Ajaran hukum murni ANALISIS PEMIKIRAN POSITIVISME HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS.

9 the Austrian Journal of Public Law. 22 Tahun 1918 dia menjadi associate professor dibidang hukum pada University of Vienna dan tahun 1919 menjadi profesor penuh dibidang hukum publik dan hukum administrasi. Pecahnya perang dunia kedua dan kemungkinan terlibatnya Switzerland dalam konflik tersebut memotivasi Kelsen Pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1940. Di Amerika Serikat Kelsen mengajar di Harvard University dari tahun 1940 sampai dengan tahun 1942, menjadi visiting professor di California University, Barkeley. Pada tahun 1945 Kelsen menjadi warga negara Amerika Serikat dan menjadi penasehat pada United Nation War Crimes Commission di Washington dengan tugas utama menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg. Kelsen juag menjadi visiting professor di Geneva, Newport, The Hague, Vienna, Copenhagen, Chicago, Stockholm, Helsinkfors dan Edinburg. Kelsen memperoleh 11 gelar doktor honoris causa dari Utrecht, Harvard, Chicago, Mexico, Berkeley, Salamanca, Berlin, Vienna, New York, Paris dan Salzburg. Kelsen tetap aktif dan produktif setelah pensiun pada tahun 1952. Kelsen tinggal di Amerika Serikat hingga akhir hayatnya pada tahun 1973. Kelsen meninggal di Barkeley 19 April 1973 pada usia 92 tahun dengan meninggalkan sekitar 400 karya. 23 Ada tiga hakekat atau inti dari ajaran utama Hans Kelsen dalam positivisme hukum, yaitu: 24 a. Ajaran hukum murni reine rechtslehre. b. Ajaran tentang grundnorm. c. Ajaran tentang stufenbautheori.

a. Ajaran hukum murni

Secara ringkas, dapat dikemukakan bahwa Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya non-hukum, seperti sejarah, moral, sosiologis, 22 Nicoletta Bersier Ladavac, Hans Kelsen 1881-1973: Biographical Note and Bibliography, Themis Centre d’Etudes de Philosophie, de Sociologie et de Theorie du Droit, 8, Quai Gustave-Ador, Geneve. Dalam Jimly Asshiddiqie Dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet-1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 2. 23 Ian Stewart menyebut karya Kelsen lebih dari 300 buku dalam tiga bahasa. Lihat, Ian Stewart, “The Critical Legal Science of Hans Kelsen”, Journal of Law and Society, 173, 1990, hal. 273-308. Dalam Jimly Asshiddiqie Dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet-1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 4. 24 Achmad Ali, Op.cit., hlm. 60. 10 politis dan sebagainya. 25 Tujuannya adalah untuk menjaga agar dihasilkannya suatu telaahan terhadap ilmu hukum yang lebih fokus dan lebih mendalam, yang tidak bercampur baur dengan telaahan ilmu lain, sehingga ilmu hukum itu sendiri tidak terdistorsi oleh ilmu-ilmu lain yang kebetulan memiliki objek kajian yang saling berhubungan dengan objek kajian ilmu hukum tersebut. 26 Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Kelsen, keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-rasional. Kelsen hanya ingin menerima hukum apa adanya, yaitu berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara. Dalam kaitan dengan ajaran hukum murninya, Hans Kelsen membedakan norma ke dalam dua jenis, yaitu the moral norm dan the legal norm. 27 b. Ajaran tentang Grundnorm Grundnorm menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum. 28 Grundnorm norma dasar adalah kaidah-kaidah yang paling fundamental tentang kehidupan manusia di mana di bawah norma dasar tersebut dibuatlah kaidah-kaidah hukum lain yang lebih konkret dan lebih khusus. Biasanya, norma dasar yang berlaku dalam suatu negara ditulis dalam konsitusi dari negara tersebut. 29 c. Ajaran tentang Stufenbautheori Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan. 30 Demikian pula tokoh positivisme hukum yang lain, yaitu Herbert Lionel Adolphus H.L.A. Hart, menekankan bahwa hakekat atau inti ajaran dari H.L.A. Hart adalah 25 Ibid. 26 Munir Fuady, Op.cit., hlm. 127. 27 Achmad Ali, Op.cit., hlm. 61. 28 Ibid., hlm. 62. 29 Munir Fuady, Op.cit., hlm., 138. 30 Achmad Ali, Op.cit., hlm. 62. 11 memandang hukum sebagai terdiri dari aturan-aturan. Aturan-aturan itu dibedakan kedalam dua jenis, yaitu: 31 1. Aturan primer primary rules yang menekankan kewajiban-kewajiban. Melalui aturan primer, manusia diwajibkan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Ide dasarnya adalah bahwa beberapa norma, berkaitan langsung agar orang berperilaku sesuai suatu cara primer, dalam pengertian bahwa mereka ditentukan bagaimana seharusnya berperilaku tertentu dan bagaimana seharusnya mereka tidak berperilaku tertentu. 2. Aturan sekunder secondary rules menjelaskan tentang apa kewajiban masyarakat yang diwajibkan oleh aturan, melalui prosedur apa sehingga suatu aturan baru memungkinkan untuk diketahui, atau perubahan atau pencabutan suatu aturan lama. Bagaimana suatu persengketaan dapat dipecahkan, mengenai apakah suatu aturan primer telah dilanggar atau siapa yang mempunyai otoritas untuk menjatuhkan hukuman bagi pelanggar aturan. Pemikiran Hans Kelsen tentang Grundnorm norma dasar sangat fundamental dalam pembangunan tata hukum dan sistem hukum. Khususnya dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, pemikiran Hans Kelsen tentang Grundnorm norma dasar yang terwujud berupa konstitusi sangat fundamental dalam sistem hukum Indonesia, mulai semenjak Orde Lama, Orde Baru sampai pada Orde Reformasi, setiap Orde pemerintah tersebut mendasarkan pada konstitusi undang-undang dasar sebagai hukum dasar dan landasan filosofis, yuridis dan sosiologis berlakunya norma-norma hukum di Indonesia. Dalam sejarah ketatanegaraan negara Republik Indonesia telah diberlakukan konstitusi sebagai berikut: UUD 1945; Konstitusi RIS 1949; UUDS NKRI 1950; UUD 1945 Dekrit 5 Juli 1959. 32 Sampai saat ini Orde Reformasi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia sudah diamandemen sebanyak empat 4 kali. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah 31 Ibid., hlm. 66. 32 Jimly Asshiddiqie, Sistem Ketatanegaraan Pasca Reformasi, www.jimly.com makalah namafile ... SISTEM_ KETATANEGARAAN. doc. diakses Kamis 31 Oktober 2013 . 12 rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power 33 yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi. 34 Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order” 35 . Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia. 36 Pemikiran Hans Kelsen tentang Stufenbautheori atau Teori Penjenjangan Norma juga diadopsi dalam pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini terlihat dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Adapun dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan pada bagian Menimbang yaitu: 37 a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang- undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar 33 Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, London: Blackstone Press ltd., 1997, hal. 5, dalam Ideologi, Pancasila Dan Konstitusi, www.jimly.commakalah...3 ideologi__pancasila__dan_konstitusi.doc , diakses Kamis 31 Oktober 2013. 34 Ibid. 35 Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman Alvin Johnson, eds., 1931, hal. 255, dalam Ideologi, Pancasila Dan Konstitusi, www.jimly.commakalah...3 ideologi__pancasila__dan_konstitusi.doc , diakses Kamis 31 Oktober 2013. 36 Ibid. 37 Bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang -Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82. 13 yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang- undangan; c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Pemikiran Hans Kelsen tentang Stufenbautheori yaitu tentang hierarki atau penjenjangan norma terwujud dalam Pasal 7 Bab III dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, yang menyatakan: 38 1 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah KabupatenKota. 2 Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang- undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 39

I.2 Pemikiran Positivisme Hukum Dari Perspektif Epistemologis