Analisis dan desain sistem informasi untuk penerapan dokumentasi program traceability pada rantai distribusi produk tuna loin beku

(1)

PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU

ACHMAD RIZAL C34063302

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

ACHMAD RIZAL. C34063302. Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO.

Dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan saat ini, memungkinkan dilakukannya transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan penyebaran penyakit karena mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease). Penolakan negara-negara importir terkait tingginya kadar histamin pada tuna, merupakan contoh kasus besar dalam perdagangan perikanan dunia saat ini. Konsep traceability telah disarankan sebagai salah satu sistem manajemen risiko dalam menjamin mutu dan keamanan pangan global dengan fokus utama dalam memudahkan pelacakan produk. Akan tetapi, dalam implementasinya belum terdapat metodologi spesifik yang dapat diacu oleh seluruh organisasi pangan, sehingga kajian mengenai sistem informasi untuk mendukung penerapan dokumentasi dalam program traceability pada industri perikanan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat kerangka sistem informasi berbasis data elektronik untuk mendukung penerapan dokumentasi program traceability pada suatu industri pengolahan selama tahapan pendistribusian ikan tuna loin beku.

Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahapan utama. Langkah pertama adalah mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi penanganan tuna. Langkah kedua berupa analisis praktek implementasi sistem traceability dan asesmen traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna. Adapun langkah ketiga yaitu analisis dan desain sistem informasi traceability perusahaan (PT X) yang meliputi identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model traceability internal, pengembangan model untuk pertukaran informasi antar aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir adalah disain basis data.

Aktor-aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna antara lain kapal penangkap, transit, PT X, distributor dan retailer dimana dari masing-masing aktor yang terlibat, penting untuk diterapkannya sistem rekaman sebagai alat pemantauan dan sistem pengkodean sebagai alat identifikasi. Hasil analisis dan desain sistem informasi traceability menunjukkan bahwa dari masing-masing aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna loin beku, memiliki hubungan yang saling terkait dalam penyediaan informasi traceability. Sebuah model untuk implementasi sistem traceability secara internal juga dikembangkan untuk unit pengolah ikan, sedangkan dalam pemodelan pertukaran informasi terlihat bahwa tidak semua informasi yang ada pada salah satu aktor diteruskan ke aktor lainnya dalam rantai distribusi. Sebagian informasi akan disimpan sebagai informasi internal aktor. Terakhir desain basis data yang dilakukan baru mencakup desain basis data untuk produk akhir yang terdiri dari 6 entitas utama yang saling berhubungan. Entitas-entitas tersebut diantaranya adalah kapal penangkapan tuna, supplier, bahan baku, produk, perusahaan, dan pelanggan.


(3)

PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU

ACHMAD RIZAL C34063302

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Judul : Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku

Nama : Achmad Rizal NRP : C34063302

Menyetujui,

Pembimbing I,

(Ir. Wini Trilaksani, M.Sc) NIP. 19610128 198601 2 001

Pembimbing II,

(Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si) NIP. 19690631 199802 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil) NIP. 195805111985031002


(5)

PERYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Bekuadalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pihak manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

Achmad Rizal C34063302


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1. Ibu Ir. Wini Trilaksani S.Pi, M.Si dan Bapak Bambang Riyanto S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Sc selaku dosen penguji atas masukan dan pengarahannya untuk perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Bapak Firman Ardiansyah yang sangat membantu penulis dalam pengumpulan ide, penyusunan dan perbaikan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Hendra Sugandhi sebagai direktur utama PT X atas izin penelitian yang diberikan serta Bapak Nur Hadipitoyo sebagai Manajer Umum PT X atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya.

6. Mama, Papa, Kak Agus, Hendra dan seluruh keluarga untuk dukungan yang diberikan baik dukungan moral maupun materiil yang telah diberikan pada penulis tanpa batas.

7. Teman–teman THP 43 (Lovely Generation-LG 43), kakak dan adik kelas atas semangat kebersamaannya.

8. Pajar and the genk (Bapak dan Ibu Kos (pak Sondhy dan Bu Yana), Boby, Wahyu, Puguh,Anjar, Ozzy, Alvin, Qori, Kiki, Samsul, Faruk, Irvan) yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. My ”i26r” member (Aisha Putri Hapsari), terima kasih untuk semua spirit dan dorongan yang tiada hentinya kepada penulis selama berada di THP.


(7)

10. Teman-teman satu bimbingan: Wahyu, Ibnu, Ozi, Patmawati especially teman-teman seperjuangan di Muara Baru: Anggi dan Minal atas kebersamaan, dukungan dan semangat yang diberikan.

11. Mas Yayan, Mbak Nana, Mbak Uppy, Mbak Khom, Pak Eko, Mas Danuri, Mas Wisman, Pipit dan seluruh karyawan PT X atas perhatian, canda tawa, bantuan dan kerjasamanya.

12. IMulai Team - IndoTrace (Agus ‟Alay‟, Hendra ‟Jeki‟, Wiwik dan Anes) atas kebersamaannya dan motivasi yang sangat membantu penyelesaian skripsi ini.

13. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Mei 2011


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ampenan pada tanggal 07 Maret 1988 dari ayah bernama Jamaludin dan ibu bernama Nurhayati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Yappi Raudhatul Jannah (tahun 1993-1994) dan SD Negeri 9 Ampenan (tahun 1994-2000), kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Mataram (tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 5 Mataram (2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan diantaranya paduan suara FPIK (Endeavour) suara Tenor periode 2007-2008, sebagai Ketua Fisheries Processing Club (FPC) dua periode 2007-2008 dan periode 2008-2009. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti staff Penanggung Jawab Keluarga MPKMB 2007, Ketua Bina Desa Fisheries Processing Club (FPC) 2008 dan Ketua SANITASI 2009. Penulis juga selalu mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan ISO 22000:2005 on Fish and Fisheries Industries, pelatihan keamanan pangan dan lain sebagainya. Penulis juga memiliki keahlian menyelam jenjang One Star Scuba Diver bersertifikasi internasional.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku”.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tuna ... 6

2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) ... 6

2.1.2 Tuna loin ... 8

2.1.3 Mutu dan kemunduran mutu ikan ... 11

2.2 Traceability ... 13

2.3 Sistem Informasi ... 18

3 METODE PENELITIAN... 20

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 20

3.2 Tahapan Penelitian ... 20

3.2.1 Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X ... 20

3.2.2 Analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna yang berkaitan dengan PT X ... 21

3.2.2.1 Analisis praktek implementasi sistem traceability ... 21

3.2.2.2 Asesmen praktek implementasi sistem traceability .... 22

3.2.3 Analisis dan desain atau perancangan sistem informasi untuk mendukung penerapan traceability pada rantai distribusi tuna loin beku ... 23

3.2.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem ... 24

3.2.3.2 Pengembangan model traceability internal ... 25

3.2.3.3 Model pertukaran informasi traceability ... 27

3.2.3.4 Desain basis data ... 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Rantai Distribusi Ikan Tuna ... 30

4.2 Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability ... 31


(10)

4.2.2 Analisis manajemen perekaman ... 36

4.2.3 Analisis sistem pengkodean ... 38

4.3 Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Rantai Distribusi Tuna ... 41

4.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem ... 41

4.3.2 Traceability internal ... 45

4.3.3 Pertukaran informasi traceability pada rantai distribusi tuna ... 52

4.3.4 Desain basis data ... 59

4.3.5 Arsitektur umum implementasi sistem informasi Traceability ... 63

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

GLOSSARY ... 71

LAMPIRAN ... 74


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1 Komposisi gizi beberapa ikan tuna per 100 gram daging ... 8

2 Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.1-2006) ... 11

3 Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit ... 32

4 Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan ... 33


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1 Ikan tuna (Thunnus sp) ... 7

2 Skema traceability decision tree ... 17

3 Model dasar sistem informasi ... 19

4 Skema traceability decision tree ... 23

5 Tahapan perancangan sistem informasi ... 24

6 Model use case diagram dan bagian-bagiannya ... 25

7 Model umum IDEFO ... 26

8 Penguraian model IDEFO (pengembangan sistem traceability internal tuna)... 27

9 Tipe interaksi pada sequence diagram ... 28

10 Model sequence diagram yang digunakan pada penelitian ... 28

11 Tahapan perancangan basis data ... 29

12 Rantai distribusi ikan tuna ... 30

13 Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir ... 39

14 Contoh kode produksi pengemasan-stuffing pada master carton ... 40

15 Use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna beku ... 42

16 Teknik IDEFO untuk pengembangan traceability internal pada Unit Pengolahan Ikan (UPI) ... 47

17 Teknik IDEFO untuk pengembangan dan penerapan sistem traceability pada UPI ... 51

18 Lokasi pengidentifikasian produk sistem traceability ... 52

19 Pertukaran informasi antar aktor yang terlibat pada rantai distribusi tuna ... 55

20 Sequence diagram untuk pertukaran informasi ketika informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta ... 58

21 Entity relationship diagram dari basis data traceability ... 62

22 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability ... 63

23 Contoh dokumen XML untuk pertukaran informasi ... 64


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan

pancing ulur ... 74

2 Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku (data verifikasi) ... 75

3 Record of harvest vessel ... 77

4 Record of raw material receiving ... 78

5 Record of daily temperature... 79

6 Chilling temperature report ... 80

7 Report of inspection product after trimming before freezing ... 81

8 Freezing monitoring report ... 82

9 Daily report of packing and labelling ... 83

10 Cold storage temperature report ... 84

11 Report of stuffing ... 85


(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu mutakhir tentang permasalahan baru keamanan pangan dunia (new global food safety), saat ini sudah mulai mengarah kepada hambatan-hambatan teknis dalam perdagangan bebas (technical barrier to trade -TBT) (Wallace et al. 2011). Perkembangan penerapan yang cepat akan konsep sanitary and phytosanytary (SPS), telah menuntut akan adanya jaminan keamanan pangan, keteramanan akan kandungan zat gizi tertentu serta kelayakan dan standardisasi pengujian akan produk pangan yang dikonsumsi. Selain itu, perdagangan pangan dunia (global food trading) juga mengarah kepada dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan dari belahan dunia lainnya (Caswell 2000; Veen 2005; Thow et al. 2010; Wallace et al. 2011). Perubahan ini memungkinkan transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan timbulnya penyebaran penyakit karena mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease).

Produk perikanan tuna juga tidak terlepas dari permasalahan global bahaya keamanan pangan tersebut. Penolakan negara-negara importir terkait dengan masalah tingginya kadar histamin, mewarnai peningkatan ekspor komoditas ini. Selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 memperlihatkan data, bahwa dari total 30 kasus penolakan tuna di Uni Eropa bagi Indonesia, 11 kasus diantaranya disebabkan oleh kandungan histamin yang melebihi standar ambang batas 10 mg/100 gram daging atau 100 ppm (EC 2007). Food and Drugs Administration Amerika Serikat juga telah melaporkan bahwa telah terjadi 13 kasus penolakan tuna asal Indonesia tahun 2007 dan 7 kasus penolakan tuna selama tahun 2008, akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas (FDA 2009). Selanjutnya Emborg et al. (2005) menyampaikan bahwa histamin saat ini merupakan masalah besar di dunia, dimana lebih dari 50 % semua kasus keracunan di Amerika dan Inggris disebabkan oleh faktor ini.

Histamine fish poisoning merupakan gejala keracunan yang disebabkan mengkonsumsi ikan yang mutunya sudah rusak (spoiled) atau terkontaminasi bakteri. Umumnya kadar histamin telah melebihi ≥50 mg/100 g (Lehane dan


(15)

Olley 2000). Secara teoritis, histamin merupakan hasil dekarboksilasi histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25 oC (Keer et al. 2002). Ikan berdaging gelap, seperti dari famili scombroidae, umumnya memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi. Kajian Lehane dan Olley (2000) menunjukkan bahwa kandungan histidin bervariasi mulai dari 1 g/kg pada ikan herring sampai 15 g/kg pada tuna.

Selama proses kemunduran mutu, histidin bebas akan diubah menjadi histamin oleh bakteri penghasil histamin. Kajian Tao et al. (2009) tentang kandungan histamin pada Thunnus obesus menunjukkan bahwa terdapat dua jenis bakteri penghasil histamin, yaitu jenis Morganella morgani dengan suhu optimum 25 oC dan Photobacterium phosphoreum dengan suhu optimum 20 oC, sedangkan Lehane dan Olley (2000) menyatakan bahwa bakteri yang diduga dapat menghasilkan histamin pada level toksik untuk suhu diatas 7-10 oC adalah family Enterobacteriaceae seperti Enterobacter spp., Morganella morganii, Proteus spp. dan Raoultella spp.

Sebagaimana umumnya produk perikanan yang sangat mudah rusak (highly perishable), ikan tuna juga memerlukan teknik penanganan rantai dingin yang cepat dan penanggulangan timbulnya risiko bahaya histamin pada level toksik (Keer et al. 2002). Kajian Guizaini et al. (2005) pada yellowfin tuna menunjukkan bahwa ikan yang disimpan pada suhu 0 oC selama 17 hari, memiliki kadar histamin yang lebih rendah dari standar FDA (5 mg/100 g) dibandingkan dengan ikan yang disimpan pada 8 oC selama 4 hari dan 40 oC selama 1 hari. Hal ini menunjukkan akan pentingnya penanganan tuna secara baik untuk mencegah timbulnya histamin. Masalah kesalahan penanganan saat di atas kapal misalnya, akan memberikan gangguan yang sangat besar pada proses produksi hilir (perdagangan retail) atau hingga ketika ikan tersebut dikonsumsi.

Salah satu konsep dan instrumentasi mutu dan keamanan pangan yang disarankan untuk mendukung dan penjamin mutu makanan adalah pemberian informasi lengkap mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang ditempuh, sehingga memudahkan upaya pelacakan produk. Konsep ini disebut traceabilitysystem (Raspor 2005). Kajian McMeekin (2006) menunjukkan bahwa perhatian utama traceability dilandaskan pada kebutuhan untuk menarik produk


(16)

pangan dari pasar (recall procedures), terutama terhadap produk yang diduga memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia. Thakur dan Donnelly (2010) juga menyampaikan hal yang sama, dimana traceability dianggap sebagai alat manajemen risiko bagi suatu organisasi bisnis pangan untuk menarik kembali suatu produk yang diidentifikasi tidak aman.

Masalah penarikan produk akan keamanan pangan ini telah memaksa timbulnya regulasi mengenai traceability, khususnya di negara Amerika dan Uni Eropa, bahkan pada General Food Law Regulation Uni Eropa (EC No. 178, artikel 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi-regulasi tersebut memperlihatkan elemen-elemen penting, termasuk aturan traceability dan penarikan produk berbahaya (recall procedures) yang terdapat di pasaran.

ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward) dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan distribusi. Namun, Folinas et al. (2006) menyampaikan bahwa dalam implementasinya belum ada metodologi mengenai traceability yang spesifik yang dapat diikuti oleh seluruh organisasi pangan. Suatu organisasi pangan bebas memilih mekanisme yang cocok untuk memastikan sistem traceability telah efisien untuk produk mereka.

Folinas et al. (2006) selanjutnya menyampaikan bahwa secara teoritis, efisiensi dari suatu sistem traceability sangat tergantung dari kemampuan mengumpulkan informasi mengenai mutu dan keamanan dari suatu produk. Kajian Larsen (2003) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode pengumpulan informasi untuk mendukung traceability, yaitu mulai dari media dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis teknologi informasi. Kajian Senneset et al. (2007) juga menunjukkan bahwa pengembangan sistem


(17)

traceability berbasis teknologi informasi di Food Standard Agency Inggris lebih efektif jika dibandingkan dengan sistem traceability berbasis dokumen kertas.

Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003) memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau organisasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan kerumitan dalam penanganan informasi dalam rantai distribusi ikan tersebut. Guna mempermudah penanganan informasi, Larsen (2003) menyampaikan bahwa telah dibuat suatu ketentuan standar traceability, misalnya yang tercantum dalam tracefish (http://www.tracefish.org). Konsep implementasi standar ini menggunakan sistem elektronik untuk mencapai tahapan penelusuran dari rantai distribusi (chain traceability) yang ada. Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyampaikan bahwa standar tracefish menggunakan basis bahasa XML (extensible markup language), untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi. Tracefish sendiri mengembangkan dua standar traceability produk perikanan yaitu standar untuk distribusi ikan hasil budidaya (farmed fish distribution chain) dan ikan hasil tangkapan (captured fish distribution chain). Akan tetapi hingga saat ini belum ada sistem traceability yang dibangun secara efektif di perusahaan eksportir perikanan Indonesia. Indonesia menghajatkan diterapkannya sistem ketertelusuran (traceability) bagi para pelaku usaha perikanan pada setiap mata rantai nilai produk perikanan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 Bab II pasal 3 huruf C (KKP 2010). Pada peraturan ini tidak tertera metode spesifik untuk pelaksanaan sistem traceability.

Melihat permasalahan tersebut, maka kajian mengenai sistem informasi untuk mendukung penerapan traceability, terutama dokumentasi pada industri perikanan sangat penting untuk dilakukan. Kajian tersebut nantinya diharapkan dapat dikembangkan dalam aplikasi perangkat lunak sistem traceability yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi perikanan, terutama perdagangan tuna Indonesia di dunia.


(18)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis dalam pembuatan kerangka sistem informasi berbasis data elektronik untuk mendukung penerapan dokumentasi program traceability internal perusahaan pengolahan pada rantai distribusi ikan tuna loin beku (tuna supply chain).


(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuna

Ikan tuna merupakan salah satu primadona komoditas ekspor produk perikanan Indonesia. Dalam statistik perikanan Indonesia, istilah tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari jenis tuna besar (Thunnus spp, seperti yellowfin tuna, big eye, southern bluefin tuna, dan albacore), dan jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlins, sailfish, dan swordfish. Skipjack tuna sering digolongkan sebagai cakalang, sedangkan istilah tongkol umumnya digunakan untuk jenis eastern little tuna (Euthynus spp.), frigate and bullet tuna (Auxis spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol) (Purnomo dan Suryawati 2007)

2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.)

Klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) menurut Collete dan Nauen (1983) adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata Superclass : Gnathostomata

Class : Osteichthyes

Subclass : Actinopterygii Infraclass : Teleostei

Superorder : Acanthopterygii

Order : Perciformes

Suborder : Scombroidei

Family : Scombridae

Subfamily : Thunnini

Genus : Thunnus (8 species) Katsuwonus (1 species) Euthynnus (3 species) Auxis (2 species)

Ikan tuna termasuk famili Scombridae, tubuh ikan tuna berbentuk tegak, memanjang dan fusiform (streamline) dengan dua buah sirip dorsal terpisah yang


(20)

memiliki satu jari-jari keras pada jari-jari pertamanya dan sirip kaudal berbentuk bulan sabit. Sirip ventral berukuran lebih kecil atau sama dengan sirip pektoral, serta terletak menjorok kebelakang dari dasar sirip pektoral. Seluruh ikan scombroids memiliki finlet dibelakang sirip dorsal dan sirip anal, serta sepasang caudal peduncle keel di tengah pangkal ekornya. Sirip dorsal pertama dan sirip anal pertama dapat melipat kedalam lipatan, sedangkan sirip pektoral dan sirip ventral menekan kedalam tubuh pada saat berenang dengan cepat. Ikan ini memiliki empat lekuk/lengkung insang pada setiap sisinya dan filamen insangnya

mengeras sebagai “gill rays” (Collette dan Nauen 1983). Adapun bentuk tubuh spesies ikan tuna disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus Sp). Sumber : http://www.dkp.go.id

Ikan tuna merupakan ikan yang memiliki kemampuan berenang cepat dan melakukan migrasi sepanjang hidupnya (Shomura et al. 1991) sehingga dapat ditemukan di beberapa perairan, bahkan spesies tertentu dapat ditemukan hampir di seluruh perairan dunia. Kebiasaan ikan tuna untuk bermigrasi didukung oleh sistem metabolisme tuna yang dapat mengatur jumlah panas yang ada di dalam tubuh untuk mencapai kondisi biologis yang efektif (FAO 2010). Kemampuan metabolisme tuna untuk mengatur jumlah panas didalam tubuhnya dilakukan dengan Rete mirabile yang dapat memindahkan panas dari pembuluh darah vena ke pembuluh darah arteri untuk mengurangi pendinginan permukaan tubuh dan menjaga otot tetap hangat sehingga tuna mampu berenang lebih cepat dengan energi yang lebih sedikit (Block & Stevens 2001).


(21)

Tuna terdapat di berbagai perairan, terutama yang mempunyai kadar garam tinggi. Di Samudra Hindia penyebarannya meluas dari 30o LS ke utara dan dari timur Australia hingga pantai Amerika. Di Samudra Atlantik meluas dari pantai Amerika hingga benua Afrika dan di Nusantara selain di kedua lautan tersebut terdapat di laut yang dalam diantaranya Laut Bali, Laut Flores, Laut Sawu, dan Laut Arafuru serta Laut Banda (Simonangkir 1993).

Kajian mengenai komposisi kimia dan nilai gizi pada beberapa ikan tuna telah banyak dilakukan. Komposisi kimia dan nilai gizi antara tuna bluefin, yellowfin dan skipjack berdasarkan kajian Oehlenschlager dan Rehbein (2009) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi gizi beberapa ikan tuna per 100 gram daging

Komposisi Satuan Spesies Tuna

Bluefin Yellowfin skipjack

Kadar air gr 68 71 71

Protein gr 23 23 22

Total lemak gr 5 15 1

Abu gr 1,2 1,3 1,3

Energi kkal 144 168 103

Kalsium mg 8 16 29

Magnesium mg 50 50 4

Fosfor mg 254 191 222

Potasium mg 252 444 407

Sodium mg 39 37 37

Seng mg 0,6 0,52 0,82

Tembaga mg 0,09 0,06 0,09

Selenium µg 0,02 0,02 0,02

Iodin µg 36 36 36

20:5 (n-3) gr 0,283 0,037 0,071

22:6 (n-3) gr 0,890 0,181 0,185

Kolesterol mg 38 45 47

Sumber: Oehlenschlager dan Rehbein (2009) 2.1.2 Tuna loin

Tuna Loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan, dan penyimpanan (Badan Standardisasi Nasional 2006).


(22)

Penanganan dan pengolahan ikan Tuna Loin berdasarkan ketentuan SNI 01-4104.3-2006 meliputi:

1) Penerimaan

Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku). 2) Penyiangan atau tanpa penyiangan

Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).

3) Pencucian 1 (khusus yang menggunakan bahan baku segar).

Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).

4) Pembuatan loin

Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku). 5) Pengulitan dan perapihan

Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -18 0C (untuk bahan baku tuna beku).

6) Sortasi mutu

Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan


(23)

secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar).

7) Pembungkusan

Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar).

8) Pembekuan

Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku (freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal –18 °C dalam waktu maksimal 4 jam (untuk bahan baku tuna segar). Loin dengan bahan baku tuna beku dibekukan dengan cara disusun dalam pan pembeku, lalu dibekukan dengan freezer hingga suhu pusat ikan mencapai –18 °C secara tepat.

9) Penimbangan

Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 °C.

10) Pengepakan

Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.

11) Pengemasan

Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk.

12) Pelabelan dan pemberian kode

Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap; bila ada bahan


(24)

tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan, dan tahun produksi; dan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.

13) Penyimpanan

Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -25 oC dengan fluktuasi suhu ±2 oC. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian supa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.

2.1.3 Mutu dan kemunduran mutu ikan

The International Organization for Standarization 9000:2000 (ISO 9000:2000) mendefinisikan mutu sebagai derajat dari serangkaian karakteristik produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan. Dalam bidang perikanan mutu identik dengan kesegaran ikan. Kesegaran ikan berkaitan dengan semua total karakteristik produk yang baru dipanen dengan ciri tidak rusak, tidak menunjukkan tanda pembusukan, tetap memiliki sifat karakteristik spesies hidup baik dalam bentuk utuh, fillet atau potongan (Bremner dan Sakaguchi 2000). Bahan baku yang baik dan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.2-2006) harus memiliki karakteristik kesegaran secara organoleptik seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.2-2006)

Indikator Karakteristik

Rupa Bersih

Kenampakan Mata cerah, cemerlang

Bau Segar

Tekstur Elastis, padat dan kompak Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006)

Untuk mempertahankan mutu ikan segar, bahan baku harus secepatnya diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lanjutan maka ikan harus disimpan dengan penyimpanan dingin atau penampungan dengan suhu produk maksimal 5 oC, saniter dan higienis (SNI 01-2729.3-2006).


(25)

Kemunduran mutu ikan didasarkan tiga mekanisme yaitu proses autolisis oleh enzim, oksidasi, dan pertumbuhan mikroba (Ghaly et al. 2010). Perubahan utama yang terjadi pada kemunduran mutu ikan adalah kerusakan dari protein dan lemak (Mahmoud et al. 2006). Huss (1995) menyatakan bahwa pada penurunan kualitas ikan selama penyimpanan, pembusukan periode penyimpanan awal didominasi oleh proses autolisis dan digantikan oleh perubahan akibat aktivitas bakteri pada periode selanjutnya. Menurut Haard (1992) pada daging ikan terdapat beberapa enzim protease seperti katepsin, tripsin, kemotripsin, dan peptidase yang bekerja pada otot selama postmortem. Perubahan pada daging ikan sebagai hasil reaksi ini dapat menguntungkan kondisi untuk perkembangbiakan bakteri.

Setelah ikan mati, pasokan oksigen ke jaringan otot akan terganggu karena darah tidak lagi dipompa oleh jantung dan tidak disirkulasikan melalui insang. Karena tidak ada oksigen yang tersedia untuk respirasi normal, produksi energi dari nutrisi sangat dibatasi. Glikogen (karbohidrat yang disimpan) atau lemak akan teroksidasi oleh enzim pada jaringan dalam serangkaian reaksi yang akhirnya menghasilkan karbon dioksida (CO2), air dan senyawa kaya energi

organik adenosin trifosfat (ATP). Jenis respirasi berlangsung dalam dua tahap: secara anaerob dan aerob yang tergantung pada kandungan oksigen (O2) yang

tersedia dalam sistem peredaran darah (Huss 1995).

Autolisis pada prinsipnya adalah reaksi enzimatik, yang berlangsung di jaringan ikan. Enzim dan reaksi kimia dalam otot ikan yang terkait tidak langsung terhenti setelah kematian ikan. Kelanjutan aktivitas enzim memulai proses lainnya seperti rigor mortis, yang merupakan dasar untuk pembusukan autolisis pada ikan (Huss 1995). Tahap rigor mortis pada ikan ditandai dengan penurunan pH dikarenakan pemecahan glikogen menjadi asam laktat (Green 2011).

Degradasi nukleotida pada daging ikan setelah mati telah diteliti selama puluhan tahun dan dianggap sebagai salah satu indeks utama untuk menilai kesegaran ikan. Setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim endogenous yang menyebabkan pembentukan berturut-turut adenosin-5'-difosfat (ADP), adenosin-5'-monophosphate (AMP), inosin-5'-monophosphate (IMP), inosin (Ino atau HxR) dan hipoksantin (Hx) yang degradasi ke xanthine (X) dan uric acid (U). Degradasi ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat,


(26)

IMP dominan terakumulasi dalam otot ikan. Reaksi ini diyakini sebagai proses autolisis. Degradasi ATP sampai IMP secara umum dikaitkan dengan enzim yang terdapat pada daging ikan sedangkan perubahan IMP menjadi Ino dan HX dikaitkan dengan pertumbuhan bakteri (Surette et al. 1988).

Selama proses kemunduran mutu pada ikan tuna, segera setelah ikan mati dan selama proses autolisis akan terbentuk histamin dari hasil dekarboksilasi histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25 oC (Keer et al. 2002). Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari tubuh ikan sendiri, namun sebagian besar enzim tersebut dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi (Keer et al. 2002). Kimata (1961) pada mulanya menduga bahwa pembentukan histamin disebabkan karena proses autolisis, namun ternyata peranan proses autolisis terhadap pembentukan histamin sangat kecil dan diabaikan jumlahnya, jika dibandingkan jumlah histamin yang terbentuk karena proses dekarboksilasi oleh bakteri.

Bakteri pembentuk histamin kebanyakan dari famili Enterobacteriaceae yang jenisnya sangat banyak, namun yang paling berperan dalam dekarboksilasi histidin adalah Morganella morganii, Klebsiella pneumonia, dan Hafnia alvei. Bakteri ini dapat ditemukan pada hampir semua jenis ikan, kemungkinan besar hasil kontaminasi pasca panen. Bakteri penghasil histamin ini tumbuh baik pada suhu 10 oC, tetapi dapat juga tumbuh pada 5 oC. Oleh karena itu, Food and Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin adalah 4,4 oC. Bakteri penghasil histamin ini memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane dan Olley 2000). Toksisitas histamin bertambah ketika ada amin biogenik lain yang ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin (Rossi et al. 2002).

2.2 Traceability

Codex Alimentarius (CAC/GL 60-2006) menyatakan bahwa traceability adalah kemampuan untuk mengikuti pergerakan dari makanan selama tahap proses produksi dan distribusi. The International Organization for Standarization


(27)

9000:2000 (ISO 9000:2000) mendefinisikan traceability sebagai kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi dari hal dibawah pertimbangan, dan catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan dan sejarah proses produk, serta distribusi produk. General Food Law Regulation 178/2002 Uni Eropa pada artikel 3 nomor 15 mendefinisikan traceability sebagai kemampuan menelusuri makanan atau pakan atau bahan baku produksi makanan atau pakan, dalam setiap tahap proses produksi dan distribusi.

Masalah keamanan pangan pada masa perdagangan global saat ini telah memaksa timbulnya regulasi mengenai traceability (Senneset dan Foras 2007). Berbagai regulasi tentang sistem jaminan keamanan pangan dan traceability telah tersedia di berbagai negara. Uni Eropa General Food Law Regulation (EC 178, klausul 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi ini mencakup elemen penting seperti aturan traceability dan penarikan produk berbahaya (Recall Procedures) yang terdapat di pasaran. Aturan ini menyatakan bahwa traceability didefinisikan sebagai kemampuan untuk menelusuri produk, pakan, bahan yang digunakan untuk konsumsi melalui semua tahapan produksi, pengolahan dan distribusi produk (Official Journal of the European Communities 2002). Amerika sejak peristiwa 11 September telah pula mengeluarkan The US Public Health Security and Bioterrorism Preparedness and Response Act pada tahun 2002. Regulasi ini memberikan kekuasaan bagi FDA (Food and Drugs Administration) melakukan perlindungan terhadap keamanan pangan nasional dengan melakukan berbagai langkah, salah satu diantaranya adalah pembuatan dan pemeliharaan rekaman (record keeping) untuk kepentingan traceability (Thakur dan Hurburgh 2009).

ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward) dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan


(28)

kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan distribusi.

Penerapan traceability dalam industri pengolahan dapat dijelaskan melalui beberapa tahap, yakni analisis sistem, asesmen traceability, prosedur penarikan produk, dan dokumentasi dan perekaman (Derrick dan Dillon 2004). Berikut adalah penjelasan tiap-tiap tahapan:

A. Analisis sistem

Analisis sistem merupakan langkah pertama dalam mengembangkan sistem traceability yaitu melakukan analisis prosedur-prosedur yang ada dalam industri pengolahan ikan untuk menetapkan elemen apa yang telah ada dan dan memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem telah teridentifikasi. Secara umum menganalisis sistem produksi yang diterapkan perusahaan sebagai langkah kunci dalam penerapan sistem traceability. Analisis tersebut (Derrick dan Dillon 2004) terdiri atas:

1) Membuat tim manajemen

Tindakan awal dalam pengembangan sistem traceability adalah membuat tim manajemen. Penting bagi perusahaan menunjuk seseorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai traceability, dan memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi.

2) Membuat diagram tahapan proses produksi.

Tahapan proses produksi yang dimaksud dimulai dari tahap pengadaan bahan baku (raw material) hingga pemuatan produk akhir di dalam kontainer.

3) Membuat prosedur identifikasi

Prosedur identifikasi disusun berpatokan pada diagram alir proses produksi yang telah dibuat. Pembuatan prosedur identifikasi bertujuan untuk menentukan format alat-alat dokumentasi serta menetukan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap rekaman tersebut.

4) Melakukan perekaman pada setiap tahapan proses produksi.

Perekaman pada tiap tahap proses bertujuan mengidentifikasi dan merekam setiap hal yang berhubungan dengan produk baik pekerja, lingkungan, bahan tambahan pada produk, dan hal-hal lain yang diperlukan.


(29)

5) Verifikasi

Verifikasi merupakan bagian penting dalam sistem perekaman terutama sebagai alat konfirmasi dengan manajemen tingkat atas.

B. Asesmen traceability

Asesmen traceability merupakan sebuah kegiatan menentukan kemampuan suatu prosedur dan perekaman mendukung penerapan sistem traceability di unit pengolahan. Asesmen traceability di unit pengolahan dilakukan dengan menggunakan traceability decision tree.

Traceability decission tree diawali dengan menjawab pertanyaan pada masing-masing proses produksi secara berurutan (Derrick dan Dillon 2004) yang meliputi :

1) Identifikasi prosedur dan rekaman perusahaan yang menyangkut traceability. Apabila dokumen dalam tiap proses yang dibutuhkan untuk menjamin traceability tidak ada, maka prosedur harus dimodifikasi.

2) Identifikasi apakah kode pengenal batch yang dicatat berdasarkan hubungan data proses dengan masing-masing batch.

3) Identifikasi apakah kode pengenal batch dipindahkan dengan produk ke tahap selanjutnya.

Apabila jawaban semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka perlu dilakukan perubahan rekaman atau prosedur untuk memperbaiki pelaksanaan traceabiliy selama di dalam industri. Diagram alir metode traceability decision tree dapat dilihat pada Gambar 2.


(30)

Gambar 2 Skema traceability decision tree (Derrick dan Dillon 2004). C. Prosedur penarikan produk (recall)

Prosedur penarikan produk (recall) akan terlihat manfaatnya pada saat suatu produk diketahui mengandung bahaya oleh pihak yang bersangkutan yaitu penjual atau pembeli. Jika demikian, maka produk akan ditarik dari peredaran maupun dari tahapan proses produksinya. Adapun prosedur recall produk terdiri atas:

1) Membuat tim manajemen recall produk 2) Membuat file produk yang dikomplain 3) Mencatat pihak yang melaporkan komplain 4) Menelusuri rantai produk

5) Menelusuri rekaman persediaan dan distribusi produk 6) Membuat tata cara penarikan produk yang memungkinkan 7) Mencatat penarikan produk

8) Evaluasi dan merancang penarikan produk yang lebih efektif 9) Uji coba rencana penarikan

Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?

Q1

Lanjut ke tahap selanjutnya

Apakah rekaman diperlukan untuk menelusuri produk ?

Q1a

Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini

Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk kode batch

Tindakan yang diperlukan :

Mengembangkan metode termasuk kode batch

Apakah kode batch diikutsertakan dalam rekaman ?

Q2

Apakah kode batch pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya ?

Q3 ya ya tidak tidak tidak tidak ya ya


(31)

D. Dokumentasi dan perekaman

Setelah semua tahapan penerapan sistem traceability dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah mendokumentasikan serangkaian kegiatan yang telah dilakukan sebagai arsip apabila kelak dibutuhkan perusahaan. Rekaman mutu mewakili bukti bahwa prosedur mutu yang diharuskan telah diterapkan pada produk dan jasa yang ditentukan. Rekaman harus dalam keadaan sah, mudah diidentifikasi, dan mudah ditemukan. Pembentukan divisi pada perusahaan yang spesifik menangani masalah traceability sangat direkomendasikan.

2.3 Sistem Informasi

Sistem adalah seperangkat unsur-unsur yang terdiri dari manusia, alat, konsep dan prosedur yang dihimpun menjadi satu untuk maksud dan tujuan bersama (Davis 1992). Sedangkan menurut Dengen dan Hatta (2009) sistem adalah sekumpulan elemen yang dalam sebuah jaringan yang bekerja secara teratur dalam satu kesatuan yang bulat dan terpadu untuk mencapai sebuah tujuan atau sasaran tertentu. Suatu sistem dapat terdiri dari sistem-sistem bagian (subsistem). Misalnya, sistem komputer terdiri dari subsistem perangkat keras dan perangkat lunak. Masing-masing subsistem dapat terdiri dari subsistem yang lebih kecil lagi. Subsistem-subsistem tersebut saling berinteraksi dan berhubungan membentuk satu kesatuan sehingga tujuan atau sasaran sistem tersebut dapat tercapai (Amirin 2003).

Model umum sebuah sistem terdiri dari masukan, pengolah, penyimpanan dan keluaran. Hal ini tentu saja sangat sederhana karena sebuah sistem mungkin memiliki beberapa masukan dan keluaran. Informasi merupakan data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang (Davis 1992). Sedangkan sistem informasi adalah kumpulan atau susunan yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak serta tenaga pelaksananya yang bekerja dalam sebuah proses berurutan dan secara bersama-sama saling mendukung untuk menghasilkan suatu produk (Dengen dan Hatta 2009). Model dasar sebuah sistem informasi dapat dilihat pada Gambar 3.


(32)

Gambar 3 Model dasar sistem informasi (Davis 1992).

Sistem informasi memiliki perhatian khusus terhadap pengumpulan, penyimpanan, analisis dan mendapatkan kembali (retrieval) data. Dalam konteks manajemen keamanan pangan hal-hal tersebut sangat penting untuk mendukung pengambilan keputusan dalam kerangka waktu yang singkat dan berpotensi memungkinkan pengambilan keputusan yang harus dibuat secara real time (McMeekin et al. 2006).

Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan telah mendorong timbulnya ketertarikan pada sistem elektronik bagi chain traceability. Salah satu contohnya ketertarikan akan sistem yang mampu memfasilitasi komunikasi antara sistem bisnis dan bekerja secara terintegrasi sebagai bagian dari manajemen produksi. Dalam hal ini, sistem traceability berperan sebagai perlindungan merk dagang (brand protection) melalui penyediaan informasi seperti asal bahan mentah yang digunakan, rekaman sepanjang proses produksi (processing hystory) dan informasi terkait lainnya (McMeekin et al. 2006). Dengan menggunakan sistem elektronik untuk melakukan traceability sepanjang rantai distribusi (chain traceability), informasi hanya akan dimasukkan sekali tidak ditulis setiap kali bahan mentah diproses, dikemas atau dikemas ulang. Hal ini dapat mengurangi kesalahan dan penghematan waktu pada beberapa tahapan dalam rantai distribusi (Frederiksen et al. 2002; Larsen 2003).

Info-Fisk project (Frederiksen et al. 2002), melakukan kajian pada rantai distribusi ikan segar dan mendemonstrasikan bahwa sistem berbasis internet

(internet-based) mampu menyediakan kemampuan traceability secara

keseluruhan sejak penangkapan, pengumpul, pelelangan, grosir dan penjualan terakhir pada supermarket. Sistem ini menggunakan barcode sebagai media identifikasi produk dan XML (Extensible Markup Language) untuk transfer informasi berbasis internet antar operator bisnis.

Data Pengolahan Informasi


(33)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di perusahaan pengolahan ikan tuna PT X, yang terletak pada kawasan Pelabuhan Perikanan Samudra Muara Baru, Jakarta Utara. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah bulan Agustus-September 2010.

3.2 Tahapan Penelitian

Penelitian ini mencakup evaluasi sistem dokumentasi rantai distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X dan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu:

1. Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi penanganan ikan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X, sebagai mata rantai industri pengolahan tuna loin.

2. Melakukan analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem dokumentasi program traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X. Pelaksanaan penerapan dokumentasi program traceability meliputi prosedur perekaman, manajemen perekaman dan sistem pengkodean. Adapun asesmen yang dilakukan menggunakan traceability decission tree, untuk memastikan keperluan tahapan terhadap proses ketelusuran.

3. Analisis dan desain pengembangan sistem informasi dalam jaringan rantai distribusi tuna untuk pelaksanaan penerapan dokumentasi program traceability. Kegiatan pelaksanaan pengembangan sistem informasi yang dilakukan meliputi identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model traceability internal, pengembangan model untuk pertukaran informasi antar aktor (pihak-pihak) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir adalah desain basis data.

Secara lengkap masing-masing tahapan tersebut adalah :

3.2.1 Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X.

1) Mempelajari jaringan rantai distribusi tuna yang berkaitan dengan PT X mulai dari penangkapan hingga ekspor.


(34)

2) Pembuatan jaringan rantai distribusi tuna.

3) Verifikasi dan presentasi jaringan rantai distribusi tuna di PT X. Verifikasi dan presentasi dilakukan dengan konsultasi dan diskusi kepada QC dan manajer umum PT X.

3.2.2 Analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem dokumentasi program traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna yang berkaitan dengan PT X

Analisis sistem merupakan langkah pertama dalam mengembangkan sistem dokumentasi program traceability yaitu melakukan analisis prosedur-prosedur yang ada dalam industri pengolahan ikan tuna untuk menetapkan elemen apa yang telah ada dan memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem telah teridentifikasi. Sedangkan asesmen traceability merupakan sebuah kegiatan menentukan kemampuan suatu prosedur dan perekaman mendukung penerapan sistem traceability di unit pengolahan.

3.2.2.1 Analisis praktek implementasi sistem traceability

Analisis sistem traceability yang dilakukan menggunakan data primer maupun data sekunder berupa prosedur-prosedur yang diperoleh di industri penanganan dan pengolahan tuna. Inventarisasi data primer dilakukan secara langsung di lapangan melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder melalui studi pustaka, analisis dokumen, serta informasi dari instansi terkait. Data yang diperoleh di evaluasi kesesuaiannya dengan mengacu pada standar aturan yang berlaku di Uni Eropa (EC No. 178/2002) maupun Amerika (Bioterrorism Act 2002) sebagai negara tujuan ekspor, selain itu juga mengacu kepada standar internasional, Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 60-2006) mengenai prinsip traceability sebagai alat untuk inspeksi makanan dan sistem sertifikasi dan The International for Standarization seperti sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000.

Analisis sistem traceability menurut Derrick dan Dillon (2004) meliputi : 1) Analisis prosedur perekaman proses produksi

Analisis prosedur perekaman disusun berpatokan pada diagram alir proses produksi tuna loin beku masing-masing aktor. Pada tahap ini, semua informasi yang berkaitan dengan produk sepanjang proses produksi dipastikan telah didokumentasikan.


(35)

2) Analisis manajemen perekaman

Analisis manajemen perekaman dilakukan meliputi semua ruang lingkup traceability yaitu Supplier traceability, Process traceability dan Customer traceability.

3) Analisis sistem pengkodean

Analisis sitem pengkodean dilakukan untuk melihat bagaimana perusahaan memberikan kode identifikasi pada suatu produk dan menjaga keutuhan kode bersama dengan informasi yang terkandung di dalamnya sepanjang proses produksi.

Masing-masing analisis diatas dilakukan di seluruh tahap penanganan dan pengolahan yang terjadi di rantai distribusi tuna loin.

3.2.2.2 Asesmen praktek implementasi sistem traceability

Tahap selanjutnya adalah melakukan asesmen terhadap praktek implementasi sistem dokumentasi program traceability. Asesmen sistem dokumentasi program traceability adalah penentuan kemampuan prosedur perekaman dan kegiatan perekaman di unit pengolahan yang mampu mendukung penerapan sistem traceability. Metode yang digunakan mengacu pada konsep traceability decision tree (Derrick dan Dillon 2004).

Traceability Decision Tree diawali dengan pertanyaan pada masing-masing proses produksi secara berurutan yang meliputi :

4) Identifikasi prosedur dan dokumen perusahaan yang menyangkut traceability. Apabila dokumen dalam tiap proses yang dibutuhkan untuk menjamin traceability tidak ada, maka prosedur harus diganti.

5) Identifikasi apakah kode pengenal suatu batch (batch identification codes) yang dicatat berdasarkan hubungan data proses dengan masing-masing batch. 6) Identifikasi apakah kode pengenal suatu batch (batch identification codes)

dipindahkan dengan produk ke tahap selanjutnya.

Apabila jawaban semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka perlu dilakukan perubahan prosedur pencatatan untuk memperbaiki pelaksanaan traceabiliy selama di dalam industri. Diagram alir metode traceability decision tree dapat dilihat pada Gambar 4.


(36)

Gambar 4 Skema Traceability Decision Tree (Derrick dan Dillon 2004).

3.2.3 Analisis dan desain atau perancangan sistem informasi untuk mendukung penerapan traceability pada rantai distribusi tuna loin beku

Konsep desain atau perancangan sistem informasi berbasis teknologi informasi mengacu pada Thakur dan Hurburgh (2009). Tahapan perancangan sistem informasi dilakukan untuk memberikan gambaran tentang Unit Pengolahan Ikan, dalam hal ini PT X dan kaitannya dengan supplier (pemasok) maupun konsumennya (buyer). Tahapan ini dilaksanakan dalam 4 (empat) aktivitas atau kegiatan yaitu identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model traceability internal, desain model untuk pertukaran informasi antar aktor (pihak-pihak) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir adalah desain basis data. Skematis tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?

Q1

Melanjutkan ke tahap selanjutnya

Apakah rekaman diperlukan untuk menelusuri produk ?

Q1a

Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini

Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk nomor lot

Tindakan yang diperlukan :

Mengembangkan metode termasuk kode nomor lot

ya

ya

tidak

tidak

tidak Apakah kode nomor lot

diikutsertakan dalam rekaman ? Q2

Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya ? Q3


(37)

Gambar 5 Tahapan perancangan sistem informasi (mengacu Thakur dan Hurburgh 2009).

3.2.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem

Identifikasi kebutuhan sistem merupakan langkah pertama dari analisis dan desain sistem informasi untuk mendukung implementasi dokumentasi program traceability pada rantai distribusi ikan tuna. Tahapan identifikasi kebutuhan sistem bertujuan memenuhi dan menyelaraskan antara berbagai kebutuhan dari seluruh aktor yang terlibat.

Pelaksanaan identifikasi kebutuhan sistem meliputi penentuan dari pihak (aktor) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna. Batasan terhadap pihak-pihak (aktor) dalam penelitian ini adalah aktor yang terkait dengan PT X, baik pihak supplier maupun pihak yang menerima produk akhir hasil produksi dari perusahaan. Secara umum aktor-aktor yang terlibat dengan PT X adalah kapal penangkap ikan, tempat pendaratan ikan (transit), unit pengolah ikan (PT X), grosir (wholesalers), dan retailer.

Selanjutnya dari aktor-aktor yang terlibat dibuat interaksinya dalam bentuk gambar model sistem traceability dari rantai distribusi tuna. Gambar model tersebut menggunakan model diagram use case yang mengacu pada Lee dan Xue (1999). Diagram use case ini membantu menjelaskan mengenai hubungan antara aktor dengan setiap use case dalam sistem traceability rantai distribusi tuna yang ada (Gambar 6).

Identifikasi kebutuhan sistem

Pengembangan model traceability internal

Desain model untuk pertukaran informasi antara aktor yang terlibat dalam sistem


(38)

Gambar 6 Model use case diagram dan bagian-bagiannya.

3.2.3.2 Pengembangan model traceability internal

Langkah selanjutnya adalah pengembangan model traceability internal. Traceability internal memiliki peranan yang sangat penting dalam traceability secara keseluruhan (chain traceability). Traceability internal dikembangkan sebagai dasar bagi pengembangan pertukaran informasi pada chain traceability tuna. Traceability internal yang baik akan memudahkan dalam pelacakan produk secara keseluruhan dalam suatu rantai distribusi.

Pengembangan model traceability internal dikembangkan dengan menggunakan teknik Integrated Definition Modelling (IDEF0) yang mengacu IDEF0 (1993). Teknik Integrated Definition Modelling (IDEF0) menerangkan mengenai masukan (input), keluaran (output), kontrol (control) dan mekanisme (mechanisms) dari suatu proses (Gambar 7). Model ini dapat disusun secara

Aktor Usecase Batasan sistem

Sistem

Use case

Use case

Use case

Use case

Sistem traceability rantai distribusi tuna

Aktor Aktor

Aktor

Aktor Aktor

Keterangan:


(39)

hierarki dalam bentuk struktur pohon (tree stucture), yaitu berupa sub proses-sub proses dari proses utama (parent process).

Gambar 7 Model umum IDEF0.

Langkah pertama dari teknik IDEF0 adalah mengidentifikasi fungsi (proses) utama. Proses utama pada penelitian ini adalah pengembangan sistem traceability internal pada UPI (Unit Pengolahan Ikan) tuna. Setelah mengetahui proses utama maka dilakukan pendefinisian input (sesuatu yang dapat digunakan dari suatu proses untuk menghasilkan suatu output), kontrol (kondisi atau prinsip atau batasan yang dibutuhkan sehingga suatu proses dapat menghasilkan output), mekanisme (bagaimana suatu proses direalisasikan) dan output (data atau obyek yang dihasilkan dari suatu proses) dari proses utama tersebut.

Input dan kontrol dipilih secara teoritis mengacu pada standar ISO 22005 : 2007, sedangkan mekanisme dan untuk mencapai output yang diinginkan mengacu pada Thakur dan Humburgh (2009). Input pada penelitian ini adalah regulasi, karakteristik produk dan harapan konsumen dengan acuan standar ISO 22005 : 2007. Mekanisme yang digunakan adalah standar industri, personal dan prosedur-prosedur yang ada, sedangkan output yang ingin dihasilkan adalah dokumentasi proses produksi, sertifikat yang divalidasi, jaminan kualitas keamanan pangan, kepuasan konsumen dan pemenuhan regulasi yang berlaku.

Langkah selanjutnya dari teknik IDEF0 ini adalah menguraikan proses utama menjadi sub proses-sub proses. Penguraian proses utama ini dibagi menjadi 5 tahap dimana output dari suatu tahapan merupakan input bagi tahapan yang lain (Thakur dan Humburgh 2009). Kelima tahapan tersebut adalah untuk melihat rencana sistem traceability, penerapan traceability, evaluasi pelaksanaan sistem, validasi sistem dan perawatan sistem (Gambar 8).

NAMA PROSES

Masukan Keluaran

Kontrol


(40)

Gambar 8 Penguraian model IDEF0 (pengembangan sistem traceability internal tuna).

3.2.3.3 Model pertukaran informasi traceability

Model pertukaran informasi pada rantai distribusi tuna (tuna supply chain) dibuat untuk menggambarkan informasi apa saja yang harus disimpan dan dipertukarkan dalam rantai distribusi. Langkah yang dilakukan untuk memodelkan pertukaran informasi dibagi menjadi tiga bagian yang mengacu pada Thakur dan Hurburgh (2009).

Langkah pertama adalah memodelkan aliran produk tuna dan aliran informasinya yang terlihat dari gambar rantai distribusi tuna beku. Dari gambar tersebut akan terlihat aktivitas-aktivitas yang terjadi pada suatu produk tuna dan informasi-informasi yang sebaiknya diteruskan oleh masing-masing aktor sepanjang jalur distribusinya.

Langkah selanjutnya adalah menggambarkan pertukaran informasi ketika salah satu aktor meminta informasi tambahan terhadap suatu produk yang diduga berbahaya menggunakan sequence diagram mengacu pada Pender (2002). Sequence diagram mengilustrasikan bagaimana suatu obyek berinteraksi dengan obyek lainnya (interaksi antar obyek). Tipe interaksi pada sequence diagram dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan model sequence diagram yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.

Masukan Keluaran

Mekanis Kontrol

Penerapan /Implementasi

Traceability Evaluasi

Pelaksanaan Sistem

Validasi Sistem

Perawatan Sistem

Menentukan Rencana

Sistem


(41)

Kirim data produk

Kirim data produk

Kirim data produk Pesan tambahan Pesan tambahan

Tanggapan pesan tambahan Tanggapan pesan tambahan

Pesan tambahan Tanggapan pesan tambahan

Gambar 9 Tipe interaksi pada sequence diagram. Sumber: Pender 2002

Gambar 10 Model sequence diagram yang digunakan pada penelitian.

Langkah terakhir adalah memfasilitasi bagaimana suatu data/informasi dipertukarkan antar aktor dalam suatu rantai distribusi. Hal ini dapat dilakukan menggunakan XML (Extensible Markup Language) (Folinas et al. 2007). XML merupakan bahasa yang digunakan untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi.

3.2.3.4 Desain basis data

Penggunaan basis data pada sistem traceability perusahaan bertujuan untuk mengurangi adanya program data dependence, duplikasi data dan keterbatasan berbagi informasi yang direpresentasikan menggunakan entity relationship diagram (ERD). ERD merupakan suatu diagram yang dapat menunjukkan cara data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data. Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity relationship diagram adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan/relasi antar entitas (relationship) mengacu pada Hoffer et al. (2002). Tahapan-tahapan dalam dalam melakukan desain basis data dapat dilihat dari Gambar 11.

Pesan yang membutuhkan tanggapan Tanggapan dari suatu pesan


(42)

Persyaratan Data

E-R model Definisi entitas Rancangan skema eksternal &

konseptual (terlepas dari DBMS) Tahap I:

Koleksi & analisis persyaratan Tahap II: Rancangan konseptual Tahap III: Pemilihan DBMS Tahap IV: Rancangan logikal Tahap V: Rancangan fisik Tahap VI: Implementasi

Rancangan skema eksternal & konseptual

(sesuai dengan DBMS terpilih)

Rancangan skema internal (sesuai dengan DBMS terpilih)

Pembangunan Basis Data

Persyaratan Proses Rancangan Transaksi Data Rancangan program aplikasi Penyusunan program aplikasi Operasional program aplikasi Definisi: tabel, index, view, jalur, akses, format penyimpanan

Gambar 11 Tahapan perancangan basis data (Elmasri dan Navathe 1994).

Langkah yang digunakan pada penelitian ini hanya sampai pada tahap 2. Persyaratan data (tahap 1) berisikan data-data yang dibutuhkan untuk pengembangan basis data yaitu sesuai dengan data-data proses produksi tuna beku di perusahaan. Rancangan konseptual basis data (tahap 2) menghasilkan skema konseptual dari basis data yang bebas dari DBMS (database management system) tertentu. Dalam hal ini digunakan pemodelan ERD (Entity Relationship Diagram) menggunakan program microsoft office visio 2007.


(43)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rantai Distribusi Ikan Tuna

Rantai produksi perikanan khususnya untuk ikan hasil tangkapan bisa sangat panjang dan melibatkan banyak pihak. Secara umum, rantai distribusi ikan hasil tangkapan melibatkan berbagai aktor (pihak) antara lain kapal penangkap ikan, tempat pendaratan ikan (vessel landing businesses) dan tempat pelelangan ikan, unit pengolah, perusahaan pengangkutan, grosir (wholesalers), dan retailer (CEN 14660:2003). Dalam suatu rantai distribusi ikan beberapa pihak atau seluruh pihak dalam standar tersebut dapat terlibat.

Rantai distribusi tuna (tuna supply chain) di PT X di mulai dari hasil tangkapan tuna oleh nelayan didistribusikan untuk dibongkar muat di pelabuhan (transit). Pada bagian transit ikan tuna yang masuk disortir secara organoleptik oleh checker untuk dibedakan berdasarkan mutunya, yaitu: ikan tuna dengan mutu A, B, C, dan D. Hasil sortir mutu ikan tuna sebagian akan diekspor langsung ke Jepang, sedangkan bagian lainnya akan dijual kepada Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan pasar lokal. Rantai distribusi tuna ini dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Rantai distribusi ikan tuna.

Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12. Kapal penangkap ikan melakukan penangkapan ikan tuna yang kemudian didaratkan dan dijual ke pihak transit. Pihak transit melakukan penjualan ikan tuna yang masuk ke berbagai pihak mulai dari melakukan kegiatan ekspor secara langsung maupun melakukan penjualan kepada pihak UPI (PT X) dan pasar lokal. Ikan tuna segar dengan mutu A dan B di ekspor utuh (whole) ke Jepang menggunakan pesawat terbang sebagai alat transportasinya, ikan tuna ini nantinya akan digunakan sebagai bahan baku

Kapal Transit

Transportasi Distributor Retailer

Distributor

Retailer UPI

Pasar Lokal


(44)

untuk pembuatan sushi dan sashimi. Untuk ikan tuna dengan mutu C dan D, dijual kepada pihak UPI yang tersebar di muara baru dengan spesifikasi ukuran (size) 16 up (16-19 kg), 20 up (20-29 kg) dan 30 up (lebih dari 30 kg) untuk diolah menjadi produk diversifikasi tuna. Produk hasil diversifikasi tuna kemudian di transportasikan menggunakan kapal untuk di ekspor ke pihak importir (grosir), untuk selanjutnya didistribusikan kepada konsumen akhir oleh pihak retailer. Selanjutnya, ikan tuna yang tidak masuk spesifikasi untuk ekspor maupun spesifikasi UPI, akan dijual oleh pihak transit ke pasar lokal.

4.2 Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability

Analisis traceability dilakukan pada aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna loin beku yang berkaitan dengan PT X meliputi analisis prosedur perekaman, analisis manajemen perekaman dan analisis sistem pengkodean. Aktor yang terlibat antara lain Kapal Penangkap Tuna, Transit, PT X, dan Wholesaler (Distributor) dan Retailer. Namun untuk tahap analisis ini hanya dibatasi hingga pihak wholesaler saja.

4.2.1 Analisis prosedur perekaman

Analisis prosedur perekaman dilakukan pada tiap-tiap aktor (pihak) yang terlibat dan bertujuan untuk memastikan semua informasi yang berkaitan dengan produk sepanjang penanganan dan proses produksi dipastikan telah didokumentasikan.

1) Kapal penangkap tuna dan transit

Analisis prosedur perekaman proses penangkapan ikan tuna diawali dari penangkapan hingga bongkar muat dan penanganan ikan di darat. Tahap analisis dapat dilihat pada Tabel 3.


(45)

Tabel 3 Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit.

No Nama tahapan kegiatan Aktivitas meliputi

1 Penangkapan* Kegiatan penangkapan

2 Penanganan di kapal* Teknik mematikan tuna Pembuangan darah

Pembuangan insang dan isi perut Pencucian

Penyimpanan (on-board storage) 3 Bongkar muat dan penanganan

di darat**

Pembongkaran

Pengangkutan atau pemindahan Penanganan:

- Pemeriksaan dan sortasi - Pembersihan

- Pengemasan

- Pengangkutan dan pengiriman Sumber: * Blanc et al. (2005)

** SNI 01-2729.3-2006

Tabel 3 menunjukkan aktivitas-aktivitas yang secara umum terjadi selama kegiatan penangkapan hingga penanganan di darat pada kapal penangkap ikan dan tempat transit ikan. Kegiatan perekaman juga sebaiknya meliputi aktivitas-aktivitas tersebut. Secara umum rekaman selama penangkapan dapat dilihat pada log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur (Lampiran 1), sedangkan rekaman untuk pihak transit disesuaikan dengan aktivitas selama bongkar muat dan penanganan hingga ikan didistribusikan ke aktor selanjutnya. Deskripsi detail dari informasi yang dibutuhkan dapat dilihat pada standar tracefish CEN 14460 (2003).

2) PT X

Analisis prosedur perekanan proses produksi tuna loin beku dilakukan pada setiap tahap proses produksi di PT X. Tahap analisis dimulai dari tahap pembelian hingga tahap pengisian (stuffing) dimana aktivitas yang dilakukan selama proses produksi dapat dilihat pada Lampiran 2 sedangkan rekaman dapat dilihat pada Tabel 4.


(46)

Tabel 4 Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan.

No Nama tahapan kegiatan Rekaman

1 Pembelian (purchasing) Tally sheet of purchasing, Record of harvest vessel

2 Penerimaan bahan baku Report of raw material receiving

3 Pencucian I Record of daily temperature

4 Penyimpanan sementara Record of daily temperature

5 Pencucian II Record of daily temperature

6 Penimbangan I Record of daily temperature

7 Pemotongan kepala Record of daily temperature

8 Pembentukan loin (loining) Record of daily temperature 9 Pembuangan kulit, daging gelap

dan duri

Record of daily temperature

10 Penimbangan II Record of daily temperature

11 Pembungkusan sementara Record of daily temperature

12 Pemberian gas CO -

13 Pendinginan (chilling) Chilling temperature report

14 Sortasi mutu Record of daily temperature

15 Perapihan (retouching) Report of inspection product after trimming before freezing

16 Penimbangan III Record of daily temperature

17 Pembungkusan Record of daily temperature

18 Pemvakuman Record of daily temperature

19 Penyusunan Record of daily temperature

20 Pembekuan Freezing monitoring report

21 Penimbangan IV Record of daily temperature

22 Pengemasan dalam master carton dan pelabelan

Daily report of packing and labelling

23 Penyimpanan Cold storage temperature report

24 Pengisian (stuffing) Report of stuffing

Pembelian (purchasing)

Selama proses pembelian staf bagian produksi PT X mencatat pembelian dalam tally sheet tentang no batch, size, tanggal pembelian, nama kapal, nomor transit, dan nama supplier. Pada proses pembelian juga didapat informasi-informasi tentang penangkapan dan penanganan ikan tuna selama di kapal maupun di transit yang dicatat oleh staf produksi PT X dalam record of harvest vessel (Lampiran 3) yang meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh kapal, area penangkapan, metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji organoleptik, penyortiran, nama penyortir dan pengirim.


(47)

Penerimaan bahan baku

Pada tahap penerimaan ikan tuna didapatkan rekaman yang berisi informasi mengenai suhu pusat ikan, berat ikan, tanggal penerimaan, kode pemasok, nomor batch, uji organoleptik (bau, tekstur dan warna) yang dicatat dalam record of raw material receiving oleh quality control (QC). Record of raw material receiving dapat dilihat pada Lampiran 4.

Pencucian I

Selama proses pencucian I dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Penyimpanan sementara

Selama proses penyimpanan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pencucian II

Selama proses pencucian II dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Penimbangan I

Selama proses penimbangan I dilakukan pencatatanhasil penimbangan yang dicatat dalam telly sheet of weighting.

Pemotongan kepala

Selama proses pemotongan kepala dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pembentukan loin (loining)

Selama proses pembentukan loin dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Pembuangan kulit, daging gelap dan duri

Selama proses pembuangan kulit, daging gelap dan duri dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

Penimbangan II

Selama proses penimbangan II dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).


(1)

Ya: Identitas perekaman?

Ya: Lanjutkan ke pertanyaan 3?

Ya: Identitas perekaman? Tidak: Tindakan

yang mendukung?

Tidak: Tindakan yang mendukung?

Tidak: Tindakan yang mendukung?

Pembelian Ya Tally sheet of

purchasing, Record of harvest vessel

Ya Ya Bagian

pembelian memberi kode batch pada tiap pembelian ikan lalu diteruskan kebagian penerimaan Penerimaan

bahan baku

Ya Report of raw material receiving

Ya Ya Tiap

penerimaan diberi kode batch Pencucian 1 Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

pencucian I diberi kode batch Penyimpanan

sementara

Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Ikan disimpan

terpisah sesuai dengan kode batch masing-masing Pencucian II Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

pencucian II diberi kode batch Penimbangan I Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

penimbangan I diberi kode batch Pemotongan

kepala

Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Tiap

pemotongan kepala diberi kode batch Pembentukan

loin

Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Tiap

pembentukan loin diberi kode batch


(2)

Tahapan Proses

Pertanyaan 1: Apakah pada tahapan ini dibuat rekaman? Pertanyaan 2: Apakah kode nomor lot diikutsertakan dalam rekaman?

Pertanyaan 3: Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya?

Ya: Identitas perekaman?

Ya: Lanjutkan ke pertanyaan 3? Ya: Identitas perekaman? Tidak: Tindakan yang mendukung? Tidak: Tindakan yang mendukung?

Tidak: Tindakan yang mendukung?

Pembuangan kulit, daging gelap dan duri

Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Tiap

pembuangan kulit, daging gelap dan duri diberi kode bacth Penimbangan

II

Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Tiap

penimbangan II diberi kode batch

Pembungkusan sementara

Ya Record of daily

temperature

Ya Tiap

pembungkusan sementara diberi kode batch Pemberian gas CO

Tidak Pemberian gas CO dilakukan tiap kode batch yang sama

Tidak Pemberian gas CO dilakukan tiap kode batch yang sama

Tidak Pemberian gas CO dilakukan tiap kode batch yang sama Pendinginan Ya Chilling

temperature report

Ya Ya Tiap

pendinginan diberi kode batch Sortasi mutu Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap sortasi

mutu diberi kode batch Perapihan Ya Report of

inspection product after trimming before freezing

Ya Ya Tiap perapihan

diberi kode batch

Penimbangan III

Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Tiap

penimbangan III diberi kode batch


(3)

Pembungkusan Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Tiap

pembungkusan diberi kode batch Tahapan Proses Pertanyaan 1: Apakah pada tahapan ini dibuat rekaman? Pertanyaan 2: Apakah kode nomor lot diikutsertakan dalam rekaman?

Pertanyaan 3: Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya?

Ya: Identitas perekaman?

Ya: Lanjutkan ke pertanyaan 3? Ya: Identitas perekaman? Tidak: Tindakan yang mendukung? Tidak: Tindakan yang mendukung?

Tidak: Tindakan yang mendukung?

Pemvakuman Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Tiap

pemvakuman diberi kode batch Penyusunan Ya Record of

daily

temperature

Ya Ya Tiap

penyusunan diberi kode batch Pembekuan Ya Freezing

monitoring report

Ya Ya Tiap

pembekuan diberi kode batch Penimbangan

IV

Ya Record of daily

temperature

Ya Ya Tiap

penimbangan IV diberi kode batch

Pengemasan dalam master carton dan pelabelan

Ya Daily report of packing and labelling

Ya Ya Tiap

pengemasan dalam master carton dan pelabelan diberi kode bacth Penyimpanan Ya Cold

storage temperature report

Ya Ya Tiap

penyimpanan diberi kode batch Pengisian Ya Report of

stuffing

Ya Ya Tiap pengisian

diberi kode batch


(4)

GLOSSARY

B

Basis data:

Kumpulan informasi yang disimpan dalam komputer secara sistematik dapat diperiksa menggunakan suatu program komputer untuk memperoleh informasi dari basis data tersebut.

Batch/Lot

Kumpulan dari unit atau banyak unit yang diproduksi dan/atau diproses atau dikemas dalam keadaan yang sama.

D Data

Informasi yang didokumentasikan. Database Management System:

Kumpulan program yang digunakan untuk membuat dan mengelola basis data. Desain Data Konseptual:

Model data yang menyediakan konsep bagaimana user (pengguna informasi) melihat suatu data.

E

Entitas:

Obyek-obyek yang dilibatkan dalam sebuah basis data Entity Relationship Diagram:

Suatu diagram yang dapat menunjukkan cara data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data.

I

Informasi

Data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang.

Input


(5)

K Kontrol

Kondisi atau prinsip atau batasan yang dibutuhkan sehingga suatu proses dapat menghasilkan output.

M

Mekanisme

Bagaimana suatu proses direalisasikan. O

Output

Data atau obyek yang dihasilkan dari suatu proses. P

Primary Key:

Identitas (ID) yang bersifat unique Proses:

Suatu kumpulan yang saling berhubungan atau aktivitas yang saling berinteraksi untuk mengubah suatu input menjadi output.

S Sistem

Sekumpulan elemen yang dalam sebuah jaringan yang bekerja secara teratur dalam satu kesatuan yang bulat dan terpadu untuk mencapai sebuah tujuan atau sasaran tertentu.

Sistem Informasi

Kumpulan atau susunan yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak serta tenaga pelaksananya yang bekerja dalam sebuah proses berurutan dan secara bersama-sama saling mendukung untuk menghasilkan suatu produk.


(6)

T

Traceability

Kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi dari hal dibawah pertimbangan, dan catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan dan sejarah proses produk, serta distribusi produk.

Traceability Decission Tree

Metode untuk memastikan traceability dari setiap proses produksi pada suatu perusahaan telah berjalan.

U

Use Case:

Suatu kegiatan yang dilakukan dan dapat diukur. Use Case Diagram:

Suatu diagram yang menggambarkan skenario tentang apa yang terjadi ketika seseorang/organisasi berinteraksi dengan sistem.

X

XML (Extensible Markup Language)

Merupakan bahasa sebagaimana HTML yang di desain untuk mendeskripsikan data dimana tag dalam XML didefinisikan sendiri. Dokumen XML dapat digunakan untuk pertukaran data antar organisasi.