Gambaran Perilaku Seksual Remaja Indonesa Tahun 2012

di Indonesia p value = 0.000. Hal ini sejalan dengan hasil studi pada mahasiswa di Pekalongan, yakni terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan perilaku seksual MusthofadanWinarti, 2010. Hasil penelitian Sabon 2003 juga menunjukkan adanya hubungan antara umur dengan perilaku berisiko HIVAIDS perilaku seksual berdasarkan SKRRI 2002-2003 Sabon, 2003. Secara biologis, kelompok umur remaja akhir perkembangan seksual mulai matang. Kadar testosterone meningkat, organ seksual mulai berkembang dan berfungsi Potter dan Perry, 2005. Situasi ini menyebabkan hasrat seksual remaja akhir lebih menggebu dibandingkan dengan remaja awal. Secara psikologis, remaja akhir lebih berani dan percaya diri dibandingkan remaja awal. Selain itu, ketergantungan pada orang lain juga menurun. Hal ini cenderung membuat remaja mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan tidak terlalu mementingkan pendapat orang lain. Secara sosial, pada remaja akhir mulai tumbuh „dinding‟ yang memisahkan diri pribadinya private self dan masyarakat umum the public Sarwono, 2005. Remaja akhir biasanya merasa punya kebebasan dan mengendornya kontrol keluarga dan masyakat atas dirinya. Dalam situasi ini, jika remaja tidak memiliki pertahan diri yang baik akan mudah sekali terjerumus pada pergaulan yang negatif bahkan perilaku seksual berisiko IMS.

6.4 Hubungan Tempat Tinggal dengan Perilaku Seksual Remaja Pria Indonesa

Tahun 2012 Tempat tinggal menurut Depkes adalah lokasi rumah sesorang yang dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan Depkes, 2008. Untuk menentukan suatu kelurahan termasuk daerah perkotaan atau pedesaan, digunakan suatu indikator komposit indikator gabungan yang skor atau nilainya didasarkan pada tiga variabel yaitu: kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum BPS, 2007. Menurut karakteristik tempat tinggal, lebih dari separuh remaja pria di Indonesia tahun 2012 tinggal di daerah perkotaan urban yakni sebesar 56.6. Remaja pria di perkotaan dan pedesaan yang berperilaku seksual berisiko IMS persentasenya hampir sama. Perbedaan proporsi remaja yang berperilaku seksual berisiko IMS di pedesaan dan perkotaan sangat tipis yaitu hanya 0.2, namun proporsi di perkotaan lebih tinggi yakni 14.9, sedangkan di pedesaan sebesar 14.7. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Sabon yang menunjukkan bahwa perilaku berisiko HIVAIDS remaja perkotaan lebih tinggi daripada remaja pedesaan Sabon, 2003. Peristiwa semacam ini bisa saja dikarenakan karakteristik masyarakat kota yang lebih permisif terkait perilaku pacaran remaja dan individualisme yang cukup tinggi. Sikap permisif masyarakat kota berkaitan dengan tingginya individualisme. Masyarakat cenderung enggan mencampuri urusan orang lain. Di daerah perkotaan, terlebih kota-kota besar, pemandangan seperti melihat remaja bermesraan melakukan perilaku seksual ringan seperti berpegangan tangan, berpelukan dan berciuman ringan di tempat umum adalah hal yang lumrah. Memang masih ada yang mencegah dan memberi peringatan, namun tak sedikit pula yang membiarkan dengan alasan tidak mau mencampuri urusan orang lain. Selain itu, di kota besar tersedia sarana seperti café remang remang, night club, dan diskotik yang menunjang terjadinya perilaku seks berisiko IMS pada remaja. Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji chi square, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dengan perilaku seksual remaja pria di Indonesia p value = 0.836. Hal ini sejalan dengan studi pada remaja Indonesia, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan sgnifikan antara tempat tinggal dengan perilaku seksual remaja Wijaya, 2015. Analisis lanjur SKRRI 2007 juga menunjukkan hasil serupa, yakni tidak terdapah hubungan bermakna antara variabel daerah tempat tinggal dengan perilaku berisiko pada remaja. Dalam hal ini perilaku berisiko pada remaja meliputi perilaku merokok, konsumsi alkohol, pengunaan narkoba, dan hubungan seksual pranikah LestarydanSugiharti, 2011. Tidak didapatkannya hubungan bermakna antara variabel tempat tinggal dengan perilaku seksual dapat disebabkan beberapa hal. Boleh jadi karena perbedaan proporsi remaja pria yang berperlaku seksual berisiko IMS di perkotaan dan pedesaan sangat tipis, sehingga tidak ditemukan beda proporsi yang signifikan. Selain itu dapat pula karena pembentukan perilaku dipengaruhi banyak faktor, dan tidak pernah dipengaruhi oleh faktor tunggal. Diantara faktor yang mempengaruhi dapat dikelompokkan menjadi faktor yang dapat diubah dan tidak dapat diubah. Faktor demografi merupkan salah satu tidak dapat dirubah. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang cukup luas. Maka itu, tidak dapat disamaratakan status ekonomi sosial demografinya. Secara umum wilayah di Indonesia dikelompokkan manjadi rural pedesaan dan urban perkotaan. Dalam hal ini akan dibahas masing-masing variabel inti menurut disaparias desa dan kota. Pada umumnya, wilayah pedesaanrural identik dengan ketertinggalan, sulitnya pelayanan, minimnya fasilitas dan infrastruktur, namun kekeluargaan pada masyarakatnya juga cukup tinggi. Sementara di perkotaan identik dengan individualisme, kemewahan, fasilitas dan infrastruktur yang memadai.