Tungau Parasit Yang Menginfestasi Larva Aedes Spp. Dan Faktor Faktor Ekologis Yang Menentukan Kelimpahannya Di Kabupaten Bogor

TUNGAU PARASIT YANG MENGINFESTASI LARVA Aedes spp.
DAN FAKTOR-FAKTOR EKOLOGIS YANG MENENTUKAN
KELIMPAHANNYA DI KABUPATEN BOGOR

NURHADI EKO FIRMANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tungau Parasit yang
Menginfestasi Larva Aedes spp. dan Faktor-Faktor Ekologis yang Menentukan
Kelimpahannya di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Nurhadi Eko Firmansyah
NIM B252140061

RINGKASAN
NURHADI EKO FIRMANSYAH. Tungau Parasit yang Menginfestasi Larva
Aedes spp. dan Faktor-Faktor Ekologis yang Menentukan Kelimpahannya di
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan BAMBANG HERU
BUDIANTO.
Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi salah satu penyakit endemis di
Indonesia. Pengendalian DBD masih berfokus pada pengendalian Aedes spp.
sebagai vektornya. Tungau parasit pada larva Aedes spp. memberikan alternatif
baru dalam pengendalian Aedes spp. Pengetahuan tentang pengaruh faktor
ekologis terhadap kelimpahan tungau digunakan sebagai langkah awal dalam
landasan kerja dan strategi pengendalian Aedes spp. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi tungau parasit yang menginfestasi larva Aedes spp. dan
menentukan faktor-faktor ekologis yang memengaruhi kelimpahan tungau parasit
larva Aedes spp. di Kabupaten Bogor. Pengambilan larva Aedes spp. sebanyak
2,260 individu dan dilakukan secara langsung pada kontainer yang ditemukan di

dalam dan luar rumah. Lokasi pengambilan larva Aedes spp. tersebar pada
Kelurahan Cibinong, Cirimekar, Ciriung dan Pabuaran yang merupakan daerah
endemis DBD di Kabupaten Bogor. Pengambilan tungau dilakukan menggunakan
insect forceps di bawah mikroskop. Pengaruh faktor ekologis dianalisis
menggunakan analis korelasi dengan tingkat kesalahan sampai dengan 20% (α =
0.20).
Hasil deskripsi morfologi ditemukan sejumlah tungau yaitu Halacarus sp.
(Prostigmata: Halacaridae), Histiostoma sp. (Astigmata: Histiostomatidae), dan
Hydrozetes sp. (Oribatida: Hydrozetidae). Hydrozetes sp. mempunyai kelimpahan
nisbi tertinggi yaitu 91.25%, Histiostoma sp. mempunyai kelimpahan nisbi
sebesar 5% dan Halacarus sp. sebesar 3.75%. Hasil analisis korelasi
menunjukkan bahwa faktor suhu (P = 0.121; R = 0.175) dan Total Dissolved Solid
(TDS) (P = 0.010; R = 0.287) menentukan kelimpahan tungau dengan hubungan
yang sedang dan lemah. Sebaliknya, baik Dissolved Oxygen (DO) (P = 0.366), pH
(P = 0.856) dan bahan dasar kontainer (P = 0.28) tidak menentukan kelimpahan
tungau parasit pada larva Aedes spp.
Kata kunci: Aedes spp., Halacarus sp., Histiostoma sp., Hydrozetes sp., tungau
parasit

SUMMARY

NURHADI EKO FIRMANSYAH. Parasitic Mites Infested on Aedes spp. Larvae
and Ecological Factors Determining Mite Abundance in Bogor Regency.
Supervised by SUSI SOVIANA and BAMBANG HERU BUDIANTO.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) became one of the endemic diseases in
Indonesia. Control of DHF is still focused on controlling Aedes spp. as DHF
vectors. Parasitic mites on the Aedes spp. larvae provide a new alternative in the
control of Aedes spp. Study about the influenced of ecological factors on the mite
abundance are used as the first step in working basis and control strategies on the
Aedes spp. The aims of this research were to identify of parasitic mites on Aedes
spp. larvae and determine the ecological factors of the habitat that affect the
abundance of parasitic mites of Aedes spp. larvae in Bogor Regency. Collection of
Aedes spp. larvae with the number of 2,260 larvae and performed directly on the
container there found within or outside of the house. The location sites of Aedes
spp. larvae dispersed in Cibinong, Cirimekar, Ciriung and Pabuaran Village,
which were endemic area of DHF in Bogor Regency. Isolation of mites from the
Aedes spp. larvae body was performed using insect forceps under microscope. The
influence of ecological factors was analyzed using correlation analysis with
significance levels set at α < 0.20.
The results of morphological descriptions have found some of the mites that

are Halacarus sp. (Prostigmata: Halacaridae), Histiostoma sp. (Astigmata:
Histiostomatidae), and Hydrozetes sp. (Oribatida: Hydrozetidae). Hydrozetes sp.
has the highest abundance that is 91.25%, Histiostoma sp. has abundance that is
5% and Halacarus sp. has abundance that is 3.75%. The results of correlation
analysis indicated that temperature (P = 0.121; R = 0.175) and Total Dissolved
Solid (TDS) (P = 0.010; R = 0.287) are the factors that determined the abundance
of mites, although with medium and low correlation. In contrast, Dissolved
Oxygen (DO) (P = 0.366), pH (P = 0.856) and basic material containers (P = 0.28)
do not determine the abundance of parasitic mites of Aedes spp. larvae.
Keywords: Aedes spp., Halacarus sp., Histiostoma sp., Hydrozetes sp., parasitic mite

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


TUNGAU PARASIT YANG MENGINFESTASI LARVA Aedes spp.
DAN FAKTOR-FAKTOR EKOLOGIS YANG MENENTUKAN
KELIMPAHANNYA DI KABUPATEN BOGOR

NURHADI EKO FIRMANSYAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi: Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS


Judul Tesis : Tungau Parasit yang Menginfestasi Larva Aedes spp. dan Faktor-Faktor
Ekologis yang Menentukan Kelimpahannya di Kabupaten Bogor
Nama
: Nurhadi Eko Firmansyah
NIM
: B252140061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Drh Susi Soviana, MSi
Ketua

Dr Bambang Heru Budianto, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 16 Desember 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2016 ini adalah
tungau parasit air, dengan judul Tungau Parasit yang Menginfestasi Larva Aedes
spp. dan Faktor-Faktor Ekologis yang Menentukan Kelimpahannya di Kabupaten
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si. dan
Bapak Dr. Bambang Heru Budianto, M.S. selaku komisi pembimbing atas ilmu,

arahan, diskusi dan motivasi yang diberikan selama proses penyusunan tesis ini.
Penulis juga mengucapakan terima kasih kepada staf pendidik dan kependidikan
pada program studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) atas ilmu dan
pengalaman selama penulis menempuh studi. Ucapan terima kasih kepada temanteman PEK angkatan 2014 atas persahabatan yang hangat selama ini. Di samping
itu, penulis sampaikan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala
Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor yang telah memberikan
ijin penelitian. Selain itu, terima kasih penulis ucapkan kepada staf Puskesmas
Cirimekar dan Pabuaran, staf Laboratorium Produktivitas Lingkungan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan dan staf Laboratorium Entomologi Fakultas
Kedokteran Hewan IPB yang telah membantu selama pengumpulan data dan
penelitian. Tidak lupa ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada
Ayahanda (alm) yang selalu teriring doa setiap waktu untuk beliau, Ibunda, kedua
adik saya, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017
Nurhadi Eko Firmansyah

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologis Aedes spp.
Bioekologis Tungau Parasit Nyamuk
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kelimpahan Tungau Parasit Nyamuk

3
3
3
5

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penentuan Sampel Penelitian
Pengambilan Sampel Tungau
Pembuatan Preparat Tungau
Identifikasi Larva Aedes spp. dan Tungau
Pengukuran Nilai Faktor Ekologis
Analisis Data


7
7
7
7
7
7
8
8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Tungau Parasit pada Larva Aedes spp.
Kelimpahan Tungau Parasit pada Larva Aedes spp.
Pengaruh Faktor-Faktor Ekologis Terhadap Kelimpahan Tungau

9
9
12
13

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

16
16
16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1 Jumlah kontainer dan rumah diperiksa di Kabupaten Bogor tahun 2016
2 Sebaran tungau pada larva Aedes spp. di Kabupaten Bogor tahun 2016
3 Kelimpahan dan prevalensi tungau pada larva Aedes spp. di Kabupaten
Bogor tahun 2016
4 Hubungan antara kelimpahan tungau dan faktor ekologis
5 Sebaran tungau pada bahan dasar kontainer

9
9
12
13
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Siklus hidup tungau Hydrachnida
Morfologi Halacarus sp.
Morfologi Histiostoma sp.
Morfologi Hydrozetes sp.
Grafik hubungan antara suhu dan kelimpahan tungau
Grafik hubungan antara TDS dan kelimpahan tungau

4
10
10
11
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Pengukuran faktor ekologis pada kontainer
Beberapa kontainer yang diamati pada lokasi penelitian
Hasil analisis korelasi antara suhu dan kelimpahan tungau
Hasil analisis korelasi antara TDS dan kelimpahan tungau
Hasil analisis korelasi antara pH dan kelimpahan tungau
Hasil analisis korelasi antara DO dan kelimpahan tungau
Hasil analisis korelasi bahan dasar kontainer dan kelimpahan tungau

23
24
25
25
25
26
26

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi salah satu penyakit endemis di
beberapa daerah dan penyebab masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Hampir setiap tahun terdapat laporan kejadian luar biasa (KLB) kasus DBD
(Winarsih 2013). Kejadian DBD di Indonesia pada tahun 2013 terjadi di 31
provinsi dengan penderita sebanyak 48,905 orang. Pada tahun 2014, jumlah
penderita mencapai 62,263 orang (Kemenkes RI 2015). Salah satu kabupaten
yang menjadi daerah endemis DBD adalah Kabupaten Bogor. Dilaporkan bahwa
pada tahun 2013 penderita DBD tercatat sebanyak 1,588 orang, pada tahun 2014
tercatat 1,834 orang, sedangkan pada tahun 2015 tercatat 1,201 orang yang
tersebar pada hampir semua kecamatan (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2015)
Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus. Aedes spp. terdistribusi pada daerah tropis dan subtropis (Salim 2011).
Menurut Braks et al. (2003) Ae. aegypti menempati habitat di dalam ruangan pada
daerah perkotaan dan Ae. albopictus menempati habitat di luar ruangan pada
daerah pedesaan. Tersedianya habitat bagi perkembangan Aedes spp. di sekitar
rumah-rumah penduduk di daerah pedesaan maupun perkotaan turut menjadikan
Aedes spp. sulit untuk dikendalikan.
Pengendalian fisik seperti menutup, mengubur, menguras (3M),
penggunaan insektisida dan kelambu serta program pengendalian lainnya dinilai
kurang maksimal dalam menekan populasi Aedes spp. maupun angka kejadian
DBD. Foster et al. (2012) menyebutkan bahwa pengendalian larva Aedes spp.
merupakan strategi efektif yang termasuk dalam pemutusan siklus penularan
untuk menurunkan angka kejadian DBD. Pengendalian larva menjadi efektif
karena sifatnya yang rentan mati daripada pengendalian pada nyamuk dewasa.
Budianto (2007) mengemukakan bahwa tungau parasit pada larva Aedes spp.
memberikan alternatif baru dalam pengendalian Aedes spp. yang lebih ramah
lingkungan. Tungau parasit akan memengaruhi pertumbuhan larva Aedes spp. dari
instar ke instar. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah larva
Aedes spp. yang hidup untuk menjadi dewasa, masa pertumbuhan larva Aedes spp.
menjadi lebih lama dan umur nyamuk dewasa yang berasal dari larva yang
terinfeksi patogen atau parasit biasanya lebih pendek (Lanciani dan Boyt 1977;
Smith 1988).
Lebih lanjut dikonfirmasi oleh Budianto dan Setyowati (2009) bahwa
larva Aedes spp. yang ditemukan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
terinfestasi oleh Piona sp. (Prostigmata: Pionidae) dan Arrenurus sp.
(Prostigmata: Arrenuridae) dengan intensitas tinggi. Smith dan McIver (1984)
mengemukakan bahwa terjadi intensitas parasitasi yang tinggi oleh tungau
Arrenurus danbyensis pada nyamuk dewasa. Parasitasi tersebut mengakibatkan
penurunan produksi telur sampai dengan 30 telur oleh infestasi 20 tungau. Esteva
et al. (2007) menambahkan bahwa tungau Arrenurus sp. berpotensi sebagai
musuh alami nyamuk dengan cara memparasitinya. Parasitasi tungau Arrenurus
sp. dapat mengakibatkan kematian yang tinggi pada individu Aedes spp.
Tingginya mortalitas pada nyamuk berbanding lurus dengan laju parasitisme.

2

Keberadaan Ae. aegypti dan Ae. albopictus pada habitat dipengaruhi oleh
lingkungan fisik dan biologis. Kemampuan menginfestasi dan kelimpahan tungau
parasit pada larva Aedes spp. juga tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor. Di
Sabatino et al. (2004) mengemukakan bahwa faktor abiotik dan biotik seperti pH,
fluktuasi suhu, kandungan ion air, dan musim turut memengaruhi pola distribusi
dan kelimpahan tungau parasit akuatik Hydrachnida. Pengaruh lain ditunjukkan
oleh faktor ketinggian tempat, kecepatan arus air dan tipe habitat (Goldschmidt
2004). Faktor-faktor ekologis yang telah dikemukakan diduga berperan dalam
menentukan kehadiran tungau parasit yang pada kondisi tertentu menjadi faktor
kunci dalam menentukan kelimpahan tungau parasit pada larva Aedes spp. Sejauh
ini belum diketahui aspek apa saja dari faktor ekologis yang menentukan
kelimpahan tungau parasit pada larva Aedes spp. di Kabupaten Bogor.
Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengidentifikasi tungau parasit
yang menginfestasi larva Aedes spp. dan menentukan faktor-faktor ekologis yang
memengaruhi kelimpahan tungau parasit pada larva Aedes spp. di Kabupaten
Bogor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan pengetahuan tentang
tungau parasit yang menginfestasi larva Aedes spp. di Kabupaten Bogor serta
menjadi langkah awal dalam landasan kerja dan strategi pengendalian Aedes spp.
oleh tungau parasit. Hasil penelitian juga dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai
alternatif baru dalam pengendalian DBD.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologis Aedes spp.
Aedes spp. termasuk dalam familia Culicidae subfamilia Culicinae. Aedes
spp. hidup pada ketinggian kurang dari 1,000 m dpl dan tersebar antara 35° LU
dan 35° LS (WHO 2009). Rodriguez dan De La Hoz (2005) mengemukakan
bahwa Aedes spp. yang ditemukan di Kolombia dapat hidup hingga ketinggian
2200 mdpl dengan suhu tahunan mencapai 17 ºC. Aedes spp. yang ditemukan di
India juga dapat hidup pada ketinggian 2121 m dpl. Perilaku tersebut menjelaskan
bahwa Aedes spp. juga dapat tersebar pada ketinggian lebih dari 1000 mdpl.
Perilaku Aedes spp. saat menghisap darah manusia yaitu pada siang hari antara
pukul 09.00 dan 17.00 serta mempunyai puncak gigitan pada pukul 08.00-09.00
dan pukul 16.00-17.00. Kebutuhan darah digunakan Aedes spp. untuk
mematangkan gonadnya guna keperluan proses reproduksi (Hadi dan Koesharto
2006). Hadi et al. (2012) mengemukakan bahwa aktivitas nokturnal (pukul 18.0005.50) ditemukan terjadi pada Ae. albopictus dan Ae. aegypti yang tertangkap
pada rentang waktu antara tahun 2004 dan 2009 di daerah Cikarawang, Babakan,
Cibanteng, Cangkarawuk, Darmaga Bogor, Pulau Pramuka dan P. Pari Jakarta,
Gunung Bugis, G. Karang, G. Utara Balikpapan dan Kayangan Lombok Utara.
Siklus hidup Aedes spp. bermula dari telur. Abreu et al. (2015)
menyatakan bahwa rata-rata kemampuan bertelur Ae. aegypti sekali oviposisi
adalah 40-142 telur. Telur akan berkembang menjadi larva dan larva akan
berkembang menjadi pupa yang semuanya hidup pada habitat akuatik. Fase
terakhir adalah stadium dewasa yang hidup pada habitat terestrial. Rata-rata waktu
yang dibutuhkan untuk menjalankan satu kali siklus hidup Aedes spp. adalah 17
hari (Clements 2000). Secara umum larva Aedes spp. mempunyai empat stadium
perkembangan larva. Larva instar IV pada nyamuk mempunyai tiga segmen toraks
(protoraks, mesotoraks, metatoraks) dan delapan segmen abdomen yang
berbentuk seperti tabung. Pada segmen ke-8 terdapat sifon yang berbentuk seperti
corong sebagai alat pernafasan dan comb scale berbentuk seperti duri sebanyak 821 buah. Larva instar IV pada Ae. aegypti mempunyai sifon berbentuk langsing
yang mempunyai 12-20 gigi pekten dan rambut sifon dengan 3-5 rumbai. Ae.
albopictus mempunyai rambut sifon bagian ventral dengan rumbai ≤ 10 dan gigi
pekten berjumlah ≥ 8 (Clements 2000).
Larva Aedes spp. berkembang biak pada air yang jernih, namun penelitian
Jacob et al. (2014) menyebutkan bahwa larva mampu bertahan hidup pada air got,
air sumur gali, air PDAM dari hari ke-13 sampai ke-18 pada skala laboratorium.
Wongkoon et al. (2007) menyebutkan bahwa larva Aedes spp. menempati habitat
terutama penampungan air di dalam rumah seperti ember, bak mandi, dispenser.
Benda-benda seperti lubang pohon, tempurung kelapa, pot tanaman, botol plastik,
drum, ban bekas yang tergenang air merupakan habitat yang cocok bagi Ae.
albopictus untuk berkembang biak.
Bioekologis Tungau Parasit Nyamuk
Tungau parasit pada larva Aedes spp. termasuk ke dalam tungau
Hydrachnida. Tungau Hydrachnida adalah tungau parasit akuatik yang hidup
berlimpah di air tawar dan spesiesnya beragam. Tungau Hydrachnida mempunyai

4

tubuh membulat dengan warna yang cerah. Panjang tubuh 500 µm – 1500 µm.
Kawasan Oriental yang mencakup negara-negara di Asia Tenggara termasuk
Indonesia bagian barat dan India merupakan kawasan ditemukannya 500 spesies
dari 94 genus, 51 subfamilia, dan 33 familia tungau Hydrachnida. Di kawasan
Australasia yang mencakup Indonesia bagian timur, Papua Nugini dan Australia
telah ditemukan 780 spesies dari 12 genus, 50 subfamilia, dan 30 familia tungau
Hydrachnida. Sebagian besar spesies tungau Hydrachnida memparasiti serangga
seperti Odonata, Ceratopogonidae, Empididae, Chironomidae, maupun pada
Culicidae (Di Sabatino et al. 2008; Martin dan Gerecke 2009; Wiecek 2013).
Tungau Hydrachnida mempunyai tiga stadium aktif yaitu larva,
deutonimfa dan dewasa. Siklus hidup tungau parasit air ini adalah metamorfosis
sederhana, yang diawali dari telur yang diletakkan pada dasar perairan yang
mempunyai permukaan halus (celah bebatuan, permukaan daun tumbuhan air).
Telur menetas menjadi larva, kemudian larva akan mencari inang yang ada di
habitat perairan. Tungau akan menempel pada segmen-segmen tubuh inang dan
tetap berada pada tubuh inang sampai inang menjadi dewasa. Tahap protonimfa
dan tritonimfa diketahui sebagai fase istirahat sebelum tungau menjadi dewasa.
Nimfa ditemukan pada celah bebatuan atau tempat terlindung pada habitat
perairan. Tahap deutonimfa dan dewasa beberapa familia tungau Hydrachnida
diketahui sebagai tahap predator. Durasi waktu parasitisme yang dibutuhkan
bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Setelah menginfestasi
nyamuk dewasa, tungau akan kembali lagi ke habitat perairan pada waktu nyamuk
bertelur (Gambar 1) (Martin dan Gerecke 2009).

Gambar 1 Siklus hidup tungau Hydrachnida (Martin dan Gerecke 2009)

5

Penelitian yang dilakukan Budianto (2016) menemukan tungau parasit dari
familia Pionidae dan Hydryphantidae menempel pada abdomen larva Aedes spp.,
sedangkan familia Hydrachnidae menempel pada toraks larva Aedes spp. di
Kabupaten Karanganyar. A’yunin (2015) menambahkan bahwa tungau dari
familia Hydrachnidae, Hydrozetidae ditemukan pada larva Aedes spp. yang
ditemukan pada tempat penampungan air di Kota Semarang. Tungau dari familia
Hydryphantidae memparasiti larva nyamuk yang hidup dalam air yang
menggenangi lubang-lubang pohon dan kontainer-kontainer pada rumah
(Williams dan Proctor 2002). Larva tungau parasit air dari familia Arrenuridae,
Hydryphantidae, Limnesiidae, Pionidae, Thyasidae diketahui memparasiti stadium
dewasa dan dapat menjadi kandidat musuh alami pada semua stadium nyamuk
(Gerson et al. 2003).
Infestasi tungau parasit larva Aedes spp. juga ditemukan pada beberapa
organ tubuh nyamuk dewasa. Werblow (2015) menemukan Parathyas barbigera
dan Arrenurus globator memparasiti Aedes vexans, Ochlerotatus sp. dan
Anopheles claviger pada bagian kaki, toraks dan abdomen. Hasil penelitian
Kirkhoff (2013) menemukan 593 tungau yang tercatat sebagai Arrenurus sp. dan
Parathyas barbigera yang menempel pada kepala, leher (cervical), abdomen,
toraks, dan tungkai Aedes spp. yang ditemukan di Pennsylvania, AS. Snell dan
Heath (2006) mencatat tungau parasit ditemukan menempel pada bagian ventral
dan dorsal semua ruas abdomen, pada kedua sisi toraks (mesopleuron,
sternopleuron, pronotum, scutelum) dan kaki nyamuk (koksa dan trokanter)
Coquillettidia iracunda, Oncherotatus antipodeus, dan Ochlerotatus notoscriptus.
Salah satu cara tungau memparasiti nyamuk dan efek parasitasi yang
ditimbulkan telah dikemukakan oleh Smith (1988); Lanciani dan Smith (1989);
Gerson et al. (2003) yaitu dengan menusukkan stylostome yang berfungsi seperti
tabung untuk mengisap cairan tubuh (haemolymph) inang. Tusukan stylostome
pada tubuh inang dapat merusak sel otot terbang pada toraks sehingga
mengganggu daya terbang inang. Efek parasitasi yang lain ditunjukkan oleh umur
nyamuk Anopheles crucians berkurang setelah lima hari diparasiti oleh lebih dari
10 tungau. Di samping itu, daya fekunditas Anopheles crucians berkurang yaitu
berupa penurunan produksi telur dari 175 menjadi 125 butir setelah diparasiti oleh
lebih dari 9 tungau.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kelimpahan Tungau Parasit Nyamuk
Populasi tungau Hydrachnida dipengaruhi oleh suhu, kandungan kimia,
kedalaman, substrat, dan kecepatan arus pada suatu perairan (Walter dan Proctor
2013). Wiecek et al. (2013) mengemukakan bahwa kedalaman air, suhu,
kondiktivitas listrik, pH, dissolved oxygen (DO), vegetasi, dan keberadaan
avertebrata lain yang hidup pada habitat perairan berkorelasi dengan keberadaan
dan keragaman tungau Hydrachnida. Lebih lanjut dikemukakan oleh Wiecek et al.
(2013) bahwa pada habitat kolam yang mempunyai rata-rata pH 5.3, konduktivtas
listrik 29 µS/cm, suhu 27.4 ºC, DO 4 mg/l, kedalaman air 47 cm ditemukan 10
spesies tungau parasit air. Pada habitat air semi permanen yang mempunyai ratarata pH 5.2, konduktivtas listrik 51 µS/cm, suhu 16.3 ºC, DO 8 mg/l, kedalaman
air 12 cm ditemukan 8 spesies tungau parasit air. Pada skala laboratorium,
Arrenurus manubriator (Arrenuridae) dapat hidup pada air yang mempunyai pH 3
(Rousch et al. 1997; Walter dan Proctor 2013).

6

Pernyataan lain disampaikan oleh Young (1969) bahwa 44 spesies tungau
Hydracarina ditemukan pada habitat perairan menggenang (danau, kolam) dan 66
spesies tungau Hydracarina ditemukan pada habitat perairan mengalir (sungai).
Sebanyak 11 spesies tungau Hydracarina ditemukan pada kedua habitat tersebut di
Colorado Utara, Amerika Serikat. Gacem et al. (2013) menambahkan tungau
Hydrachnida ditemukan di empat stasiun Danau Tonga, Aljazair dengan
menghubungkan nilai pH, konduktivitas, suhu, dan oksigen terlarut. Nilai pH
berkisar 7.10 - 7.43, suhu 20.90 °C - 21.41 °C, konduktivitas 391.43 mikron/cm 478.43 mikron/cm, oksigen terlarut 3.66 mg/l - 5.13 mg/l. Kelimpahan tungau
Hydrachnida dipengaruhi oleh konduktivitas dan oksigen terlarut.

7

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Cibinong yang merupakan daerah
dengan kasus DBD tertinggi dan endemis DBD di Kabupaten Bogor. Pengolahan
dan analisis hasil penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi, Divisi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan - IPB dan
Laboratorium Entomologi dan Parasitologi, Fakultas Biologi - UNSOED.
Penelitian dilakukan selama 4 bulan (Januari - April 2016).
Penentuan Sampel Penelitian
Metode pengambilan sampel dilakukan dengan survei secara stratified
random sampling. Sampel penelitian berupa larva Aedes spp. Pencarian habitat
larva Aedes spp. dilakukan pada kontainer yang mempunyai genangan air yang
berada di dalam dan di luar rumah. Larva diambil dari kontainer menggunakan
pipet tetes. Air yang mengandung larva kemudian ditampung dalam botol sampel.
Sampel dibawa ke laboratorium untuk diamati tungau yang terdapat pada tubuh
larva. Populasi dengan jumlah yang sulit diprediksi, maka penentuan jumlah
sampel diukur dengan rumus (Berkowitz 2016):

α

n = jumlah sampel
α = tingkat signifikansi yang dipilih

Pengambilan sampel dilakukan dengan α = 5%, maka sampel larva Aedes
spp. yang diamati paling sedikit 400 individu.
Pengambilan Sampel Tungau
Sampel larva Aedes spp. yang didapat kemudian dibawa ke laboratorium.
Larva Aedes spp. dipindah ke objek gelas cekung dan diamati tungau yang
terdapat pada tubuh larva Aedes spp. di bawah mikroskop. Pengambilan tungau
dilakukan menggunakan insect forceps. Tungau yang ditemukan kemudian
dimasukkan ke dalam alkohol 70% untuk tujuan preservasi sebelum diidentifikasi
dan dihitung jumlah tungau.
Pembuatan Preparat Tungau
Pembuatan preparat sampel tungau diawali dengan proses fiksasi yaitu
proses menghilangkan kotoran yang ada pada tubuh tungau menggunakan alkohol
70%. Selanjutnya dilakukan proses maserasi yaitu proses menipiskan lapisan kitin
pada tubuh tungau dengan larutan KOH 10% selama 1-2 hari. Proses yang
terakhir adalah mounting dengan menggunakan larutan Hoyer’s. Untuk
merekatkan tungau pada objek gelas digunakan entelan (Krantz dan Walter 2009).
Identifikasi Larva Aedes spp. dan Tungau
Identifikasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jenis dan ciri-ciri
morfologi dari larva Aedes spp. dan tungau yang ditemukan. Identifikasi larva
Aedes spp. dilakukan menggunakan acuan pustaka Rueda (2004). Identifikasi
tungau dilakukan menggunakan acuan pustaka Proctor (2006); Krantz dan Walter
(2009).

8

Pengukuran Nilai Faktor Ekologis
Faktor ekologis yang diukur dalam penelitian ini adalah Dissolved Oxygen
(DO), pH air, suhu air, Total Dissolved Solid (TDS), dan bahan dasar kontainer.
Pengukuran Dissolved Oxygen (DO)
Pengukuran nilai DO dilakukan menggunakan peralatan DO meter. Prinsip
kerjanya adalah dengan mencelupkan DO meter ke dalam air. Kemudian mencatat
nilai yang keluar pada DO meter.
Pengukuran pH Air
Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Prinsip
kerjanya adalah dengan mencelupkan elektrode pH meter ke dalam air, kemudian
dilihat nilai yang keluar dari pH meter dan mencatat nilai tersebut.
Pengukuran Suhu Air
Pengukuran nilai suhu dilakukan dengan menggunakan termometer.
Prinsip kerjanya adalah dengan mencelupkan termometer ke dalam air yang akan
diukur, kemudian mencatat nilai suhu air yang keluar.
Pengukuran Total Dissolved Solid (TDS)
Pengukuran TDS dilakukan dengan menggunakan TDS meter. Prinsip
kerjanya adalah dengan mencelupkan bagian ujung TDS sedalam 3-4 cm ke dalam
air yang diuji, kemudian mencatat angka yang keluar dari TDS meter.
Bahan Dasar Kontainer
Keberadaan kontainer dilihat dengan pengamatan secara visual dan
ditentukan bahan dasarnya. Bahan dasar plastik dan fiber diberi angka 1, kayu
diberi angka 2, olahan semen dan pasir diberi angka 3, tanah diberi angka 4,
logam diberi angka 5, karet diberi angka 6 dan kaca diberi angka 7.
Analisis Data
Analisis Jenis dan Kelimpahan Tungau
Jenis tungau parasit diidentifikasi pada tingkat takson genus. Jenis tungau
yang diperoleh kemudian dilakukan analisis deskriptif untuk menggambarkan
morfologi tungau dan membandingkannya dengan pustaka. Data jumlah tungau
dihitung dan dianalisis kelimpahan nisbi tungau parasit pada larva Aedes spp.
berdasarkan:
Kelimpahan Nisbi =

Jumlah individu tungau ke-i yang ditemukan
Jumlah seluruh individu tungau yang ditemukan

x 100 %

Analisis Faktor Ekologis
Hubungan antara faktor ekologis yang telah diukur dan kelimpahan tungau
dilihat menggunakan analis korelasi sampai dengan tingkat kesalahan 0.20
(α=20%). Analisis korelasi tersebut dihitung dengan menggunakan bantuan
perangkat lunak SPSS 16.

9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Tungau Parasit pada Larva Aedes spp.
Sebanyak 2,260 larva Aedes spp. diambil dari 80 kontainer yang tersebar
di Kelurahan Cibinong (20 kontainer), Kelurahan Cirimekar (20 kontainer),
Kelurahan Pabuaran (20 kontainer), Kelurahan Ciriung (20 kontainer). Sebanyak
80 kontainer positif larva Aedes spp. tersebut diperoleh dari 487 kontainer yang
telah diperiksa dan tersebar pada 221 rumah (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah kontainer dan rumah diperiksa di Kabupaten Bogor tahun 2016
No

Lokasi

1
2
3
4

Cibinong
Cirimekar
Pabuaran
Ciriung
Jumlah

Rumah
diperiksa
64
42
55
60
221

Kontainer
diperiksa
156
98
112
131
497

Kontainer (+)
Aedes spp.
20
20
20
20
80

Kontainer (-)
Aedes spp.
136
78
92
111
417

Hasil pengamatan terhadap tungau parasit menunjukkan bahwa tungau
yang diperoleh telah teridentifikasi sebagai Halacarus sp. (Gambar 2),
Histiostoma sp. (Gambar 3) dan Hydrozetes sp. (Gambar 4) yang ditemukan
tersebar pada lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Bogor (Tabel 2).
Morfologi hasil identifikasi tungau Halacarus sp., Histiostoma sp. dan Hydrozetes
sp. yang ditemukan berturut-turut disajikan pada deskripsi berikut.
Tungau pertama yang ditemukan adalah tungau dari familia Halacaridae,
yaitu Halacarus sp.. Familia Halacaridae termasuk dalam ordo Prostigmata yang
mempunyai 17,170 spesies yang terbagi ke dalam 1,348 genera dan 131 familia.
Prosigmata merupakan ordo yang sangat beragam dengan variasi panjang tubuh
yang lebar (100-1600 µm). Dijumpai pada beragam habitat sebagai predator,
parasit, fitofag dan fungivor. Stigmata terletak di depan pada sisi tepi anterior
propodosoma atau di antara bagian pangkal chelicerae (Evans 1992).
Tabel 2 Sebaran tungau pada larva Aedes spp. di Kabupaten Bogor tahun 2016
No

Lokasi

1

Cibinong

2

Cirimekar

3

Ciriung

4

Pabuaran

Familia
Halacarus sp.
Histiostoma sp.
Hydrozetes sp.
Halacarus sp.
Histiostoma sp.
Hydrozetes sp.
Halacarus sp.
Histiostoma sp.
Hydrozetes sp.
Halacarus sp.
Histiostoma sp.
Hydrozetes sp.

Astigmata:
Histiostomatidae

-

Ordo
Prostigmata:
Halacaridae


-

Oribatida:
Hydrozetidae





10

A

B

C

Gambar 2 Morfologi Halacarus sp. : (A) bagian ventral; (B) bagian kaki II
mempunyai cakar (cw); (C) bagian dorsal (Proctor 2006)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tungau Halacarus sp. (Prostigmata:
Halacaridae) yang ditemukan mempunyai ciri-ciri tubuh berwarna coklat dengan
panjang tubuh kurang lebih 100 µm. Tubuh pipih dorso-ventral dan kaki I-IV
mempunyai cakar tetapi tidak terdapat setae renang pada kakinya. Menurut Pepato
dan Da Silveira (2013), genus Halacarus mempunyai genu yang lebih panjang
dibandingkan dengan tibia dan telofemur. Palpus dengan 4 segmen dan setae pada
dorsal sebanyak 6 pasang. Tungau betina mempunyai 2 – 15 pasang setae pada
perigenital dan tidak terdapat setae pada bagian anal. Krantz dan Walter (2009)
menambahkan familia Halacaridae mempunyai panjang tubuh kurang dari 800
µm. Bentuk tubuh menyerupai berlian (segi enam). Terdapat 5-10 pasang setae
pada bagian idiosoma. Terdapat cakar pada kaki ke I-IV. Tungau Halacaridae
stadium dewasa mempunyai 2 pasang alat kelamin menonjol yang tertutupi katup
alat kelamin.
Histiostoma sp. merupakan tungau dari familia Histiostomatidae yang
termasuk ke dalam ordo Astigmata. Ordo ini mempunyai sekitar 4,500 spesies
yang terbagi atas 627 genera dan 70 familia. Spesies dari ordo Astigmata biasanya
tersklerotisasi lemah, berukuran sedang (200-1200µm), tidak mempunyai stigmata
dan dijumpai pada berbagai habitat (Evans 1992).
A

B

Gambar 3 Morfologi Histiostoma sp. : (A) bagian ventral terdapat sucker plate
(sp); (B) bagian dorsal dan ventral (Asbfaq et al. 2000)

11

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tungau Histiostoma sp. (Astigmata;
Histiostomatidae) yang ditemukan mempunyai ciri-ciri tubuh berwarna coklat
dengan panjang tubuh kurang lebih 200 µm. Terdapat beberapa setae pada bagian
penonjolan alat kelamin yang berbentuk lingkaran (sucker plate). Kaki I-IV
mempunyai cakar dan tidak mempunyai setae renang. Asbfaq et al. (2000)
menyatakan Histiostoma sp. mempunyai tubuh yang lembut, terdapat 13 pasang
setae pada bagian dorsal. Tibia kaki ke-II dengan 2 setae, tibia kaki ke-III dan
tarsus kaki ke-III dengan 8 setae, tibia dan tarsus kaki ke-IV dengan 7 setae.
Pedipalpus lebih kecil daripada genu dan tibia kaki ke-I. Krantz dan Walter (2009)
menambahkan familia Histiostomatidae hidup kosmopolit dengan ukuran tubuh
relatif besar dan pipih dorsoventral. Kaki III dan IV melengkung menghadap ke
arah gnatosoma. Pada daerah ventral terdapat sucker plate yang berbentuk
lingkaran. Tibia kaki I-II mempunyai 0-2 setae ventral. Tidak mempunyai
empodium pada cakar.
Hydrozetes sp. merupakan tungau dari familia Hydrozetidae. Familia
Hydrozetidae termasuk ke dalam ordo Oribatida yang mempunyai sekitar 11,000
spesies yang terbagi atas 1,100 genera dan 150 familia. Tungau ordo Oribatida
berukuran sedang (200 – 1200 µm) dan idiosoma tersklerotisasi sangat tebal
(Evans 1992). Ordo Oribatida dijumpai pada habitat terrestrial (tanah) dan
beberapa spesies dijumpai pada habitat akuatik. Warna tubuh coklat tua, tetapi
diketahui beberapa spesies mempunyai pigmen warna merah dan kuning (Krantz
dan Walter 2009).
B

A

C

D

Gambar 4 Morfologi Hydrozetes sp.: (A) bagian ventral terdapat ventrianal shield
yang membuka lebar (oa); (B) bagian kaki I-II mempunyai cakar (cw)
dan setae (st); (C) bagian dorsal dan ventral (Ermilov 2006) (D) bagian
kaki I-IV (Ermilov 2006)

12

Hydrozetes sp. (Oribatida: Hydrozetidae) yang telah diamati mempunyai
ciri-ciri tubuh berwarna coklat kemerahan, panjang tubuh 227 µm – 450 µm,
panjang gnatosoma 60-88 µm, panjang idiosoma 160 – 370 µm. Setiap kaki
mempunyai satu claw dan tidak mempunyai setae renang. Ermilov (2006)
menambahkan genus Hydrozetes mempunyai panjang tubuh sampai dengan 488
µm dan lebar tubuh sampai dengan 299 µm. Warna tubuh coklat dengan bentuk
tubuh oval pada hysterosoma dan terdapat 13 pasang setae pada hysterosoma.
Pada bagian ventral, di sekitar lubang alat kelamin terdapat 6 pasang setae dan 2
pasang setae pada bagian anal. Krantz dan Walter (2009) menambahkan familia
Hydrozetidae mempunyai lenticulus yang berbentuk lingkaran, panjang tubuh
sampai dengan 700 µm. Terdapat 13 atau 15-17 pasang setae pada bagian
notogastral. Familia Hydrozetidae mempunyai lubang alat kelamin yang besar
dan membuka lebar.
Kelimpahan Tungau Parasit pada Larva Aedes spp.
Sebanyak 80 individu tungau parasit telah didapatkan dari 2,260 larva
Aedes spp. yang teridentifikasi sebagai Aedes aegypti dan Ae. albopictus.
Kelimpahan dan prevalensi tungau pada larva Aedes spp. yang ditemukan
menunjukkan hasil yang bervariasi seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Kelimpahan dan prevalensi tungau pada larva Aedes spp. di Kabupaten
Bogor tahun 2016
No
1
2
3
4

Inang
Aedes
Aedes
aegypti
albopictus
Cibinong
25
497
Cirimekar
502
Ciriung
21
548
Pabuaran
667
Jumlah
46
2,214
Kelimpahan Nisbi
Prevalensi

Kelurahan

Jenis Tungau
Halacarus sp.
2
1
3
3.75%

Histiostoma sp.
4
4
5%
0.035

Hydrozetes sp.
17
26
12
18
73
91.25%

Halacarus sp. (Prostigmata: Halacaridae) ditemukan pada wilayah
sampling Kelurahan Cibinong dan Cirimekar dengan kelimpahan nisbi sebesar
3.75% dan ditemukan pada larva Ae. albopictus. Menurut Krantz dan Walter
(2009) tungau familia Halacaridae tersebar pada seluruh dunia dan kelimpahan
tertinggi dijumpai pada daerah tropis. Familia Halacaridae terdiri atas 68 genus
dan 1,118 spesies yang hidup di habitat air asin (laut) dan air tawar. Secara khusus
belum ada laporan mengenai pola migrasi, penyebaran dan siklus hidup tungau
parasit Halacaridae (Bartsch 2004; Bartsch 2009).
Histiostoma sp. (Astigmata: Histiostomatidae) ditemukan pada larva Ae.
albopictus dan ditemukan hanya di Kelurahan Ciriung dengan nilai kelimpahan
nisbi sebesar 5%. Menurut Krantz dan Walter (2009) familia Histiostomatidae
mempunyai 58 genus dan lebih dari 500 spesies. Keragaman tertinggi dapat
ditemukan pada kontainer habitat alami seperti lubang pohon yang penyebarannya
dibantu oleh spesies dari ordo Diptera dan Hemiptera. Beberapa spesies tungau
dari familia Histiostomatidae menempel pada segmen-segmen tubuh spesies
Diptera seperti Synthesiomyia nudiseta. Fashing (2010) menambahkan bahwa

13

tungau Histiostomatidae mempunyai organ pengait (sucker plate) berbentuk
seperti piring yang terletak pada bagian ventral tubuhnya. Organ tersebut
mempunyai 2 pasang setae yang secara bersama-sama berfungsi untuk menempel
pada tubuh inang. Budianto dan Widiastuti (2012) menemukan tungau
Histiomatidae sebanyak 16 individu dari larva Aedes spp. yang tersebar di Kota
Semarang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Hydrozetes sp. (Oribatida: Hydrozetidae) ditemukan pada larva Ae.
albopictus dan diperoleh dari semua wilayah sampling. Nilai kelimpahan nisbi
yang telah dihitung adalah sebesar 91.25%. Tingginya nilai kelimpahan yang
diperoleh diduga karena Hydrozetes sp. mempunyai cakar yang termodifikasi
untuk menempel pada tubuh inangnya dengan kuat, sehingga jumlah Hydrozetes
sp. yang didapatkan lebih banyak daripada Halacarus sp. dan Histiostoma sp..
Menurut Seniczak dan Seniczak (2008) tungau familia Hydrozetidae mempunyai
cakar yang runcing untuk menempel pada permukaan inang. Seniczak (2011)
menemukan kepadatan Hydrozetes lemnae dan H. thienemanni (Hydrozetidae)
pada perairan kolam berturut-turut yaitu 121,000 individu/m2 dan 11,000
individu/m2. Penelitian A’yunin (2015) menemukan 3 individu tungau dari familia
Hydrozetidae pada larva Aedes spp. yang didapatkan dari tempat penampungan air
di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Jumlah jenis tungau yang ditemukan dan nilai prevalensi yang dihasilkan
dalam penelitian ini berturut-turut adalah 3 jenis dan 0.035. Nilai prevalensi
tergolong rendah. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Budianto dan
Widiastuti (2012) yang menemukan 5 jenis (familia Pionidae, Histiostomatidae,
Hydryphantidae, Hydrachnidae, Arrenuridae) dengan nilai prevalensi sebesar 2.2
di Kabupaten Banjarnegara. Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan faktor
lingkungan antar kedua wilayah. Werblow (2015) menambahkan prevalensi
tungau parasit terhadap nyamuk Ae. vexans, Onchlerotatus sp., Anopheles
claviger, berturut-turut adalah 0.07, 1.3 - 28.57, dan 20.00. Walter dan Proctor
(2013) menyatakan populasi tungau Hydrachnida dipengaruhi oleh suhu,
kandungan kimia, kedalaman, substrat, dan kecepatan arus pada suatu perairan.
Pengaruh Faktor-faktor Ekologis Terhadap Kelimpahan Tungau
Faktor-faktor ekologis yang telah diukur adalah DO, pH, suhu, TDS dan
bahan dasar kontainer. Parameter DO, pH, suhu dan TDS diukur secara langsung,
sedangkan pengamatan bahan dasar kontainer dilakukan secara visual. Analisis
korelasi digunakan untuk melihat pengaruh antara faktor ekologis dan kelimpahan
tungau parasit (Tabel 4).
Tabel 4 Hubungan antara kelimpahan tungau dan faktor ekologis
No
1
2
3
4
5

Parameter
DO (mg/l)
pH
Suhu (º C)
TDS (mg/l)
Bahan Dasar Kontainer
*terdapat korelasi

Kisaran Nilai
1.10 – 8.00
5.00 – 8.89
26.50 – 31.80
16.40 – 186.90
-

Rata-rata
3.59 ± 1.59
7.09 ± 0.75
29.33 ± 1.28
62.49 ± 49.05
-

p-value
0.366
0.856
0.121*
0.010*
0.280

14

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa DO tidak berhubungan dengan
kelimpahan tungau parasit (P= 0.366 > α= 0.20). Hal ini berarti bahwa DO tidak
berpengaruh terhadap kelimpahan tungau. Kisaran DO yang telah diukur adalah
1.10 - 8.00 mg/l dengan rata-rata 3.59 ± 1.59 mg/l. Kadar DO yang rendah dalam
sampel air yang diukur menunjukkan kadar oksigen yang terlarut terlalu sedikit.
Adapun tungau parasit tidak mengambil oksigen secara langsung dari oksigen
yang terlarut dalam air. Sesuai dengan pernyataan Krantz dan Baker (1982) bahwa
Hydrozetes sp. dan Limnozetes sp. (Hydrozetidae) mempunyai mekanisme dalam
melakukan pengambilan oksigen dari udara bebas yaitu melalui plastron yang
terdapat pada tubuhnya. Rieradevall dan Gil (1993) menyebutkan kepadatan
tungau air yang ditemukan pada Danau Banyoles, Spanyol adalah 25 individu/m2
dengan kisaran oksigen terlarut 0.05 - 11.2 mg/l.
Hubungan antara pH dan kelimpahan adalah tidak nyata (P= 0.856 > α=
0.20). Hal ini berarti bahwa pH tidak menentukan kelimpahan tungau parasit.
Kisaran pH yang telah diukur adalah 5.00 - 8.89 dengan rata-rata pH sebesar 7.09
± 0.75. Kadar pH yang telah diukur menunjukkan nilai yang bervariatif. Hal
tersebut memunculkan dugaan bahwa tungau parasit cenderung toleran dengan
kondisi pH asam < 7 maupun basa pH > 7. Menurut Ngodhe et al. (2014) pH
merupakan suatu ukuran yang menyatakan asam atau basa serta ukuran untuk
mengetahui kandungan ion hidrogen dalam suatu perairan. pH memengaruhi
kandungan DO dalam air, fotosintesis organisme akuatik (fitoplankton) dan
sensitivitas organisme terhadap polusi, parasit, penyakit. Walter dan Proctor
(2013) menambahkan bahwa pH berhubungan dengan keragaman tungau air tetapi
efek pH berkontribusi kecil secara langsung terhadap kehidupan tungau. Lebih
lanjut Edwards (2004) menyatakan bahwa secara in vitro, tungau parasit
Unionicola foili (Unionicolidae) dapat bertahan hidup sampai dengan 23.5 hari
pada pH 5.2, 22 hari pada pH 7 dan 32.5 hari pada pH 7.8.
Suhu berhubungan dengan kelimpahan tungau (P= 0.121 < α= 0.20; R=
0.175). Hal ini menunjukkan bahwa suhu menentukan kelimpahan tungau. Namun
hubungan tersebut cenderung lemah dan pengaruh suhu hanya menyumbang 3.1%
(R²= 0.031), sedangkan faktor lain memengaruhi sebesar 96.9%. Kisaran suhu
yang telah diukur adalah 26.5 - 31.8 ºC dengan rata-rata 29.33 ± 1.28 ºC.
Berpengaruhnya suhu terhadap kelimpahan tungau parasit diduga karena tungau
tidak mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap variasi suhu lingkungan untuk
dapat bertahan hidup. Grafik hubungan antara suhu dan kelimpahan tungau
cenderung inverse (Gambar 5). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin
tinggi nilai suhu maka kelimpahan tungau semakin rendah. Edwards (2004)
mengungkapkan bahwa tungau parasit Unionicola foili (Unionicolidae) dapat
bertahan hidup sampai dengan 16.5 hari pada suhu 25 ºC, 11 hari pada suhu 33 ºC
dan 4 hari pada suhu 38 ºC. Di Sabatino et al. (2004) menambahkan bahwa suhu
yang berkisar antara 4.2 - 16 ºC berhubungan kuat (R=0.67) dengan keragaman
tungau Hydrachnida dan Halacaridae yang ditemukan pada Danau Alpine, Italia.
Wiecek et al. (2013) menambahkan faktor suhu (p-value= 0.003) dan
konduktivitas (p-value= 0.001) memengaruhi kelimpahan tungau Hydrachnida
yang tersebar pada perairan di Polandia.

15

y = -8.662 + 282.874x

Suhu (° C)

Gambar 5 Grafik hubungan antara suhu dan kelimpahan tungau
Total Dissolved Solid (TDS) berhubungan dengan kelimpahan tungau (P=
0.010 < α= 0.20; R= 0.287). Hubungan tersebut cenderung sedang dan pengaruh
TDS hanya menyumbang 8.2% (R²= 0.082), sedangkan 91.8% dipengaruhi oleh
faktor lain. Nilai TDS yang telah diukur berkisar antara 16.40 - 186.90 mg/l
dengan rata-rata 62.49 ± 49.05 mg/l. Grafik hubungan antara kelimpahan tungau
dan TDS cenderung linier (Gambar 6). Menurut Prommi dan Payakka (2015) TDS
didefinisikan sebagai total garam mineral (ion sodium, klorida, magnesium, dan
kalsium) yang terkandung dalam air. Belum ada laporan mengenai ion-ion yang
memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tungau parasit. Diduga bahwa jika
kelangsungan hidup tungau terjaga, maka infestasi tungau parasit terhadap inang
akan tetap berlangsung dan secara tidak langsung memengaruhi kelimpahan
tungau parasit pada larva Aedes spp. Evans (1992) mengemukakan bahwa ion-ion
diperlukan bagi kelangsungan hidup tungau dalam melakukan proses ekskresi dan
osmoregulasi. Asci et al. (2015) menyatakan logam berat (Al, Be, Ca, Cd, Co, Cr,
Cu, Fe, Ga, K, Li, Mg, Mn, Na, Ni, Pb, Se, Sr, Te, Tl, Zn, Bl) yang terkandung
dalam Danau Eber dan Karamik menurunkan kelimpahan tungau air. Kandungan
logam berat tersebut dalam danau berkorelasi negatif (R= -0.234) dengan
kelimpahan tungau.

y = 0.117 + 0.014x

TDS (mg/l)

Gambar 6 Grafik hubungan antara TDS dan kelimpahan tungau

16

Sebaran tungau pada bahan dasar kontainer tersaji pada Tabel 5. Hasil
menunjukkan bahwa bahan dasar kontainer tidak berkorelasi terhadap kelimpahan
tungau (P= 0.28 > α= 0.20). Tungau parasit cenderung mengikuti inang dalam
menentukan habitat yang akan menjadi tempat perkembangbiakkannya.
Tabel 5 Sebaran tungau pada bahan dasar kontainer
No

Tungau

1
2
3

Halacarus sp.
Histiostoma sp.
Hydrozetes sp.

Jumlah Tungau Ditemukan pada Bahan Dasar Kontainer
Plastik
Karet Logam Kaca
Semen
kayu
3
4
24
31
1
8
9

Menurut Di Sabatino et al. (2004), interaksi antara inang dan tungau
Hydrachnida memainkan peranan penting dalam pola distribusi tungau. Hilangnya
inang dapat memengaruhi secara tidak langsung keberadaan tungau Hydrachnida
pada habitat. Menurut Walter dan Proctor (2013) bahwa tungau air dapat
ditemukan pada air yang menggenangi lubang pohon, pucuk tanaman, dan ruas
bambu serta pada perairan menggenang dan mengalir.

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tungau parasit yang ditemukan menginfestasi larva Aedes spp. di
Kabupaten Bogor adalah Halacarus sp., Histiostoma sp. dan Hydrozetes sp.
dengan nilai kelimpahan nisbi berturut-turut yaitu 3.75%, 5%, 91.25%. Faktorfaktor ekologis berupa suhu (P= 0.12; R= 0.175) dan Total Dissolved Solid (TDS)
(P = 0.010; R = 0.287) memengaruhi kelimpahan tungau.
Saran
Penelitian lanjutan perlu dilakukan di berbagai lokasi endemis Demam
Berdarah Dengue untuk mengetahui tungau parasit larva Aedes spp. lainnya.
Faktor-Faktor lain seperti faktor biotik, musim, konduktivitas air, Total Suspended
Solid (TSS) juga perlu ditambahkan untuk mengetahui korelasinya terhadap
kelimpahan dan keragaman tungau.

17

DAFTAR PUSTAKA
Abreu FVSD, Morais MM, Ribeiro SP, Eiras AV. 2015. Influence of breeding site
availability on the oviposition behaviour of Aedes aegypti. Mem Inst
Oswaldo Cruz. 110(5):669-676.
Asbfaq M, Sarwar M, Amjad AW. 2000. Two new mite species (Hypopi) of the
genus Histiostoma on (Acari: Histiostomatidae) from Pakistan. Pak J Agri
Sci. 37:33-41.
Asci F, Bahadir M, Akkus GU. 2015. Study on the impact of elements in water on
the diversity of water mites (Acari, Hydrachnida) species. Advnc Biosc
Biotech. 6:259-264.
A’ýunin Q. 2015. Pola distribusi tungau parasit larva nyamuk Aedes spp. di
daerah endemis demam berdarah dengue (DBD) di Kota Semarang
[skripsi]. Purwokerto (ID): Universitas Jenderal Soedirman.
Bartsch I. 2009. Checklist of marine and freshwater halacarid mite genera and
species (Halacaridae: Acari) with notes on synonyms, habitats, distribution
and descriptions of the taxa. Zootaxa. 1998: 1-170.
Berkowitz. 2016. Sample size estimation [internet]. [diunduh 2 Januari 2016].
Tersedia pada: www.columbia.edu/~mvp19/RMC/M6/M6.doc
Braks MAH, Hono NA, Oliveira RLO, Juliano SA, Lounibos LP. 2003.
Convergent habitat segregation of Aedes aegypti and Aedes albopictus
(Diptera: Culicidae) in southeastern Brazil and Florida. J Med Entomol.
40(6):785-794.
Budianto BH. 2007. Keragaman tungau air pada stadium pradewasa nyamuk
Aedes aegypti [penelitian mandiri]. Purwokerto (ID): Universitas Jenderal
Soedirman.
Budianto BH, Setyowati EA. 2009. Seleksi tungau parasit lokal yang berpotensi
sebagai agen pengendali hayati larva Aedes aegypti [penelitian I’MHERE].
Purwokerto (ID): Universitas Jenderal Soedirman.
Budianto BH, Widiastuti R. 2012. Distribusi geografis tungau parasit nyamuk
Aedes spp. di daerah endemis demam berdarah dengue di Propinsi Jawa
Tengah. Biosfera. 29(2): 65-70.
Budianto BH. 2016. Prevalensi tungau parasit pada larva Aedes spp. di daerah
endemis demam berdarah dengue Kabupaten Karanganyar. In Isu-Isu
Kontemporer Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek. ISSN: 2557-533X.
Clements AN. 2000. The Biology of Mosquitoes: Development, Nutrition, And
Reproduction. Oxon (UK): CABI Publishing.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. 2015. Penderita DBD/DSS di Kabupaten
Bogor berdasarkan tempat dan umur. Bogor (ID): Dinkes Bogor.
Di Sabatino A, Boggero A, Miccoli FP, Cicolani B. 2004. Diversity, distribution
and ecology of water mites (Acari: Hydrachnida and Halacaridae) in high
Alpine lakes (Central Alps, Italy). Exp Appl Acarol. 34:199-210.
Di Sabatino A, Smit H, Gerecke R, Goldschmidt T, Matsumoto N, Cicolani B.
2008. Global diversity of water mites (Acari; Hydrachnida; Arachnida) in
freshwater. Hydrobiologia.595:303-315.DOI:10.1007/s10750-007-9025-1.
Evans OG. 1992. Principles of acarology. Wallingrofd (GB): CABI Publishing
Division of CABI Int.

18

Edwards DD. 2004. Effects of low pH and high temperature on hatching and
survival of the water mite Unionicola foili (Acari: Unionicolidae).
Proceedings of the Indiana Academy of Science. 113(1):26-32.
Ermilov SG. 2006. The life cycle of Hydrozetes Lemnae (Oribatei, Hydrozetidae).
Entomol Rev. 86:177-181.
Esteva L, Rivas G, Yang HM. 2007. Assessing the effects of parasitism and
predation by water mites on the mosquitoes. Tema Tend Mat Apl Comput.
8(1):63-72.
Fashing NJ. 2010. Two novel adaptations for dispersal in the mite family
Histiostomatidae (Astigmata). In Trends in Acarology. Edited by Sabelis
MW, Bruin J. Proceedings of the 12th international congress.
Foster KM, Ma BO, Ali SW, Logan C, Rau ME, Lowenberger C. 2012. The
influence of larval density, food stress, and parasitism on the bionomics of
the dengue vector Aedes aegypti (