berfungsi ketikamendekap atau mengepit kepiting
bakau betina selama masa percumbuan yakniketika kedua individu kepiting bakau
ini berada betina ketika proseskopulasi akan berlangsung
Universitas Sumatera Utara
20
Kepiting bakau yang masih muda memiliki kecepatantumbuh relatif lebih
cepat dibandingkan dengan kepiting bakau tua. Pertumbuhanlebar kepiting bakau
yang cepat terjadi pada umur muda dan semakin lambatseiring dengan
bertambahnya umur sampai mencapai panjang asimptotik dantidak akan
bertambah panjang lagi. Pertumbuhan cepat bagi kepiting bakau yangberumur
muda
terjadi
karena
energi
yang
didapatkan
dari
makanan
sebagian
besardigunakan untuk pertumbuhan. Pada kepiting bakau tua energi yang
didapatkandari makanan tidak lagi digunakan untuk pertumbuhannya, tetapi
hanyadigunakan untuk mempertahankan dirinya dan mengganti sel – sel yang
rusak.
Semakin
besar
kepiting
semakin
lambat
pertumbuhan
lebar
karapasnya(Jalil dan Mallawa, 2001).
Kepiting bakau merupakanjenis kepiting yang hidup di habitat mangrove
dan populasi kepiting bakau secarakhas berasosiasi dengan hutan mangrove yang
masih baik, sehingga terdegradasinya habitat akan memberikan dampak yang
serius terhadap keberadaan populasi kepiting bakau. Menurunnya kuantitas dan
kualitas ekosistem mangrove yang terdiri atas kerapatan, keanekaragaman
vegetasi dan kompleksitas flora dan fauna atau organisme yang berasosiasi, dan
dapat menimbulkan dampak beragam terhadap kelimpahan dan lambatnya
pertumbuhan kepiting bakau dan perubahan lingkungan yang cepat dapat
mengganggu proses moulting dalam pertumbuhan kepiting bakau (Akpaniteaku,
2014).
Kualitas habitat tidak hanya memiliki hubungan terhadap pertumbuhan
karapas dan bobot tubuh kepiting bakau, namun juga berpengaruh terhadap
kelimpahan kepiting bakau dan fluktuasinya hasil tangkapan. Tekanan
Universitas Sumatera Utara
21
penangkapan yang semakin tinggi terhadap kepiting bakaumenyebabkan ukuran
kepiting bakau yang tertangkap semakin kecil karena indukatau kepiting dewasa
telah hilang dan populasi kepiting bakau didominasi olehkepiting yang masih
muda (Warner, 1977).
Pertumbuhan pada kepiting betina yang telahdewasa difokuskan untuk
pertahanan tubuh daripada untuk bereproduksi. Semakinbertambahnya umursuatu
organisme maka hormon reproduksi yang dihasilkan jugasemakinberkurang (La
Sara, 2010).
Pertumbuhan pada crustacea berlangsung tidak kontinu, proses ini
disebabkan karena rangka luar yang dimilikinya. Selama antar waktu moulting,
perubahan ukuran sangat lambat karena terhambat oleh kulit yang keras. Setelah
moulting, pertumbuhan akan sangat cepat sampai kulit yang baru mengeras.
Akibat dari pertumbuhan yang diskontinu ini maka pertumbuhan crustacea dapat
diuraikan menjadi dua kelompok, yakni laju penambahan ukuran yang terjadi
pada fase moulting dan periode antar moulting atau fase instar (Tanod, 2000).
Pada
saat
fase
antar
ganti
cangkang,
karapas
tubuh
menjadi
keras dan pertumbuhan terbatas sedangkan pada saat fase lepas cangkang, karapas
yang lama dilepaskan sehingga penambahan pertumbuhan terjadi sangat cepat
dengan periode waktu yang relatif pendek sebelum karapas yang baru menjadi
keras.Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada crustacea meliputi dua
faktor,yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi ukuran, jenis
kelamin,tingkat kedewasaan, dan cacat tubuh. Sedangkan yang termasuk ke dalam
faktorekstrinsik adalah ketersediaan makanan, suhu lingkungan, dan parasit
(Anggraini, 1991)
Universitas Sumatera Utara
22
MenurutWijaya dkk (2010) bahwa kecepatan pertumbuhan kepitingbetina
lebih cepat dari kepiting jantan karena kepiting betina lebih sering
melakukan moulting dibanding kepiting jantan, sehingga kepiting betina
cenderung lebih cepat mencapai lebar karapas asimtotiknya.
Panjang karapas kepiting bakau yang layak tangkap berkisar 54-123 mm.
Ukuran lebar kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm belum dewasa. Untuk
menjaga kelestarian kepiting bakau sebaiknya penangkapan kepiting bakau
dilakukan pada ukuran lebar karapas > 100 mm, bobot > 300 g dan panjang
karapas > 54 mm (Irnawati dkk., 2014).
Hubungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Hutan Mangrove
Kelimpahan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kerapatan mangrove,
dimana semakin tinggi kerapatan mangrove maka guguran daun mangrove yang
jatuh juga akan semakin banyak dan keberadaan kepiting bakau semakin banyak,
karena kerapatan mangrove akan mempengaruhi kerapatan mangrove jumlah
bobot serasah yang dalam hal ini sebagai makanan alami dari kepiting bakau
(Sirait, 1997).
Struktur fisik vegetasi mangrove dengan akar-akar tunjangnya yang sangat
membelit dan padat serta cabangnya yang memanjang ke bawah menjadikannya
sebagai habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau. Hutan mngrove juga
dapat berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery ground), pemijahan
(spawning ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi kepiting bakau
terutama kepiting muda, karena ketersediaan makanan alami yang melimpah
pada ekosistem tersebut (Mulya, 2000).
Universitas Sumatera Utara
23
Menurut Prianto (2007), beberapa peran kepiting di dalam ekosistem
pesisir, adalah sebagai berikut:
1. Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi
menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran
detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini
menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur
akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan
detrivor, mikroba sebagai pengurai;
2. Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun
berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai
tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan
dalam mencari makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk
komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan
oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat
memperbaiki kondisi anoksik;
3. Membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon
bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat
penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur
biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;
4. Penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan
ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam
satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biotabiota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti
Universitas Sumatera Utara
24
melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi
ikan-ikan karnivora.
Mangrove
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari
bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan
menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa
Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’.
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di
antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Irwanto, 2006).
Muhaerin (2008) menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara
keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas:
1.
Satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di
habitat mangrove (exclusive mangrove).
2.
Spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat
hidup di habitat non-mangrove (non-exclusive mangrove).
3.
Biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak,
cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap,
sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di
habitat mangrove.
4.
Proses-proses dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di
daerah bervegetasi maupun di luarnya.
Universitas Sumatera Utara
25
5.
Daratan terbuka atau hamparan lumpur yang berada antara batas hutan
sebenarnya dengan laut.
6.
Masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada mangrove.
Karakteristik dan Zonasi Hutan Mangrove
Rawa mangrove adalah salah satu jenis tanah rawa yang terdapat di
wilayah pantai dengan sifatnya yang unik, yang berbeda dengan rawa-rawa air
tawar dan tanah gambut. Sumbangan terbesar dari rawa mangrove bagi kita adalah
karena ia menunjang produksi makanan laut dengan menyediakan zat hara ke
perairan pantai sekitarnya serta berlaku sebagai daerah asuhan untuk berbagai
jenis Crustacea dan ikan (Romimohtarto dan Sri, 2001).
Mangrove adalah khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang
baik pada temperatur dari 19° sampai 40° C. dengan toleransi fluktuasi tidak lebih
dari 10° C. Berbagai jenis Mangrove yang tumbuh di bibir pantai dan merambah
tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas.
Khas karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan,
sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon
yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan
Mangrove. Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai
organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan
berkembang biak (Irwanto, 2006).
Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu
pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah
(lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas
Universitas Sumatera Utara
26
serta pengaruh pasang surut (Dahuri, 2003).
Dalam lingkungan yang serba berat ini, sangat sulit untuk tumbuhtumbuhan mangrove berkembang biak seperti tumbuh-tumbuhan biasa. Suatu
penyesuaian perkembangbiakan yang disebut viviparitas (viviparity) yang telah
dikembangkan. Sekali ia lepas dari induknya ia menancap pada dasar lumpur
dengan hipokotil yang seperti paku besar. Adaptasi semacam ini terdapat pada
kebanyakan jenis mangrove seperti Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops. Beberapa
jenis seperti Avicennia hidup di habitat yang berair lebih asin sedangkan Nypa
fruitcans terdapat pada habitat yang lebih tawar (Romimohtarto dan Sri, 2001).
Menurut Bengen (2002), hutan mangrove terbagi atas beberapa zonasi
yang paling umum, yaitu:
a)
Daerah yang paling dekat dengan laut dan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp.. Pada zona ini, Avicennia spp biasanya
berasosiasi dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada substrat
lumpur dalam yang kaya bahan organik.
b) Lebih ke arah darat, ekosistem mangrove umumnya didominasi oleh jenis
Rhizophora spp.. Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus
spp..
c)
Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp..
d) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah, biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticants dan beberapa jenis palem lainnya.
Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap
kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu
tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90
Universitas Sumatera Utara
27
permil. Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan
menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di
daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S. caseolaris
yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 permil. Beberapa jenis lain juga dapat
tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40
permil, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 permil, Ceriops
tagal pada salinitas 60 permil dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan
Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 permil. Jenis-jenis
Bruguiera umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah 25 permil.
Kadar salinitas optimum untuk Bruguiera parviflora adalah 20 permil, sementara
B. gymnorrhiza adalah 10 – 25 permil (Noor dkk., 1999).
Gambar 5. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia (Irwanto, 2006)
Kerusakan Ekosistem Mangrove
Kusmana, dkk (2003) menyatakan ada tiga faktor utama penyebab
kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran yang terjadi pada areal mangrove
terutama minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran ini merupakan
dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri, serta kebocoran pada pipa/tanker
industri dan tumpahan dalam pengangkutan, (2) konversi hutan mangrove guna
Universitas Sumatera Utara
28
kepentingan manusia seperti budidaya perikanan, pertanian, jalan raya, industri,
produksi garam, perkotaan, pertambangan, dan penggalia pasir yang kurang
memperhatikan faktor lingkungan, dan (3) penebangan kayu mangrove secara
legal maupun illegal dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips, dan
sebagainya yang dilakukan secara berlebihan, sehingga telah menimbulkan
kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian
besar hutan mangrove.
Beberapa faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya
kerusakan dengan berbagai dampaknya pada hutan mangrove. Tingkat kerusakan
ekosistem mangrove dapat dilihat dari persentase penutupan lahan dan kerapatan
pohon (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove
Kriteria
Penutupan (%)
Sangat Padat
≥ 75
Baik
Sedang
≥ 50 - < 75
Rusak
Jarang
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata) menurut Motoh (1979) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Ordo
: Decapoda.
Famili
: Portunidae
Genus
: Scylla
Species
: Scylla serrata
MenurutKathirvel dan Srinivasagam (1992) kepiting bakau berwarna
dasarhijau-merah-kecoklatan. Jenis ini ditemukan meliang di daerahmangrove.
Kepiting bakau memiliki ukuran tubuhyang relatif recil serta hanya memiliki
satuduri yang tumpul pada sisi terluar cheliped carpus. Kepiting bakau memiliki
warna karapas coklatkehitam-hitamandengan bentuk alur “H”tidak dalam dan
tidak memiliki corak pada pleopodnya.
MenurutSiahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau jenis ini
memiliki warna karapas coklatmerah seperti karat dengan bentuk alur H pada
karapas tidak dalam,memiliki bentukduri depan (frontal margin) tumpul, serta
tidak memiliki duri pada fingerjoint (duripada cheliped carpus) yang berubah
menjadi vestigial.
Universitas Sumatera Utara
8
Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin
bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih,
dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain
terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya
besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan
sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung
(Karim, 1998).
Sedangkan ciri kepiting bakau secara khusus menurut Sulistiono, dkk.,
(1992), adalah: karapaks berbentuk cembung dan halus, lebar karapaks satu
setengah dari panjangnya; bentuk alur yang menyerupai huruf H antara area
pencernaan (gastric area) dan area jantung (cardiac area) jelas; empat duri
berbentuk segitiga pada bagian dahi berukuran sama, serta memiliki orbit yang
lebar dengan dua celah.
Kepiting bakau menurut Siahainenia (2008) memiliki bentuk karapas yang
agak bulat, memanjang, pipih, sampai agak cembung. Perbandingan ukuran lebar
karapas kurang lebih dua per tiga dari ukuran lebar. Secara umum, karapas
kepiting bakau terbagi atas empat area, yakni: area pencernaan (gastric region),
area jantung (cardiac region), area pernapasan (branchial region) dan area
pembuangan (hepatic region). Pada tepi antero lateral kiri dan kanan karapas, atau
pada branchial region, terdapat sembilan buah duri dengan bentuk dan ketajaman
yang bervariasi. Pada bagian depan karapaks atau pada gastric region, tepat di
antara kedua tangkai mata terdapat enam buah duri kokoh pada bagian atas dan
dua duri kokoh pada bagian bawah kiri dan kanan. Sepasang duri pertama pada
bagian antero lateral kiri dan kanan karapas, serta dua pasang duri pada bagian
Universitas Sumatera Utara
9
atas dan bawah karapas berada dalam posisi mengelilingi rongga mata dan
berfungsi melindungi mata. Duri-duri pada bagian depan karapas memiliki bentuk
dan ketajaman yang bervariasi antar jenis, sehingga menjadi salah satu faktor
pembeda dalam identifikasi jenis kepiting bakau.
Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan
mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya kecil,
sedangkan pada betina lebih besar dari jantan. Perut kepiting betina berbentuk
lonceng (stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod
yang terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod
berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya
telur (Gambar 2) (Moosa, dkk., 1985)
Gambar 2. Abdomen kepiting jantan dan kepiting betina (Moosa dkk., 1985)
Universitas Sumatera Utara
10
Gambar 3. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Robertson, 1989)
Keterangan : a. lebar karapas, b. kaki jalan, c. panjang karapas, d. karapas,
e. merus, f. basi ischium, g. kaki renang, h. carpus, i. propodus,
j. dactylus, k. mata
Daur Hidup Kepiting Bakau
Proses
percumbuan
kepiting
bakau
ditujukkan
dengan
naiknya
kepiting jantang di atas kepiting betina dengan cara mendekap tubuh kepiting
betina dengan kaki dan ini dapat berangsung sampai 4 hari. Dalam proses
percumbuan tersebut terjadi proses moulting pada betina dan cangkang betina
lunak dapat berlangusng selama 48 jam. Pada saat cangkang lunak, maka kepiting
jantan mengubah betina ke posisi tegak di bawahnya dan melakukan pembuahan
(proses kopulasi) dan ini berlangsung antara 7 – 18 jam dan kepiting bakau jantan
tetap mendekap si betina hingga beberapa hari sampai cangkang mengeras
(Phelan dan Grubert, 2007)
Universitas Sumatera Utara
11
Sekitar 12 hari setelah pemijahan, telur menetas melalui fase larva yang
berbentuk planktonik yang disebut dengan zoea, yaitu sebagai larva tingkat I(Zoea
I) dengan ukuran ± 0,3 mm dan terus menerus berganti kulit, sambil
terbawa arus ke perairan pantai, hingga mencapai Zoea V. Dari Zoea I –V
berlangsung proses sebanyak 5 kali moulting selama 15-18 hari. Kemudian
berganti kulit (moulting) menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip
dengan kepiting dewasa namun masih memiliki bagian ekor yang panjang yang
berlangsung 7-9 hari. Mouting 1 dari megalopa mejadikepiting muda memiliki
ukuran ± 4 mm(Warner, 1977).
Untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan pergantian kulit
kuranglebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung
relatifcepat, yaitu sekitar 3-4 hari tergantung pada kemampuan tubuhnya.
Pergantiankulit tersebut juga tergantung pada faktor umur, pakan dan habitat.
Pada tingkatzoea terjadi ± 5 kali pergantian kulit untuk menjadi megalopa
(Afrianto danLiviawaty, 1993).
Setelah megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasukifase
kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkanperkawinan
pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalamfase
kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapaslebih
kurang 99 mm (Phelan dan Grubert, 2007).
Perkiraan waktu ini didasarkan pada informasi bahwa proses intermoult
dari tahap zoea I – crab I memerlukan waktu 23-25 hari. Perkembangan tingkat
zoea seluruhnya memerlukan waktu minimal 18 hari, dan dari tingkat megalopa
ke tingkat kepitingmuda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari, hal ini pada
Universitas Sumatera Utara
12
salinitas 31±2 ppt, jikadilakukan pada salinitas antara 21-27 ppt diperlukan waktu
hanya 7-8 hari.Ukuran lebar karapas megalopa adalah sekitar 1.52 mm, sedangkan
rekruitmen kepiting bakau terjadi pada juvenil berukuran >40 mm, sehinggawaktu
yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmenadalah sekitar 2-3 bulan
(Quinitio, 2001).
Menurut La Sara (2010) kepiting bakau pada fase juvenil memiliki lebar
karapas 5 mg/L, namun juga dinyatakan bahwa kepiting bakau
memiliki toleransiterhadap konsentrasi oksigen terlarut yang rendahatau lebih
kecil dari angka tersebut.
Menurut
Kasry
(1996)
tekstur
substrat
dasar
yang
baik
bagi
kehidupankepitingbakau terdiri dari lempung berpasiratau tanah lempung liat
berpasir dan tidak bocor (porous) yang berfungsi untuk menahan air.Substrat
lempungberpasir dan lempung liat berpasir termasuk kategori mudah digali oleh
kepiting
bakau
untuk
membuatliang
atau
lubang
yang
digunakan
Universitas Sumatera Utara
16
untukmembenamkan diri, bersembunyi, mempertahankan diri agartetap dingin
selama air surutdan melindungi diri dari predator.
Salah satukomponen kimia bahan organik yang sering digunakan sebagai
indikatorkeberadaan bahan organik di tanah atau sedimen adalah C-organik.
Kandungan bahan organik dalam substrat sangatdiperlukan oleh kepiting bakau
untuk kebutuhan makannya, karena jenis kepitingbakau mengambil makanan
bukan hanya dari bahan makanan yang terkandung dalamair, tetapi jugabahan
organik yang terkandung dalam substrat. Ketersediaan bahan organik disubstrat,
pakan
alami
akan
indikatorkesuburan
tersedia
dan
faktor
dengan
baik
pula.
C-organik
penentupertumbuhanpada
merupakan
kepiting
bakau
(Schumacher, 2002).
Rendahnya C-organik disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah
lama penggenangan dipengaruhi oleh tambaktumpang sari di sekitarnya. Semakin
lama waktu panen tambak maka semakinlama pula lokasi sekitarnya tergenang.
Secara rata-rata, panen tambak dilakukansetelah 3-4 bulan. Waktu yang panjang
tersebut menyebabkan cukup lama tanahdi lokasi sekitarnya jenuh air dan
mengakibatkan proses dekomposisi berjalanlambat, sehinggamemiliki kadar Corganik yang rendah (Susantodan Murwani, 2006)
Kandungan tekstur substrat sangat berpengaruh terhadap kandunganCorganik.Lempung berpasir dan lempung liat berpasir didominasi oleh fraksi pasir.
Substrat berpasir memungkinkan oksidasi yang baik,sehingga C-organik cepat
habisdikarenakan pori pada pasir yang besar dan tidak dapat mengikat
karbondengan baik. Tingginya pori makro akanmenyebabkan kondisi aerob yang
selanjutnya akan mendorong oksidasi bahanorganik menjadi mineral-mineral
Universitas Sumatera Utara
17
tanah. Rendahnya kandungan C-organik pada tekstur substrat mangrovepenyebab
lainnya adalah alihfungsi lahanyang dijadikan sebagai tambak, pemukiman dan
aktivitaslain
yang
berdampak
terhadap
penurunan
karbon
di
substrat
mangrove(Schumacher, 2002).
Siklus bulan mempengaruhi pasang surut. Ada dua macam pasang akibat
siklus bulan, yakni pasang purnama dan pasang perbani. Pasang purnama adalah
peristiwa terjadinya pasang naik dan pasang surut tertinggi. Pasang tertinggi
terjadi pada tanggal 1 dan pada tanggal 14 (saat bulan purnama). Pada kedua
tanggal tersebut posisi bumi-bulan-matahari berada pada satu garis sehingga
kekuatan gaya tarik bulan dan matahari berkumpul menjadi satu menarik
permukaan bumi. Permukaan bumi yang menghadap ke bulan mengalami pasang
naik tertinggi. Pasang perbani adalah peristiwa terjadinya pasang naik dan pasang
surut terendah. Pasang kecil ini terjadi pada tanggal 7 dan 21. Pada kedua tanggal
tersebut posisi matahari-bulan-bumi membentuk sudut 90ᴼ. Gaya tarik bulan dan
matahari berlawanan arah sehingga kekuatannya menjadi berkurang (saling
melemahkan) dan terjadilah pasang terendah (Dronkers, 1964)
Selain mempengaruhi pasang surut, siklus bulan juga mempengaruhi
aktivitas moulting kepiting. Pada kepiting bakau, moulting umumnya terjadi
sebelum dan sesudah bulan purnama atau bulan gelap. Pada bulan purnama dan
bulan gelap aktivitas molting menurun seiring dengan terjadinya pasang. Bulan
purnama dan bulan mati yang terkait dengan pasang tinggi berpengaruh terhadap
menurunnya aktivitas moulting, sebaliknya pada saat bulan setengah yang terkait
dengan pasang rendah rendah atau pasang perbani aktivitas moulting kepiting
meningkat (Zimecki, 2006)
Universitas Sumatera Utara
18
Pertumbuhan Kepiting Bakau
Kepiting bakau tidak memiliki bagian tubuh keras yang permanen
sebagaiindikator pelacak umur, sehingga metode interpretasi ukuran tubuh
yangdigunakan adalah lebar karapas. Populasi kepiting bakau secara khas
berasosiasi dengan hutan mangrove yang masih baik, sehingga hilangnya habitat
akan memberikan dampak yang serius pada populasi kepiting. Biologi populasi
kepiting bakau dikaji dengan melihat pola pertumbuhan dan faktor kondisi
(Wijaya dkk., 2010).
Faktor kondisi (indeks ponderal) merupakan indeksyang dapat digunakan
untuk
menunjukkan
kondisiatau
keadaan
baik
organisme ditinjau
dari
segikapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Nilai faktor kondisi yang tinggi
dipengaruhi ketersediaan dan kemudahan untuk mendapatkan makanan di
perairan. Ketersediaan makanan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor fisika
dan kimia di perairan. Selain ketersediaan makanan, faktor kondisi ikan juga
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad (Effendi, 2002).
Rendahnyanilai faktor kondisi tersebut dapatdisebabkan karena kepiting
baku yang masihmuda belum mempunyai kemampuan hidupyang baik di tempat
hidupnya
dan
dapatdiduga
pula
karena
kalah
bersaingmendapatkan
makanandengan kepiting bakau yanglebih tua (Pandu, 2011).
Faktor
kondisi
yang
tinggimenunjukkan
kepiting
dalam
perkembangangonad, sedangkan faktor kondisiyang rendah menunjukkankepiting
kurang mendapat asupanmakanan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung
pada jenis kelamin, musimatau lokasi penangkapan serta oleh tingkat kematangan
gonad dan jugakelimpahan makanan (King, 1995).
Universitas Sumatera Utara
19
Menurut
Effendi
(1997)
bahwa
pengaruh
ukuran
panjang
dan
bobottubuhsangatbesar terhadap nilai b yang diperoleh sehingga secara tidak
langsung
faktor – faktor yangberpengaruh terhadap ukuran tubuh ikan akan
mempengaruhi pola variasi dari nilai b. Ketersediaanmakanan, tingkat
kematangan
gonad,
dan
variasi
ukuran
tubuh
kepiting
bakau
dapat
menjadipenyebab perbedaan nilai b tersebut.
Perbedaan koefisien a dan b diduga dipengaruhioleh jenis kelamin,tingkat
kematangan gonad,musim dan ketersediaan makanan. Nilai b cenderungbersifat
tetap selama satu tahun atau satu periodepada lingkungan yang berbeda,
sedangkan nilai acenderung berubah secara musiman, antara waktudan habitat.
Perubahan nilai b dapat terjadi padasaat moulting (ganti kulit), pertamakali
matang gonad dan perubahan kondisi lingkungan(Bagenal dan Tesch, 1978).
Menurut
Hartnoll
(1982)
hubungan
lebarkarapas-berat
pada
kepitingdipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Kepiting bakau betina
memilikipola pertumbuhan allometrik negatifdisebabkan karena asupan makanan
lebihbanyak digunakan untuk moulting danproses pematangan gonad (bertelur).
Pertumbuhan
kepiting
betina
cenderung
lebih
ke
arah
lebar
karapas
karenakepiting betina akan moulting setiap akan melakukan proses kopulasi.Pada
kepiting bakau jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanancenderung
digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit),yang berperan
penting pada proses perkawinan.Ukuran capit yangbesar pada kepiting bakau
jantan dewasa kelamin sangat berfungsi ketikamendekap atau mengepit kepiting
bakau betina selama masa percumbuan yakniketika kedua individu kepiting bakau
ini berada betina ketika proseskopulasi akan berlangsung
Universitas Sumatera Utara
20
Kepiting bakau yang masih muda memiliki kecepatantumbuh relatif lebih
cepat dibandingkan dengan kepiting bakau tua. Pertumbuhanlebar kepiting bakau
yang cepat terjadi pada umur muda dan semakin lambatseiring dengan
bertambahnya umur sampai mencapai panjang asimptotik dantidak akan
bertambah panjang lagi. Pertumbuhan cepat bagi kepiting bakau yangberumur
muda
terjadi
karena
energi
yang
didapatkan
dari
makanan
sebagian
besardigunakan untuk pertumbuhan. Pada kepiting bakau tua energi yang
didapatkandari makanan tidak lagi digunakan untuk pertumbuhannya, tetapi
hanyadigunakan untuk mempertahankan dirinya dan mengganti sel – sel yang
rusak.
Semakin
besar
kepiting
semakin
lambat
pertumbuhan
lebar
karapasnya(Jalil dan Mallawa, 2001).
Kepiting bakau merupakanjenis kepiting yang hidup di habitat mangrove
dan populasi kepiting bakau secarakhas berasosiasi dengan hutan mangrove yang
masih baik, sehingga terdegradasinya habitat akan memberikan dampak yang
serius terhadap keberadaan populasi kepiting bakau. Menurunnya kuantitas dan
kualitas ekosistem mangrove yang terdiri atas kerapatan, keanekaragaman
vegetasi dan kompleksitas flora dan fauna atau organisme yang berasosiasi, dan
dapat menimbulkan dampak beragam terhadap kelimpahan dan lambatnya
pertumbuhan kepiting bakau dan perubahan lingkungan yang cepat dapat
mengganggu proses moulting dalam pertumbuhan kepiting bakau (Akpaniteaku,
2014).
Kualitas habitat tidak hanya memiliki hubungan terhadap pertumbuhan
karapas dan bobot tubuh kepiting bakau, namun juga berpengaruh terhadap
kelimpahan kepiting bakau dan fluktuasinya hasil tangkapan. Tekanan
Universitas Sumatera Utara
21
penangkapan yang semakin tinggi terhadap kepiting bakaumenyebabkan ukuran
kepiting bakau yang tertangkap semakin kecil karena indukatau kepiting dewasa
telah hilang dan populasi kepiting bakau didominasi olehkepiting yang masih
muda (Warner, 1977).
Pertumbuhan pada kepiting betina yang telahdewasa difokuskan untuk
pertahanan tubuh daripada untuk bereproduksi. Semakinbertambahnya umursuatu
organisme maka hormon reproduksi yang dihasilkan jugasemakinberkurang (La
Sara, 2010).
Pertumbuhan pada crustacea berlangsung tidak kontinu, proses ini
disebabkan karena rangka luar yang dimilikinya. Selama antar waktu moulting,
perubahan ukuran sangat lambat karena terhambat oleh kulit yang keras. Setelah
moulting, pertumbuhan akan sangat cepat sampai kulit yang baru mengeras.
Akibat dari pertumbuhan yang diskontinu ini maka pertumbuhan crustacea dapat
diuraikan menjadi dua kelompok, yakni laju penambahan ukuran yang terjadi
pada fase moulting dan periode antar moulting atau fase instar (Tanod, 2000).
Pada
saat
fase
antar
ganti
cangkang,
karapas
tubuh
menjadi
keras dan pertumbuhan terbatas sedangkan pada saat fase lepas cangkang, karapas
yang lama dilepaskan sehingga penambahan pertumbuhan terjadi sangat cepat
dengan periode waktu yang relatif pendek sebelum karapas yang baru menjadi
keras.Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada crustacea meliputi dua
faktor,yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi ukuran, jenis
kelamin,tingkat kedewasaan, dan cacat tubuh. Sedangkan yang termasuk ke dalam
faktorekstrinsik adalah ketersediaan makanan, suhu lingkungan, dan parasit
(Anggraini, 1991)
Universitas Sumatera Utara
22
MenurutWijaya dkk (2010) bahwa kecepatan pertumbuhan kepitingbetina
lebih cepat dari kepiting jantan karena kepiting betina lebih sering
melakukan moulting dibanding kepiting jantan, sehingga kepiting betina
cenderung lebih cepat mencapai lebar karapas asimtotiknya.
Panjang karapas kepiting bakau yang layak tangkap berkisar 54-123 mm.
Ukuran lebar kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm belum dewasa. Untuk
menjaga kelestarian kepiting bakau sebaiknya penangkapan kepiting bakau
dilakukan pada ukuran lebar karapas > 100 mm, bobot > 300 g dan panjang
karapas > 54 mm (Irnawati dkk., 2014).
Hubungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Hutan Mangrove
Kelimpahan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kerapatan mangrove,
dimana semakin tinggi kerapatan mangrove maka guguran daun mangrove yang
jatuh juga akan semakin banyak dan keberadaan kepiting bakau semakin banyak,
karena kerapatan mangrove akan mempengaruhi kerapatan mangrove jumlah
bobot serasah yang dalam hal ini sebagai makanan alami dari kepiting bakau
(Sirait, 1997).
Struktur fisik vegetasi mangrove dengan akar-akar tunjangnya yang sangat
membelit dan padat serta cabangnya yang memanjang ke bawah menjadikannya
sebagai habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau. Hutan mngrove juga
dapat berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery ground), pemijahan
(spawning ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi kepiting bakau
terutama kepiting muda, karena ketersediaan makanan alami yang melimpah
pada ekosistem tersebut (Mulya, 2000).
Universitas Sumatera Utara
23
Menurut Prianto (2007), beberapa peran kepiting di dalam ekosistem
pesisir, adalah sebagai berikut:
1. Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi
menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran
detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini
menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur
akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan
detrivor, mikroba sebagai pengurai;
2. Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun
berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai
tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan
dalam mencari makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk
komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan
oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat
memperbaiki kondisi anoksik;
3. Membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon
bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat
penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur
biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;
4. Penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan
ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam
satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biotabiota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti
Universitas Sumatera Utara
24
melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi
ikan-ikan karnivora.
Mangrove
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari
bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan
menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa
Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’.
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di
antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Irwanto, 2006).
Muhaerin (2008) menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara
keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas:
1.
Satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di
habitat mangrove (exclusive mangrove).
2.
Spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat
hidup di habitat non-mangrove (non-exclusive mangrove).
3.
Biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak,
cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap,
sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di
habitat mangrove.
4.
Proses-proses dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di
daerah bervegetasi maupun di luarnya.
Universitas Sumatera Utara
25
5.
Daratan terbuka atau hamparan lumpur yang berada antara batas hutan
sebenarnya dengan laut.
6.
Masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada mangrove.
Karakteristik dan Zonasi Hutan Mangrove
Rawa mangrove adalah salah satu jenis tanah rawa yang terdapat di
wilayah pantai dengan sifatnya yang unik, yang berbeda dengan rawa-rawa air
tawar dan tanah gambut. Sumbangan terbesar dari rawa mangrove bagi kita adalah
karena ia menunjang produksi makanan laut dengan menyediakan zat hara ke
perairan pantai sekitarnya serta berlaku sebagai daerah asuhan untuk berbagai
jenis Crustacea dan ikan (Romimohtarto dan Sri, 2001).
Mangrove adalah khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang
baik pada temperatur dari 19° sampai 40° C. dengan toleransi fluktuasi tidak lebih
dari 10° C. Berbagai jenis Mangrove yang tumbuh di bibir pantai dan merambah
tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas.
Khas karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan,
sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon
yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan
Mangrove. Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai
organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan
berkembang biak (Irwanto, 2006).
Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu
pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah
(lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas
Universitas Sumatera Utara
26
serta pengaruh pasang surut (Dahuri, 2003).
Dalam lingkungan yang serba berat ini, sangat sulit untuk tumbuhtumbuhan mangrove berkembang biak seperti tumbuh-tumbuhan biasa. Suatu
penyesuaian perkembangbiakan yang disebut viviparitas (viviparity) yang telah
dikembangkan. Sekali ia lepas dari induknya ia menancap pada dasar lumpur
dengan hipokotil yang seperti paku besar. Adaptasi semacam ini terdapat pada
kebanyakan jenis mangrove seperti Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops. Beberapa
jenis seperti Avicennia hidup di habitat yang berair lebih asin sedangkan Nypa
fruitcans terdapat pada habitat yang lebih tawar (Romimohtarto dan Sri, 2001).
Menurut Bengen (2002), hutan mangrove terbagi atas beberapa zonasi
yang paling umum, yaitu:
a)
Daerah yang paling dekat dengan laut dan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp.. Pada zona ini, Avicennia spp biasanya
berasosiasi dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada substrat
lumpur dalam yang kaya bahan organik.
b) Lebih ke arah darat, ekosistem mangrove umumnya didominasi oleh jenis
Rhizophora spp.. Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus
spp..
c)
Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp..
d) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah, biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticants dan beberapa jenis palem lainnya.
Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap
kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu
tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90
Universitas Sumatera Utara
27
permil. Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan
menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di
daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S. caseolaris
yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 permil. Beberapa jenis lain juga dapat
tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40
permil, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 permil, Ceriops
tagal pada salinitas 60 permil dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan
Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 permil. Jenis-jenis
Bruguiera umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah 25 permil.
Kadar salinitas optimum untuk Bruguiera parviflora adalah 20 permil, sementara
B. gymnorrhiza adalah 10 – 25 permil (Noor dkk., 1999).
Gambar 5. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia (Irwanto, 2006)
Kerusakan Ekosistem Mangrove
Kusmana, dkk (2003) menyatakan ada tiga faktor utama penyebab
kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran yang terjadi pada areal mangrove
terutama minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran ini merupakan
dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri, serta kebocoran pada pipa/tanker
industri dan tumpahan dalam pengangkutan, (2) konversi hutan mangrove guna
Universitas Sumatera Utara
28
kepentingan manusia seperti budidaya perikanan, pertanian, jalan raya, industri,
produksi garam, perkotaan, pertambangan, dan penggalia pasir yang kurang
memperhatikan faktor lingkungan, dan (3) penebangan kayu mangrove secara
legal maupun illegal dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips, dan
sebagainya yang dilakukan secara berlebihan, sehingga telah menimbulkan
kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian
besar hutan mangrove.
Beberapa faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya
kerusakan dengan berbagai dampaknya pada hutan mangrove. Tingkat kerusakan
ekosistem mangrove dapat dilihat dari persentase penutupan lahan dan kerapatan
pohon (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove
Kriteria
Penutupan (%)
Sangat Padat
≥ 75
Baik
Sedang
≥ 50 - < 75
Rusak
Jarang