Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif
196 Kelas XII SMAMA
Dalam perang dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika Barat dengan Blok Uni Soviet Timur pada masa awal berdirinya negara Indonesia,
Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai
Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947. Dalam pidatonya tersebut,
Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai dengan
cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Dengan demikian di dalam perang
dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak memihak adalah sikap yang paling tepat untuk menciptakan
perdamaian dunia atau paling tidak meredakan perang dingin tersebut.
Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak dalam perang dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada juga
dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu mencari dukungan dunia Internasional terhadap perjuangan kemerdekaannya. Oleh
karena itu, keterikatan pada salah satu kubu blok yang ada belum tentu akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan kemerdekaannya. Karena
pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat Amerika masih ragu-ragu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda
yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain pihak, para pemimpin Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa
tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok Timur terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain
itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah
tersebut.
Secara resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya kepada BP
KNIP Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat mengenai kedudukan politik Indonesia pada bulan September 1948, pada saat itu Hatta mengatakan
bahwa:
“………tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia
atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintahan berpendapat bahwa
pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek
Sejarah Indonesia 197
dalam pertarungan politik Internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan
tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” Sumber: Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004
Dari pernyataan Mohammad Hatta tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia berkeinginan untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada saat itu.
Bahkan bercita-cita untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi atau minimal meredakan perang dingin yang ada dengan cara bersahabat dengan
semua negara baik di Blok Barat maupun di Blok Timur, karena hanya dengan cara demikian cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara
Indonesia dapat dicapai. Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia
berniat untuk menciptakan blok baru. Karena itu menurut Hatta, Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga
yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu.
Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam
menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan
pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling menghargai.
Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung Antara Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948,
Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negara-
negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara
besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional Pembukaan UUD 1945.
Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak
diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara asing atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahakan untuk
Diskusikanlah dalam kelompok Isi dari Pembukaan UUD 1945, jelaskan kaitannya dengan pelaksanaan politik luar negeri
“Bebas Aktif”
198 Kelas XII SMAMA
tercapainya tujuan nasional bangsa. Politik luar negeri bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia
pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta
konstelasi politik internasional pada saat itu.