Assesmen Implementasi Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku Berbasis ISO 28000

i

ASSESMEN IMPLEMENTASI TRACEABILITY
PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU
BERBASIS ISO 28000

BAYU ARDY KRESNA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

ii

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Assesmen
Implementasi Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku

Berbasis ISO 28000 adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Bayu Ardy Kresna
NIM C34090052

ii

ABSTRAK
BAYU ARDY KRESNA. Assesmen Implementasi Traceability pada Rantai
Distribusi Produk Tuna Loin Beku Berbasis ISO 28000. Dibimbing oleh WINI
TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO
Arus perdagangan perikanan dunia sedang menunjukkan kecenderungan
positif, namun masih terganjal pada berbagai permasalahan mutu dan keamanan
pangan. Traceability penting untuk diterapkan. Metode yang telah dikembangkan

diantaranya quality tracing and tracking (QTT), biotracing, dan sebagainya. ISO
28000 dapat menjadi solusi untuk menjamin keamanan rantai distribusi tuna sejak
ditangkap, diolah, hingga siap untuk ekspor. Tujuan dari penelitian ini adalah
melakukan asesmen implementasi traceabiliy rantai distribusi tuna loin beku
dengan ISO 28000. Penelitian dilakukan dengan metode analisis sistem keamanan
rantai distribusi produk tuna loin beku, pengkajian risiko kritis produk tuna loin
beku, penentuan efisiensi jaringan distribusi produk tuna loin beku, dan asesmen
traceability dengan ISO 28000. Sistem keamanan pangan yang dilakukan kapal
dan transit belum sesuai standar, sedangkan UPI dan eksportir sudah memenuhi
standar. Kajian manajemen risiko kritis pada rantai distribusi tuna loin beku
mengindikasikan empat risiko kritis yang berhubungan dengan suhu, jumlah
mikroba, dan histamin. Efisiensi jaringan ditunjukkan dengan kapabilitas proses
yang berada pada level mampu dan masih harus ditingkatkan dalam mencapai six
sigma. Penilaian dengan ISO 28000 menunjukkan kekurangan dalam sistem
manajemen dan adminstrasi.
Kata kunci: ISO 28000, risiko kritis, sistem keamanan, tuna loin beku

ABSTRACT
BAYU ARDY KRESNA. Assesment of Traceability Implementation in Supply
Chain of Frozen Loin Tuna With ISO 28000. Supervised by WINI TRILAKSANI

and BAMBANG RIYANTO
Nowadays, world trade of fisheries give the positive trend, but there are
many problems in food safety and quality. Traceability is important to be
implemented. There are many method in traceability such as quality tracing and
tracking, biotracing, etc. ISO 28000 can be a solution to ensure the safety of tuna
supply chain from vessel, transit, plant, and export. The aim of this study is doing
the assesment of traceability implementation in supply chain of frozen loin tuna
with ISO 28000. The method was analyzed the security management in supply
chain of frozen loin tuna, studied about critical risk in frozen loin tuna,
determinated of network eficiency in supply chain of frozen loin tuna, and
assesmented with ISO 28000. The result showed a poor food safety system in
vessel and transit, but a good system in plant and export. The study in critical risk
showed four critical risk which related with temperature, total microbe, and
histamine. Network eficiency showed good result in process capability that means
company can produced to be six sigma industry. The result of ISO 28000
assesment showed good result, but company needs continual improvement
especially in management system and administration.
Keywords: ISO 28000, critical risk , security system, frozen loin tuna

iii


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

ASSESMEN IMPLEMENTASI TRACEABILITY PADA RANTAI
DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU
BERBASIS ISO 28000

BAYU ARDY KRESNA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i

i

Judul Skripsi
Nama
NIM
Program Studi

: Assesmen Implementasi Traceability pada Rantai Distribusi

Produk Tuna Loin Beku Berbasis ISO 28000
: Bayu Ardy Kresna
: C34090052
: Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc
Pembimbing I

Bambang Riyanto, SPi, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Joko Santoso, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


ii

i

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul Assesmen Implementasi Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna
Loin Beku Berbasis ISO 28000. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucpkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama
kepada:
1. Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Bambang Riyanto S.Pi, M.Si selaku
dosen pembimbing atas segala arahannya.
2. Ir. Heru Sumaryanto, M.Si selaku dosen penguji atas segala masukannya.
3. Program studi Departemen Teknologi Hasil Perairan, Dr. Desniar, S.Pi,
M.Si atas segala masukannya.
4. Bapak Hendra Sugandhi dan Bapak Nur Hadipitoyo selaku pimpinan

PT X yang telah memberikan kesempatan penelitian kepada penulis di
PT X
5. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan semangat dan motivasi
6. Ibu Ema Masuroh S.Si atas bantuan yang diberikan selama penulis
melakukan penelitian
7. Teman-teman THP 46 serta KEMAKI 46 atas semangat dan motivasinya.
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam perbaikan di
masa depan. Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, 21 Februari 2014

Bayu Ardy Kresna

ii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
PENDAHULUAN ........................................................................................

Latar Belakang ........................................................................................
Tujuan Penelitian ...................................................................................
METODE ......................................................................................................
Waktu dan Tempat .................................................................................
Prosedur Penelitian .................................................................................
Prosedur Analisis... .................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
Sistem Keamanan Rantai Distribusi Tuna Loin Beku ............................
Kajian Risiko pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku .............
Kajian Efisiensi Rantai Distribusi Tuna Loin Beku ...............................
Asesmen Sistem Keamanan Rantai Distribusi Tuna Loin Beku
dengan ISO 28000 .................................................................................
SIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
Simpulan ................................................................................................
Saran .....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
LAMPIRAN ................................................................................................
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................

viii

viii
viii
1
1
5
5
5
5
8
9
9
25
29
34
39
39
40
41
45
133


iii

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.

Model SIPOC PT X..............................................................................
Risiko terhadap mutu dan keamanan pangan tuna loin beku................
Rencana tanggap risiko.........................................................................

24
26
29

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Rantai distribusi tuna loin beku PT X....................................................
Diagram pareto nilai risiko (Risk Score) ..............................................
Diagram pareto nilai Risk Priority Number (RPN) ..............................
Diagram pencar nilai risiko dan RPN ..................................................
Peta kendali data evaluasi kadar histamin ikan tuna .............................
Peta kendali data verifikasi kadar histamin ikan tuna ...........................
Peta kendali data evaluasi nilai TPC ikan tuna .....................................
Peta kendali data verifikasi nilai TPC ikan tuna ...................................
Kadar TVB bahan baku ikan tuna PT X .............................................

10
27
28
28
30
31
32
33
34

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Format tabel observasi kegiatan rantai distribusi tuna loin beku ..........
Format tabel observasi sistem higiene rantai distribusi tuna loin beku ..
Hasil observasi kegiatan pada rantai distribusi tuna loin beku ...............
Hasil observasi sistem higiene pada rantai distribusi produk tuna loin
beku..........................................................................................................
Format angket pengetahuan higiene karyawan .......................................
Pedoman skor Likelhood RFMEA ........................................................
Pedoman skor Impact RFMEA ..............................................................
Pedoman skor Detction RFMEA ...........................................................
Layout PT X............................................................................................
Form Kontrol Suhu PT X ......................................................................
Sertifikat HACCP PT X ........................................................................
Prosedur Penarikan Produk PT X...........................................................
Form Pest Control PT X ........................................................................
Hasil Pengecekan Kesehatan Karyawan PT X ......................................
Surat Keterangan Pemasok ....................................................................
Sertifikat Hasil Tangkapan PT X............................................................
Harvest Vessel Receiving Record PT X.................................................
Form Daily Report Raw Material Receiving..........................................
Form Spesifikasi Bahan Pengemas PT X ..............................................
Sertifikat Kesehatan Produk Perikanan .................................................
Invoice Packing List PT X ....................................................................
Kebijakan Manajemen PT X .................................................................
Struktur Organisasi PT X ......................................................................

45
46
57
61
102
103
103
104
104
106
106
107
107
108
108
109
111
111
112
112
113
113
114

iv

24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

Tim HACCP PT X ................................................................................
Pembagian Tugas Tim HACCP PT X ..................................................
Distribusi Dokumen PT X ....................................................................
Diagram Alir Produksi Tuna Loin Beku PT X .....................................
Rencana Tanggap Darurat PT X ...........................................................
Sertifikat Kalibrasi PT X ......................................................................
Hasil Asesmen ISO 28000 PT X ..........................................................

114
114
115
116
116
117
118

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Arus perdagangan modern menuntut sebuah sistem yang cepat dan
berlangsung lintas negara maupun benua. Perdagangan ekspor maupun impor
telah banyak mewarnai arus perdagangan dewasa ini untuk berbagai komoditi.
Hasil laut (ikan) merupakan salah satu komoditi pangan yang penting bagi
masyarakat dunia, diindikasikan dengan terjadinya peningkatan konsumsi ikan
dunia dalam lima tahun terakhir (FAO 2012). Konsumsi ikan dunia pada tahun
2006 hanya berkisar 114,3 juta ton, namun pada tahun 2011 telah meningkat
menjadi 130,8 juta ton. Kebutuhan ikan dunia pada tahun 2011 ini telah diimbangi
dengan pasokan ikan dunia sebesar 154 juta ton. Pasokan ini umumnya dapat
dipenuhi melalui proses ekspor maupun impor. Lem (2011) menyatakan bahwa
negara-negara dengan sektor perikanan yang kuat, umumnya adalah negara yang
melakukan proses ekspor maupun impor sekaligus.
Kecenderungan positif perdagangan hasil perikanan dunia dapat ditandai
dengan banyaknya target pasar baru maupun bertambahnya negara-negara
pengekspor. Kondisi ini disebabkan oleh adanya peningkatan populasi manusia
dan pertumbuhan ekonomi yang baik (Lem 2011), juga dimungkinkan karena
adanya dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengonsumsi makanan di
era ini sehingga proses ekspor dan impor dalam distribusi hasil perikanan menjadi
semakin banyak dilakukan dan semakin kompleks. Sistem rantai distribusi hasil
perikanan yang kompleks salah satunya dapat tergambar dari sistem rantai
distribusi ikan tuna.
Ikan tuna merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan dunia yang
juga menjadi unggulan produk ekspor non migas Indonesia. Perkembangan ekspor
tuna Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2011
ekspor tuna Indonesia mencapai 141.774 ton meningkat dari 122.450 ton pada
tahun 2010 (KKP 2012). Namun potensi ekspor Indonesia yang besar juga harus
diimbangi dengan kemampuan menyikapi regulasi-regulasi yang ada. Sistem
rantai distribusi tuna umumnya terikat dengan berbagai regulasi yang ketat dan
berbagai isu dalam perdagangan global. Isu yang umum diangkat dalam rantai
distribusi tuna antara lain ketahanan pangan, mutu dan keamanan pangan ikan,
property right and fisheries management, Illegal Unregulated Unreported (IUU),
sustainable development, dan ecolabelling in fisheries (FAO 2004). Isu ini
tertuang dalam sebuah kebijakan perdagangan yang pada akhirnya akan
berdampak pada kebijakan publik mengenai kehidupan sosial masyarakat dan
ketahanan pangan suatu wilayah (ICTSD 2006).
Aspek ketahanan pangan (food security) akan selalu terkait dengan
kegiatan produksi bahan baku dalam hal ini industri penangkapan dan aspek
pengolahan produk. Permasalahan yang dihadapi oleh industri penangkapan tuna,
diantaranya jarak penangkapan (fishing ground) yang jauh, permodalan yang
masih lemah, teknologi penanganan ikan di atas kapal (Good Handling Practices
atau GHP) yang belum diterapkan secara benar, sarana pendaratan ikan yang
belum memadai, dan kasus pencurian ikan (illegal fishing) kapal asing serta
pendaratan ikan (fish landing) kapal Indonesia di negara lain (Trilaksani 2011).

2

IUU merupakan salah satu permasalahan kompleks dalam rantai distribusi tuna
pada proses penangkapan. IUU berkontribusi pada terjadinya over fishing dan
hambatan pada recovery populasi ikan dan ekosistem, serta sustainability dari
distribusi ikan tuna. Menurut studi kasus di 54 negara oleh UK Department for
International Development (DFID) (2009) menunjukkan kerugian dari IUU
mencapai 11 sampai 26 ton ikan per tahunnya. Hasil kajian ini juga menempatkan
negara berkembang sebagai daerah yang rawan terhadap penangkapan ikan secara
ilegal. Dampak dari IUU ini antara lain pada ekonomi suatu negara baik secara
langsung maupun tidak langsung, serta dampak pada ekosistem lingkungan.
Maraknya kasus IUU fishing mendorong dilakukannya sistem kuota penangkapan
ikan tuna di suatu perairan yang diatur oleh organisasi tertentu seperti Regional
Fisheries Management Organization (RFMO) yang harus diikuti oleh industri
perikanan tangkap dunia. Hal ini merupakan salah satu langkah yang dapat
ditempuh untuk menanggulangi risiko yang mungkin ditimbulkan dan harus
didukung oleh berbagai upaya sistem keamanan selama proses distribusi tuna.
Menurut Trilaksani (2011), permasalahan seperti ini secara langsung akan
mempengaruhi industri pengolahan yang menyangkut masalah ketersediaan bahan
(volume), harga bahan baku, mutu dan keamanan pangan (fish quality dan safety).
Aspek fish quality and safety akan berkaitan dengan permasalahan
kualitas tuna selama proses distribusi dan ketika sampai pada konsumen serta
dampaknya bagi kesehatan konsumen. Kajian yang telah dilakukan oleh Rizal
(2011) menunjukkan bahwa jalur distribusi tuna di Unit Pengolahan Ikan (UPI)
PT X di Muara Baru, Jakarta cukup rumit. Ikan tuna yang didaratkan kapal di
tempat transit akan disalurkan menuju tiga tempat, yaitu diangkut langsung ke
distributor, melalui UPI, dan pasar lokal. Proses distribusi yang rumit ini
membutuhkan suatu perhatian khusus dari setiap stakeholder karena apabila tidak
ditangani dengan baik di setiap tahapan distribusi akan berpotensi menimbulkan
permasalahan keamanan pangan.
Mutu dan keamanan produk tuna dapat diindikasikan dengan adanya
histamin, mikroorganisme pembusuk, patogen, ataupun logam berat. Histamin dan
bakteri patogen merupakan isu utama yang menjadi syarat masuk produk tuna di
negara importir. Food and Drugs Admnistration (FDA) (2009) melaporkan bahwa
terjadi 13 kasus tahun 2007 dan tahun 2008 sebanyak 7 kasus penolakan tuna
Indonesia akibat histamin. Pada bulan Juli 2012, terdapat 9 kasus tuna Indonesia
yang mengandung filthy dan 18 kasus tuna Indonesia yang mengandung
Salmonella, serta tidak ditemukannya kasus histamin. Secara kesuluruhan,
kecenderungan penolakan kasus tuna Indonesia oleh FDA disebabkan oleh dua
hal, yaitu histamin, filthy dan Salmonella (Buzby et al. 2008). Berdasarkan data
tersebut, permasalahan histamin sudah mulai diantisipasi oleh Indonesia. Menurut
Buzby et al. (2008), Indonesia dan Vietnam merupakan dua negara dengan kasus
penolakan oleh histamin terbanyak pada masa lalu.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh keamanan pangan harus dapat
diselesaikan secara sistematis. Hal ini karena konsumen menuntut tersedianya
pangan yang aman. Menurut Olsonn dan Skoljdbrand (2008), konsumen pangan
umumnya menginginkan produk yang berkualitas tinggi dan aman saat
dikonsumsi dengan mutu yang sebanding dengan saat pengolahan. Salah satu
program dalam menjaga keamanan produk selama proses rantai distribusi tuna
adalah traceability system atau sistem ketertelusuran. Traceability system

3

merupakan suatu sistem yang dapat mengikuti perpindahan produk pada setiap
tahapannya, baik itu produksi, pengolahan, maupun distribusi (CAC/GL 60 2006).
Penerapan traceability system akan memberi banyak keuntungan bagi perusahaan.
Lees (2003) menyatakan bahwa jika sebuah perusahaan menerapkan traceability
system akan mendapat keuntungan, diantaranya mencegah insiden keracunan
pangan, meminimalkan potensi recall produk, memfasilitasi risk assesment
sepanjang rantai pangan, mengontrol residu pada pangan, mengontrol bahan baku,
mencegah penipuan saat dilakukan audit, membantu perusahaan meningkatkan
manajemen mutu dan monitoring proses, menyesuaikan dengan peraturan yang
berlaku, meningkatkan kesehatan dan kepercayaan konsumen, meningkatkan
kepercayaan antar pelaku dalam jaringan rantai pasok, meningkatkan “image”
perusahaan, dan meningkatkan keamanan. Pentingnya penerapan traceability,
mendorong beberapa negara mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penerapan
sistem ini. Traceability system wajib diterapkan oleh Amerika dan Uni Eropa.
Amerika melalui US Farm Security and Rural Investment Act 2002 (FDA 2002b)
menyatakan bahwa perlu dicantumkan label “Country of Origin” pada produk
daging sapi, kambing, babi, ikan, pangan yang mudah rusak, serta kacangkacangan. Peraturan lainnya adalah US Bioterorism adn Response Act 2002 (FDA
2002a) yang menyatakan bahwa terhitung mulai 12 Juni 2002, FDA mensyaratkan
bahwa perlu didaftarkan semua fasilitas pangan yang akan masuk ke Amerika.
Uni Eropa melalui European Union (E.U), Article 4, regulation 104/2000 (EC
2000) menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2002, seluruh produk perikanan harus
diberi label mengenai jenis spesies dan metode produksi serta penangkapan dan
budidaya. Selain itu European Community Commission Reguation 2065/2001,
Article 8 (EC 2001) mensyaratkan bahwa semua ikan dalam keadaan chilling,
beku, dan kering serta fillet ikan dan kerang, ketika didistribusikan kepada
retailer harus mencantumkan label sesuai ketentuan dari EU 104/2000. EU
General Food Law Regulation 178/2002, Article 18 (EC 2002) mensyaratkan
bahwa traceability untuk proses pangan dan bahan-bahan yang turut serta dalam
produksi pangan, mulai dari tahap produksi, pengolahan, dan distribusi harus
mengidentifikasi supplier dan konsumen serta melakukan dokumentasi. Indonesia
juga mensyaratkan penerapan dari traceability. Peraturan Pemerintah (PP) No 28
tahun 2004 pasal 37 (PP 2004) mensyaratkan bahwa setiap pangan segar dan
olahan yang akan masuk ke wilayah Indonesia harus disertai dengan dokumen
hasil pengujian. Peraturan Pemerintah (PP) No 69 tahun 1999 pasal 2 (PP 1999)
mensyaratkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan
yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan RI nomor 01/MEN/2007 bab VII (KKP 2007)
mensyaratkan bahwa ketertelusuran hasil perikanan pada seluruh tahap produksi,
pengolahan, dan distribusi harus dikembangkan. Pelaku usaha hasil perikanan
harus mampu mengidentifikasi personil dan pelaku usaha yang mengirim pasokan
ikan untuk tujuan pengolahan, serta membangun sistem dan prosedur yang
memungkinkan otoritas kompeten dapat mendapatkan informasi bila diperlukan.
Pelaku usaha pengolahan harus memberikan label atau informasi yang
mengidentifikasi ketertelusurannya sesuai dengan persyaratan jenis produk
tertentu. Pentingnya penerapan traceability mendorong berbagai pihak untuk
menerapkan sistem ini. Sistem traceability dunia terus berkembang untuk

4

menghasilkan model telusur yang efektif dan efisien. Salah satu metode yang
cukup berkembang adalah quality tracing and tracking (QTT). Metode ini sangat
tepat untuk diadopsi pada pangan yang mudah rusak (high perishable food).
Penerapan metode ini dapat memberi beberapa keunggulan seperti jaminan
keamanan pangan, kepuasan konsumen, dan penghematan biaya. QTT secara
umum juga dapat mengoptimalkan sistem rantai pasok dari suatu industri (Scheer
2006). Kajian lainnya adalah perkembangan metode biotracing. Biotracing
merupakan sistem ketertelusuran terhadap kontaminan biologis selama proses
rantai pangan. Sistem ini mampu mengendalikan bahaya patogen dan
meningkatkan sistem model sistem ketertelusuran (Jordan et al. 2011).
Perkembangan lainnya juga menunjukkan tuntutan perubahan sistem
ketertelusuran menjadi lebih cepat dan akurat. Hal ini berdampak pada pergeseran
model sistem ketertelusuran dengan model manual (paper based traceability)
menjadi model berbasis web (ICT traceability). Model ini mampu membuat
sistem ketertelusuran menjadi lebih sederhana dan akurat (Morreale dan Puccio
2011). Skoglund dan Dejmek (2007) juga melakukan kajian mengenai konsep
fuzzy traceability. Kajian ini menjelaskan bahwa sistem ini mampu memberikan
hasil yang lebih akurat dari industri pangan yang bersifat dinamis. Radio
Frequency Identification (RFID) juga diyakini mampu memberi nilai tambah
dalam model traceability. Kajian yang dilakukan Zhang et al. (2009) menjelaskan
bahwa teknologi RFID dapat meningkatkan pengumpulan informasi traceability
secara cepat dan akurat. Perkembangan sistem ketertelusuran dengan berbagai
model ini membuat asesmen sistem ketelusuran sangat penting dilakukan. CAC
(1995) menjelaskan bahwa inspeksi dan sertifikasi harus dilakukan untuk
memastikan pangan dan proses produksinya. Setiap pelaku bisnis harus
mempersiapkan diri dalam menghadapi inspeksi dengan menerapkan standar yang
sesuai. ISO 28000 dapat menjadi salah satu pilihan standar untuk melakukan
asesmen dari penerapan sistem ketertelusuran. ISO 28000 bertujuan untuk
meningkatkan keamanan pada rantai distribusi suatu produk. Penerapan ISO
28000 masih belum banyak dilakukan dan hanya terfokus pada industri logistik
atau jasa transportasi. Hal ini mungkin disebabkan karena masih terdapat
paradigma bahwa sektor rantai pasok hanya penting dijaga keamanannya pada
saat proses transportasi. Namun faktor keamanan pada industri tuna sudah dimulai
dari saat ikan ditangkap hingga ekspor. ISO 28000 dapat berperan lebih disini
karena keamanan yang tertuang di dalam ISO 28000 merupakan keamanan pada
titik kritis dari suatu perusahaan dengan memperhatikan risiko yang mungkin
terjadi selama proses rantai distribusi, dari hulu hingga hilir. ISO 28000 dapat
diterapkan pada berbagai jenis industri mulai dari skala kecil hingga
multinasional, baik industri manufaktur, jasa, maupun logistik (ISO 28000:2007).
Penerapan sistem ini cukup penting digunakan sebagai salah satu acuan untuk
mengembangkan sebuah sistem rantai distribusi yang memperhatikan aspek
keamanan dan peningkatan berkesinambungan. Sistem ini bekerja melalui
beberapa aspek, seperti keamanan terhadap kebijakan manajemen, rencana
keamanan, dan pemeriksaan serta tindakan koreksi (ISO 28000:2007).
Melihat adanya peluang dari ISO 28000 untuk menyelesaikan
permasalahan pada sistem distribusi tuna yang kompleks, maka diperlukan suatu
kajian terhadap implementasi sistem ketertelusuran produksi tuna berbasis ISO
28000. Kajian ini nantinya akan terarah pada kemampuan perusahaan untuk

5

menjaga dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko kritis pada distribusi
produk tuna loin beku dan melihat sistem manajemen keamanan yang berlaku
berdasarkan ISO 28000.

Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini ialah melakukan asesmen terhadap
implementasi sistem traceability pada rantai distribusi tuna loin beku berbasis ISO
28000. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini ialah sebagai berikut:
1.
Melakukan analisis sistem keamanan rantai distribusi tuna loin beku
2.
Menentukan risiko kritis pada proses distribusi produk tuna loin beku
3.
Mengkaji efektivitas kontrol pada risiko kritis proses pengolahan tuna loin
beku dan kesesuaian dengan regulasi yang berlaku.
4.
Menentukan nilai asesmen dari ISO 28000.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada salah satu perusahaan pengolahan ikan tuna
(PT X), yang terletak di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara. Analisis mutu dilakukan pada Laboratorium
Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan
pada bulan April-September 2013.

Prosedur Penelitian
1.

Analisis sistem keamanan rantai distribusi produk tuna loin beku
Tahapan penelitian ini dilakukan dengan mempelajari, mendeskripsikan dan
memverifikasi jaringan distribusi penanganan ikan tuna yang memiliki
kaitan dengan PT X, sebagai mata rantai industri pengolahan tuna loin.
Acuan yang digunakan adalah CEN 14660:2003. Diagram alir sistem rantai
distribusi tuna juga digambarkan melalui model SIPOC (Wagar et al. 2006).
Model ini bertujuan untuk menggambarkan sistem rantai distribusi tuna di
PT X dan mengontrol perbaikan yang terus menerus. Model SIPOC akan
menggambarkan aliran aktivitas dari Supplier, Input, Proses, Output, dan
Customer dimana tiap tahapannya memiliki persyaratan tertentu yang harus
dipenuhi dalam menjamin mutu dan keamanan produk. Beberapa acuan lain
adalah BSN (2006b), Blanc et al. (2005), dan Recommended International
Code of Practice General Principles of Food Higiene CAC/RCP 1-1969
dalam Food Hygiene Basic Text (CAC 2009), Code of Practice for Fish and
Fishery Products CAC/RCP 52 2003, (EC) 178/2002 of The European

6

Parliament and European Council of 28 January 2002 mengenai General
Principle and Requirements of Food Law (EC 2002), The Public Health
Security and Bioterorism Prepadness and Response Act of 2002 (FDA
2002), Council Regulation (EC) 104/2000 of 17 December 1999 on the
Common Organization of the Markets in Fishery and Aquaculture Products
(EC 2000), PER.18/MEN/2010 (KKP 2010), PER.13/MEN/2012 (KKP
2012), KEP.01/MEN/2007 (KKP 2007), CAC/RCP 47-2001 tentang Code
of Hygiene Practice for the Transport of Food in Bulk and Semi-Packed
Food (CAC 2001). Prosedur ini dilakukan dengan pengamatan pada sistem
rantai distribusi tuna dan hal-hal yang mempengaruhi keamanannya, serta
dokumen yang berperan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Mempelajari jaringan rantai distribusi tuna yang berkaitan dengan PT X
mulai dari penangkapan hingga ekspor
b. Pengumpulan data aktivitas pada setiap bagian rantai distribusi tuna
dengan observasi dan wawancara. (Form data dapat dilihat pada
Lampiran 1.)
c. Pengumpulan data dan persyaratan higiene sepanjang rantai distribusi
tuna dengan observasi dan wawancara (Form dapat dilihat pada
Lampiran 2.)
d. Pembuatan jaringan rantai distribusi tuna PT X dalam bentuk skema.
e. Pembuatan diagram alir proses distribusi dengan menggunakan model
SIPOC.
f. Verifikasi dan presentasi jaringan rantai distribusi tuna di PT X dengan
konsultasi dan diskusi kepada QC dan manajer umum PT X
Luaran yang diharapkan adalah:
a. Data aktivitas pada setiap bagian rantai distribusi tuna (Lampiran 3).
b. Data persyaratan higiene sepanjang rantai distribusi tuna (Lampiran 4).
c. Manajemen rantai distribusi tuna loin beku PT X
d. Data persyaratan pada setiap tahapan distribusi tuna loin beku
2.

Kajian risiko kritis dari distribusi tuna loin beku
Tahapan ini dilakukan dengan melihat peluang terjadi risiko kritis tuna loin
beku dari proses produksi tuna loin beku. Risiko kritis dapat menyebabkan
timbulnya keamanan pangan. CAC (2003) menyebutkan bahwa penentuan
bahaya keamanan pangan harus dianalisis dan ditentukan tingkat
signifikannya, serta ditetapkan upaya kontrol. Penentuan peluang risiko
kritis dilakukan dengan metode Risk Failure Mode and Effect Analysis
(RFMEA) (Carbone dan Tippet 2004). Langkah selanjutnya adalah
melakukan hasil analisis nilai histamin (Veratox kit) dan TPC (SNI 012332.3-2006) dari rekaman PT X. Pengujian nilai TVB dilakukan dengan
metode cawan conway dan mengacu pada AOAC (1984). Pada tahapan ini
juga dilakukan pengujian kompetensi karyawan dengan menggunakan
kuisioner (Aarnisalo et al. 2006). Tahapan ini akan dilakukan beberapa
kegiatan yaitu:
a. Mengambil data evaluasi hasil pengujian histamin dan Total Plate Count
(TPC) di PT X selama bulan Januari 2012-Desember 2012

7

b. Mengambil data verifikasi hasil pengujian histamin dan Total Plate
Count (TPC) di PT X selama bulan Mei 2013
c. Melakukan pengujian terhadap nilai Total Volatile Base (TVB) dari
sampel ikan tuna di PT X dengan 3 kali ulangan dari dua supplier yang
masuk ke perusahaan.
d. Melakukan uji pengetahuan karyawan mengenai higiene dengan
menggunakan angket (Format angket dapat dilihat pada Lampiran 5).
Luaran yang diharapkan adalah:
a. Data risiko kritis dari tuna loin beku dari proses produksi tuna loin beku.
b. Data tingkat pengetahuan dan kepedulian karyawan terhadap higiene.
c. Data evaluasi hasil pengujian histamin dan Total Plate Count (TPC) di
PT X seama bulan Januari 2012-Desember 2012.
d. Data verifikasi hasil pengujian histamin dan Total Plate Count (TPC) di
PT X seama bulan Mei 2013.
e. Data nilai Total Volatile Base (TVB) dari transit A dan transit B.
3.

Penentuan efisiensi jaringan distribusi tuna loin beku
Tahapan penelitian ini dilakukan dengan menentukan efektivitas proses
distribusi melalui pendekatan Statistical Process Control untuk parameter
histamin dan Total Plate Count (TPC). Alat bantu yang digunakan untuk
parameter histamin dan TPC adalah peta kendali dengan menggunakan
SPSS 17.0. Pendekatan ini dilakukan untuk melihat bahwa produk yang
diekspor sesuai dengan standar yang ditetapkan. Efisiensi dilihat dari nilai
kapabilitas proses yang didapatkan yang mengacu pada standar perusahaan.
Acuan standar untuk nilai histamin adalah standar perusahaan yang
mengacu pada FDA (2011) dan BSN (2006a). Acuan standar untuk nilai
TPC adalah standar perusahaan yang mengacu pada FDA (2013) dan BSN
(2006a). Penentuan nilai Total Volatile Base (TVB) dilakukan dengan
membandingkan nilai TVB dari dua supplier yang masuk ke PT X dengan
menggunakan diagram batang. Acuan untuk nilai TVB berdasarkan Farber
(1965).
Luaran yang diharapkan adalah:
a. Peta kendali nilai evaluasi histamin dan TPC PT X selama bulan Januari
2012-Desember 2012.
b. Peta kendali nilai verifikasi histamin dan TPC PT X selama bulan Mei
2013.
c. Diagram batang nilai TVB dari transit A dan transit B

4.

Asesmen sistem traceability dengan ISO 28000
Tahapan penelitian ini dilakukan dengan melakukan audit ISO 28000 pada
PT X berdasarkan SNI ISO 28000:2009 (BSN 2009). Teknik audit yang
dilakukan sesuai dengan SNI 19-19011:2005 (BSN 2005) tentang Panduan
Audit Sistem Manajemen Mutu dan/atau Lingkungan.
Luaran yang diharapkan adalah:
a. Teknik audit ISO 28000 di PT X
b. Data assesmen ISO 28000 PT X

8

Prosedur Analisis
Analisis risiko kritis (Carbone dan Tippet 2004)
Penentuan risiko kritis yang harus menjadi perhatian khusus pihak
manajemen dilakukan dengan menggunakan metode Risk Failure Mode and
Effect Analysis (RFMEA) (Carbone dan Tippet 2004). Penggunaan RFMEA
dilakukan dengan menentukan nilai 1-10 untuk Likelihood (L), Impact (I), dan
Detection (D). Kategori nilai dapat dilihat pada Lampiran 6-8. Langkah
selanjutnya adalah dengan menentukan nilai Risk Score yang didapat dari (L) x
(I), dan nilai Risk Priority Number (RPN) dari (L) x (I) x (D). Batas kritis nilai
Risk Score dan RPN ditentukan dengan menggunakan diagram pareto dan
dipetakan dengan menggunakan scatterplot. Diagram pareto merupakan grafik
batang yang menunjukkan masalah berdasarkan urutan banyaknya kejadian.
Masalah yang paling banyak terjadi ditunjukkan pada sisi paling kiri, dan
seterusnya hingga yang terendah di sisi kanan (Gaspersz 2012). Tahapan analisis
risiko kritis adalah:
1. Seluruh risiko yang mungkin muncul diidentifikasi pada proses pembuatan
tuna loin beku.
2. Pada kolom Likelihood (L), Impact (I), dan Detection (D) diberikan nilai 1-10
3. Nilai Risk Score dihitung dengan perkalian antara nilai Likelihood dan nilai
Impact (L x I).
4. Nilai Risk Score digambarkan dalam bentuk diagram pareto dan ditentukan
nilai kritis risiko.
5. Nilai RPN dihitung dengan perkalian antara nilai Likelihood, nilai Impact,
dan nilai Detection (L x I x D).
6. Nilai RPN digambarkan dalam bentuk diagram pareto dan ditentukan nilai
kritis RPN.
7. Nilai risiko dan nilai RPN dipetakan dalam scatterplot (diagram pencar).
8. Risiko kritis ditentukan dengan melihat risiko yang berada lebih besar dari
batas kritis nilai risiko dan RPN.
Analisis kapabilitas proses (Gaspersz 2012)
Analisis kapabilitas proses dilakukan dengan Statistical Process Control
(SPC) dengan menggunakan software SPSS 17.0. Penentuan nilai kapabilitas
proses dilakukan terhadap parameter histamin dan TPC. Jenis data yang
digunakan adalah data evaluasi yang diperoleh dari hasil rekaman (record
keeping) histamin dan TPC di PT X selama kurun waktu Januari 2012- Desember
2012, yang selanjutnya dianalisis menggunakan metode SPC. Untuk verifikasi,
data yang digunakan adalah data hasil rekaman (record keeping) histamin dan
TPC di PT X selama bulan Mei 2013.
Gaspersz (2012) menuliskan bahwa nilai kapabilitas proses dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
Cp 2,0
:Proses dianggap mampu (capable) karena telah mencapai
industri kelas dunia yang mencapai tingkat six sigma.
:Proses masih harus ditingkatkan terus menerus agar
1 Cp 1,99
mencapai tingkat kelas dunia yang telah mencapai taraf six
sigma.
Cp 1,0
:Proses dianggap tidak mampu (not capable).

9

Hasil dari nilai kapabilitas proses dapat menjadi salah satu indikator dari tingkat
efektivitas distribusi produk tuna loin beku dilihat dari nilai histamin dan TPC.
Total Volatil Base (TVB) (AOAC 1984)
Pengujian Total Volatil Base (TVB) bertujuan untuk menentukan mutu dan
kesegaran dari ikan dengan menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa
basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Pengujian TVB dilakukan
dengan metode cawan conway dan mengacu pada AOAC 1984.
Tahapan pengujian diawali dengan preparasi sampel daging ikan dengan
ditimbang sebanyak 15 gram. Sampel tersebut kemudian dihancurkan (pengecilan
ukuran) dan ditambahkan TCA 7% sebanyak 45 mL dan dihomogenkan selama 1
menit. Larutan disaring hingga diperoleh filtrat yang jernih. Langkah selanjutnya
adalah penambahan 1 mL H3BO3 ke dalam inner chamber cawan conway,
sedangkan filtrat sampel dimasukkan ke dalam outer chamber bagian kiri.
Selanjutnya ditambahkan 1 mL K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber bagian
kanan sehingga tidak tercampur dengan filtrat. Cawan segera ditutup lalu
dilakukan gerakan memutar agar filtrat bercampur dengan K2CO3. Prosedur yang
sama juga dilakukan untuk penentuan nilai blanko, namun fitrat diganti dengan
TCA 7%. Tahap selanjutnya adalah kedua cawan diinkubasi pada suhu 35 C
selama 2 jam. Selanjutnya larutan asam borat pada inner chamber dititrasi dengan
larutan HCL 0,02 N hingga warna larutan asam borat menjadi merah muda.
Perhitungan TVB dilakukan dengan rumus:
Kadar TVB (mgN/100g) =
Keterangan :
Vc = volume larutan HCl pada titrasi contoh/sampel
Vb = volume larutan HCl pada titrasi blanko
Ar N = berat atom nitrogen (14,007)
Fp = faktor pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Keamanan Rantai Distribusi Tuna Loin Beku
Analisis aktivitas jaringan rantai distribusi tuna loin beku
Aktivitas pada jaringan rantai distribusi tuna loin beku di PT X dilakukan
oleh beberapa pihak mulai dari kapal, transit, Unit Pengolah Ikan (UPI), hingga
eksportir. Pasca penangkapan ikan dilakukan proses penanganan di kapal, di
transit dilakukan proses bongkar muat dan pembelian ikan, di UPI dilakukan
proses pengolahan tuna. Tahap ekspor dilakukan proses pengiriman produk ke
tempat yang dituju. Model rantai distribusi tuna loin beku dapat dilihat pada
Gambar 1.

10

Gambar 1 Rantai distribusi tuna loin beku PT X
1. Kapal
Kapal yang digunakan untuk menangkap tuna adalah jenis kapal longliner.
Pada tahap penangkapan ikan, aktivitas yang dilakukan antara lain memasang
longline pada daerah penangkapan, penangkapan, pembuangan isi perut dan
insang, pencucian, dan penyimpanan ikan dalam palka bersuhu -1,5 ˚C. Pihak
kapal memberikan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) yang berisi mengenai
hasil tangkapan ikan dan ikan tersebut tidak berasal dari kegiatan IUU Fishing.
Penilaian kesesuaian yang dilakukan pada tahap penangkapan ikan mengacu pada
Blanc et al. (2005), CAC/RCP 52-2003 mengenai Code of Practice for Fish and
Fishery
Products,
PER.18/MEN/2010,
PER.13/MEN/2012,
dan
KEP.01/MEN/2007. Hasil penilaian menunjukkan ditemukannya ketidaksesuaian,
yaitu ikan yang ditangkap tidak dimatikan dengan cepat, air untuk mencuci tidak
berstandar air minum, dan tidak dilakukan pengisian log book dengan data yang
sebenarnya dan tepat waktu. Luaran informasi yang diharapkan dari tahap ini
adalah logbook pengangkapan ikan.
2. Transit
Tahap transit berfungsi sebagai tempat bongkar muat dan pembelian ikan
oleh perusahaan. PT X memiliki kerjasama dengan 3 transit untuk melakukan
pembelian ikan. Aktivitas yang dilakukan pada tahapan ini adalah mengangkut
ikan dari palka kapal menuju transit, proses penentuan mutu ikan, pembelian ikan
oleh perusahaan, dan pengangkutan ikan dari transit menuju perusahaan. Penilaian
kesesuaian yang dilakukan mengacu pada Blanc et al. (2005), SNI 01-2729-32006 mengenai Penanganan dan Pengolahan Ikan Segar, serta CAC (2009)
mengenai Recomended International Code of Practice General Principles of
Food Hygiene (CAC/RCP 1-1969). Hasil penilaian menunjukkan ketidaksesuaian,
yaitu pembongkaran ikan dilakukan tidak hati-hati (kasar), terjemur di bawah
sinar matahari secara langsung. Luaran informasi yang diharapkan dari tahap ini
adalah catch certificate dan dokumen Harvest Vessel Receiving Record.
3. Unit pengolahan ikan (UPI)
Tahap di UPI berfungsi sebagai proses pengolahan tuna. PT X sebagai UPI
mengolah tuna menjadi beberapa produk diantaranya tuna loin beku, tuna saku
beku, tuna steak beku, dan sebagainya. BSN (2006a) mendefinisikan tuna loin
beku sebagai produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau
beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau
tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi
mutu pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan,
pelabelan, dan penyimpanan. Aktivitas yang dilakukan pada tahapan ini adalah
penerimaan bahan baku, pencucian, penimbangan, pemotongan loin, skinning dan

11

trimming, pemberian CO (karbon monoksida), penyimpanan di dalam chillroom,
sortasi mutu dan retouching, pemvakuman, pembekuan, packing, pelabelan,
penyimpanan dalam cold storage, dan stuffing. Setiap tahapan memiliki rekaman
tertentu yang dituliskan dalam form rekaman. Penilaian kesesuaian yang
dilakukan mengacu pada SNI 01-4104-3-2006 mengenai Penanganan dan
Pengolahan Tuna Loin Beku, dan Aktivitas pada tahapan ini tidak ditemukan
ketidaksesuaian, namun terdapat pemberian CO pada proses produksi di PT X.
Pemberian CO pada produk diketahui oleh pihak pembeli dan diperbolehkan
untuk ditambahkan pada proses produksi tuna loin beku.
Luaran informasi yang diharapkan dari tahapan ini adalah record of
periodically pest control, record of water and ice analysis, daliy report of
sanitation inspection, periodically sanitation checklist, freezing monitoring
report, daily report of packing and labelling, cold storage temperatur report,
receiving report packaging report materials and label, daily report of pest
control, chilling tmperature monitoring report, daily report of inspection product
after trimming before freezing, daily record of temperature control, daiy report of
raw material receiving, report of stuffing inspection.
4. Eksportir
Tahap eksportir berfungsi untuk mengirimkan produk tuna kepada
konsumen. PT X melakukan proses ekspor kepada buyer di Amerika Serikat.
Aktivitas yang dilakukan pada tahapan ini adalah menerima Purchase Order (PO)
dari pembeli, pembuatan kontrak, pemilihan kontainer, persiapan kontainer
(pencucian, pre cooling), persiapan dokumen, dan pengiriman barang. Penilaian
kesesuaian pada tahapan ini mengacu pada CEN 14460:2003. Aktivitas pada
tahapan ini tidak ditemukan ketidaksesuaian. Luaran informasi yang diharapkan
adalah invoice packing list dan health certificate.
5. Retailer
Tahap retailer berfungi untuk menerima, menangani, menyimpan, dan
menunjukkan produk kepada konsumen dengan tetap memperhatikan bahaya
keamanan pangan dan mutu dari produk. Retailer harus mengetahui supplier dari
produknya dan mampu memastikan serta bertanggung jawab terhadap mutu dan
keamanan produknya. Penilaian kesesuaian pada tahapan ini dilakukan dengan
melakukan wawancara kepada manajer marketing PT X dengan mengacu pada
Code of Practice for Fish and Fishery Products (CAC/RCP 52-2003). Aktivitas
pada tahapan ini tidak ditemukan ketidaksesuaian.
Analisis persyaratan higiene jaringan rantai distribusi tuna loin beku
Persyaratan higiene merupakan salah satu persyaratan yang penting untuk
diterapkan pada semua tahapan distribusi tuna, dimulai dari ikan diangkat dari
laut, proses pengolahan, dan pengiriman kepada konsumen.
1. Kapal
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu persyaratan higiene untuk
kapal penangkap dan pengangkut ikan dan persyaratan higiene untuk penanganan
di kapal penangkap dan pengangkut ikan. Pada persyaratan higiene untuk kapal
penangkap dan pengangkut ikan terlihat bahwa kondisi kapal pada umumnya
tidak selalu dalam keadaan bersih, produk perikanan tidak mendapat penanganan
langsung setelah dikeluarkan dari palka, proses pembuangan isi perut dan insang
diduga tidak dilakukan secara higienis, dan produk perikanan segera didinginkan

12

di kapal sesaat setelah longline diangkat dari laut. Penilaian kesesuaian yang
dilakukan mengacu pada CAC/RCP 52-2003 tentang Code of Practice for Fish
and Fishery Products dan KEP. 01/MEN/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu
dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan, dan Distribusi.
Hasil penilaian menunjukkan ketidaksesuaian, yaitu kondisi kapal tidak bersih,
tidak dilakukan penanganan yang cepat pada ikan, dan tidak dilakukan pencucian
dengan air yang memenuhi standar.
Pada persyaratan higiene untuk penanganan kapal penangkap dan
pengangkut ikan terlihat bahwa tidak terdapat penanggung jawab ikan secara
khusus, sanitasi palka kurang terjaga, karyawan tidak mengenakan seragam,
bahkan ada yang tidak mengenakan baju, karyawan tidak mencuci tangan, tidak
dilakukan pemeriksaan terhadap karyawan apakah karyawan sakit atau memiliki
luka yang dapat mengontaminasi. Selama proses pembongkaran ikan dari palka,
terdapat karyawan yang merokok, meludah, dan bersenda gurau di area geladak
kapal. Ikan dicuci dengan menggunakan air laut, proses pendinginan dilakukan
dengan sistem Refrigerated Sea Water (RSW) hingga suhu mencapai -1,5 ˚C, dan
tidak dilakukan pengisisan log book dengan data yang akurat dan tepat waktu.
Penilaian kesesuaian yang dilakukan mengacu pada CAC/RCP 52-2003 tentang
Code of Practice for Fish and Fishery Products dan KEP. 01/MEN/2007 tentang
Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi,
Pengolahan, dan Distribusi. Hasil penilaian menunjukkan beberapa
ketidaksesuaian, yaitu tidak terdapat penanggung jawab mutu ikan, kondisi umum
kapal tidak higienis, karyawan tidak mengenakan pakaian kerja, kesehatan
karyawan tidak diperiksa, sikap karyawan tidak diperhatikan, diantaranya
merokok, meludah, bercanda, serta tidak dilakukan proses rekaman dengan baik.
2. Transit
Pada tahap transit terdapat beberapa persyaratan sanitasi dan higiene yang
harus dipenuhi mencakup proses bongkar muat ikan, desain dan fasilitas transit,
peralatan, supply air, higiene personal dan pengunjung. Penilaian kesesuaian di
transit mengacu pada KEP. 01/MEN/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan Pada Proses Produksi, Pengolahan, dan Distribusi.
Acuan lainnya adalah Recommended Intrnational Code of Practice General
Principles of Food Higiene CAC/RCP 1-1969 dalam Food Hygiene Basic Text
(CAC 2009) serta CAC/RCP 52-2003 tentang Code of Practice for Fish and
Fishery Products (CAC 2003). Kondisi proses bongkar muat ikan di transit,
umumnya kurang baik karena ada beberapa karyawan yang menendang ikan.
Peralatan yang digunakan umumnya dapat dengan mudah dibersihkan, namun
pembersihan hanya dilakukan dengan menyiram air tanpa mencuci dengan
desinfektan. Terdapat pula peralatan yang terbuat dari bahan mudah berkarat,
seperti ganco yang terbuat dari besi. Hasil penilaian menunjukkan beberapa
ketidaksesuaian, antara lain tidak dilakukan proses sanitasi, terdapat hewan
peliharaan, dan terdapat perlakuan yang dapat menyebabkan kerusakan fisik pada
ikan. Selain itu terdapat peralatan yang terbuat dari bahan mudah berkarat.
Regulasi KKP (2007) mensyaratkan, proses penanganan ikan harus berlangsung
dengan cepat dan dihindarkan dari perlakuan yang dapat menyebabkan kerusakan
pada produk. Peralatan yang bersentuhan langsung dengan produk harus terbuat
dari bahan yang mudah dibersihkan dan selalu dijaga kebersihannya. CAC (2003);

13

CAC (2009) juga mensyaratkan bahwa peralatan harus terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan dan dipindahkan, tidak terbuat dari bahan yang bersifat toksik.
Transit A merupakan salah satu supplier PT X berada di lokasi Pelabuhan
Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta. Kondisi layout transit
kurang baik dan dapat menyebabkan kontaminasi silang karena tidak terdapat
perbedaan antara ruang penerimaan ikan dan penyimpanan barang, serta tidak
diberi bak pencuci kaki. Selain itu terdapat hewan peliharaan (anjing) di dalam
area transit. Fasilitas lain di transit antara lain dinding yang tidak kedap air, langitlangit yang kotor dan penuh sarang laba-laba, dan tidak memiliki pintu yang
permanen hanya terbuat/dibatasi plastik curtain. Lantai dan area bekerja terbuat
dari bahan yang kedap air dan memiliki kemiringan yang cukup. Fasilitas supplai
air menggunakan air yang dialirkan dari laut. Hasil penilaian menunjukkan
beberapa ketidaksesuaian, yaitu layout yang dapat menyebabkan kontaminasi
silang dan ditemukan puntung rokok pada lantai transit. Permukaan dinding tidak
kedap air dan langit-langit tidak bersih, serta tidak terdapat pintu. Selain itu, air
yang digunakan juga tidak berspesifikasi air minum. Menurut CAC (2003); CAC
(2009), layout harus tidak memungkinkan terjadinya kontminasi silang.
Permukaan dinding halus, terbuat dari bahan yang ti