Pembuktian dan Penatalaksanaan Pencemaran Nama Baik

B. Pembuktian dan Penatalaksanaan Pencemaran Nama Baik

Pada hakekatnya tiap – tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur – unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dari akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Disamping: A kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan pula adanya B hal ikhwal atau kelakuan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal mana oleh van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, dan yang mengenai di luar diri si pembuat. Contoh – contoh yang pertama adalah: hal menjadi pejabat negara pegawai negeri yang diperlukan dalam delik – delik jabatan seperti dalm pasal 413 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan seterusnya Yang terkenal: 418, 419. Kalau hal menjadinya pejabat negara tidak ada, tidak mungkin ada perbuatan pidana tersebut. Selanjutnya: Hal menjadi Ibu dan Anak yang dibunuh dalam pasal 341 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana; hal menjadi pengusaha Koopman dalam pasal 396 dan seterusnya, merugikan para penagih. Contoh: dari golongan ke-2 adalah misalnya dalam pasal 160 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Penghasutan harus dilakukan: ditempat umum. Dalam pasal 332 schaking, melarikan wanita disebut bahwa perbuatan itu harus disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orang tuanya tidak menyetujuinya sedangkan pencemaran nama baik dalam pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana harus diketahui umum. Kadang – kadang dalam rumusan perbuatan pidana yang tertentu, dijumpai pula adanya hal ikhwal tambahan yang tertentu pula; misalnya dalam pasal 164, Universitas Sumatera Utara 165: kewajiban untuk melapor kepada yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru melakukan perbuatan pidana, kalau kejahatan tadi kemudian betul – betul terjadi. Hal kemudian terjadinya kejahatan itu merupakan unsut tambahan. Pasal 331 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana menegaskan suatu keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut. Jika tidak memberi pertolongan orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam bahaya tadi kemudian lalu meninggal. Hal ikhwal tambahan yang tertentu seperti dicontohkan diatas dalam buku – buku Belanda dinamakan “Bijkomende voorwaarden van strafbaarheid”, yaitu syarat – syarat tambahan untuk dapat dipidananya strafbaar seseorang. Keadaan – keadaan yang terjadinya kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan, dinamakan unsur tambahan, karena rationya atau alasannya untuk mengadakan syarat tersebut ialah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan pengganguan ketertiban masyarakat, sehingga perlu diadakan sangsi pidana. Perbuatan pidana yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit : pertama adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian. 76 Maka dari itu, bertalian dengan pendapat – pendapat diatas, saya lebih condong untuk memandangnya bukan sebagai elemen perbutan pidana, tapi sebagai syarat penuntutan, artinya meskipun perbuatan tanpa syarat tambaahan tadi sudah merupakan perbuatan yang tidak baik, namun untuk mendatangkan 76 Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, 1958, hal 252 Universitas Sumatera Utara sanksi pidana, jadi untuk menuntut supaya pembuatnya dijatuhi pidana, diperlukan syarat yang berupa keadaan seyogyanya bagian rumusan delik yang sesungguhnya adalah syarat penuntutan itu dikeluarkan dari rumusan tersebut, dan dijadikan ayat atau pasal tersendiri semacam pasal 319 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, yaitu mengenai syarat penuntutan bagi penghinaan sedangkan Pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana adanya syarat penuntutan bagi pencemaran nama baik. Akan tetapi, adakalanya kepantangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan dengan adanya unsur – unsur diatas. Perlu ditambah dengan kata – kata tersendiri untuk menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal 167 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana melarang untuk memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain, dengan melawan hukum. Rumusan memaksa masuk ke dalam rumah yang dipakai orang lain itu saja dipandang belum cukup untuk menyatakan kepantangannya perbuatan. Harus ditambah dengan unsur: secara melawan hukum. Begitu pula dalam pasal 335 di mana rumusan: memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan cara – cara yang tertentu dianggap belum cukup untuk menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan, sehingga perlu diadakan elemen melawan hukum tersendiri yaitu dalam kata – kata secara melawan hukum, memaksa dan seterusnya. Juga dalam pasal 406 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, demikian halnya sedangkan Pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, pencemaran nama baik belum jelas tuduhan suatu predikat ke dalam orang ke dalam diri manusia, menyatakan sesuatu hal yang tidak memuaskan adalah menyatakan pendapat, ada undang – Universitas Sumatera Utara undang sendiri, dan harus dibedakan antara pendapat dan bebas mengemukakan pendapat dan sifatnya menuduh, tuduhan harus melekat, yang kedua dapat disebut dilakukan dengan cara mengirim email sama dengan surat pribadi pada umumnya sebenarnya tidak juga memenuhi unsur diketahui umum, melainkan pribadi. Unsur melawan hukum dalam rumusan delik yang ternyata pada contoh – contoh diatas, menunjuk kepada keadaan lahir atau obyektif yang menyertai perbuatan. Misalnya dalam pasal 167 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk, karena bukan pejabat kepolisian atau kejaksaan. Dalam pasal 335 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, bahwa terdakwa tidak ada wewenang untuk berbuat begitu, sebab terdakwa tidak utang kepadanya serta tidak melakukan perbuatan apa – apa yang mengakibatkan bahwa pemaksaan patut dilakukan. Dalam pasal 406 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, yaitu mengenai menghancurkan atau merusak barang, sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata dari hal bahwa barang bukan miliknya dan tak dapat izin dari pemiliknya dan tak dapat izin dari pemiliknya untuk berbuat demikian. Disamping itu, ada kalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan obyektif, tetapi pada keadaan subyektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri. Misalnya dalam pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Disini dirumuskan sebagai pencemaran nama baik, dengan maksud untuk menuduh seseorang tersebut telah melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal – hal lahir, tapi digantungkan pada niat orang yang menuduh dengan cara mengirim email tadi. Kalau niat hatinya itu baik, misalnya mengirim email dengan cara yang sopan, Universitas Sumatera Utara maka perbuatan itu tidak dilarang, karena bukan pencemaran. Sebaliknya kalau niat hatinya itu jelek, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencemaran nama baik. Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung daripada bagaimana sikap batinnya terdakwa. Jadi merupakan unsur yang subjektif. Dalam teori unsur melawan hukum yang demikian ini dinamakan “subjektif Onrechtselement” yaitu unsur melawan hukum yang subjektif. Jadi untuk menyimpulkan apa yang diajukan diatas, maka yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah: a. kelakuan dan akibat = perbuatan b. hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. unsur melawan hukum yang obyektif e. unsur melawan hukum yang subyektif. 77 Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan tadi sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri. Akhirnya ditekankan, bahwa meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen – elemen lahir, namun ada kalanya 77 Djoko Prakoso, hal.104 Universitas Sumatera Utara dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif. Jika kita melihat buku II dan III Kitab Undang – Undang Hukum Pidana maka disitu dijumpai beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan beserta sangsinya yang dimaksud untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang. Pencurian misalnya unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai: mengambil barang orang lain adalah pencurian, sebab orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan kemudian diserahkan kepada pemiliknya. Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah pencemaran nama baik, maka dalam pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana disamping unsur-unsur tadi, ditambah dengan elemen lain yaitu: dengan maksud untuk menyebarluaskan melalui email . Pasal 27 Undang- Undang Nomor 11 tahun 2008 tidak bisa berdiri sendiri dan harus di jo pasal 310 karena pencemaran nama baik ada juga pada Pasal 310 sedangkan Pasal 311 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana di tambah dengan unsure yang memberitahu umum, tetapi hal ini tidak dapat membuktikannya, berkenaan dengan hal yang bisa dibukt ikan misalnya seseorang dituduh bahwa dia agak bodoh, hal ini bisa dibuktikan diluar pengetahuannya, misalnya saksi mendapt pelayanan tidak baik sesuatu yang tidak bisa dibuktikan. Universitas Sumatera Utara Jadi rumusan pencurian dalam pasal 45 ayat 1 jo pasal 27 ayat 3 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdiri dari unsur – unsur : 1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya elektronik danatau dokumen, elektronik yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik. Begitu pula misalnya dengan penadahan heling. Dalam pasal 480 ke- 1 dirumuskan dengan unsur – unsur 1, membeli, menyewa, menukar, menggadaikan, menerima sebagai hadiah, menjual untuk dapat untung, mengganti menerima sebagai gadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan barang dan 2. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan. Dalam pasal 480 ke- 2 rumusannya adalah : 1. Menarik untung dari hasil sesuatu barang, dan 2. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan. Akan tetapi cara untuk mengupas perbuatan yang dilarang menjadi beberapa elemen atau unsur seperti diatas, tidak selalu dilakukan. Adakalnya hal itu diselesaikan karena pengupasan semacam itu belum mungkin, atau dianggap kurang baik pada saat membikin aturan, sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik, sedangkan batas – batasnya pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek Universitas Sumatera Utara pengadilan. Contoh – contoh dari cara ini adalah pasal 351 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yaitu: penganiayaan, dan pasal 297 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yaitu perdagangan wanita vrouwenhandle termasuk juga Kasus Prita dalam Pencemaran nama baik dimana Undang – Undang Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 berbeda dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena Undang – Undang Konsumen memberikan perlindungan bagi konsumen sedangkan Informasi dan Transaksi Elektronik tidak demikian. Mengenai penganiayaan, dalam teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi : menimbulkan nestapa leed atau rasa sakit pada orang lain. Tapi mengenai perdagangan wanita batas-batas pengertiannya hingga sekarang belum diketemukan. Karena hanya ditentukan pengertian umum saja, maka cara merumuskan pidana semacam ini, dikatakan memberi kualifikasinya perbuatan saja. Kebanyakan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana selain dari menentukan unsurnya perbuatan yang dilarang, disitu juga diberi kualifikasinya perbuatan. Misalnya dalam pasal 362, 480, dan pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana tadi, disamping penentuan elemennya, juga ditentukan bahwa kualifikasinya adalah “pencurian”, “penadahan” serta “pencemaran nama baik”. Bertalian dengan cara yang demikian ini, maka diajukan soal, apakah dalam hal yang demikian, kualifikasi harus dipandang sebagai singkatan atau kata pendek dari perbuatan yang dirumuskan disitu, ataukah juga mempunyai arti tersendiri, lepas dari penentuan unsur – unsur, sehingga ada dua batasan untuk Universitas Sumatera Utara perbuatan yang dilarang, yaitu batasan menurut unsurnya, dan menurut pengertian yang umum kualifikasi. Dalam menghadapi pertentangan antara pengertian rumusan delik dalam unsur – unsur yang ditentukan dalam wet dan pengertian kualifikasi ini, hemat saya yang mengatakan bahwa dalam banyak hal, pertentangan itu dapat diatasi, jika kita berpendapat bahwa sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap – tiap delik, dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material materiielewederrechtelijkheid. Apa artinya ini akan diterangkan nanti kalau menghadapi masalah tersebut. Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan materiil, dapat disebut pula delik formal dan material. Berbeda dengan pembedaan delik – delik yang akan disebut 12 dimana dalam kenyataannya sifatnya masing – masing memang berbedan disini perbedaan tidak mengenai sifat dalam perumusannya di masing – masing pasal saja. Jadi dalam kenyataan tidak ada perbedaan sifat antara delik formil dan materiil. Perbedaan hanya dalam tulisan yaitu bias dilihat kalau membaca perumusan masing – masing delik. Karenanya, istilah delik formal dan material itu adalah singkatan dari: delik yang dirumuskan secara formal atau material. Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Sebab kelakuan macam itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting untuk masuk perumusan. Misalnya dalam pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana mengenai pencemaran nama baik, yang penting ialah kelakuan Universitas Sumatera Utara untuk memfitnah seseorang. Dalam pasal itu kelakuan dirumuskan sebagai “pencemaran”. Akibat dari pencemaran tadi, misalnya dalam pencemaran nama baik dalam kasus Prita, bahwa si korban lalu harus sakit, tidak dipandang penting dalam formularing dalam pencemaran nama baik. Dikatakan ada perumusan material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam formulering adalah akibatnya: oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Bagaimana caranya mendatangkan akibat dari tidak dianggap penting. Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan Pasal 351 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, pembunuhan pasal 358 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan pasal 310 ayat 2 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit, matinya atau terfitnahnya nama baik seseorang. Bagaimana caranya mendatangkan akibat itu, tidak penting sama sekali. Perlu diajukan pula, bahwa hemat saja ada rumusan – rumusan yang formal – material. Artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya. Contohnya adalah pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yaitu pencemaran nama baik . Akibat yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu, atau memberi utang maupun menghasilkan piutang, mengingatkan pada rumusan yang material. Meskipun demikian tidak tiap – tiap cara untuk menggerakkan hati orang yang tertipu, maksud dalam pengertian penipuan menurut pasal diatas. Hanya kalau caranya Universitas Sumatera Utara menggerakkan hati itu, memakai nama palsu, martabat menurut pasal 378 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Disini terang ada rumusan formal. Mungkin ada orang yang bertanya kalau hanya mengenai perumusan delik saja, apakah perlu diadakan perbedaan. Jawabnya ialah oleh karena perbedaan rumusan itu disatu pihak mempunyai konsekuensi lain dalam bentuk pembuktian; di lain pihak, dan bertalian dengan yang pertama berlainan juga pengaruhnya kepada masyarakat apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan sanksi pidana dirumuskan secara formil atau materil. Hal ini ternyata dalam sejarahnya pasal 154 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, yang dulunya dirumuskan secara materil, dan kemudian untuk memudahkan pembuktian diubah menjadi formal. Dikatakan bahwa dalam hukum pidana, kelakuan atau tingkah laku itu ada yang positif, dan ada yang negatif. Dalam hal kelakuan positif terdakwa berbuat sesuatu, sedangkan dalam hal negatif dia tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Sekarang soalnya ialah apakah maknanya kelakuan atau tingkah laku itu? Dahulu umumnya dikatakan, bahwa kelakuan handeling positif adalah gerakan otot yang dikehendaki een gewilde spier beweging yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat namun sekarang dengan kemajuan zaman dapat saja melalui dokumen elektronik Formulering: gerak otot yang dikehendaki ini ditentang oleh Pompe. Menurut belaiau bagaimanapun pentingnya gerakan otot itu jika dipandang dari sudut psikologi, tetapi untuk hukum pidana dan ilmu hukum pidana, hal itu tidak mempunyai arti. Sebab ada kalanya untuk mengadakan perbuatan pidana tidak Universitas Sumatera Utara diperlukan adanya gerakan otot umpamanya dalam pasal 111 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, sedangkan Pasal 310 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana melaui gerakan elektronik. Sebaliknya adakalanya juga diperlukan beberapa, bahwa banyak sekali gerakan otot. Oleh karena itu, menurut Pompe makna Kitab Undang – Undang Hukum Pidana kelakuan dapat ditentukan dengan tiga syarat yaitu; suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang nampak keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum een gebeuren dat toe te schrijven is aan een mens, uiterlijk waarneembaar en op een doel gericht dat als voorwerp van normen geldt . Universitas Sumatera Utara 72

BAB IV ALTERNATIF PEMECAHAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK