Hak Asasi Manusia Mengenai Penyiksaan (Torture).
2.7 Hak Asasi Manusia Mengenai Penyiksaan (Torture).
Hak untuk tidak disiksa juga merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang bersifat pokok (core right) yang telah diatur dalam Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights (UHDR), yaitu:
“No one shall be sujected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or Punishment” terjemahan “Tidak ada seorang pun boleh disiksa atau
94 Ibid., h. 20.
95 Ibid.
mendapat perlakuan atau hukuman yang kejam , tidak manusiawi atau merendahkan”.
Pengaturan mengenai hal itu juga terdapat dalam Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu:
“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punisment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”. Terjemahan “Tidak ada seorang pun boleh disiksa atau mendapat perlakuan atau hukuman yang kejam , tidak manusiawi atau merendahkan . Secara khusus , tidak dapat dikenakan tanpa persetujuan bebasnya untuk eksperimen medis atau ilmiah”.
Larangan penyiksaan saat ini merupakan norma hukum internasional yang berkategori sebagai jus cogens yang bermakna tidak dimungkinkan adanya
pelanggaran dalam norma tersebut 96 . Menurut Pasal 53 Konbensi Wina tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian, yang dimaksud dengan jus cogens atau peremptory norm, yaitu:
“...a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international comunity of states as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having character.”
Menurut black’s law Dictionary, jus cogens diartikan sebagai suatu norma hukum internasional umum yang mengandung sifat perintah (mandatory) bahwa
96 Andrey Sujatmoko, Loc.Cit., h. 63.
dua atau lebih negara tidak dapat membebaskan diri dari norma tersebut, yaitu: “
A mandatory norm of general international law from which no two or more nations may exempt themselves or release one another”.
Karena berkategori jus cogens, maka larangan penyiksaan menimbulkan kewajiban bagi negara secara keseluruhan (obligation ergaomnes) untuk mengambil tindakan hukum jika terjadi penyiksaan. Di samping itu, pada saat ini penyiksaan merupakan salah satu kejahatan yang tunduk pada yuridiksi hukum internasional, sehingga untuk penyelesaiannya dapat diterapkan yuridiksi universal (universal jurisdiction). Berdasarkan hal tersebut setiap negara memiliki kewenangan untuk memproses secara hukum pelaku penyiksaan tanpa dibatasi oleh: kewarganegaraan si pelaku maupun korbannya, locus delicti maupun tempus delicti. Penyiksaan juga merupakan kejahatan yang tidak mengenal daluwarsa.
Hak untuk tidak disiksa juga termasuk sebagai salah satu hal yang tidak boleh ditunda pelaksanaanya dalam kondisi apapun (non-derogable right) di samping enam hak lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal ayat (2) ICCPR, yaitu, : “No drogation from Articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15,
16 and 18 may be made under this provision. 97
Dalam instrumen hukum HAM internasional, penyiksaaan pada saat ini secara khusus telah diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or PunishmentCAT) tahun 1984.
97 Ibid., h. 64.
Adapun definisi penyiksaan menurut konvensi diatas diatur dalam Pasal 1 CAT, yaitu:
“For the purposes of this Convention, the term "torture" means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. It does not include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sanctions”.
Berdasarkan definisi di atas dapat dilihat unsur-unsur penyiksaan yang
dimaksud oleh pasal diatas 98 :
1. Perbuatantindakan dengan sengaja yang menyebabkan penderitaan
baik fisik maupun mental
2. Untuk tujuan tertentu, yaitu mendapatkan informasi atau
penghukuman kepada seseorang, baik atas peristiwa yang melibatkan dirinya atau orang lain, intimidasi atau memaksa orang tersebut atau orang lain, atau dilakukan dengan alasan diskriminasi.
3. Dilakukan atau atas persetujuan pejabat publik.
98 Ibid.
Dengan demikian, pengertian penyiksaan yang dimaksud oleh CAT harus memenuhi ketiga unsur diatas. Apabila tidak memenuhi kriteria di atas maka tidak dapat disebut penyiksaan, namun digolongkan sebagai “ cruel, inhuman or degrading treatment”.
Hukum HAM internasional juga melarang tindakan yang tidak didefinisikan sebagai penyiksaan karena tindakan tersebut menimbulkan “less severe physical or mental pain”. Terlebih lagi ditegaskan bahwa setiap orang
tidak boleh menjadi subjek “cruel, inhuman or degrading treatment”. 99