Masa Depan Perebutan Sumberdaya

Masa Depan Perebutan Sumberdaya

Seperti telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, saat ini pengaturan soal hutan adat memasuki babak baru. Pada 16 Mei 2013, MK mengabulkan sebagian dari tuntutan AMAN bersama dua masyarakat hukum adat lainnya, masing-masing adalah Kenegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu. Salah satu permohonan yang dikabulkan MK adalah bahwa hutan adat yang semula menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (6) termasuk dalam kawasan hutan negara, setelah putusan ini tidak lagi demikian. Hutan adat

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 33/XVI/2014 127

128 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 33/XVI/2014

tidak termasuk dalam kategori hutan negara, melainkan menjadi bagian dari hutan hak. Dengan demikian, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. 23

Dengan keluarnya putusan tersebut, terbuka pula ruang bagi masyarakat- masyarakat hukum adat di Kutai Barat untuk kembali menguasai tanah-tanah adat dan/atau wilayah-wilayah adat, termasuk hutan adat. Masalahnya, secara teoretis, setidaknya ada tiga kemungkinan bentuk masyarakat (hukum) adat yang boleh jadi mampu memenuhi kriteria-kriteria yang tercantum dalam Putusan MK 35. Pertama, masyarakat hukum adat yang keberadaannya berdasar pada Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2006 tentang Pengukuhan dan Pembinaan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Kabupaten Kutai Barat. Pada dasarnya, kebijakan tersebut memperkuat pengakuan terhadap lembaga adat sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan, dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam Wilayah Kabupaten Kutai Barat.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2006, tercantum pengaturan tentang kriteria masyarakat hukum adat, yang terdiri dari adanya kelompok masyarakat yang terikat satu sama lain dan tunduk pada hukum adatnya, adanya struktur lembaga yang memiliki kewenangan dan aturan yang dibuatnya ditaati oleh warganya, memiliki kekayaan bersama yang terpisah dari masing-masing warganya, serta memiliki wilayah tertentu yang merupakan wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat tertentu. Pada Pasal 1 angka

13, diatur bahwa “lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan

23 Dari segi yuridis formal, sesuai dengan konstelasi peraturan perundangan yang ada, hal ini menimbulkan masalah (baru) tersendiri. Misalnya, menurut para peneliti dari QBar, sebuah organisasi masyarakat sipil di Padang, Sumatra Barat, memasukkan hutan adat ke dalam rezim hutan hak dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 “membiaskan” makna posisi hutan ulayat/hutan yang berada di atas tanah ulayat sebagai hutan hak. Sebab, hutan ulayat yang dipahami oleh masyarakat hukum adat, setidaknya dalam konteks masyarakat di Minangkabau, bukanlah hutan hak yang disebutkan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, karena penguasaan hutan ulayat mempunyai karakter kewenangan yang bersifat publik dan berbeda dengan hak atas tanah dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 (yang merupakan rujukan hutan hak dalam UU Nomor 41 Tahun 199) yang berdimensi privat. Lebih lanjut, lihat Kurniawan, Rivai, dan Hidayati (2013). Selain itu, perlu pula diingat bahwa keberadaan Pasal 4 ayat (2) yang mengatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan adalah tetap adanya, karena memang tidak termasuk dalam daftar pasal yang digugat AMAN dan kawan-kawan. Dengan demikian, andai saja hutan adat dimaksud berada di kawasan dengan fungsi hutan dan/atau kawasan hutan, kewenangan pengaturannya tetap berada di tangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, meski harus tetap “memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

berkembang di dalam sejarah masyarakat tersebut atau dalam masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut yang berhak dan berwenang mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat setempat”. Pada Pasal 7 ayat (1), disebutkan bahwa “lembaga adat berkedudukan sebagai wadah organisasi permusyawaratan dan permufakatan kepala adat atau pemangku adat yang berada di luar susunan organisasi pemerintahan”.

Pada Pasal 7 ayat (2), dinyatakan bahwa lembaga adat mempunyai tugas:

1. Menampung dan menyalurkan pendapat Masyarakat kepada Pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut Hukum Adat dan kebiasaan Masyarakat setempat; 2. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat atau kebiasaan Masyarakat yang positif dalam upaya memperkaya Budaya Daerah serta memberdayakan Masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan; 3. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis dan serta obyektif antara Kepala Adat atau Pemangku Adat dengan Aparat Pemerintah; 4. Menggali dan mengembangkan nilai-nilai adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah guna memperkaya khasanah kebudayaan Nasional; 5. Mengurus dan mengelola hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di Kabupaten; 6. Menyelesaikan perkara-perkara perdata adat-istiadat di Daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 7. Menginventarisir, mengamankan, memelihara dan mengurus serta memanfaatkan sumber-sumber kekayaan yang dimilik oleh Lembaga Adat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 8. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan ketentuan-ketentuan adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat.

Sebelumnya, melalui pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2001, pada setiap jenjang pemerintahan dibentuk lembaga adat, yang namanya bisa disesuaikan menurut adat istiadat setempat (Pasal 3 ayat (1)). Disebutkan pula bahwa “lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat tersebut atau dalam masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut yang berhak dan berwenang mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat setempat” (Pasal 1

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 33/XVI/2014 129

130 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 33/XVI/2014

huruf j). Adapun keperluan kebijakan ini adalah untuk memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan dan melindungi adat istiadat dan lembaga adat guna mengatasi dan mengantisipasi kemungkinan tergusurnya nilai-nilai adat istiadat yang luhur akibat pengaruh arus modernisasi dan globalisasi yang akan dapat menghilangkan jati diri dan akar budaya bangsa (Pasal 2 ayat (1)). 24

Perlu ditambahkan bahwa pada dasarnya peraturan-peraturan daerah tentang “pemberdayaan dan pelestarian kelembagaan adat” ini merupakan bagian dari kebijakan di tingkat nasional. Sebagaimana diketahui, seiring dengan pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1979, praktis kelembagaan-kelembagaan adat yang asali kehilangan perannya dan terus meluntur dari waktu ke waktu. Sebagai obat bagi keadaan ini, agar rasa tidak puas dari kalangan masyarakat adat tidak terus meluas, pemerintah, melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (dulu Departemen Dalam Negeri), mengeluarkan sejumlah kebijakan yang ditujukan untuk “memberdayakan dan melestarikan kelembagaan adat”. Peraturan perundangan-undangan yang terakhir dalam konteks ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Ini sebenarnya sisa prareformasi. Namun, nyatanya di tingkat daerah tetap dirujuk dalam upaya-upaya “pemberdayaan dan pelestarian kelembagaan adat”. Misalnya, sebagaimana terjadi dalam kasus Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 18 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah. Peraturan daerah tersebut, uniknya, juga mengatur kelembagaan adat Dayak pada tingkat nasional dan juga di tiga provinsi lain yang ada di Kalimantan.

Kedua, secara “samar-samar” keberadaan suatu masyarakat (hukum) adat di Kutai Barat bisa pula mendasarkan kehadirannya berdasarkan

24 Beberapa tahun setelah Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan Adat Istiadat dan Lembaga adat dalam Wilayah Kabupaten Kutai Barat diberlakukan, muncul pula kebijakan yang mengatur pengakuan atas “sistem penguasan masyarakat adat”, sebagaimana dituangkan ke dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat, yang di dalamnya mengakui pengelolaan hutan adat. Sayangnya, peraturan daerah ini dicabut seiring diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/MENHUT-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui Permohonan jo. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/MENHUT-II/2008 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui Permohonan. Pencabutan itu dilakukan melalui Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pencabutan atas Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat.

peraturan daerah yang berkaitan dengan (pemerintahan) kampung. Dalam berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kampung, disebutkan bahwa kampung adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut kebiasaan masyarakat setempat, kampung memang merupakan sebutan tradisional mereka untuk kesatuan-kesatuan hidup setempat dari berbagai komunitas masyarakat (hukum) adat di daerah itu. 25

Ketiga, komunitas-komunitas masyarakat (hukum) adat yang ke- beradaannya berdasarkan pertumbuhan masyarakat adat itu sendiri, tanpa harus terkait dengan keberadaan kebijakan-kebijakan daerah yang telah disebut terdahulu.

Dengan demikian, secara teoretis, peluang untuk kembali dapat menguasai hutan-hutan adat oleh komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Kutai Barat pasca-Putusan MK 35 ini potensial dibayang-bayangi kontestasi alas klaim keberadaan suatu masyarakat hukum adat yang berbeda tersebut. 26 Sebab, sebelum situasinya memburuk sedemikian rupa, akan sangat positif jika pemerintah kabupaten segera menyusun kebijakan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang dapat menengahi keragaman alas klaim keberadaan masyarakat hukum adat di Kutai Barat, sebagaimana telah banyak ditempuh oleh daerah-daerah lain.