Keragaman morfologi dan genetik serta derajat kompetisi beberapa aksesi gulma Echinochloa crus galli (L) Beauv terhadap tanaman padi sawah

(1)

SERTA DERAJAT KOMPETISI BEBERAPA AKSESI

GULMA Echinochloa crus-galli (L.) Beauv.

TERHADAP TANAMAN PADI SAWAH

DWI GUNTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman padi (Oryza sativa) merupakan komoditas yang strategis di Indonesia karena beras merupakan sumber makanan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia. Kebutuhan beras di Indonesia semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 mencapai 241 juta jiwa dan kebutuhan beras mencapai 34 juta ton per tahun (BPS, 2011). Produksi padi pada tahun 2011 berdasarkan Angka Ramalan II (ARAM II) diperkirakan mencapai 68.06 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 38.2 juta ton beras. Kebutuhan beras pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 48.5 juta ton atau setara dengan 70 juta ton GKG.

Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut diperlukan usaha peningkatan produksi dan produktivitas padi di Indonesia. Peningkatan produksi beras tahun 2011 dibandingkan tahun 2010 disebabkan oleh peningkatan luas areal (0.11%) dan peningkatan produktivitas (1.24%) (BPS 2011). Pada tahun-tahun mendatang, upaya peningkatan produksi beras akan menghadapi banyak kendala diantaranya perubahan fungsi lahan sawah menjadi lahan non pertanian yang mencapai 187 720 hektar/tahun (Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air 2005), degradasi kesuburan lahan yang saat ini mencapai 4 juta hektar dari degradasi berat (50%) hingga degradasi rendah (0.8%) (Badan Litbang Pertanian 2011), serta adanya serangan organisme pengganggu tanaman.

Salah satu organisme pengganggu tanaman yang dapat menurunkan produksi dan produktivitas tanaman padi adalah gulma. Kehilangan hasil akibat gulma di seluruh dunia diperkirakan mencapai 10-15% (Smith 1968; Smith 1983; Zoschke 1990; Baltazar dan De Datta 1992), bahkan kehilangan hasil dapat mencapai 86% jika tanpa dilakukan pengendalian gulma (Kropff 1993).

Salah satu gulma penting dan dominan pada lahan padi sawah di Indonesia adalah gulma jajagoan (Echinochloa crus-galli) (Ali dan Sankaran 1984; Ali 1985). Gulma E. crus-galli menjadi masalah utama pada budidaya tanaman padi sawah dan merupakan penyebab kehilangan hasil produksi yang utama pada produksi padi sawah (Gealy et al. 2003; Haefele et al. 2004). Penurunan


(3)

produksi padi akibat gulma E. crus-galli dapat mencapai 46-59% (Sultana 2000; Chin 2001), 57-95% (Ahn dan Chung 2000), bahkan hingga 97% (Islam dan Karim 2003).

Penurunan produksi tanaman padi oleh gulma E. crus-galli dapat terjadi karena kompetisi, alelopati, dan menjadi inang hama penyakit tanaman padi (alelomediasi). Kompetisi gulma E. crus-galli menyebabkan penurunan hasil produksi akibat penurunan jumlah anakan, jumlah malai, dan jumlah gabah per malai (Tindall et al. 2005). Gulma E. crus-galli berpotensi mengeluarkan senyawa alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Putnam 1986). Eksudat akar E. crus-galli yang berupa senyawa p-Hidroxymandelic menunjukkan efek alelopati dan menekan pertumbuhan tajuk dan pemanjangan akar tanaman padi (Yamamoto et al. 1999; Xuan et al. 2006). Gulma E. crus-galli dapat menjadi inang perantara bagi Leptocorisa oratorius, Acrocylindricum oryzae,

Corticium sasakii, dan Rhynchosporium oryzae (Tjitrosemito 1994). Selain menurunkan kuantitas hasil, keberadaan gulma E. crus-galli juga menyebabkan penurunan kualitas dalam produksi benih akibat tercampurnya benih padi dengan biji-biji E. crus-galli.

Gulma E. crus-galli sulit dikendalikan karena kemiripan morfologi dengan tanaman padi. Gulma ini menjadi lebih bermasalah pada budidaya tanaman padi ketika cara tanam padi berubah dari cara tanam pindah (transplanting) menjadi cara tebar benih langung (direct planting). Keberadaan gulma E. crus-galli pada pertanaman padi sawah dapat menurunkan pendapatan petani padi akibat peningkatan biaya pengendalian gulma.

Usaha peningkatan produksi yang dilakukan oleh pemerintah harus diimbangi dengan upaya penyelamatan kehilangan hasil akibat organisme pengganggu tanaman. E. crus-galli memiliki daya adaptasi yang luas pada kondisi lingkungan yang bervariasi (Galinato et al. 1999). E. crus-galli yang berasal dari habitat yang berbeda diduga memiliki daya kompetisi yang berbeda pula. Studi tentang potensi aksesi gulma E. crus-galli dalam menurunkan produksi padi masih jarang dilakukan di Indonesia. Studi keragaman morfologi dan genetik serta tingkat kompetisi aksesi gulma Echinochloa crus-galli dari beberapa habitat sawah di Jawa Barat sangat penting dilakukan. Pengetahuan


(4)

tentang karakter dan perilaku gulma tersebut dapat menjadi dasar bagi pengembangan teknik pengendalian di lapangan sehingga dapat mendukung usaha peningkatan produksi padi nasional.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman morfologi dan genetik aksesi gulma E. crus-galli serta menganalisis tingkat kompetisinya terhadap tanaman padi sawah. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Menganalisis keragaman morfologi dan genetik aksesi E. crus-galli asal Jawa Barat

2. Mengidentifikasi potensi alelopati aksesi E. crus-galli asal Jawa Barat 3. Mempelajari pengaruh aksesi dan tingkat populasi E. crus-galli terhadap

pertumbuhan dan produksi padi sawah

4. Menduga derajat kompetisi gulma E. crus-galli melalui pendekatan

replacement series

5. Mempelajari fisiologi kompetisi antara padi dengan gulma E. crus-galli.

Hipotesis

1. Aksesi gulma E. crus-galli asal Jawa Barat memiliki keragaman karakter morfologi dan genetik. Keragaman morfologi yang terjadi di lapangan disebabkan oleh keragaman genetik dan oleh kemampuan plastisitas fenotipik. 2. Tiap aksesi gulma E. crus-galli asal Jawa Barat memiliki potensi alelopati

yang berbeda dan memiliki perbedaan kemampuan dalam menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi sawah.

3. Gulma E. crus-galli memiliki daya kompetisi yang lebih kuat dibandingkan dengan tanaman padi sawah dalam memperebutkan sumberdaya.

4. Perbedaan populasi dan asal aksesi gulma E. crus-galli menyebabkan perbedaan respon pertumbuhan dan produksi tanaman padi sawah.

5. Kompetisi gulma E. crus-galli terhadap tanaman padi sawah menghambat proses fisiologi tanaman padi.


(5)

Untuk menguji hipotesis yang dirumuskan maka dilakukan rangkaian penelitian dengan tahapan seperti disajikan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Bagan alir tahapan penelitian Studi Keragaman Morfologi dan Genetik Aksesi Gulma

E. crus-galli Asal Jawa Barat

Pendugaan Derajat Kompetisi Gulma E. crus-galli

dengan Metode Replacement Series

Uji Potensi Allelopati Aksesi Gulma E. crus-galli

Percobaan Pendahuluan tentang Pertumbuhan dan Produksi Padi pada Berbagai Tingkat Populasi Gulma E. crus-galli

yang Berasal dari Tiga Sentra Produksi Padi

Studi Pengaruh Aksesi dan Tingkat Populasi E. crus-galli terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi

A. Percobaan Rumah Kaca B. Percobaan Lapangan

Studi Fisiologi Kompetisi Gulma E. crus-galli pada Beberapa Varietas Padi Sawah

Diperoleh informasi keragaman morfologi, genetik, dan derajat kompetisi aksesi gulma E. crus-galli


(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Botanidan Morfologi Echinochloa crus-galli

Botani

Gulma E. crus-galli merupakan gulma semusim kelas Monocotyledon, subkelas Commelinidae, ordo Cyperales, suku Poaceae/Graminae, dan marga Echinochloa. Spesies E. crus-galli meliputi 3 subspesies, yaitu E. crus-galli var.

crus-galli, E. crus-galli var. particola dan E. crus-galli var. formosensis (Kim 1994). E. crus-galli adalah tumbuhan hexaploid (2n=6x=54). Gulma E. crus-galli

memiliki distribusi geografis yang luas dan keragaman dari morfologi dan ekologi yang diduga terkait dengan sifat allohexaploid dari spesies ini (Yabuno 1983).

E. crus-galli diperkirakan berasal dari India, tersebar pada daerah tropis dan sub tropis di seluruh negara Asia Tenggara dan Asia selatan serta Australia (Holm et al. 1977). Beberapa nama umum untuk rumput ini antara lain barnyard grass, japanese millet, cockspur, dan watergrass. Di Indonesia E. crus-galli

dikenal dengan nama gagajahan, jajagoan, jawan, jawan pari, suket ngawan (Jawa) (Moenandir 1993; Galinato et al. 1999).

Morfologi

Rumput E. crus-galli sangat mirip dengan tanaman padi pada saat masih muda. E. crus-galli memiliki penampilan tegak, memiliki tinggi sekitar 20-150 cm (Soerjani et al. 1987), bahkan bisa mencapai 200 cm (Galinato et al. 1999).

E. crus-galli memiliki daun yang tegak atau rebah pada dasarnya. Daunnya memiliki ukuran panjang sampai 35 cm dan lebar 0.5-1.5 cm. Warna daun rumput ini hijau sampai hijau keabuan. Setiap daun memiliki pelepah yang tidak berambut dan memiliki panjang 9-13 cm. Pelepah daun umumnya berwarna kemerahan di bagian bawahnya. Helaian daun berukuran 5-65 cm x 6-22 mm, bersatu dengan pelepah, berbentuk linear dengan bagian dasar yang lebar dan melingkar dan bagian ujung yang meruncing. Permukaan daun rata, agak kasar dan menebal di bagian tepi (Duke 1996). Helaian daun memiliki beberapa rambut halus pada bagian dasarnya dan agak lebat pada permukaan daun (Fishel 2000).


(7)

Daerah pangkal daun dapat digunakan untuk membedakan daun E. crus-galli dan daun padi. Pangkal daun E. crus-galli tidak memiliki ligula dan aurikel, sedangkan pangkal daun padi memiliki ligula yang bermembran dan aurikel yang berbulu (Itoh 1991).

Gambar 2. Echinochloa crus-galli (L.) Beauv (Soerjani et al. 1987)

a. zona helaian daun; b. Spikelet dengan rambut pendek; c. Spikelet dengan rambut panjang dari raceme yang sama; d. Glume yang paling bawah (G1) tampak belakang (dibuka); e. Glume teratas (G2), tampak depan; f. Lemma terbawah (L1), tampak depan; g. Palea terbawah (P1), tampak depan; h. Lemma teratas (L2), tampak depan; i. Palea teratas (P2), tampak depan; j. Kariopsis, dua sisi.


(8)

Batang berbentuk silindris dengan pith yang menyerupai spons putih di bagian dalamnya. Di lahan sawah, anakan pertama dari E. crus-galli muncul 10 hari setelah perkecambahan, dan biasanya sekitar 15 anakan yang terbentuk (Galinato et al. 1999). E. crus-galli memiliki jenis akar serabut dan tebal. Akar

E. crus-galli dihasilkan pada setiap ruasnya (Soerjani et al. 1987).

Bunga berupa malai yang berada di ujung dengan 5-40 bunga majemuk bulir yang mempunyai tipe raceme, dengan cabang-cabang pendek yang menaik. Bunga majemuk terdiri atas banyak spikelet yang berbelok pada satu sisi, berbentuk tegak pada awalnya tetapi selanjutnya sering membengkok ke bawah. Panjang malai bisa mencapai 5-21 cm. Malai kaku dengan permukaan yang agak kasar. Bulir terbawah merupakan bulir yang paling panjang, sekitar 1.75-8 cm, sedangkan bulir yang paling atas sangat pendek. Setiap bulir terdapat susunan spikelet yang berselang-seling di setiap sisinya (Soerjani et al. 1987).

Spikelet tersusun soliter pada bulir paling atas dan susunannya bisa mencapai 2-4 spikelet dan pada bulir bagian bawah susunan spikelet bisa mencapai 4-10 spikelet (Soerjani et al. 1987). Spikelet tebal dan padat, sedikit berbentuk elips dengan panjang 3.2-3.5 mm. Spikelet biasanya sedikit berambut dan terkadang terdapat rambut yang tebal dan kaku yang panjangnya dapat mencapai 13 mm. Spikelet berwarna kehijauan dan sedikit berwarna ungu (Ampong-Nyarko dan De Datta 1991).

Stamen pada E. crus-galli berjumlah 3 dengan anther berwarna kuning. Jumlah putik ada 2 dengan stigma berbulu, berwarna ungu, menonjol keluar di bawah ujung spikelet. Buah E. crus-galli disebut caryopsis, berbentuk lonjong dengan panjang 1.5-2 mm, berbentuk ovoid sampai obovoid (Galinato et al. 1999). Lemma dari floret yang pertama memiliki permukaan yang datar atau sedikit cembung atau tumpul. Glume bagian bawah memiliki panjang sekitar 1.5-2.5 mm, berbentuk ovate, memendek dan memiliki ujung yang memendek secara bertahap. Glume bagian atas memiliki panjang yang sama dengan spikelet, berbentuk ovate-oblong, runcing, memiliki rambut yang tebal dan kaku sepanjang 0.5-3 mm serta berambut pendek (Galinato et al. 1999).

Biji yang tua berwarna kecoklat-coklatan sampai kehitaman. Produksi biji bervariasi dari 2 000 – 40 000 benih per tanaman pada daerah bergulma.


(9)

(Ampong-Nyarko dan De Datta 1991). E. crus-galli mampu menghasilkan lebih dari 1 000 kg benih/ha (Galinato et al. 1999).

Perbanyakan dan Penyebaran

Gulma E. crus-galli berperan sebagai gulma pada 36 jenis tanaman budidaya di 61 negara. Jenis rumput ini memperbanyak diri secara generatif melalui biji yang seringkali tercampur dengan benih padi (Galinato et al. 1999). Gulma ini bereproduksi dengan cara penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang. E. crus-galli melakukan penyerbukan silang dengan menggunakan bantuan angin. Biji E. crus-galli dapat menyebar melalui saluran irigasi, hewan, burung, pengangkutan biji padi dan mesin pertanian atau peralatan pertanian lainnya (Itoh 1991).

Perkembangan yang sangat cepat dan agresif dari E. crus-galli terkait dengan pertumbuhannya yang sangat cepat, produksi benih yang tinggi, dormansi benih dan daya adaptasi yang tinggi di bawah kondisi lahan pertanian yang berbeda (Bahrendt dan Hanf 1979). E. crus-galli adalah spesies yang sangat bervariasi, memiliki banyak bentuk dan variasi dengan waktu berbunga dan menghasilkan biji yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain.

Ekologi Gulma E. crus-galli

Lingkungan Tumbuh

E. crus-galli merupakan gulma yang beradaptasi pada daerah berair, dan tumbuh baik pada kelembaban tanah 80 % dari water capasity (Ampong-Nyarko dan De Datta 1991). Pertumbuhan E. crus-galli sangat baik pada jenis tanah berpasir dan berlempung terutama apabila kandungan nitrogennya tinggi (Kropff dan Van Laar 1993).

Gulma ini mampu terus tumbuh walaupun hanya sebagian dari benih yang terendam. Perkecambahan 30% lebih baik di tanah padat daripada di tanah yang kurang padat. E. crus-galli juga mampu tumbuh dengan baik pada tanah yang lebih kering, tetapi memiliki pertumbuhan yang lebih kecil dan menghasilkan jumlah malai, anakan dan jumlah biji yang lebih sedikit dibandingkan pada tanah berair (Galinato et al. 1999).


(10)

Menurut Soerjani et al. (1987) benih E. crus-galli tidak dapat berkecambah pada kedalaman air lebih dari 12 cm, sedangkan menurut Kropff dan Van Laar (1993) kedalaman air maksimum bagi perkecambahan benih E. crus-galli adalah 15 cm. Benih yang terendam pada kedalaman lebih dari 15 cm tidak dapat berkecambah.

Benih E. crus-galli dapat hidup terus dalam waktu yang lama. Benih yang terdapat di dalam tanah dapat hidup terus sampai 1 tahun. Benih yang disimpan di tempat penyimpanan dalam kondisi kering dapat hidup terus sampai 7 tahun. Kelembaban optimum untuk perkecambahan benih E. crus-galli tergantung dari karakteristik tanah, tetapi umumnya pada 70-90% kapasitas lapang. Benih E. crus-galli

yang berada dekat dengan permukaan tanah akan berkecambah baik pada hari yang panas (Galinato et al. 1999).

E. crus-galli dapat tumbuh pada daerah dataran rendah sampai sedang. Gulma ini tumbuh baik pada tempat dengan penyinaran penuh sepanjang tepi perairan (Soerjani et al. 1987). E. crus-galli membutuhkan waktu 42-64 hari untuk melengkapi siklus hidupnya. Benih akan langsung tumbuh setelah ditanam tetapi sebagian lagi mengalami dormansi yang bisa mencapai selama 4-48 bulan. Fotoperiodisme mempengaruhi jumlah benih yang dorman dan intensitas dari dormansi tersebut (Zimdahl et al. 2004).

Pembungaan dipengaruhi oleh panjang hari. Pada hari pendek pembungaan lebih cepat terjadi. Jumlah malai dan anakan lebih besar pada hari pendek, tetapi ukurannya kecil. Pada hari panjang (16 jam), gulma ini menghasilkan malai dengan ukuran yang lebih besar dan jumlah benih yang lebih banyak. E. crus-galli yang tumbuh pada daerah dengan penyinaran penuh memiliki bobot kering empat kali lebih besar serta jumlah malai dan anakan dua kali lebih banyak daripada E. crus-galli yang tumbuh pada daerah dengan naungan 50% (Galinato et al. 1999).

Suhu lingkungan optimum untuk perkecambahan biji adalah 32-37°C. Tingkat perkecambahan akan menurun drastis pada suhu lingkungan di bawah 10°C atau di atas 40°C dan berhenti berkecambah pada suhu 5o

Distribusi geografis dari E. crus-galli yaitu dari 50 °LU sampai 40 °LS (Holm

et al. 1977). Di Kanada telah dilaporkan bahwa E. crus-galli ditemukan pada tempat C. Pemanjangan kecambah sangat tergantung pada persediaan oksigen. Benih tetap memiliki viabilitas yang tinggi walaupun sudah disimpan dalam waktu yang lama (Galinato et al. 1999).


(11)

di atas 50 °LU, seperti di Edmonton (53° 33’ LU), Saskatoon (52° 07’ LU) dan Prince Albert (53° 12’ LU) (Maun dan Barret 1986).

Plastisitas Fenotipik

Spesies tumbuhan dapat menyebar pada kondisi lingkungan secara luas, namun kemampuan penyebaran setiap genotip terbatas. Kemampuan spesies menyebar secara luas ditandai oleh kemampuan plastisitas fenotipik dan tingkat variasi genetik yang tinggi (Santamaria et al. 2003). Plastisitas fenotipik adalah kemampuan suatu organisme untuk mengubah morfologi atau fisiologinya setelah terpapar atau berada pada kondisi lingkungan yang berbeda atau ekspresi fenotipik yang tergantung pada lingkungan (Schlichting 1986; Thompson 1991; Sultan 2000; deWitt & Scheiner 2004). Plastisitas fenotipik memainkan peranan yang penting dalam distribusi ekologi suatu organisme (Sultan 2003). Plastisitas fenotipik membiarkan organisme untuk menerima kondisi lingkungan yang berbeda dengan mengubah fenotipiknya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga menjadi adaptif (Plante & Hendry 2011). Sumber perbedaan lingkungan tumbuh seperti iklim, cahaya, dan ketinggian tempat dapat menyebabkan adanya plastisitas fenotipik (Santamaria 2003; Sultan 2003). Kemampuan plastisitas fenotipik gulma E. crus-galli telah dilaporkan oleh banyak peneliti. Menurut Yamasue (2003) gulma E. crus-galli memiliki plastisitas fenotipik yang luas pada karakter tinggi tanaman yang tergantung dari tanaman tetangganya dan membentuk daun dan malai yang lebih tinggi daripada kanopi tanaman padi.

E. crus-galli dapat memiliki kemampuan “mimikri” yaitu menyerupai tanaman padi pada tahapan pertumbuhan tertentu dalam siklus hidupnya. Sifat ini muncul melalui seleksi alami akibat tindakan penyiangan pada sistem pertanian yang intensif (Barret 1983; Baki et al. 2003). Kemampuan mimikri membantu gulma E. crus-galli

untuk menghindar dari penyiangan manual (Yamasue 2003).

Fisiologi E. crus-galli

Gulma E. crus-galli termasuk tumbuhan C4. Sebagai gulma C4, E. crus-galli menunjukkan tingkat fotosíntesis bersih yang lebih tinggi, efisiensi penggunaan air dan nitrogen yang lebih baik dibandingkan dengan


(12)

tanaman/tumbuhan C3 (Ampong-Nyarko dan De Datta 1991). Gulma dengan siklus C4 mempunyai kapasitas tinggi dalam berproduksi dan berkompetisi serta mempunyai kebutuhan air yang lebih rendah. Pada kondisi ketersediaan air yang rendah, gulma ini secara umum mampu bersaing terhadap tanaman padi (Baki dan Azmi 2003).

Alelopati Gulma E. crus-galli

Tumbuh-tumbuhan juga dapat bersaing antar sesamanya secara interaksi biokimiawi, yaitu salah satu tumbuhan mengeluarkan senyawa beracun ke lingkungan sekitarnya dan dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada tumbuhan yang ada di dekatnya. Interaksi biokimiawi antara gulma dan pertanamanan antara lain menyebabkan gangguan perkecambahan biji, kecambah jadi abnormal, pertumbuhan memanjang akar terhambat, perubahan susunan sel-sel akar dan lain sebagainya. Beberapa species gulma menyaingi pertanaman dengan mengeluarkan senyawa beracun dari akarnya (root exudates atau lechates) atau dari pembusukan bagian vegetatifnya. Persaingan yang timbul akibat dikeluarkannya zat yang meracuni tumbuhan lain disebut alelopati dan zat kimianya disebut alelopat.

Menurut Sastroutomo (1990) senyawa alelopati dapat mempengaruhi aktivitas tumbuhan antara lain menghambat penyerapan hara oleh akar tanaman, pembelahan sel-sel akar, pertumbuhan tanaman, aktivitas fotosintesis, mempengaruhi respirasi, sitesis protein, menurunkan daya permeabilitas membran sel dan menghambat aktivitas enzim. Senyawa-senyawa kimia yang mempunyai potensi alelopati dapat ditemukan di semua jaringan tumbuhan termasuk daun, batang, akar, rizoma, umbi, bunga, buah, dan biji. Senyawa-senyawa alelopati itu dapat dilepaskan dari jaringan-jaringan tumbuhan dalam berbagai cara termasuk melalui penguapan, eksudat akar, pencucian dan pembusukan organ tumbuhan. Beberapa gulma yang berpotensi alelopati baik yang masih hidup atau yang sudah mati sama-sama dapat melepaskan senyawa alelopati melalui organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah. Menurut Putnam dan Weston (1986) gulma E. crus-galli berpotensi mengeluarkan senyawa alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman.


(13)

Selama perkecambahan dan awal pertumbuhan, E. crus-galli menekan pertumbuhan beberapa tanaman pertanian termasuk padi dan E. crus-galli itu sendiri. Eksudat akar dari E. crus-galli muda menunjukkan efek alelopati dan menekan pemanjangan akar padi. Senyawa p-Hidroxymandelic acid merupakan

allelochemical yang dikeluarkan dari akar E. crus-galli muda yang dapat menekan kuat pertumbuhan tajuk dan pemanjangan akar padi (Yamamoto et al. 1999). Eksudat akar E. crus-galli menekan perkecambahan dan pertumbuhan tanaman padi, lettuce dan monochoria. Komponen yang berpotensi terlibat dalam aktivitas phytotoxic E. crus-galli telah teridentifikasi antara lain phenolic, long-chain fatty acids, loctones, diethyl phthalate, acenaphthene, phthalic acids, benzoic acid dan

decane. Penghambat pertumbuhan terbesar ditunjukkan oleh lactones, diikuti oleh

phenolic dan phthalic acid. Phytotoxins yang dikeluarkan akar E. crus-galli

memperlihatkan hambatan terhadap pertumbuhan tanaman indikator berdaun lebar, tetapi kurang efektif pada tanaman padi dan E. crus-galli itu sendiri (Xuan

et al. 2006).

Produksi senyawa alelopati sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, diantaranya : 1) kualitas, intensitas dan lamanya masa penyinaran cahaya dapat mempengaruhi produksi. Senyawa alelopati lebih banyak dihasilkan pada kondisi cahaya ultraviolet dan periode penyinaran yang panjang; 2) jumlah senyawa alelopati akan lebih banyak dihasilkan pada keadaan dengan kondisi yang kekurangan hara; 3) senyawa alelopati lebih banyak dihasilkan dalam keadaan yang mengalami gangguan kekeringan; 4) senyawa alelopati lebih banyak dihasilkan dalam keadaan dengan suhu yang lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu normal bagi pertumbuhannya; 5) penggunaan hormon seperti 2,4-D atau hidrasid maleat dapat meningkatkan senyawa alelopati (Rice 1974).

Kompetisi Padi dengan Gulma E. crus-galli

Gulma menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman melalui kompetisi dalam memperebutkan cahaya, hara, air, dan ruang tumbuh (Kropff dan van Laar 1993). Tingkat kehilangan hasil akibat kompetisi tergantung pada tingkat infestasi dan komposisi gulma. Apabila tanaman menguasai sarana tumbuh, maka


(14)

pertumbuhan gulma akan terhambat. Sebaliknya, apabila tanaman kurang vigor dan tidak dapat menguasai sarana tumbuh, maka gulma akan tumbuh dengan subur. Kompetisi tanaman dengan gulma tergantung pada beberapa faktor antara lain lingkungan, pertumbuhan tanaman, kepadatan tanaman, fase pertumbuhan tanaman, jenis gulma dan kepadatan gulma, fase pertumbuhan gulma, dan teknik budidaya yang dilakukan (De Datta 1981).

Gulma E. crus-galli merupakan kompetitor yang sangat kuat terhadap tanaman padi sehingga menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Chin 2003). Pertumbuhan tinggi tanaman padi menurun akibat kompetisi dengan gulma E. crus-galli (Perera et al. 1992; Sultana 2000). Trung et al. (1995) melaporkan bahwa pada pertanaman padi pindah tanam, kepadatan gulma E. crus-galli 5-10 gulma per m2 menyebabkan kehilangan hasil 7-13% dan kepadatan 15-35 gulma per m2 menyebabkan kehilangan hasil sebesar 23-27%. Islam et al. (2003) juga melaporkan bahwa ketika tanaman padi berkompetisi dengan 8 gulma

E. crus-galli per pot, tinggi tanaman padi menurun hingga 42.9%, indeks luas daun (ILD) menurun sekitar 92%, jumlah anakan per tanaman menurun sekitar 72.7%, jumlah malai per rumpun menurun hingga 88.5%, dan jumlah gabah per malai menurun hingga 63.8%.

Peubah-peubah Kompetisi

Terdapat dua jenis kompetisi yang biasa terjadi di alam yaitu kompetisi

intra spesifik dan interspesifik. Kompetisi intraspesifik adalah interaksi negatif yang terjadi pada tumbuhan dengan jenis yang sama. Kompetisi interspesifik

adalah interaksi negatif yang terjadi pada tumbuhan yang berbeda jenis atau disebut kompetisi antar jenis tumbuhan (Sastroutomo 1990). Menurut Eussen dan Zulfadli (1981) kompetisi total merupakan gabungan dari kompetisi dan pengaruh alelopati. Beberapa peubah kompetisi antara lain total hasil relatif (THR), koefisien pendesakan, penguasaan sarana tumbuh (PST), dan agresivitas.

Total Hasil Relatif (THR) merupakan salah satu model untuk mempelajari kompetisi antara tumbuhan dengan tumbuhan lainnya (De Wit 1960). THR adalah peubah yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya kompetisi pada pertanaman campuran yang diperoleh melalui pendekatan kompetisi dengan


(15)

percobaan replacement series atau seri penggantian yaitu pengaturan populasi relatif agar campurannya tetap satu (satu). Pengaturan populasi dimulai dengan menyusun suatu seri kerapatan monokultur tumbuhan pertama dengan populasi relatif satu, kemudian berangsur-angsur diganti sampai menjadi monokultur tumbuhan kedua dengan populasi relatif satu. Nilai THR dirumuskan :

THR = tII cII tI cI Y Y Y Y + Keterangan : YcI Y

= bobot kering tumbuhan 1 pada pertanaman campuran

tI Y

= bobot kering tumbuhan 1 pada pertanaman tunggal

cII Y

= bobot kering tumbuhan 2 pada pertanaman campuran

tII = bobot kering tumbuhan 2 pada pertanaman tunggal

Kelebihan pendekatan ini adalah bahwa terjadi kompetisi atau tidak dapat diketahui dari nilai THR yang diperoleh. Nilai THR < 1 menunjukkan pengaruh yang saling merugikan atau interaksi negatif diantara kedua tumbuhan atau menunjukkan adanya kejadian kompetisi. Nilai THR = 1 menunjukkan tidak ada kompetisi atau menunjukkan adanya pemakaian sarana tumbuh secara bersama-sama. Nilai THR = 1 dapat pula menunjukkan kejadian kompetisi jika salah satu tumbuhan lebih dominan menguasai sarana tumbuh yang ada. Nilai THR >1 menunjukkan kejadian penambahan sarana tumbuh yang tidak terukur, penggunaan sarana tumbuh yang berbeda dari masing-masing tumbuhan, kejadian simbiosis mutualisme atau interaksi positif diantara kedua tumbuhan, dan ketiadaan kompetisi.

Relative Crowding Coefficient (Koefisien Pendesakan). Koefisien Pendesakan (KP) dapat menunjukkan kemampuan kompetisi suatu tumbuhan terhadap tumbuhan lain (De Wit, 1960) yang dirumuskan sebagai berikut :

ij

c

=

Zi campuran Yi mono Yi Zj campuran Yi )) ( ) ( ( ) ( −


(16)

Keterangan : Cij Y

= koefisien pendesakan tumbuhan i terhadap tumbuhan j

i Y

(campuran) = hasil tumbuhan i pada pertanaman campuran

i Z

(monokultur) = hasil tumbuhan i pada pertanaman monokultur

i Z

= rasio densitas tumbuhan i pada pertanaman campuran

j = rasio densitas tumbuhan j pada pertanaman campuran

Nilai KP yang lebih besar menunjukkan kemampuan kompetisi suatu tanaman terhadap tanaman lain. Persamaan di atas berlaku pula sebaliknya, yaitu koefisien pendesakan tumbuhan II terhadap tumbuhan I. Perbandingan koefisien pendesakan antara kedua tumbuhan dapat menunjukkan tumbuhan yang lebih kompetitif. Nilai koefisien pendesakan lebih tinggi menunjukkan derajat kompetisi lebih besar.

Penguasaan Sarana Tumbuh (PST). Kompetisi antara gulma dan tanaman terjadi karena faktor tumbuh yang terbatas. Faktor yang dikompetisikan berupa air, hara, CO2, cahaya, dan ruang tumbuh, namun sulit bagi kita untuk menjelaskan faktor mana yang berperan dalam peristiwa kompetisi tersebut. Studi kompetisi dari salah satu faktor penunjang pertumbuhan (unsur kompetisi) secara terpisah sangat sulit dilakukan karena banyaknya faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan. De Wit (1960) memperkenalkan konsep penguasaan sarana tumbuh yang mencakup semua faktor yang mempengaruhi kompetisi dan merumuskan pertumbuhan tanaman dalam persamaan berikut :

Keterangan :

Y = hasil nyata

d = densitas tumbuhan Ymax

b = penguasaan sarana/faktor tumbuh (space occupation) atau kemampuan memanfaatkan sarana tumbuh


(17)

Persamaan garis tersebut masih bersifat hiperbolik. Resiprokal dari persamaan tersebut akan memberikan persamaan linear sebagai berikut :

=

Angka Penguasaan Sarana Tumbuh ditetapkan dengan rumus :

PST = (Y/Ymax) x 100%

PST menyatakan besarnya penguasaan sarana tumbuh dan dinyatakan dalam (%). Nilai PST yang lebih besar menunjukkan dominasi suatu tumbuhan terhadap tumbuhan lain.

Agresivitas merupakan salah satu pendekatan untuk mengukur peningkatan hasil relatif dari suatu spesies dalam sistem tumpangsari yang dikembangkan oleh McGilchrist dan disimbolkan dengan A (Whiley 1979). Konsep ini didasarkan atas percobaan rangkaian substitusi dan untuk suatu kombinasi substitusi. Nilai agresivitas dirumuskan sebagai berikut :

Nilai agresivitas sama dengan nol berarti semua spesies dalam pertanaman campuran mempunyai daya kompetisi yang sama besarnya. Pada sisi lain, nilai agresivitas mempunyai angka yang sama, tetapi spesies yang dominan memiliki nilai positif sedangkan spesies yang didominasi memiliki nilai negatif.

Marka Molekuler Simple Sequence Repeat (SSR)

Penanda morfologi telah digunakan untuk mengatasi masalah duplikasi plasma nutfah di lapang, penentuan jarak genetik dan hubungan kekerabatan antar plasma nutfah/klon/kultivar (Vuylsteke et al. 1988; Ortiz et al. 1993; Swennen

et al. 1995; Soejono et al. 2001). Namun, penanda morfologi sering menunjukkan hasil yang bias karena pengaruh lingkungan terhadap penampakan fenotipik. Untuk memperkuat informasi data penanda morfologi, diperlukan dukungan penanda molekuler yang memperjelas perbedaan dan hubungan kekerabatan antar


(18)

aksesi berdasarkan karakteristik molekulernya (DNA) (Jarret dan Gawel 1995). Penanda molekuler didasarkan pada polimorfisme yang dideteksi pada tingkat makromolekul dalam sel. Pengertian ini akhir-akhir ini banyak digunakan untuk mendiskripsikan hanya pada DNA. Penanda DNA ini dapat tidak terbatas dalam jumlah dan dapat memberikan kegunaan yang besar untuk beragam tujuan yang relevan terhadap perbaikan tanaman.

Penanda DNA yang memiliki tingkat akurasi cukup tinggi salah satunya adalah simple sequen repeat (SSR) atau short tandem repeat (STR) atau mikrosatelit. SSR memiliki keunggulan mudah dan murah (pada tahapan setelah ditemukan primer spesifiknya), keberadaannya melimpah dan tersebar di seluruh genom tanaman, dan dengan sampel dalam jumlah sedikit, mencukupi untuk amplifikasi dengan PCR (Ribaut et al 2002). Salah satu teknik yang memanfaatkan mikrosatelit adalah Sequence-tagged microsatellite sites (STMSs) atau Sequence-tagged sites (STS). Keuntungan STMSs adalah menggunakan sepasang primer yang sudah didisain khusus untuk tiap spesies (Sulyo 1997), sehingga menyebabkan penanda ini bersifat ko-dominan (Hiu LB 1998; Sulyo 1997). Penanda STMS memungkinkan mendapat derajat polimorfisme dan variasi yang tinggi karena sekuen DNA mikrosatelit mengandung urutan basa berulang-ulang secara bergandengan dengan panjang berbeda-beda pada genom. Bentuk berulang yang umum adalah dinukleotida sederhana. Frekuensinya yang tinggi dalam genom lebih mudah dideteksi dibandingkan mikrosatelit dengan ulangan tri- dan tetranukleotida (Hiu Liu 1998). Mikrosatelit tri- dan tetranukleotida lebih sedikit dalam genom dan tingkat keragamannya lebih rendah dari dinukleotida (Scotti et al. 2002). Variasi terjadi dalam ukuran panjang mikrosatelit pada lokus-lokus individu yang spesifik, sehingga penanda ini polialelik dan ko-dominan secara alami, yang menjadikan penanda ini mempunyai manfaat lebih banyak (Puspendra et al. 2002) dan memiliki tingkat reprodusibilitas tinggi dibandingkan penanda RAPD dan RFLP (McGregor et al. 2000; Powell et al. 1996).

Studi yang membandingkan reprodusibilitas dari beberapa penanda DNA pada tanaman kedelai menyimpulkan bahwa SSR mempunyai nilai informasi yang tinggi (tingkat polimorfik, indeks keanekaragaman genetik, tingkat


(19)

heterosigositas yang diharapkan) dan spesifik lokus, sehingga menjadi penanda pilihan untuk beragam tujuan termasuk pemuliaan tanaman (Powell et al. 1996). Pada studi kesamaan dan keanekaragaman genetik anggur, dari data molekuler yang membandingkan tingkat efektivitas SSR dan AFLP, menunjukkan bahwa SSR sama efektifnya dengan AFLP (Fossati et al. 2001).


(20)

Echinochloa crus-galli

YANG BERASAL DARI TIGA LOKASI

ABSTRAK

E. crus-galli merupakan gulma utama pada pertanaman padi sawah yang dapat menurunkan hasil panen. Tujuan penelitian adalah mempelajari pengaruh aksesi dan populasi gulma E. crus-galli terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca, Kebun Percobaan IPB, Cikabayan, Bogor mulai bulan Mei 2006 hingga September 2006. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terbagi dengan tiga ulangan. Aksesi gulma

E. crus-galli sebagai petak utama terdiri atas aksesi Karawang, Cikampek, dan Sukabumi. Populasi gulma E. crus-galli sebagai anak petak terdiri atas lima taraf yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4 gulma E. crus-galli/pot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesi gulma E. crus-galli berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, dan kepadatan malai. Daya kompetisi gulma E. crus-galli aksesi Cikampek lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Sukabumi dan Karawang. Populasi E. crus-galli berpengaruh terhadap terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi. Populasi 4 gulma E. crus-galli/pot menurunkan berat kering gabah total sebesar 48.0% dan berat kering gabah isi sebesar 46.2%. Interaksi antara aksesi dan populasi gulma E. crus-galli tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi.


(21)

GROWTH AND PRODUCTION OF RICE PLANT ON SOME

POPULATION DENSITY OF

Echinochloa crus-galli

WEED

FROM THREE LOCATIONS

ABSTRACT

Echinochloa crus-galli is a major weed in paddy field that reduces rice yield. The objective of the research was to study the effect of E. crus-galli accession and population on rice growth and production. The research was conducted in a green house using split plot design with three replications. The main plot consisted of three E. crus-galli accession i.e. Karawang, Cikampek, and Sukabumi accession.

E. crus-galli population as sub plot consisted of 0, 1, 2, 3, and 4 E. crus-galli per pot. The results showed that accession of E. crus-galli affected plant height, number of tiller, and panicle density. The competitiveness against rice of E. crus-galli accession Cikampek was higher than that of Sukabumi dan Karawang accession. Population E. crus-galli affected rice growth and production. Population of 4 E. crus-galli/pot decreased spikelets weigth about 48.0% and filled spikelets weigth about 46.2%. Interaction of accession and population of E. crus-galli did not affected rice growth and production.


(22)

Pendahuluan

Kebutuhan beras semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Pada tahun 2030 nanti, kebutuhan beras Indonesia diperkirakan mencapai 41.7 juta ton (BPS 2008). Upaya peningkatan produksi beras pada masa yang akan datang dihadapkan pada berbagai kendala seperti alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, degradasi kesuburan lahan, dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Salah satu OPT yang dapat menurunkan produksi tanaman padi adalah gulma. Penurunan produksi yang diakibatkan oleh gulma pada beberapa situasi secara ekonomis lebih penting daripada penurunan produksi yang disebabkan oleh insekta, cendawan, atau organisme pengganggu lainnya (Savary et al. 1997; 2000). Selain penurunan produksi, adanya gulma di pertanaman padi sawah juga menyebabkan biaya pengendalian yang besar sehingga menurunkan pendapatan petani (Tungate et.al. 2007).

Salah satu spesies gulma dominan pada lahan sawah adalah Echinochloa crus-galli (Ali dan Sankaran, 1984). Kehadiran gulma E. crus-galli di pertanaman padi sawah dapat menurunkan produksi tanaman padi hingga 50-59% (Sultana 2000; Chin 2001), 57-95% (Ahn dan Chung 2000), dan bahkan dapat menurunkan produksi gabah hingga 97% (Islam dan Karim 2003). Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh adanya kompetisi antara gulma dan tanaman padi terhadap sumberdaya yang tersedia (Zimdahl 2004). Gulma ini juga dapat menjadi tumbuhan inang bagi Leptocorisa oratorius, Acrocylindricum oryzae,

Corticium sasakii, dan Rhynchosporium oryzae (Tjitrosemito 1994).

Gulma E. crus-galli memiliki daya adaptasi yang luas pada kondisi lingkungan yang beragam (Galinato et al. 1999). Karena kemampuan adaptasi yang luas, maka gulma E. crus-galli dari tiap aksesi diduga memiliki daya kompetisi yang berbeda pula. Perubahan praktek agronomis pada berbagai lokasi dari waktu ke waktu seperti penggunaan herbisida baru, inovasi cara pengolahan tanah, penggunaan kultivar baru dapat mempengaruhi distribusi gulma dan kemampuan kompetisi gulma terhadap tanaman budidaya (Froud-Williams et al. 1984; Clement et al. 1996). Perbedaan karakter daya kompetisi dari aksesi gulma


(23)

Indonesia. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh aksesi gulma E. crus-galli pada beberapa tingkat populasi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi sawah.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan dalam pot di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor, pada bulan Mei 2006 sampai dengan September 2006. Bahan yang digunakan antara lain benih padi varietas IR-64, pupuk urea, SP-36, dan KCl, dan biji E. crus-galli. Peralatan yang digunakan antara lain pot berukuran 30 cm - 40 cm (diameter - tinggi), tray, neraca, oven, dan leaf area meter.

Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design) dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Percobaan terdiri atas dua faktor, yaitu aksesi E. crus-galli sebagai petak utama yang terdiri atas tiga aksesi (aksesi Karawang, Cikampek, dan Sukabumi) dan populasi E. crus-galli sebagai anak petak yang terdiri atas lima taraf, yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4 bibit gulma E. crus-galli

per pot. Satuan percobaan terdiri atas 3 pot sehingga total terdapat 135 pot percobaan.

Media tanam yang digunakan adalah tanah latosol dramaga yang berasal dari lahan sawah kebun percobaan IPB Sawah Baru. Sebelum digunakan sebagai media, tanah dikeringanginkan terlebih dahulu, kemudian dihaluskan dan diayak. Tiap pot diisi media tanah sebanyak 10 kg/pot. Media tanah dalam pot selanjutnya dilumpurkan dan digenangi dengan air hinga ketinggian 5 cm dari permukaan media. Benih padi varietas IR-64 dan biji E. crus-galli disemai sebelum penanaman di pot dengan menggunakan bak semai. Bibit padi dipindahtanam ke dalam pot pada saat berumur 21 hari setelah semai (HSS). Bibit padi ditanam tepat di tengah-tengah pot. Bibit gulma E. crus-galli yang berumur 14 HSS ditanam pada jarak 7 cm dari tanaman padi dengan jumlah bibit sesuai dengan perlakuan.

Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi pemupukan, penyiraman, pengendalian hama penyakit. Pupuk SP-36 dan KCl dengan dosis masing-masing sebesar 0.5 g/pot diberikan seluruhnya pada saat tanam, sedangkan pupuk urea dengan dosis 1.5 g/pot diberikan 3 kali yaitu 1/3 dosis pada saat tanam, 1/3 dosis


(24)

pada 4 minggu setelah tanam (MST), dan 1/3 dosis pada 8 MST. Penyiraman dilakukan 2 hari sekali sampai ketinggian genangan sekitar 5 cm. Penyiangan gulma selain E. crus-galli dilakukan secara manual. Pengendalian penyakit tungro dilakukan dengan cara membuang bagian tanaman yang terserang. Panen padi dan gulma E. crus-galli dilakukan bersamaan pada 13 MST.

Peubah yang diamati antara lain tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot biomassa tajuk dan akar, panjang dan lebar daun bendera, luas daun bendera, kadar nitrogen daun bendera, jumlah anakan produktif, panjang malai, kepadatan malai, dan produksi gabah. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam (uji F) dengan uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata 5%.

Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan Tanaman Padi

Aksesi gulma E. crus-galli berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi pada saat 7 MST (Tabel 1). Tinggi tanaman padi yang ditanam dengan gulma E. crus-galli aksesi Sukabumi lebih pendek dibandingkan dengan yang ditanam dengan gulma aksesi lainnya.

Tabel 1. Pengaruh aksesi gulma terhadap tinggi tanaman padi

Aksesi Tinggi Tanaman Padi (cm)

2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

Karawang 39.8 54.6 67.0 80.9 89.4 92.4a 95.1

Cikampek 38.7 53.0 66.4 80.2 87.6 91.4a 93.7

Sukabumi 40.2 52.5 67.7 80.4 86.6 89.4b 92.0

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Populasi dan interaksi antara aksesi dengan populasi E. crus-galli tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi. Hasil berbeda dilaporkan oleh Islam et al. (2003) bahwa keberadaan gulma E. crus-galli mulai populasi 2 per pot menurunkan tinggi tanaman padi. Perera et al. (1992), Sultana (2000) dan Purba (2007) juga melaporkan adanya penurunan tinggi tanaman padi akibat kompetisi


(25)

Aksesi E. crus-galli berpengaruh terhadap jumlah anakan tanaman padi pada 2 MST; populasi E. crus-galli berpengaruh pada 2 MST dan 5-8 MST; sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan tanaman padi (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh aksesi dan populasi E. crus-galli terhadap jumlah anakan tanaman padi

Perlakuan Jumlah Anakan

2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

Aksesi

Karawang 2.2ab 3.9 6.5 9.4 12.0 13.9 14.2

Cikampek 2.1b 3.3 6.0 8.0 9.8 11.0 11.7

Sukabumi 2.6a 4.8 7.8 11.1 13.5 14.8 14.5

Populasi E. crus-galli/pot

0 2.2b 4.0 6.2 8.9b 12.3b 15.0ab 17.3a

1 2.6a 4.5 7.8 11.4a 14.7a 17.1a 16.9a

2 2.3ab 3.9 7.1 9.6ab 11.7bc 12.6bc 12.2b

3 2.3ab 4.0 6.6 9.2b 10.8bc 11.7c 11.5b

4 2.1b 3.6 6.2 8.3b 9.4c 9.8c 9.6b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Aksesi Cikampek pada 2 MST menyebabkan jumlah anakan padi lebih rendah dibandingkan dengan aksesi Sukabumi dan Karawang, namun pada pengamatan 3-8 MST tidak menunjukkan perbedaan. Populasi 2 gulma E. crus-galli/pot pada pengamatan 8 MST nyata menurunkan jumlah anakan padi dibandingkan terhadap kontrol. Populasi 4 gulma/pot menyebabkan jumlah anakan padi menurun hingga 53.8% dibandingkan terhadap kontrol. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Sutrisno dan Turanto (1981) bahwa tanaman padi yang ditanam dengan E. crus-galli pada saat tanam menunjukkan jumlah anakan total yang lebih rendah dibandingkan dengan padi yang ditanam tanpa

E. crus-galli.

Jumlah daun tanaman padi dipengaruhi oleh populasi E. crus-galli, namun tidak dipengaruhi oleh aksesi E. crus-galli maupun interaksi antara aksesidengan populasi E. crus-galli (Tabel 3). Populasi E. crus-galli mulai 2 gulma per pot nyata menurunkan jumlah daun tanaman padi dibandingkan terhadap kontrol. Jumlah daun semakin menurun dengan semakin tingginya populasi gulma E.


(26)

crus-galli. Namun demikian, populasi 4 gulma E. crus-galli menghasilkan jumlah daun yang sebanding dengan populasi 3 gulma E. crus-galli mulai pengamatan 9 MST sampai dengan 13 MST.

Tabel 3. Jumlah daun tanaman padi pada perlakuan populasi E. crus-galli Populasi E.

crus-galli/pot

Jumlah Daun Tanaman Padi (helai)

9 MST 10 MST 11 MST 12 MST 13 MST

0 78.3a 76.0a 60.4a 56.2a 53.9a

1 79.1a 71.7ab 50.0ab 45.3ab 43.7ab

2 66.1a 59.3b 42.7b 38.2b 36.6b

3 49.9b 42.9c 29.2c 25.4c 24.6c

4 43.1b 35.6c 23.0c 19.7c 18.9c

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Jumlah daun tanaman padi terkait dengan jumlah anakan per rumpun. Semakin tinggi populasi E. crus-galli jumlah anakan tanaman padi semakin menurun dan akhirnya menurunkan jumlah daun per rumpun. Penurunan jumlah anakan dan jumlah daun tanaman padi diduga disebabkan oleh adanya kompetisi antar spesies antara tanaman padi dengan gulma E. crus-galli dalam memperebutkan hara. Kekurangan hara P dapat menyebabkan penurunan jumlah anakan tanaman padi. Selain itu, penurunan jumlah anakan dan jumlah daun diduga disebabkan oleh adanya zat alelopati yang dikeluarkan oleh gulma E. crus-galli. Yamamoto et al. (1999) dan Xuan et al. (2006) menyatakan bahwa eksudat akar E. crus-galli yaitu senyawa hidroxymandelic acid dan lactones,

menyebabkan penurunan perkecambahan dan pertumbuhan tanaman padi.

Bobot kering tajuk tanaman padi pada 2 bulan setelah tanam (BST) dan 3 BST dipengaruhi oleh populasi E. crus-galli. Aksesi E. crus-galli maupun interaksi antara aksesi dengan populasi E. crus-galli tidak berpengaruh terhadap bobot kering tajuk tanaman padi (Tabel 4). Gulma E. crus-galli pada pengamatan 3 BST menurunkan bobot kering tajuk tanaman padi mulai populasi 2 gulma/pot dengan penurunan sebesar 30.9% dibandingkan terhadap kontrol. Eussen dan Zulfadli (1981) menyatakan bahwa produksi bahan kering tanaman menurun akibat ditanam bersama dengan gulma pada seluruh siklus pertumbuhannya. Penurunan bobot kering tersebut diduga terjadi akibat adanya kompetisi antara


(27)

tanaman padi dengan gulma E. crus-galli dalam memperebutkan unsur hara serta adanya alelopati gulma E. crus-galli.

Bobot kering akar tanaman padi pada 3 BST dipengaruhi oleh populasi

E. crus-galli, namun tidak dipengaruhi oleh aksesi E. crus-galli maupun interaksi antara aksesi E. crus-galli dengan populasi. Pada pengamatan 3 BST terlihat bahwa semakin tinggi populasi E. crus-galli maka bobot kering akar tanaman padi semakin rendah (Tabel 4).

Tabel 4. Bobot kering tajuk dan akar padi pada perlakuan populasi E. crus-galli

Populasi E. crus-galli/pot

Bobot Kering Tajuk Bobot Kering Akar

1 BST 2 BST 3 BST 1 BST 2 BST 3 BST

--- (g/pot) ---

0 1.4 16.6ab 23.0a 1.2 11.4 5.0a

1 1.5 19.2a 19.0ab 1.9 10.7 5.0a

2 1.4 13.4b 15.9bc 0.7 7.8 3.9ab

3 1.4 15.2ab 12.6cd 1.3 7.6 3.2bc

4 1.3 12.1b 10.2d 1.0 5.6 2.2c

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Penurunan bobot kering akar tanaman padi dibandingkan dengan kontrol terlihat mulai populasi 3 gulma E. crus-galli per pot. Populasi 4 gulma E. crus-galli per pot menghasilkan bobot kering akar yang paling rendah yaitu sebesar 2.2 g/pot. Penurunan bobot kering akar akibat kompetisi dengan gulma E. crus-galli

juga dilaporkan oleh Ranasinghe dan Crabtree (1999) bahwa efek kompetisi dari

E. crus-galli pada tanaman padi yaitu menurunkan bobot kering tanaman padi dan penurunan meningkat dengan peningkatan kepadatan E. crus-galli. Zimdahl (2004) menyatakan bahwa kompetisi antara dua tanaman terjadi karena memperebutkan sumberdaya dalam ruang tumbuh yang sama. Penurunan bobot kering akar ini diduga disebabkan oleh adanya hambatan dalam perkembangan akar tanaman padi akibat kompetisi dalam mendapatkan ruang tumbuh.

Panjang, lebar dan luas daun bendera tanaman padi dipengaruhi oleh populasi E. crus-galli, tetapi tidak dipengaruhi oleh aksesi maupun interaksi antara aksesi dan populasi E. crus-galli (Tabel 5). Populasi mulai 1 gulma E. crus-galli per pot menurunkan panjang, lebar, dan luas daun bendera


(28)

dibandingkan dengan kontrol. Semakin tinggi populasi E. crus-galli panjang daun dan luas daun bendera semakin rendah.

Daun merupakan bagian tanaman yang dipengaruhi oleh unsur nitrogen dan salah satu fungsi dari unsur nitrogen adalah meningkatkan ukuran daun. Menurut Takeda (1961) nitrogen yang diserap tanaman dapat meningkatkan luas daun. Panjang dan lebar daun bendera adalah dimensi dari luas daun bendera. Tanaman padi yang ditanam dengan E. crus-galli mengalami kompetisi dalam mendapatkan unsur nitrogen, sehingga panjang, lebar dan luas daun bendera lebih rendah dibandingkan dengan yang ditanam tanpa gulma E. crus-galli.

Tabel 5. Panjang, lebar dan luas daun bendera padi dan kadar N daun bendera padi pada perlakuan populasi E. crus-galli

Populasi E. crus-galli/pot

Daun Bendera Panjang Daun

(cm)

Lebar Daun (cm)

Luas Daun (cm2

Kadar N

) (%)

0 30.6a 1.3a 381.2a 1.5a

1 26.7b 1.2b 245.8b 1.1b

2 27.6ab 1.1b 204.7bc 1.1b

3 28.6ab 1.1b 127.5bc 1.0b

4 25.5b 1.1b 115.5c 0.9b

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Kadar nitrogen pada daun bendera tanaman padi dipengaruhi oleh populasi gulma E. crus-galli, tetapi tidak dipengaruhi oleh aksesi gulma E. crus-galli

maupun interaksi antara aksesi dengan populasi gulma E. crus-galli. Populasi gulma E. crus-galli sebanyak 1 per pot menyebabkan penurunan kadar nitrogen pada daun bendera tanaman padi sebesar 26.7% dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa gulma E. crus-galli berkompetisi dengan tanaman padi dalam mendapatkan hara nitrogen. Arai dalam Sutrisno dan Turanto (1981) menyatakan bahwa gulma E. crus-galli dapat menyerap pupuk nitrogen 60 sampai 80 kali lebih banyak daripada tanaman padi.


(29)

Komponen Produksi Padi

Populasi gulma E. crus-galli berpengaruh terhadap jumlah anakan produktif tanaman padi, namun aksesi E. crus-galli dan interaksi antara aksesi dengan populasi E. crus-galli tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan produktif tanaman padi (Tabel 6). Jumlah anakan produktif tanaman padi mulai menurun pada perlakuan populasi 2 gulma E. crus-galli per pot. Semakin tinggi populasi gulma E. crus-galli, maka jumlah anakan produktif semakin menurun. Tanaman padi yang ditanam dengan populasi 4 gulma E. crus-galli per pot memiliki jumlah anakan produktif yang terendah yaitu 7.6 anakan.

Tabel 6. Jumlah anakan produktif, panjang malai dan kepadatan malai padi pada perlakuan aksesi dan populasi E.crus-galli

Perlakuan Jumlah Anakan

Produktif

Panjang Malai (cm)

Kepadatan Malai (butir/cm) Aksesi

Karawang 12.6 21.9 4.2a

Cikampek 11.1 21.6 2.8b

Sukabumi 12.6 21.7 4.2a

Populasi E. crus-galli per Pot

0 17.0a 21.8 4.8a

1 15.3a 21.8 4.7a

2 12.0b 22.0 3.8ab

3 8.6c 21.4 3.0bc

4 7.6c 21.7 2.4c

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Perlakuan aksesi E. crus-galli dan populasinya berpengaruh terhadap kepadatan malai, namun tidak berpengaruh terhadap panjang malai padi. Interaksi antara aksesi E. crus-galli dengan populasi tidak berpengaruh terhadap panjang malai padi dan kepadatan malai. Panjang malai rata-rata dari perlakuan aksesi

E. crus-galli dan populasi E. crus-galli berturut-turut adalah 21.73 cm dan 21.74 cm (Tabel 6). Hasil penelitian Tobing dan Chozin (1980) juga menunjukkan bahwa rata-rata panjang malai pada perlakuan penyiangan gulma dan kontrol tidak berpengaruh secara nyata.

Kepadatan malai menurun dengan meningkatnya populasi E. crus-galli. Padi yang ditanam dengan 4 E. crus-galli per pot menghasilkan rata-rata


(30)

kepadatan malai terendah yaitu 2.4 butir/cm. Penurunan kepadatan malai pada populasi 4 E. crus-galli per pot sebesar 50.1% dibandingkan terhadap kontrol (Tabel 6). Gulma E. crus-galli aksesi Cikampek memiliki daya kompetisi yang lebih besar dalam menurunkan kepadatan malai yang ditunjukkan dengan kepadatan malai yang lebih rendah dibandingkan dengan aksesi Karawang dan Sukabumi (Tabel 6). Daya kompetisi yang lebih besar ini diduga sebagai akibat praktek budidaya tanaman padi sawah di lokasi Cikampek yang dinamis dibandingkan dengan aksesi Sukabumi dan aksesi Karawang. Menurut Froud-Williams et al. (1984) dan Clement et al. (1996) praktik agronomi tanaman yang tidak statis dalam waktu dan ruang seperti penggunaan herbisida kelas baru, kultivar, inovasi pengolahan tanah, penggunaan irigasi, dapat mempengaruhi distribusi geografis gulma dan daya kompetisi gulma dalam menurunkan produksi.

Produksi Gabah

Populasi gulma E. crus-galli berpengaruh terhadap bobot gabah total, bobot gabah isi, bobot gabah hampa, dan persentase gabah hampa. Aksesi gulma tidak berpengaruh terhadap bobot gabah total, bobot gabah isi, bobot gabah hampa, dan persentase gabah hampa (Tabel 7).

Tabel 7. Pengaruh aksesidan populasi E. crus-galli terhadap bobot gabah dan persentase kehampaan

Perlakuan Bobot Gabah (g/pot) Persen Hampa

(% w/w)

Isi Hampa Total

Aksesi

Karawang 16.1 1.4 17.5 7.8

Cikampek 12.1 1.0 13.1 8.0

Sukabumi 17.2 1.4 18.6 7.1

Populasi per Pot

0 18.4a 2.0a 20.4a 10.1a

1 18.8a 1.8a 20.7a 9.8ab

2 15.9ab 1.1b 17.0ab 6.8abc

3 12.6ab 0.7b 13.3b 5.3c

4 9.9b 0.7b 10.6b 6.2bc

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.


(31)

Populasi gulma E. crus-galli sebanyak 4 gulma per pot menurunkan bobot gabah isi sebesar 46.2% dan menurunkan bobot gabah total sebesar 48.0% dibandingkan terhadap kontrol. Namun demikian, persen kehampaan pada populasi gulma E. crus-galli sebanyak 4 gulma per pot menurun dibandingkan dengan tanpa gulma. Bobot gabah isi yang rendah diduga disebabkan oleh adanya kompetisi dalam mendapatkan unsur nitrogen. Menurut De Data (1981) salah satu fungsi nitrogen pada tanaman padi adalah meningkatkan jumlah gabah isi.

Kesimpulan

Perbedaan aksesi gulma E. crus-galli menyebabkan perbedaan pertumbuhan dan produksi tanaman padi khususnya pada peubah tinggi tanaman pada 7 MST, jumlah anakan pada 2 MST, dan kepadatan malai pada saat panen. Gulma E. crus-galli aksesi Cikampek menunjukkan daya kompetisi yang lebih kuat dibandingkan aksesi Karawang dan Sukabumi berdasarkan penurunan jumlah anakan pada 2 MST dan penurunan kepadatan malai pada saat panen.

Kepadatan polulasi gulma E. crus-galli per pot menentukan tingkat pertumbuhan dan produksi tanaman padi sawah. Semakin tinggi populasi gulma

E. crus-galli pengaruh kompetisi terhadap tanaman padi semakin besar. Populasi gulma E. crus-galli sebanyak 4 per pot menurunkan bobot gabah sebesar 48.0% dan menurunkan bobot gabah isi sebesar 46.2%.

Penelitian lanjutan tentang keragaman morfologi dan genetik aksesi gulma

E. crus-galli dari berbagai lokasi di Jawa Barat penting dilakukan untuk mengetahui apakah keragaman aksesi gulma disebabkan oleh perbedaan geografis ataukah disebabkan oleh perbedaan genetik.


(32)

KERAGAMAN MORFOLOGI DAN GENETIK

AKSESI GULMA

Echinochloa crus-galli

(L.) Beauv.

ASAL JAWA BARAT

ABSTRAK

Gulma E. crus-galli merupakan gulma dominan pada tanaman padi sawah yang menunjukkan variasi morfologi dan genetik. Penelitian bertujuan untuk menganalisis keragaman morfologi dan genetik aksesi gulma E. crus-galli dari berbagai lokasi di Jawa Barat. Sebanyak 16 aksesi E. crus-galli dikoleksi dari tujuh kabupaten di Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesi gulma E. crus-galli asal Jawa Barat menunjukkan adanya keragaman morfologi dan genetik. Aksesi gulma E. crus-galli menunjukkan keragaman morfologi baik pada habitat asal maupun pada kondisi rumah kaca. Berdasarkan marka molekuler SSR, aksesi gulma E. crus-galli dapat dikelompokkan menjadi empat sub grup, dimana hampir seluruh aksesi asal Jawa Barat mengelompok ke dalam sub grup A dan C. Pusat keragaman aksesi gulma E. crus-galli diduga berasal dari Subang, Karawang, dan Pangalengan. Implikasi penelitian adalah bahwa tindakan agronomi terpadu harus dilakukan agar penyebaran aksesi gulma dapat dikendalikan.


(33)

MORPHOLOGY AND GENETICAL DIVERSITY OF

Echinochloa crus-galli

(l.) Beauv. WEED ACCESSION

FROM WEST JAVA

ABSTRACT

E. crus-galli is a major weed in the paddy field in Indonesia. This weed shows morphology and genetical variations. The objective of the research was to analyze the morphology and genetic diversity of E. crus-galli accession from some locations in West Java, Indonesia. Genetic diversity of E. crus-galli

accession analyze by using SSR markers. The E. crus-galli was collected from 7 district in West Java, Indonesia. The results showed that genetic variations were observed among districts and within district. E. crus-galli accession showed morphology diversity both in origin habitat and in greenhouse. Based on SSR marker, accessions could be grouped into four sub groups, where sub group A and C consisted the most accessions from West Java. It is likely that center of diversity of E. crus-galli is located in Subang, Karawang and Pangalengan. This experiment implies that integrated agronomic treatments should be conducted in order to control distribution of E. crus-galli in West Java.


(34)

Pendahuluan

Echinochloa crus-galli (L.) Beauv. merupakan gulma semusim yang memiliki kemampuan adaptasi ekologi yang luas dan daya kompetisi yang kuat sehingga menjadi spesies gulma penting dan dominan pada tanaman padi sawah (Altop et al. 2011). Gulma E. crus-galli (L.) Beauv. dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi tanaman padi sawah (Ali dan Sankaran 1984; Ali 1985; Gealy et al. 2003; Haefele et al. 2004) dengan penurunan hasil produksi padi mencapai 46-59% (Sultana 2000; Chin 2001; Guntoro et al. 2009), 57-95% (Ahn dan Chung 2000), dan bahkan mencapai 97% (Islam dan Karim 2003).

Gulma E. crus-galli (L.) Beauv. memiliki distribusi yang luas, mampu beradaptasi pada berbagai ekologi, toleran terhadap kondisi iklim kering dan kondisi anaerob, memiliki kemampuan mimikri, perkecambahan dan pertumbuhan yang cepat, produksi biji yang banyak, sehingga spesies ini menjadi gulma di lebih dari 60 negara (Barret 1983; Altop et al. 2011). Aoki dan Yamaguchi (2008) juga melaporkan bahwa gulma E. crus-galli memperlihatkan keragaman yang sangat tinggi dalam morfologi dan kemampuan beradaptasi pada kondisi lingkungan yang beragam. Tasrif et al. (2004) melaporkan adanya keragaman karakter tinggi gulma, panjang malai, luas daun, jumlah biji per malai, panjang bulu, dan karakter fenotipik lainnya dari E. crus-galli yang disebabkan oleh perbedaan geografi lokasi aksesi. Menurut Altop et al. (2011), perubahan morfologi seperti perubahan susunan kanopi akan mempengaruhi kemampuan kompetisi spesies. Oleh karena itu, informasi tingkat keragaman morfologi dalam spesies sangat penting untuk menentukan strategi pengendalian yang efektif.

Identifikasi menggunakan karakter morfologi merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan informasi mengenai keragaman genetik. Penanda morfologi telah digunakan untuk mengatasi masalah duplikasi plasma nutfah di lapang, penentuan jarak genetik dan hubungan kekerabatan antar plasma nutfah/klon/kultivar (Vuylsteke et al. 1988; Ortiz et al. 1993; Swennen et al. 1995; Soejono et al. 2001). Untuk memperkuat informasi data penanda morfologi, diperlukan dukungan penanda molekuler (Jarret dan Gawel 1995). Penggunaan teknik molekuler untuk mengetahui keragaman genetik aksesi sangat penting, selain untuk mengetahui kemampuan gulma tersebut dalam


(35)

beradaptasi dengan lingkungannya, juga untuk merencanakan strategi pengendalian yang tepat (Nissen et al. 1995).

Biologi molekuler saat ini memainkan peranan penting dalam studi ekologi. Dengan berkembangnya teknik molekuler, marka molekuler yang lebih beragam telah tersedia untuk menginvestigasi genetik ekologi gulma (Moodie

et al. 1997; Ash et al. 2003; Altop et al. 2011). Metode berdasarkan polymerase chain reaction (PCR), seperti random amplified polymorphic DNA (RAPD) (Williams et al. 1990) dan inter simple sequence repeats (ISSR) (Zietkewicz et al. 1994) telah banyak diaplikasikan untuk survey keanekaragaman populasi genetik. Simple sequence repeat (SSR) atau short tandem repeat (STR) atau mikrosatelit diyakini memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penanda molekuler yang lain. SSR digunakan sebagai penanda karena relatif lebih mudah dan murah, keberadaannya tersebar di seluruh genom tanaman, dan sampel yang diperlukan lebih sedikit (Ribaut et al. 2002).

Studi variasi genetik gulma E. crus-galli di Indonesia dengan menggunakan marka molekuler RAPD telah dilakukan oleh Tasrief et al. (2004). Namun demikian, informasi tentang keragaman morfologi dan genetik antar aksesi gulma E. crus-galli dari berbagai lokasi masih sangat terbatas. Penelitian bertujuan untuk menganalisis keragaman morfologi dan genetik aksesi gulma

E. crus-galli dari berbagai lokasi di Jawa Barat.

Metode Penelitian Evaluasi Keragaman Morfologi Aksesi E. crus-galli

Evaluasi dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan IPB Darmaga, Bogor yang berada pada ketinggian 250 m dpl. Sebanyak 16 aksesi E. crus-galli

diperoleh dengan cara mengumpulkan biji-biji gulma yang telah matang dari berbagai habitat sawah di Jawa Barat yaitu Indramayu, Subang, Cikampek, Karawang, Sukabumi, Cianjur, dan Pangalengan-Bandung. Koleksi biji gulma dilakukan pada bulan Maret – April 2007. Lokasi pengambilan contoh aksesi ditetapkan berdasarkan ketinggian tempat (Tabel 8). Selanjutnya, biji disemai pada bak semai dan pada saat 14 hari setelah semai bibit gulma dipindahtanam ke dalam pot plastik berukuran 30-40 (diameter-tinggi pot) dengan media tanah latosol


(36)

Darmaga sebanyak 9 kg/pot. Setiap aksesi ditanam pada tiga pot. Pemeliharaan gulma di dalam pot meliputi pemupukan dengan dosis pupuk 0.5 g N/pot, 0.5 g P2O5/pot, dan 0.5 g K2O/pot, dan penyiraman dilakukan tiap pagi hari.

Tabel 8. Deskripsi asal-usul 16 aksesi gulma E. crus-galli di Jawa Barat

Kode

Aksesi Lokasi

Aksesi

Ketinggian Tempat (m dpl)

Habitat Koordinat Lokasi

S E

K3 Karawang 37 Sawah 06˚ 17' 89" 107˚ 20' 101" K5 Karawang 37 Sawah 06˚ 17' 96" 107˚ 20' 178" K6 Karawang 37 Sawah 06˚ 17' 62" 107˚ 20' 118" K7 Karawang 37 Sawah 06˚ 17' 53" 107˚ 20' 150" K9 Karawang 27 Sawah 06˚ 17' 45" 107˚ 20' 70" C4 Cikampek 40 Sawah 06˚ 23' 138" 107˚ 26' 33" S3 Subang 29 Sawah 06˚ 22' 79" 107˚ 35' 126"

I1 Indramayu 16 Sawah 06˚ 22' 07" 108˚ 18' 01" I2 Indramayu 16 Sawah 06˚ 22' 48" 108˚ 18' 23" I5 Indramayu 16 Sawah 06˚ 22' 63" 108˚ 18' 12" Ta1 Cianjur 261 Sawah 06° 48' 797" 107˚ 14' 161" Tc1 Sukabumi 749 Sawah 06° 54' 381" 106˚ 58' 865" Td2 Cianjur 1031 Sawah 06˚ 59' 778" 107˚ 08' 295" Td3 Cianjur 1029 Sawah 06˚ 59' 778" 107˚ 08' 292" Te3 Pangalengan 1242 Sawah 07° 09' 145" 107˚ 33' 308" Tf3 Pangalengan 1473 Sawah 07° 07' 892" 107˚ 33' 371"

Karakter yang diamati pada habitat asal antara lain tinggi gulma, jumlah anakan, jumlah daun, panjang dan lebar daun, serta panjang malai. Karakter yang diamati pada kondisi rumah kaca antara lain karakter vegetatif meliput i tinggi gulma, jumlah anakan, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, sudut daun, dan diameter batang. Karakter panjang daun, lebar daun, dan sudut daun diamati dari daun ketiga dari atas yaitu daun yang pertama kali membuka sempurna. Karakter vegetatif diamati pada 10 minggu setelah tanam.

Karakter generatif yang diamati antara lain umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah biji per malai, bobot 100 butir biji, panjang biji, diamater biji, panjang daun bendera, lebar daun bendera, luas daun bendera. Karakter generatif diamati pada saat panen, kecuali karakter umur berbunga yang diamati pada saat gulma berbunga. Data morfologi dianalisis dengan cluster analysis dan analisis komponen utama.


(37)

Evaluasi Keragaman Genetik Aksesi E. crus-galli

Evaluasi keragaman genetik 16 aksesi gulma E. crus-galli asal Jawa Barat dilakukan dengan menggunakan marka molekuler Simple SequenceRepeat (SSR). Primer SSR yang digunakan untuk evaluasi keragaman genetik adalah primer yang dikembangkan oleh Danquah et al. (2002), yaitu EC01, EC02, EC03, EC04, dan EC05 (Tabel 9).

Tabel 9. Primer Simple Sequence Repeat (SSR) dan sekuen nukleotida yang digunakan dalam analisis genetik aksesi E. crus-galli

Lokus GenBank

Accession no. Sekuen 5’ to 3’ Repeat Motif

EC1 AY050530 F:ATTACTGGTCAGACGGAAAC (CA)6

R:GCAGTTATCTCCGTGGGCAC

EC2 AY050531 F:GGCTCCAAACAAGGCAATTC (CA)

5 R:TTCAGGGAATTTAGTACAAG

EC3 AY050532 F:GAAAGGAAATGGGTTGGCTG (CA)8(TA)3(CA)

12 R:CTTCGCACCATGATCTTCTC

EC4 AY050533 F:AGTAGAAGGCTGCAAGAAGG (GA)4AGAG(GA)

3 R:TCTCAGCCCACTTTGTATAG

EC5 AY050534 F:CAGAGCCTTCAATCATGGTG (CA)

6 R:TGCTTCAAGTTCTAGGAGAC

Bahan-bahan yang digunakan meliputi : buffer ekstraksi (10% CTAB; 0.5 M EDTA (pH 8.0); 1 M Tris-HCl (pH 8.0), 5 M NaCl; 1% β-mercaptoethanol), buffer purifikasi/buffer CIA (Chloroform : Isoamil Alcohol = 24:1 v/v), 2-propanol, TE (1 M Tris-HCl (pH 8.0); 0.5 M EDTA (pH 8.0)), agarose, ethidium bromida 1%, Tris-HCL (pH 9.0), MgCl2, dNTPs (1:1:1:1), 1 unit enzim taq DNA polymerase, dan air bebas ion. Peralatan yang digunakan antara lain tabung mikro steril (1.5 ml), vorteks, waterbath, sentrifuse, microtube steril, vacum, bak elektroforesis, lampu UV, mesin PCR, dan Kamera Polaroid.

Isolasi DNA dilaksanakan di laboratorium Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Isolasi DNA dilakukan berdasarkan metode Doyle & Doyle (1987) yang telah dimodifikasi oleh Sobir (2000), metode Gawel & Jarret (1991) yang telah dimodifikasi oleh Crouch

et al. (1998a), metode Orozco-Castillo (1995) yang telah dimodifikasi oleh Toruan-Mathius dan Hutabarat (1997) dan metode Nguyen (2002) yang dimodifikasi. Daun muda segar (baru terbuka atau masih menggulung) gulma E.


(38)

crus-galli dipotong dan diambil sekitar 0.2-0.5 g, kemudian ditumbuk dalam tabung mikro steril (1.5 ml) berisi 0.6-0.8 ml buffer ekstraksi (10% CTAB; 0.5 M EDTA (pH 8.0); 1 M Tris-HCl (pH 8.0), 5 M NaCl; 1% β-mercaptoethanol), lalu ditutup rapat, kemudian divorteks agar homogen. Campuran selanjutnya diinkubasi di dalam waterbath pada suhu 65o

Pemurnian DNA dilakukan dengan penambahan 0.6-0.7 ml buffer purifikasi/buffer CIA (Chloroform : Isoamil Alcohol = 24:1 v/v), dan pemisahan fraksi di dalam campuran dilakukan dengan sentrifugasi 13000 rpm selama 10 menit. Fase cair (supernatan) yang diperoleh dipindahkan ke microtube steril yang baru, lalu ditambahkan 500-600 µl 2-propanol dingin, diinkubasi 4

C selama 15 menit, lalu dikocok.

o

Pengujian kuantitas dan kualitas DNA dilakukan dengan menggunakan metode Doyle & Doyle (1987) dengan beberapa modifikasi (Sobir 2000). DNA hasil ekstraksi sebanyak 5 µ l ditambah dengan loading dye sebanyak 1 µ l dimasukkan pada sumur agarose gel 1.2% pada bak elektroforesis selama 45 menit pada tegangan 110 volt. Hasil elektroforesis diwarnai dengan ethidium bromida 1% dan dibilas dengan aquades, selanjutnya pita DNA hasil dilihat pada lampu UV.

C selama 30 menit, lalu disentrifuse 13 000 rpm selama 15 menit. Fase cair dibuang dan fase padat/pelet dikeringkan menggunakan vacum selama 5 menit. Selanjutnya pelet dilarutkan dalam 100 µ l TE (1 M Tris-HCl (pH 8.0); 0.5 M EDTA (pH 8.0); Aquades).

Reaksi PCR meliputi 50 ng DNA template, primer forward dan reverse

masing-masing 1.2 µM, 10 mM Tris-HCL (pH 9.0), 2.5 mM MgCl2, 0.2 mM atau 200 µM dNTPs (1:1:1:1) gabungan dari dATP, dCTP, dGTP dan dTTP, 1 unit enzim taq DNA polymerase, dan ditambahkan air bebas ion hingga volume total 25 µ l dimasukkan ke dalam tabung PCR dan diamplifikasi pada mesin ABI Prism 270.

PCR reaksi diatur denaturasi selama 4 menit pada 94oC, diikuti amplifikasi sebanyak 30 siklus yaitu 1 menit denaturasi pada 94oC, annealing selama 1 menit sesuai suhu masing-masing primer dan elongasi selama 45 detik pada 72oC dan diakhiri 4 oC. Hasil amplifikasi dilihat dengan menggunakan gel agarose 1.4% dalam elektroforesis yang telah diberi pewarna ethidium bromide 0.5 µg/ml.


(39)

DNA hasil amplifikasi dicampur dengan loading dye dengan perbandingan DNA :

loading dye adalah 10: 2, selanjutnya dielektroforesis (di-running) pada 50 V selama 3 jam. Gel hasil elektroforesis direndam dalam 1% ethidium bromide selama ± 30 menit, kemudian divisualisasikan menggunakan transimulator UV (312 nm) dan didokumentasikan dengan Kamera Polaroid. Profil pita DNA hasil amplifikasi pada laju elektroforesis yang sama untuk setiap tanaman diskor nilai nol (0) jika tidak ada pita dan satu (1) jika ada pita pada posisi yang sama individu yang dibandingkan. Kesamaan genetik antar dua individu dihitung menurut koefisien Dice (Rohlf 1998). Analisis pengelompokan dilakukan berdasarkan kesamaan genetik dan disajikan dalam bentuk dendrogram. Data SSR dianalisis dengan menggunakan program NTSYS-pc versi 2.0.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Lingkungan Habitat Asal Aksesi Gulma E. crus-galli

Kondisi iklim berbeda antar habitat asal gulma E. crus-galli. Kondisi iklim dapat mempengaruhi distribusi aksesi gulma E. crus-galli. Suhu udara rata-rata bervariasi antara 19 - 34 °C, curah hujan tahunan rata-rata bervariasi antara 1000 - 4000 mm/tahun, dan kelembaban udara bervariasi antara 70-91%. Jenis tanah habitat asal aksesi gulma relatif sama antar lokasi yaitu aluvial. Ketinggian tempat berbeda mulai 16 m dpl hingga 1473 m dpl (Tabel 10).

Tabel 10. Karakteristik lingkungan dari habitat asal aksesi gulma E. crus-galli dan lokasi penanaman gulma E. crus-galli

Aksesi

Suhu Udara

(°C)

Curah Hujan Tahunan (mm/tahun)

Kelembaban Udara

(%)

Jenis Tanah

Indramayu 25-34 1430 70-80 Aluvial

Subang 30-33 1600-1900 72-91 Aluvial

Karawang 24-28 1100-3200 80 Aluvial

Cikampek 24-33 1000-2000 87 Aluvial

Cianjur 23-30 1000-4000 85-89 Aluvial

Sukabumi 20-30 3000-4000 85-89 Aluvial

Bandung 19-24 1500-4000 78 Aluvial


(40)

Keragaman Morfologi Aksesi Gulma E. crus-galli di Habitat Asal

Aksesi gulma E. crus-galli di habitat asal menunjukkan keragaman morfologi antar aksesi. Karakter jumlah daun memiliki keragaman tertinggi yaitu sebesar 68.5%, diikuti oleh karakter jumlah anakan dengan koefisien keragaman sebesar 66.5%. Karakter yang memiliki keragaman terendah yaitu karakter tinggi tanaman yaitu sebesar 8.3% (Tabel 11).

Tabel 11. Karakter morfologi aksesi gulma E. crus-galli di habitat asal dari berbagai lokasi di Jawa Barat

Aksesi TG JA JD PD LD PM

K3 149.4 5 51 32.0 2.2 22.5

K5 139.3 5 39 21.6 1.5 20.1

K6 140.2 3 23 27.8 1.3 16.5

K7 139.0 10 66 25.9 1.5 20.8

K9 141.4 1 11 19.2 1.0 21.2

C4 128.1 7 48 16.4 1.0 14.7

S3 141.3 9 84 27.4 1.3 18.1

I1 155.0 2 14 15.5 1.0 19.4

I2 144.5 3 30 25.6 1.3 15.1

I5 146.3 4 22 21.4 1.1 15.1

Ta1 139.4 4 24 11.5 1.0 11.1

Tc1 138.5 3 10 19.7 1.4 14.1

Td2 118.3 2 23 24.5 1.4 15.9

Td3 117.7 3 20 17.4 1.1 13.1

Te3 147.5 2 26 10.7 1.0 16.2

Tf3 117.3 1 8 20.8 1.5 13.3

Rata-rata 137.7±11.5 4.0±2.7 31.2±21.4 21.1±6.0 1.3±0.3 16.7±3.3

KK 8.3 66.5 68.5 28.2 24.4 19.8

Keterangan : TG = tinggi gulma (cm), JA = jumlah anakan/rumpun, JD = jumlah daun (helai/rumpun), PD = panjang daun (cm), LD = lebar daun (cm), PM = panjang malai, KK = koefisien keragaman

Hasil pengelompokan aksesi gulma E. crus-galli berdasarkan karakter morfologi yang diamati di habitat asal terbentuk 5 kelompok dengan matrix correlation sebesar 0.826 pada koefisien kemiripan sebesar 0.78. Kelompok A terdiri atas delapan aksesi yaitu K3, K5, I5, K6, I2, Td2, K7, dan S3. Kelompok B terdiri atas tiga aksesi yaitu K9, I1, dan Te3. Kelompok C terdiri atas dua


(41)

aksesi yaitu Tc1 dan Tf3. Kelompok D terdiri atas satu aksesi yaitu Td3. Kelompok E terdiri atas dua aksesi yaitu C4 dan Ta1 (Gambar 3).

Gambar 3. Hubungan kekerabatan aksesi gulma E. crus-galli dari berbagai lokasi di Jawa Barat berdasarkan karakter morfologi di habitat asal

Analisis komponen utama dilakukan terhadap karakter morfologi di habitat asal gulma. Hasil analisis menunjukkan bahwa 80.2% keragaman data dapat dijelaskan oleh 3 komponen utama dengan masing-masing komponen utama I, II, dan III berturut-turut 32.1%. 26.8%, dan 21.3% (Tabel 12).

Tabel 12. Nilai eigenvalue berdasarkan karakter morfologi di habitat asal

PC1 PC2 PC3

Eigenvalue 0.554 0.462 0.368

Proporsi 0.321 0.268 0.213

Kumulatif 0.321 0.589 0.802

Karakter morfologi pembeda pada komponen utama I adalah lebar daun sedang dengan nilai komponen utama sebesar 0.523. Karakter pembeda pada komponen utama II adalah jumlah anakan sedikit dengan nilai komponen utama sebesar 0.617. Karakter pembeda pada komponen utama III adalah panjang malai yang panjang dengan nilai komponen utama sebesar 0.585 (Tabel 13).

Coefficient

0.56 0.67 0.78 0.89 1.00

K3 K5 I5 K6 I2 Td2 K7 S3 K9 I1 Te3 Tc1 Tf3 Td3 C4 Ta1

A

B C D E


(42)

Tabel 13. Nilai komponen utama berdasarkan karakter morfologi pada habitat asal aksesi gulma E. crus-galli

Karakter morfologi Nilai Komponen Utama

1 2 3

Tinggi Tanaman Tinggi 0.000 0.000 0.000

Tinggi Tanaman Sedang 0.000 0.000 0.000

Tinggi Tanaman Pendek 0.000 0.000 0.000

Jumlah Anakan Sedikit -0.312 0.617 -0.200

Jumlah Anakan Sedang 0.404 -0.391 0.282

Jumlah Anakan Banyak -0.092 -0.226 -0.082

Jumlah Daun Sedikit 0.000 0.000 0.000

Jumlah Daun Sedang -0.216 0.198 0.278

Jumlah Daun Banyak 0.216 -0.198 -0.278

Panjang Daun Pendek 0.000 0.000 0.000

Panjang Daun Sedang -0.000 0.000 -0.000

Panjang Daun Panjang -0.000 0.000 -0.000

Lebar Daun Sempit -0.000 0.000 -0.000

Lebar Daun Sedang 0.523 0.339 -0.223

Lebar Daun Lebar -0.523 -0.339 0.223

Ukuran Malai Pendek 0.041 0.235 0.523

Ukuran Malai Sedang 0.190 -0.007 0.062

Ukuran Malai Panjang -0.232 -0.228 -0.585

Analisis komponen utama menghasilkan 5 kelompok aksesi gulma E. crus-galli berdasarkan data morfologi di habitat asal yaitu kelompok A (K3, K5, I5, K6, I2, Td2, K7, dan S3), kelompok B (K9, I1, dan Te3), kelompok C (Tc1 dan Tf3), kelompok D (Td3) dan kelompok E (C4 dan Ta1) (Gambar 4).

Keterangan : 1=K3, 2=K5, 3=K6, 4=K7, 5=K9, 6=C4, 7=S3, 8=I1, 9=I2, 10=I5, 11=Ta1, 12=Tc1, 13=Td2, 14=Td3, 15=Te3, dan 16=Tf

Gambar 4. Pengelompokan aksesi gulma E. crus-galli berdasarkan analisis komponen utama

1,5 1,0 0,5 0,0 - 0,5 - 1,0 0,5 0,0 - 0,5 - 1,0

First Component

S e co n d C o m p o n e n t 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 C D B A E


(1)

146

maupun GKG menunjukkan produksi yang paling rendah dibandingkan dengan varietas lainnya.

Varietas Fatmawati mengalami penurunan jumlah anakan produktif yang lebih rendah dibandingkan dengan varietas lainnya pada tingkat populasi gulma yang sama, sedangkan panjang malai, kepadatan malai, dan persentase hampa tidak dipengaruhi oleh populasi gulma. Berdasarkan peubah komponen hasil ini, varietas Fatmawati merupakan varietas yang memiliki kemampuan kompetisi yang kuat terhadap gulma E. crus-galli, namun memiliki persentase kehampaan yang tiga kali lebih besar dibandingkan dengan varietas lainnya pada kondisi tanpa gulma (Gambar 42), sehingga produksi GKP dan GKG Fatmawati lebih rendah dibanding Inpari. Varietas Inpari 6 JT menunjukkan produksi GKP dan GKG tertinggi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tiap varietas padi sawah memiliki tanggap yang berbeda terhadap kepadatan populasi gulma E. crus-galli. Varietas yang memiliki postur tegak dengan tinggi tanaman tinggi, dan ukuran daun yang luas, seperti varietas Fatmawati relatif lebih kuat dalam berkompetisi dengan gulma E. crus-galli. Sebaliknya, varietas hibrida menunjukkan varietas yang sensitif terhadap gulma E. crus-galli.

Fisiologi Kompetisi Padi-Gulma

Kompetisi antara tanaman padi dan gulma E. crus-galli berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman padi dan proses fisiologi gulma itu sendiri. Penurunan pertumbuhan dan produksi yang terjadi pada tanaman padi merupakan akibat dari hambatan proses fisiologi yang terjadi pada tanaman padi. Proses-proses fisiologi yang terjadi pada tanaman padi dapat dikuantifikasi melalui peubah-peubah proses fisiologi, seperti net assimilation rate (NAR), relative growth rate (RGR) dan crop growth rate (CGR), dan leaf area ratio (LAR).

Kompetisi antara tanaman padi dengan gulma terjadi baik di bawah permukaan tanah maupun di atas permukaan tanah. Kompetisi di bawah permukakan tanah ditandai dengan adanya penurunan panjang akar dan bobot akar, serta perbedaan kandungan hara tajuk dan serapan hara pada tanaman padi. Penurunan panjang akar berbeda antar varietas tanaman padi dan berbeda antar


(2)

tingkat populasi gulma. Penurunan panjang akar ini menyebabkan serapan hara tanaman padi terganggu. Efisiensi serapan hara menunjukkan banyaknya bahan kering yang diproduksi oleh tanaman setiap satuan hara yang diserap. Varietas Inpari 6 JT menunjukkan kandungan hara P yang rendah tetapi menunjukkan efisiensi serapan hara P yang paling tinggi diantara varietas yang diuji, sedangkan varietas Fatmawati menunjukkan kandungan P yang tinggi, tetapi menunjukkan efisiensi serapan hara P yang paling rendah.

Kompetisi di atas permukaan tanah terjadi dalam memperebutkan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Proses fotosintesis pada tanaman padi terganggu oleh naungan daun gulma E. crus-galli. Secara umum, semua varietas padi yang dicobakan mengalami penurunan tinggi tanaman, jumlah anakan, dan jumlah daun. Akibatnya, ILD tanaman padi menurun.

Produksi berat kering biomass dipengaruhi oleh indeks luas daun (Weng et al. 1982). Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Ciherang dengan ILD yang paling rendah menunjukkan berat kering biomass total yang paling rendah, sedangkan varietas Fatmawati dan Inpari 6 JT memiliki ILD yang tinggi menunjukkan bobot kering biomass total yang paling tinggi. ILD yang tinggi menentukan kapasitas fotosintesis yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan oleh leaf area ratio varietas Fatmawati yang lebih rendah atau lebih efisien dalam produksi bahan kering. Menurut Mia et al. (2011), ILD yang tinggi menyebabkan kapasitas fotosintesis lebih baik, sehingga produksi bahan kering meningkat. Chen et al. (1991) menyatakan bahwa produksi bahan kering berkorelasi positif terhadap hasil gabah. Penurunan ILD secara langsung akan mempengaruhi laju pertumbuhan relatif (RGR) dan laju pertumbuhan tanaman (CGR).

Untuk menghasilkan produksi yang tinggi, maka tanaman padi harus mengalokasikan hasil asimilatnya dengan proporsi yang lebih banyak ke arah pembentukan gabah. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan alokasi asimilat pada tiap varietas akibat persaingan dengan gulma E. crus-galli yang ditunjukkan dengan harvest indeks (HI). Semakin tinggi tingkat populasi gulma E. crus-galli, maka semakin rendah proporsi hasil asimilat yang ditranslokasikan ke bagian biji.


(3)

148

Harvest indeks (HI) berkorelasi dengan produksi gabah (Cui-Jing et al. 2000). Varietas Fatmawati dan Ciherang memiliki HI yang lebih rendah dibandingkan dengan varietas Inpari 6 JT dan hibrida SL 8 SHS. Hal ini berarti bahwa proporsi hasil asilmilat yang ditranslokasikan ke gabah pada varietas Fatmawati dan Ciherang lebih rendah. Proporsi asimilat dari source ke sink (gabah) yang rendah pada varietas Fatmawati, menyebabkan persen kehampaan meningkat sehingga produksi gabah menurun, meskipun bobot 1000 butir tinggi. Pada varietas Ciherang, rendahnya proporsi hasil asimilat yang ditranslokasikan ke gabah menyebabkan bobot 1000 butir rendah, sehingga produksi juga rendah.

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa gulma E. crus-galli yang tersebar di beberapa lokasi di Jawa Barat perlu mendapat perhatian yang serius, terutama dalam upaya penyelamatan produksi padi nasional. Wilayah Provinsi Jawa Barat merupakan penyumbang terbesar produksi padi nasional dengan varietas padi yang paling luas adalah varietas Ciherang mencapai 318.225 hektar tertanam (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat 2011). Infestasi gulma pada tanaman padi varietas Ciherang perlu diwaspadai agar kehilangan hasil dapat diselamatkan. Program penanaman varietas hibrida di seluruh Indonesia juga perlu kehati-hatian khususnya dalam menghadapi kehilangan hasil akibat infestasi gulma E. crus-galli. Pengendalian gulma secara terpadu perlu dilakukan mulai dari upaya penyediaan benih bermutu yang bebas dari tercampurnya biji gulma E. crus-galli, pengendalian gulma pada tahap awal perkembangan, pencegahan penyebaran melalui hasil panen atau bagian-bagian tanaman yang lain, penggunaan varietas yang tahan terhadap kompetisi gulma, serta perakitan varietas yang tahan terhadap gulma E. crus-galli di lapangan.


(4)

Kesimpulan

1. Aksesi gulma E. crus-galli asal Jawa Barat menunjukkan keragaman morfologi dan genetik. Aksesi dari lokasi geografis yang berbeda menunjukkan perbedaan morfologi. Keragaman morfologi aksesi selain disebabkan oleh genetik juga disebabkan oleh perbedaan lingkungan tumbuh. Keragaman morfologi pada lingkungan tumbuh yang berbeda disebabkan adanya kemampuan plastisitas fenotipik dan kemampuan mimikri aksesi gulma E. crus-galli.

2. Analisis cluster berdasarkan karakter morfologi dari habitat asal menghasilkan 5 kelompok pada koefisien kemiripan sebesar 0.78, sedangkan berdasarkan karakter morfologi di rumah kaca (250 m dpl) membentuk 5 kelompok pada koefisien kemiripan 0.64 dengan anggota kelompok aksesi yang berbeda.

3. Analisis cluster berdasarkan penanda molekuler SSR menghasilkan 4 sub grup dengan koefisien kemiripan 0.86, dengan sebagian besar grup mengelompok pada zona geografi Jawa Barat bagian barat dan bagian utara (pantai utara jawa) dengan pusat keragaman adalah Subang, Karawang dan Pangalengan. Keragaman genetik ini dapat disebabkan oleh perpindahan material genetik melalui hasil panen atau melalui irigasi, isolasi jarak, dan kemungkinan adanya mutasi.

4. Aksesi gulma E. crus-galli asal Jawa Barat memiliki potensi alelopati berdasarkan penghambatan plumula dan radikula kecambah padi. Senyawa alelopati potensial yang teridentifikasi di dalam ekstrak akar aksesi E. crus-galli diantaranya adalah golongan senyawa phenolic, phtalic acid, decanoid acid, propanoid, quinon, dan sterol.

5. Berdasarkan potensi alelopatinya, analisis cluster menghasilkan enam kelompok aksesi pada koefisien kemiripan 0.72 yaitu aksesi dengan IR plumula rendah dan IR radikula rendah, IR plumula tinggi dan IR radikula sedang, IR plumula rendah dan IR radikula sedang, IR plumula sedang dan IR


(5)

150

radikula rendah, IR plumula tinggi dan IR radikula rendah, dan IR plumula tinggi dan IR radikula tinggi.

6. Aksesi gulma E. crus-galli menunjukkan perbedaan potensi dalam menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Kemampuan ini terkait dengan sifat morfologi dan potensi alelopati aksesi tersebut. Aksesi K6 asal Karawang menunjukkan kemampuan tertinggi dalam menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi, baik di rumah kaca maupun di lapangan. Kemampuan ini terkait dengan karakter morfologi aksesi K6 yaitu panjang daun panjang, lebar daun sempit, sudut daun kecil, dan umur berbunga lambat, serta memiliki IR plumula tinggi dan IR radikula sedang. 7. Gulma E. crus-galli memiliki derajat kompetisi yang lebih besar

dibandingkan dengan tanaman padi ketika populasi gulma lebih tinggi daripada populasi tanaman padi berdasarkan koefisien pendesakan. Berdasarkan nilai agresivitas, gulma E. crus-galli lebih kuat berkompetisi dibandingkan tanaman padi ketika populasi padi dan gulma seimbang ataupun populasi gulma lebih tinggi daripada populasi tanaman padi.

8. Derajat kompetisi gulma ditentukan oleh tingkat populasi gulma E. crus-galli di lapangan. Semakin tinggi populasi gulma E. crus-galli, maka pertumbuhan dan produksi tanaman padi semakin menurun.

9. Setiap varietas memiliki respon yang berbeda terhadap tingkat populasi gulma E. crus-galli. Varietas Fatmawati menunjukkan varietas yang lebih kompetitif sedangkan varietas hibrida SL 8 SHS menunjukkan varietas yang sensitif terhadap populasi gulma E. crus-galli.

10. Kompetisi antara tanaman padi dengan gulma E. crus-galli menghambat proses fisiologi tanaman padi yang ditunjukkan dengan penurunan peubah proses fisiologi, seperti ILD, NAR, RGR, CGR, dan peningkatan LAR.


(6)

Saran

1. Tindakan agronomi secara terpadu perlu dilakukan dalam pengendalian gulma E. crus-galli, termasuk dalam hal pemeliharaan jaringan irigasi untuk menekan penyebaran gulma dan perpindahan material genetik.

2. Penggunaan benih padi yang bebas dari benih gulma E.crus-galli sangat dianjurkan untk mencegah penyebaran antar aksesi gulma E. crus-galli. 3. Pengendalian gulma E. crus-galli dilakukan sedini mungkin pada tahapan

perkembangan tanaman padi untuk menghindari persaingan tanaman padi dengan gulma E. crus-galli.

4. Untuk menyelamatkan kehilangan 10% hasil produksi akibat gulma pada varietas Fatmawati penyiangan harus dilakukan ketika populasi gulma mencapai 3.2 gulma E. crus-galli/m2, sedangkan pada varietas hibrida SL 8 SHS ketika populasi 1.7 gulma E. crus-galli/m2

5. Sensitivitas terhadap gulma E. crus-galli perlu dimasukkan dalam program pemuliaan tanaman padi, termasuk kepekaannya terhadap alelopati gulma E. crus-galli.


Dokumen yang terkait

Studi karakteristik morfologi gulma Echinochloa crus-galli dari beberapa tipe ekologi

6 35 91

Studi Kompetisi Tanaman Padi pada Beberapa Kepadatan Populasi Gulma Echinochloa crus-galli dengan Pendekatan Parsial Aditif

0 7 6

Studi Kompetisi antara Gulma Echinochloa crus-galli dan Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dengan Pendekatan Replacement Series

0 5 5

Keragaman morfologi dan genetik serta derajat kompetisi beberapa aksesi gulma Echinochloa crus-galli (L.) Beauv. terhadap tanaman padi sawah

0 6 364

Evaluasi Toleransi Genotipe Padi Sawah (Oryza Sativa L ) Pada Persaingan Dengan Gulma Echinochloa Crus Galli

1 7 74

tudi Potensi Kompetisi beberapa Aksesi Gulma Jajagoan (Echinochloa crus-galli L.) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Hibrida.

0 2 76

PEMBERIAN BEBERAPA KONSENTRASI EKSTRAK KULIT JENGKOL (Pithecelobium jiringa (Jack) Prain ex King.) TERHADAP VIABILITAS DDAN VIGOR GULMA (Echinochloa crus-galli Beauv.) SERTA TANAMAN PADI (Oriza Sativa L.).

0 0 8

PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA GENOTIPE PADI (Oryza sativa L.) SEBAGAI RESPON TERHADAP ALLELOPATI GULMA JAJAGOAN (Echinochloa cruss-galli L. Beauv.).

0 0 6

PENGARUH ALLELOPATI BEBERAPA GENOTIPE PADI (Oryza sATiva L.) LOKAL SUMATERA BARAT TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL GULMA PADI- PADIAN (Echinochloa cruss-galli (L) Beauv.).

0 1 6

Toleransi Galur Harapan Padi Sawah (Oryza sativa L.) pada Persaingan dengan Gulma Echinochloa crus-galli Tolerance of Rice Promising Lines (Oryza sativa L.) in Competitivenes with Echinochloa crus-galli

0 0 8