Rancangan perlindungan habitat penyu hijau (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan)

(1)

1.1Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu karang dengan keanekaragaman tertinggi di dunia. Adanya arus termoklin dari Samudra Pasifik dan kekayaan biota laut menjadikan perairan Indonesia penting bagi pengembaraan 25 jenis mamalia laut dan enam jenis penyu laut.

Sepanjang hidup penyu laut melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Migrasi penyu laut merupakan fenomena alam untuk memenuhi kebutuhan biologis, seperti: mencari pakan, beristirahat, menemukan pasangan, kawin dan mendapatkan lokasi untuk bersarang. Pergerakan penyu secara periodik ini mampu menempuh jarak ribuan kilometer melintasi samudera dan melewati batas negara.

Penyu hijau adalah salah satu spesies penyu laut yang mampu bermigrasi melintasi 80 negara (IUCN, 2002). Sepanjang jalur migrasi baik di perairan tropis dan sub tropis penyu hijau mengalami eksploitasi kecuali di Zona Atlantic Oceans. Hasil penelitian Seminoff et al. (2003) pada 32 lokasi peneluran di seluruh dunia dilaporkan penurunan populai penyu hijau sebesar 48% hingga 67% selama tiga generasi. Dari hasil pendugaan populasi penyu hijau ini kemudian mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species. Berbeda halnya dengan wilayah Indonesia yang berada di Indian Ocean dan Southeast Asia, penurunan populasi penyu hijau rata-rata 80%. Red Data Book-IUCN menerangkan jika penurunan populasi suatu spesies mencapai 80% selama 10 tahun atau tiga generasi maka spesies diklasifikasikan pada status critically endangered species.

Penyebab penurunan populasi secara drastis dibenarkan oleh Sarjana Putra (1996), Troeng (1997) bahwa eksploitasi penyu hijau tertinggi di dunia berada di wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau.


(2)

Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa dekade berakibat pada kepunahan populasi (Montimer, 1995). Dibandingkan dengan kelima jenis penyu laut lainnya, penyu hijau paling intensif dieksploitasi karena daging dan telurnya digemari masyarakat pesisir. Permintaan penyu hijau yang tinggi disebabkan beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber pendapatan masyarakat, kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Demikian halnya dengan tata niaga penyu dengan biaya transaksi yang tinggi masih berlangsung sebagai black market di daerah Tanjung Benoa Bali.

Pemerintah Indonesia melalui instansi-instansi terkait, seperti: Departemen Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan beberapa peraturan dan kebijakan perlindungan jenis-jenis yang terancam punah, seperti: Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1994, Ratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978; Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999.

Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 telah melindungi penyu hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain di wilayah Indonesia. Sejak tahun 1999 eksploitasi penyu hijau termasuk kegiatan ilegal. Status endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES serta penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah. Keikutsertaan Indonesia di berbagai konvensi internasional (CITES tahun 1978, Ramsar tahun 1991 dan Keanekaragaman Hayati tahun 1994), pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan sebagai management outhority flora dan fauna. Pengelolaan penyu hijau didasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 sebagai kegiatan konservasi spesies Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan.


(3)

Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Ancaman kepunahan penyu hijau semakin nyata jika pemerintah tidak segera menghentikan eksploitasi penyu hijau. Untuk penyelamatan penyu hijau dari kepunahan diperlukan analisis kebijakan perlindungan dan perumusan alternatif perlindungan penyu hijau di masa datang.

Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan konservasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal PHKA baik yang berbentuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Balai Taman Nasional (BTN). Hasil analisis kebijakan diperlukan untuk pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam rangka perumusan alternatif perlindungan penyu hijau.

Alternatif perlindungan penyu hijau diarahkan pada perlindungan habitat. Perumusan alternatif perlindungan penyu hijau dipilih Kepulauan Derawan karena memiliki nesting area penyu hijau tertinggi di Indonesia, sebagai daerah pengembaraan penting dalam jalur/ lintasan migrasi dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia; dan terjadi penurunan populasi penyu hijau hebat hingga > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Wilayah Kepulauan Derawan akan dirancang Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pengelolaan penyu hijau di dalam KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman eksploitasi manusia. Jika beberapa habitat penyu hijau di seluruh wilayah Indonesia dijadikan KKL maka perlindungan penyu hijau secara meluas dan efektif dalam bentuk jejaring KKL.

1.2Perumusan Masalah

Secara garis besar permasalahan disajikan pada Gambar 1 tentang diagram kerangka pemikiran penelitian. Permasalahan yang menjadi pokok pembahasan ada tiga, yakni: regulasi, penyu hijau dan permasalahan kebijakan.


(4)

(5)

(1) Penyu hijau (a) Habitat

Penyu hijau memiliki kebiasaan bermigrasi dan mampu menempuh perjalanan jauh hingga ribuan kilometer. Habitat spesies migran ini dikelompokkan dalam tiga bagian, yakni: habitat feeding, breeding dan migratory (Donovan, 1995). Habitat penyu hijau sulit diketahui karena sebagian besar siklus hidup penyu berada di laut lepas, namun habitat feeding dan habitat breeding dapat dipetakan. Keduanya mudah dikenali karena terletak berdekatan, yakni: perairan laut dangkal dengan ekosistem lamun dan terumbu karang serta pantai berpasir putih dengan solum tebal dan tekstur kecil.

(b) Populasi

Di alam populasi penyu hijau mengalami pemangsaan predator, serangan penyakit, kerusakan habitat, kematian akibat penggunaan alat tangkap nelayan dan pencemaran laut, penangkapan induk, pemanenan telur. Eksploitasi terhadap populasi penyu berupa penangkapan induk dan pemanenan telur menempati proporsi tertinggi. Ancaman manusia memberi tekanan di sepanjang hidup penyu baik masih berwujud telur hingga penyu dewasa. Penurunan populasi penyu hijau tertinggi berada di wilayah Indonesia yakni mencapai > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau di dunia.

(2) Regulasi

(a) Tingkat internasional

Secara internasional penyu hijau telah digolongkan sebagai endangered species dalam Red Data Book (IUCN, 2003) yang didefinisikan sebagai suatu taxon yang beresiko punah dalam waktu dekat (Jones et al. 2000). Dalam CITES dikategorikan dalam Appendix I berarti spesies yang dilarang diperdagangkan secara internasional. Namun demikian regulasi internasional lainnya yakni: Convention on Biodiversity (CBD) dan UNCLOS mendukung dilakukan perlindungan habitat. Pada UNCLOS pasal 9 bab 5 dinyatakan bahwa negara wajib melindungi ekosistem yang langka dan mudah rusak yang


(6)

merupakan habitat spesies yang menurun populasinya, terancam dan hampir punah serta biota lainnya dari polusi. Pada CBD pasal 8 dinyatakan bahwa pembentukan sistem daerah perlindungan (protected area) atau daerah yang memerlukan konservasi keanekaragaman hayati. Pembukaan (Preamble) CBD menyebutkan bahwa persyaratan dasar bagi konservasi keanekaragaman hayati ialah konservasi in-situ ekosistem dan habitat alami, serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis yang dapat berkembang biak dalam lingkungan alaminya.

(b) Tingkat nasional

Pemerintah Indonesia telah melindungi penyu hijau melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Sejak tahun 1999 semua bentuk eksploitasi penyu hijau menjadi kegiatan ilegal. Dengan adanya Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999, pemerintah berkewajiban melaksanakan konservasi spesies penyu hijau.

(c) Tingkat kabupaten

Pada tingkat kabupaten, penyu hijau dijadikan obyek pajak. Kebijakan privatisasi pemanenan telur penyu memberi masukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa kabupaten. Pengusahaan telur penyu menimbulkan konflik kepentingan antar lembaga pemerintah.

(d) Tingkat lokal

Di tingkat lokal populasi penyu hijau berada pada situasi open access. Open access diterangkan sebagai situasi tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk membatasi siapa pun memanfaatkan sumberdaya (Ciriacy-Wantrup, 1968). Sebagai contoh penangkapan induk penyu di laut lepas maupun di pantai dengan leluasa dilakukan masyarakat lokal/ nelayan, demikian halnya dengan pengunduhan telur penyu yang dianggap sebagai benda temuan di pantai.

(3) Permasalahan kebijakan

(a) Kebijakan perlindungan yang tidak efektif

Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia melindungi penyu hijau melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Penyu hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain dilindungi di wilayah Indonesia. Status


(7)

endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES secara internasional dan penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah.

Setelah delapan tahun pemerintah mengimplementasikan perlindungan penyu hijau. Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Karenanya dilakukan analisis kebijakan terhadap pengelolaan penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah. Ancaman kepunahan semakin nyata jika pemerintah tidak segera merubah kebijakan perlindungan penyu hijau.

(b)Ancaman Kepunahan

Ancaman kepunahan penyu hijau sebagai akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya dapat dipandang dari beberapa aspek, antara lain:

a)Aspek ekologi

− Hilangnya kemampuan reproduksi populasi

Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan akan menghilangkan kemampuan reproduksi populasi. Hilangnya kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi daging penyu berasal dari penangkapan semua induk yang akan bertelur; (b) Jika terjadi pemanenan semua telur yang ada di sarang. Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies penyu hijau.

− Kerusakan habitat

Penyu hijau adalah jenis herbivora yang kelangsungan hidupnya tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan habitat feeding penyu hijau yang menyediakan berbagai jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti dinamit dan racun potasium yang dilakukan nelayan telah


(8)

menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi penyu hijau yang berakibat ancaman kepunahan.

b)Aspek sosial

Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi penyu hijau di laut sebagai sumberdaya open access. Situasi open access diindikasikan oleh tidak ada pengelolaan dan tidak ada kepemilikan yang membatasi pemanfaatan penyu hijau. Sebagai satwa buruan yang memiliki nilai ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga melampaui daya dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat. c)Aspek ekonomi

Penyu hijau merupakan spesies penyu laut yang paling intensif dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan, nilai ekonomis penyu hijau tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk ukuran induk). Tingginya eksploitasi penyu hijau yang diawali sebagai pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal. Dalam perkembangannya eksploitasi penyu berkembang sebagai perdagangan penyu hijau ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya transaksi yang tinggi.

d)Aspek budaya

Persepsi masyarakat tentang penyu hijau menyebabkan rendahnya dukungan terhadap upaya konservasi penyu hijau. Umumnya eksploitasi penyu hijau sulit dihentikan karena ada anggapan bahwa ketersediaan penyu hijau di alam masih berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan status spesies dilindungi. Pada kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber protein murah dan mudah didapatkan di daerah pantai. Mitos yang berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu telah menimbulkan peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus Pulau Bali pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black market) di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan bukti sulitnya menghentikan konsumsi daging penyu untuk kepentingan adat.


(9)

1.3Tujuan Penelitian

1) Melakukan analisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen PHKA.

2) Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh:

− Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan;

− Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik yang diarahkan pada penilaian tentang efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau, dan kondisi populasi penyu. Hasil analisis kebijakan perlindungan penyu hijau digunakan sebagai pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif perlindungan di masa datang.

Alternatif perlindungan penyu hijau yang menggunakan konsep berbeda dimana perlindungan diarahkan pada habitat penyu. Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh: Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan dan Arahan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

1.5Manfaat Penelitian

1) Sebagai pertimbangan pemerintah dalam mengupayakan konservasi penyu hijau di masa datang dan memberi informasi kepada pihak-pihak yang terkait.

2) Sebagai informasi dan referensi bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penyu hijau.

1.6 Novelty (Kebaruan)

1) Konsep perlindungan habitat

Untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan dilakukan perlindungan habitat. Perlindungan yang diarahkan pada habitat feeding dan breeding akan


(10)

memulihkan populasi penyu hijau dan mengurangi ancaman kepunahan. Perlindungan habitat bagi spesies langka dan terancam kepunahan dapat dibentuk Kawasan Konservasi Laut. Jika habitat-habitat penting penyu hijau di Indonesia dialokasikan sebagai KKL maka pengelolaan penyu hijau akan berupa jejaring (network) KKL yang mampu melindungi penyu hijau secara meluas dan efektif.

2) Proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) secara partisipatif Perencanaan KKL Kepulauan Derawan menggunakan Site Conservation Planning (The Nature Conservancy, 2003). Metode ini pernah digunakan di TN Lore Lindu dan TN Tesso Nilo yang keduanya berada di daratan. Didasari oleh kerangka 5-S (systems, stresses, sources, strategies, success) dilaksanakan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal/ pengguna sumberdaya alam. Proses diskusi yang terarah dengan prosedur sederhana dan alat peraga memudahkan pengumpulan data/ informasi. Melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan merupakan pendekatan bottom-up dimana masyarakat tidak ditempatkan sebagai obyek atau diabaikan harapan dan keinginannya. Proses perencanaan yang sekaligus pemasyarakatan ini mempermudah implementasi strategi konservasi karena dukungan/ sambutan masyarakat dimulai sejak tahap identifikasi permasalahan, menemukan prioritas penanganan masalah hingga memilih strategi konservasi yang dimengerti dan diterima masyarakat (legitimate).


(11)

1.1Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu karang dengan keanekaragaman tertinggi di dunia. Adanya arus termoklin dari Samudra Pasifik dan kekayaan biota laut menjadikan perairan Indonesia penting bagi pengembaraan 25 jenis mamalia laut dan enam jenis penyu laut.

Sepanjang hidup penyu laut melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Migrasi penyu laut merupakan fenomena alam untuk memenuhi kebutuhan biologis, seperti: mencari pakan, beristirahat, menemukan pasangan, kawin dan mendapatkan lokasi untuk bersarang. Pergerakan penyu secara periodik ini mampu menempuh jarak ribuan kilometer melintasi samudera dan melewati batas negara.

Penyu hijau adalah salah satu spesies penyu laut yang mampu bermigrasi melintasi 80 negara (IUCN, 2002). Sepanjang jalur migrasi baik di perairan tropis dan sub tropis penyu hijau mengalami eksploitasi kecuali di Zona Atlantic Oceans. Hasil penelitian Seminoff et al. (2003) pada 32 lokasi peneluran di seluruh dunia dilaporkan penurunan populai penyu hijau sebesar 48% hingga 67% selama tiga generasi. Dari hasil pendugaan populasi penyu hijau ini kemudian mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species. Berbeda halnya dengan wilayah Indonesia yang berada di Indian Ocean dan Southeast Asia, penurunan populasi penyu hijau rata-rata 80%. Red Data Book-IUCN menerangkan jika penurunan populasi suatu spesies mencapai 80% selama 10 tahun atau tiga generasi maka spesies diklasifikasikan pada status critically endangered species.

Penyebab penurunan populasi secara drastis dibenarkan oleh Sarjana Putra (1996), Troeng (1997) bahwa eksploitasi penyu hijau tertinggi di dunia berada di wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau.


(12)

Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa dekade berakibat pada kepunahan populasi (Montimer, 1995). Dibandingkan dengan kelima jenis penyu laut lainnya, penyu hijau paling intensif dieksploitasi karena daging dan telurnya digemari masyarakat pesisir. Permintaan penyu hijau yang tinggi disebabkan beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber pendapatan masyarakat, kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Demikian halnya dengan tata niaga penyu dengan biaya transaksi yang tinggi masih berlangsung sebagai black market di daerah Tanjung Benoa Bali.

Pemerintah Indonesia melalui instansi-instansi terkait, seperti: Departemen Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan beberapa peraturan dan kebijakan perlindungan jenis-jenis yang terancam punah, seperti: Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1994, Ratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978; Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999.

Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 telah melindungi penyu hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain di wilayah Indonesia. Sejak tahun 1999 eksploitasi penyu hijau termasuk kegiatan ilegal. Status endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES serta penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah. Keikutsertaan Indonesia di berbagai konvensi internasional (CITES tahun 1978, Ramsar tahun 1991 dan Keanekaragaman Hayati tahun 1994), pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan sebagai management outhority flora dan fauna. Pengelolaan penyu hijau didasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 sebagai kegiatan konservasi spesies Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan.


(13)

Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Ancaman kepunahan penyu hijau semakin nyata jika pemerintah tidak segera menghentikan eksploitasi penyu hijau. Untuk penyelamatan penyu hijau dari kepunahan diperlukan analisis kebijakan perlindungan dan perumusan alternatif perlindungan penyu hijau di masa datang.

Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan konservasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal PHKA baik yang berbentuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Balai Taman Nasional (BTN). Hasil analisis kebijakan diperlukan untuk pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam rangka perumusan alternatif perlindungan penyu hijau.

Alternatif perlindungan penyu hijau diarahkan pada perlindungan habitat. Perumusan alternatif perlindungan penyu hijau dipilih Kepulauan Derawan karena memiliki nesting area penyu hijau tertinggi di Indonesia, sebagai daerah pengembaraan penting dalam jalur/ lintasan migrasi dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia; dan terjadi penurunan populasi penyu hijau hebat hingga > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Wilayah Kepulauan Derawan akan dirancang Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pengelolaan penyu hijau di dalam KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman eksploitasi manusia. Jika beberapa habitat penyu hijau di seluruh wilayah Indonesia dijadikan KKL maka perlindungan penyu hijau secara meluas dan efektif dalam bentuk jejaring KKL.

1.2Perumusan Masalah

Secara garis besar permasalahan disajikan pada Gambar 1 tentang diagram kerangka pemikiran penelitian. Permasalahan yang menjadi pokok pembahasan ada tiga, yakni: regulasi, penyu hijau dan permasalahan kebijakan.


(14)

(15)

(1) Penyu hijau (a) Habitat

Penyu hijau memiliki kebiasaan bermigrasi dan mampu menempuh perjalanan jauh hingga ribuan kilometer. Habitat spesies migran ini dikelompokkan dalam tiga bagian, yakni: habitat feeding, breeding dan migratory (Donovan, 1995). Habitat penyu hijau sulit diketahui karena sebagian besar siklus hidup penyu berada di laut lepas, namun habitat feeding dan habitat breeding dapat dipetakan. Keduanya mudah dikenali karena terletak berdekatan, yakni: perairan laut dangkal dengan ekosistem lamun dan terumbu karang serta pantai berpasir putih dengan solum tebal dan tekstur kecil.

(b) Populasi

Di alam populasi penyu hijau mengalami pemangsaan predator, serangan penyakit, kerusakan habitat, kematian akibat penggunaan alat tangkap nelayan dan pencemaran laut, penangkapan induk, pemanenan telur. Eksploitasi terhadap populasi penyu berupa penangkapan induk dan pemanenan telur menempati proporsi tertinggi. Ancaman manusia memberi tekanan di sepanjang hidup penyu baik masih berwujud telur hingga penyu dewasa. Penurunan populasi penyu hijau tertinggi berada di wilayah Indonesia yakni mencapai > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau di dunia.

(2) Regulasi

(a) Tingkat internasional

Secara internasional penyu hijau telah digolongkan sebagai endangered species dalam Red Data Book (IUCN, 2003) yang didefinisikan sebagai suatu taxon yang beresiko punah dalam waktu dekat (Jones et al. 2000). Dalam CITES dikategorikan dalam Appendix I berarti spesies yang dilarang diperdagangkan secara internasional. Namun demikian regulasi internasional lainnya yakni: Convention on Biodiversity (CBD) dan UNCLOS mendukung dilakukan perlindungan habitat. Pada UNCLOS pasal 9 bab 5 dinyatakan bahwa negara wajib melindungi ekosistem yang langka dan mudah rusak yang


(16)

merupakan habitat spesies yang menurun populasinya, terancam dan hampir punah serta biota lainnya dari polusi. Pada CBD pasal 8 dinyatakan bahwa pembentukan sistem daerah perlindungan (protected area) atau daerah yang memerlukan konservasi keanekaragaman hayati. Pembukaan (Preamble) CBD menyebutkan bahwa persyaratan dasar bagi konservasi keanekaragaman hayati ialah konservasi in-situ ekosistem dan habitat alami, serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis yang dapat berkembang biak dalam lingkungan alaminya.

(b) Tingkat nasional

Pemerintah Indonesia telah melindungi penyu hijau melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Sejak tahun 1999 semua bentuk eksploitasi penyu hijau menjadi kegiatan ilegal. Dengan adanya Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999, pemerintah berkewajiban melaksanakan konservasi spesies penyu hijau.

(c) Tingkat kabupaten

Pada tingkat kabupaten, penyu hijau dijadikan obyek pajak. Kebijakan privatisasi pemanenan telur penyu memberi masukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa kabupaten. Pengusahaan telur penyu menimbulkan konflik kepentingan antar lembaga pemerintah.

(d) Tingkat lokal

Di tingkat lokal populasi penyu hijau berada pada situasi open access. Open access diterangkan sebagai situasi tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk membatasi siapa pun memanfaatkan sumberdaya (Ciriacy-Wantrup, 1968). Sebagai contoh penangkapan induk penyu di laut lepas maupun di pantai dengan leluasa dilakukan masyarakat lokal/ nelayan, demikian halnya dengan pengunduhan telur penyu yang dianggap sebagai benda temuan di pantai.

(3) Permasalahan kebijakan

(a) Kebijakan perlindungan yang tidak efektif

Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia melindungi penyu hijau melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Penyu hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain dilindungi di wilayah Indonesia. Status


(17)

endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES secara internasional dan penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah.

Setelah delapan tahun pemerintah mengimplementasikan perlindungan penyu hijau. Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Karenanya dilakukan analisis kebijakan terhadap pengelolaan penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah. Ancaman kepunahan semakin nyata jika pemerintah tidak segera merubah kebijakan perlindungan penyu hijau.

(b)Ancaman Kepunahan

Ancaman kepunahan penyu hijau sebagai akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya dapat dipandang dari beberapa aspek, antara lain:

a)Aspek ekologi

− Hilangnya kemampuan reproduksi populasi

Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan akan menghilangkan kemampuan reproduksi populasi. Hilangnya kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi daging penyu berasal dari penangkapan semua induk yang akan bertelur; (b) Jika terjadi pemanenan semua telur yang ada di sarang. Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies penyu hijau.

− Kerusakan habitat

Penyu hijau adalah jenis herbivora yang kelangsungan hidupnya tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan habitat feeding penyu hijau yang menyediakan berbagai jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti dinamit dan racun potasium yang dilakukan nelayan telah


(18)

menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi penyu hijau yang berakibat ancaman kepunahan.

b)Aspek sosial

Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi penyu hijau di laut sebagai sumberdaya open access. Situasi open access diindikasikan oleh tidak ada pengelolaan dan tidak ada kepemilikan yang membatasi pemanfaatan penyu hijau. Sebagai satwa buruan yang memiliki nilai ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga melampaui daya dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat. c)Aspek ekonomi

Penyu hijau merupakan spesies penyu laut yang paling intensif dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan, nilai ekonomis penyu hijau tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk ukuran induk). Tingginya eksploitasi penyu hijau yang diawali sebagai pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal. Dalam perkembangannya eksploitasi penyu berkembang sebagai perdagangan penyu hijau ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya transaksi yang tinggi.

d)Aspek budaya

Persepsi masyarakat tentang penyu hijau menyebabkan rendahnya dukungan terhadap upaya konservasi penyu hijau. Umumnya eksploitasi penyu hijau sulit dihentikan karena ada anggapan bahwa ketersediaan penyu hijau di alam masih berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan status spesies dilindungi. Pada kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber protein murah dan mudah didapatkan di daerah pantai. Mitos yang berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu telah menimbulkan peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus Pulau Bali pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black market) di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan bukti sulitnya menghentikan konsumsi daging penyu untuk kepentingan adat.


(19)

1.3Tujuan Penelitian

1) Melakukan analisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen PHKA.

2) Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh:

− Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan;

− Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik yang diarahkan pada penilaian tentang efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau, dan kondisi populasi penyu. Hasil analisis kebijakan perlindungan penyu hijau digunakan sebagai pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif perlindungan di masa datang.

Alternatif perlindungan penyu hijau yang menggunakan konsep berbeda dimana perlindungan diarahkan pada habitat penyu. Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh: Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan dan Arahan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

1.5Manfaat Penelitian

1) Sebagai pertimbangan pemerintah dalam mengupayakan konservasi penyu hijau di masa datang dan memberi informasi kepada pihak-pihak yang terkait.

2) Sebagai informasi dan referensi bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penyu hijau.

1.6 Novelty (Kebaruan)

1) Konsep perlindungan habitat

Untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan dilakukan perlindungan habitat. Perlindungan yang diarahkan pada habitat feeding dan breeding akan


(20)

memulihkan populasi penyu hijau dan mengurangi ancaman kepunahan. Perlindungan habitat bagi spesies langka dan terancam kepunahan dapat dibentuk Kawasan Konservasi Laut. Jika habitat-habitat penting penyu hijau di Indonesia dialokasikan sebagai KKL maka pengelolaan penyu hijau akan berupa jejaring (network) KKL yang mampu melindungi penyu hijau secara meluas dan efektif.

2) Proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) secara partisipatif Perencanaan KKL Kepulauan Derawan menggunakan Site Conservation Planning (The Nature Conservancy, 2003). Metode ini pernah digunakan di TN Lore Lindu dan TN Tesso Nilo yang keduanya berada di daratan. Didasari oleh kerangka 5-S (systems, stresses, sources, strategies, success) dilaksanakan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal/ pengguna sumberdaya alam. Proses diskusi yang terarah dengan prosedur sederhana dan alat peraga memudahkan pengumpulan data/ informasi. Melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan merupakan pendekatan bottom-up dimana masyarakat tidak ditempatkan sebagai obyek atau diabaikan harapan dan keinginannya. Proses perencanaan yang sekaligus pemasyarakatan ini mempermudah implementasi strategi konservasi karena dukungan/ sambutan masyarakat dimulai sejak tahap identifikasi permasalahan, menemukan prioritas penanganan masalah hingga memilih strategi konservasi yang dimengerti dan diterima masyarakat (legitimate).


(21)

2.1 Diskripsi Penyu Hijau 2.1.1 Klasifikasi

Penyu hijau adalah satu dari ke tujuh jenis penyu laut yang sebagian besar hidupnya berada di laut. Penyu hijau dapat dijumpai di perairan laut tropis dan sub tropis (Marquez, 1990; Bowen et al. 1992) antara 200 Lintang Utara hingga 200 Lintang Selatan (Marquez, 1990). Namun secara individual penyu hijau dijumpai di perairan temperate (Cogger et al. 1993). Crite (2000) mengklasifikasikan penyu hijau, sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata (Vertebrates) Class : Reptilia (Reptiles)

Ordo : Testudinata (Turtle and Tortoises) Familia : Chelonida (True Sea Turtles) Genus : Chelonia

Species : Chelonia mydas

Sub-species : Chelonia mydas mydas Chelonia mydas agassizii

Penyu hijau terdiri dari dua sub-spesies yakni : Chelonia mydas mydas yang berwarna hijau dan Chelonia mydas agassizii yang berwarna hitam (Eastern Pacific green turtle) (Gambar 2).

Gambar 2. Kedua sub-spesies penyu hijau (Chelonia mydas) (Sumber : Crite, 2000)


(22)

SeaWorld/ Busch Gardens Animals (http://www.swbg-animals.org) menerangkan bahwa sebaran penyu hijau (Chelonia mydas mydas) di Lautan Atlantik, Teluk Mexico, sepanjang pantai Argentina, Laut Mediteran dan Indo-Pasifik; dan sebaran penyu hitam (Chelonia mydas agassizii) di pantai Barat Amerika Utara dan Selatan dan mulai pertengahan Baja California hingga Peru.

Gambar 3. Sebaran penyu hijau (Chelonia mydas) (Sumber : SeaWorld/ Busch Gardens Animals)

2.1.2 Karakteristik

Morfologi penyu hijau dijelaskan dalam Nowell (2003), bahwa: penyu hijau dewasa berwarna antara hijau pudar hingga coklat kemerah-merahan hingga hitam pada cangkang bagian atas (carapace), cangkang bagian sisi bawah (plastron) berwarna kuning keputihan, memiliki anggota badan yang menyerupai pedal untuk berenang, bagian kepala berukuran kecil bila dibandingkan dengan bagian badan secara keseluruhan, ekor penyu jantan lebih panjang bila dibandingkan dengan penyu betina, panjang karapas sekitar 1 meter dengan berat rata-rata 180 hingga 205 kg (maksimal 286 kg).


(23)

Gambar 4. Karakteristik anatomi penyu hijau (Sumber : Pitchard dan Montimer, 1999)

Pitchard dan Montimer (1999) menerangkan bahwa penyu hijau memiliki ciri khusus, antara lain: (1) cangkang yang halus berbentuk oval; warna coklat kehijauan pada bagian atas karapas (carapace) dengan panjang 120 cm dan kuning keputihan pada bagian bawah cangkang (plastron); empat pasang scute di bagian samping dan lima scute di bagian tengah; dua prefrontal scales; dan kuku kecil yang tajam pada dua anggota badan bagian depan; (2) kepala berada di bagian depan yang panjangnya 15 cm, ada sepasang ruas prefrontal, empat pasang ruas postorbital dan kuku pada setiap anggota badan (flipper) bagian depan. Pada anakan memiliki : karapas dengan ciri khusus dimana panjang 49 mm hingga 46 mm yakni lapisan cembung menyerupai tulang muda dengan tiga warna yang kontras; bagian bawah (plastron) berwarna putih; dan bagian kepala berwarna hitam atau mendekati hitam dengan empat pasang ruas postorbital dan empat pasang costal scutes.

2.1.3 Siklus hidup

Sejak ditetaskan anak penyu (juvenile) mulai mengembara di laut lepas hingga sepanjang umurnya ± 50 tahun. Setelah dewasa, selalu berada di perairan


(24)

laut (benthic feeding zone) hingga bertemu pasangannya dan kawin. Setelah tiba saatnya bertelur, penyu betina akan mendarat di pantai untuk membuat sarang dan bertelur. Dalam interval waktu ± 2 minggu penyu betina akan bertelur kembali di pantai yang sama. Selanjutnya penyu akan kembali ke perairan laut hingga musim kawin tiba. Para ahli menyebut periode pertumbuhan penyu hingga dewasa pada masa pengembaraan ini sebagai ‘waktu yang hilang’ (Carr, 1967 dan Frick, 1976 disarikan dalam Carr, 1980). Perilaku penyu ini divisualisasilan oleh Colin J. Limphus pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Siklus hidup penyu laut (Sumber : Colin J. Limphus, Press. Com.)

Pertumbuhan anakan penyu menuju usia dewasa memiliki survival rate yang rendah. Menurut Ehrenfeld (1974) hanya 1 hingga 3 persen anakan penyu yang mampu bertahan hidup hingga usia dewasa. Selama siklus hidupnya penyu di laut memerlukan ketahanan hidup yang tinggi terhadap pemangsaan predator, keterbatasan makanan, serangan hama penyakit serta polusi air laut, perubahan lingkungan serta dieksploitasi manusia.

Kehidupan penyu hijau memiliki ciri yang sama dengan jenis penyu laut lainnya, yakni: pertumbuhan yang lambat untuk sampai usia kedewasaan dan mampu mencapai umur yang panjang (Chaloupka dan Musick, 1997; Hirth, 1997). Waktu yang diperlukan untuk satu generasi dapat diukur dari usia kedewasaan ditambah setengah kali umur produktif (Pianka, 1974).


(25)

Umur dewasa penyu hijau berkisar antara 27 sampai dengan 40 tahun (Seminoff., 2004b). Masa reproduksi diduga berkisar antara 17 hingga 23 tahun (Fitzsimmons et al. 1995). Umur dewasa penyu hijau lebih pendek jika dibudidayakan, yakni 11 sampai dengan 15 tahun dengan berat badan 90 hingga 200 kg (Wood, 1990).

Tabel 1. Pendugaan umur dewasa dari penyu hijau Studi Lokasi Umur penyu

dewasa (thn) Sumber informasi A. Hawaiian Archipelago 30 Zug et al. 2002

B. Australia (nGBR) 30 Limphus danWalter, 1980 C. Australia (sGBR) 40 Limphus dan Chaloupka, 1997 D. Florida 30 Mendonca, 1981

E. Florida 27 Frazer dan Ehrhart, 1985 F. U.S. Virgin Islands 33 Frazer dan Ladner, 1986 G. Ascension Island 35 Frazer dan Ladner, 1986 H. Costa Rica 26 Frazer danLadner, 1986 I. Suriname 36 Frazer dan Ladner, 1986 Sumber : Seminoff (2004b)

2.1.4 Perilaku penyu 2.1.4.1 Perilaku harian

Umumnya penyu berada di habitat bentik (benthic habitats) yakni perairan laut dengan kedalaman di atas 30 cm. Anakan penyu adalah karnivora (carnivorous) (Cogger, 2000), ketika dewasa penyu hijau adalah herbivora (herbivorous) dengan jenis tumbuhan rumput laut dan alga (Forbes, 1996; Brand-Gardner et al. 1999; Whiting, 2000; Cogger, 2000). Penyu dewasa juga memakan berbagai jenis tumbuhan di daerah mangrove (Forbes, 1996; Limphus, C.J. dan D.L. Limphus, 2000), seperti telur ikan (Forbes, 1996), ubur-ubur (Limphus et al. 1994) dan karang lunak (Whiting, 2000).

Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League (2003) menerangkan perilaku makan penyu hijau dan beristirahat memiliki waktu tertentu. Selama musim bertelur penyu laut berada di pantai peneluran dan dangkalan berbatu perairan laut. Selain itu penyu akan bermigrasi hingga ratusan atau ribuan mil. Penyu hijau beristirahat tidur pada permukaan air laut yang dasarnya dengan bebatuan pada perairan dekat pantai.


(26)

2.1.4.2 Perilaku kawin

Dalam Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League (2003) masa kawin mulai meminang hingga kawin dengan periode yang pendek. Jika sampai pada saat bertelur hanya induk betina yang bergerak menuju pantai pada malam hari. Induk penyu membuat sarang dan bertelur, kemudian meninggalkan telur serta kembali ke laut. Perilaku kawin penyu juga diterangkan dalam SeaWorld/ Busch Gardens Animals di dalam (www.swbg-animals.org) bahwa: Induk penyu bertelur lima kali setiap musim kawin dengan periode lima tahun. Namun secara individual penyu hijau bertelur sebelas kali setiap musim kawin yang menghasilkan telur sebanyak 1.200 butir dimana setiap sarang rata-rata 110 butir. Telur penyu berbentuk menyerupai bola pingpong, berwarna keputihan, berdiameter rata-rata 45 mm dengan berat 50 gram. Pada waktu malam hari penyu hijau mendarat di pantai berpasir halus dengan solum yang tebal untuk bertelur.

Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League (2003) bahwa induk jantan penyu hijau memiliki naluri homing instict yakni kembali ke pantai dimana dia ditetaskan. Masa inkubasi selama 60 hari dengan pemanasan pasir di sekitar sarang yang menumbuhkan embrio. Jika suhu penetasan lebih tinggi akan cenderung menghasilkan jenis kelamin jantan, sebaliknya suhu yang rendah akan menghasilkan jenis kelamin betina. Menurut Pritchard dan Montimer (1999) penyu hijau memiliki ciri khusus ketika bertelur yakni sebagian tubuhnya berada di bawah permukaan pasir pantai (Gambar 6).

Gambar 6. Posisi tubuh penyu hijau ketika bertelur (Pritchard dan Montimer, 1999)


(27)

2.1.4.3 Perilaku migrasi

Penyu hijau bermigrasi jauh untuk tujuan reproduksi dengan mencari makanan dan menemukan pantai peneluran. Seperti halnya penyu laut lainnya, penyu hijau bermigrasi sepanjang hidupnya menuju beberapa lokasi dan habitat pada wilayah yang sangat luas (Hirth., 1997). Ketika anakan penyu hijau hasil penetasan meninggalkan pantai peneluran akan memulai tahap kehidupan selanjutnya di laut (Carr, 1987). Anakan penyu mengapung mengikuti gerakan arus laut dan menyebar ke arah laut lepas (Carr dan Meylan, 1980; Witham, 1991). Setelah beberapa tahun berada pada perairan laut, anakan penyu yang telah agak besar akan berada pada perairan laut yang kaya makanan pada daerah dengan tumbuhan lamun atau alga (Musick dan Limphus, 1997). Tahap berikutnya adalah ketika penyu telah mencapai usia dewasa akan bermigrasi untuk tujuan kawin menuju tempat yang menyediakan makanan dan berada di dekat pantai peneluran selama periode (Hirth, 1997). Perjalanan migrasi penyu ini mampu mencapai jarak ribuan kilometer (Mortimer dan Portier, 1989). Selama masa tidak kawin penyu dewasa akan berada di perairan tempat mencari makan (Seminoff et al. 2003).

Di laut terbuka dengan arus yang kuat, penyu dengan tenang hanya mendongakkan kepala beberapa inci di atas permukaan air. Penyu memiliki kemampuan navigasi yang luar biasa untuk menemukan pantai peneluran walaupun dengan jarak tempuh yang panjang. Dalam Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League (2003) bahwa perilaku migrasi dan kemampuan navigasi penyu hijau yang merupakan misteri terbesar dari dunia binatang (The Animal Kingdom). Ada teori yang menyatakan kemampuan navigasi penyu hijau ada berkaitan dengan magnet bumi. Sebagai contoh di sebelah Selatan Great Barrier Reef tercatat migrasi penyu dari tempat bertelur mampu mencapai 2.600 km tetapi rata-rata menempuh 400 km (Limphus et al. 1992). Namun menurut Dizon dan Balazs (1982); Mortimer dan Carr (1984); Liew dan Chan (1992), induk penyu biasanya berada di perairan laut yang berjarak 10 km dari pantai peneluran.


(28)

2.1.5 Habitat

Dalam Wetlands International Indonesia Programme (1996) menerangkan bahwa di perairan laut penyu dapat dijumpai di ekosistem terumbu karang dan lamun. Pada Gambar 7 dapat dilihat rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun dimana penyu merupakan salah satu komponen ekosistem.

Gambar 7. Rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan lamun (Sumber : Wetlands International Indonesia Programme, 1996)

Kelleher, G. (1999), mengistilahkan habitat kelompok mamalia laut, penyu laut, burung laut dan beberapa spesies endemik sebagai the critical habitat. Donovan (1995) menyebutkan bahwa habitat migratory species terdiri dari tiga yakni: habitat migratory, habitat feeding dan habitat breeding. Keberadaan penyu pada tempat mencari makan (habitat feeding) serta tempat kawin dan


(29)

bertelur (habitat breeding) yang dengan mudah dapat dikenali dan dipetakan. Pada umumnya keduanya terletak berdekatan, yakni: perairan laut dengan ekosistem lamun dan terumbu karang serta pantai berpasir putih, bertekstur kecil dengan solum tebal. Habitat penyu hijau di Indonesia dapat dijumpai di daerah pantai peneluran (nesting area) dan yang mencari makan (feeding ground) seperti yang dilaporkan oleh WWF-Indonesia (2005) pada Gambar 8.

Gambar 8. Sebaran nesting area dan feeding ground penyu hijau di Indonesia (Sumber : WWF-Indonesia, 2005)

2.1.6 Status penyu hijau

Dalam Wikipedia (2006), status konservasi suatu spesies merupakan indikator tentang kelangsungan hidup suatu spesies pada saat ini hingga di masa datang. Tidak mudah untuk mengetahui status konservasi suatu spesies, karena harus melakukan penelitian secara menyeluruh tentang peningkatan maupun penurunan pertumbuhan populasi di sepanjang waktu, tingkat keberhasilan kawin maupun tentang berbagai ancaman. IUCN (2003a), pembentukan IUCN Red List of Threatened Species pada tahun 1963 telah menginventarisasi status konservasi seluruh tumbuhan dan binatang di bumi ini. IUCN Red List merupakan ukuran yang tepat untuk mengevaluasi resiko kepunahan ribuan spesies dan sub spesies.


(30)

Penyu hijau (Chelonia mydas) beserta keenam jenis penyu laut lainnya dikategorikan sebagai endangered species dalam IUCN Red List. Endangered species adalah spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Menurut Seminoff (2004a) pada 32 lokasi peneluran di seluruh dunia, populasi penyu hijau mengalami penurunan 48% hingga 67% selama tiga generasi. Eksploitasi secara berlebihan dan dampak dari aktivitas manusia telah mendorong populasi penyu hijau ke arah kepunahan. Hasil pendugaan Seminoff ini kemudian mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species menurut kriteria A2bd.

Pada awal tahun 1970-an penyu hijau masih berstatus Threatened Animals. Setelah proses pengusulan selama tujuh tahun akhirnya pada tahun 1979 The U.S. Endangered Species Act memasukkan penyu hijau sebagai endangered species. Berkaitan dengan perlindungan penyu hijau telah ditandatangani beberapa kesepakatan (convention) internasional, antara lain:

The African Convention for the conservation of nature and natural resources yang ditandatangani pada bulan September 1968.

Convention On International Trade of Endangered Wild Fauna and Flora Species (CITES) yang ditandatangani 140 negara pada 28 Maret 1979.

Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals yang ditandatangani di Bonn pada 23 Juni 1979.

Convention on the Conservation of European Wildlife and Natural Habitats yang ditandatangani di Bern pada 19 September 1979.

EEC Directive on the Conservation of Natural Habitats and Wild Flora and Fauna yang ditandatangani pada 21 Mei 1992 oleh negara France, Greece, Italy dan Spain. Penyu hijau tergolong pada kelompok spesies dalam Annex IV yakni sekelompok spesies yang memerlukan perlindungan secara ketat dengan mencadangkan wilayah yang dilindungi.

Convention for The Protection of The Mediterranean Sea Against Pollution yang ditandatangani di Barcelona pada tahun 1976 dan Protocol Concerning Mediterranean Specially Protected Areas yang ditandatangani di Geneva pada tahun 1982.


(31)

2.2 Kondisi Populasi Penyu Hijau

Dari data Seminoff (2004a) diketahui bahwa migrasi penyu hijau melintasi 80 negara pada wilayah perairan tropis dan sub tropis. Sebaran penyu hijau dilaporkan berada di 32 lokasi di seluruh dunia (Gambar 9).

Gambar 9. Sebaran ke-32 lokasi peneluran penyu hijau di seluruh dunia (Sumber : Seminoff, 2004a)

Dalam Seminoff (2004a), eksploitasi penyu hijau terjadi di sepanjang jalur migrasi penyu kecuali di wilayah Samudera Atlantik. Pada Gambar 10 dapat diketahui bahwa eksploitasi penyu paling intensif terjadi di 24 lokasi peneluran penyu di Samudera Hindia dan Asia Tenggara dengan penurunan populasi rata-rata 80%. Sebaliknya peningkatan populasi lebih dari 100% terdapat di wilayah perairan Costa Rica (Tortuguero), Mexico (Yucatan Peninsula) dan United States

(Florida). Wilayah pertumbuhan dengan peningkatan rata-rata 30% dijumpai di Pulau Arsension, Kepulauan Bijagos dan Suriname yang berada di Samudera


(32)

Gambar 10. Tingkat pertumbuhan populasi penyu hijau (Sumber : Seminoff , 2004a)

2.3 Eksploitasi Penyu Hijau di Indonesia

Bagi Indonesia, penyu hijau memiliki peran strategis secara politis, selain berkaitan dengan kepentingan masyarakat global, protes internasional dengan ancaman boikot seringkali diterima Indonesia. Setelah boikot pariwisata, belakangan ini Indonesia terkena sanksi embargo ekspor udang laut ke pasar Amerika. Menyusul kemudian protes dari PADI (Professional Association for Diving Instructors) Eropa dengan membuat petisi yang ditandatangani lebih dari 200 ribu penyelam Eropa. Para penyelam mengancam tidak akan lagi berkunjung ke Bali jika perdagangan penyu masih tetap berlangsung (KSBK, 2001).

Setelah tujuh tahun pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, Pemerintah Indonesia belum mampu menghentikan eksploitasi terhadap spesies penyu hijau. Eksploitasi yang masih berlangsung hingga kini berupa penangkapan induk penyu di perairan laut dan pemanenan telur penyu di pantai

peneluran menempati posisi tertinggi di dunia (Sarjana Putra, 1996; Troeng (1997).

Menurut Tri Wibowo, E (1991), pada tahun 90-an eksploitasi induk penyu hijau terjadi hampir merata di seluruh perairan laut Indonesia. Untuk memasok kebutuhan daging penyu masyarakat P. Bali, kegiatan menangkap penyu terjadi di berbagai lokasi yang hampir merata di perairan laut Indonesia. Visualisasi data


(33)

lalu lintas kapal bermuatan penyu di Pelabuhan Tanjung Benoa, Bali pada tahun 1990 sampai dengan tahun 1991 disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia (Sumber : Tri Wibowo. E , 1991)

Manusia merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup penyu, baik di wilayah pesisir maupun di perairan laut lepas. ProFauna (2005) melaporkan bahwa eksploitasi penyu di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Dalam laporannya ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian-bagian tubuhnya dijumpai di P. Jawa. Selama bulan Januari - April 2005, ProFauna mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan di enam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: Pantai Teluk Penyu Cilacap (Jawa Tengah), Pantai Puger Banyuwangi (Jawa Timur), Pantai Pangandaran (Jawa Barat), Pantai Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Pantai Pangumbahan Sukabumi (Jawa Barat), dan Pantai Samas (Yogyakarta).

Pemanenan telur penyu dengan tujuan bisnis terjadi di Kecamatan Tambelan (Riau), Kecamatan Paloh (Kalimantan Barat), Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur) dan Pangumbahan (Jawa Barat). Sebagai ilustrasi di Propinsi Kalimantan Timur, pengusaha telur penyu memberikan masukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) PEMDA Kabupaten Berau (Gambar 12). Perolehan PAD selama tahun 1999 hingga 2000 mencapai hampir Rp. 1 milyar atau sekitar 38 persen dari PAD yang besarnya Rp 2,8 milyar (Hamdan, 2001).


(34)

Gambar 12. Perolehan PAD Kab. Berau dari pengusahaan telur penyu (Sumber : Data Kabupaten Berau, 2002)

Dalam lima dekade terakhir terjadi penurunan hebat populasi penyu di kepulauan Derawan, diperkirakan mencapai 90% dari jumlah yang bisa ditemukan 50 tahun lalu. Penyebab yang paling dominan adalah pengambilan telur penyu secara sistematis (WWF-Wallacea, 2000).

2.4Ancaman Kepunahan Penyu Hijau

Sebagai ahli ekologi, Wilson berpendapat bahwa secara keseluruhan isu tentang lingkungan yang mutakhir adalah kepunahan spesies (Wilson,1980). Harding G.W. (1998) menyatakan bahwa kehidupan suatu spesies tidak berubah selama jutaan tahun. Beberapa spesies yang mengalami proses adaptasi dengan adanya perubahan kecil yang terjadi pada ekosistem. Namun jika perubahan cukup besar dalam waktu pendek maka spesies tidak mampu beradaptasi akan gagal dalam proses reproduksi dan mengalami kepunahan. Kepunahan spesies diartikan sebagai hilangnya suatu spesies dari muka bumi untuk selamanya. Kepunahan secara massal telah terjadi dimana 40% hingga 95% spesies binatang dan tumbuhan telah hilang dari bumi dan setiap tahun diperkirakan 10 hingga 20 spesies telah punah.

Wilson (1980) menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah didokumentasikan dan sebagian besar penyebabnya karena aktivitas manusia, kerusakan habitat dan pengenalan spesies baru ke dalam suatu kawasan. Ancaman kepunahan penyu hijau sama seperti yang dialami spesies anggota keluarga penyu laut lainnya. Populasi penyu hijau mengalami penyusutan akibat


(35)

eksploitasi manusia. Ancaman manusia memberi tekanan pada sepanjang hidup penyu baik ketika masih berwujud telur hingga penyu dewasa.

Ackerman (1997) ancaman dari manusia yang paling merugikan adalah pemanen telur penyu dan penangkapan induk penyu secara sengaja di daerah peneluran. Ancaman lain yang bersifat insidentil adalah dampak dari perubahan lingkungan di daratan maupun di laut, penangkapan penyu tidak sengaja (by catch), kerusakan habitat, serangan penyakit dan predator, kematian penyu karena teknik penangkapan ikan dengan menggunakan drift netting, shrimp trawling, dynamite fishing, dan long-lining, pembangunan gedung daerah pantai, penambangan pasir dan abrasi pantai. Adanya cahaya lampu di daerah peneluran juga berpengaruh negatif terhadap perilaku bertelur induk penyu (Witherington, 1992) dan perjalanan anakan penyu yang baru ditetaskan lebih tertarik pada sumber cahaya daripada bergerak menuju ke laut (Witherington dan Bjorndal, 1990). Wabah penyakit tumor Fibropapilloma juga menyerang penyu hijau sebagai akibat dari kerusakan habitat (George, 1997). Pencemaran air laut dan pengaruh eksplorasi minyak dan gas di bawah laut telah menyebabkan ancaman yang serius terhadap populasi penyu laut pada umumnya (George, 1997).

Montimer menyoroti ancaman kepunahan penyu sebagai akibat dari eksploitasi yang dilakukan manusia secara berlebihan. Menurut Montimer (1995), penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade berakibat kepunahan populasi penyu. Pada Gambar 13 menunjukkan suatu hipotesis jika manusia mengkonsumsi daging penyu dari semua induk yang akan bertelur di pantai. Situasi ini terdapat di daerah peneluran Pulau Seychelles sebelum tahun 1980.

Gambar 13. Penangkapan induk penyu secara berlebihan (Montimer, 1995)


(36)

Gambar 14. Akibat dari pemanenan telur penyu (Montimer, 1995)

Gambar 14 menunjukkan kerusakan populasi penyu hijau jika pemanenan telur dilakukan secara berlebihan pada beberapa wilayah di Asia Tenggara. Menurut Montimer (1995) pada model ini induk penyu diasumsikan memiliki usia produktif 20 hingg 50 tahun, dan rata-rata aktivitas produksi penyu selama 20 tahun (Carr, 1987).

Proses kehancuran populasi secara bottom up (Gambar 13) dan secara top down disajikan pada Gambar 14. Perbedaan keduanya adalah sudut pandang melihat kehancuran suatu populasi jika terjadi eksploitasi berlebihan. Penangkapan induk dan pemanenan telur secara berlebihan akan menyebabkan tidak ada lagi anakan yang ditetaskan. Selanjutnya tidak akan ada lagi anakan yang menjadi induk pada generasi di depan (Montimer, 1995).

2.5Penanganan Ancaman Kepunahan Spesies

Penyu hijau yang berstatus endangered species dan beresiko punah dalam waktu dekat IUCN Red Book. Isu kepunahan spesies merupakan the global common (yakni : hilangnya satu dari keanekaragaman hayati di bumi) menjadi tanggung jawab semua bangsa di bumi ini (Berkes et al. 2001). Namun demikian


(37)

untuk mengawasi penangkapan dan perdagangan penyu hijau di seluruh dunia telah dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab negara-negara penanda tangan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species). Efektivitas kesepakatan internasional ini tergantung pada efisiensi pengawasan dan kebijakan yang berkaitan dengan penangkapan, pengumpulan, perburuan dan perdagangan penyu, baik secara individu maupun kolektif.

Populasi penyu hijau yang berada di perairan laut dapat disebut sebagai common-pool resource. Menurut Ostrom (1999) common-pool resource dapat dipandang sebagai pusat/ inti sumberdaya yang mengalirkan unit-unit sumberdaya sepanjang waktu. Common-pool resources terdiri dari sistem sumberdaya dan aliran unit sumberdaya dari sistem sumberdaya (Blomquist dan Ostrom, 1985).

Vincent dan Ostrom (1977) dalam McCay (1996) menyebutkan bahwa penggunaan istilah common pool digunakan untuk sumberdaya yang mengalami permasalahan sulitnya menentukan batas sumberdaya termasuk di dalamnya ada pengaruh aktivitas seseorang yang dapat mengurangi kepentingan orang lain. Dalam aktivitas ekonomi, common-pool resource memiliki ciri khusus, yakni: Kesulitan untuk membatasi penggunaan dengan membangun batas secara fisik atau penerapan hukum karena memerlukan biaya yang tinggi, Manfaat yang diperoleh seseorang akan mengurangi manfaat yang diperoleh orang lain (Ostrom et al, 1994).

Common-pool resources dapat dimiliki oleh negara, propinsi/ kabupaten, masyarakat setempat, secara individu atau gabungan diantaranya (Feeny et al. 1990). Untuk memahami isu-isu common diperlukan pengetahuan tentang corak sumberdaya dan cara yang dipilih manusia mendapatkan sumberdaya (McCay B.J, 1996).

Umumnya permasalahan common-pool resources berkisar pada permasalahan common propertyresources yakni: kemampatan, pengunaan secara berlebihan, kecenderungan rusak jika pengguna tidak mempertimbangkan keterbatasannya. Sebagai satwa buruan yang bernilai ekonomi tinggi, jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Pada situasi the commons dilemma demikian ini akan sulit mengharapkan insentif dari pengguna untuk melakukan konservasi (Berkes et al. 2001).


(38)

Demikian halnya di laut lepas penyu hijau berada digolongkan sebagai sumberdaya open access. Hal ini dibenarkan dalam Troeng dan Drews (2004) bahwa kebiasaan penyu bermigrasi jauh ini menjadikan penyu hijau sebagai sumberdaya open access. Open access diterangkan sebagai situasi tidak ada hak kepemilikan secara sah untuk membatasi siapa pun memanfaatkan sumberdaya (Ciriacy-Wantrup, 1968).

Eksploitasi manusia secara berlebihan di berbagai lokasi di bumi ini menyebabkan terjadinya the tragedy of the commons (Morriss, 1994). Dalam rekomendasinya Hardin mengemukakan penanganan the tragedy of the commons yang bersifat mendua, yakni : no technological solution dan a political solution dengan penetapan hak kepemilikan atas sumberdaya. Rekomendasi pengalokasian sumberdaya sebagai private property untuk solusi the tragedy of the commons tidak secara tegas dikemukan oleh Hardin (Simth R.J, 1981). Pembatasan memperoleh sumberdaya dengan pembentukan kepemilikan secara individu (private property) merupakan usulan dari Gordon (McCay, 1996).

Menurut Berkes et al. (2001) the tragedy of the commons di pesisir dan laut merupakan permasalahan perikanan yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat secara individu dan kolektif. Solusi dari the tragedy of the commons dengan mengelola manusia (management people) dimana masyarakat dapat mempertahankan sumberdaya yang secara ekologis agar tidak hancur dalam jangka waktu yang panjang. Lebih lanjut Berkes menjelaskan bahwa the tragedy of the commons dapat ditangani dengan penyelesaian dua permasalahan, yakni: the exclution problem dengan mengontrol pengguna untuk memperoleh sumberdaya dan the substrability problem dengan menyusun dan menerapkan aturan/ peraturan agar menurunkan dampak aktivitas pengguna sumberdaya terhadap pengguna lainnya.

Usulan Berkes et al. (2001) the exclution problem dapat diselesaikan dengan mengalokasikan hak kepemilikan sumberdaya pada kepemilikan negara (state property); kepemilikan secara individu (private property); kepemilikan secara komunal (communal property) atau kombinasi diantara ketiganya. Jika ketiga hak kepemilikan sumberdaya dialokasikan pada wilayah pesisir dan laut maka dapat diperiksa pada Gambar 15 berikut.


(39)

Gambar 15. Ilustrasi jika ketiga hak kepemilikan sumberdaya dialokasikan di wilayah pesisir dan laut

(Sumber : Berkes et al, 2001)

Setelah pengalokasian hak kepemilikan sumberdaya maka dibentuk aturan penggunaan sumberdaya yang akan memberi karakteristik pengelolaan yang berbeda-beda, antara lain : Aturan ditetapkan oleh pemerintah jika hak kepemilikan sumberdaya oleh negara (state property); Aturan mengikuti makanisme pasar jika hak kepemilikan sumberdaya secara individual (private property); Aturan ditetapkan oleh masyarakat setempat jika hak kepemilikan sumberdaya oleh masyarakat (communal property) serta kombinasi dari ketiganya (Berkes et al. 2001).

(1) Pengalokasian kepemilikan negara (state property)

Untuk mengontrol sumberdaya di lautan akan mendapat kesulitan dalam penetapan batas sumberdaya. Seperti yang diusulkan Hardin, sumber daya dialokasikan sebagai kepemilikan negara (Smith, 1981). Pembentukan Marine


(40)

Protected Area merupakan perlindungan spesies-spesies langka dan terancam kepunahan sebagai contoh pengalokasian sumberdaya pesisir dan laut pada kepemilikan negara (state property).

Kepemilikan oleh pemerintah dinyatakan paling efektif dalam pengawasan terhadap sumberdaya sementara tipe kepemilikan lain (secara individu, secara komunal dengan hanya satu kelompok masyarakat) tidak mampu mengatasi the exclution problem (Berkes et al, 2001).

Pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah yang umumnya bersifat sentralistik dengan kebijakan yang bersifat top down. Dalam konteks perlindungan sumberdaya alam, pemerintah akan membatasi masuknya masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumberdaya alam dengan penerapan Peraturan Pemerintah.

Umumnya pemerintah di negara berkembang memiliki dana terbatas dan kekurangan tenaga pengawas, kondisi ini menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam tidak efektif. Sumberdaya alam yang secara de facto berada dibawah regim common property tetap dikuasai oleh masyarakat lokal bahkan akan mengarah pada situasi open-access walaupun secara de jure berada pada kepemilikan pemerintah. Namun demikian jika masyarakat lokal dilibatkan dalam pengawasan sumberdaya yang dilindungi maka pengelolaan oleh pemerintah akan lebih efektif (Ostrom, 1999).

(2) Pengalokasian kepemilikan individu (private property)

Umumnya kepemilikan satwa liar berada di bawah otoritas pemerintah, tidak demikian halnya di negara-negara Afrika Bagian Selatan. Keberhasilan ekonomi Zimbagwe selama dua dekade dengan membangun private property pada pengelolaan satwa liar. Kepemilikan satwa liar dengan membangun budidaya secara komersial, padang pengembalaan di lahan-lahan penduduk semakin meluas di negara sekitarnya seperti: Afika Selatan, Namibia dan Bostwana (Child, 1995).

Demikian halnya dengan budidaya penyu yang dikembangkan Cayman Turtle Farm, Ltd. di Caribbean pada tahun 1968 digolongkan sebagai pengalokasian sumberdaya private property. Budidaya penyu (turtle farm)


(41)

dimaksudkan untuk memenuhi permintaan pasar dan mengurangi penangkapan penyu dari laut dan memberikan insentif bagi pihak pemilik/ pengelola (Smith, 1981).

Dalam Ross (1999) budidaya penyu dalam bentuk ranching atau captive breeding tidak memberi manfaat bagi upaya konservasi bahkan menurunkan populasi penyu di alam. Selain memerlukan pengetahuan/ teknologi tinggi dan biaya yang sangat mahal, budidaya penyu tidak memberi jaminan secara ekonomi. Beberapa pakar ekologi seperti Archie Carr, David Ehrenfeld dan Myers justru menentang budidaya penyu secara komersil, selain mencari keuntungan dari alam juga telah memicu perdagangan penyu (Smith,1981).

(3) Pengalokasian kepemilikan masyarakat (communal property)

Proyek konservasi penyu di Cuc Phuong di Vietnam merupakan model penyelamatan penyu di kawasan Asia Tenggara untuk masa depan. Proyek dikembangkan dari aktivitas pendidikan konservasi yang berbasis masyarakat, dimana 35 sekolah, 15 kelompok masyarakat, kelompok peneliti bidang sosial- ekonomi-biologi. Proyek Cuc Phuong berhasil menangani ancaman perdagangan penyu secara ilegal akibat permintaan pasar di China sejak dekade 90-an (jvanabbema@nytts.org)

2.6 Konservasi Penyu

2.6.1 Sejarah konservasi penyu dunia

Wikipedia (2006), konservasi berawal dari gerakan sosial dan politik melindungi sumber daya alam termasuk jenis tumbuhan dan binatang agar hidup seperti di habitatnya. Gerakan konservasi ini bergerak di bidang perikanan dan satwa liar, air dan pengelolaan hutan secara lestari. Seiring dengan perjalanan waktu gerakan ini berkembang kearah pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan pelestarian suaka alam yang termasuk di dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Akhirnya gerakan konservasi mendunia dan meluas pada gerakan penyelamatan lingkungan.

Pada tahun 1980 beberapa lembaga dunia seperti UNEP, IUCN, WWF, FAO dan UNESCO telah menyusun suatu strategi yang khusus bagi upaya konservasi di seluruh dunia yang dikenal sebagai The World Conservation


(42)

Strategy. Ada tiga prioritas dalam The World Conservation Strategy, yakni : Memelihara kemampuan bumi menyangga kehidupan; Pelestarian

keanekaragaman genetik; Terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem. Ketiga prioritas konservasi ini dibahas kembali dalam pertemuan Earth Summits yang dihadiri 170 negara di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Sebagian besar peserta (150 negara) menyepakati Sustainable Development dinamakan Agenda 21 berisi beberapa petunjuk dan rencana aksi, sebagai berikut :

− Memelihara kemampuan bumi menyangga kehidupan yang dilaksanakan pada tiga wilayah, yakni : Beberapa sistem pertanian (Agricultural systems); berbagai hutan (Forests); dan Beberapa sistem pesisir dan rawa (Coastal and freshwater systems).

− Pelestarian keanekaragaman genetik yang dilaksanakan dengan perlindungan terhadap spesies yang terancam kepunahan. Bumi yang memiliki 5 hingga 10 juta spesies dan setiap hari bumi telah kehilangan satu spesies. Berbagai tindakan penyelamatan spesies yang terancam kepunahan merupakan upaya penyelamatan milik kita semua.

− Terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem, setiap negara melaksanakan habitat dan satwa liar yang dimiliki dengan: Membentuk Taman Nasional, Game Reserves dan Suaka alam; Satwa Liar dan perburuan; Pengelolaan Ekosistem;

Pada bulan Juni 1994 sebagian anggota dari The Marine Turtle Specialist Group (MTSC) dari The Specialist Survival Commission (SSC)-IUCN di Puerto Vallarta, Mexico mencanangkan The Global Strategy the Conservation of Marine Turtles yang terdiri dari: Research and Monitoring; Integrated Management for Sustainable Marine Turtle Populations; Building Capacity for Conservationn, Research, and Management; Public Awareness, Information, and Education; Community Participantion in Conservation; Regional and International Cooperation; Evaluation of Status of Marine Turtles; Funding for Marine Turtle Conservation; Operation of Marine Turtle Specialist Group.


(43)

2.6.2 Program konservasi penyu di tingkat internasional

Menurut WWF-International, Species Programme (2004), bahwa konservasi penyu laut saat ini telah dilaksanakan pada 44 negara. Latar belakang permasalahan penyu setiap negara memberi ragam pelaksanaan konservasi yang berbeda-beda (Gambar 16).

Gambar 16. Peta 44 negara yang telah melaksanakan konservasi penyu laut (Sumber : WWF, 2004)

WWF (2004) menyatakan permasalahan yang dihadapi dalam upaya konservasi penyu di seluruh dunia, antara lain:

− Karakteristik siklus hidup penyu menjadi rawan karena kerusakan habitat dan akibat eksploitasi berlebihan;

− Sifat migrasi yang luar biasa jauhnya yang terkadang melintasi beberapa samudra menyebabkan perhatian yang nyata dari berbagai negara;

− Keterbatasan sumberdaya dan kemampuan kemauan politik untuk mengelola populasi penyu;

− Keterbatasan data tentang sejarah kehidupan penyu dan ancaman ketika melaksanakan pengelolaan dan mendiskusikan konservasi penyu;

− Kekurangan informasi yang dimengerti masyarakat dan pengambil keputusan tentang sifat biologis penyu laut, status konservasi dan pengelolaan yang diperlukan;


(44)

− Kekurangan penghargaan akan nilai penyu saat sekarang dan di masa datang sebagai komunitas pesisir dan ekosistem;

− Kurangnya koordinasi pemangku kepentingan baik nasional, regional dan lokal;

− Kurangnya peraturan dan penegakan hukum;

− Peningkatan penduduk di wilayah pesisir, kemiskinan dan konflik pemanfaatan sumberdaya;

− Perubahan iklim global.

Tujuan konservasi penyu laut dalam WWF-International, Species Programme (2004) dikelompokkan menjadi empat, antara lain:

(1) Mengurangi eksploitasi berlebihan untuk pemanfaatan daging dan bagian-bagian tubuh lainnya, telur serta pemanfaatan non-konsumsi. Upaya konservasi penyu laut telah dilaksanakan, antara lain:

− Di Pulau Kei (Indonesia) melalui peningkatan kepedulian dan pendidikan agar masyarakat lokal berpartisipasi dalam konservasi dan pengaturan penangkapan penyu secara lestari dan peraturan pemerintah. − Di Pulau Ono (Fiji) dan dan The Great Astrolabe (Kadavu) dengan

merubah kebiasaan masyarakat (tradisional dan non tradisional) melakukan perburuan penyu dengan Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Area) berbasis masyarakat.

− Di Pulau Bali (Indonesia) dengan melakukan kampanye secara intensif dan menyebarluaskan pesan konservasi agar masyarakat sadar atau tidak mengkonsumsi daging penyu sebagai keperluan sehari-hari maupun kepentingan adat/ keagamaan.

− Di Kepulauan Derawan (Indonesia) dengan menghentikan pemanenan telur penyu yang dilakukan masyarakat dengan pengaturan pemanenan telur penyu untuk disisihkan sebagai restoking. Penyisihan telur 10% pada tahun 1999 – 2000, meningkat menjadi 20% pada tahun 2001. Pemerintah Daerah pada tahun 2002 melarang eksploitasi telur penyu di P. Sangalaki. Upaya konservasi lainnya adalah pengembangan wilayah


(45)

Kepulauan Derawan sebagai Daerah Perlindungan Laut (Marine Turtle Santuary Areas).

− Di Fort Dauphin (Madagaskar) melalui pengembangan alternatif pemanfaatan penyu laut dan peningkatan kelembagaan masyarakat. − Taman Laut Pulau Mafia (Tanzania) bekerja sama dengan masyarakat

lokal dalam pengelolaan perikanan, penghentian penggunaan alat tangkap yang merusak serta melaksanakan konservasi penyu laut. Ada wilayah Pulau Mafia yang dijadikan zona no-fishing untuk mengantisipasi terjadinya penangkapan penyu tidak disengaja (by-catch) − Di Sine Saloom (Senegal) melalui penghentian konsumsi daging dan

telur penyu oleh masyarakat lokal dan meningkatkan kepedulian masyarakat.

− Di Lima Bagian Selatan dan Pisco Paracas (Peru) dengan penghentian konsumsi daging penyu secara ilegal. Konservasi dilaksanakan dengan penegakan hukum di daratan dan di laut.

− Di Jamaica dan Bahama (Karibia) dengan melakukan dialog dengan pemerintah untuk mencari alternatif pemanenan penyu laut dengan penelitian pangan dan nilai budaya penyu laut. Upaya konservasi lainnya adalah penetapan peraturan perlindungan penyu laut di Bahama, Cuba, Republik Dominika, Haiti, Jamaica, Mexico, Puerto Rico, Turki dan pulau Caicos, Kepulauan British Virgin dan pulau Virgin. Pengembangan Turtugerro sebagai Lembaga Konservasi di wilayah Karibia telah menunjukkan adanya manfaat ekonomi dari kelangsungan hidup penyu laut dibandingkan jika dilakukan pembantaian penyu laut.

(2) Mengurangi penangkapan tidak sengaja (by catch) dengan bekerja sama dengan nelayan, para pakar dan pemerintah. Upaya konservasi berkaitan dengan penyu laut dilaksanakan di Australia bagian Utara, The Great Barrier Reef, Orissa (India), Mozambique (Afrika bagian Timur), Namibia dan Angola serta Afrika bagian Selatan, Suriname, Guyana, Uruguay, Argentina, Mexico, Ecuador, Italia.


(46)

(3) Pembentukan dan memperkuat wilayah perlindungan (Protected Area) pada daerah peneluran dan habitat penting penyu laut. Upaya pembentukan wilayah perlindungan telah dilaksanakan di pulau-pulau penyu kawasan Asia Tenggara seperti di Malaysia, Indonesia dan Filipina yang dikenal dengan Program Konservasi Tri-National Sea Turtles. Wilayah lainnya pembentukan wilayah perlindungan berada di Viet Nam, The Geat Barrier Reef (Australia), Orissa (India), Pulau Solomon, Samoa, Cape Verde, Senegal, Colombia, Turki, Yunani.

(4) Melibatkan masyarakat lokal dalam memantau, melindungi dan mengelola penyu laut dan sarangnya telah dilaksanakan di Australia bagian Utara dan Barat, Malaysia, pulau Cook, Vanuatu, Klunga (Kenya) Afrika bagian Timur, Brasil, Panama, Spanyol, Turki. Adapun kerja sama antar negara dilaksanakan di Guyana, Guiana Perancis dan Suriname.

Di Indonesia tepatnya di Bali, penyu hijau telah dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar diperkirakan 20.000 ekor per tahun. Gubernur Propinsi Bali telah menetapkan quota 5.000 ekor per tahun untuk upacara Agama Hindu walaupun dalam waktu dekat penyu hijau mengalami kepunahan (Reuters, 1994) disarikan dalam (Nilsson, 2005).

Program konservasi penyu internasional yang dikembangkan di Indonesia, antara lain :

(i) Program perlindungan habitat penyu laut lintas negara

Penandatanganan MoU IOSEA (Indian Ocean and South East Asia Marine Turtle Memorandum of Understanding) merupakan bukti dari kemauan negara-negara di dunia untuk melindungi penyu laut. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani MoU bersama 22 negara lain pada 23 Juni 2001. Setiap negara berkomitmen untuk melindungi, melestarikan, mengembalikan dan memulihkan penyu dan habitatnya atas dasar bukti ilmiah yang terbaik, dan dengan memperhatikan kondisi lingkungan, sosial-ekonomi dan karakteristik budaya negara penandatangan.


(47)

(ii)Perlindungan migratory species

Usulan program Indonesia's Marine Mammal Management Area dari The Nature Conservancy pada pertemuan dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, LIPI, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pariwisata, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, WWF, IWF, Proyek Pesisir, NRM dan CRMP. Pembentukan Kawasan Pengelolaan Habitat Mamalia Laut yang direncanakan di perairan Sawu, Bali, Selat Solor-Alor, Selat Sape, Selat Lombok dan Laut Maluku.

(iii)Pengelolaan Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME).

Sulu Sulawesi Marine Ecoregion meliputi wilayah pesisir dan laut yang terletak di antara Sabah Malaysia, Kalimatan Timur Indonesia dan Pilipina yang mendapat peringkat keempat dalam prioritas global dan peringkat pertama di Asia-Pasifik (DeVantier et al. 2004). Kepulauan Derawan merupakan salah satu lokasi penting di ekoregion Sulu-Sulawesi. MoU tentang pengelolaan SSME. Penandatangan MoU setingkat menteri dari negara Malaysia, Pilipina dan Indonesia pada tanggal 13 Februari 2003.

2.7 Kajian Peraturan Perundangan Berkaitan dengan Konservasi Penyu Konservasi penyu hijau didasarkan: (1) Undang-Undang No. 5 tahun 1990 yang mengatur pengawetan di dalam dan di luar suaka alam dan pemanfaatan spesies; (2) Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 mengatur pengawetan yang meliputi pengelolaan di dalam dan di luar habitatnya; (3) Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 mengatur pemanfaatan spesies. Pada Gambar 17 disajikan diagram konservasi penyu hijau.


(48)

Gambar 17. Diagram konservasi penyu hijau

Peraturan perundangan yang berkaitan dengan konservasi penyu hijau di Indonesia, antara lain :

i) Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

− Pasal 21 (2): Setiap orang dilarang untuk : menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan

memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; a.) menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; b.) mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia

ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; c.) memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkan dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d.) mengambil, merusak, memusnahkan,


(49)

memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.

− Pasal 40 (2) : Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

ii) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

− Pasal 4 (1): Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan: a) tumbuhan dan satwa yang dilindungi; b) tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi; (2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini; (3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority);

− Bab VI: Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Pasal 25 ayat (1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke wilayah Republik Indonesia atau dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin menteri. Ayat (2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus : a. Dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang; b. Dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku. Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur Menteri. iii) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 tentang

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

− Bab XII: Sanksi. Pasal 50: Ayat (3) Barangsiapa mengambil tumbuhan liar atau satwa liar dari habitat alam tanpa izin atau dengan tidak


(1)

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1 Pendugaan umur dewasa dari penyu hijau ………... 15

2 Hubungan antara tujuan, ukuran dan kompleksitas Rancangan Marine Protected Areas ……….. 43

3 Karakteristik ketiga tipe pengelolaan ………. 53

4 Matriks penentuan peringkat tindakan konservasi ………... 65

5 Pulau-pulau kecil di Kepulauan Derawan ……….. 69

6 Terumbu karang di Kepulauan Derawan ... 76

7 Luas padang lamun di Kepulauan Derawan ... 77

8 Penutupan dan jenis tumbuhan pada ekosistem lamun di Kepulauan Derawan ... 78

9 Sebaran ekosistem mangrove di Kepulauan Derawan ... 80

10 Produktivitas setiap jenis ikan di Kabupaten Berau tahun 2002 82

11 Komposisi penduduk Desa Derawan berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin ... 84

12 Mata pencaharian penduduk Desa Derawan di bidang jasa dan perdagangan ... 85

13 Sejarah pengusahaan telur penyu di Kepulauan Derawan... 88

14 Lokasi peneluran penyu yang dikonsesikan Pemerintah Daerah 92 15 Hubungan antara karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman ... 102

16 Hubungan antara zona dan karakteristik pengelolaan ... 103

17 Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari hasil diskusi partisipatif ……... 120

18 Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari pendapat pakar ……… 121

19 Strategi konservasi Desa Derawan, Payung-Payung, Balikukup di Kepulauan Derawan... 135


(2)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1 Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4

2 Kedua sub-spesies penyu hijau (Chelonia mydas) ……… 11

3 Sebaran penyu hijau (Chelonia mydas) ... 12

4 Karakteristik anatomi penyu hijau ………... 13

5 Siklus hidup penyu laut ………... 14

6 Posisi tubuh penyu hijau ketika bertelur ... 16

7 Rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan lamun …... 18

8 Sebaran nesting area dan feeding ground penyu hijau di Indonesia ……….. 19

9 Sebaran ke-32 lokasi peneluran penyu hijau di dunia ... 21

10 Tingkat pertumbuhan populasi penyu hijau ………. 22

11 Pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia ... 23

12 Perolehan PAD Kab. Berau dari pengusahaan telur penyu ... 24

13 Penangkapan induk penyu secara berlebihan ... 25

14 Akibat dari pemanenan telur penyu ……….. 26

15 Ilustrasi jika ketiga hak kepemilikan sumberdaya dialokasikan di wilayah pesisir dan laut ………. 29

16 Peta 44 negara yang telah melaksanakan konservasi penyu laut .. 33

17 Diagram konservasi penyu hijau ... 38

18 Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Derawan ……….. 46

19 Posisi Kepulauan Derawan pada Peta Keragaman Biota Karang dan Ecoregion Sulu-Sulawesi ……….. 47

20 Proses perencanaan konservasi dengan empat komponen ... 48

21 Hirarki derajat pengaturan pengelolaan co-management ... 52

22 Skema perubahan pengelolaan berbasis pemerintah menuju pengelolaan berbasis masyarakat ... 52

23 Skema proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan ... 61


(3)

24 Proses perencanaan konservasi dengan kerangka 5-S ... 62

25 Diagram alir analisis ancaman dan peluang (analysis of threats and opportunities)……….. 64

26 Wilayah studi (BTN dan BKSDA) Ditjen PHKA ………. 66

27 Wilayah studi di 50 UPT yang memiliki wilayah pesisir ……….. 67

28 Peta wilayah studi Kepulauan Derawan ... 68

29 Pulau Maratua dan Pulau Sambit yang pernah menjadi sengketa anatar Indonesia dengan Malaysia ... 70

30 Peta Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) ... 72

31 Profil dari karang tepi, karang penghalang dan karang cincin ... 75

32 Ekosistem lamun (seagrasses) ……….. 77

33 Formasi vegetasi di ekosistem mangrove ... 80

34 Sebaran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan ... 81

35 Peta sebaran daerah peneluran penyu di Kepulauan Derawan ... 87

36 Pengusahaan pemanenan telur penyu oleh CV. Derawan Penyu Lestari ... 89

37 Pedagang telur penyu di Jalan Gajah Mada Samarinda ... 90

38 Lokasi ke-24 UPT yang ada pemanenan telur penyu... 92

39 Lokasi ke-26 UPT yang ada penangkapan penyu ... 93

40 UPT yang melaksanakan kegiatan pengawetan ... 94

41 Struktur organisasi UPT tipe A, B, C ... 96

42 Karakteristik pengelolaan penyu hijau ... 98

43 Karakteristik ancamanpengelolaan penyu hijau ... 99

44 Pengelompokan UPT berdasarkan peringkat jarak dari Bali ... 100

45 Visualisasi koordinat TK-UPT dalam dua dimensi ... 101

46 Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference karakteristik pengelolaan dan ancaman ... 101

47 Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference zona dan karakteristik pengelolaan ... 102

48 Visualisasi koordinat lembaga UPT dalam 2 dimensi ... 104


(4)

viii

49 Visualisasi koordinat 4 dimensi dari lembaga UPT setelah

dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan dan ancaman.. 104

50 Peta sebaran nesting site penyu hijau di Indonesia ... 105

51 Kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri selama 1980-2004 ... 106

52 Rata-rata bergerak dari kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri 107 53 Variasi musiman jumlah penyu yang mendarat di BTN Meru Betiri ... 107

54 Penurunan telur penyu yang ada di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun 1980-2003 ... 108

55 Kurva jumlah telur yang ada dan yang menetas di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun 1980-2003 ... 108

56 Kurva penetasan telur bulanan di BTN Meru Betiri ... 109

57 Penurunan jumlah penyu hijau di BKSDA Kaltim ... 109

58 Penurunan jumlah penyu hijau bulanan di BKSDA Kaltim ... 110

59 Proporsi jumlah penyu yang mendarat di Kepulauan Derawan .... 110

60 Diagram proporsi keempat spesies penyu laut di BTN Alas Purwo ... 111

61 Penyu hijau sebagai speciestarget bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati di Kepulauan Derawan ... 113

62 Kawasan Perlindungan Laut Kepulauan Derawan ... 115

63 Peta bathimetry Kepulauan Derawan ... 116

64 Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan sebagai indikasi dari habitat feeding ... 117

65 Proporsi jumlah penyu di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau ... 117

66 Proporsi jumlah telur di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau ... 118

67 Peta Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan... 119

68 Peta prioritas konservasi di Kepulauan Derawan hasil penilaian pakar ... 121

69 Peta prioritas konservasi di Kepulauan Derawan dari hasil diskusi secara partisipatif ... 122


(5)

70 Tumpang tindih Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan

Derawan ... 123 71 Peta kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut


(6)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Teks Halaman

1 Analisis CATREG - Regression for Categorical Data …….. 150 2 Analisis Hierarchical Clustering ………...…… 156 3 Analisis Multidimensional Scaling (MDS) ... 160 4 Analisis Time Series ... 172 5 Perencanaan Konservasi Setempat (Site Conservation

Planning) ... 178 6 The Analytical Approach ... 198 7 Qoestionnaires untuk Pengelola Penyu ... 210