58
harus memenuhi kewajibannya telah lampau dan debitor masih juga dalam keadaan wanprestasi, maka hal ini berakibat harta milik
debitor akan dieksekusi dilelang untuk memenuhi tuntutan dari krediturnya. Apabila ternyata si berhutang ada menjaminkan
sebagian harta bendanya baik dalam bentuk gadai, fiducia, creditverband, maupun hipotik, maka eksekusinya pertama-tama
dilaksanakan terhadap barang jaminan tersebut. Sanksi ketiga yaitu peralihan resiko atas kelalaian seorang debitor disebut dalam pasal
1237 ayat 2 KUH Perdata. Resiko mempunyai pengertian kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar
kesalahan salah satu pihak, yang menimpa objek barang yang menjadi objek perjanjian.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitor yang lalai adalah terwujud dalam
suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan wajib membayar biaya perkara pasal 181 ayat 1 HIR. Seorang debitor
yang lalai tentu akan dikalahkan sampai terjadi perkara dimuka hakim.
E. Pengertian konsumen dan pelaku usaha 1. Pengertian Konsumen
Kata “konsumen” pertama kali masuk dalam substansi GBHN pada tahun 1993. Pembangunan nasional pada umumnya dan
pembangunan ekonomi pada khususnya, menurut GBHN harus menguntungkaan konsumen. Lima tahun kemudian kata-kata itu
59
dirasakan masih relevan untuk dimuat kembali sehingga dalam GBHN tahun 1998 dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus
menjamin kepentingan konsumen. Selanjutnya dalam kata-kata “menguntungkan”. “menjamin kepentingan”, atau “melindungi
kepentingan“ itu pada hakikatnya merupakan rumusan yang sangat abstrak dan normatif.
41
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian Konsumen adalah Setiap orang pemakai barang dan
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK yang diberlakukan pemerintah pada tanggal 20 April 2000 praktis hanya
sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam GBHN Ketetapan MPR
No.IIMPR1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Sama sekali
tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut.
Diantara ketentuan normatif terdapat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat yang diberlakukan pada tanggal 5 maret 2000
41
Shidarta, Hukum
Perlindungan Konsumen
Indonesia, PT.Grasindo,
Jakarta:2000,hal:57
60
satu tahun setelah diundangkan. Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen yaitu setiap pemakai dan atau
pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis
besar maknanya diambil alih oleh UUPK.
42
Dari definisi terkandung dua unsur yaitu 1 konsumen hanya orang, dan 2 barang atau jasa untuk keperluan pribadi atau
keluarganya. Konsumen diartikan tidak hanya individu orang, tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir.
Adapun yang menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak
identik dengan pembeli. Dalam arti lain Konsumen adalah setiap orang pembeli atas barang yang disepakati menyangkut harga dan
cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan
komersial. Banyaknya
rumusan-rumusan berbagai
ketentuan menunjukan sangat beragamnya pengertian konsumen. Masing-
masing memiliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen kita perlu
kembali melihat pengertian konsumen dalam pasal 1 angka 2 UUPK.
42
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT.Grasindo, Jakarta:2000, hal:1-2
61
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
43
.
2. Pengertian Pelaku Usaha Produsen
Pelaku usaha sering disebut juga Produsen yang diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Produsen
terdiri dari pembuat, grosir, leveransi dan pengecer professional yaitu setiap orangbadan yang ikut serta dalam penyediaan barang
dan jasa hingga sampaike tangan konsumen, sifat professional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggungjawaban
produsen.
44
Dengan demikian produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi
mereka yang terkait dengan penyampaian peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan perkataan lain, dalam
konteks perlindungan konsumen, produsen diartikan sangat luas. Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tidak memakai istilah produsen tetapi memakai istilah lain yang kurang lebih sama artinya, yaitu
pelaku usaha, yang diartikan sebagai berikut: “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbenttuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
43
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 2
44
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung:2006,hal:16
62
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegitan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi”
45
. Dalam
pengertian ini,
termasuklah perusahaan
korporasidalam segala bentuk dan bidang usahanya, seperti BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan,
importer, pedagang eceran, distributor, dan lain-lain. Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha
adalah pihak yang harus bertanggungjawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap
pihak ketiga, yaitu konsumen sama seperti seorang produsen.
46
F. Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen