Hukuman Kebiri adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
2. Hukuman Kebiri adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Hukuman kebiri dengan menyuntikkan cairan kimia ke organ vital pelaku kejahatan seksual adalah sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia dimana manusia yang secara kodrati memiliki kebutuhan biologis atau kebutuhan sexual secara paksa dihilangkan atau ditekan libidonya. Kejahatan seksual tidak hanya berupa Penetrasi ke dalam tubuh namun dalam bentuk pencabulan atau pelecehan- pelecehan seksual yang sama-sama memiliki dampak merusak terutama pada anak. 246
Serta menurut pandangan para kriminolog bahwa yang menjadi pemicu kejahatan seksual adalah faktor “power and violence” dan bukan faktor “sexual desire” atau hasrat seksual.Karena itu, yang harus dikurangi adalah motivasi kekerasannya daripada motivasi hasrat seksualnya. Yang paling tepat untuk diberikan kepada pelaku kejahatan seksual anak ini adalah therapy dan bukan treatment berupa suntikan kimia kebiri. Terapi psikologi akan banyak membantu pelaku kejahatan seksual anak karena yang dihadapi pelaku adalah apa yang disebutnya dengan “psychological problem” bukan “medical problem”. Dengan melakukan “psychological treatment” maka akan mengurangi dampak pada ketergantung obat dan akan menghilang efek negative dari kebiri kimiawi 247 .
Kebiri kimiawi juga jelas melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28
G Ayat (2) dan UU Hak Asasi Manusia Pasal 33 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
246 Lihat halaman 47 pada Bab II ini. Supra.
247 Lihat halaman 66-67 Bab ini,Supra.
Pasal 33 UU Hak Asasi Manusia berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan
derajat dan
martabat
kemanusiaannya”. Hukuman kebiri adalah hukuman yang menyiksa serta merendahkan
derajat maupun martabat manusia, kebutuhan biologis atau sexual adalah ada sejak manusia dilahirkan atau melekat secara alami, hukuman kebiri Penulis simpulkan sebagai pengurangan terhadap manusia yang utuh sebagaimana Tuhan ciptakan. Kebutuhan biologis tidak hanya bermaksud untuk sexual semata namun juga untuk melangsungkan keturunan sebagaimana dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 B Ayat (1) dan UU Hak Asasi Manusia Pasal 10 Ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Dari Pasal tersebut dapat penulis simpulkan bahwa hukuman kebiri sama dengan menghentikan kehidupan manusia itu sendiri, karena apakah setelah di kebiri pelaku yang telah bebas atau menjalani masa hukuman dapat dikembalikan fungsi reproduksinya, hal ini menurut Penulis juga bertentangan dengan Tujuan hukum yaitu agar pelaku kejahatan menyadari perbuatannya dan tidak mengulangi kejahatan tersebut kembali. 248
248 Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pemberian hukuman tambahan bagi pelaku kejahaan seksual anak melalui pemberian kebiri, maka akan terjadi pertentangan dengan asas-asas yang berlaku dalam pemidanaan bagi pelaku, bertentangan juga dengan jenis-jenis pidana yang dianut oleh KUHP, karena KUHP hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan dan di dalam dua jenis pidana tersebut tidak ada satu pun yang mencantumkan pidana kebiri yang merupakan jenis corporal punishment atau penghukuman terhadap badan.
Hukuman kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru. Praktek kebiri merupakan bentuk penghukuman menggunakan kekerasan fisik akan berdampak pada terjadinya pelangggaran hukum. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dalam UU No.5 Tahun 1998.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat 2 yang berbunyi:
Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau maupun keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.
Dapat dilihat bahwa menurut Pasal diatas pengesahan Perppu Perlindungan Anak Tahun 2016 bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Penyiksaan dan bertentangan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia.
Pasal 4 Ayat (2) UU Konvensi Anti Penyiksaan yang berbunyi:
Setiap Negara pihak harus mengatur agar tindak pidana dapat dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan pertimbangan sifat kejahatannya.
Pasal tersebut mengatakan bahwa sifat kejahatan harus dipertimbangkan dalam tiap pemidanaan. Kejahatan seksual adalah suatu tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan atau dapat disebut sebagai pelanggaran HAM namun sifatnya bukan kejahatan HAM berat menurut hukum positif sehingga harus dipaksakan untuk meninggalkan rasa kemanusian dalam pemidanaanya.