Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik Melalui Uji Subkronis Terhadap Tikus Percobaan

EVALUASI KEAMANAN TEPUNG TEMPE DARI KEDELAI
TRANSGENIK MELALUI UJI SUBKRONIS
DENGAN TIKUS PERCOBAAN

MARYANI SUWARNO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Keamanan Tepung
Tempe dari Kedelai Transgenik Melalui Uji Subkronis Dengan Tikus Percobaan
adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014
Maryani Suwarno
F251110341



Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait

RINGKASAN
MARYANI SUWARNO. Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai
Transgenik Melalui Uji Subkronis Dengan Tikus Percobaan. Dibimbing oleh MADE
ASTAWAN dan TUTIK WRESDIYATI.
Tempe merupakan pangan sumber protein yang penting bagi bangsa
Indonesia. Sebagai sumber protein yang berasal dari nabati, tahu dan tempe
berkontribusi sedikitnya 9.2% dari pola konsumsi protein penduduk Indonesia. Tempe
sudah dikenal sejak abad ke-17 dan hingga kini masih diproduksi secara tradisional.
Tempe dibuat dari kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang Rhizopus

sp. Umumnya proses pembuatan tempe dari mulai pencucian kedelai hingga akhir
proses fermentasi memerlukan waktu sekitar tiga hingga empat hari.
Dari total produksi kedelai di dunia, 75% berupa kedelai transgenik. Amerika,
Brazil dan Argentina sebagai negara penghasil kedelai terbanyak di dunia (80% dari
total produksi dunia) lebih dari 90% petaninya membudidayakan kedelai transgenik.
Kebutuhan kedelai untuk konsumsi yang mencapai 2,5-3 juta ton per tahun memaksa
Indonesia untuk mengimpor sebanyak 1.95 juta ton per tahun. Sebagian besar kedelai
impor berupa kedelai transgenik atau dikenal sebagai Genetically Modified (GM)
soybean. Penggunaan kedelai untuk pembuatan tempe mencapai 50% dari total
kebutuhan nasional.
Kekhawatiran akan pangan yang berasal dari tanaman transgenik
mengharuskan pangan yang berasal dari tanaman transgenik diuji keamanannya dan
dievaluasi untuk melihat adanya potensi toksisitas dan alergi, komponen gizi atau
racun baru, stabilitas gen yang disisipi, serta dampak buruk yang disebabkan oleh
proses rekayasa genetik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
keamanan tempe yang dibuat dari kedelai transgenik, melalui uji subkronis pada tikus
jantan Sprague-Dawley. Pengujian toksisitas terhadap tempe dari kedelai transgenik
dilakukan mengikuti prinsip pengujian European Food Safety Authority (EFSA,
2011) pada tikus percobaan.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan besar, yaitu pembuatan tempe dan

tepung tempe untuk formulasi ransum, pemeliharaan dan perlakuan hewan percobaan,
serta analisis darah dan pengamatan histologi. Selama 90 hari, tiga kelompok tikus
percobaan (masing-masing terdiri dari tujuh ekor) setiap hari diberikan ransum secara
ad libitum yang mengandung tepung tempe dari kedelai trangenik, tepung tempe dari
kedelai non-transgenik, dan kasein sebagai kontrol. Pengamatan klinis terhadap
seluruh tikus percobaan dilakukan setiap hari untuk melihat adanya keganjilan yang
muncul. Sisa ransum ditimbang setiap hari untuk digunakan dalam perhitungan Feed
Conversion Efficiency (FCE). Setiap enam hari sekali tikus ditimbang berat badannya.
Pada hari ke-90, seluruh tikus percobaan dikorbankan untuk diambil darah dan
organnya. Darah diambil dari jantung untuk dianalisis profil hematologi dan serum.
Analisis hematologi meliputi pengukuran kadar hemoglobin, eritrosit, leukosit,
trombosit serta hematokrit. Parameter yang dianalisis pada serum meliputi kadar
enzim GOT, GPT, glukosa, trigliserida, protein total, albumin, globulin, ureum dan
kreatinin. Organ hati dan ginjal ditimbang untuk kemudian dibuat sediaan histologi.
Bobot badan tikus, pertambahan bobot badan, FCE, hasil analisis terhadap hematologi
dan serum serta bobot organ kemudian diuji secara statistika menggunakan rancangan
acak lengkap dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Tidak ada perbedaaan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, FCE,
serta bobot organ hati dan ginjal antar kelompok tikus percobaan. Analisis

hematologi menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada kadar hemoglobin, eritrosit,
leukosit, hematokrit dan trombosit antar perlakuan. Hasil analisis serum juga
menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada nilai SGOT, SGPT, protein total,
albumin, globulin, glukosa, trigliserida, ureum dan kreatinin antar perlakuan.
Pengamatan mikroskopik terhadap sediaan histologi jaringan hati tidak
menunjukkan adanya kelainan. Hal ini sesuai dengan analisis serum terhadap SGOT,
SGPT, trigliserida, glukosa, protein total, albumin dan globulin yang menunjukkan
fungsi hati dalam keadaan baik. Hasil pengamatan pada jaringan ginjal tikus seluruh
kelompok perlakuan, juga menunjukkan tidak adanya kerusakan. Hal ini sesuai
dengan analisis kadar ureum dan kreatinin serum yang mengindikasikan bahwa fungsi
ginjal dalam keadaan baik.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada dampak yang merugikan
akibat mengonsumsi tempe dari kedelai transgenik. Beberapa penelitian jangka
panjang sebelumnya terhadap kedelai transgenik juga menunjukkan bahwa konsumsi
kedelai transgenik bersifat aman dan tidak menimbulkan dampak yang merugikan
kesehatan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi tepung tempe yang
berasal dari kedelai transgenik bersifat aman dan tidak merugikan kesehatan.
Kata kunci : tempe, kedelai transgenik, toksisitas, subkronis, tikus, histologi, hati,
ginjal.


SUMMARY
MARYANI SUWARNO. Safety Evaluation of Tempe Made from Transgenic
Soybean Using Subchronic Test on Rats. Supervised by MADE ASTAWAN and
TUTIK WRESDIYATI
Tempe, made from soybean fermented with Rhizopus sp., is important for
Indonesian people. As a protein source, tempe and tofu contributes about 9.2% of
daily protein requirement. Tempe is made from soybean fermented with Rhizopus sp.
Generally, the process of tempe production, from washing, soaking until fermentation
process is about three to four days.
Soybean utilization for tempe production is 50% from its total national supply.
To fulfill the need for soybean consumption that reached up to 2,5 – 3 million tons per
year, Indonesia has to import this commodity. Around 1,9 million tons of imported
soybean or about 78% of total supply per year, are mostly transgenic soybean or
known as Genetically Modified (GM) Soybean (80% global production of soybean is
transgenic).
Concerns about food derived from transgenic plants require food derived from
genetically modified crops should be tested and evaluated for the presence of
potential toxicity and allergies, nutritional or toxic components of the new protein, the
stability of the inserted genes, and the adverse effects caused by the genetic

engineering process. The aim of this research was to evaluate the safety of tempe
made from transgenic soybean, by a subchronic test approach using male SpragueDawley rats. Toxicity evaluation of tempe from transgenic soybean was based on
EFSA (2011) principal using animal laboratory.
This research was conducted in three major phases, namely the process of
tempe and tempe flour production for feed formulation, treatment of experimental
laboratory rats, blood analysis and histological observations. For 90 days, three
groups of male rats (each group contain seven rats) were fed ad libitum with tempe
flour from transgenic soybean, tempe flour from non-transgenic soybean and casein
as protein sources. Clinical parameters was observed to examine that all rats were
healthy and in good condition. Every six days the rats body weight were measured. A
leftover feed was weighed to be counted in feed conversion efficiency (FCE).
All rats were sacrified on day 90 using anesthezid dose of ketamin and
xylazine, where the blood, liver and kidney were collected. Blood is taken from the
heart to be analyzed hematology and serum profile. Hematology profile include
measuring levels of hemoglobin, erythrocytes, leukocytes, platelets and hematocryte.
The serum parameters include enzyme levels in serum GOT,GPT, glucose,
triglycerides, total protein, albumin, globulin, ureum and creatinine. Liver and
kidneys were weighed to be prepared for histology. Rat body weight, body weight
gain, FCE, the analysis of hematology and serum and organ weights were then
statistically analyzed using a complete randomized design followed with post hoc

Duncan test.
Hematology analysis showed the level of hemoglobin, erythrocyte, leucocyte,
trombocyte and hematocryte were not significantly different between the groups
(p>0.05). Serum analysis on SGOT, SGPT, total protein, albumin, globulin, blood
glucose, triglyceride, ureum and creatinine level also showed no significant difference
between groups (p>0.05). Histopathological observation showed no injury tissue has
been found on both kidney and liver of rats.

The result of this research showed that consumption of tempe flour derived
from transgenic soybean was safe, and caused no adverse effect on health. Previous
researches on transgenic soybean also showed that consumption of transgenic
soybean for long term in rat showed no adverse effect on health.
It can be concluded that the consumption of soybean flour derived from
transgenic soybeans are safe and not harmful to health.
Keywords : tempe, soybean, transgenic, GMO, rats

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun

EVALUASI KEAMANAN TEPUNG TEMPE DARI KEDELAI
TRANSGENIK MELALUI UJI SUBKRONIS
DENGAN TIKUS PERCOBAAN

MARYANI SUWARNO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof (R) Dr. Ir. Sri Widowati MAppSc.

Judul : Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik Melalui Uji
Subkronis Terhadap Tikus Percobaan
Nama : Maryani Suwarno
NIM : F251110341

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Made Astawan, MS
Ketua

Prof Drh Tutik Wresdiyati PhD, PA VET
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan


a.n. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 18 Maret 2014

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ ala atas
segala karunia dan rahmat-Nya, karya tulis ini berhasil diselesaikan. Penelitian
dengan judul Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik melalui Uji
Subkronis dengan Tikus Percobaan dilaksakan sejak bulan Januari 2013.
Penghargaan dan ucapan terima kasih dihaturkan kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kantor Pusat Jakarta, (surat Perjanjian Pelaksanaan
Kegiatan, No : 709/LB.620/I.1/2/2013 tanggal 25 Februari 2013 atas nama Made

Astawan) atas bantuan dana penelitian.
Penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada Prof Dr Ir Made
Astawan, MS dan Prof Drh Tutik Wresdiyati, PhD. PAVET selaku komisi
pembimbing, atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan,
arahan, nasehat, dorongan semangat, mulai dari penulisan proposal, selama
pelaksanaan penelitian dan hingga penulisan tugas akhir ini selesai. Begitu banyak
ilmu dan cerita yang akan menjadi hikmah untuk masa depan penulis.
Penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof (R) Dr.Ir. Sri Widowati
MAppSc. atas kesediaanya menjadi dosen penguji luar komisi pada ujian tesis.
Terima kasih kepada Mursyid, Prima, Pa Adi dan Pa Iwan, atas banyak
bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian.
Penghargaan dan terima kasih kepada para dosen dalam lingkup departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan dan Ilmu Pangan IPB, serta dosen dan staf di
Laboratorium Histologi FKH atas ilmu yang penulis dapatkan selama ini.
Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada suami tercinta, Dondick
Wicaksono, anak-anakku Arsa dan Maher, kedua mertuaku Mama Lola dan Papa
Hariadi Wiroto, serta Ibuku Mamih Heriyana atas kesabaran, keikhlasan, do’a, kasih
sayang serta dukungan moril dan materilnya selama penulis berjuang menyelesaikan
studi master ini.
Kepada semua pihak yang telah membantu, semoga Allah subhanahu wa
ta’ala berkenan membalas setiap kebaikan itu dengan balasan yang lebih baik. Amiin.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

Maryani Suwarno

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe dan Kedelai dalam Sistem Pangan Indonesia
Kualitas Gizi pada Tempe
Rekayasa Genetik pada Kedelai
Keamanan Tanaman Transgenik
Kebijakan Pangan Transgenik di Indonesia
Menguji Keamanan Pangan Transgenik
Perumusan dan Pendekatan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Tahapan penelitian
1. Pembuatan tempe dan tepung untuk formulasi ransum
2. Pembuatan ransum tikus percobaan
3. Perlakuan hewan percobaan
4. Pengambilan darah untuk Analisis Hematologi dan Serum
5. Histologi
6. Analisis statistika dan pengamatan histologi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Ransum Tikus Percobaan
Parameter Klinis dan Pertumbuhan Tikus Percobaan
Profil Hematologi Tikus Percobaan
Analisis Serum Darah Tikus Percobaan
Pengamatan Histologi Jaringan Hati dan Ginjal
Fragmentasi DNA dalam Tempe
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

1
1
1
3
5
7
9
10
12
12
12
12
12
13
13
13
13
15
15
16
16
16
16
17
19
21
25
28
30
30
30
34
40

DAFTAR TABEL

1 Produksi kedelai dunia (dalam juta ton)
2 Volume dan nilai impor beberapa bahan pokok, tahun 2011
3 Komposisi gizi kedelai dan tempe (per 100 gram bahan kering)
4 Kandungan asam amino bebas pada tempe
5 Tanaman transgenik dunia dominan 2010
6 Rumus formulasi komposisi ransum tikus percobaan
7 Analisis proksimat kasein, tepung tempe transgenik dan tepung tempe
non transgenik
8 Komposisi bahan dalam 100 gram ransum
9 Parameter klinis tikus percobaan
10 Kenaikan bobot dan konsumsi ransum tikus selama 90 hari percobaan
11 Nilai hematologi darah tikus setelah 90 hari percobaan
12 Profil biokimia serum tikus setelah 90 hari percobaan
13 Berat organ per 100 gram bobot badan tikus percobaan
14 Hasil penelitian jangka panjang terhadap kedelai transgenik

2
2
3
4
7
15
17
17
18
19
19
24
26
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Statistik produksi kedelai dunia
Peta sebaran tanaman transgenik dunia
Pengujian keamanan produk pangan transgenik dengan tikus percobaan
Bagan alir penelitian
Pertumbuhan tikus yang diberi ransum tepung tempe kedelai transgenik
dan tepung tempe kedelai non-transgenik dibandingkan dengan
kasein (kontrol)
6 Foto jaringan hati tikus percobaan dengan pewarnaan HE setelah
pemberian ransum selama 90 hari percobaan
7 Jaringan ginjal tikus percobaan dengan pewarnaan HE setelah
pemberian ransum selama 90 hari

2
7
10
14

18
27
28

DAFTAR LAMPIRAN
1

Hasil analisis sidik ragam seluruh parameter menggunakan
SPSS versi 16.0

40

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada 26 Februari 1980 sebagai anak sulung
dari tiga bersaudara pasangan Wawan Suwarno (Alm.) dan Heriyana Baehaki.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1998 dan lulus pada tahun
2003. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan pada Program
Pascasarjana IPB dan lulus pada bulan Mei 2014.
Saat ini penulis menjadi pengajar Food Safety di Lembaga Training BOTC
Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah bekerja di Hotel Salak the Heritage Bogor, PT
Ultrajaya Milk Industry Bandung, PT Tupperware Indonesia Jakarta dan PT
Eksonindo Multy Product Industry Bandung antara tahun 2003 hingga 2011.
Selama mengikuti program S-2, penulis pernah mengikuti Seminar
International Soyfoods and Tradeshows di Bali pada tahun 2012 sebagai penyaji
poster ilmiah. Karya tulis yang berasal dari Tesis berjudul Evaluasi Keamanan
Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik melalui Uji Subkronis pada Tikus Percobaan
akan diterbitkan dalam Jurnal Veteriner edisi September 2014.

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tempe dan Kedelai dalam Sistem Pangan Indonesia
Tempe merupakan produk asli Indonesia yang memiliki nilai gizi dan
ekonomi tinggi. Tempe dibuat dari kedelai melalui proses fermentasi menggunakan
kapang Rhizopus sp. Sebagai sumber protein, tempe dikonsumsi dalam jumlah yang
lebih banyak dari jenis pangan sumber protein lainnya. Angka kecukupan gizi
(AKG) protein orang Indonesia sebanyak 52 gram per hari, terpenuhi oleh konsumsi
tahu dan tempe sebanyak 4.9 g atau sekitar 9.2%; susu dan telur sebanyak 5.8% dan
serealia sebanyak 39.3% (Hardinsyah 2013).
Kedelai memegang peranan penting dalam sistem pangan di Indonesia.
Sebanyak 83.7% dari total pasokan kedelai nasional digunakan untuk pembuatan
tahu dan tempe (Hardinsyah 2013). Bahkan menurut Astawan (2013), 50% atau
sekitar 1.3 juta ton kedelai nasional digunakan oleh produsen tempe. tempe
dikonsumsi sebanyak 19.1g/kapita/hari atau sekitar 7 kg/kapita/tahun, dimana orang
perkotaan mengonsumsi protein nabati ini lebih banyak dibandingkan dengan orang
di daerah pedesaan, yaitu 21.3g/kapita/hari, sedangkan di pedesaan hanya 17
g/kapita/hari. Pola kebiasaan akan konsumsi tempe dan tahu terkonsentrasi di
wilayah Jawa dan Bali serta sebagian kecil Sumatra. Penduduk Jawa Timur
mengonsumsi tempe dan tahu hingga sebanyak 64.3 g/kapita/tahun atau 7.4 g
protein/kapita/hari, mencukupi sekitar 14% angka kecukupan gizi protein
(Hardinsyah 2013).
Tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kedelai utuhnya, di
antaranya daya cerna protein, karbohidrat dan lemaknya lebih tinggi (lebih mudah
dicerna); kandungan beberapa vitamin lebih tinggi; ketersediaan (bioavalabilitas)
mineral menjadi lebih baik karena hilangnya faktor antigizi; serta ditemukannya
berbagai komponen bioaktif yang sebelumnya tidak ada pada kedelai. Beberapa
komponen bioaktif ini memiliki aktivitas antioksidan, antidiare serta mencegah
penyakit degeneratif (Astuti et al. 2000; Nout dan Kiers 2005;). Selain kualitas
gizinya lebih baik dari kedelai utuhnya, tempe diketahui berpotensi sebagai pangan
hipoalergenik, karena proses fermentasi dapat mengurangi sifat alergenisitas dari
protein kedelai (Wilson et al. 2005; Song et al. 2008).
Kedelai yang berasal dari daratan Cina dapat tumbuh di iklim tropis maupun
sub-tropis, tumbuh pada kisaran suhu 20-30oC pada saat musim panas. Kedelai
paling baik tumbuh pada tanah aluvial dengan kandungan organik yang tinggi. Masa
panen kedelai mencapai antara 80 hingga 120 hari (OECD 2000). Negara penghasil
kedelai terbesar di dunia adalah Amerika, Brazil dan Argentina yang mencapai 80%
dari total produksi global (Gambar 1). Pada tahun 2011, produksi kedelai dunia
mencapai 251 juta ton (Tabel 1).
Di Indonesia, produksi kedelai menurun setiap tahunnya. Data dari
Kementrian Pertanian (2013) menyebutkan pada tahun 2012 produksi kedelai
sebanyak 843.15 ribu ton biji kering, menurun dari 907.03 ribu ton pada tahun 2010.
Pada rentang waktu tahun 2010 sampai 2014 diperkirakan kebutuhan nasional akan

2
kedelai mencapai sekitar 2.3 juta ton biji kering. Untuk memenuhi kekurangannya,
pemerintah telah mengimpor sebanyak lebih dari 1.9 juta ton atau sekitar 78% dari
total kebutuhan kedelai nasional (BPS 2012). Impor terbesar berasal dari Amerika
Serikat dengan nilai mencapai lebih dari 2.5 milyar dolar Amerika (Tabel 2).
Tabel 1 Produksi kedelai dunia tahun 2011 (dalam juta ton)
Negara
Produksi
Ekspor
Amerika Serikat
83.2
34.7
Brazilia
72.0
37.8
Argentina
48.0
8.9
China
13.5
India
11.0
Canada
4.2
2.9
Paraguay
6.4
5.0
Lainnya
13.1
3.5
Total
251.5
92.8
Sumber : ASA 2012

Amerika
Serikat
33%
Lainnya
5%
Kanada
2%
Paraguay
3% India
4%

Brazil
29%
Argentina
19%
Cina
5%

Gambar 1 Statistik produksi kedelai dunia
Sumber : http://www.soystats.com/2012/page_30.htm

Tabel 2 Volume dan nilai impor beberapa bahan pangan pokok, tahun 2011
Ratio
Volume
Nilai Impor
Komoditas
Konsumsi
Impor/
Impor (Juta
(Miliar
Pangan
( juta ton)
Konsumsi
Ton)
USD)
(%)
Beras
33.5
2.75
1.5
8
Kedelai
3.1
1.85
2.5
60
Gula
5.5
2.7
1.5
18
Gandum
5.5
5.5
1.3
100
Jagung
18.8
2.0
1.02
11
Sumber : BPS 2012

3

Kualitas Gizi pada Tempe

Secara umum, walaupun kandungan gizi antara kedelai dan tempe tidak
berbeda jauh (Tabel 3), namun kualitas gizi tempe dapat dikatakan lebih baik
dibandingkan dengan kualitas gizi kedelai utuhnya (Astawan 2008). Hal ini
disebabkan selama pembuatan tempe, komponen zat gizi dalam kedelai yang
berupa karbohidrat, protein serta lemak mengalami perubahan secara kimia dan
biokimia (Astuti et al. 2000; Nout dan Kiers 2005). Adanya enzim protease, lipase
dan amylase yang dihasilkan oleh kapang R.oligosporus menjadikan tempe lebih
lebih mudah dicerna (Astawan 2008).
Tabel 3 Komposisi gizi kedelai dan tempe
Zat Gizi per 100 gram
(berat kering)

Kedelai

Tempe

Abu (g)

6.1

3.6

Protein (g)

46.5

50.5

Lemak (g)

23.6

19.3

Karbohidrat (g)

22.1

26.6

Serat (g)

3.7

7.2

Kalsium (mg)

254

347

Fosfor (mg)

781

724

Besi (mg)

11

9

Vitamin B1 (mg)

0.5

0.15

Riboflavin (mg)

0.15

0.85

Niasin (mg)

0.67

4.35

Asam Pantotenat (mg)

0.46

1

Piridoksin (mg)

0.08

0.47

Vitamin B12 (mcg)

0.15

5

34

71

Biotin (mcg)
Sumber : Astawan 2008

Kandungan karbohidrat yang mencapai 35% (bk) pada bijinya terdiri dari
gula bebas 10% (5% sukrosa, 4% stakiosa dan 1% rafinosa) serta antara 20-30%
berupa polisakarida non-pati (Non Starch Polysaccharides), 8% selulosa serta
sisanya berupa polisakarida pectin (Choct et al. 2010). Oligosakarida stakiosa dan
rafinosa selain bersifat sebagai prebiotik juga dapat menyebabkan flatulensi jika
dikonsumsi karena sifatnya yang tidak dapat dicerna (Rupérez 2006). Proses
perendaman, pertunasan (sprouting) serta fermentasi kedelai dapat meningkatkan
daya cerna karbohidrat serta mengurangi kandungan oligosakarida hingga 100%
dikarenakan adanya aktivitas α-galaktosidase (Wang et al. 2003). Rhizopus dapat
mempergunakan oligosakarida stakiosa dan rafinosa sebagai sumber karbon dan

4
energinya. Selain rafinosa dan stakiosa, beberapa oligosakarida dengan berat
molekul yang besar juga ikut terdegradasi selama proses fermentasi dikarenakan
aktivitas enzim karbohidrase, salah satunya α -galaktosidase (Wang et al. 2003; Nout
dan Kiers 2005).
Selama proses fermentasi, protein dalam kedelai mengalami degradasi dan
hidrolisis menjadi peptida sederhana dan asam-asam amino bebas. Derajat hidrolisis
protein tergantung kepada strain dari Rhizopus. Umumnya tempe yang dikonsumsi
di Indonesia dihasilkan dari proses fermentasi 48 jam dengan Rhizopus oligosporus.
Perbedaan lamanya fermentasi mempengaruhi kadar asam amino bebas yang
terkandung dalam tempe (Handoyo dan Morita 2006). Kandungan asam amino bebas
pada tempe meningkat selama proses fermentasi (Tabel 4). Selama proses fermentasi
berlangsung, protein globulin yang ada dalam kedelai terdegradasi sehingga
menjadikan protein yang terdapat dalam kedelai lebih mudah dicerna. Protein
globulin yang terdegradasi selama fermentasi 48-72 jam adalah sekitar 90%,
sedangkan protein albumin terdegradasi sekitar 60% (Handoyo dan Morita 2006).
Dalam Astawan (2008), nilai daya cerna protein pada kedelai rebus 75% sedangkan
pada tempe meningkat menjadi 83%.
Tabel 4 Kandungan asam amino bebas pada tempe
Asam Amino Bebas
Lama Fermentasi (jam)
(mg/100 g kedelai)
0
24
48
Asam Amino Esensial
Isoleusin
4.6
5.2
9.5
Leusin
4.2
6.6
10.1
Lisin
5.1
52.6
3.3
Metionin
2.1
0.7
1.3
Fenilalanin
1.4
5.6
6.2
Threonin
0.2
0.2
0.4
Valin
3.8
2.8
6.1
Asam Amino Semi Esensial
Arginin
26.7
32.4
7.6
Glysin
2.7
5.2
21.4
Histidin
1.7
26.4
2.0
Tyrosin
1.3
13.1
4.6
Asam Amino non-esensial
Alanin
11.2
104
229.7
Asparagin (Asn)
1.5
22.5
20.1
Aspartat (Asp)
3.6
5.4
17.1
Sistein
0.9
4.5
6.4
Glutamat
42.1
16.7
140.0
Prolin
1.0
6.8
20.7
Serin
0.1
1.5
3.6
Ornitin
1.4
5.1
0.0
GABA
2.7
21.4
7.1
Total
118.3
338.9
517.2
Sumber : Handoyo dan Morita 2006

5

Kandungan lemak pada tempe sedikit lebih rendah dibandingkan kadar
lemak pada kedelai utuhnya. Selama proses fermentasi enzim lipase menghidrolisis
triasilgliserol menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas kemudian digunakan
oleh kapang sebagai sumber energinya sehingga tempe memiliki kandungan lemak
yang lebih rendah (Astuti et al. 2000). Kandungan asam lemak bebas meningkat
pada kedelai rebus, yaitu 0.5% menjadi 21% pada tempe (Astawan 2008).
Faktor antigizi yang secara alami terdapat dalam kedelai, seperti tripsin
inhibitor dan asam fitat menghilang atau berkurang banyak selama proses
perendaman, perebusan dan fermentasi. Hal ini dikarenakan adanya enzim fitase
yang diproduksi oleh R.oligosporus. Fitase akan mengubah fitat menjadi fosfor dan
inositol (Astawan 2008). Selama proses pembuatan tempe, fitat berkurang hingga
65% (Sudarmaji dan Markakis 1977). Berkurangnya fitat dapat meningkatkan
ketersediaan mineral karena fitat diketahui dapat mengkelat berbagai mineral seperti
Zn, Fe, Ca. Dengan berkurangnya fitat pada tempe, mineral seperti zat besi akan
meningkat ketersediaannya sehingga dapat dipergunakan oleh tubuh (Kasaoka et al.
1997; Macfarlene et al. 1990).
Kadar vitamin B-kompleks dalam tempe meningkat selama proses
fermentasi, karena aktivitas beberapa bakteri, seperti Klebsiella pneumoniae dan
Citrobacter freundii yang memproduksi vitamin B12 (Keuth dan Bisping 1994).
Dalam Mo et al. (2013), kandungan vitamin B12 dalam tempe adalah sekitar 0.160.72 μg/kg, sedangkan di Indonesia, umumnya kandungan vitamin B12 adalah
sekitar 5 µg/100g (Astwan 2008). Selama proses perendaman, vitamin B12
diproduksi oleh Klebsiella pneumoniae. Walaupun diketahui kelompok
Enterobactericeae ini dapat menghasilkan enterotoxin, namun selama proses
pembuatan tempe, baik Citrobacter freundi maupun Klebsiella pneumoniae tidak
dapat menghasilkan enterotoksin shiga-like toxin. Tidak hanya vitamin B12 yang
dihasilkan oleh bakteri ini, namun juga riboflavin dan vitamin B6 (Keuth dan
Bisping, 1994). Umumnya vitamin B12 terdapat pada produk-produk hewani, namun
kandungan vitamin B12 yang tinggi pada tempe menjadikan tempe sebagai satusatunya sumber vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati (Astawan
2008).

Rekayasa Genetik pada Kedelai
Kedelai merupakan tanaman pangan yang penting di dunia, dibudidayakan
karena kandungan minyak dan proteinnya yang cukup tinggi (FAO 1992). Dengan
kandungan minyak sebesar 20% (per berat kering biji) menjadikan minyak kedelai
sebagai sumber minyak pangan terbesar di dunia, mencapai 50% dari total produksi
minyak yang berasal dari biji-bijian (oilseed) di dunia (FAO 1992). Tidak hanya
kandungan proteinnya yang tinggi dalam biji, yaitu mencapai 40-45%, kedelai juga
mengandung semua asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh. Kelengkapan
asam aminonya menjadikan kedelai memiliki kualitas protein yang sebanding
dengan protein hewani (Dixit et al. 2011).
Saat ini kedelai dunia dibudidayakan dari kedelai hasil rekayasa genetika /
GMO (Genetically Modified Organism) atau dikenal dengan kedelai transgenik,
mencapai 75% dari total produksi kedelai (James 2010). Di Amerika Serikat, 90%
kedelai dibudidayakan dari bibit kedelai transgenik (James 2008).

6
Tanaman transgenik atau dikenal sebagai GMO menurut definisi WHO
adalah organisme yang telah mengalami perubahan pada materi genetiknya sehingga
organisme tersebut memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki sebelumnya. Gen yang
disisipkan ke dalam organisme tersebut dapat berasal dari spesies yang sama ataupun
berbeda (WHO 2002). Proses rekayasa genetika memungkinkan suatu organisme
memiliki sifat yang berbeda yang secara alami tidak dimiliki oleh organisme
tersebut. Karakter dari tanaman rekayasa genetika yang dihasilkan antara lain toleran
terhadap herbisida (herbicide tolerant), resisten terhadap insektisida (Bt toxin),
virus, jamur atau nematoda, atau bahkan bersifat toleran terhadap herbisida sekaligus
resisten terhadap insektisida atau yang dikenal dengan istilah stacked trait
(Petriccione 2004). Tanaman hasil rekayasa genetika dengan karakteristik tersebut
secara ekonomi sangat menguntungkan. Dengan produktivitas yang lebih tinggi,
para petani kedelai dapat menghasilkan lebih banyak kedelai dalam area yang sama
dengan sumber daya manusia yang lebih sedikit, yang artinya secara ekonomi lebih
menguntungkan (Mensah 2007).
Secara global, produksi kedelai dapat ditingkatkan untuk dapat memenuhi
permintaan pasar yang makin tinggi, seiring dengan bertambahnya penduduk dunia.
Sejarah munculnya tanaman rekayasa genetika dengan karakter di atas dikarenakan
antara tahun 1988 sampai 1990 produksi tanaman pangan global mengalami
kerugian hingga mencapai 40% yang disebabkan oleh kurangnya kontrol terhadap
serangan hama, penyakit, virus dan gulma. Delapan jenis tanaman pertanian penting
adalah beras, barley, jagung, kentang, kedelai, kapas dan kopi. Kerugian mencapai
42.1% dari angka prediksi panen, dimana 15.6% disebabkan oleh serangan hewan
(animal pest), 13.3% karena penyakit dan 13.2% disebabkan oleh gulma (Oerke
2006).
Selain bersifat tahan terhadap penyakit atau toleran terhadap herbisida,
proses rekayasa genetika dapat menghasilkan tanaman dengan komposisi gizi yang
lebih tinggi. Sebut saja kedelai yang menghasilkan kadar asam oleat lebih tinggi
dibanding kedelai konvensional atau beras yang mengandung beta karoten, dikenal
sebagai Golden Rice (James 2008). Saat ini, tanaman pertanian transgenik yang
paling banyak dibudidayakan adalah yang bersifat tahan terhadap serangan hama dan
penyakit. Contohnya kedelai toleran terhadap herbisida, atau dikenal sebagai
Roundup Ready (RR)® soybean dan Bt corn, yaitu jagung yang menghasilkan toksin
yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt), dimana gen yang disisipi
mengkode protein kristal (Bt toxin) yang bersifat toksik terhadap lepidopteran.
Selain bersifat toleran terhadap herbisida dan menghasilkan toksin bagi insektisida,
ada juga tanaman pangan yang resisten terhadap virus.
Saat ini tanaman pertanian hasil rekayasa genetik atau dikenal sebagai
biotech crops di dunia didominasi oleh tanaman kedelai dengan karakter toleran
terhadap herbisida (herbicide tolerant soybean) yang mencapai 50% area tanam
keseluruhan tanaman biotek. Dari keseluruhan tanaman kedelai, 75% kedelai dunia
dibudidayakan dari bibit transgenik, yaitu mencapai 75.4 juta hektar dari 100 juta
hektar area yang ditanami kedelai. Total area dan peta sebaran tanaman transgenik
dunia dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 2.
Glyphosate, merupakan herbisida spektrum luas yang dapat membunuh
hampir semua jenis tanaman pengganggu atau gulma (Cox 1995). Ketika digunakan
sebagai herbisida, glyphosate dapat memblokir shikimic acid pathway pada tanaman
dengan cara menghambat enzim 5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase

7

(EPSPS). Kekurangan enzim EPSPS ini akan mengganggu biosintesis asam amino
aromatik fenilalanin, triptofan dan tirosin, sehingga akan mengganggu sintesis
protein dan pertumbuhan tanaman. Enzim EPSPS secara alami terdapat pada hampir
seluruh tanaman, fungi dan bakteri, namun tidak terdapat pada hewan (Padgette et
al. 1995).
Tabel 5 Tanaman transgenik dunia dominan 2010
Jenis tanaman
Juta hektar
% Area biotek
Herbisida tolerant soybean
73.3
50
Stacked trait soybean
28.8
19
Bt cotton
16.1
11
Bt maize
10.2
7
Herbicide tolerant maize
7.0
5
Herbicide tolerant canola
7.0
5
Stacked traits cotton
3.5
2
Herbicide tolerant cotton
1.4
1
Herbicide tolerant sugarbeet
0.5